Evaluasi Pelaksanaan Program Therapeutic Community (TC) terhadap Residen Penyalahgunaan Narkoba di Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

Evaluasi Program

II.1.1. Pengertian Evaluasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi memiliki arti penilaian.
Penilaian berarti pengukuran atau penentuan manfaat dari suatu kegiatan.
Penilaian dapat ditujukan kepada seseorang, sekelompok,atau terhadap suatu
kegiatan. Dalam suatu perusahaan evaluasi diartikan sebagai suatu proses
pengukuran terhadap efektivitas program yang dijalankan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Hasil yang diperoleh dari pengukuran tersebut akan digunakan
sebagai analisis situasi program berikutnya. Evaluasi adalah suatu upaya untuk
mengukur secara objektif terhadap pencapaian hasil yang telah dirancang dari
aktivitas program yang telah dilaksanakan sebelumnya, hasil penelitian yang
dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang akan
dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama dimasa depan.
Evaluasi merupakan bagian penting dari daur: perencanaan program,
pelaksanaan program, pemantauan program dan evaluasi program. Keputusan

tentang suatu atau beberapa program, apakah program dihentikan, dilanjutkan,
dipersempit, atau diperluas dibuat berdasarkan hasil evaluasi. Evaluasi adalah
sejumlah dari serangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data, analisis data,
dan penyimpulan hasil analisis data. Pengumpulan data bisa dilakukan melalui

11

wawancara, pengamatan lapangan, dan berbicara dengan orang yang menjadi
bagian dari khalayak (BNN,2004:121).
Ralph Tyler dalam Tayibnapis (2000:3) menyatakan evaluasi adalah
proses yang menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai. Evaluasi ialah
penelitian yang sistematik atau teratur tentang manfaat atau kegunaan beberapa
objek. Jadi, evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi,
kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggung jawaban, seleksi,
motivasi, serta menambah pengetahuan dan dukungan dari subjek yang terlibat.
Berikutnya evaluasi adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menimbang
manfaat atau efektivitas suatu program melalu indikator yang khusus, teknik
pengukuran, metode analisis, dan bentuk perencanaan (Siagian dan Agus,
2010:117).
Menurut Ralph Tyler dalam Arikunto (2009:3) menyatakan bahwa

Evaluasi adalah sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana,
dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Sedangkan
menurut Brinkerhoff dalam Widoyoko (2011:4) menyatakan bahwa Evaluasi
merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai.
Dalam pelaksanaan evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu:
1) Penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation)
2) Penyusunan desain evaluasi (designing the evaluation)
3) Pengumpulan informasi (collecting information)
4) Analisis dan interprestasi informasi (analyzing and interpreting)
5) Pembuatan suatu laporan (reporting information)

12

6) Pengelolahan evaluasi (managing evaluation)
7) Evaluasi untuk evaluasi (evaluating evalution)
Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah
proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskrisipkan,
menginterprestasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai
dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program
selanjutnya. Tujuan evaluasi adalah memberikan informasi yang akurat dan

objektif tentang suatu program.
II.1.2. Fungsi Evaluasi
Evaluasi memiliki sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan yaitu
a. Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya
mengenai kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilaidan
kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal
ini, evaluasi mengungkap seberapa jauh tujuan – tujuan dan target
tertentu yang telah dicapai.
b. Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik
terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.
Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan mengoperasikan tujuan
dan target.
c. Evaluasi memberikan sumbangan pada aplikasi metode metode
analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan
rekomendasi. Informasi

tentang tidak

memadainya


kinerja

kebijakan dan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang

13

masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada defenisi
alternatif

kebijakan

yang

baru

atau

revisi

kebijakan


(

Wahab,2002:51 ).
Wujud hasil dari evaluasi adalah adanya rekomendasi dari evaluator untuk
pengambilan keputusan (decision maker). Menurut Arikunto dan
Safruddin (2009:22) ada empat kemungkinan kebijakan dapat dilakukan
berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program, yaitu:
a) Menghentikan program, jika program tersebut dipandang tidak ada
manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana yang
diharapakan.
b) Merevisi program, karena didalam suatu program ada bagian
bagian yang kurang sesuai dengan harapan.
c) Melanjutkan

program,

jika

pelaksanaan


suatu

program

menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan
harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat.
d) Menyebarluaskan program ( melaksanakan program ditempat
tempat lain atau bisa mengulangi kembali program dilain waktu ),
karena program tersebut berhasil dengan baik jika dilaksanakan
lagi ditempat dan waktu yang lain.
II.1.3 Tolak Ukur Evaluasi
Suatu program dapat dievaluasikan apabila ada tolak ukur yang dijadikan
penilaian suatu program. Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang

14

dibuat sebelumnya harus memilki tolak ukur, dimana tolak ukur ini harus dicapai
dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya.
Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah:

1) Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut
2) Apakah hasil proyek sesuai dengan hasil yang diingikan
3) Apakah sarana atau kegiatan yang benar benar dibutuhkan
4) Apakah sarana yang disediakan benar benar dilakukan untuk tujuan
semula
5) Berapa pernsen jumlah atau luasan sasaran sebenarnya yang dapat
dijangkau oleh program
6) Bagaimana mutu pekerjaan atau sasaran yang dihasilkan dari
program
7) Berapa banyak sumber daya (tenaga, dana, barang) yang sudah
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut
8) Apakah sumber daya kegiatan yang dilakukan benar benar
dimanfaatkan secara maksimal
9) Apakah kegiatan yang dilakukan benar benar memberikan
masukan

atau

manfaat


terhadap

suatu

perubahan

(Tayibnapis,2000:28).
II.1.4 Pengertian Program
Arikunto dan Safruddin (2010:3-4) menyebutkan dua pengertian program,
secara umum dan khusus. Pengertian program secara umum adalah rencana atau
rancangan kegiatan yang akan dilakukan. Sedangkan pengertian secara khusus

15

adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan
waktu dan pelaksanaannya biasanya membutuhkan waktu yang relatif lama.
Program merupakan unsur utama yang harus ada demi tercapainya kegiatan
pelaksanaan karena dalam suatu program tersebut telah dimuat berbagai aspek
antara lain:
1. Adanya tujuan yang ingin dicapai

2. Adanya kebijakan kebijakan yang harus dimabil dalam pencapaian tujuan
ini
3. Adanya aturan aturan dipegang dengan prosedur yang harus dilalui
4. Adanya perkiraan anggaran yang perlu atau dibutuhkan
5. Adanya strategi dalam pelaksanaan
Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program adalah
adanya kelompok orang yang menguji sasaran program sehingga kelompok orang
tersebut merasa ikut dilibatkan dam membawa hasil program yang dilibatkan dan
adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupannya. Bila tidak memberikan
manfaat pada kelompok orang maka boleh dikatakan program tersebut telah gagal
dilaksanakan.
II.1.5 Pengertian Evaluasi Program
Evaluasi program merupakan suatu langkah awal dalam supervisi, yaitu
mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian
pembinaan yang tepat pula. Jika ditinjau dari aspek pelaksanaannya, secara umum
evaluasi terhadap program dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu:

16

1. Penilaian atas perencanaan, artinya mencoba memilih dan menetapkan

prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Penilaian atas pelaksanaan, artinya melakukan analisis tingkat kemajuan
pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, didalamnya meliputi
apakah pelaksanaan sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada
perubahan perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang
sebelumnnya direncanakan (Siagian dan Suriadi,2012:117-118).
Evaluasi program merupakan penilaian yang sistematis dan seobjektif
mungkin terhadap suatu objek, program atau kebijakan yang sedang berjalan atau
sudah selesai, baik dalam desain, pelaksanaan dan hasilnya, dimana tjuan dari
evaluasi program adalah untuk menentukan relevansi dan ketercapaian tujuan,
efesiensi, sefektifitas, dampak dan keberlanjutan dimana suatu evaluasi harus
memberikan informasi yang dapat dipercaya dan berguna agar donor serta pihak
penerima manfaat dapat mengambil pelajaran untuk proses pengambilan
keputusan.
II.1.6 Jenis jenis Evaluasi Program
Secara umum, evaluasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Evaluasi pada Tahap Perencanaan
Kata evaluasi sering digunakan dalam tahap dalam rangka mencoba
memilih dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan

kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Untuk itu diperlukan berbagai teknik yang dapat dipakai oleh

17

perencana.
b. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini, evaluasi adalah suatu kegiatan dengan melakukan analisa
untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding dengan
rencana. Terdapat perbedaan antara evaluasi menurut pengertian ini
dengan monitoring. Monitoring menganggap bahwa tujuan yang ingin
dicapai sudah tepat dan bahwa program tersebut direncanakan untuk dapat
mencapai tujuan tersebut.
c. Evaluasi pada Tahap Pasca Pelaksanaan
Pada tahap ini pengertian evaluasi hampir sama dengan tahap pelaksanaan,
hanya perbedaannya yang dinilai dan dianalisa bukan lagi tingkat
kemajuan pelaksanaan dibanding rencana yakni apakah dampak yang
dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai (Nugroho,2009:337).
II.2.

Narkoba dan Adiksi

II.2.1. Pengertian Narkoba
Istilah NARKOBA sesuai dengan surat edaran Badan Narkotika Nasional
(BNN) NO SE/03/IV/2002. Narkoba merupakan akronim dari Narkotika,
Psikotropika, dan Bahan Adiktif yang terlarang. Narkoba dapat diartikan sebagai
Zat – Zat alami maupun Kimiawi yang jika dimasukkan kedalam tubuh dapat
mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang (Nasution.
2014:1). Menurut Undang Undang Tentang Narkotika mengemukakan bahwa
narkoba ialah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik

18

sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Pada dasarnya obat-obatan yang tergolong narkoba itu digunakan untuk
kepentingan medis atau pengobatan. Adapun kengunaanya adalah untuk
menghilangkan rasa sakit. Tetapi apabila pengunaan narkoba diluar dari hal-hal
media dan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya akan dapat menimbulkan
kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat. Narkoba yang populer
didalam masyarakat terdiri dari 3 golongan yaitu: Narkotika, Pisikotropika dan
Zat adiktif lainya.
1. Narkotika
Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran, hilangnya
rasa, dan dapat menimbulkan ketergantungan
Dalam pengertian lain bahwa Narkotika merupakan zat – zat obat
yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan
zat – zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.

Berdasarkan bahan asalnya Narkotika terbagi dalam 3 ( tiga ) golongan
yaitu :
19

a. Alami.
Yang dimaksud alami adalah jenis zat / obat yang timbul dari
alam tanpa adanya proses fermentasi, isolasi, atau proses
produksi lainnya. Contohnya : ganja, opium, daun koka.
Didalam Undang Undang No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, bahwa jenis narkotika yang berasal dari alam tidak
boleh digunakan untuk terapi adalah golongan 1 terdiri dari :
1) Tanaman Papaver Soniverum L
2) Opium mentah, opium masak (candu,jicing,jicingko)
3) Opium obat
4) Tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina,
ekgonim (kerja alkoid koka berbeda dengan alkoid
opium)
5) Heroin, Morfin (alkoid opium yang telah diisolasi)
6) Ganja, damar ganja
b. Semi Sintesis
Yakni zat yang diproses sedemikian rupa melalui proses
ekstraksi dan isolasi, contohnya : morfin, pethidin dan lain lain.
Jenis obat ini menurut Undang-undang No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika, termasuk dalam narkotika golongan II

c. Sintesis
Jenis obat atau zat yang diproduksi secara sintesis untuk

20

keperluan medis dan penelitian yang digunakan sebagai
penghilang rasa sakit (analgesic) seperti penekan batuk
(antitusif).
Jenis obat yang masuk kategori sintesis antara lain: Kodein,
Amfetamin, Deksamfetamin, Penthidin, Meperidin, Methadon,
Dipipanon, Dekstropakasifen, LSD (Lesergik, Dietilamid).
Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap manusia, narkotika terdapat 3 (tiga)
jenis, yaitu:
1) Depressan (downer)
Jenis obat yang berfungsi mengurangi aktivitas, membuat
pengguna menjadi tertidur atau tidak sadar diri.
2) Stimulan (upper)
Jenis-jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja (segar dan bersemangat) secara
berlebihan.
3) Halusinogen
4) Zat kimia aktif atau obat yang dapat menimbulkan efek halusinasi,
dapat merubah perasaan dan fikiran.

Jenis – jenis Narkotika yang sering disalahgunakan :

21

A. Ganja
Biasanya dikenal dengan nama : cannabis, mariyuana, hasish
gelek, budha stick, cimeng, grass, rumput, sayur.
Efek yang ditimbulkan dari mengkomsusmsi ganja adalah :
a) Denyut jantung semakin cepat, temperatur badan
menurun, mata merah.
b) Nafsu makan bertambah
c) Santai, tenang dan melayang layang
d) Pikiran selalu rindu pada ganja
e) Daya tahan menghadapi problema menjadi
lemah
f) Malas, apatis
g) Tidak peduli dan kehilangan semangat untuk
belajar maupun bekerja
h) Persepsi waktu dan pertimbangan intelektual
maupun moral terganggu
B. Shabu
Dikenal dengan nama : kristal, ubas, shabu shabu, mecin.
Efek yang ditimbulkan dari mengkomsumsi shabu-shabu
adalah :
1. Badan merasa lebih kuat dan energik ( meningkatnya
stamina ).
2. Tidak mau diam ( hiperaktif ).
3. Rasa percaya diri meningkat.

22

4. Rasa ingin diperhatikan oleh orang lain.
5. Nafsu makan berkurang akibatnya kondisi badan
semakin kurus.
6. Susah tidur
7. Detak jantung berdebar debar
8. Tekanan darah mengalami peningkatan
9. Mengalami pada fungsi sosial dan pekerjaan
C. Morfin dan Heroin
Nama lain dari morfin dan heroin adalah : putaw, smack, junk,
horse, H, PT, etep, bedak, putih.
Efek yang ditimbukan dari mengkomsumsi Morfin dan Heroin
adalah :
1. Menimbulkan

rasa

mengantuk,

lesu,

penampilan

“dungu” jalan mengembang.
2. Rasa sakit seluruh badan.
3. Badan gemetar, jantung berdebar debar.
4. Susah tidur, dan nafsu makan berkurang.
5. Mata berair dan hidung selalu ingusan.
6. Mengalami problema pada kesehatan.
2. Psikotropika
Psikotropika merupakan zat atau obat baik alamiah maupun sintesis
bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.

23

Dalam bidang farmakologi, Psikotropika dibedakan dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu :
a. Golongan Psikostimulansi
Yaitu jenis zat yang menimbulkan rangsangan, jenis obat yang
termasuk golongan ini adalah :
1. Amfetamine ( lebih populer dikalangan masyarakat
sebagai shabu dan ekstasi ).
2. Desamfetamine.
b. Golongan Psikodepresan
Yaitu golongan obat tidur, penenang dan obat anti cemas,
merupakan jenis obat yang mempunya khasiat pengobatan yang
jelas.
Jenis obat yang termasuk didalamnya adalah :
1. Amobarbital
2. Pheno karkital
3. Penti karkital
Dalam Undang-undang No, 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang
dimasukkan dalam golongan III yaitu jenis Psikotropika yang berkhsisiat
untuk pengobatan dan hanya digunakan untuk terapi atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat yang mengakibatkan
sindrom ketergantungan.

c. Golongan Sedativa

24

Yaitu jenis obat obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang
jelas dan digunakan sangat luas dalam terapi. Jenis obat yang
termasuk kedalam golongan ini adalah : Diazepam, Klobazam,
Bromazepam,

Fenibarbital,

Barbital,

Klonazepam,

Klordiazepam.
II.2.2. Pengertian Adiksi.
Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap
hal-hal tertentu yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang
mengalaminya. Adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu
kondisi dimana seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis
terhadap suatu zat adiktif dan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut (DSMIV,
1994):
1. Adanya Proses Toleransi
Individu membutuhkan zat yang dimaksud dalam jumlah yang semakin
lama semakin besar, untuk dapat mencapai keadaan fisik dan psikologis
seperti pada awal mereka merasakannya.
2.

Adanya Gejala Putus Zat (Withrawl Syndrome)
Individu akan merasakan gejala-gejala fisik dan psikologis yang tidak
nyaman apabila penggunaannya dihentikan. Perasaan tidak nyaman fisik
seperti tulang sakit, mata berair, lemas, diare, muntah-muntah, dan lainlain. Pada akhirnya gejala-gejala fisik tersebut dapat menurunkan berat
badan dan menimbulkan ketergantungan pada narkoba, serta komplikasi
medic. Secara psikologis gejala putus obat ditandai dengan munculnya
perasaan malu, rasa bersalah, curiga, tidak aman, marah, kesepian, tidak
25

percaya diri, cemas, emosi tidak terkontrol, gangguan kepribadian, tidak
toleran,

mengalami

penolakan,

curiga

(terutama

pada

pengguna

methamphetamine), dan halusinasi.
II.3.

Residen

II.3.1 Pengertian Residen
Residen merupakan orang yang sedang menjalani rehabilitasi didalam
sebuah panti rehabilitasi untuk mendapatkan dan menjalani program pemulihan
akibat dari penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan didalam kehidupannya.
II.4.

Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA merupakan penyakit endemik

dalam masyarakat modern, penyakit endemik dalam masyarakat modern, penyakit
kronik yang berulangkali kambuh dan merupakan prose gangguan mental adiktif (
http://e-journal.uajy.ac.id diakses pada tanggal 28 mei 2015, pukul 19.35 wib ).
penyalahguna NAPZA dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu :
1. Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi,
yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil.
Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan orang yang menderita sakit (
pasien ) namun salah atau tersesat ke NAPZA dalam upaya untuk
mengobati 16 dirinya sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke
dokter (psikiater). Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan
bukannya hukuman.

26

2. Ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena
dorongan ingin tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta
pengaruh teman kelompok sebaya (peer group pressure). Mereka ini
sebenarnya merupakan korban (victim); golongan ini memerlukan terapi
dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.
3. Ketergantungan
NAPZA sebagai

simtomatis,

yaitu

penyalahgunaan

salah satu gejala dari

tipe

ketergantungan

kepribadian yang

mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian
antisosial (psikopat) dan pemakaian NAPZA itu untuk kesenangan semata.
Mereka dapat digolongkan sebagai kriminal karena seringkali mereka juga
merangkap sebagai pengedar (pusher). Mereka ini selain memerlukan
terapi dan rehabilitasi juga hukuman (http://e-journal.uajy.ac.id diakses
pada tanggal 28 mei 2015, pukul 19.35 wib ).
Ada

beberapa

sikap

kepribadian

remaja

yang

rentan

terhadap

penyalahgunaan narkoba, yaitu :
a. Kurang Percaya Diri.
Sikap kurang mengenal diri sendiri, dimana seseorang tidak
menyadari potensi dirinya dan sering menganggap dirinya
banyak kekurangan. Akibat terobsesi untuk mengangkat dirinya
setara dengan orang lain, ia mudah terpengaruh memilih jalan
keluar sendiri yang menjanjikan hasil seketika meskipun
tindakan tersebut bukan pilihan yang tepat.
b. Harga Diri yang Rendah.
Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang merasa dirinya tidak

27

berharga dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan.
Seringkali pihak yang bersangkutan merasa bahwa dirinya
tidak dianggap dan disepelekan, hal tersebut merupakan beban
psikologis yang cukup berat. Keterbatasan keterampilan
mengakibatkan

seseorang

tidak

mampu

melaksanakan

perbaikan diri dan sering lari dari kenyataan.
c. Kurang Terampil dalam Mengambil Keputusan.
Adanya kebiasaan bahwa setiap keputusan dalam hidup
ditentukan oleh orang lain, maka individu yang bersangkutan
tidak terbiasa dalam proses membuat suatu keputusan, yang
mengakibatkan seseorang tidak mampu membedakan antara
keinginan dengan kebutuhan.
d. Kurang Terampil Memecahkan Masalah.
Dalam kehidupan manusia selalu menghadapi berbagai jenis
masalah.

Bagi

pribadi

seseorang

yang

terlibat

dalam

pemecahan masalah selalu dibantu oleh orang lain . biasanya ia
akan menyangkal atau meremehkan adanya masalah dengan
cara yang kurang matang.
e. Sulit Mengendalikan Keinginan.
Dalam hal ini, seseorang yang berkeripadian yang rentan lemah
dalam mengendalikan keinginannya. Ia cenderung bertindak
implusif, yaitu melakukan suatu perbuatan tanpa berfikir atau
membuat suatu pertimbangan yang rasional.
f. Sulit Menerima Kekecewaan.

28

Terbiasa dengan gaya hidup setiap keinginan harus terpenuhi,
ia

sulit

menghadapi

kekecewaan

dan

kemarahan jika

keinginannya tidak terpenuhi. Sehinggan dapat melakukan
perbuatan yang merusak diri sendiri dan orang lain jika
permintaan tidak dituruti.
g. Kurang Arsetif dan Terbuka.
Kerentanan seseorang terhadap narkoba berkaitan erat dengan
kemampuan

seseorang

mengungkapkan

perasaan

yang

kurang

negatif

mampu

seperti

untuk

kemarahan,

ketidakpuasan, kekecewaan.
h. Kondisi Emosi yang Labil.
Kondisi yang labil menyebabkan seseorang sering mengalami
perubahan emosi yang mendadak tanpa faktor yang jelas
(model swing).

Sehingga tindakan mengkomsumsi narkoba

dianggap lebih memberikan ketenangan pada dirinya (
Zulkarnain,2014:35-37).
II.5.

Pengobatan dan Rehabilitasi
Pemulihan residen residen yang didiagnosis dengan gangguan mental dan

perilaku akibat dari penyalahgunaan narkoba, tidaklah semudah yang dibayangkan
banyak orang. Penanganan terhadap mereka tidak seperti pasien yang terkena
penyakit infeksi yang jika diterapi dengan antibiotika yang tepat maka dalam
jangka waktu seminggu sudah sembuh. Penanganan awal, artinya menghilangkan
zat narkoba dari tubuh sipengguna mungkin bisa relatif cepat dilakukan, namun
unsur kambuh (relapse) yang sering mendominasi kegagalan pemulihan,
29

menyebabkan pemulihan korban penyalahgunaan narkoba memerlukan jangka
waktu yang relatif lama. Bahkan ada keyakinan diantara pengamat dan pengelola
panti rehabilitasi bahwa pemulihan baru bisa diyakini keberhasilannya jika hayat
terlepas dari badan sipenderita.
II.5.1. Aspek Pemulihan bagi Penyalahgunaan Narkoba
Pemulihan penyalahgunaan narkoba umumnya mencakup tiga aspek yaitu:
terapi, habilitasi, dan rehabilitasi yang merupakan proses berkesinambungan.
Tahapan utama proses perawatan dan pemulihan penderita ketergantungan
narkoba:
a) Tahap Detoksifikasi
Terapi lepas narkoba (withrawal syndrome), dan terapi fisik yang
ditujukan untuk menurunkan dan menghilangkan racun dari tubuh.
b) Tahap Habilitasi
Ditujukan untuk stabilitasi suasana mental dan emosional penderita,
sehingga gangguan jiwa yang menyebabkan perbuatan penyalahgunaan
narkoba dapat diatasi.
c) Tahap Rehabilitasi
Merupakan tahap rehabilitasi atau pemulihan keberfungsian fisik, mental
dan sosial penderita, seperti: bersekolah, belajar, bekerja seta bergaul
secara normal.

II.6.

Therapeutic Community (TC)

30

II.6.1. Sejarah Therapeutic Community
Program terapi bagi pecandu narkoba merupakan hal yang relative baru
berkembang. Program terapi ini kurang lebih mulai timbul dalam bentuk yang
terorganisasi pada tahun 1960 sebagai respons terhadap masalah sosial dan
masalah kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Pertumbuhan fasilitas terapi
pada tahun 1960 dan 1970 mencerminkan berbagai pandangan tentang masalah
penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba. Selain itu juga dipengaruhi oleh
tuntutan bagaimana masalah tersebut dapat ditangani secara efektif.
Diluar unit detoksifikasi, yang ditujukan sebagai langkah awal terapi,
terdapat

tiga

modalitas

terapi

yang

dominan

dalam

penatalaksanaan

penyalahgunaan narkoba; program rawat jalan, program terapi rumatan metadon,
dan program residensial rawat inap jangka panjang yang disebut sebagai TC.
Program TC saat itu berorientasi pada kondisi bebas zat (abstinensia), dimana
residen diharapkan tidak lagi menggunakan zat selama dalam program dan setelah
selesai program. Pada tahun 90-an, muncul program residensial rawat inap jangka
pendek yang menggunakan pendekatan 12 langkah atau pendekatan lainnya
(Institute Of Medicine, 1990). Sementara pada akhir tahun 90-an beberapa
Negara, khususnya Belanda dan Australia mulai memodifikasi program TC
dengan memasukkan pendekatan pengurangan dampak buruk dalm programprogramnya, sebagai suatu upaya menekan laju penularan HIV di kalangan
pengguna narkoba.

II.6.2. pengertian Therapeutic Community

31

Terapi Komunitas (Therapeutic Community) adalah grup atau sekelompok
orang yang memiliki prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu
mendorong orang lain untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas. Terapi
komunitas terdiri dari staf yang pernah mengalami rasa sakit dan memiliki
perilaku yang timbul akibat ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan
mengetahui cara mengatasinya, serta telah melalui pendidikan dan pelatihan
khusus yang memenuhi syarat dan konselor. Tenaga professional hanya sebagai
konsultan saja. Di lingkungan khusus ini pasien dilatih ketrampilan mengelola
waktu dan perilaku secara efektif serta kehidupan sehari – hari, sehingga dapat
mengatasi keinginan mengonsumsi narkoba. Dalam komunitas ini semua aktif
dalam proses terapi. Teori yang mendasari metode Therapeutic Community adalah
pendekatan behavioral dimana berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan)
dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan
juga pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk
mengubah suatu perilaku.
Dalam upaya mencapai pemulihan , konsep-konsep TC khususnya pesan
yang disepakati sesama rekan sebaya dilaksanakan secara kompak. Konsep ini
diterapkan secara konsisten serta berulang kali melalui berbagai program seperti
kegiatan dalam kelompok, pertemuan, diskusi dan komunikasi sehari-hari.
Residen menjalani waktu dengan rekan-rekan sebaya, bebas dari pengaruh luar.
Merupakan satu keharusan program TC dilaksanakan selama 24 jam didalam panti
(residential) dan 4-8 jam untuk program TC diluar panti (non residential). TC
juga harus didasari oleh perawatan yang berkesinambungan (the continuum of
care) yaitu tahap primer, tahap re-entry dan pembinaan lanjut.

32

Konsep Therapeutic Community yaitu menolong diri sendiri, dapat
dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa:
1. Setiap orang bisa berubah
2. Kelompok bisa mendukung untuk berubah
3. Setiap individu harus bertanggung jawab
4. Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif
bagi perubahan
5. Adanya partisipasi aktif
II.6.3. Program TC di Indonesia
Penyalahgunaan opiate merupakan masalah yang timbul pada akhir tahun
1970 dan kemudian mereda selama belasan tahun, digantikan zat-zat jenis lainnya.
Penyalahgunaan opiate -khususnya heroin- kembali marak pada awal tahun 1990.
Epidemic penyuntikan heroin dimulai pada tahun 1995. Hingga pertengahan tahun
1990, terapi adiksi narkoba yang tersedia adalah model medis di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) milik kementerian kesehatan, model rehabilitasi
sosial dengan pelatihan vokasional pada berbagai Panti Rehabilitasi Sosial milik
Kementerian Sosial, serta model religi yang diterapkan berbagai pesantren milik
masyarakat ataupun rehabilitasi bernuansa kristiani.
Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, pertumbuhan rehabilitasi
dengan pendekatan TC di Indonesia dimulai dari kegelisahan keluarga pecandu
heroin yang tidak memperoleh layanan terapi ketergantungan heroin bagi anak/
keluarganya di Indonesia. Beberapa keluarga membawa anggota keluarganya
yang mengalami kecanduan heroin pada berbagai tempat rehabilitasi dengan
pendekatan TC atau 12 langkah yang terdapat di luar negeri, khususnya Malaysia
33

dan Singapura. Para alumni rehabilitasi TC ini dengan dukungan penuh
keluarganya kemudian mendirikan program TC di Indonesia. Sekalipun pada
pertengahan tahun 90 telah dirintis program rehabilitasi TC oleh beberapa
professional medis, namun pionir program ini yang dikenal oleh masyarakat
secara luas adalah Yayasan Titihan Respati yang didirikan pada tahun 1997,
kemudian diikuti dengan berbagai yayasan lainnya seperti Yayasan Terakota ,
Yayasan Insan Pengasuh Indonesia, Yayasan Bandulu, dan lainnya. Beberapa
program TC yang juga dimotori oleh kalangan professional medis bekerja sama
dengan konselor adiksi diantaranya adalah Wisma Adiksi, Sport Campus Wijaya
Kusuma, Wisma Srikandi dan Arjuna RS Marzoeki Mahdi (kemudian
memisahkan diri dari RS dan berdiri sendiri menjadi Yayasan Permata Hati Kita)
dan Wisma Sirih RS Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pembelajaran
program TC saat itu Daytop Village, di New York, Amerika Serikat- sebagai
pusat pelatihan sebagian besar konselor, baik yang berada di Malaysia, Singapura
maupun Indonesia.
Program ini menarik minat yang luar biasa, terutama dari kalangan
menengah keatas dan berkembang secara cepat. Pada tahun 2000 tercatat lebih 80
lembaga rehabilitasi yang dijalankan dengan metode TC. Lebih dari 85% lembaga
ini merupakan inisiatif masyarakat, selebihnya merupakan inisiatif professional
kesehatan, pekerjaan sosial, maupun tokoh agama. Bahkan beberapa panti
rehabilitasi sosial milik Kementerian Sosial seperti Galih Pakuan, Bogor juga
mengadopsi pendekatan ini pada program rehabilitasinya. Biaya operasional
penyelenggaraan program umumnya mengandalkan pola tarif layanan yang
dibebankan pada residen serta dari donatur, kecuali lembaga rehabilitasi yang

34

berada dalam system pemerintahan. Dukungan pemerintah dalam bentuk biaya
perawatan bagi para residen yang mengikuti program rehabilitasi swadaya
masyarakat belum tersedia. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila pada umumnya
lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat mengenakan pola tarif yang cukup
tinggi dibandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. Hingga
saat ini dukungan pemerintah dalam pembinaan lembaga rehabilitasi swadaya
masyarakat masih terbatas pada peningkatan kapasitas lembaga ataupun sumber
daya manusianya.
Saat ini secara nasional keberadaan lembaga rehabilitasi swadaya
masyarakat dengan pendekatan TC sangatlah terbatas. Kendala utama adalah
beratnya beban biaya operasional TC, sementara sumber dana- baik yang berasal
dari residen, maupun dalam bentuk bantuan- semakin lama semakin minim. Daya
jangkau masyarakat

terbatas dan bantuan dana tidak diterima

secara

berkesinambungan, sehingga banyak program TC ditutup. Hal ini tentunya
bukanlah suatu yang menggembirakan, karena bagaimanapun juga pecandu perlu
memiliki berbagai pilihan terapi sehingga dapat memiliki kebutuhan setiap
individu. Dalam hal ini perlu disadari bahwa tidak ada satu program pun yang
cocok buat semua orang- salah satu prinsip terapi yang efektif dari National
Institute on Drug Abuse (NIDA, 2009).

II.6.4 Filosofi Therapeutic Commnunity Dan Penerapan Metode Pekerjaan
Sosial.
1. Filosofi
Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik

35

tertulis maupun yang tidak tertulis (unwritten philosophy). Filosofi TC yang
tertulis merupakan sesuatu hal yang harus dihayati, dianggap sacral, tidak boleh
diubah dan harus dibaca setiap hari. Sementara filosofi tidak tertulis (unwritten
philosophy) adalah merupakan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam proses
pemulihan yang maknanya mengandung nilai-nilai kehidupan yang universal,
artinya filosofi ini tidak mengacu kepada kultur, agama dan golongan tertentu.
a. Filosofi TC yang tertulis
“Saya berada di sini karena tiada lagi tempat berlindung, baik dari diri
sendiri, hingga saya melihat diri saya di mata dan hati insane yang lain.
Saya masih berlari, sehingga saya belum sanggup merasakan kepedihan
dan menceritakan segala rahasia diri saya ini, saya tidak dapat mengenal
diri saya sendiri yang lain, saya akan senantiasa sendiri. Dimana lagi
kalau bukan di sini, dapatkah saya melihat cermin diri ini?. Disinilah,
akhirnya, saya jelas melihat wujud diri sendiri. Bukan kebesaran semu
dalam mimpi atau si kerdil di dalam ketakutannya. Tetapi seperti
seorang insane, bagian dari masyarakat yang peduh kepedulian. Disini
saya dapat tumbuh dan berakar, bukan lagi seorang seperti dalam
kematian tetapi dalam kehidupan nyata dan berharga baik untuk diri
sendiri maupun orang lain.”

b. Filosofi tidak tertulis (unwritten philosophy)
Filosofi-filosofi yang ada di bawah ini tidak mengenal hirarki,
dalam arti tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya,
melainkan merupakan nilai-nilai kehidupan yang seluruhnya

36

diterapkan dalam keseharian aktivitas para residen di panti
rehabilitasi (facility).
Berikut merupakan bagian penting dari filosofi tidak tertulis:
1) Honesty (kejujuran): kejujuran adalah nilai hakiki yang
harus dijalankan para residen, setelah sekian lama mereka
hidup dalam kebohongan.
2) No free lunch (tidak ada yang gratis di dunia ini): tidak ada
sesuatu pun di dunia ini yang didapatkan tanpa usaha
terlebih dahulu.
3) Trust

your

environment

(percayalah

lingkunganmu):

percaya pada lingkungan panti rehabilitasi (facility) dan
yakin bahwa lingkungan ini mampu membawa residen pada
kehidupan yang positif.
4) Understand is rather than to understood (pahami lebih
dahulu orang lain sebelum kita minta dipahami): sebelum
kita minta untuk dipahami orang lain, adalah jauh lebih
positif apabila kita pahami dahulu orang lain. Sikap ini akan
lebih menggiring kita untuk berfikir bijaksana dan sabar.
5) Blind faith (keyakinan total pada lingkungan): keyakinan
total pada lingkungan panti rehabilitasi akan makin
membantu perbaikan diri residen.
6) To be aware is to be alive (waspada adalah inti kehidupan):
sikap waspada sangat diperlukan dalam kehidupan ,
sehingga kita tidak mudah terjerumus pada hal-hal negatif.

37

7) Do your things right everything else will follow (pekerjaan
yang dilakukan dengan benar, akan memberikan hasil
positif): lakukan tugas-tugas kita sebagaimana mestinya,
kita pasti akan memetik buahnya kemudian.
8) Be careful what ask for you, you might just get it (mulutmu
harimaumu): jagalah mulut kita, karena ucapan-ucapan
negatif dapat menjadi kenyataan.
9) You can’t keep it unless You give it away (sebarkanlah
ilmumu pada banyak orang): tidak ada gunanya segenap
pengetahuan yang kita miliki bila tidak kita sebarkan pada
orang lain.
10) What goes around comes around (perbuatan baik akan
berbuah baik): setiap perilaku kita yang positif akan
memberikan dampak positif.
11) Compensation is valid (selalu ada ganjaran pada perilaku
kita): hati-hatilah dalam bertindak, sebab selalu ada resiko
yang menyertai tindakan itu.
12) Act as if (bertindak sebagaimana mestinya): bertindaklah
apa adanya, namun apabila tidak sesuai dengan hati nurani,
bertindaklah sebagaimana mestinya.
13) Personal growth before vested status (kembangkan dirimu
seoptimal mungkin): pengembangan diri mutlak diperlukan
sebelum kita mendapatkan jabatan/kepercayaan diri orang
lain.

38

Pelaksanaan program disusun untuk membuat residen terlibat secara penuh
dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function-nya masing – masing.
Kedudukan petugas hanya sebagai pengawas, yang mengawasi program. Kategori
struktur program utama dari Therapeutic Community, terdiri dari 4 (empat), yaitu:
a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku) Perubahan
perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya
sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma – norma
kehidupan masyarakat.
b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan
penyesuaian diri secara emosional dan psikologis.
c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,
nilai – nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan
mengatasi tugas – tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum
terselesaikan.
d. Keterampilan vokasional/mempertahankan diri, yaitu perubahan perilaku
yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen
yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari dan
tugas-tugas kehidupannya.
Lima pilar dalam metode-metode yang digunakan untuk mencapai perubahan
yang diinginkan :
a. Konsep Lingkungan Keluarga Pengganti (famili milieu concept).

39

Lingkungan sosial dalam TC dianggap sebagai pengganti dimana setiap
staf serta residen merupakan anggota yang mempunyai hak dan kewajiban.
b. Tekanan Teman Sebaya (peer pressure reversal).
Para residen yang sebelumnya mempunyai kecenderungan untuk mengajak
rekan sebaya melakukan hal hal negatif dibimbing untuk saling
mendorong dan menciptakan suasana yang kondusif untuk mewujudkan
perbuatan yang positif.
c. Sesi-sesi Teraputik (Therapeutic sessions).
Setiap kegiatan yang dilakukan residen selalu diarahkan untuk membentuk
perilaku antara lain disiplin, tanggung jawab, dan kepedulian untuk
mendukung proses pemulihan mereka.
d. Sesi-sesi Keagamaan dan Spritual (Religious and Spritual sessions).
Kegiatan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan
dan keyakinan mereka.

e. Menjadi Panutan (Role Modeling).
Setiap residen belajar menjadi panutan sehingga dimasa mendatang
mampu memberikan keteladanan bagi anggota keluarga/ rekan sebaya
yang lain.
2. Prinsip pekerjaan sosial dalam TC
Prinsip yang mendasari dilaksanakannya konsep TC adalah bahwa setiap
orang pada prinsipnya dapat berubah, yaitu dari perilaku negatif ke arah perilaku
yang positif. Dalam proses perubahan seperti ini, seseorang sangat memerlukan

40

bantuan pihak lain termasuk kelompok. Oleh karena itu, dalam proses pengubahan
perubahan perilaku, TC dianggap sebagai keluarga besar.
Konsep TC pada umumnya menerapkan pendekatan self help, artinya
residen dibiasakan mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan
kebutuhan sehari-hari, misalnya memasak, mencuci, membersihkan fasilitas TC,
memperbaiki gedung dan sebagainya, disamping kegiatan yang bersifat pemberian
keterampilan. Dalam hal ini, setiap kegiatan residen mempunyai tanggung jawab
mengubah tingkah laku, baik bagi diri sendiri, maupun orang lain, jadi bukan
semata-mata tanggung jawab petugas. Teori yang mendasari metode TC adalah
pendekatan behavioral dimana berlaku system reward (penghargaan/penguatan)
dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu juga
digunakan pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media
untuk mengubah suatu perilaku. Dalam pelaksanaannya, berbagai pendekatan
tersebut merupakan penerapan dari beberapa prinsip-prinsip pekerjaan sosial
(Friendlander, 1958).

A. Prinsip-prinsip Umum
a) Adanya keyakinan akan kebaikan, integritas dan kebebasan
residen dalam menentukan hidupnya.
b) Adanya keyakinan bahwa setiap residen memiliki kebutuhan
baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis, dan kebutuhankebutuhan

lain-lainnya.

Dalam

pemenuhannya

mempunyai hak untuk menentukan sendiri.

41

residen

c) Adanya

keyakinan

bahwa

setiap

residen

mempunyai

kesempatan yang sama tetapi kesempatan tersebut dibatasi oleh
kemampuan sendiri.
d) Adanya

keyakinan

bahwa

setiap

residen

mempunyai

tanggungjawab sosial untuk terlibat di dalam proses pemecahan
masalah residen lainnya yang diwujudkan dalam tindakan
bersama.
B. Prinsip-prinsip Dasar
a) Penerimaan (Acceptance)
Pekerja sosial harus mengerti bagaimana memahami dan
menerima residen „apa adanya‟. Penerimaan ini berarti
menerima keseluruhan dimensi yang ada dalam diri residen
seperti kekuatan, kelemahan, keistimewaan baik yang positf
maupun yang negatif, karakteristik yang tersembunyi, serta
aspek tingkah laku negatif yang dapat merusak diri residen.
Penerapan prinsip ini diwujudkan dalam bentuk perhatian yang
sungguh-sungguh, penerimaan yang hangat, didengarkan
dengan baik dan sebagainya.
b) Perbedaan individu
Prinsip ini menekankan bahwa setiap individu/ residen yang
mendapat

pelayanan

mempunyai

kepribadian,

agama,

kemampuan, latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu,
dalam setiap pelayanan/tindakan ditujukan kepada residen
hendaknya didasarkan pada perbedaan tersebut.

42

c) Pengungkapan perasaan
Prinsip ini melihat bahwa setiap residen mempunyai perasaanperasaan, keinginan, harapan yang akan diungkapkan. Oleh
karena itu, pekerja sosial harus memberikan kesempatan yang
luas untuk mengungkapkan atau mengekspresikan perasaanperasaannya.

Hal

ini

memungkinkan

residen

untuk

mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
d) Tidak memberikan penilaian (non-judgmental)
Dalam prinsip ini diharapkan pekerja sosial yang bekerja dalam
program

TC

baik/buruk,

hendaknya

berguna

atau

tidak

memberikan

tidak.

Pekerja

penilaian

sosial

hanya

memberikan penilaian secara objektif dan professional serta
tidak

menghakimi

residen

sehingga

dapat

mendorong

keterlibatan dalam proses pelayanan serta meningkatkan
kepercayaan diri residen.

e) Objektivitas
Dalam prinsip objektivitas pekerja sosial harus bertindak jujur,
tidak memihak dan menilai berdasarkan realitas yang terjadi di
dalam melakukan atau memberikan pelayanan kepada residen,
juga tidak memberikan suatu prasangka yang mengarah kepada
penilaian yang dapat merugikan residen.
f) Keterlibatan emosional
Dalam prinsip ini, pekerja sosial dituntut untuk memiliki

43

perasaan empati, yang artinya perlu ikut merasakan apa yang
dirasakan residen. Namun tidak berarti bahwa empati harus
menerima kesalahan residen/terlibat lebih jauh di dalam
kehidupan residen yang dapar merugikan residen dan diri
pekerja sosial itu sendiri.\
g) Menentukan dirinya sendiri
Prinsip ini didasarkan pada suatu nilai bahwa residen
mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan dirinya
sendiri. Karena itu, dalam prinsip ini seorang pekerja sosial
yang harus bertanggungjawab dalam mengembangkan relasi
sosial yang dapat menggali dan mempermudah residen dalam
membentuk dirinya sendiri dan membantu dalam mencari
alternative-alternatif

pemecahan

masalah

serta

dalam

pengambilan keputusan.

h) Aksesibilitas terhadap sumber
Prinsip ini melihat bahwa setiap residen memiliki potensi dan
akses terhadap sumber yang dapat dikembangkan. Oleh karena
itu, dalam penerapan prinsip ini pekerja sosial harus
memberikan peluang tehadap aksesibilitas berbagai sumber dan
kesempatan yang bisa merealisasikan harapan dan potensi
residen. Pekerja sosial diharapkan mampu membantu residen
dalam memanfaatkan sumber-sumber yang diperlukan.

44

i) Kerahasiaan
Dalam proses pelayanan, pekerja sosial harus tetap menjaga
segala kerahasiaan residen, seperti hal-hal yang berhubungan
dengan masalahnya, latar belakang kehidupannya, dan lainlain. Kecuali untuk kepentingan atau penyelesaian masalah
residen, seperti pembahasan kasus (case conference). Dalam
proses ini semua harus dicatat untuk kepentingan proses
penanganan residen.
j) Kesinambungan
Prinsip ini menekankan perlunya kesinambungan pelayanan
kepada residen baik di dalam panti maupun di dalam
masyarakat. Karena itu, pekerja sosial harus merencakan suatu
pelayanan

yang

menekankan

pada

prinsip-prinsip

kesinambungan.

k) Ketersediaan pelayanan
Prinsip ini menekankan perlunya ketersediaan pelayanan yang
sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan diri residen serta
kemampuan lembaga.
II.7.

Proses Pelayanan Sibolangit Centre

II.7.1. Gambaran umum Pelayanan
Metode Therapeutic Community (TC) merupakan sebuah modalitas terapi
dalam bentuk rehabilitasi residential dengan jangka waktu yang relatif lama

45

dengan jangka waktu satu tahun atau lebih. Prinsip dasar dari metode TC adalah
addict to addict, maksudnya para pengguna membentuk suatu komunitas untuk
saling membantu dalam proses pemulihan dari masalah ketergantungan NAPZA.
Selain itu para residen juga diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan semua
unsur/staf maupun petugas yang terlibat didalam panti rehabilitasi tersebut.
Peran keluarga maupun peran masyarakat sangat diperlukan dalam proses
rehabilitasi, hal ini sangatlha penting menginga pada akhirnya residen harus
kembali kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya yang dekat dengan
kehidupannya. Peran keluarga maupun orang yang dekat dengan residen dibagi
kedalam 2 (dua) bentuk kegiatan, yakni:
1) Kunjungan Keluarga (familiy visit)
Dalam kegiatan ini residen yang telah mendapat persetujuan untuk
bertemu dengan keluarga, dapat dikunjungi oleh pihak keluarga sesuai
dengan waktu yang telah sitetapkan. Pada umumnya adalah jangka waktu
2 (dua) minggu sekali.
2) Kelompok Dukungan Keluarga (family support group/FSG)
Pertemuan ini dilakukan antara staff maupun pihak rehabilitasi dengan
orang tua residen saja, dimana orang tua residen dapat berbagi
pengalaman, perasaan serta harapan mereka untuk jangka waktu
kedepannya. Pada umumnya biasa dilakukan 2 (dua) minggu sekali.
II.7.2. Tahap Proses Pelayanan
A. Proses Penerimaan (Intake Process)
Proses Intake merupakan tahap pertama yang ditujukan untuk

46

mengenal calon residen dan memberikan informasi tentang panti kepada
calon residen, keluarga, atau significants others lainnya. Upaya untuk
memperoleh data dari calon residen dilakukan melalui wawancara yang
meliputi: latar belakang, kesehatan, keluarga, lingkunga, pendidikan, dan
penyalahgunaan. Setelah data diidentifikasi pekerja sosial menentukan
diterima atau tidaknnya pecandu dalam panti yang bersangkutan
B. Proses pengenalan (induction)
Merupakan tahap dimana residen masuk kedalam lingkngan panti
setelah ia menjalani tahap intake. Residen diperkenalkan dengan
lingkungan baru (panti) yang meliputi: tujuan, filosofi, norma, nilai,
kegiatan, dan kebiasaan panti, yang dirancang secara umu dan khusus
untuk memulihkan residen kembali kemasyarakat umum (keluarga sebagai
basis utama) dengan fungsi dan peran sesuai kemampuan dan keterbatasan
residen. Dalam tahap ini, pekerja sosial dan staff membimbing residen
untuk menjalani masa transisi dari kehidupan luar panti kedalam panti
untuk menjalani proses pelayanan.
Beberapa komponen pentiing dalam tahap Induction, yaitu:
1) Walking Paper.
Merupakan satu perangkat pengenalan yang membantu proses adaptasi
residen baru, dapat berubah atau ditambah sesuai dengan kebutuhan
dan budaya atau sifat khas panti.
2) Induction Group.
Merupakan sebuah kelompok yang berfungsi untuk memberikan
pemahaman dan pengertian tentang program yang akan dijalankan,

47

beserta dengan pengertian dasarnya.
C. Tahap Awal (Primary).
Merupakan tahap dimana residen memasuki proses pelayanan. Tahap
ini bertujuan untuk memperkuat kondisi stabil yang telah dicapai pada
tahap induction.
1) Konsep Umum
Dalam tahap ini akan terdapat beberapa konsep umum yang mencakup:
a) Lingkungan panti yang sehat.
Lingkungan panti yang sehat memuat komponen komponen yang
konsep, pemikiran, filosofi, norma, nilai, kegiatan, dan kebiasaan
panti yang dirancang secara umum dan khusus untuk melayani
residen dalam mengatasi masalahnya.
b) Lokasi.
Tempat tinggal residen dalam proses pelayanan sebaiknya jauh dari
keramaian dan kebisingan pusat kota, sehngga tercipta lingkungan
yang tenang yang lebih menfokuskan residen terhadap program
pemulihannya.
2) Isu isu Kritis.
Dalam tahap primary juga terdapat beberapa isu kritis:
a) Separasai dan Integrasi.
b) Emosi dan Perilaku.
c) Sugesti.
d) Belajar untuk berfungsi dalam komunitas.
3) Fase dalam Tahap Primary.

48

a) Younger Member ( 1 – 3 bulan )
b) Middle Peer ( 1 – 2 bulan ).
c) Older Member ( 1 – 2 bulan).
D. Tahap Lanjutan (re-entry).
Tahap ini merupakan tahap dimana residen dilatih untuk bergabung
dengan keluarga, lingkungan masyarakatnya, lingkungan sekolah.
Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan interaksi residen dengan
lingkungan sosialnya, namun proses pelayanan belum sampai pada tahap
terminasi.
1. Konsep Umum.
Dalam tahap ini dikenal beberapa konsep umum yang menjelaskan posisi
panti dan residen dalam melaksanakan program, antara lain:
a. Permulaan recovery pemulihan atas adiksi.
b. Reintegrasi.
c. Separasi dan Individualisasi.
d. Asimilasi dan Adaptasi.
e. Penanganan Residen.
f. Lokasi.
g. Network.
2. Isu – isu Kritis.
a. Separasi.
b. Sugesti.
c. Kebutuhan akan jaringan sosial yang baru.
3. Fase dalam Re-Entry.

49

a. Orientasi re-entry (kurang lebih 2 minggu).
b. Fase re-entry A (1,5 sampai 2 bulan).
c. Fase re-entry B (kurang lebih 2 bulan).
d. Fase re-entry C (kurang lebih 2 bulan).
4. Kriteria kesiapan Residen untuk menyelesaikan fase Re-entry.
Residen yang menyelesaikan fase re-entry C disebutkan bahwa dirinya
telah menyelesaikan keseluruhan program residensial. Hal ini patut
mendapat kebebebasan secara penuh menjalani kehidupan bermasyarakat
diluar panti.
a. Jumlah waktu selama fase re-entry
Meskipun tidak mutlak, jumlah hari/ minggu/ bulan selama masa
primary menjadi pertimbangan untuk penyelesaian fase re-entry.
b. Stabil secara emosi, mental, dan rasional.
1. Telah terbina kebiasaan untuk berpikir secara rasional serta
memberikan keputusan yang tepat.
2. Dalam aktivitasnya residen mampu mendapat kepuasan
secara sehat.
c. Jaringan sosial.
1. Memiliki sosial network yang mendukung pemulihannya.
2. Memiliki

lingkungan

yang

positif

mendukung

pemul