KEBIJAKAN PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA (1)
KEBIJAKAN PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
(Studi di Kota Bandar Lampung)
Oleh:
Andreas Tri Wibowo
(0816041015)
Dian Kumala Sari
(0816041025)
Andrika Ferryawan
(0856041005)
Merlianawatii
(0856041023)
Nurul Qhalifah
(0856041029)
Rendi Haidir
(0856041035)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2010
1
DAFTAR ISI
I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ……………………………………
b. Rumusan masalah ………………………………
c. Tujuan ...………………………………………. …..
d. Kegunaan Penelitian ……………………………..
1
4
4
4
TINJAUAN PUSTAKA
a. Tinjauan tentang Kebijakan Publik ………………
6
METODE PENELITIAN
a. Tipe Penelitian …………………………………….
b. Focus penelitian……………………………………
c. Lokasi Penelitian ………………………………….
d. Jenis Data ………………………………………….
12
12
13
14
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
a. Gambaran umum Pasar Bambu Kuning ………..
b. Gambaran umum Dinas dan Instansi yang
berhubungan dengan penataan PKL …………….
16
16
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………….
19
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan …………………………………………….
b. Saran …………………………………………………...
34
35
DAFTAR PUSTAKA
2
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah.
Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk
membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan
kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan
bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara
masyarakat dengan pemerintah sehingga kebijakan tidak bersifat satu
arah.
Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada
mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat
diterima oleh seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu
justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini
dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam memberdayakan para
pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada ketertiban
dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para
pedagang kaki lima.
Pembangunan adalah suatu proses perubahan tanpa henti yang
merupakan kemampuab dan perbaikan kea rah tujuan yang ingin dicapai.
Pembangunan juga merupakan salah satu cirri khas pada Negara yang
berkembang. Pembangunan yang kini sedang berkembang dan terus
menerus dilaksanakan di berbagai sector, kesemuanya ini telah menjadi
program pemerintah dalam menuju pembangunan nasional, sebagaimana
hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia yang
seutuhnya, yang diartikan untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa strategi pembangunan
ditekankan kepada perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia agar
lebih merata dan sekaligus ditunjukkan pula untuk mencapai tingkat
pertumbuhan sosial ekonomi yang memadai. Salah satu sector yang
penting dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah
pembangunan di sector informal.
Sector informal merupakan pekerjaan alternative yang dipilih oleh migrant
di perkotaan demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pada
umumnya merupakan jenis pekerjaan yang padat karya. Dalam artian
bahwa tidak diperlukan pendidikan yang tinggi, tidak diperlukan
keterlampilan khusus dan modal yang besar, karena tidak adanya
kepastian hasil yang diperoleh dan kepastian keberlangsungan yang
diperoleh, serta pendapatan yang diperoleh relative kecil,
Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian
pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu
lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata
ruang kota yang kacau. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus
besikap arif dalam menentukan kebijakan.
PKL sendiri memiliki banyak makna, ada yang mengatakan term “PKL”
3
berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar barang dagangannya
dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian jika ditambah dengan
sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima sehingga timbullah
julukan pedagang kaki lima. Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai
PKL sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang
lebarnya lima kaki (5feet ) dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang
memaknai PKL dengan orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang
dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dan dilakukan secara
tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau
pusat-pusat keramaian.
Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada
aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur
mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi
berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan
sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara
motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak
teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah
atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya
kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu
barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya
tidak merugikan konsumen.
Sebenarnya sudah sejak lama pihak pemerintah berusaha menertibkan
PKL, tetapi persoalan yang ada belum juga terselesaikan. Para PKL tetap
ngotot untuk berjualan di temapt-tempat keramaian. Walaupun sudah ada
peraturan dan kesepakatan antara pihak peamerintah dan para PKL, akan
tetapi hal tersebut kurang diindahkan sehingga jumlah PKL terus
meningkat. Upaya tegas dan sejumlah kebijakan baru perlu diberlakukan
agar penertiban PKL dapat diwujudkan.
Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama di kota-kota besar
menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi
pemerintah kota. Pedagang kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak
yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota.
Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh PKL adalah seringnya
PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya
kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil maupun
kerugian non materil.
Keberadaan PKL menjadi hal yang paling penting bagi pemerintah untuk
segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran terhadap
keberadaan PKL menuntut pemerintah untuk segera mencarikan tempat
atau alternatif lokasi bagi para PKL untuk menjalankan usahanya. Jika
pemerintah tidak mampu untuk mencarikan solusi tentang keberadaan PKL
tersebut, artinya pemerintah secara tidak langsung menelantarkan
masyarakatnya serta mematikan usaha dari masyarakat untuk bagaimana
mempertahankan hidupnya. Pemerintah harus segera menyelamatkan
keberadaan PKL tersebut.
Melalui penelitian ini penulis mengajak semua elemen masyarakat untuk
turut serta mendesak pemerintah agar segera mencari solusi untuk
4
menyelamatkan keberadaan dari PKL tersebut. Permasalahan PKL
menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi
pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain
PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Namun, mengingat
bahwa kontribusi PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat.
Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi
tertentu.
Implementasi kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang
rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan dalam hal ini relokasi, relokasi tersebut adalah pemerintah
berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan
dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota
yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan
PKL untuk menopang ekonomi daerah.
Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi
aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada
kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut
hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat
menarik restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah
dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain:
1) Pedagang kaki lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan
berupa kios-kios
2) Kios-kios tersebut disediakan secara gratis
3) Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4) Bagi pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah
keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi
tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan
PKL. Karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah,
pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu,
pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran,
bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa
telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani
keberadaan PKL. Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik
bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki
lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi
penolakan terhadap rencana relokasi ini.
Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada
kepentingan dalam kebijakan ini yaitu:
5
1) Dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak
sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan.
Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikuts ertakan atau dilibatkannya
perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep
relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerinyah hanya
terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi serta Dinas Pengelolaan
pasar
2) Adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang masalah
antara pemerintah dengan PKL tanpa disertai adanya proses
komunikasi timbal balik diantara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka yang manjadi masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki
Lima di Kota Bandar Lampung?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Kebijakan Penanganan
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan dan menganalisisi Kebijakan Penanganan Pedagang
Kaki Lima di Kota Bandar Lampung.
2.
Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini secara komprehensif berfungsi sebagai filter dalam
memformulasikan produk keilmuan baik dalam tataran teoritis, akademis,
maupun praktis. Oleh karena itu kegunaan penelitian dapat diuraikan
sebagai berikut:
1.
2.
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya
pengetahuan Ilmu administrasi Negara khususnya dalam studi
implementasi kebijakan publik.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan nantinya menjadi salah
satu referensi bagi pengembangan ide mahasiswa jurusan Ilmu
6
Administrasi Negara dalam melakukan penelitian dengan tema atau
masalah yang serupa.
3.
Sasaran Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan atau referensi tambahan bagi para pengambil kebijakan
dalam upaya melakukan pemberdayaan masyarakat untuk
penanggulangan penataan pedagang kaki lima.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
7
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik
1. Definisi Kebijakan Publik
Terdapat banyak literature ilmiah yang telah menyajikan definisi tentang
kebijakan public (public plicy). Masing-masing ahli memberikan penekanan
yang berbeda-beda dalam mendefinisikan makna kebijakan public tersebut.
Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang
yang berbeda-beda. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pada
penggunaan pendekatan dan model kebijakan public itu sendiri sehingga
akhirnya menemukan juga bagaimana kebijakan publik tersebut
didefinisikan.
Namun demikian, beberapa ada pula yang memiliki kesamaan pendapat
dengan Thomas R. dye (1978). Dye mendefinisikan kebijakan public
sebagai whatever government choose to do or not to do (apa pun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Dye mengatakan
bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada
tujuan dan kebijaksanaan Negara itu harus meliputi semua tindakan
pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau
pejabat pemerintah saja. Sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah
pun termasuk kebijaksanaan Negara. Sebab hal tersebut akan mempunyai
pengaruh atau dampak yang sama besarnya dengan sesuatu yang
dilakukan oleh pemerintah (Thoha, 1997:60).
Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari programprogram pemerintah, yang menurut Edward III dan Sharkansky dapat
ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-undangan
atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa
program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Kebijaksanaa Negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (Islamy,
2001:19).
Menurut David Easton dalam Nugroho (2009:47) mendefinisikan
kebijakan sebagai akibat aktifitas pemerintah (the impact of government
activity). Menurut Carl I. Friedrich dalam Nugroho (2009:48)
mendefinisikannya sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan
ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut
ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan
yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan public adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah pembangunan tertentu atau mencapai tujuan pembangunan
tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun
implementasinya dengan menggunakan instrumen tertentu.
Sifat umum Kebijakan public:
Mencakup wawasan yang luas
Menjangkau jangka waktu yang panjang
8
Mengandung resiko yang besar
Melibatkan banyak pihak
Jadi, kebijakan public disebut pula serangkaian keputusan yang diambil
dan tindakan yang dilakukan oleh institusi public (instansi atau badanbadan pemerintah) bersama-sama dengan aktor-aktor politik dalam rangka
menyelesaikan persoalan-persoalan public demi kepentingan seluruh
mayarakat.
Kebijakan otonomi daerah menyebabkan
berkembang pada level local, seperti:
Persoalan penertiban PKL
Penyediaan air bersih
Penambangan liar
Retribusi parkir
Penggunaan lahan/tata ruang wilayah
Dan lain-lain.
isu-isu
kebijakan
juga
Kebijakan public dipandang sebagai fenomena yang kompleks, karena:
Terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat
umlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu dan organisasi
Sering menjadi konsekuensi dari kebijakan sebelumnya dan
Seringkali dihubung-hubungkan erat dengan keputusan-keputusan
lainnya.
Ciri-ciri kebijakan public, yaitu
Setiap kebijakan public pasti ada tujuannya
Suatu kebijakan public tidak berdiri sendiri/terpisah dari kebijakan
yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam
masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan
penegakkan hukum
Kebijakan public merupakan apa yang dilakukan pemerintah, bukan
apa yang ingin atau akan dilakukan pemerintah
Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan
untuk memaksa masyarakat mematuhinya.
Unsur-unsur dalam kebijakan public, yaitu
Tujuan
Masalah
Tuntutan
Dampak
Instrumen.
Sarana (instrumen) kebijakan meliputi:
- Kekuasaan
- Insentif
- Pengembangan kemampuan
- Perubahan kebijakan itu sendiri.
9
Berbagai isu penting menyangkut kebijakan public:
1. Siapa stakeholders yang terlibat
2. Bagaimana proses perumusan kebijakan dilakukan
3. Bagaimana implementasi dilakukan
4. Apa hasil-hasil kebijakan
5. Apakah hasil-hasil kebijakan mampu mencapai tujuan kebijakan,
termasuk di dalamnya memuaskan nilai-nilai yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Secara umum, ada 3 penyebab kegagalan kebijakan (Policy Failure):
Bad Policy: sejak awal kebijakan itu jelek.
- Dirumuskan secara sembrono
- Tidak didukung oleh informasi yang memadai
- Alasan yang keliru atau asumsi-asumsi dan harapanharapan yang tidak realistis
Bad Execution: kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara
efektif
Bad Luck: kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi
efektivitas implementasi sehingga tidak seorangpun perlu
disalahkan.
Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses imlementasi:
Kejelasan dan konsistensi tujuan
Adanya teori kausal yang memadai ketepatan alokasi sumber daya
Keterpaduan hierarki dalam dan antar lembaga pelaksana
Aturan-aturan keputusan
Rekruitmen pejabat pelaksana
Akses formal pihak luar.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Implementasi kebijakan Publik:
Perilaku dari lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan
yang bertanggungjawab atas suatu program berikut pelaksanaanya
terhadap kelompok-kelompok sasaran
Berbagai jaringan kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang
langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku
berbagai pihak yang terlibat dalam program
Dampak (yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan)
terhadap program tersebut.
Menurut George C. Edward III, implementasi meliputi:
1) Perencanaan
2) Pendanaan
3) Pengorganisasian
10
4) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai
5) Negosiasi dan lainnya.
Untuk mendefinisikan tentang masalah kebijakan kita harus merujuk pada
definisi dari kebijakan publik itu sendiri seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masalah kebijakan merupakan sebuah kesenjangan dari implementasi
sebuah kebijakan di dalam masyarakat. Terjadinya ketidakserasian antara
isi dari kebijakan terhadap apa yang terjadi di lapangan merupakan
masalah dari kebijakan tersebut.
Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada
aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur
mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi
berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan
sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara
motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak
teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah
atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya
kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu
barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya
tidak merugikan konsumen.
Masalah kemacetan, sejatinya bukanlah permasalahan sektoral lagi,
melainkan menjadi bagian dari beragam permasalahan kota yang saling
terkait satu dengan lainnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab
timbulnya kemacetan di Bandar Lampung.
Beberapa faktor penyebab kemacetan di Bandar Lampung, di antaranya
pertama daya tampung ruas jalan yang overload dengan jumlah kendaraan
yang lewat. Beberapa jalan di Bandar Lampung sebenarnya tidak mampu
lagi menampung aktivitas kendaraan pada jam-jam puncak.
Selain daya tampung ruas jalan, beberapa traffic light yang sudah tidak
akurat lagi (kurang berfungsi) turut menjadi penyebab meningkatnya angka
kemacetan di Bandar Lampung. Faktor lainnya yang menyumbang angka
kemacetan terbesar yaitu pedagang kaki lima (PKL). Tak bisa dielakkan
aktivitas PKL, khususnya yang ada di sekitar Jalan Kartini dan Raden Intan
(jalan-jalan di pusat kota) yang menggunakan badan jalan ikut
menyumbang kemacetan. Kemacetan terjadi di Jalan Kartini, Jalan Bukit
Tinggi, Jalan Batu Sangkar, dan Jalan Imam Bonjol. Keempat jalan itu
dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), pejalan kaki, becak, dan sepeda motor.
Kemacetan tersebut disebabkan banyaknya kendaraan pribadi yang
menuju ke pasar tradisional paling populer di Bandar Lampung tersebut
secara bersamaan.
Pedagang kaki lima di jalan kartini merupakan salah satu usaha di sector
informal yang bergerak di daerah perkotaan, yang memilliki karakteristik
kegiatan usaha/cara kerja pada umumnya kurang terorganisir, tidak
memiliki izin usaha, tidak tentu lama jam kerja, masih bergerombol,
modalnya relative kecil, lebih bertumpu pada kemampuan individual. Jalan
kartini ini merupakan salah satu sarana yang penting bagi PKL dalam
11
melakukan aktivitas usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup
yang sejahtera, baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Tata ruang kota yang menjadi acuan untuk pembangunan sistem
tranportasi perkotaan jarang dijadikan sebagai bahan rujukan bersama.
Penyusunan rencana kota cenderung tak banyak melibatkan masyarakat
atau kurang aspiratif sehingga kota kehilangan visi pengembangannya.
Kota Bandar Lampung dibangun cenderung bagaimana kepentingan
kepala daerahnya, baik Wali kotanya maupun gubernurnya. Akibatnya,
kota sangat rentan terhadap tekanan kepentingan modal (kapital). Faktor
lain yang harus dibenahi adalah lemahnya kesiapan kelembagaan dan
tumpang tindihnya kepentingan masing-masing instansi. Selain itu,
kepemimpinan dalam pengelolaan sistem transportasi perkotaan menajdi
sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Biaya
pembangunan transportasi perkotaan yang di korupsi sudah “jamak”
dilakukan di negeri ini sehingga kualitas dan kuantitasnya sangat jauh dari
yang diharapkan.
Kata kunci untuk membangun sistem transportasi perkotaan yang baik
sehingga tidak menimbulkan masalah kemacetan adalah apakah
pembangunannya akan membantu memecahkan persoalan sosial ekonomi
masyarakat hingga masalah hak asasi manusianya, atau hanya menambah
beban baru dengan cara meminggirkan mereka. Harapan kita bersama
semoga kelemahan-kelamahan tersebut tidak menjadi celah untuk
memunculkan pola tindak pragmatis guna kepentingan sekelompok orang
atau atas nama kepentingan umum.
Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau
menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami
oleh pemerintah di kota-kota besar. Sejak terjadinya krisis ekonomi,
pembangunan perekonomian daerah dan pengembangan wilayah sebagai
upaya peningkatan pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan
antar daerah mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pemanfaatan
sumber daya alam, ketersediaan modal, kemitraan pemerintah, masyarakat
dan dunia usaha.
Seiring dengan perkembangan Daerah Perkotaan dan adanya
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kurangnya ketersediaan lapangan
kerja dan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak, sehingga banyak
masyarakat bawah mengambil alternatif untuk berprofesi sebagai PKL.
Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun
ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi,
tidak berkembangnya usaha–usaha di sektor riil yang pada akhirnya
menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini
diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur.
Yang menjadi perhatian kita, seandainya pemerintah punya komitmen yang
kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana
khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru
ditempat lain. Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi
karena dianggap illegal. Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga
12
negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas
berkarya, berserikat dan berkumpul. Jadi yang terkena dampak dari
adanya PKL yaitu para masyarakat pengguna jalan dan mengurangi
keindahan tatanan jalan perkotaan maupun di desa.
Menurut Wirisardjono bahwa PKL adalah kegiatan sector marginal (kecilkecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun
penerimanya.
b. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering
dikatakan”liar”)
c. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil
dan diusahakan dasar hitung harian
d. Pendapatan mereka rendah dan tak menentu
e. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan keterkaitan dengan usahausaha yang lain
f. Umumnya dilakukan untuk dan melayani golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah.
Selain itu menurut Suherman bahwa ciri-ciri PKL sebagai berikut:
a. Kegiatan usaha tidak terorganisir
b. Tidak memiliki Surat Izin Usaha
c. Tidak teratur dalam kegiatan usaha.
Pemkot sendiri mengaku telah melakukan pendataan, penataan,
pemberian modal bergulir hingga pelatihan kerja melalui Dinas Koperasi
dan Sektor Informal.
Melihat kenyataan di lapangan, upaya Pemkot dalam penataan PKL
ternyata diangggap beberapa kalangan masih terkesan setengahsetengah. Akibatnya, upaya penertiban seringkali berujung pada bentrokan
dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat
lainnya, tidak jarang para PKL pun justru melakukan unjuk rasa menghujat
kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk
masyarakat miskin.
III. METODE PENELITIAN
13
A. Tipe penelitian
Dalam penelitian ini tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian
deskriptif yaitu tipe penelitian yang memusatkan perhatian pada masalahmasalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau
masalah-masalah yang bersifat actual dengan menggambarkan fakta-fakta
tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, yang kemudian
diiringi dengan interpretasi rasional. ( Hadari Nawawi; 1983 ).
Menurut M. Nazir (1884), tipe penelitian deskriptif:
Tipe penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
berpengaruh dari suatu fenomena.
Penelitian deskriptif secara umum bertujuan untuk:
a. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala
yang ada
b. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek
yang berlaku
c. Membuat perbandingan atau evaluasi
d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
B. Focus Penelitian
Pentingnya fakus penelitian dalam penelitian kualitatif ialah untuk
membatasi studi dan membatasi bidang inquery. Tanpa adanya proses
penelitian maka peneliti akan terjebak pada melimpahnya volume data
yang diperolehnya di lapangan. Karena itu, focus penelitian memiliki
peranan penting dalam memandu dan mengarahkan jalannya penelitian.
Melalui focus penelitian ini suatu informasi di lapangan dapat dipilah-pilah
sesuai konteks permasalahan. Sehingga rumusan masalah dan focus
penelitian saling terkai, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan
penentuan focus penelitian meskipun dapat berubah dan berkurang sesuai
dengan data yang ditentukan di lapangan.
Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yakni Implementasi
Kebijakan Penataan PKL di pasar bambu Kuning Kota Bandar Lampung
maka focus penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Proses Pelaksanaan Penataan PKL di pasar bambu Kuning Kota
Bandar Lampung: yang akan dilihat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam penataan PKL di Pasar Bambu kuning selama
tahun 2006
14
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan implementasi kebijakan:
dilihat dari kontens (isi) dan konteks (lingkungan) imlementasi kebijakan
penataan PKL yakni:
a. Isi dari kebijakan penataan PKL, dilihat dari:
1) Pihak yang berkepentingan
2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh dari kebijakan penataan PKL
3) Jangkauan perubahan yang diharapkan
4) Pelaksana-pelaksana kebijakan penataan PKL
5) Sumber-sumber yang dapat disediakan
6) Letak pengambilan keputusan
b. Konteks (lingkungan) implementasi kebijakan penataan PKL, dilihat
dari:
1) Kekuasaan dan strategi-strategi para aktor yang terlibat
2) Karakteristik lembaga (rezim)
3) Kepatuhan dan daya tanggap
C. Lokasi Penelitian
Menurut Moleong (2004) cara terbaik dalam penentuan lokasi adalah
dengan mempertimbangkan teori substantive dan menjajaki lapangan
untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Sementara itu keterbatasan geografi dan praktis seperti waktu, biaya,
tenaga juga perllu dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi
penelitian.
Penelitian ini diadakan di pasar Bambu Kuning Kota Bandar lampung,
sedangkan situs dalam penelitian ini adalah lokasi di sekitar pasar Bambu
kuning yang terdapat aktivitas PKL.
Adapun alasan yang melatarbelakangi peneliti memilih lokasi ini karena:
1.
2.
3.
Pasar Bambu Kuning merupakan lokasi yang menjadi tahap awal
dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima
pemerintah kota Bandar lampung periode 2005-2010, sehingga dari
pelaksanaan penataan PKL di pasar Bambu Kuning dapat dikaji
sebagai bahan informasi dan saran pada pemerintah dalam
memperbaiki pelaksanaan penataan PKL pada lokasi-lokasi lainnya.
Pasar Bambu Kuning merupakan lokasi yang memilki kepadatan PKL
cukup besar bila dibandingkan dengan lokasi-lokasi lainnya.
Penataan pasar Bambu Kuning ini telah beberapa kali diupayakan
oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, namun penataan yang
dijalankan selalu gagal dan belum efektif dilaksanakan.
Selain di pasar Bambu Kuning, untuk memperoleh data-data secara
lengkap mengenai kebijakan penataan PKL, peneliti juga melakukan
penelusuran data ke Dinas dan instansi terkait yang memiliki kewenangan
dalam penataan PKL. Untuk mempermudah proses pengambilan data
tersebut, peneliti hanya melakukan penelusuran di Dinas Pasar dan Dinas
Tata Kota dalam pelaksanaan kebijakan penataan PKL
.
15
D. Jenis Data
Jenis data pada pelaksanaan penelitian ini menggunakan data sekunder,
yaitu sebagai berikut
1. Data sekunder
Merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang atau
penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh
dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu. Data
sekunder disebut juga data yang tersedia. Pada penelitian ini data
sekunder berupa hasil riset peneliti sebelumnya yang mengangkat masalah
tentang PKL dan implementasi kebijakan, hasil riset mengenai dampak
PKL tethadap kemacetan lalu lintas, berita mengenai situasi terbaru
pelaksanaan penataan PKL di Kota Bandar Lampung (surat kabar), berita
dari situs internet, dan literature-literature lainnya yang diperoleh dari
kepustakaan mengenai ilmu kebijakan dan sector informal.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang kengkap, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya, penulis mempergunakan
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini pengumpulan data yang digunakan yaitu metode
studi kepustakaan. Berbagai sumber bacaan, terutama artikel dari
jurnal-jurnal pada beberapa situs internet, menjadi bahan rujukan
penulis dalam penulisan makalah ini. Penulis juga mengumpulkan data
dari sumber-sumber yang telah ada baik itu dari laporan-laporan
peneliti terlebih dahulu serta menemukan berbagai referensi yang
berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan
masalah PKL.
3. Analisis Data
Setelah mendapatkan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka
langkah selanjutnya mengolah data yang terkumpul dengan menganalisis
data, mendeskripsikan data, serta mengambil kesimpulann susunn kata
dan kalimat sebagai ja. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan
menggunakan teknis analisis data kualitatif, karena data yang diperoleh
merupakan keterangan-keterangan.
Menurut Nawawi dan Hadari dala penelitian kualitatif, analisa data
dilakukan secara terus menerus sejak awal dan selama proses penelitian
berlangsung dan data atau informasi yang diperoleh harus dianalisa,
berupa usaha menafsirkan untuk mengetahui maknanya serta dihubungkan
dengan masalah penelitian. Analisa kualitatif digunakan untuk
menjelaskan, menggambarkan dan memaparkan hasil penelitian dengan
jawaban yang tepat.
16
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data. Seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam data kualitatif, yaitu:
1. Reduksi data (Reduction Data), yaitu data yang diperoleh di lokasi
penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian laporan yang
lengkap dan terperinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum,
dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian
dicari tema atau polanya. Dalam penelitian ini, peneliti akan memilih dan
menyeleksi data sesuai dengan aspek-aspek yang berkaitan dengan
kebijakan penataan PKL di pasar Bambu Kuning, sebagaimana telah
dijabarkan pada definisi operasional, yakni mengenai konteks
pelaksanaan kebijakan PKL.
2. Penyajian Data (data display), untuk memudahkan peneliti melihat
gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti lebih banyak menyajikan data dalam bentuk
teks naratif serta uraian-uraian singkat.
3. Penarikan kesimpulan (concluting drawing) yaitu melakukan verifikasi
secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung.
Dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secar terus
menerus maka akan di peroleh kesimpulan yang bersifat “grounded”,
dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi
selama penelitian berlangsung.
IV.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pasar Bambu Kuning
17
1. Sejarah singkat pasar Bambu Kuning
Pasar Bambu Kuning merupakan salah satu pasar yang sudah dikenal
sejak lama oleh masyarakat Kota Bandar Lampung. Pada awalnya,
sekitar tahun 1957 lokasi pasar ini hanyalah sebuah pasar tempel
tradisional, yang tidak lebih dar pasar temple rakyat yang ada pada masa
sekarang ini. Pada tahun 1960-an setelah Lampung resmi menjadi
sebuah Provinsi dan memisahkan diri dari Sumatera Selatan, pasar ini
mulai dibangun secara permanen. Dimana, antara tahun 1962-1963 di
bangunlah sebuah gedung satu lantai yang digunakan untuk melakukan
transaksi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kondisi pasar Bambu Kuning yang semakin padat oleh para pedagang
sebagai akibat dari adanya peningkatan jumlah penduduk yang
menjalankan aktivitas di sector perdagangan, menyebabkan areal pasar
ini tidak lagi mampu menampung pedagang (over capacity).
2. Letak Pasar Bambu Kuning
Unit pasar Bambu Kuning terletak pada wilayah Tanjung Karang Pusat
yang merupakan pusat perbelanjaan dan perdagangan retail Kota Bandar
Lampung. Letaknya yang berada di tengah-tengah kota, menyebabkan
lokasi pasar ini sangat strategis bagi usaha bisnis dan perdagangan.
Secara geografis, pasar Bambu Kuning berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Imam Bonjol
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bukit Tinggi
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Batu Sangkar
d. Sebalah Timur berbatasan dengan gedung milik PT. Telkom
B. Gambaran umum Dinas dan instansi yang berhubungan dengan
penataan PKL
Cukup banyak Dinas dan Instansi yang terlibat dalam pelaksanaan
penataan PKL. Dinas dan instansi yang terlibat tersebut yaitu Dinas
pasar, Dinas Tata Kota, dan Satuan Polisi Pamong Praja yang terkait
dengan penertiban pedagang kaki lima.
1. Dinas Pasar
Dinas Pasar Kota Bandar Lampung sebagai unsur pelaksana
Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung dibentuk berdasarkan
Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2000 Tentang Pembentukan
Organisasi Dinas Daerah Kota Bandar Lampung dan Keputusan
Walikota Tentang Susunan Tata Kerja Dinas Pasar Kota Bandar
Lampung no. 21 Tahun 2001.
a. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pasar
18
Dinas pasar memilki tugas pokok dalam menyelenggarakan
kewenangan Pemerintah Daerah Kota di bidang pengelolaan
pasar, pembangunan pasar percontohan kelurahan penyediaan
tempat usaha bagi pedagang informal (PKL) berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan yang
ditetapkan oleh walikota.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Dinas Pasar mempunyai
fungsi dalam:
1) Perumusan pedoman petunjuk teknis serta kebijakan teknis di
bidang pengelolaan pasar
2) Penyusunan perencanaan dan program kerja Dinas
3) Pengelolaan pendapatan
4) Pengelolaan sarana dan prasarana
5) Pemberdayaan dan pembinaan pedagang serta penertiban,
pengendalian keamanan dan pengawasan pasar sesuai
dengan kebijakan yang ditetapkan Walikota dan peraturan
perundangan peraturan yang berlaku.
2. Dinas Tata Kota
Dinas Tata Kota Bandar Lampung merupakan salah satu bagian dari
organisasi perangkat daerah kota Bandar Lampung. Organisasi
Dinas Tata Kota dibentuk melalui Perda Kota No. 12 Tahun 2000
Tentang Pembentukan organisasi Dinas Daerah Kota Bandar
Lampung.
Proses penataan struktur organisasi Dinas tata Kota Bandar
Lampung sejak diterapkannya otonomi yang luas (sejak
ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Mengingat Kota Bandar Lampung adalah kota lintasan sehingga
memiliki dampak terhadap perekonomian local. Selain itu, kota ini
juga merupakan Ibu Kota Provinsi sehingga menjadi pusat kegiatan
Pemerintahan soaial dan politik, ekonomi serta kebudayaan. Dengan
demikian perlu di lakukan penataaninfrastruktur perkotaan, yang
secara fungsional dikelola oleh Dinas Tata Kota Bandar Lampung.
Proses penataan struktur organisasi Dinas Tata kota Bandar
Lampung, yang meliputi:
1. Identifikasi kebutuhan
2. Analisis kebutuhan
3. Penetapan rancangan struktur organisasi
4. Penataan struktur organisasi
5. Finalisasi (penetapan akhir draft struktur organisasi).
Dinas Tata Kota Bandar Lampung mempunyai tugas pokok untuk
melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah kota di bidang
Penyusunan rencana Tata Ruang Kota dan memberikan izin
pemanfaatan lahan, penetapan kebijaksanaan kota serta
melaksanakan penataan fisik bangunan, pengawasan, pengarahan
dan penertiban terhadap aktifitas dan atau kegiatan mendirikan
bangunan
berikut proses perizinannya serta memberikan izin
19
perkotaan, berupa penertiban Surat Izin Tempat Usaha (SITU), izin
bangunan (HO) dan perizinan perkotaan lainnya dalam rangka tertib
tata ruang kota, tertib bangunan, tertib lalu lintas kota dan tertib
administrasi. Perizinan perkotaan yang berwawasan lingkungan,
berestetika perkotaan dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung merupakan salah
satu perangkat daerah Kota Bandar Lampung yang pembentukannya
berdasarkan Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomer 68 tahun
2001, tentang susunan organisasi dan tata kerja Kantor Kesatuan
Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.
a.
Tugas Pokok dan Fungsi Satpol PP
Polisi Pamong praja memiliki tugas pokok membantu Walikota
dalam menyelenggarakan pembinaan ketentraman dan
ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah,
Keputusan Walikota dan ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku dan mengikat.
Untuk menyelenggarakan tugasnya tersebut, maka Satpol-pp
mempunyai fungsi:
1. Mengumpulkan, mendokumentasikan data ketentraman dan
ketertiban umum termasuk kejahatan dan tindak kriminal.
2. Memberikan izin dan rekomendasi keramaian umum.
3. Melakukan kegiatan umtuk menciptakan situasi dan kondisi
dalam rangka terwujudnya stabilitas kota.
4. Mengawasi dan mendata tentang perkembangan harga
Sembilan bahan pokok dan barang strategis lainnya.
5. Kordinator operasi ketertiban umum dan pengamanan kantor
walikota serta kegiatannya.
6. Pelaksanaan dan bimbingan serta penertiban terhadap
masyarakat yang melakukan tindakan yang dapat
mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
7. Pelaksanaan pelatihan keterampilan anggota Satpol-pp
8. Pelaksanaan urusan tata usaha kantor.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dilakukan pembahasan satu demi satu menurut focus
masalah yang telah ditentukan pada awal penelitian dan kemudian akan
mengaitkannya dengan teori-teori kebijakan public. Dalam penelitian ini,
peneliti akan mengkaji pelaksanaan penataan PKL di kota Bandar
20
Lampung pada tahun 2006, dengan menggunakan model implementasi
kebijakan dari Grindle sebagai pendekatan untuk memahami masalahmasalah yang berkembang pada saat pelaksanaan penataan PKL tersebut.
Model Implementasi kebijakan dari Grindle lebih menekankan pada makna
implementasi kebijakan sebagai proses administrasi dan politik, yaitu lebih
memperhitungkan realita-realita kekuasaan atas kemampuan kelompok
yang dominan dan berpengaruh. Implementasi kebijakan menurut Grindle
bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, implementasi kebijakan
juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa memperoleh apa
dari suatu kebijakan. Keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan
sangat ditentukan dari derajat implementability dari suatu kebijakan (yaitu
kemampuan kebijakan tersebut untuk diimplementasikan).
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Implementasi Kebijakan Public
yaitu
a. Perilaku dari lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang
bertanggungjawab atas suatu program berikut pelaksanaannya
terhadap kelompok-kelompok sasaran.
b. Berbagai jaringan kekuatan politik, sosial, dan ekonomi yang langsung
berpengaruh terhadap perilaku berbagai pihak yang terlibat dalam
program
c. Dampak (yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan) terhadap
program berikut.
Jadi, Implementasi Kebijakan adalah pelaksanaan dasar, misalnya dalam
bentuk undang-undang (articulation), namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan.
Implementasi menjadi penting karena kebijakan public itu pada dasarnya
dan seringkali dirumuskan/dinyatakan secara garis besar saja yang beris
tujuan/sasaran dan saran pencapaiannya. Kebijakan tanpa implementasi,
hanyalah berupa tumpukan berkas dan arsip yang tidak berguna.
Dengan menggunakan implementasi kebijakan dari Grindle, peneliti akan
mencoba melihat pola kebijakan yang diaplikasikan PemKot Bandar
Lampung dalam melakukan penataan PKL. Secara lebih mendalam model
implementasi kebijakan ini juga akan sangat membantu untuk melihat
apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan sudah
cukup mendukung pada tataran pelaksanaan kebijakan penataan PKL di
pasar Bambu Kuning kota Bandar Lampung.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam penelitian ini ada dua
hal yang menjadi focus penelitian, yaitu: 1) Proses pelaksanaan penataan
PKL di pasar Bambu Kuning kota Bandar Lampung pada tahun 2006 dan
2) faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Kedua hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini.
21
1. Proses Pelaksanaan pentaan PKL di pasar Bambu Kuning Kota
Bandar lampung pada tahun 2006
Pelaksanaan penataan PKL pada masa pemerintahan kota Bandar
Lampung
periode
2005-2010
dilakukan
dengan
merelokasi
( memindahkan) tempat usaha PKL dan membangun tempat usaha bagi
PKL pada lokasi yang layak (dalam arti tidak melanggar peraturan yang
berlaku). Pasar Bambu Kuning merupakan salah satu lokasi yang
menjadi target sasaran dari kebijakan penataan PKL pada tahun 2006.
Pelaksanaan penataan PKL di pasar ini pada dasarnya telah dilakukan
sejak bulan Agustus tahun 2005 melanjutkan upaya penataan PKL pada
masa pemerintahan sebelumnya (PJS Helmi Machmud) yang juga
berencana untuk memindahkan PKL di sekitar pasar Bambu Kuning ke
lantai 2 bangunan Bambu Kuning Plaza. Awal dari pelaksanaan
penataan PKL pada masa pemerintahan periode 2005-2010 dimulai
pada bulan Agustus 2005 dengan pembangunan tempat usaha bagi
PKL oleh pihak pengembang yakni PT. Senjaya Rejeki Mas yang
meliputi merenovasi lantai 2 dan penyediaan lapak-lapak bagi para PKL
di pintu masuk utara, selatan dan PKL yang berada dibawah tangga
poros dalam escalator.
Setelah tempat usah tersedia, pemerintah yang dalam hal ini adalah unit
pelaksana teknis Dinas pasar (UPTD) II pada tanggal 17 November
2005 mensosialisasikan rencana pemerintah yang akan menata PKL ke
lantai 2 dan lantai 3 Bambu Kuning Plaza. Rencana pemerintah dalam
penataan PKL tersebut ternyata tidak ditanggapi positif oleh PKL,
sehingga meskipun pemerintah telah mensosialisasikan rencana
penataan PKL dan berkali-kali memberikan tenggat waktu kepada para
PKL untuk pindah namun PKL masih tetap bertahan di lokasi awal
dimana mereka berjualan.
Adanya sikap resisten PKL tersebut kemudian disikapi oleh PemKot
Bandar Lampung dengan mengeluarkan surat edaran dari Walikota
No.188.42./1150/21/2005 yang berisi pemberitahuan mengenai batas
waktu (deadline) bagi para PKL yang berada di pintu masuk utara,
selatan dan di bawah tangga escalator untuk pindh ke lantai 2 Bambu
Kuning Plaza. akan tetapi batas waktu tersebu tetap tidak diindahkan
oleh para PKL sehingga langkah penertiban terpaksa dilakukan oleh
pemerintah pada tanggal 16 Desember 2005.
Hasil dari penataan PKl pasar Bambu Kuning pada akhir Desember
2005 tersebut pada akhirnya menyisahkan permasalahan. Banyak para
PKL yang tetap bertahan di lokasi awal, dan bahkan para PKL yang
telah direlokasi ke lantai 2 kembali lagi berdagang pada lokasi semula.
Ketidakberhasilan pelaksanaan penataan PKL pada tahun 2005
kemudian kembali disikapi oleh pemkot Bandar Lampung pada tahun
2006 dengan membentuk tim operasional penataan PKL yang bertugas
untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan penataan PKL.
Pelaksanaan penataan PKL di pasar Bambu Kuning pada tahun 2006
kemudian dipusatkan pada PKL yang berada di sekitar bahu jalan pasar
Bambu Kuning (yakni Jalan Imam Bonjol, Jalan Batu Sangkar, Jalan
22
Bukit Tinggi) dan PKL yang mengitari bangunan Bambu Kuning Plaza
(seperti area parkir barat dan timur). Untuk PKL yang berada di lokasilokasi tersebut telah disediakan tempat baru yakni di lantai 3 dan lahan
eks penjara (lahan baru).
Adapun lokasi-lokasi yang menjadi sasaran penataan PKL pasar Bambu
Kuning pada tahun 2006 dapat dilihat secara jelas pada tabel dibawah
ini.
Objek penataan PKL menempati lantai 3 Bambu Kuning Plaza
Bandar Lampung.
Lokasi PKL
I.
I.
Jumlah PKl
Menempati bahu jalan
1. Jln. Bukit tinggi
2. Jln. Batu sangkar
3. Jln. Imam Bonjol
Jumlah I
104
47
41
195
Mengitari bangunan BK
1. Sisi barat
- Selasar pasar
- Area parkir
11
52
2. Sisi timur
- Selasar selatan
- Area parkir
Jumlah II
14
68
145
Total
340
Sumber UPTD II Dinas Pasar mengenai objek penataan PKL menempati
lantai 3 Bambu Kuning Plaza Bandar Lampung.
Dalam proses pelaksanan penataan PKL, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antara lain kegiatan pensosialisasian informasi mengenai
rencana relokasi, membangun tempat usaha bagi PKL dan
menertibkannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berdasarkan rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya oleh tim operasional penataan PKL.
1. Pemberitahuan (sosialisasi) mengenai rencana relokasi
Sebelum melaksanakan relokasi PKL ke lokasi baru, pemerintah terlebih
dahulu melakukan sosialisasi mengenai rencana relokasi kepada para
PKL. Sosialisasi mengenai rencana penataan PKL ini dilakukan oleh UPTD
II selaku pengelola pasar Bambu Kuning dan juga dilakukan oleh pol PP
selaku pihak yang akan menertibkan PKL. Mengenai pelaksanaan
sosialisasi ini Kepala Seksi (Kasi) pembinaan petugas keamanan dan
ketertiban pasar mengatakan:
23
“sebelum melakukan relokasi, pemerintah terlebih dahulu melakukan
upaya persuasive dengan cara mengadakan dialog-dialog dan
pertemuan dengan para PKL dan dikemukakan lokasi dan tempattempat yang telah pemerintah tetapkan. Bila pertemuan tidak
memberikan suatu kesepakatan, maka kami baru mengeluarkan
surat edaran dari walikota Bandar Lampung, yang isinya meminta
para PKL untuk segera pindah.”
Kepala Seksi Kesamaptaan dan trantib Kantor Kesatuan Satpol PP juga
mengatakan hal yang sama:
“sebelum penataan PKL kami telah berupaya melakukan sosialisasi
baik secara lisan dan tertulis, secara lisan dan secara tertulis melalui
surat edaran sebanyak 3x pertama dari kasat Satpol PP, dari Sekda
dan ketiga dari Walikota.”
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan sosialisasi
dilakukan secara tertulis melaui surat edaran dan secara lisan melalui
pertemuan antara pemerintah dan PKL.
2. Pembangunan tempat usaha PKL
Pelaksanaan pembangunan tempat usaha dilakukan oleh pemerintah untuk
memberikan lokasi pengganti bagi PKL yang akan ditata. Adanya suatu
kesadaran
bahwa PKL tidak dapat diatasi dengan penggusuran
merupakan alasan yang melatarbelakangi pemkot Bandar Lampung untuk
menata PKL dan membangun tempat usaha di lokasi lain yang sesuai. Hal
ini sebagaimana diungkapkan olh kepala seksi (Kasi) pembinaan petugas
Keamanan dan ketertiban pasar:
“yang perlu ditekankan adalah bahwa kebijakan penataan PKL
bukanlah menggusur, tetapi menata PKL pada lokasi yang sesuai,
jadi berbeda dengan penggusuran seperti di daerah-daerah lainnya.
Kami sadar betul kalau PKL ditertibkan dengan cara kekerasan
malah tidak akan efektif, karena dari pengalaman-pengalaman
sebelumnya juga bisa dilihat, kalau PKL hanya ditertibkan malah
akan pindah ke lokasi lainnya lagi. Kami dari Pemerintah juga paham
bahwa PKL sangat butuh lokasi untuk berjualan, karena itu kami coba
mencarikan lokasi lain yang lebih representative supaya PKL dapat
melanjutkan usahanya.”
Mengenai upaya pembangunan tempat usaha bagi PKL, Kasubdin
Pengelolaan Pendapatan Dinas Pasar mengatakan:
“pembangunan tempat usaha merupakan bukti bahwa pemerintah
tidak akan begitu saja menelantarkan PKL. Jadi pada dasarnya para
PKL tidak perlu khawatir kalau mereka tidak akan bisa melanjutkan
usahanya, karena kami dari Pemerintah sudah menyiapkan tempat
usaha dan lokasi baru.”
Dari kedua pernyataan di atas dapat disimp
(Studi di Kota Bandar Lampung)
Oleh:
Andreas Tri Wibowo
(0816041015)
Dian Kumala Sari
(0816041025)
Andrika Ferryawan
(0856041005)
Merlianawatii
(0856041023)
Nurul Qhalifah
(0856041029)
Rendi Haidir
(0856041035)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2010
1
DAFTAR ISI
I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ……………………………………
b. Rumusan masalah ………………………………
c. Tujuan ...………………………………………. …..
d. Kegunaan Penelitian ……………………………..
1
4
4
4
TINJAUAN PUSTAKA
a. Tinjauan tentang Kebijakan Publik ………………
6
METODE PENELITIAN
a. Tipe Penelitian …………………………………….
b. Focus penelitian……………………………………
c. Lokasi Penelitian ………………………………….
d. Jenis Data ………………………………………….
12
12
13
14
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
a. Gambaran umum Pasar Bambu Kuning ………..
b. Gambaran umum Dinas dan Instansi yang
berhubungan dengan penataan PKL …………….
16
16
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………….
19
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan …………………………………………….
b. Saran …………………………………………………...
34
35
DAFTAR PUSTAKA
2
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah.
Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk
membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan
kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan
bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara
masyarakat dengan pemerintah sehingga kebijakan tidak bersifat satu
arah.
Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada
mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat
diterima oleh seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu
justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini
dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam memberdayakan para
pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada ketertiban
dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para
pedagang kaki lima.
Pembangunan adalah suatu proses perubahan tanpa henti yang
merupakan kemampuab dan perbaikan kea rah tujuan yang ingin dicapai.
Pembangunan juga merupakan salah satu cirri khas pada Negara yang
berkembang. Pembangunan yang kini sedang berkembang dan terus
menerus dilaksanakan di berbagai sector, kesemuanya ini telah menjadi
program pemerintah dalam menuju pembangunan nasional, sebagaimana
hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia yang
seutuhnya, yang diartikan untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa strategi pembangunan
ditekankan kepada perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia agar
lebih merata dan sekaligus ditunjukkan pula untuk mencapai tingkat
pertumbuhan sosial ekonomi yang memadai. Salah satu sector yang
penting dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah
pembangunan di sector informal.
Sector informal merupakan pekerjaan alternative yang dipilih oleh migrant
di perkotaan demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pada
umumnya merupakan jenis pekerjaan yang padat karya. Dalam artian
bahwa tidak diperlukan pendidikan yang tinggi, tidak diperlukan
keterlampilan khusus dan modal yang besar, karena tidak adanya
kepastian hasil yang diperoleh dan kepastian keberlangsungan yang
diperoleh, serta pendapatan yang diperoleh relative kecil,
Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian
pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu
lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata
ruang kota yang kacau. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus
besikap arif dalam menentukan kebijakan.
PKL sendiri memiliki banyak makna, ada yang mengatakan term “PKL”
3
berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar barang dagangannya
dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian jika ditambah dengan
sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima sehingga timbullah
julukan pedagang kaki lima. Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai
PKL sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang
lebarnya lima kaki (5feet ) dari trotoar atau tepi jalan. Ada pula yang
memaknai PKL dengan orang yang melakukan kegiatan usaha berdagang
dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dan dilakukan secara
tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas, berlokasi di tempat atau
pusat-pusat keramaian.
Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada
aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur
mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi
berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan
sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara
motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak
teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah
atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya
kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu
barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya
tidak merugikan konsumen.
Sebenarnya sudah sejak lama pihak pemerintah berusaha menertibkan
PKL, tetapi persoalan yang ada belum juga terselesaikan. Para PKL tetap
ngotot untuk berjualan di temapt-tempat keramaian. Walaupun sudah ada
peraturan dan kesepakatan antara pihak peamerintah dan para PKL, akan
tetapi hal tersebut kurang diindahkan sehingga jumlah PKL terus
meningkat. Upaya tegas dan sejumlah kebijakan baru perlu diberlakukan
agar penertiban PKL dapat diwujudkan.
Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama di kota-kota besar
menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi
pemerintah kota. Pedagang kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak
yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota.
Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh PKL adalah seringnya
PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya
kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil maupun
kerugian non materil.
Keberadaan PKL menjadi hal yang paling penting bagi pemerintah untuk
segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran terhadap
keberadaan PKL menuntut pemerintah untuk segera mencarikan tempat
atau alternatif lokasi bagi para PKL untuk menjalankan usahanya. Jika
pemerintah tidak mampu untuk mencarikan solusi tentang keberadaan PKL
tersebut, artinya pemerintah secara tidak langsung menelantarkan
masyarakatnya serta mematikan usaha dari masyarakat untuk bagaimana
mempertahankan hidupnya. Pemerintah harus segera menyelamatkan
keberadaan PKL tersebut.
Melalui penelitian ini penulis mengajak semua elemen masyarakat untuk
turut serta mendesak pemerintah agar segera mencari solusi untuk
4
menyelamatkan keberadaan dari PKL tersebut. Permasalahan PKL
menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi
pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain
PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Namun, mengingat
bahwa kontribusi PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat.
Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi
tertentu.
Implementasi kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang
rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan dalam hal ini relokasi, relokasi tersebut adalah pemerintah
berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan
dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota
yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan
PKL untuk menopang ekonomi daerah.
Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi
aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada
kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut
hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat
menarik restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah
dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain:
1) Pedagang kaki lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan
berupa kios-kios
2) Kios-kios tersebut disediakan secara gratis
3) Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4) Bagi pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah
keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi
tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan
PKL. Karena dengan adanya kios-kios yang disediakan pemerintah,
pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu,
pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran,
bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa
telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani
keberadaan PKL. Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik
bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki
lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi
penolakan terhadap rencana relokasi ini.
Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada
kepentingan dalam kebijakan ini yaitu:
5
1) Dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak
sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan.
Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikuts ertakan atau dilibatkannya
perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep
relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerinyah hanya
terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi serta Dinas Pengelolaan
pasar
2) Adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang masalah
antara pemerintah dengan PKL tanpa disertai adanya proses
komunikasi timbal balik diantara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka yang manjadi masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki
Lima di Kota Bandar Lampung?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Kebijakan Penanganan
Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan dan menganalisisi Kebijakan Penanganan Pedagang
Kaki Lima di Kota Bandar Lampung.
2.
Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandar Lampung.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini secara komprehensif berfungsi sebagai filter dalam
memformulasikan produk keilmuan baik dalam tataran teoritis, akademis,
maupun praktis. Oleh karena itu kegunaan penelitian dapat diuraikan
sebagai berikut:
1.
2.
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya
pengetahuan Ilmu administrasi Negara khususnya dalam studi
implementasi kebijakan publik.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan nantinya menjadi salah
satu referensi bagi pengembangan ide mahasiswa jurusan Ilmu
6
Administrasi Negara dalam melakukan penelitian dengan tema atau
masalah yang serupa.
3.
Sasaran Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan atau referensi tambahan bagi para pengambil kebijakan
dalam upaya melakukan pemberdayaan masyarakat untuk
penanggulangan penataan pedagang kaki lima.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
7
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik
1. Definisi Kebijakan Publik
Terdapat banyak literature ilmiah yang telah menyajikan definisi tentang
kebijakan public (public plicy). Masing-masing ahli memberikan penekanan
yang berbeda-beda dalam mendefinisikan makna kebijakan public tersebut.
Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang
yang berbeda-beda. Konsekuensi dari hal tersebut adalah pada
penggunaan pendekatan dan model kebijakan public itu sendiri sehingga
akhirnya menemukan juga bagaimana kebijakan publik tersebut
didefinisikan.
Namun demikian, beberapa ada pula yang memiliki kesamaan pendapat
dengan Thomas R. dye (1978). Dye mendefinisikan kebijakan public
sebagai whatever government choose to do or not to do (apa pun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Dye mengatakan
bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada
tujuan dan kebijaksanaan Negara itu harus meliputi semua tindakan
pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau
pejabat pemerintah saja. Sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah
pun termasuk kebijaksanaan Negara. Sebab hal tersebut akan mempunyai
pengaruh atau dampak yang sama besarnya dengan sesuatu yang
dilakukan oleh pemerintah (Thoha, 1997:60).
Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari programprogram pemerintah, yang menurut Edward III dan Sharkansky dapat
ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-undangan
atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa
program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Kebijaksanaa Negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah (Islamy,
2001:19).
Menurut David Easton dalam Nugroho (2009:47) mendefinisikan
kebijakan sebagai akibat aktifitas pemerintah (the impact of government
activity). Menurut Carl I. Friedrich dalam Nugroho (2009:48)
mendefinisikannya sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan
ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut
ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan
yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan public adalah cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah pembangunan tertentu atau mencapai tujuan pembangunan
tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun
implementasinya dengan menggunakan instrumen tertentu.
Sifat umum Kebijakan public:
Mencakup wawasan yang luas
Menjangkau jangka waktu yang panjang
8
Mengandung resiko yang besar
Melibatkan banyak pihak
Jadi, kebijakan public disebut pula serangkaian keputusan yang diambil
dan tindakan yang dilakukan oleh institusi public (instansi atau badanbadan pemerintah) bersama-sama dengan aktor-aktor politik dalam rangka
menyelesaikan persoalan-persoalan public demi kepentingan seluruh
mayarakat.
Kebijakan otonomi daerah menyebabkan
berkembang pada level local, seperti:
Persoalan penertiban PKL
Penyediaan air bersih
Penambangan liar
Retribusi parkir
Penggunaan lahan/tata ruang wilayah
Dan lain-lain.
isu-isu
kebijakan
juga
Kebijakan public dipandang sebagai fenomena yang kompleks, karena:
Terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat
umlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu dan organisasi
Sering menjadi konsekuensi dari kebijakan sebelumnya dan
Seringkali dihubung-hubungkan erat dengan keputusan-keputusan
lainnya.
Ciri-ciri kebijakan public, yaitu
Setiap kebijakan public pasti ada tujuannya
Suatu kebijakan public tidak berdiri sendiri/terpisah dari kebijakan
yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam
masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan
penegakkan hukum
Kebijakan public merupakan apa yang dilakukan pemerintah, bukan
apa yang ingin atau akan dilakukan pemerintah
Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan
untuk memaksa masyarakat mematuhinya.
Unsur-unsur dalam kebijakan public, yaitu
Tujuan
Masalah
Tuntutan
Dampak
Instrumen.
Sarana (instrumen) kebijakan meliputi:
- Kekuasaan
- Insentif
- Pengembangan kemampuan
- Perubahan kebijakan itu sendiri.
9
Berbagai isu penting menyangkut kebijakan public:
1. Siapa stakeholders yang terlibat
2. Bagaimana proses perumusan kebijakan dilakukan
3. Bagaimana implementasi dilakukan
4. Apa hasil-hasil kebijakan
5. Apakah hasil-hasil kebijakan mampu mencapai tujuan kebijakan,
termasuk di dalamnya memuaskan nilai-nilai yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Secara umum, ada 3 penyebab kegagalan kebijakan (Policy Failure):
Bad Policy: sejak awal kebijakan itu jelek.
- Dirumuskan secara sembrono
- Tidak didukung oleh informasi yang memadai
- Alasan yang keliru atau asumsi-asumsi dan harapanharapan yang tidak realistis
Bad Execution: kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara
efektif
Bad Luck: kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi
efektivitas implementasi sehingga tidak seorangpun perlu
disalahkan.
Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses imlementasi:
Kejelasan dan konsistensi tujuan
Adanya teori kausal yang memadai ketepatan alokasi sumber daya
Keterpaduan hierarki dalam dan antar lembaga pelaksana
Aturan-aturan keputusan
Rekruitmen pejabat pelaksana
Akses formal pihak luar.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Implementasi kebijakan Publik:
Perilaku dari lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan
yang bertanggungjawab atas suatu program berikut pelaksanaanya
terhadap kelompok-kelompok sasaran
Berbagai jaringan kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang
langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku
berbagai pihak yang terlibat dalam program
Dampak (yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan)
terhadap program tersebut.
Menurut George C. Edward III, implementasi meliputi:
1) Perencanaan
2) Pendanaan
3) Pengorganisasian
10
4) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai
5) Negosiasi dan lainnya.
Untuk mendefinisikan tentang masalah kebijakan kita harus merujuk pada
definisi dari kebijakan publik itu sendiri seperti yang telah dijelaskan di atas.
Masalah kebijakan merupakan sebuah kesenjangan dari implementasi
sebuah kebijakan di dalam masyarakat. Terjadinya ketidakserasian antara
isi dari kebijakan terhadap apa yang terjadi di lapangan merupakan
masalah dari kebijakan tersebut.
Maraknya PKL berbuntut pada munculnya berbagai persoalan. Ada
aggapan bahwa keberadaan PKL yang semrawut dan tidak teratur
mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan lingkungan. Lokasi
berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan
sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara
motor atau mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak
teratur juga sangat mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah
atau sampah. Selama ini para PKL belum sadar akan pentingnya
kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit diwujudkan. Mutu
barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga nantinya
tidak merugikan konsumen.
Masalah kemacetan, sejatinya bukanlah permasalahan sektoral lagi,
melainkan menjadi bagian dari beragam permasalahan kota yang saling
terkait satu dengan lainnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab
timbulnya kemacetan di Bandar Lampung.
Beberapa faktor penyebab kemacetan di Bandar Lampung, di antaranya
pertama daya tampung ruas jalan yang overload dengan jumlah kendaraan
yang lewat. Beberapa jalan di Bandar Lampung sebenarnya tidak mampu
lagi menampung aktivitas kendaraan pada jam-jam puncak.
Selain daya tampung ruas jalan, beberapa traffic light yang sudah tidak
akurat lagi (kurang berfungsi) turut menjadi penyebab meningkatnya angka
kemacetan di Bandar Lampung. Faktor lainnya yang menyumbang angka
kemacetan terbesar yaitu pedagang kaki lima (PKL). Tak bisa dielakkan
aktivitas PKL, khususnya yang ada di sekitar Jalan Kartini dan Raden Intan
(jalan-jalan di pusat kota) yang menggunakan badan jalan ikut
menyumbang kemacetan. Kemacetan terjadi di Jalan Kartini, Jalan Bukit
Tinggi, Jalan Batu Sangkar, dan Jalan Imam Bonjol. Keempat jalan itu
dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), pejalan kaki, becak, dan sepeda motor.
Kemacetan tersebut disebabkan banyaknya kendaraan pribadi yang
menuju ke pasar tradisional paling populer di Bandar Lampung tersebut
secara bersamaan.
Pedagang kaki lima di jalan kartini merupakan salah satu usaha di sector
informal yang bergerak di daerah perkotaan, yang memilliki karakteristik
kegiatan usaha/cara kerja pada umumnya kurang terorganisir, tidak
memiliki izin usaha, tidak tentu lama jam kerja, masih bergerombol,
modalnya relative kecil, lebih bertumpu pada kemampuan individual. Jalan
kartini ini merupakan salah satu sarana yang penting bagi PKL dalam
11
melakukan aktivitas usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup
yang sejahtera, baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Tata ruang kota yang menjadi acuan untuk pembangunan sistem
tranportasi perkotaan jarang dijadikan sebagai bahan rujukan bersama.
Penyusunan rencana kota cenderung tak banyak melibatkan masyarakat
atau kurang aspiratif sehingga kota kehilangan visi pengembangannya.
Kota Bandar Lampung dibangun cenderung bagaimana kepentingan
kepala daerahnya, baik Wali kotanya maupun gubernurnya. Akibatnya,
kota sangat rentan terhadap tekanan kepentingan modal (kapital). Faktor
lain yang harus dibenahi adalah lemahnya kesiapan kelembagaan dan
tumpang tindihnya kepentingan masing-masing instansi. Selain itu,
kepemimpinan dalam pengelolaan sistem transportasi perkotaan menajdi
sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Biaya
pembangunan transportasi perkotaan yang di korupsi sudah “jamak”
dilakukan di negeri ini sehingga kualitas dan kuantitasnya sangat jauh dari
yang diharapkan.
Kata kunci untuk membangun sistem transportasi perkotaan yang baik
sehingga tidak menimbulkan masalah kemacetan adalah apakah
pembangunannya akan membantu memecahkan persoalan sosial ekonomi
masyarakat hingga masalah hak asasi manusianya, atau hanya menambah
beban baru dengan cara meminggirkan mereka. Harapan kita bersama
semoga kelemahan-kelamahan tersebut tidak menjadi celah untuk
memunculkan pola tindak pragmatis guna kepentingan sekelompok orang
atau atas nama kepentingan umum.
Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau
menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami
oleh pemerintah di kota-kota besar. Sejak terjadinya krisis ekonomi,
pembangunan perekonomian daerah dan pengembangan wilayah sebagai
upaya peningkatan pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan
antar daerah mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pemanfaatan
sumber daya alam, ketersediaan modal, kemitraan pemerintah, masyarakat
dan dunia usaha.
Seiring dengan perkembangan Daerah Perkotaan dan adanya
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kurangnya ketersediaan lapangan
kerja dan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak, sehingga banyak
masyarakat bawah mengambil alternatif untuk berprofesi sebagai PKL.
Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun
ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi,
tidak berkembangnya usaha–usaha di sektor riil yang pada akhirnya
menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini
diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur.
Yang menjadi perhatian kita, seandainya pemerintah punya komitmen yang
kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana
khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru
ditempat lain. Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi
karena dianggap illegal. Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga
12
negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas
berkarya, berserikat dan berkumpul. Jadi yang terkena dampak dari
adanya PKL yaitu para masyarakat pengguna jalan dan mengurangi
keindahan tatanan jalan perkotaan maupun di desa.
Menurut Wirisardjono bahwa PKL adalah kegiatan sector marginal (kecilkecilan) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun
penerimanya.
b. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering
dikatakan”liar”)
c. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil
dan diusahakan dasar hitung harian
d. Pendapatan mereka rendah dan tak menentu
e. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan keterkaitan dengan usahausaha yang lain
f. Umumnya dilakukan untuk dan melayani golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah.
Selain itu menurut Suherman bahwa ciri-ciri PKL sebagai berikut:
a. Kegiatan usaha tidak terorganisir
b. Tidak memiliki Surat Izin Usaha
c. Tidak teratur dalam kegiatan usaha.
Pemkot sendiri mengaku telah melakukan pendataan, penataan,
pemberian modal bergulir hingga pelatihan kerja melalui Dinas Koperasi
dan Sektor Informal.
Melihat kenyataan di lapangan, upaya Pemkot dalam penataan PKL
ternyata diangggap beberapa kalangan masih terkesan setengahsetengah. Akibatnya, upaya penertiban seringkali berujung pada bentrokan
dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat
lainnya, tidak jarang para PKL pun justru melakukan unjuk rasa menghujat
kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk
masyarakat miskin.
III. METODE PENELITIAN
13
A. Tipe penelitian
Dalam penelitian ini tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian
deskriptif yaitu tipe penelitian yang memusatkan perhatian pada masalahmasalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau
masalah-masalah yang bersifat actual dengan menggambarkan fakta-fakta
tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, yang kemudian
diiringi dengan interpretasi rasional. ( Hadari Nawawi; 1983 ).
Menurut M. Nazir (1884), tipe penelitian deskriptif:
Tipe penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
berpengaruh dari suatu fenomena.
Penelitian deskriptif secara umum bertujuan untuk:
a. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala
yang ada
b. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek
yang berlaku
c. Membuat perbandingan atau evaluasi
d. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
B. Focus Penelitian
Pentingnya fakus penelitian dalam penelitian kualitatif ialah untuk
membatasi studi dan membatasi bidang inquery. Tanpa adanya proses
penelitian maka peneliti akan terjebak pada melimpahnya volume data
yang diperolehnya di lapangan. Karena itu, focus penelitian memiliki
peranan penting dalam memandu dan mengarahkan jalannya penelitian.
Melalui focus penelitian ini suatu informasi di lapangan dapat dipilah-pilah
sesuai konteks permasalahan. Sehingga rumusan masalah dan focus
penelitian saling terkai, karena permasalahan penelitian dijadikan acuan
penentuan focus penelitian meskipun dapat berubah dan berkurang sesuai
dengan data yang ditentukan di lapangan.
Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yakni Implementasi
Kebijakan Penataan PKL di pasar bambu Kuning Kota Bandar Lampung
maka focus penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Proses Pelaksanaan Penataan PKL di pasar bambu Kuning Kota
Bandar Lampung: yang akan dilihat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam penataan PKL di Pasar Bambu kuning selama
tahun 2006
14
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan implementasi kebijakan:
dilihat dari kontens (isi) dan konteks (lingkungan) imlementasi kebijakan
penataan PKL yakni:
a. Isi dari kebijakan penataan PKL, dilihat dari:
1) Pihak yang berkepentingan
2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh dari kebijakan penataan PKL
3) Jangkauan perubahan yang diharapkan
4) Pelaksana-pelaksana kebijakan penataan PKL
5) Sumber-sumber yang dapat disediakan
6) Letak pengambilan keputusan
b. Konteks (lingkungan) implementasi kebijakan penataan PKL, dilihat
dari:
1) Kekuasaan dan strategi-strategi para aktor yang terlibat
2) Karakteristik lembaga (rezim)
3) Kepatuhan dan daya tanggap
C. Lokasi Penelitian
Menurut Moleong (2004) cara terbaik dalam penentuan lokasi adalah
dengan mempertimbangkan teori substantive dan menjajaki lapangan
untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Sementara itu keterbatasan geografi dan praktis seperti waktu, biaya,
tenaga juga perllu dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi
penelitian.
Penelitian ini diadakan di pasar Bambu Kuning Kota Bandar lampung,
sedangkan situs dalam penelitian ini adalah lokasi di sekitar pasar Bambu
kuning yang terdapat aktivitas PKL.
Adapun alasan yang melatarbelakangi peneliti memilih lokasi ini karena:
1.
2.
3.
Pasar Bambu Kuning merupakan lokasi yang menjadi tahap awal
dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima
pemerintah kota Bandar lampung periode 2005-2010, sehingga dari
pelaksanaan penataan PKL di pasar Bambu Kuning dapat dikaji
sebagai bahan informasi dan saran pada pemerintah dalam
memperbaiki pelaksanaan penataan PKL pada lokasi-lokasi lainnya.
Pasar Bambu Kuning merupakan lokasi yang memilki kepadatan PKL
cukup besar bila dibandingkan dengan lokasi-lokasi lainnya.
Penataan pasar Bambu Kuning ini telah beberapa kali diupayakan
oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, namun penataan yang
dijalankan selalu gagal dan belum efektif dilaksanakan.
Selain di pasar Bambu Kuning, untuk memperoleh data-data secara
lengkap mengenai kebijakan penataan PKL, peneliti juga melakukan
penelusuran data ke Dinas dan instansi terkait yang memiliki kewenangan
dalam penataan PKL. Untuk mempermudah proses pengambilan data
tersebut, peneliti hanya melakukan penelusuran di Dinas Pasar dan Dinas
Tata Kota dalam pelaksanaan kebijakan penataan PKL
.
15
D. Jenis Data
Jenis data pada pelaksanaan penelitian ini menggunakan data sekunder,
yaitu sebagai berikut
1. Data sekunder
Merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang atau
penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh
dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu. Data
sekunder disebut juga data yang tersedia. Pada penelitian ini data
sekunder berupa hasil riset peneliti sebelumnya yang mengangkat masalah
tentang PKL dan implementasi kebijakan, hasil riset mengenai dampak
PKL tethadap kemacetan lalu lintas, berita mengenai situasi terbaru
pelaksanaan penataan PKL di Kota Bandar Lampung (surat kabar), berita
dari situs internet, dan literature-literature lainnya yang diperoleh dari
kepustakaan mengenai ilmu kebijakan dan sector informal.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang kengkap, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya, penulis mempergunakan
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi Pustaka
Dalam penelitian ini pengumpulan data yang digunakan yaitu metode
studi kepustakaan. Berbagai sumber bacaan, terutama artikel dari
jurnal-jurnal pada beberapa situs internet, menjadi bahan rujukan
penulis dalam penulisan makalah ini. Penulis juga mengumpulkan data
dari sumber-sumber yang telah ada baik itu dari laporan-laporan
peneliti terlebih dahulu serta menemukan berbagai referensi yang
berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan
masalah PKL.
3. Analisis Data
Setelah mendapatkan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka
langkah selanjutnya mengolah data yang terkumpul dengan menganalisis
data, mendeskripsikan data, serta mengambil kesimpulann susunn kata
dan kalimat sebagai ja. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan
menggunakan teknis analisis data kualitatif, karena data yang diperoleh
merupakan keterangan-keterangan.
Menurut Nawawi dan Hadari dala penelitian kualitatif, analisa data
dilakukan secara terus menerus sejak awal dan selama proses penelitian
berlangsung dan data atau informasi yang diperoleh harus dianalisa,
berupa usaha menafsirkan untuk mengetahui maknanya serta dihubungkan
dengan masalah penelitian. Analisa kualitatif digunakan untuk
menjelaskan, menggambarkan dan memaparkan hasil penelitian dengan
jawaban yang tepat.
16
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data. Seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam data kualitatif, yaitu:
1. Reduksi data (Reduction Data), yaitu data yang diperoleh di lokasi
penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian laporan yang
lengkap dan terperinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum,
dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian
dicari tema atau polanya. Dalam penelitian ini, peneliti akan memilih dan
menyeleksi data sesuai dengan aspek-aspek yang berkaitan dengan
kebijakan penataan PKL di pasar Bambu Kuning, sebagaimana telah
dijabarkan pada definisi operasional, yakni mengenai konteks
pelaksanaan kebijakan PKL.
2. Penyajian Data (data display), untuk memudahkan peneliti melihat
gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti lebih banyak menyajikan data dalam bentuk
teks naratif serta uraian-uraian singkat.
3. Penarikan kesimpulan (concluting drawing) yaitu melakukan verifikasi
secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung.
Dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secar terus
menerus maka akan di peroleh kesimpulan yang bersifat “grounded”,
dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi
selama penelitian berlangsung.
IV.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pasar Bambu Kuning
17
1. Sejarah singkat pasar Bambu Kuning
Pasar Bambu Kuning merupakan salah satu pasar yang sudah dikenal
sejak lama oleh masyarakat Kota Bandar Lampung. Pada awalnya,
sekitar tahun 1957 lokasi pasar ini hanyalah sebuah pasar tempel
tradisional, yang tidak lebih dar pasar temple rakyat yang ada pada masa
sekarang ini. Pada tahun 1960-an setelah Lampung resmi menjadi
sebuah Provinsi dan memisahkan diri dari Sumatera Selatan, pasar ini
mulai dibangun secara permanen. Dimana, antara tahun 1962-1963 di
bangunlah sebuah gedung satu lantai yang digunakan untuk melakukan
transaksi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kondisi pasar Bambu Kuning yang semakin padat oleh para pedagang
sebagai akibat dari adanya peningkatan jumlah penduduk yang
menjalankan aktivitas di sector perdagangan, menyebabkan areal pasar
ini tidak lagi mampu menampung pedagang (over capacity).
2. Letak Pasar Bambu Kuning
Unit pasar Bambu Kuning terletak pada wilayah Tanjung Karang Pusat
yang merupakan pusat perbelanjaan dan perdagangan retail Kota Bandar
Lampung. Letaknya yang berada di tengah-tengah kota, menyebabkan
lokasi pasar ini sangat strategis bagi usaha bisnis dan perdagangan.
Secara geografis, pasar Bambu Kuning berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Imam Bonjol
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Bukit Tinggi
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Batu Sangkar
d. Sebalah Timur berbatasan dengan gedung milik PT. Telkom
B. Gambaran umum Dinas dan instansi yang berhubungan dengan
penataan PKL
Cukup banyak Dinas dan Instansi yang terlibat dalam pelaksanaan
penataan PKL. Dinas dan instansi yang terlibat tersebut yaitu Dinas
pasar, Dinas Tata Kota, dan Satuan Polisi Pamong Praja yang terkait
dengan penertiban pedagang kaki lima.
1. Dinas Pasar
Dinas Pasar Kota Bandar Lampung sebagai unsur pelaksana
Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung dibentuk berdasarkan
Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2000 Tentang Pembentukan
Organisasi Dinas Daerah Kota Bandar Lampung dan Keputusan
Walikota Tentang Susunan Tata Kerja Dinas Pasar Kota Bandar
Lampung no. 21 Tahun 2001.
a. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pasar
18
Dinas pasar memilki tugas pokok dalam menyelenggarakan
kewenangan Pemerintah Daerah Kota di bidang pengelolaan
pasar, pembangunan pasar percontohan kelurahan penyediaan
tempat usaha bagi pedagang informal (PKL) berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan yang
ditetapkan oleh walikota.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Dinas Pasar mempunyai
fungsi dalam:
1) Perumusan pedoman petunjuk teknis serta kebijakan teknis di
bidang pengelolaan pasar
2) Penyusunan perencanaan dan program kerja Dinas
3) Pengelolaan pendapatan
4) Pengelolaan sarana dan prasarana
5) Pemberdayaan dan pembinaan pedagang serta penertiban,
pengendalian keamanan dan pengawasan pasar sesuai
dengan kebijakan yang ditetapkan Walikota dan peraturan
perundangan peraturan yang berlaku.
2. Dinas Tata Kota
Dinas Tata Kota Bandar Lampung merupakan salah satu bagian dari
organisasi perangkat daerah kota Bandar Lampung. Organisasi
Dinas Tata Kota dibentuk melalui Perda Kota No. 12 Tahun 2000
Tentang Pembentukan organisasi Dinas Daerah Kota Bandar
Lampung.
Proses penataan struktur organisasi Dinas tata Kota Bandar
Lampung sejak diterapkannya otonomi yang luas (sejak
ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Mengingat Kota Bandar Lampung adalah kota lintasan sehingga
memiliki dampak terhadap perekonomian local. Selain itu, kota ini
juga merupakan Ibu Kota Provinsi sehingga menjadi pusat kegiatan
Pemerintahan soaial dan politik, ekonomi serta kebudayaan. Dengan
demikian perlu di lakukan penataaninfrastruktur perkotaan, yang
secara fungsional dikelola oleh Dinas Tata Kota Bandar Lampung.
Proses penataan struktur organisasi Dinas Tata kota Bandar
Lampung, yang meliputi:
1. Identifikasi kebutuhan
2. Analisis kebutuhan
3. Penetapan rancangan struktur organisasi
4. Penataan struktur organisasi
5. Finalisasi (penetapan akhir draft struktur organisasi).
Dinas Tata Kota Bandar Lampung mempunyai tugas pokok untuk
melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah kota di bidang
Penyusunan rencana Tata Ruang Kota dan memberikan izin
pemanfaatan lahan, penetapan kebijaksanaan kota serta
melaksanakan penataan fisik bangunan, pengawasan, pengarahan
dan penertiban terhadap aktifitas dan atau kegiatan mendirikan
bangunan
berikut proses perizinannya serta memberikan izin
19
perkotaan, berupa penertiban Surat Izin Tempat Usaha (SITU), izin
bangunan (HO) dan perizinan perkotaan lainnya dalam rangka tertib
tata ruang kota, tertib bangunan, tertib lalu lintas kota dan tertib
administrasi. Perizinan perkotaan yang berwawasan lingkungan,
berestetika perkotaan dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung merupakan salah
satu perangkat daerah Kota Bandar Lampung yang pembentukannya
berdasarkan Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomer 68 tahun
2001, tentang susunan organisasi dan tata kerja Kantor Kesatuan
Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.
a.
Tugas Pokok dan Fungsi Satpol PP
Polisi Pamong praja memiliki tugas pokok membantu Walikota
dalam menyelenggarakan pembinaan ketentraman dan
ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah,
Keputusan Walikota dan ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku dan mengikat.
Untuk menyelenggarakan tugasnya tersebut, maka Satpol-pp
mempunyai fungsi:
1. Mengumpulkan, mendokumentasikan data ketentraman dan
ketertiban umum termasuk kejahatan dan tindak kriminal.
2. Memberikan izin dan rekomendasi keramaian umum.
3. Melakukan kegiatan umtuk menciptakan situasi dan kondisi
dalam rangka terwujudnya stabilitas kota.
4. Mengawasi dan mendata tentang perkembangan harga
Sembilan bahan pokok dan barang strategis lainnya.
5. Kordinator operasi ketertiban umum dan pengamanan kantor
walikota serta kegiatannya.
6. Pelaksanaan dan bimbingan serta penertiban terhadap
masyarakat yang melakukan tindakan yang dapat
mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
7. Pelaksanaan pelatihan keterampilan anggota Satpol-pp
8. Pelaksanaan urusan tata usaha kantor.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dilakukan pembahasan satu demi satu menurut focus
masalah yang telah ditentukan pada awal penelitian dan kemudian akan
mengaitkannya dengan teori-teori kebijakan public. Dalam penelitian ini,
peneliti akan mengkaji pelaksanaan penataan PKL di kota Bandar
20
Lampung pada tahun 2006, dengan menggunakan model implementasi
kebijakan dari Grindle sebagai pendekatan untuk memahami masalahmasalah yang berkembang pada saat pelaksanaan penataan PKL tersebut.
Model Implementasi kebijakan dari Grindle lebih menekankan pada makna
implementasi kebijakan sebagai proses administrasi dan politik, yaitu lebih
memperhitungkan realita-realita kekuasaan atas kemampuan kelompok
yang dominan dan berpengaruh. Implementasi kebijakan menurut Grindle
bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, implementasi kebijakan
juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa memperoleh apa
dari suatu kebijakan. Keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan
sangat ditentukan dari derajat implementability dari suatu kebijakan (yaitu
kemampuan kebijakan tersebut untuk diimplementasikan).
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Implementasi Kebijakan Public
yaitu
a. Perilaku dari lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang
bertanggungjawab atas suatu program berikut pelaksanaannya
terhadap kelompok-kelompok sasaran.
b. Berbagai jaringan kekuatan politik, sosial, dan ekonomi yang langsung
berpengaruh terhadap perilaku berbagai pihak yang terlibat dalam
program
c. Dampak (yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan) terhadap
program berikut.
Jadi, Implementasi Kebijakan adalah pelaksanaan dasar, misalnya dalam
bentuk undang-undang (articulation), namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan.
Implementasi menjadi penting karena kebijakan public itu pada dasarnya
dan seringkali dirumuskan/dinyatakan secara garis besar saja yang beris
tujuan/sasaran dan saran pencapaiannya. Kebijakan tanpa implementasi,
hanyalah berupa tumpukan berkas dan arsip yang tidak berguna.
Dengan menggunakan implementasi kebijakan dari Grindle, peneliti akan
mencoba melihat pola kebijakan yang diaplikasikan PemKot Bandar
Lampung dalam melakukan penataan PKL. Secara lebih mendalam model
implementasi kebijakan ini juga akan sangat membantu untuk melihat
apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan sudah
cukup mendukung pada tataran pelaksanaan kebijakan penataan PKL di
pasar Bambu Kuning kota Bandar Lampung.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam penelitian ini ada dua
hal yang menjadi focus penelitian, yaitu: 1) Proses pelaksanaan penataan
PKL di pasar Bambu Kuning kota Bandar Lampung pada tahun 2006 dan
2) faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Kedua hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini.
21
1. Proses Pelaksanaan pentaan PKL di pasar Bambu Kuning Kota
Bandar lampung pada tahun 2006
Pelaksanaan penataan PKL pada masa pemerintahan kota Bandar
Lampung
periode
2005-2010
dilakukan
dengan
merelokasi
( memindahkan) tempat usaha PKL dan membangun tempat usaha bagi
PKL pada lokasi yang layak (dalam arti tidak melanggar peraturan yang
berlaku). Pasar Bambu Kuning merupakan salah satu lokasi yang
menjadi target sasaran dari kebijakan penataan PKL pada tahun 2006.
Pelaksanaan penataan PKL di pasar ini pada dasarnya telah dilakukan
sejak bulan Agustus tahun 2005 melanjutkan upaya penataan PKL pada
masa pemerintahan sebelumnya (PJS Helmi Machmud) yang juga
berencana untuk memindahkan PKL di sekitar pasar Bambu Kuning ke
lantai 2 bangunan Bambu Kuning Plaza. Awal dari pelaksanaan
penataan PKL pada masa pemerintahan periode 2005-2010 dimulai
pada bulan Agustus 2005 dengan pembangunan tempat usaha bagi
PKL oleh pihak pengembang yakni PT. Senjaya Rejeki Mas yang
meliputi merenovasi lantai 2 dan penyediaan lapak-lapak bagi para PKL
di pintu masuk utara, selatan dan PKL yang berada dibawah tangga
poros dalam escalator.
Setelah tempat usah tersedia, pemerintah yang dalam hal ini adalah unit
pelaksana teknis Dinas pasar (UPTD) II pada tanggal 17 November
2005 mensosialisasikan rencana pemerintah yang akan menata PKL ke
lantai 2 dan lantai 3 Bambu Kuning Plaza. Rencana pemerintah dalam
penataan PKL tersebut ternyata tidak ditanggapi positif oleh PKL,
sehingga meskipun pemerintah telah mensosialisasikan rencana
penataan PKL dan berkali-kali memberikan tenggat waktu kepada para
PKL untuk pindah namun PKL masih tetap bertahan di lokasi awal
dimana mereka berjualan.
Adanya sikap resisten PKL tersebut kemudian disikapi oleh PemKot
Bandar Lampung dengan mengeluarkan surat edaran dari Walikota
No.188.42./1150/21/2005 yang berisi pemberitahuan mengenai batas
waktu (deadline) bagi para PKL yang berada di pintu masuk utara,
selatan dan di bawah tangga escalator untuk pindh ke lantai 2 Bambu
Kuning Plaza. akan tetapi batas waktu tersebu tetap tidak diindahkan
oleh para PKL sehingga langkah penertiban terpaksa dilakukan oleh
pemerintah pada tanggal 16 Desember 2005.
Hasil dari penataan PKl pasar Bambu Kuning pada akhir Desember
2005 tersebut pada akhirnya menyisahkan permasalahan. Banyak para
PKL yang tetap bertahan di lokasi awal, dan bahkan para PKL yang
telah direlokasi ke lantai 2 kembali lagi berdagang pada lokasi semula.
Ketidakberhasilan pelaksanaan penataan PKL pada tahun 2005
kemudian kembali disikapi oleh pemkot Bandar Lampung pada tahun
2006 dengan membentuk tim operasional penataan PKL yang bertugas
untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan penataan PKL.
Pelaksanaan penataan PKL di pasar Bambu Kuning pada tahun 2006
kemudian dipusatkan pada PKL yang berada di sekitar bahu jalan pasar
Bambu Kuning (yakni Jalan Imam Bonjol, Jalan Batu Sangkar, Jalan
22
Bukit Tinggi) dan PKL yang mengitari bangunan Bambu Kuning Plaza
(seperti area parkir barat dan timur). Untuk PKL yang berada di lokasilokasi tersebut telah disediakan tempat baru yakni di lantai 3 dan lahan
eks penjara (lahan baru).
Adapun lokasi-lokasi yang menjadi sasaran penataan PKL pasar Bambu
Kuning pada tahun 2006 dapat dilihat secara jelas pada tabel dibawah
ini.
Objek penataan PKL menempati lantai 3 Bambu Kuning Plaza
Bandar Lampung.
Lokasi PKL
I.
I.
Jumlah PKl
Menempati bahu jalan
1. Jln. Bukit tinggi
2. Jln. Batu sangkar
3. Jln. Imam Bonjol
Jumlah I
104
47
41
195
Mengitari bangunan BK
1. Sisi barat
- Selasar pasar
- Area parkir
11
52
2. Sisi timur
- Selasar selatan
- Area parkir
Jumlah II
14
68
145
Total
340
Sumber UPTD II Dinas Pasar mengenai objek penataan PKL menempati
lantai 3 Bambu Kuning Plaza Bandar Lampung.
Dalam proses pelaksanan penataan PKL, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antara lain kegiatan pensosialisasian informasi mengenai
rencana relokasi, membangun tempat usaha bagi PKL dan
menertibkannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berdasarkan rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya oleh tim operasional penataan PKL.
1. Pemberitahuan (sosialisasi) mengenai rencana relokasi
Sebelum melaksanakan relokasi PKL ke lokasi baru, pemerintah terlebih
dahulu melakukan sosialisasi mengenai rencana relokasi kepada para
PKL. Sosialisasi mengenai rencana penataan PKL ini dilakukan oleh UPTD
II selaku pengelola pasar Bambu Kuning dan juga dilakukan oleh pol PP
selaku pihak yang akan menertibkan PKL. Mengenai pelaksanaan
sosialisasi ini Kepala Seksi (Kasi) pembinaan petugas keamanan dan
ketertiban pasar mengatakan:
23
“sebelum melakukan relokasi, pemerintah terlebih dahulu melakukan
upaya persuasive dengan cara mengadakan dialog-dialog dan
pertemuan dengan para PKL dan dikemukakan lokasi dan tempattempat yang telah pemerintah tetapkan. Bila pertemuan tidak
memberikan suatu kesepakatan, maka kami baru mengeluarkan
surat edaran dari walikota Bandar Lampung, yang isinya meminta
para PKL untuk segera pindah.”
Kepala Seksi Kesamaptaan dan trantib Kantor Kesatuan Satpol PP juga
mengatakan hal yang sama:
“sebelum penataan PKL kami telah berupaya melakukan sosialisasi
baik secara lisan dan tertulis, secara lisan dan secara tertulis melalui
surat edaran sebanyak 3x pertama dari kasat Satpol PP, dari Sekda
dan ketiga dari Walikota.”
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan sosialisasi
dilakukan secara tertulis melaui surat edaran dan secara lisan melalui
pertemuan antara pemerintah dan PKL.
2. Pembangunan tempat usaha PKL
Pelaksanaan pembangunan tempat usaha dilakukan oleh pemerintah untuk
memberikan lokasi pengganti bagi PKL yang akan ditata. Adanya suatu
kesadaran
bahwa PKL tidak dapat diatasi dengan penggusuran
merupakan alasan yang melatarbelakangi pemkot Bandar Lampung untuk
menata PKL dan membangun tempat usaha di lokasi lain yang sesuai. Hal
ini sebagaimana diungkapkan olh kepala seksi (Kasi) pembinaan petugas
Keamanan dan ketertiban pasar:
“yang perlu ditekankan adalah bahwa kebijakan penataan PKL
bukanlah menggusur, tetapi menata PKL pada lokasi yang sesuai,
jadi berbeda dengan penggusuran seperti di daerah-daerah lainnya.
Kami sadar betul kalau PKL ditertibkan dengan cara kekerasan
malah tidak akan efektif, karena dari pengalaman-pengalaman
sebelumnya juga bisa dilihat, kalau PKL hanya ditertibkan malah
akan pindah ke lokasi lainnya lagi. Kami dari Pemerintah juga paham
bahwa PKL sangat butuh lokasi untuk berjualan, karena itu kami coba
mencarikan lokasi lain yang lebih representative supaya PKL dapat
melanjutkan usahanya.”
Mengenai upaya pembangunan tempat usaha bagi PKL, Kasubdin
Pengelolaan Pendapatan Dinas Pasar mengatakan:
“pembangunan tempat usaha merupakan bukti bahwa pemerintah
tidak akan begitu saja menelantarkan PKL. Jadi pada dasarnya para
PKL tidak perlu khawatir kalau mereka tidak akan bisa melanjutkan
usahanya, karena kami dari Pemerintah sudah menyiapkan tempat
usaha dan lokasi baru.”
Dari kedua pernyataan di atas dapat disimp