Menyoroti Peristiwa Petrus Tahun 1983 19

Menyoroti Peristiwa Petrus Tahun 1983-1984 dan Pemilu,
Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Poitik dan Kriminalitas.
Oleh : Dwi Hartanto (Lucas).

“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang
berperasaan dan berpikiran waras ikut tersingggung, kecuali
orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biarpun
dia seorang Sarjana.”
Pramudya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa).

1. Membaca kembali Buku “Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi
Poitik dan Kriminalitas”, Karya James T. Siegel.
Membaca secara keseluruhan sebuah buku karya James T. Siegel yang berjudul :“Penjahat
Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Poitik dan Kriminalitas” terasa sangat menarik. Bukan
hanya karena kedalamanya dalam mengupas berbagai persoalan yang menjadi tema
pembahasan buku ini. Akan tetapi bagaimana cara Siegel memaparkan berbagai persoalan
besar dan rumit yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Pemaparan dalam buku ini dilakukan
dengan cara yang sangat ringan, terperinci dan lebih gamblang menggambarkan, bagaimana
pemahaman dan pemikiran yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia seharihari. Satu hal yang sangat menarik lainya, bahwa buku ini ditulis pada masa kekuasaan
Soeharto yang begitu represif dan melakukan pe-nyensoran secara ketat terhadap produksi
wacana-wacana alternatif, yaitu bentuk wacana yang berbeda dan bertentangan dengan

wacana mainstream yang diproduksi oleh Negara dan para pendukungnya saat itu.
Sementara latar belakag penulis, James T.Siegel adalah seorang Etnografer asing
berkebangsaan Amerika Serikat, pada saat itu ia banyak melakukan penelitian di Jawa dan
Sumatera (khususnya di wilayah Aceh), tentang beragam tema bentuk-bentuk kekerasan
Negara terhadap kehidupan sehari-hari yang dialami orang kebanyakakan di Indonesia, pasca
meletusnya peristiwa 1965. Karena berbagai tema penelitian dan beberapa publikasi
tulisannya inilah, akhirnya Siegel diusir dari Indonesia, dan dipersulit masuk ke Indonesia
selama masa kekuasaan Soeharto.
Dalam memaparkan beberapa tema besar yang terjadi di Indonesia pada kurun waktu tahun
1980-an ini, Siegel dalam banyak analisis-nya lebih seing menggunakan pendekatan melalui
liputan berita dan data-data surat kabar, yang memang sangat populer dibaca dan dibicarakan
ditengah-tengah masyarakat Indonesia pada saat itu. Data surat kabar yang dipergunakan oleh
Siegel dalam buku ini adalah seperti Koran atau harian Pos Kota, yang diterbitkan di Jakarta.
Koran Pos Kota saat itu wilayah distribusi utama-nya menjangkau wilayah Jakarta, Bogor,
Tangerang, Depok dan Bekasi (wilayah Jabotabek). Koran Pos Kota ini dari segi tiras dan
pembaca-nya saat itu termasuk Koran yang sangat besar di Indonesia, para pembaca Pos Kota
umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah dan kaum miskin yang tinggal di daerah
Perkotaan.

1


Selain Pos Kota, Siegel banyak menggunakan juga liputan berita dari Majalah mingguan
Tempo. Majalah Tempo ini segmentasi pembacanya pada umumnya berasal dari kalangan
menengah keatas. Majalah Tempo seperti juga Pos Kota terbit di Jakarat, akan tetapi wilayah
distribusi dan jangkauan Majalah ini lebih luas dibandingkan dengan Koran Pos Kota, yaitu
mencakup hampir seluruh Kota-kota besar di Indonesia.
Penggunaan rujukan data atas kedua surat kabar ini, yaitu Koran Pos kota dan Majalah
Tempo menunjukan ke jelian Siegel sebagai seorang Etnografer dan peneliti sosial, untuk
membandingkan bagaimana laporan pemberitaan dari kedua surat kabar dengan segmen yang
berbeda tersebut di suguhkan dan dikemas ke tengah-tengah masyarakat. Masyarakat
pembaca tersebut tentu saja adalah masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan, terutama
diwilayah Jakarata dan sekitarnya.
Penelitian Siegel lebih menyoroti pada berita-berita seputar kasus kriminal yang terjadi di
Indonesia pada saat itu, yaitu pada era tahun 1980-an. Pemberitaan kasus kriminal yang
menjadi fokus analisisnya ini berupa berita kasus kriminal yang besar dan menjadi headline
pada saat itu di Indonesia. Artinya tidak semua pemberitaan yang menyangkut peristiwa
kriminal dia paparkan dalam buku ini.
Dengan melakukan pembanding diantara kedua surat kabar tersebut, Siegel menemukan
banyak hal. Seperti bagaimana konstruksi peristiwa dan penggambaran berita yang berbeda
dapat dibandingkan, dalam analisisnya pada saat menyoroti setiap kasus yang di beritakan

oleh kedua surat kabar tersebut. Siegel juga dapat berusaha menangkap bagaimana
pandangan atau opini masyarakat, rumor, gosip, intrik dan perbincangan masyarakat luas,
serta sikap masyarakat merespon satu peristiwa besar yang menjadiheadline sebuah surat
kabar tersebut. Tentunya dalam hal ini Koran Pos Kota dan Tempo yang menjadi fokus data
analisis Siegel. Yang tak kalah menarik, melaui analisis-analisisnya yang tajam, dia mencoba
menghubungkan benang merah atau kaitan antar satu peristiwa dengan peristiwa lainya
secara historis. Siegel juga berusaha memaparkan dan membongkar dengan sangat detail, apa
sesungguhnya yang menjadi motifasi dan tujuan kekuasaan Orde baru dibalik peristiwa
kriminal yang dia soroti, tentunya terkadang dengan bahasa yang satir dan kritis, sangat khas
dengan narasi yang dipaparkan siegel sepanjang isi buku ini.

2.



Menyoroti Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) Tahun 1983 1984. “ ’Trauma’ Lagi, Penjahat Baru Lainya ”.
Latar belakang “Trauma” dan Penjahat Baru.

Mengapa Terjadi Petrus dan apa latar belakangnya? Bagi saya pertanyaan ini menjadi penting
untuk ditelusuri dan dijelaskan terlebih dahulu, sebelum kita langsung masuk menyoroti

peristiwa “Petrus” yang terjadi sejak pertengahan tahun 1983 sampai dengan awal tahun
1984. Mengingat alur cerita yang dipaparkan penulis dalam buku ini bagi saya sangat sulit
untuk dipahami, jika kita langsung masuk ke inti peristiwa kejadian “Petrus”, tanpa tahu latar
belakang persoalan dan apa konteks yang tersembunyi dari rangkaian peristiwa juga beberapa
permasalahan yang dibahas dalam buku ini. Menurut saya, mungkin ini kelemahan utama
dalam pendekatan Etnografi Siegel, yang tidak memaparkan secara runut, sistematis dan
gamblang terlebih dahulu berkaitan dengan konteks politik saat itu, juga minimnya
pemaparan narasi dan argumentasi sejarah-politik apa saja yang menjadi latar belakang (baca;
memicu) Peristiwa Petrus ini meledak ditengah masyarakat saat itu.

2

Seperti dapat kita telusuri kebelakang, bahwa Penguasa Orde baru berkuasa setelah jatuhnya
Pemerintahan Soekarno yang oleh banyak orang dikatakan berwatak Populisatau kerakyatan,
Atau dengan kata lain sebuah Pemerintahan yang berorientasi kepada rakyat. Sementara disisi
lain, Kekuasaan Orde baru justru lebih banyak disokong oleh kekuatan Militer Indonesia
khususnya Angkatan Darat. Dimana Angkatan Darat pada saat setelah meletusnya peristiwa
Gerakan 30 September (G.30.S) di tahun 1965 ini lebih banyak mengambil tugas dan
kewenangan untuk menjaga ketertiban dan stabilitas keamanan negara.
Akan tetapi pada prakteknya Angkatan Darat melalui Jendral Soeharto-lah yang

secaradefacto mengendalikan dan mengambil alih Kekuasaan di Indonesia pada saat itu.
Situasi krisis ini terus berlangsung hingga Pemerintahan Presiden Soekarno secara perlahanlahan semakin lemah kekuasaan-nya, baik dalam bentuk dukungan rakyat maupun legitimasi
dimata publik atas meletusnya Peristiwa G.30.S tahun 1965. Situsi transisi pemerintahan ini
berakhir sampai diangkatnya Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden, menggantikan
Soekarno pada tahun 1967 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Lembaga MPRS sendiri pada saat itu memang telah banyak diisi oleh para pendukung dan
simpatisan Soeharto. Sementara disisi lain, para pendukung dan loyalis Soekarno di Parlemen
sudah banyak yang ditangkap, dibunuh, diberhentikan atau dipaksa berhenti oleh Angkatan
Darat.
Tahun 1965 sampai tahun 1967 bukan hanya sebuah masa transisi pemerintahan lama
berganti kemasa pemerintahan baru. Pada masa tersebut juga sering dikatakan sebagai masa
yang sangat kelam dan mencekam bagi sejarah bangsa Indonesia kontemporer. Bagaimana
ratusan ribu hingga Jutaan nyawa manusia, dari anggota dan simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI) diseluruh Indonesia ditangkap dan dibunuh secara masal tanpa proses
pengadilan. Menarik jika kita menggambarkan situasi transisi pada saat itu, mengutip
pernyataan Letnan Jendral Sarwo Edhi Wibowo (Bapak menantu SBY) sebagai Komandan
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), dalam sebuah konferensi pers di Jakarat
awal tahun 1966 :
“Di Jawa kami (RPKAD, red) harus menghasut penduduk untuk membantai orangorang Komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa
mereka tidak bertindak terlalu jauh.” 1

Akan tetapi pada kenyataan-nya, penangkapan dan pembunuhan bukan hanya menimpa
anggota PKI, keluarga PKI dan para simpatisanya. Penangkapan dan pembantaian masal ini
juga dialami oleh banyak simpatisan serta para pendukung Presiden Soekarno sendiri.
Bahkan, banyak diantara para korban pembantaian manusia yang dilakukan oleh kalangan
Militer dan Sipil ini menimpa orang yang tidak tahu-menahu dengan apa persoalan
sebenarnya. Pembunuhan besar-besaran nyawa manusia ini selain bersifat masal dan sadis,
terkadang polanya dilakukan secara random atau acak. Artinya siapapun yang dicurigai,
walaupun dia sama sekali tidak ada kaitanya dengan PKI, bisa juga dibunuh dan keluarganya
dihabisi. Pembantaian manusia paling besar dan berdarah dalam sejarah Indonesia moderen
ini terjadi diseluruh Jawa, Bali dan kemudian meluas terjadi diluar pulau Jawa bahkan hampir
diseluruh Indonesia.
Sedikit menggambarkan bagaimana situasi masa itu, kita bisa mengutip pernyataan Bung
Karno dalam pidatonya dihadapan massa mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
1

Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966).
Hlm: 56.

3


pada tanggal 18 Desember, di Bogor. Bung Karno meminta agar HMI “turba” – (turun
kebawah) untuk mencegah pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
" embantaian sangat keji. Orang disembelih, dipotong dan dibunuh begitu saja.
P
Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban karena diancam. Kemudian
lebih jauh Bung Karno menggambarkan, “awas kalau berani ngerumat (merawat,red)
jenazah. Engkau akan dibunuh. Jenasah di klelerkan begitu saja, dibawah pohon,
dipinggir sungai. Dilempari bagai bangkai anjing yang sudah mati".2
Setelah Kekuatan yang di Pimpin Jendral Soeharto mengambil alih kendali kekuasaan secara
penuh. Dalam upaya mengidentifikasi Subjek Kekuasaan barunya yang berbeda dengan
Pemerintahan sebelumnya (era Soekarno). Jenderal Soeharto dan para pendukungnya
menyebut dirinya sebagai “Pemerintahan” Orde baru, yaitu sebuah Orde atau jaman yang
sangat berbeda dengan masa sebelumnya pada masa Pemerintahan Soekarno. Pemerintahan
Soekarno sebelum Orde baru kemudian diberi nama "Orde lama". Walaupun sebetulnya
sepanjang masa Pemerintahan Soekrno, istilah Orde lama sama sekali tidak pernah
dipergunakan untuk menyebut Pemerintahan Soekarno.
Menjelang berakhirnya Pemerintahan Presiden Soekarno, Bung Karno sendiri lebih sering
menyebut Pemerimtahan-nya adalah sebuah Pemerintahan Rakyat yang Progresif dan
Revolusioner, seperti dapat kita lihat dalam isi pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17
Agustus 1964, Pidato yang dinamai “Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP”.3



Petrus, Tindakan Penguasa Orde baru yang mencolok.

Pemerintahan Orde Baru dalam menopang kekuasaan-nya selain mengandalkan dukungan
penuh dari kekuatan Militer, pada akhirnya juga mulai menghimpun kekuatan masyarakat
sipil untuk mendukung kekuasaan-nya. Berbagai lapisan masyarakat sipil tersebut dihimpun
untuk memperkuat kekuasaan-nya. Para pendukung kekuatan sipil Orde baru diantaranya
adalah kalangan elite Intelektual dan akademisi, yang dikemudian hari sering disebut sebagai
kaum Tekhnokarat. Selain itu kekuatan sipil juga digalangan melalui jajaran Birokrasi
pemerintahan, juga kalangan Pelajar dan Mahasiswa, kaum Agamawan, serta kalangan sipil
lain-nya. Semua elemen masyarakat sipil ini mulai di himpun secara sistimatis untuk
memperkuat pemerintahan Orde baru dalam menjalankan kekuasaan-nya.
Berbagai unsur masyarakat sipil yang menjadi Pendukung Orde baru ini, kemudian tergabung
dalam Golongan Karya (Golkar). Golkar merupakan Partai Penguasa yang dibentuk oleh
Kekuasaan Orde baru sebagai mesin politik dalam menghadapi Pemilhan umum (Pemilu)
setiap lima tahun sekali. Kekuasaan Orde baru ini dalam meneguhkan kekuasannya di
Indonesia sering dikatakan bersandar pada kekuatan Tiga pilar utama, yaitu ABRI, Birokrasi
dan Golkar (ABG).
Menjelang tahun 1982 pada saat akan menghadapi Pemilihan umum yang ketiga kalinya

(Pemilu pertama pada tahun 1971 dan Pemilu kedua tahun 1977). Kekuasaan Orde baru
berusaha untuk semakin memperluas dukungan suara bagi Golkar dikalangan masyarakat
sipil, salah satu elemen masyarakat yang secara intensif dilibatkan adalah para “Gali”atau
akronim dengan “Gabungan Anak Liar”. Sebagian besar para Gali ini adalah penjahat kelas
teri, para anggota geng atau yang saat ini dikenal dengan istilah Preman. 4 Mereka yang
2

Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966).
Hlm: 103 .
3
http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20130509/bung-karno-revolusiindonesia-menuju-sosialisme.html
4
James T. Siegel, “Penjahat Gaya (Orde) Baru. Eksplorasi, Poitik, dan Kriminalitas. hlm: 152.

4

disebut gali ini sangat umum terdapat disetiap Kota-kota besar maupun Kota-kota kecil
diseluruh Indonesia, bahkan banyak juga para gali yang melakukan operasinya didaerah
pedesaan. Walaupun ada banyak istilah ataupun nama yang berbeda-beda, tetapi pekerjaanya
sebagai penjahat kelas teri dan pelaku tindakan kriminal ditengah masyarakat adalah makna

atau istilah yang dipergunakan untuk mengidentifikasi apa yang disebut dengan para Gali ini.
Para gali ini kemudian dipekerjakan oleh pemerintah Orde baru untuk membantu secara aktif
dalam memobilisasi suara bagi pemenangan Golkar pada Pemilu 1982. Sedikit catatan bahwa
Golkar pada saat itu tidak mau menyebut dirinya sebagai Partai Politik, walapun pada
realitasnya Golkar adalah Partai Politik peserta Pemilu pendukung utama pemerintahan Orde
baru.
Para gali dari berbagai kota di Indonesia ini direkrut dan dipekerjakan oleh Pemerintahan
Orde baru untuk ikut mendulang suara Golkar ditengah-tengah masyarakat (mesin Politik
Elektoral), sekaligus juga dikontrol oleh Kekuasaan agar selama menjelang dan
berlangsungnya Pemilu tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal yang berlebihan dan
meresahkan masyarakat, yang dapat menggagunggu ketertiban dan stabilitas keamanan
Negara. Dengan harapan agar Pemilu tahun 1982 ini dapat berlangsung dengan aman dan
terkendali di bawak kontrol Kekuasaan Orde baru. Pada masa itu ada semacam
“Kemesraan” hubungan para Gali dengan para pendukung Kekuasaan Orde baru seperti
jajaran Birokrasi, Golkar dan terutama pihak Militer sebagai pemegang otoritas keamanan
utama diseluruh Indonesia selain Polisi. (Pola ini ada kemiripan dengan seting Film JAGAL,
karya Joshua Oppenheimer).
Paska Pemilu 1982 tepatnya pada pertengahan tahun 1983, Kekuasaan Orde Baru mengalami
sebuah perubahan drastis, Dalam istilah James T. Siegel, Tindakan Penguasa Orde baru ini
dikatakan sebuah tindakan yang mencolok terhadap kehidupan rakyat Indonesia, terutama

rakyat Indonesia dilapisan kelas bawah5. Lalu tindakan mencolok semacam apa yang telah
dilakukan Penguasa Orde baru ini?
Kurang lebih satu tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1982, Pemerintah Orba baru saja
menggelar “Pesta Demokrasi”, sebuah ungkapan yang sangat lazim di jaman itu. Dimana
Partai Penguasa yaitu Golkar dalam Pemilu ini berhasil memperoleh kemenangan mutlak,
terbilang cukup besar di Parlemen yaitu sekitar 62,11%. Sementara partai-partai pesaingnya
seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya memperoleh angka sekitar 29,29%. Dan
terakhir Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya memperoleh angka paling kecil yaitu
sekitar 8,60% 6. Dengan kemenangan Golkar yang cukup mutlak untuk menjalankan
kekuasaan ini, kenapa tiba-tiba satu tahun kemudian terjadi satu peristiwa yang mencolok ?
Jika kita kemudian membaca kembali sebuah headline surat kabar yang terbit di Jakarta pada
saat itu, yaitu Koran Pos Kota yang menurunkan beritanya pada tanggal 3 Januari 1984,
mungkin hal ini bisa menjadi petunjuk awal bagi kita untuk mengidentifikasi, sebetulnya
tindakan mencolok semacam apa yang di lakukan Penguasa Orde baru saat
itu. Headline Koran Pos Kota pada hari itu menjelaskan :
“Dengan Tangan Menutup Muka di Got Tertutup Batu, Seorang Lelaki Bertato dengan
Gambar Wanita Telanjang Ditemukan Tewas di Bacok Seratus Kali.”
Dengan gaya pemberitaan-nya yang khas, Koran Pos Kota hari itu menurunkan sebuah
laporan headline besar pada halaman mukanya secara dramatis dan terkesan mengerikan,
bagi para pembacanya. Akan tetapi memang seperti itulah karakter surat kabar Pos Kota yang
5
6

Ibid. hlm : 151.
Ibid. hlm : 152.

5

lebih berfokus kepada berita-berita kriminal di Indonesia dalam menurunkan berita
utamanya. Walaupun berita ini sebetulnya adalah cerita utama Koran itu, tetapi isi beritanya
justru sangat singkat, biasanya laporan utama Pos Kota menurunkan sebuah cerita disajikan
secara panjang lebar. Tapi kali ini tidak seperti biasanya, isi laporan singkat tersebut adalah :
“Seorang Pria dengan Tato wanita telanjang, Abdul Kadir alias Oding (21) ditemukan
tewas dengan seratus luka bacok, dalam sebuah got dimuka rumahnya RT 0012 / 07,
Kp. Duku, Kelularahan Kebayoran Lama, Senin pagi.” 7
Jika kita ingin memeriksa sedikit peristiwa ini dalam isi surat kabar tersebut, yang begitu
mencolok bagi kita adalah, pertama pada sosok korban adalah seorang laki-laki yang bertato
dengan gambar wanita telanjang. Kedua pembacokan yang dilakukan dengan jumlah yang
terbilang sangat banyak yaitu seratus kali. Ketiga mayat tersebut ditemukan didalam got
didepan ruamahnya sendiri.
Laporan yang ditulis Koran Pos Kota pada bulan Januari 1984 ini, sebetulnya bukanlah
sesuatu yang baru dan mengejutkan bagi pembaca surat kabar di Indonesia pada saat itu.
Karena serangkaian penembakan dan pembunuhan sadis yang di campakan di jalan-jalan dan
tempat umum ini, sebetulnya sebelumnya sudah mewarnai hampir semua surat kabar di
Indonesia sejak pertengahan tahun 1983. Pada saat itu orang sudah banyak menemukan
mayat-mayat lelaki bertato di sebagian besar tempat di Indonesia, dan penemuan-penemuan
mayat itu selalu memiliki sebuah inisial khas, yaitu gambar tato di tubuhnya. Penemuan
mayat lelaki bertato ini selalu di kabarkan kepada publik pembaca di Indonesia hampir setiap
hari. Berita ini bagaikan sebuah teror ketakutan sosial yang diproduksi Kekuasaan Orde baru
melalui ruang media massa, yang disajian secara terus-menerus kehadapan para publik
pembaca. Pembunuhan sadis para lelaki bertato inilah yang kemudian disebut dengan istilah
“Petrus” atau akronim dengan “penembakan misterius”.
Penyebutan istilah Petrus ini sebetulnya juga kurang tepat, karena tidak semua korban lakilaki bertato ini mati secara mengenaskan dengan luka tembak atau mati karena penembakan.
Ada juga diantara mereka para gali ini yang mati dengan luka bacokan atau tikaman senjata
tajam. Kemudian ada juga para korban Petrus ini yang mati dengan leher diikat atau di jerat
tali dan dimasukan didalam karung. Walaupun memang banyak korban laki-laki bertato ini
yang menemui ajalnya dengan luka tembak disekujur tubuhnya atau ditembak kepalanya
berkali-kali. Misalnya Koran Tempo pada edisi Agustus 1983, menurunkan beritanya :
“Sepuluh lubang peluru yang mengkoyak habis tubuh korban ternyata bukan rekor.
Dr. Abdul Mun’im Idries, Sekretaris Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,
mencatat seorang korban penembakan misterius yang ditemukan tanggal 25 Juli di
Jalan Jagorawi dengan 11 lubang peluru malah ada yang “termakan” 12 peluru.
“Kami juga pernah memeriksa mayat yang mempunyai lima selongsong peluru
dikepala-nya,” ujarnya. (Ada dor, Ada ya, Ada Tidak, 6 Aguastus 1983: 12-14).” 8
Sementara penggunaan kata “Misterius” dalam istilah Petrus “Penembakan Misterius” ini
sebetulnya juga terdengar rancu dan tidak tepat atau dalam bahasa Siegel mengandung arti
palsu. Walaupun dalam beberapa pemberitaan di surat kabar banyak disebutkan bahwa para
para penembak atau pembunuh para gali ini, seringkali dalam melakukan aksinya dengan
muka tertutup atau mengenakan topeng pada wajahnya. Tapi orang banyak dan media massa
sudah mengetahui bahwa sebetulnya pelaku penembakan ini menurut Siegel adalah,” tentara
7
8

Ibid. hlm : 152.
Ibid. hlm : 156-157.

6

yang memuntahkan tembakan menyamarkan diri, seringkali dengan muka tertutup”.
Pernyataan tentang kepalsuan pembunuhan yang misterius ini kemudian dijawab secara
gamblang oleh penguasa utama rezim Orde baru yaitu Soeharto. Penggunaan kata
“Misterius” ini sekaligus membantah dugaan banyak orang saat itu. Karena sejatinya pelaku
penembakan ini tidak lagi Misterius, karena pelakunya adalah aparat Negara itu sendiri.
Seperti bisa kita simak dalam pernyataan resmi yang disampikan oleh Presiden Soeharto
kepada media masa yang berkaitan dengan peristiwa Petrus ini, Soeharto dalam kapasitasnya
sebagai Presiden menjelaskan :
“Apa hal itu mau didiamkan saja? (tindakan kriminal para gali, red) Dengan
sendirinya kita harus mengadakan treatmen (dalam bahasa Inggris), tindakan yang
tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu
bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan,
ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak.”

3.

Fait Divers dari Peristiwa Petrus.

James T. Siegel banyak sekali menggunakan istilah Fait divers dalam penjelasanya
mengenai peristiwa Petrus ini. Menurut saya kata kunci ini penting untuk dapat memahami
jalan fikiran Siegel dalam argumentasinya, bagaimana dia mencoba menyelami fakta-fakta
dan motif apa sebetulnya yang terkandung dalam peristiwa Petrus ini. Saya akan mencoba
melihatnya dari tiga sisi.
Pertama dari sisi korban, yaitu para gali yang mati secara mengenaskan yang dicampakan
begitu saja dijalan-jalan dan ditempat-tempat umum lain-nya. Kedua dari sisi pelaku Petrus,
dalam hal ini aparat Negara atau Kekuasaan Orde baru yang menggunakan tangan-tangan
Tentara atau Militer. Ketiga dampaknya bagi masyarakat umum, yang juga menjadi korba
“teror sosial” dalam peristiwa Petrus ini, yang dilakukan oleh Kekuasaan negara Orde Baru.
Pertama dari sisi Korban, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa korban penembakan ini
adalah para Gali atau akronim dengan “gabungan anak liar”. Sebagian besar para Gali ini
adalah penjahat kelas teri, para anggota geng atau yang saat ini dikenal dengan istilah
Preman. Para gali yang mayatnya ditemukan dan menjadi korban Petrus ini memiliki ciri-ciri
yang sama, yaitu seorang laki-laki yang memiliki tato di tubuhnya. Mayat ber-tato ini yang
membedakan antara mayat gali korban Petrus dengan tubuh mati lainya. Tanda tato ini
diindikasikan sebagai sebuah kekuatan yang dikaitkan dengan “kriminalitas” yang menjadi
target Petrus. Sosok mayat bertato ini seolah tidak bisa diukur dengan sejauh mana riwayat
hidup orang itu sebenarnya, walaupun jika orang tersebut memang gali dan pelaku tindak
kriminal. Siapa nama mayat bertato itu? dari keluarga seperti apa dia berasal? Jejak kejahatan
semacam apa jika dia adalah pelaku kriminal? Atau pertanyaan sebetulnya pekerjaan mayat
bertato itu apa semasa hidupnya?.
Pertanyaan-pertanyaan itu sudah menjadi tidak penting lagi untuk mengenali para korban
Petrus ini, karena kekuatan A-historis lebih menjadi sebuah kesimpulan dan kenyataan
pembenaran dari orang-orang bertopeng pelaku Petrus. Tanda-tanda yang terdapat ditubuh
korban atau tanda tato, sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan vonis mati atau orang
layak dibunuh dijalan-jalan tanpa proses Pengadilan oleh Negara. Mayat dengan tanda tato
yang diberitakan dalam surat kabar dan ditunjukan dalam foto-foto, ciri-cirinya menjadi
tipikal. Korban Petrus ini memiliki kekuatan ekspresif dan mengindikasikan bahwa
pemiliknya adalah seorang penjahat, kriminal dan gali yang layak untuk dibunuh. Walaupun
ada beberapa kalangan masyarakat saat itu, yang mengungkapkan fakta bahwa tindakan
7

aparat tidak adil, menurut Junaidi seorang warga di Yogyakarta, pada saat penangkapan dan
penembakan gali digelar, ada beberapa gali yang tidak tersentuh.9
Kedua dari sisi pelaku Petrus, yaitu Negara dalam hal ini aparat militer Orde baru,
menjelaskan kepada publik atau masyarakat luas, apa alasan pembasmian para gali ini ?.
Siegel mengutip pernyataan Presiden Soeharto, bahwa para gali itu sebagai kebangkitan
kekejaman tidak manusiawi yang menciptakan ketakutan yang meluas dan berpotensi
destabilisasi. Makna destabilisasi disini tentunya adalah semacam ancaman atau hambatan
bagi jalan-nya pemerintahan Orde baru, yang memang sangat menekankan stabilitas bagi
jalanya pembangunan nasional, yang saat itu sedang gencar dikampanyekan pemerintah.
Berikut adalah petikan otobiografi Presiden Soeharto menyikapi peristiwa Petrus :
“Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang
dirasakan oleh rakyat. Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok,
pembunuh,dan sebagainya. Ketenteraman terganggu. Seolah-olah ketenteraman di
negeri ini sudah tidak ada. Yang seolah-olah hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat
itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Mereka sudah melanggar
hukum....” . 10
Legitimasi atau alasan yang dibangun oleh Soeharto adalah bahwa ketertiban dan keamanan
(stabilitas) Negara dan rakyat berada dalam sebuah ancaman serius yang berasal dari dalam
negeri, yaitu para gali yang “liar” tak terkendali dan bersifat subversifseolah berada diluar
jangkauan aparat negara untuk menertibkan-nya. Walaupun banyak orang tahu, bahwa hanya
berselang setahun sebelumnya kekuasaan Orde baru merangkul para gali ini untuk membantu
pemenangan Gokar sebagai partai Pemerintah dalam Pemilu 1982.
Seolah-olah tindakan pembunuhan dan penembakan (Petrus) terhadap para gali tanpa proses
pengadilan adalah legal dan dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, ironisnya para pelaku
Petrus ini adalah aparat militer yang berpakaian sipil tanpa mengenakan identitas kesatuan
resminya. Berdasarkan pengakuan keluarga korban dan laporan media masa saat itu, dalam
melakukan operasi pembunuhan para gali ini, seringkali aparat militer atau pelaku Petrus
menggunakan penutup kepala atau topeng, tanpa dapat dikenali sosok dan wajahnya oleh
keluarga korban bahkan oleh media massa.
Ketiga dampaknya bagi masyarakat luas, pelaku pembunuhan masal atau Petrus terhadap
para gali atau pria bertato ini, pada akhirnya menimbulkan teror sosial tersendiri bagi
masyarakat luas. Banyak orang pada saat itu “menyamakan” tindakan Penguasa Orde baru
ini, dengan peristiwa G.30.S tahun 1965. Dimana peristiwanya didahului dengan
pembunuhan atas tujuh Jenderal Angkatan Darat, yang kemudian atas nama korban,
kemanusiaan, keamanan, dan ketertiban negara maka Angkatan Darat yang dipimpin oleh
Jenderal Soeharto kemudian melakukan tindakan, yaitu teror, penangkapan, dan pembunuhan
masal atas anggota dan simpatisan PKI di hampir seluruh Indonesia, juga orang-orang yang
dicurigai terlibat dalam G.30.S atau organisasi masa yang berkaitan dengan PKI. Menurut
Siegel ada kesamaan pola dan modus yang hampir sama, dimana mayat korban dicampakan
di jalan-jalan dan tempat umum. Tujuan mencampakan mayat-mayat ini tentu saja menjadi
sebuah teror sosial yang luas bagi masyarakat.
Peristiwa petrus yang terjadi pada pertengahan tahun 1983 hingga tahun 1984, tentu saja
merupakan catatan peristiwa kemanusiaan yang kelam bagi sejarah moderen bangsa
Indonesia. Tampaknya dalam buku ini James T.Siegel ingin mengingatkan kepada kita,
9

Ibid. hlm : 153.
Ibid, hlm : 155.

10

8

bahwa proses pembangunan sebuah negara bangsa atau nation state di Indonesia tidaklah
mengalami sebuah proses yang mulus tanpa melalui luka-luka bagi rasa kemanusiaan kita.
Onak dan duri dari berbagai peristiwa dimasa lalu, telah banyak menyertai perjalanan sejarah
bangsa Indonesia moderen sampai hari ini. Epos besar peristiwa kekalahan dan kemenangan
rakyat Indonesia dalam menegakan sebuah negara bangsa yang lebih beradab telah mewarnai
catatan sejarah negeri ini.
Tentunya buku yang berjudul “Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Poitik dan
Kriminalitas”, yang ditulis oleh James T.Siegel seorang etnografer berkebangsaan Amerika
Serikat ini, bisa menjadi sebuah pembelajaran penting dan berharga bagi kita. Tentang
bagaimana membaca realitas masyarakat Indonesia pada masa lalu, hari ini dan dimasa yang
akan datang menjadi lebih baik lagi.
Jogja, Awal tahun 17 Januari 2014.

Daftar Bacaan :
1. James T.Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Poitik dan Kriminalitas,
Yogyakarta : LkiS, Tahun 2000.
2. Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan (1965-1966), Jakarta : Kepustakaan Pupuler Gramedia, Tahun 2000.
3. Data KPU, Hasil Pemili 1977 option=com_content&task=view&id=41

1997

: http://www.kpu.go.id/index.php?

4. Berdikari Online : http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20130509/bungkarno-revolusi-indonesia-menuju-sosialisme.html

9

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0

Peranan Hubungan Masyarakat (Humas) Mpr Ri Dalam Mensosialisasikan Empat Pilar Bangsa Tahun 2014

4 126 93

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Perancangan Logo Ulang Tahun Kota Cimahi Ke Delapan Di Pemerintah Kota Cimahi

1 42 1