Partai Politik di Indonesia. pdf

GIGA German Institute of Global and Area Studies/Leibniz-Institut für Globale und Regionale Studien

Neuer Jungfernstieg 21 20354 Hamburg Germany

E-mail: info@giga-hamburg.de

Website: www.giga-hamburg.de

GIGA WP 37/2006

Abstrak

Secara mengejutkan, hasil pemilu di Indonesia pada tahun 1999 dan 2004 dan konstelasi partai politik yang terbentuk sebagai hasil pemilu memiliki kesamaan dengan demokrasi parlementer pertama di Indonesia pada tahun 1950an. Dinamika partai politik tersebut masih memiliki ciri aliran (‘streams’), yaitu beberapa partai politik yang besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Namun politik aliran telah kehilangan sebagian besar makna pentingnya dan kemudian muncul kembali dalam bentuk yang berbeda sejak jatuhnya Suharto di tahun 1998. Berangkat dari pengamatan tersebut, kita hendak berargumen bahwa partai masih memiliki akar sosial, sehingga suatu pendekatan aliran dengan modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa. Tetapi, nyata juga terlihat adanya pelemahan aliran (dealiranisasi) dan ‘Filipinanisasi’ yang terkait; ini ditandai dengan naiknya partai presidensial dan presidensialisasi partai, berkembangnya otoritarianisme dalam tubuh partai, meluasnya ‘politik uang’, dan kurangnya platform politik yang berarti, melemahnya kesetiaan terhadap partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti serta munculnya elit-elit lokal baru.

Kata Kunci: partai politik, Indonesia pasca Suharto, Filipinanisasi, politik aliran

Dr. Andreas Ufen,

adalah Ilmuwan Politik dan Mitra Penelitian Senior di GIGA Institute of Asian Affairs di Hamburg, Jerman.

Alamat e-mail: ufen@giga-hamburg.de, situs: http://staff.giga-hamburg.de/ufen

Partai Politik di Indonesia Pasca Suharto:

Antara Politik Aliran dan ‘Filipinanisasi’

Andreas Ufen

Struktur Artikel

1. Pengantar 5

2. Masa Emas Politik Aliran pada Tahun 1950an dan Erosi pada Zaman Suharto 7

3. Partai dan Pemilu sejak Tahun 1998: Re-konfigurasi Pasca Suharto 11

4. ‘Filipinanisasi’: Indikasi Pergantian Partai 20

5. Kesimpulan 35

1. Pengantar

Setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998, lebih dari 200 partai politik muncul. Pada akhirnya, 48 dari partai-partai tersebut diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pemilu pada bulan Juni 1999, pemilu yang bebas yang pertama semenjak tahun 1955. Jumlah pemilih sangat tinggi, begitu juga antusiasme dari penduduk. Secara mengherankan, sistem kepartaian baru yang muncul sebagai hasil pemilu ini terlihat memiliki kesamaan dengan sistem kepartaian tahun1950an, di mana Indonesia menerapkan demokrasi parlementer untuk pertama kalinya. Dinamika partai politik masih ditandai dengan aliran (‘streams’), yaitu beberapa partai politik besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Tetapi makna penting politik aliran telah berkurang dan muncul kembali secara berbeda setelah tahun 1998. Terlebih lagi, dalam waktu yang singkat partai-partai tersebut menunjukkan berbagai kelemahan. Banyak partai politik dipenuhi dengan konflik internal, sumber dananya tidak jelas, tidak memiliki platform yang jelas dan elit partainya cenderung memonopoli proses pengambilan keputusan. Jelas terlihat bahwa Setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998, lebih dari 200 partai politik muncul. Pada akhirnya, 48 dari partai-partai tersebut diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pemilu pada bulan Juni 1999, pemilu yang bebas yang pertama semenjak tahun 1955. Jumlah pemilih sangat tinggi, begitu juga antusiasme dari penduduk. Secara mengherankan, sistem kepartaian baru yang muncul sebagai hasil pemilu ini terlihat memiliki kesamaan dengan sistem kepartaian tahun1950an, di mana Indonesia menerapkan demokrasi parlementer untuk pertama kalinya. Dinamika partai politik masih ditandai dengan aliran (‘streams’), yaitu beberapa partai politik besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Tetapi makna penting politik aliran telah berkurang dan muncul kembali secara berbeda setelah tahun 1998. Terlebih lagi, dalam waktu yang singkat partai-partai tersebut menunjukkan berbagai kelemahan. Banyak partai politik dipenuhi dengan konflik internal, sumber dananya tidak jelas, tidak memiliki platform yang jelas dan elit partainya cenderung memonopoli proses pengambilan keputusan. Jelas terlihat bahwa

Dalam perdebatan tentang partai politik yang berkembang sekarang ini, aliran umumnya diakui masih merupakan faktor yang menonjol oleh sejumlah pengamat politik (King, 2003; Baswedan, 2004), walaupun seringkali sejumlah penulis lain memiliki sejumlah keberatan terhadap argumen tentang hal ini (Johnson Tan, 2004; Sherlock, 2004 dan 2005). Beberapa penulis memfokuskan pada kelemahan- kelemahan partai seperti ‘kartelisasi’ (Slater, 2005) dan kelemahan institusi formal (Sherlock, 2005) atau mereka mencoba untuk menilai ketidakseimbangan atau kelemahan institusionalisasi partai politik (Jonson Tan, 2006; Tomsa, 2006b). Beberapa akademisi mempertanyakan kesahihan pendekatan aliran dari sudut pandang kelas (Robinson dan Hadiz 2004; Hadiz, 2004a dan 2004b), sementara beberapa penulis lain menunjukkan bukti baru berdasarkan metode analisa regresi dan mempertanyakan argumen bahwa politik aliran masih kental di Indonesia (Mujani dan Liddle, 2006). Berbagai penelitian politik lokal yang dilakukan oleh beberapa penulis (Hadiz 2004a;Choi 2004;Vel 2005; Mietzner 2007) menunjukkan gambaran yang sangat rumit. Sampai saat ini belum ada pendekatan yang lebih komprehensif untuk memahami politik kepartaian di Indonesia.

Artikel ini menganalisa partai politik dari dua sudut pandang berbeda. Penulis berargumen bahwa partai masih memiliki akar sosial, sehingga pendekatan aliran dengan modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa. Pada saat yang sama, aliran (dealiranisasi) juga semakin terlihat melemah, seiring dengan ’Filipinanisasi’, yang menunjukan beberapa kesamaan ciri pokok partai politik dan sistem kepartaian di Filipina dan Indonesia. Dengan begitu, keunikan partai politik dan berbagai kekuatan yang bertentangan akan ditunjukan dengan sistematis.

Bagian ke-2 tulisan ini membantu untuk memahami konsep ’aliran’ seperti yang diartikan pada 1950an, karena pada masa sekarang istilah tersebut menjadi membingungkan. Bagian tersebut akan menjadi dasar perbandingan partai 1950an dengan yang sekarang, dan menggambarkan evolusi partai politik secara singkat sampai dengan jatuhnya Suharto.

Menggambarkan partai politik Indonesia dalam konteks politik ’aliran’ akan membantu menjelaskan perkembangan saat ini yang seringkali kontradiktif, yang akan dianalisa pada bagian 3 dan 4. Proses ini dikonseptualisasikan sebagai ’Filipinanisasi’, yang diindikasikan dengan munculnya partai presidensial atau presidensialisasi partai, munculnya otoriterianisme dalam partai, meluasnya praktik politik uang, kurangnya platform atau program partai politik yang berarti, lemahnya kesetiaan kepada partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti dan naiknya elit-elit lokal baru.

2. Masa Emas Politik Aliran pada Tahun 1950an dan Erosi pada Zaman Suharto

Pada saat partai-partai politik pertama didirikan di Indonesia pada tahun 1920an, mereka tidak bisa memenuhi fungsi normal mereka. Di bawah aturan kolonial, pemilu dan parlemen tidak diperbolehkan. Namun sebagai pelopor mobilisasi massa, mereka menkonsolidasikan wilayah sosial (social milieus) dan menguatkan apa yang nantinya dinamakan aliran. Pada tahun 1950an dan 1960an, para Indonesianis mengkonseptualisasikan akar ideologi partai politik dengan pendekatan aliran ini. Clifford Geertz (1960) pada awalnya menggaris-bawahi model ini di dalam hasil kerja utamanya ‘The Religion of Java (Agama di Jawa)’. Pembedaan yang terkenal yang dibuat oleh Clifford antara abangan (kepercayaan bersifat animisme), santri (pengikut muslim yang saleh) dan priyayi (mereka yang kebanyakan dipengaruhi oleh kebudayaan aristokrat Hindu) mempunyai dampak yang tahan lama pada penelitian

lebih lanjut tentang Jawa 1 . Akan tetapi Geertz di dalam karyanya ‘Peddlers and Princes (pedagang kaki lima dan pangeran)’ menunjukan analisa mengenai partai

politik 1950an secara lebih praktis, di mana dia menggambarkan PNI 2 , Masyumi, NU

1 Jenis kebudayaan abangan (Geertz 1960: 6) beranggotakan ‘petani yang lebih tradisional dan kawan-kawan proletariat mereka yang berada di dalam kota’, yang terdiri dari

beberapa kepercayaann ritual, ilmu hitam, dsb. Kebudayaan abangan memusatkan pada elemen animisme dari ‘sinkretisme kejawen’. Sub-tradisi santri bercirikan kepercayaan pada Islam yang lebih ortodoks dan lebih sering ditemukan di kalangan pedagang dan sebagian petani. Priyayi biasanya dihubungkan dengan kepercayaan Hindu dan mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap birokrasi kebudayaan Jawa.

2 Nama-nama partai dijelaskan dalam Diagram 1, 2 dan 3

dan PKI sebagai wadah organisasi untuk aliran: ‘Sebagaimana dengan organisasi politiknya, masing-masing partai telah menjalin hubungan baik secara formal maupun tidak: dengan klub perempuan, kelompok pemuda dan pelajar, serikat pekerja, organisasi rakyat, perkumpulan amal, organisasi buruh tani, sekolah swasta, masyarakat agama dan filosofis, veteran, dan berbagai macam organisasi lainnya, yang akan mengikatkannya pada sistem sosial lokal. Dengan alasan tersebut, setiap partai dengan sekelompok perkumpulan khususnya tersebut menjadi kerangka di mana berbagai kegiatan sosial dapat dilaksanakan, dan partai memberikan panutan ideologi yang rasional untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan tersebut (Geertz, 1963: 14). Menurut Geertz, gejala aliran selain merupakan gerakan sosial juga merupakan partai politik. Aliran pada masa itu didasarkan pada sistem integrasi sosial terkait dengan pandangan mereka mengenai dunia, tetapi partai politik dan organisasi lainnya yang berkaitan tidak mau membentuk pola hubungan antaraliran yang stabil sampai dengan tahun 1950an. Empat partai terpenting, yang secara kolektif meraih 4/5 suara pada tahun 1955 (lihat Tabel 1), telah tumbuh dari basis aliran yang ada dan pada saat yang sama membentuk ulang dan mempolitisasi aliran tersebut (Feith, 1957: 31ff; Feith, 1962: 125ff). PNI yang nasionalis merepresentasikan semua anggota bukan priyayi Jawa dan mencari nafkah sebagai pegawai negara dan pegawai negri atau

sebagai klien mereka 3 . PKI mungkin adalah partai yang terbaik pengorganisasiannya dengan pengikutnya yang setia di kalangan pekerja abangan di kota dan daerah

perdesaan 4 . Santri yang ortodoks terdiri dari modernis dan tradisionalis. Yang tradisionalis di bawah NU terdiri dari ulama (akademisi agama) dan pengikutnya;

yang modernis di bawah Masyumi terdiri dari cendekiawan kota, pedagang dan seniman dari luar pulau Jawa. Pada pemilu bebas dan adil yang pertama di tahun 1955, terutama dengan masa kampanyenya yang lama, identifikasi aliran menjadi

3 Abangan dan priyayi nantinya tergabung ’menjadi satu unit yang melawan santri’ (Geertz 1965: 128). Geertz (1965: 129ff) telah membedakan lima rekahan (’pembedaan’):

pertama, antara Jawanis (priyayi-abangan) dan kelas Islamik ’ideologikal-keagamaan’; kedua, antara insaf (yang responsif secara politis) dan masa bodo (tidak responsif secara politis); ketiga, antara ’elit’ dan ’massa’; keempat, antara ’dalam kota’ dan ’pedesaan’; dan yang kelima, antara ’modern’ dan ’tradisional’.

4 PKI sebagian besar terdiri atas kader yang tidak sekuler dan kurang ideologis. Ia harus menyesuaikan retorika agenda revolusinya dengan pandangan keagamaan dari

kebanyakan pengikut abangannya dari pedesaan di Jawa dan juga harus membangun hubungan patron-klien. Pada tahun 1964, menurut perhitungan mereka sendiri, PKI mempunyai sekitar 2,5 juta anggota partai (1954: 165.000) dan 16 juta dari anggota organisasi massa yang terkait (Mortimer, 1969).

kuat dan sering menjadi pemicu beberapa konflik bahkan di daerah pedesaan, sebagai contohnya pertikaian antara pengikut PNI yang sekuler dengan pengikut Masyumi yang saleh. Oleh karena fragmentasi dan polarisasi sistem partai yang sangat besar,

koalisi-koalisi biasanya sangat lemah dan tidak tahan lama 5 .

Tabel 1: Hasil pemilu untuk parlemen nasional (1955)

Partai Politik Persentase Jumlah Kursi PNI

Partai Katolik

100 257 Catatan: PNI (Partai Nasional Indonesia, Indonesian Nationalist Party)

Total

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia, Consultative Council of Indonesian Muslims) NU (Nahdatul Ulama, Renaissance of Islamic Scholars) PKI (Partai Komunis Indonesia, Indonesian Communist Party) PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia, Islamic Association Party Indonesia) Parkindo (Partai Kristen Indonesia, Indonesian Christian Party) Partai Katolik (Catholic Party) PSI (Partai Sosialis Indonesia, Indonesian Socialist Party)

Sumber: Rülland, 2001. Partai-partai ini tidak mempunya kriteria keanggotaan yang kuat dan tidak mampu

memastikan aliran dana masuk yang stabil (Feith, 1962: 122ff). Paling tidak pimpinan mereka biasanya terdiri dari para politisi yang mempunyai pandangan yang skeptis terhadap demokrasi liberal modern. Partai di tahun 1950an berakar secara mendalam, tetapi juga elitis. Mereka merupakan jalur utama untuk mendapat akses ke dalam birokrasi. Sehingga kekuatan mereka didasarkan pada pengaruh mereka dalam

5 NU dan PNI atau Masyumi dan PSI biasanya bekerjasama dalam koalisi-koalisi ini, yang biasanya tidak mengikutsertakan PKI.

birokrasi, militer dan perusahaan negara, dan juga koneksi dengan pengusaha swasta yang mereka miliki 6 .

Oleh karena kekurangmampuan kelembagaan (sentralisasi yang berlebihan, misalnya, yang memungkinkan naiknya pergerakan kedaerahan mulai pada tahun 1956 dan seterusnya), meningkatnya pengaruh militer, meluasnya korupsi, polarisasi antara

sekuler dan Islamis dalam Badan Konstituante 7 , dan oposisi fundamental PKI terhadap demokrasi liberal, parlementarisme lambat laun kehilangan legitimasinya.

Pada bulan Juli 1959, Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945, yang memberikan kewenangan besar pada dirinya sendiri sebagai presiden. Berbagai partai politik kehilangan sebagian besar pengaruhnya semasa periode Demokrasi Terpimpin ini (1959-65). Kabinet dan parlemen dipertahankan untuk menjadi alat bagi Sukarno dan kepemimpinan militer. Demokrasi Terpimpin ini jatuh pada tahun 1965/66.

Para elit Orde Baru (1965/66-98) di bawah pimpinan Suharto, mulai untuk mendepolitisasi masyarakat, melakukan sentralisasi administrasi dan merampingkan sistem politik. Partai-partai dipotong habis dan pemilu ”basa-basi” diperkenalkan. Pada tahun 1973, kendali politik diperkuat dengan penyederhanaan sistem kepartaian yang memaksakan penggabungan partai-partai yang ada menjadi hanya 3 partai (lihat

Diagram 2). Golkar 8 , yang menjadi kendaraan rejim, selalu mampu mendapatkan dua pertiga kursi mayoritas di parlemen nasional, sedangkan PPP dan PDI hanya ada

untuk mengisi fungsi adanya partai oposisi yang terkukung.

Tabel 2: Hasil Pemilu Parlemen 1971-1997 (%)*

6 Sebagai contohnya, semua kementrian diubah menjadi alat partai politik; NU memegang penuh kewenangan Departemen Agama dengan 27.000 (1958) dan 102.000

(1967) anggota. Sampai dengan 1965, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Perhubungan didominasi oleh PNI, sementara PKI memegang kekuasaan dalam sebagian besar Kementrian Pertanian.

7 Setelah Pemilu 1955, Badan Konstituante diberikan tugas untuk mengelaborasikan konstitusi baru, tetapi kemudian dibubarkan oleh Sukarno 8 Golkar lebih terlihat sebagai gabungan kelompok fungsional, bukan sebagai partai politik yang sebenarnya.

14,9 3,1 * Kelompok Protes – Golongan Putih (Golput) – memasukkan kertas suara yang

kosong ke dalam kotak suara. Jumlah suara yang tidak sah, termasuk Golput, adalah 8.3% (1971), 10.4% (1977), 8.6% (1982) dan 8.7% (1987). (Inside Indonesia, June 1992: 5). ** Hasil suara setelah partai-partai tersebut digabungkan: PPP (gabungan dari NU 18.7%; Parmusi 5.4%; PSII 2.4%; Perti 0.7%); PDI (gabungan dari PNI 6.9%; Parkindo 1.3%; Partai Murba 0.1%; IPKI 0.6%; Partai Katolik 1.1%)

Catatan: Golkar (Golongan Karya, Functional Groups) PPP (Partai Persatuan Pembangunan, United Development Party) PDI (Partai Demokrasi Indonesia, Indonesian Democratic Party)

Sumber: Rüland 2001.

Para elit rejim ini bersitegas untuk menghapus politik aliran. Namun kendali penuh atas suatu masyarakat yang begitu beragam tidak pernah berhasil dilakukan, dan ideologi Orde Baru terlalu dangkal untuk mempengaruhi publik secara mendalam dan meluas. Sehingga nasionalisme sekuler yang sangat moderat yang direpresentasikan oleh PDI dan kelompok muslim yang tidak bergigi seperti direpresentasikan oleh PPP ditoleransi.

Di tengah krisis finansial negara-negara Asia, era Orde Baru jatuh, bukan karena munculnya perlawanan partai politik, melainkan bangkitnya demonstrasi mahasiswa dan juga hasil dari konflik dan tawar-menawar antar elit.

3. Partai dan Pemilu sejak Tahun 1998: Rekonfigurasi Pasca Suharto

Tekanan untuk mereformasi pemerintahan sangatlah besar setelah penyerahan kekuasaan dari Suharto kepada Habibie pada bulan Mei 1998. Pemerintahan yang baru tidak punya pilihan selain untuk melegalisasi pembentukan partai politik. Undang-Undang tentang Pemilu yang penting serta ketentuan-ketentuan tentang komposisi parlemen, partai politik dan ketentuan lainnya dikeluarkan oleh partai- partai Orde Baru dan anggota parlemen dari golongan militer tanpa kesepakatan dari partai yang baru berdiri. Ini merupakan transisi ‘dari atas’. Oposisi yang paling Tekanan untuk mereformasi pemerintahan sangatlah besar setelah penyerahan kekuasaan dari Suharto kepada Habibie pada bulan Mei 1998. Pemerintahan yang baru tidak punya pilihan selain untuk melegalisasi pembentukan partai politik. Undang-Undang tentang Pemilu yang penting serta ketentuan-ketentuan tentang komposisi parlemen, partai politik dan ketentuan lainnya dikeluarkan oleh partai- partai Orde Baru dan anggota parlemen dari golongan militer tanpa kesepakatan dari partai yang baru berdiri. Ini merupakan transisi ‘dari atas’. Oposisi yang paling

Total 148 partai terdaftar secara resmi. Setelah proses penyaringan yang lama, 48 di antaranya akhirnya diperbolehkan untuk mengambil bagian dalam pemilu pada bulan Juni 1999. Berbagai macam partai dibentuk untuk mewadahi kelompok profesional tertentu (Partai Mencerdaskan Bangsa untuk para pengajar), suku/etnisitas (Partai Reformasi Tionghoa Indonesia), para buruh (Partai Buruh Nasional, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia), kaum perempuan (Partai Perempuan Indonesia), kaum lansia (Partai Lansia Indonesia) dan kaum agama minoritas (Partai Buddhis Demokrat Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Partai Kristen Nasional Indonesia, dan lainnya.). Lebih dari itu, beberapa partai yang bersifat kebarat-baratan seperti Partai Hijau (Green Party) dan Partai Demokrasi Liberal Indonesia (Liberal Democratic Party of Indonesia) dibentuk sebagai tambahan dari partai-partai yang dulunya dinyatakan tidak legal seperti PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia, United Democratic Party of Indonesia) dan PRD (Partai Rakyat Demokratik, People’s Democratic Party) dengan agenda sosial demokratnya (setidaknya sampai batasan-batasan tertentu) (Suryakusuma, 1999; Kompas, 2004a dan 2004b). Semua pengelompokan ini gagal. Untuk bisa sukses, partai membutuhkan infrastruktur dan koneksi yang dibangun pada masa Orde Baru (Golkar, PPP dan, tidak sebanyak dengan yang lainnya, PDI-P), dukungan organisasi agama secara tidak langsung (PKB, PAN, PPP, PBB, dan lain- lain) dan hubungan jaringan yang sudah terjalin lama dari dulu (PK).

Dalam proses pemilihan, banyak spekulasi bahwa pola aliran yang terjadi di era 1950an akan timbul kembali. Pada akhirnya, dapat terlihat politik aliran masih memainkan peran, tetapi dalam bentuk yang berbeda dari politik aliran di masa 1950an, dan ada mekanisme lainnya yang juga mempengaruhi perilaku partai serta pemilih.

Hasil pemilu 1999 (Ananta/Arifin/Suryadinata, 2004; Kompas 2004a) menunjukkan kemenangan Islam moderat dan sekuler. Partai-partai yang tegas dalam hal isu-isu Islam dengan kecenderungan mendukung Islamisasi konservatif negara ini seperti halnya PPP, PBB dan PK mendapatkan hasil yang buruk dan secara kolektif hanya mendapatkan 14% dari total suara. PKB dan PAN, yang sebagian besar terdiri dari pengikut Islam Ortodoks, meraih hampir seperlima dari jumlah suara, tetapi Hasil pemilu 1999 (Ananta/Arifin/Suryadinata, 2004; Kompas 2004a) menunjukkan kemenangan Islam moderat dan sekuler. Partai-partai yang tegas dalam hal isu-isu Islam dengan kecenderungan mendukung Islamisasi konservatif negara ini seperti halnya PPP, PBB dan PK mendapatkan hasil yang buruk dan secara kolektif hanya mendapatkan 14% dari total suara. PKB dan PAN, yang sebagian besar terdiri dari pengikut Islam Ortodoks, meraih hampir seperlima dari jumlah suara, tetapi

Dalam pemilu 2004 (Sebastian, 2004; Aspinall, 2005; Hadiwinata, 2006; Ananta/ Arifin/ Suryadinata, 2005), tidak lebih dari 24 partai diperbolehkan untuk

berpatisipasi oleh karena adanya batasan-batasan hukum tambahan 9 . Walaupun pemilu pada dasarnya dikarakterisasikan dengan kesinambungan, beberapa pergeseran

tertentu terjadi yang menandai akselerasi dealiranisasi antara tahun 1999 sampai 2004.

Golkar menang dengan 21,6% (1999: 22.5%) dan sekarang menjadi partai terkuat di parlemen. PDI-P mengalami kekalahan yang mengejutkan dan kehilangan lebih dari

15 persen yang disebabkan oleh ketidakpuasan akan kepemimpinan Megawati sebagai presiden dan kinerja politisi PDI-P lain pada umumnya. Kejutan besar lainnya selain kekalahan PDI-P yang telak dan kenaikan Partai Demokrat adalah kemenangan PKS yang Islamis (dulunya PK), yang memenangkan 7,3% dari seluruh suara. Partai ini bahkan mampu menjadi nomor satu di Jakarta, lebih unggul dari PD. Hasil ini menunjukkan ketidakpuasan yang besar terhadap partai-partai yang sudah lebih mapan, terutama di ibu kota. PKB, PPP dan PAN jatuh satu demi satu. Prestasi mereka yang mengecewakan hanya dikalahkan oleh remuknya PDI-P.

Enam dari sepuluh partai terbesar dalam parlemen nasional sekarang ini adalah Islamis dan empat lainya sekuler (lihat tabel 3.) Pembelahan yang sangat jelas yang membentuk sistem kepartaian yang ada sekarang ini ialah antara partai Islam atau

sekuler. Partai Islam sendiri terdiri dari partai Islam moderat dan partai Islamis 10 .

9 Hanya partai-partai dengan paling sedikit mempunyai sepuluh kursi di DPR atau dengan lebih dari tiga persen suara di lebih dari setengah jumlah DPRD provinsi dan

kabupaten, bisa diikut sertakan dalam pemilu 2004. Selain itu mereka harus memiliki cabang-cabang di dua pertiga dari seluruh provinsi dan sekitar dua pertiga dari seluruh kabupaten di masing-masing provinsi tersebut.

10 Partai Islamis merupakan partai yang mendukung penerapan syariat Islam dan mempunyai tujuan untuk membangun negara Islam. Walaupun PKS tidak menganut

agenda ini secara resmi, mereka terklasifikasikan sebagai Islamis oleh karena ideologi mereka dan latar belakang organisasi.

Tabel 3: Hasil Pemilu 1999 dan 2004 (DPR)*

Partai Politik Jumlah Suara Jumlah Kursi Jumlah Suara Jumlah Kursi 1999 (%)

PKS) PAN

Lainnya TNI***

Total

500 550 * Anggota Kamar Pertama (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) dipilih dengan sistem

proporsional dalam konstituensi multianggota. Kamar Kedua (Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR) terdiri atas anggota-anggota DPR dan 132 perwakilan dari provinsi yang disebut DPD (Dewan Perwakilan Daerah, House of Regional Representative) yang sebenarnya memiliki posisi lemah. DPD didirikan tahun 2004 dan anggota-anggotanya dipilih dengan sistem mayoritas dalam konstituensi multianggota. Mereka tidak boleh berasal dari partai politik. Lagipula sudah ada pemilihan presiden langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (walikota, bupati, dan gubernur) sejak 2005.

** Alokasi jumlah kursi disesuaikan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi.

*** Militer (TNI, Tentara Nasional Indonesia) secara otomatis mendapat jatah kursi sebanyak 38 dari 1999-2004

Catatan: Partai Golongan Karya (Golkar), Functional Groups Party Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P), Indonesian Democratic Party – Struggle Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), National Awakening Party Partai Persatuan Pembangunan (PPP), United Development Party Partai Demokrat (PD), Democrat Party

Partai Keadilan (PK), Justice Party (2004: Partai Keadilan Sejahtera, PKS, Justice and Properity Party) Partai Amanat Nasional (PAN), National Mandate Party Partai Bulan Bintang (PBB), Crescent and Star Party Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi), United Development Party Reform (2004: Partai Bintang Reformasi, PBR, Star Party of Reform) Partai Damai Sejahtera (PDS), Prosperity and Peace Party

Source: Ananta/Arifin/Suryadinata 2005.

Polarisasi antara status-quo dan partai pro-demokrasi setelah jatuhnya Suharto dengan cepat memudar. Sekarang, rekahan yang jelas ini 11 hampir sama sekali tidak

tercermin dalam parlemen. Golkar dan PDI-P, sebagai contohnya hampir tidak ada bedanya dalam menunjukkan sikap mereka mengenai isu-isu kebijakan, keterlibatannya dalam skandal korupsi dan cara manajemen pengurus partainya.

Partai sekuler adalah Golkar, PDI-P, PDS (intinya Kristen) dan PD 12 . PDI-P, yang mempunyai banyak pengikut berlatar-belakang Kristen dan sekuler juga, masih

diasosiasikan dengan Sukarno, presiden pertama Indonesia yang berkarisma dan sangat populer. Putri Sukarno yang menjadi ketua umum PDI-P, Megawati, masih merupakan simbol Sukarnoisme. Keenam partai Islam ialah PKB (Islam tradisionalis moderat), PPP (Islamis modern dan tradisional), PKS (Islamis modernis), PAN (modernis moderat), PBB (Islamis moderat, mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai pengganti Masyumi) dan PBR (pecahan dari PPP). PKB dan PAN mendefinisikan

11 Pendekatan aliran dan rekahan saling berhubungan satu sama lainnya. Rekahan muncul sebagai akibat konflik sosial yang fundamental. Mereka membentuk wacana

mengenai permasalahan-permasalah inti dan dilembagakan oleh aktor politik, terutama partai-partai (lihat Lipset/ Rokkan, 1967, sebagai locus classicus mengenai rekahan). Penyebutan abangan dan santri tidak dengan mudah mendenotasikan pengelompokan dengan tingkatan kesetiaan akan agama mereka; dalam waktu yang sama mereka meyiratkan dimensi sosio-ekonomik tertentu. Abangan, sebagai contoh, terikat erat dengan lingkungan sosial tertentu bersamaan dengan basis sosial khas mereka. Di dalam konteks rekahan, pendekatan Geertz menyoroti pembedaan agama dan sosio-ekonomi pada saat yang bersamaan. Model yang sangat kompleks ini masih membingungkan dalam ajang perdebatan tentang partai politik di Indonesia

12 Harus diingat bahwa para pemilih Golkar, anggota dan pengurus partainya adalah Islam ortodoks. Mantan ketua Golkar, Akbar Tanjung, dulunya anggota gabungan

alumni HMI (Himpunan Muslim Indonesia, Association of Muslim Students). Ketuanya yang baru, Yusuf Kalla, berhubungan erat dengan NU. Oleh karena ini, Baswedan (2004: 674) menyebutnya ’partai yang ramah terhadap Islam’ (Islam-friendly). yang bersahabat’. Bahkan kebanyakan pemilih suara PDI-P, anggota partai dan anggota parlemennya adalah muslim ortodoks.

dirinya sebagai sekuler, tetapi nyatanya mereka adalah partai Islam moderat. PKB terhubung langsung dengan Islam tradisionalis Nahdatul Ulama (NU), yang secara resmi mempunyai sekitar 40 juta anggota. PAN, bisa dikatakan antagonis PKB, mempunyai hubungan kuat dengan organisasi massa perkotaan Islamis modernis Muhammadiyah, yang mengaku mempunyai sekitar 35 juta anggota.

Dua tipe partai yang baru juga tercipta: Partai Demokrat (Democrat Party) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk pada tahun 2001, dan Partai Keadilan dan Sejahtera, PKS. Keduanya tidak mempunyai pendahulu pada tahun1950an dan Orde Baru. PKS ialah partai kader Islamis yang terorganisasi secara effisien. Pelanggaran aturan partai atau korupsi akan dijatuhi hukuman berat. Mayoritas kadernya adalah laki-laki muda dan intelektual, dan merupakan gabungan antara teknik manajemen dari Barat dan indoktrinasi Islamis yang unik. Berbeda dengan mereka, Partai Demokrat sangat bergantung pada Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pemilihan presiden 2004, ia menggunakan PD sebagai kendaraan untuk menjadi presiden.

Dua dari empat partai besar pada tahun 1950an (PNI, Masyumi, NU dan PKI) mempunyai penerus langsung sekarang ini. Ada bukti yang jelas mengenai keberlanjutan antara PNI dan PDI-P, begitu juga antara NU dan PKB. Masyumi sekarang terpecah menjadi beberapa partai modernis, dan PKI tidak berlanjut sama sekali. Golkar meraup suara dari sumber-sumber yang beragam.

Meskipun ada beberapa perbedaan antara sekarang dan era 1950an, politik aliran masih tetap kental. Sistem kepartaian didasarkan pada beberapa konflik yang sama, yaitu antara politik Islam dan sekulerisme dan antara Islam tradisionalis dan modernis. Tentunya merupakan kesalahan bila hanya menerapkan kerangka Geertzianis ke politik kepartaian kontemporer dan mengabaikan perubahan sosial dan budaya yang fundamental. Garis yang membedakan Islam tradisionalis dan modernis telah menjadi lebih kabur, dan pembedaan antara abangan dan santri dapat dipertanyakan karena ekspansi Islam ortodoks di seluruh kepulauan ini (proses ini dijuluki santrinisasi). Sementara di era 1950an proporsi jumlah abangan seharusnya berkisar setengah atau dua per tiga dari jumlah populasi Muslim; sekarang prosentasenya sudah turun secara signifikan (Liddle, 2003). Kebudayaan priyayi tua sekarang sedang menurun, dan politik radikal kiri yang tersisa sudah dihancurkan Meskipun ada beberapa perbedaan antara sekarang dan era 1950an, politik aliran masih tetap kental. Sistem kepartaian didasarkan pada beberapa konflik yang sama, yaitu antara politik Islam dan sekulerisme dan antara Islam tradisionalis dan modernis. Tentunya merupakan kesalahan bila hanya menerapkan kerangka Geertzianis ke politik kepartaian kontemporer dan mengabaikan perubahan sosial dan budaya yang fundamental. Garis yang membedakan Islam tradisionalis dan modernis telah menjadi lebih kabur, dan pembedaan antara abangan dan santri dapat dipertanyakan karena ekspansi Islam ortodoks di seluruh kepulauan ini (proses ini dijuluki santrinisasi). Sementara di era 1950an proporsi jumlah abangan seharusnya berkisar setengah atau dua per tiga dari jumlah populasi Muslim; sekarang prosentasenya sudah turun secara signifikan (Liddle, 2003). Kebudayaan priyayi tua sekarang sedang menurun, dan politik radikal kiri yang tersisa sudah dihancurkan

Sementara pada masa 1950an afiliasi suku atau agama menentukan kesetiaan dan perilaku dalam memilih, sekarang relasinya lebih kompleks. Liddle dan Mujani (2006) di dalam konteks ini telah menunjukkan bahwa untuk meramalkan pilihan individual para pengikut sehubungan dengan seberapa kuatnya seseorang menganut agamanya (sebagaimana tercermin dalam melakukan beberapa kegiatan keagamaan tertentu) sangatlah sulit sekarang ini. Namun, dengan menggunakan teknik dua variabel (bivariable) dan teknik regresi ganda (multiple regression techniques) , King (2003) menunjukkan bahwa ada kontinuitas yang luas pada hasil pemilu (1955 dan 1999) di tingkat kabupaten. Ia menghubungkan dukungan bagi partai-partai besar dan menemukan kesamaan yang mengejutkan bahwa kesetiaan fundamental terhadap partai, pada intinya dalam hal agama, masih tetap ada, walaupun dengan pergeseran sosial-ekonomi sekarang ini.

Namun, penggunaan kata abangan dan santri sekarang ini dapat dipertanyakan. Lebih masuk akal untuk membedakan antara ’pengikut Islam politis’ (semua yang Islam Ortodoks) dan ’sekularis’ (Kristen, sinkretis, dan Islam Ortodoks yang tidak tertarik dengan mempolitisasikan agama merea). Analisis regresi mungkin nantinya akan menuntun kepada korelasi yang lebih kuat daripada hasil penelitian Liddle dan Mujani

(2006) 13 . Politik aliran yang sudah dimodifikasi ini berbeda dengan dua versi yang dipresentasikan oleh Geertz (1960 dan 1963) dan memperhitungkan variabel

perkembangan sosial-ekonomi dan agama sejak era 1950an. Hasil pemilu 1999 dan 2004 serupa dengan hasil di tahun 1955 14 dalam berbagai aspek. Tetapi aliran yang sekarang berbeda dan –yang lebih penting- partai tidak lagi

merupakan gerakan sosial yang memiliki jejaring organisasi sendiri yang erat (Antlov, 2004a:12). Mereka biasanya dipimpin oleh pemimpin yang kuat yang berhasil

13 Lihat juga korelasi yang lemah antara keagamaan dan pengambilan suara di dalam Ananta / Arifin/ Suryadinata (2004). Dapat dikatakan, bahwa pembedaan antara

’Muslim’ dan ’non-Muslim’ yang tidak jelas menghasilkan kurangnya korelasi keagamaan dan pengambilan suara.

14 Lihat Liddle, 2003; King, 2003; Baswedan, 2004; Antlöv, 2004b; Cederroth, 2004; Turmudi, 2004; Johnson Tan, 2006; Sherlock, 2004 and 2005 14 Lihat Liddle, 2003; King, 2003; Baswedan, 2004; Antlöv, 2004b; Cederroth, 2004; Turmudi, 2004; Johnson Tan, 2006; Sherlock, 2004 and 2005

perselisihan antar faksi di dalam partai sendiri sangat sering disebabkan oleh perbedaan ideologis, di mana sekarang percekcokan lebih mengenai gaya kepemimpinan dan posisi. Partai pada zaman sekarang mengendalikan satuan tugas (milisi) mereka sendiri, dan para elit lebih sering menjauhkan diri dari politik partai

oleh karena kedangkalan programatis 16 . Pada pemilu 1955, pengaruh politik uang lebih tidak nampak jika dibandingkan dengan sekarang. Kandidat untuk posisi-posisi

di partai dan parlemen tidak harus membayar untuk dinominasikan. Walaupun pendanaan partai pada tahun1950an dalam banyak hal ternodai oleh korupsi atau

pengaruh yang dipertanyakan 17 , politik tidak berhubungan dekat dengan bisnis seperti sekarang ini. Terlebih lagi, partai di tahun 1950an bergantung pada jejaring di tingkat

perdesaan dan mengharapkan dukungan aktif dari elit-elit desa 18 . Sekarang, hubungan jejaring dalam bentuk yang berbeda masih ada, tetapi identifikasi secara langsung

dengan pemimpin partai melalui media massa telah meningkat cukup besar.

Pengamatan demikian telah digarisbawahi oleh sejumlah survei yang diadakan selama beberapa tahun belakangan ini 19 . Survei tersebut menunjukkan bahwa transformasi

telah terjadi. Mereka menggambarkan, sebagai contohnya, kesetiaan pada partai berkurang sebagai konsekuensi dari pengikisan wilayah sosial. Satu laporan dari Asia Foundation (2003), misalnya, menunjukkan bahwa, dengan merujuk pada pemilu

15 Cf. dari sini dan juga berikutnya: Fealy (2001: 102ff) 16 Hampir semua pegawai negeri, termasuk atasan dan para hakim dan kejaksaan, adalah

anggota partai. Hanya anggota polisi dan tentara yang tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota di partai. Ketika seseorang tidak menjadi anggota partai secara formal, selayaknya ia dinilai dari latar belakang perkumpulan pribadi dan citranya’ (Feith, 1962: 124)

17 Pendanaan PNI dengan hubunganya dengan birokrasi negara, dipertanyakan secara spesifik (Feith, 1957; 26-27; Rocamora, 1975: 112ff). Feith menduga bahwa PKI

mendapatkan dana dari luar negeri, sementara partai-partai Muslim lainnya memanfaatkan relasinya dengan pemilik tanah, petani karet, perajin batik, dsb. NU dulu dikatakan sangat miskin. Dengan ‘modal sosial’ pimpinannya, yaitu hubungan sosial dan politik di sekitar pedesaan, modal keuangan menjadi tidak terlalu penting (Feith, 1957: 28).

18 ‘Partai-partai yang tidak mampu untuk membangun hubungan ekstensif di tingkat perdesaan, dan mengharapkan untuk melakukan pendekatan melalui media massa,

akhirnya tidak sukses- walaupun mereka mempunyai modal finansial yang cukup dan keuntungan dari kedudukan di pemerintahan’ (Feith 1957, 26).

19 Dalam survey sampai 2002: Johnson Tan 2002.

parlemen, ada proporsi yang tinggi dari non-identifikan atau ’pemilih mengambang’ di antara para pemilih (Asia Foundation 2003: 100). The International Foundation for Election System dalam survey nasionalnya menemukan bahwa 40,2% dari mereka yang memilih Golkar di pemilihan parlementer tahun 2004 cenderung memilih Susilo dan bukan kandidat resmi dari partai itu, yakni Wiranto, di tahap pertama pemilihan presiden. 23,7% pemilih PDI-P memilih Susilo, dan 22,7% dari PPP menjadikan Amien Rais sebagai pilihan mereka, dan bukan kandidat yang ditentukan oleh partainya, Hamzah Haz. 40% anggota PBB, yang seharusnya Islamis, memilih Susilo. Survey IFES lainnya (IFES, 2004b) menunjukkan 84% dari semua yang memilih PBB, PBR, PKB dan PAN memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla dalam pemilihan presiden tahap kedua dan dari 82% yang memilih Golkar di pemilu nasional 2004 juga memilih Susilo dan Yusuf Kalla, walaupun pimpinan pusat resminya mendukung Megawati dan Hasyim Muzadi.

Survey yang diadakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2006) menunjukan adanya pengurangan identifikasi dengan partai politik dari pemilu 2004 sampai dengan awal 2006. Hanya 25% dari lebih 1200 warga Indonesia mengidentifikasikan diri dengan partai tertentu. Penemuan lainnya adalah bahwa 90% dari pemilik suara tidak sadar dengan kebijakan partainya mengenai import beras dan 94% tidak tahu tentang kebijakan partainya berkenaan dengan kenaikan harga bensin yang merupakan keputusan politik yang paling penting di tahun 2005.

Indikator lainnya mengenai proses dealiranisasi, yakni sebagai perpindahan dan pelemahan aliran Geertzian, adalah dinamika politik lokal. Pilkada 20 , yaitu pemilu

untuk pemilihan pimpinan daerah (gubernur, bupati dan walikota) yang dimulai pada tahun 2005, menunjukkan bahwa pilihan pasangan kandidat oleh partai politik, keputusan pemilih, dan pembangunan koalisi antarpartai di berbagai kasus terjadi bukanlah berdasarkan kesetiaan jangka panjang dalam wadah sosial tertentu melainkan merupakan hasil dari keputusan yang pragmatik. Banyak koalisi terbentuk hanya karena untuk memenangkan pilkada. Di Maluku, bahkan PKS dan PDS, yaitu partai Islamis dan partai yang seharusnya merupakan pembela kuat Kristen, membentuk koalisi (Rinakit, 205; Djadijono, 2006).

20 Singkatan dari pemilihan kepala daerah.

Sebagai kesimpulan, pendekatan aliran masih terlihat berguna sebagai alat analisa seperti yang ditunjukan dari hasil pemilu 1999 dan 2004 dibanding dengan hasil tahun 1955. Tetapi, proses dealiranisasi, yang mencakup perilaku politisi dan pemilih, menimbulkan kebutuhan akan konsep yang lebih terperinci untuk dapat lebih mengerti kinerja internal partai politik dalam Indonesia kontemporer.

4. ’Filipinanisasi’: Indikasi Pergantian Partai

Dalam bagian ini akan dilakukan perbandingan dengan partai-partai di Filipina agar lebih jelas mengerti dinamika partai politik Indonesia yang sekarang dan mungkin juga di masa depan. Kedua negara sangat serupa dalam konteks sosial ekonomi, kualitas demokrasi (menurut Freedom House dan Politi IV), sejarah politik mereka (demokrasi di tahun 1950an, kemudian neopatrimonial otoritarianisme dan akhirnya re-demokratisasi) dan ciri utama dari sistem pemerintahan (presidensial).

Partai politik di Filipina memiliki ciri kurangnya dasar atau platform yang berguna, karena seringnya anggota berpindah partai, pembangunan koalisi jangka pendek, faksionalisme, dan juga sejumlah pembubaran dan kemunculan kembali (Rocamorra, 2000; Arlegue / Coronel, 2003; Teehankee, 2006). Partai-partai kebanyakan tidak aktif dalam masa antar pemilu, jumlah anggota yang rendah sama seperti rendahnya tingkat pengorganisasian. Sebagai hasilnya, bidang kepartaian sangat berliku-liku seperti labirin. Setiap tiga tahun, sangat banyak partai dengan nama yang serupa namun tidak bermakna, bersaing di dalam sistem pemilihan yang sangat kompleks. Mayoritas partai politik baru berumur beberapa tahun. Mereka umumnya diaktifkan atau didirikan oleh kandidat presiden yang menentukan pilihan calon kongres dan calon lokal bersama dengan beberapa pimpinan politik nasional lainnya dan membuat keputusan penting dengan cara otoriter. Di dalam parlemen, partai-partai ini menjadi kelompok kepentingan yang beranggotakan anggota-anggota parlemen, dan mereka hanya ingin mencari akses finansial yang mudah. Karena presiden tidak mengendalikan mesin partai yang efisien, ia sangat tergantung kepada elit lokal untuk memobilisasi pemilih. Kampanye lebih terfokus pada para kandidat, bukan partainya sendiri. Alasan lain yang menjelaskan lemahnya kelembagaan mereka ialah pengeluaran dana yang sangat besar di saat kampanye. Partai yang tidak mampu Partai politik di Filipina memiliki ciri kurangnya dasar atau platform yang berguna, karena seringnya anggota berpindah partai, pembangunan koalisi jangka pendek, faksionalisme, dan juga sejumlah pembubaran dan kemunculan kembali (Rocamorra, 2000; Arlegue / Coronel, 2003; Teehankee, 2006). Partai-partai kebanyakan tidak aktif dalam masa antar pemilu, jumlah anggota yang rendah sama seperti rendahnya tingkat pengorganisasian. Sebagai hasilnya, bidang kepartaian sangat berliku-liku seperti labirin. Setiap tiga tahun, sangat banyak partai dengan nama yang serupa namun tidak bermakna, bersaing di dalam sistem pemilihan yang sangat kompleks. Mayoritas partai politik baru berumur beberapa tahun. Mereka umumnya diaktifkan atau didirikan oleh kandidat presiden yang menentukan pilihan calon kongres dan calon lokal bersama dengan beberapa pimpinan politik nasional lainnya dan membuat keputusan penting dengan cara otoriter. Di dalam parlemen, partai-partai ini menjadi kelompok kepentingan yang beranggotakan anggota-anggota parlemen, dan mereka hanya ingin mencari akses finansial yang mudah. Karena presiden tidak mengendalikan mesin partai yang efisien, ia sangat tergantung kepada elit lokal untuk memobilisasi pemilih. Kampanye lebih terfokus pada para kandidat, bukan partainya sendiri. Alasan lain yang menjelaskan lemahnya kelembagaan mereka ialah pengeluaran dana yang sangat besar di saat kampanye. Partai yang tidak mampu

Di Indonesia, ada kecenderungan kesamaan dengan politik kepartaian yang ada di Filipina. Yang terlihat paling jelas, seperti yang akan dideskripsikan dengan secara rinci di bawah ini, adalah: munculnya partai presidensial, sifat otoriter partai yang cenderung terfaksionalisasi dalam kelompok-kelompok tertentu, menonjolnya tujuan yang murni materialistis (‘politik uang’), kurangnya program yang rinci, lemahnya kesetiaan terhadap partai, pembangunan kartelisasi dengan koalisi yang cair, dan munculnya elit lokal.

Munculnya Partai Presidensial dan Presidensialisasi Partai

Semenjak amandemen UUD, penerapan pemilihan presiden secara langsung dan penguatan kepresidenan dengan membuat impeachment lebih sulit dilakukan, badan eksekutif telah tumbuh menjadi lebih kuat dalam hubungannya dengan parlemen. Partai politik telah kehilangan kemampuan untuk memilih presiden di dalam MPR seperti yang dapat mereka lakukan di tahun 1999.

Pemilihan presiden secara langsung telah mencuatkan parpol gurem sebagai kendaraan bagi para kandidat presiden. Contoh yang sangat mencolok adalah Partai

Demokrat yang dimanfaatkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono 21 . Dalam sistem pemilihan tidak langsung sebelumnya, partai kepresidenan tersebut tidak mungkin

dapat terbentuk. Partai Demokrat tidak memiliki program yang nyata dan tidak memiliki struktur organisasi yang kuat terutama di bawah level nasional. Dalam

21 Lima pasangan kandidat semasa pemilihan presiden dan wakil presiden adalah (partai yang menominasikan di dalam kurung ): Susilo Bambang Yudhoyono (PD) dan Yusuf

Kalla; Wiranto (Golkar) dan Solahuddin Wahid; Megawati Sukarnoputri (PDI-P) dan Hasyim Muzadi, Hamzah Haz (PPP) dan Agum Gumelar; Amien Rais (PAN) dan Siswono Yudohusodo. Di tahap kedua, Susilo dan Yusuf Kalla mengalahkan Megawati dan Hasyim Muzadi dan mendapat dukungan mayoritas yang jelas yaitu lebih dari 60%.

Kongres tahun 2005, Kristiani Herawati, istri Susilo dan wakil pemimpin partai, dilaporkan telah memainkan peran dalam terpilihnya kakak iparnya sebagai ketua

partai. PD mungkin akan tetap bisa bertahan asalkan Susilo tetap menjadi presiden 22 .

Sebagai tambahan, dapat dikatakan bahwa beberapa partai –seperti PDI-P, Golkar di bawah Yusuf Kalla, PAN dibawah Amien Rais dan PKB dengan Abdurrahman Wahid- telah dipresidensialisasikan karena masing-masing mereka menyiapkan pimpinannya (atau kandidatnya yang ditunjuk) untuk pemilihan presiden berikutnya

di tahun 2009 dan mengorganisasikan mekanisme partainya untuk tujuan tersebut 23 . Hasilnya adalah penokohan yang otoriter (authoritarian personalism) (lihat bawah) 24 .

Partai Presidensialisasi akan cenderung mengorbankan fokus kebijakan, ‘(…) dan organisasi partai akan terpinggirkan dalam penetapan agenda partai dan pembentukan ideologi partai’ (Samuels 2002: 271). Pemilu presiden, terutama dengan sistem dua tiket dalam dua ronde, semakin mengaburkan perbedaan antar ideologi. Masing- masing pasangan calon presidenan dan wakil presiden mewakili tingkat keagamaan dan latar belakang geografis yang berbeda. Oleh karena itu, di dalam dua tahap pemilihan di tahun 2004, beberapa koalisi partai yang tidak terduga terbentuk.

Poguntke dan Webb (2005) menyatakan presidensiliasi terjadi bahkan dalam sistem non-presidensial: pertama, oleh karena internasionalisasi politik modern yang disertai dengan ’bias eksekutif’ dalam proses politik; kedua, karena menurunnya stabilitas koalisi politik yang telah mengurangi tradisi kesetiaan kepada partai; dan ketiga, oleh karena meningkatnya kapasitas pimpinan politik yang memungkinkan mereka untuk mengambil jalan pintas di luar struktur partai mereka dan membujuk para pemilih secara langsung. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi partai-partai dalam demokrasi yang baru.

22 Tempo, 24-30 May 2005: Partai Nasional Demokrat: Pilihan ketua dari SBY. 23 Terlebih lagi, ada kecendungan untuk menominasikan artis terkenal seperti aktor

sinetron sebagai kandidat legislatif. PDI-P mengangkat Desy Ratnasari, Marissa Haque, Deddy Sutomo dan penyanyi Franki Sahilatua dalam pemilu 2004. PKB mendaftarkan aktor-aktor seperti Rieke Dyah Pitaloka dan Ayu Azhari, dan Golkar menominasikan Nurul Arifin. Cara nominasi seperti ini adalah bagian dari politik di Filipina dengan mantan bintang film seperti mantan presiden Estrada atau kandidat presiden Fernando Poe.

24 Lihat Mujani/ Liddle (2006) untuk contoh betapa besar pengaruh variabel “kepemimpin” terhadap pilihan partai.

Proses Internal: Penokohan yang Otoriter dan Faksionalisme

Penokohan yang otoriter sampai tingkat-tingkat tertentu dapat dikatakan sebagai warisan kebudayaan politik Orde Baru 25 . Organisasi partai yang tersentralisasi dalam

pengorganisasiannya dan pengambilan keputusan dibuat seburam mungkin dan tidak demokratis seperti sistem otoriter. Penindasan di tahun 1990an memunculkan para pemimpin yang karismatik yang semestinya pro-demokrasi seperti Megawati, Abdurrahman Wahid dan Amien Rais. Setelah tahun 1998 penokohan lebih diperkuat kembali oleh media massa, sistem presidensial dan aturan partai yang menguntungkan eksekutif pusat di Jakarta.

Di kebanyakan partai yang sekarang, keputusan penting seperti nominasi kandidat (Haris 2005: 9ff) diambil oleh beberapa anggota eksekutif inti yang umumnya setia kepada satu pemimpin yang karismatik. Proses pengambilan keputusan biasanya

diteruskan dari atas ke bawah dan ke cabang-cabang lainnya 26 . Lebih lanjut, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari kebanyakan partai

tidak mengatur dengan jelas bagaimana kongres dan pemilihan dalam partai harus diatur (Notosusanto, 2005). Terkadang AD/ART ini bahkan diubah pada awal konvensi, dengan contoh yang terkenal yaitu konggres Golkar dan PDI-P pada akhir

tahun 2005 dan awal tahun 2006 27 .

Partai-partai politik besar sudah merancang undang-undang pemilu dan partai politik sedemikian rupa untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka melarang kandidat individu atau non-partai dan mempersulit kandidat partai-partai kecil untuk bersaing. Partai lokal tidak diperbolehkan, kecuali di Aceh. UU no. 31 tahun 2002 menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) suatu partai harus bertempat di Jakarta. Seluruh

25 Penokohan nantinya menguat oleh karena pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung (cf. Mujani / Liddle, 2006). 26 Di bulan Agustus 2005, pengusaha terkenal Fuad Bawazier keluar dari PAN oleh karena PAN ’telah melanggar prinsip demokrasinya sendiri’ setelah Dewan Pusatnya

membuat keputusan pada tanggal 22 Juli, yang menyatakan bahwa anggota tingkat cabang di provinsi dilarang untuk memilih eksekutif daerah yang tidak patuh dengan aturan di Jakarta (PAN split wider as co-founder tenders his resignation, Jakarta Post, 15.8.2005)

27 End of family feud caps rift-ridden PDI-P congress, Jakarta Post, 2.4.2005.

sistem representasi proporsional menguatkan kedudukan kepemimpinan partai pusat. Sistem representasi proporsional semi-terbuka yang baru saja diluncurkan membuat sangat tidak mungkin bagi seorang kandidat untuk terpilih melalui mekanisme ini. Sebagaimana diatur dalam UU no. 23 tahun 2003, hanya partai politik atau koalisi dari partai politik yang mempunyai minimum 3% kursi di parlemen atau 5% jumlah suara di pemilu parlemen 2004 diperbolehkan untuk menominasikan sepasang calon eksekutif. Pada tahun 2009 jumlah minimumnya akan menjadi 15% dari seluruh jumlah kursi dan 20% dari jumlah suara.

Hampir semua partai mempunyai pusat kekuasaan di Jakarta dan mengucilkan anggota yang membangkang. Oposisi dalam partai dipinggirkan khususnya di PDI-P dan PKB, terkadang tanpa mengindahkan AD/ART resmi partai. Anggota PDI-P yang terkenal, seperti Sophan Sophiaan, Indira Damayanti Sugondo, Meilono Suwondo, Arifin Panigoro dan Haryanto Taslam, dipinggirkan karena dianggap sebagai kritikus partai atau mengundurkan diri sebagai wujud kekecewaan terhadap kepemimpinan

Megawati. Salah satu bentuk hukuman ialah ‘recall’ atau pemanggilan kembali 28 anggota parlemen, yakni mengakhiri mandat mereka dan kedudukan mereka untuk

digantikan orang lain 29 . Hak untuk melakukan ‘recall’gaya Orde Baru, digunakan kembali di tahun 2002. Lebih jauh lagi, Megawati masih mempunyai wewenang