Observasi Tekstil di Jepang 2013

FINAL REPORT
Kunjungan Observasi Konservasi Tekstil di Jepang
16 - 21 Desember 2013

disusun oleh:
Puji Yosep Subagiyo (Observator)
Slamet (Konservator)

MUSEUM NASIONAL
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

FINAL REPORT
Kunjungan Observasi Konservasi Tekstil di Jepang
16 - 21 Desember 2013
disusun oleh:
Puji Yosep Subagiyo (Observator) dan Slamet (Konservator)
Bidang Perawatan dan Pengawetan - Museum Nasional Indonesia

A. TUJUAN KUNJUNGAN
Menurut hasil temuan arkeologis bahwa Jepang telah mengenal barang tenunan dari Periode

Jōmon, India mengenal kapas dari tahun antara 5000 - 4000 BCE, Mesir mengenal linen dari sekitar 5500
BCE, dan China sudah mengenal sutera dari tahun antara 5000 - 3000 BCE (Neoliikum). Lihat gambar
1.: Periode Waktu di Cina, India, Jepang dan Korea. Tinjauan arkeologis terhadap teksil Indonesia
mungkin sejak ditemukannya fragmen hasil eksavasi di Bali, yang kemudian setelah direkonstruksi

Foto 01.: Peserta Kunjungan Observasi, Slamet (paling kiri)
dan Puji Yosep Subagiyo (paling kanan) saat foto bersama
di ruang konservasi teksil Museum Nasional Tokyo.

Foto 02.: Dr. Koizumi Yoshihide (kiri) berindak sebagai
pemandu dan organizer dari kunjungan observasi dan
Slamet, konservator Museum Nasional Indonesia (kanan).

menunjukkan bahwa benda tersebut adalah fragmen teksil dengan tehnik ikat. Ada penulis juga yang
menyebutkan bahwa pengetahuan tentang teksil Indonesia sebagai perkembangan tehnik menenun.
Pendapat keberadaan teksil Indonesia lain adalah dari abad ke-8 sampai ke-2 Sebelum Masehi (Jaman
Perunggu), dan barang anyaman mungkin telah ada dari Jaman Batu Muda atau Neoliikum (sekitar
3000 - 2000 SM). Lihat gambar 2.: Periode Waktu di Indonesia.
Buku panduan galeri Horyu-ji Treasures of the Tokyo Naional Museum menampilkan koleksi
teksil berupa fragmen Spanduk Ritual Buddha (Buddhist Ritual Banner) dari Periode Asuka - Nara.

Dari kondisi keterawatan fragmen spanduk abad 5 - 7 M tersebut, kita mengetahui bagaimana pihak
pengelola museum menangani koleksinya pada saat studi, perawatan/ pengawetan, peyimpanan dan
displai. Melalui kunjungan observasi ini, kita juga menjadi tahu akibat yang diimbulkan dari gempa
bumi besar yang menimpa Kota Tokyo pada tahun 1923, Kota Kobe pada tahun 1993, dan akibat
bencana gempa dibarengi tsunami pada tahun 2011.
Tujuan Kunjungan Observasi Konservasi Teksil adalah untuk melihat dari dekat kondisi
keterawatan teksil, mengetahui cara perawatan dan penanganan koleksi saat displai dan penyimpanan.
Museum Nasional Tokyo (di Ueno Park – Tokyo) dan Museum Joshibi University of Art and Design (di
Kanagawa) menjadi tujuan kunjungan karena riwayatnya yang panjang tentang teksil, serta banyak
mengoleksi teksil dari Indonesia, Mesir dan negara-negara dari sebagian penjuru dunia.
1

Source: htp://primastoria.net/

Foto 03.: Penyerahan kenang-kenangan berupa buku dari
Kepala Museum Nasional Indonesia, Dra. Intan Mardiana,
M.Hum., kepada Mr. Shimatani Hiroyuki.

Foto 04.: Penyerahan kenang-kenangan berupa buku
dari Kepala Museum Nasional Indonesia, kepada Mr.

Matsumoto Nobuyuki

B. KEGIATAN
Kunjungan observasi diawali komunikasi surat elektronik dengan Dr. Koizumi Yoshihide, seorang
supervisor pada Bidang Edukasi dan Perencanaan Kuratorial di Museum Nasional Tokyo. Koizumi yang
berindak sebagai pemandu dan penterjemah ini mengatur jadwal dan tujuan kunjungan menjadi
sangat baik.
Hari pertama kunjungan dilakukan pertemuan dan diskusi dengan Dr. Koizumi untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kunjungan di ruang-ruang simpan atau displai
dan laboratorium konservasi teksil di Museum Nasional Tokyo dan Joshibi University of Art and Design.
Hari berikutnya diadakan ramah tamah dengan Mr. Shimatani Hiroyuki (Wakil Direktur Eksekuif untuk
Museum Nasional Tokyo), Dr. Kamba Nobuyuki (Kepala Bidang Konservasi untuk Museum Nasional
Tokyo), dan Mr. Matsumoto Nobuyuki (Kepala Kurator dan Direktor Perencanaan Kuratorial di Museum
Nasional Tokyo). Kegiatan ramah tamah ini diakhiri dengan jamuan makan siang bersama.
1. Kunjungan di Ruang Lab Konservasi Teksil, Museum Nasional Tokyo.
Kunjungan observasi di ruang konservasi teksil Museum Nasional Tokyo dilakukan untuk
melihat tehnik penyimpanan fragmen teksil yang berkondisi rapuh pada mouning kayu berpenutup
akrilik ani pantul, mouning kertas karton bebas asam yang berlubang. Ruang kerja untuk konservasi

Foto 06.: Detail mouning kayu dengan penutup akrilik

untuk keperluan displai dan penyimpanan.

Foto 05.: Detail mouning dengan kertas karton bebas
asam untuk keperluan displai dan penyimpanan.

2

Foto 07.: Tehnik rolling untuk kain biasa untuk keperluan
penyimpanan dan transportasi.

Foto 09.: Peralatan mikroskopis khusus untuk
pengamatan kerusakan teksil.

Foto 08.: Rak-rak sederhana untuk penyimpanan bahan
dan alat untuk keperluan konservasi teksil.

Foto 10.: Bak cuci stainless

teksil dilengkapi dengan meja kerja untuk pengamatan dan treatmen kerusakan, rak-rak atau lemari
- lemari untuk menyimpan bahan dan alat konservasi dan difasilitasi berbagai peralatan untuk

ideniikasi dan pengamatan tehnis.
Kunjungan observasi ini dimaksudkan untuk melihat dari dekat kondisi keterawatan teksil,
khususnya kain tua yang sudah rapuh, dan mengetahui cara penanganan saat dipersiapkan untuk
displai dan penyimpanan. Kain berkondisi rapuh akan dilembabi (bukan dibasahi) dengan air disilasi
dan secara perlahan-lahan diratakan dengan kwas halus. Karton bebas asam yang dilapisi busa
dengan lapisan akhir sutera digunakan untuk tatakan kain rapuh yang sudah bersih dan diratakan
seperi diatas. Karton kedua yang berlubang agak lebih lebar dari ukuran fragmen teksil disiapkan
untuk lapisan kedua, sebelum lapisan akhir kertas tembus pandang ditempatkan. Lihat foto 05.
Dengan cara hampir sama dilakukan untuk mouning fragmen kain dengan kayu berpenutup akrilik.
Lihat foto 06.
Museum Nasional Tokyo membuat semacam displai peraga berupa poster (lihat foto 11) dan
displai alat dan bahan konservasi (lihat foto 12-14) untuk memberikan gambaran tentang kegiatan
dan dengan cara apa pegawai Bidang Konservasi melaksanakan kegiatan perawatan.

3

Foto 11: Displai peraga berupa poster untuk memberikan
gambaran tentang kegiatan perawatan di Museum
Nasional Tokyo.


Foto 12.: Displai peraga berupa peralatan yang
digunakan untuk perawatan di Museum Nasional Tokyo.

Foto 14: Detail model kotak yang biasa digunakan
untuk packing pada saat trasportasi koleksi museum.

Foto 13: Displai peraga berupa peralatan yang digunakan
untuk perawatan di Museum Nasional Tokyo.

4

2. Kunjungan di Ruang Lab Konservasi Teksil, Museum Joshibi University of Art and Design (Kanagawa).
Museum yang berailiasi dengan Joshibi (Women) University of Art and Design ini memiliki sekitar 15
ribu koleksi teksil dari berbagai negara, termasuk teksil dari Indonesia. Kunjungan observasi dilakukan
di ruang restorasi teksil Museum Joshibi University of Art and Design (Kanagawa), ruang-ruang dan
lemari-lemari simpan teksil, juga melihat dari dekat tehnik restorasi teksil dan proses ideniikasi –
restorasi yang diperagakan langsung oleh Prof. Dr. Sudo Ryoko di Museum Joshibi University of Art
and Design (Kanagawa).

Foto 15.: Seorang konservator teksil di Museum Nasional

Tokyo sedang menjelaskan tehnik backing-up dengan kain
yang dijahitkan pada koleksi yang akan didisplai.

Foto 16.: Seorang konservator teksil di Museum Joshibi
University sedang menjelaskan tehnik backing-up dengan
kain yang dijahitkan pada koleksi yang akan didisplai.

Foto 18.: Kegiatan restorasi teksil biasanya dilakukan
Foto 17.: Peragaan ideniikasi dan dokumentasi teksil oleh
dengan bantuan kaca pembesar yang dapat ditempelkan
Prof. Dr. Sudo Ryoko di Museum Joshibi University of Art
pada kacamata.
and Design, Kanagawa.

Foto 19.: Penyerahan kenang-kenangan
berupa buku dari Kepala Museum Nasional
Indonesia, Dra. Intan Mardiana, M.Hum.,
kepada Prof. Dr. Sudo Ryoko, kurator teksil
Museum Joshibi (Women) University of Art
and Design, Kanagawa.


5

3. Kunjungan di Ruang Simpan Teksil, Museum Nasional Tokyo.
Ruang simpan yang berpintu besar dan rangkap di Museum Nasional Tokyo ini dibuat kedap
dan selalu dijaga bersih. Bagi siapa aja yang akan memasukinya diminta untuk melepas sepatu dan
hanya diperbolehkan membawa pensil sebagai alat tulis (dilarang ball point atau alat tulis berinta
lain). Tangga naik dan lantai dua dari ruangan ini terbuat dari besi yang berkontruksi sangat kuat,
lemari (berikut laci-lacinya) dan pelapis dinding ruangan terbuat dari bahan kayu. Bahan kayu
dianggap cocok untuk menseimbangkan kelembaban udara pada saat terjadi luktuasi kelembaban
udara diluar lemari atau ruang simpan. Ukuran lemari dan lacinya disesuaikan dengan ukuran teksil
yang akan menempainya. Teksil yang berkondisi rapuh dibuat tempat berupa mouning kertas
karton bebas asam (lihat foto 05 dan 20) atau kayu (lihat foto 06). Kain-kain datar ditempatkan
langsung di laci dengan alas kertas bebas asam. Ruang simpan teksil ini juga dilengkapi dengan alat
pengatur suhu dan kelembaban udara, serta disediakan meja yang dapat diatur luas permukaannya
dan troli untuk pemindahan koleksi.

Foto 20.: Seorang asisten kurator di Museum Nasional
Tokyo sedang menjelaskan tentang berbagai pola hias
teksil Jepang yang tersimpan di storage teksil.


Foto 21.: Detail mouning kertas karton bebas asam
untuk keperluan displai dan penyimpanan di Museum
Nasional Tokyo.

Foto 22.: Gambaran ruang dan lemari simpan teksil di
Museum Nasional Tokyo. Lemari dan (lapisan) dinding
sengaja dibuat dengan bahan kayu karena bersifat
bufering.

Foto 23.: Gambaran ruang berlantai dua dan lemarilemari simpan teksil di Museum Nasional Tokyo.

6

Foto 24.: Detail mouning kertas karton bebas asam
untuk keperluan displai dan penyimpanan di Museum
Joshibi University of Art and Design, Kanagawa.

Foto 26.: Gambaran ruang berlantai 2 yang khusus
diperuntukkan untuk penyimpanan teksil di Museum

Joshibi.

Foto 25.: Seorang asisten kurator teksil sedang
menjelaskan cara penyimpanan teksil yang dibungkus
kertas dalam kotak karton bebas asam di Museum Joshibi.

Foto 27.: Slamet, seorang konservator Museum Nasional
Indonesia sedang mengamai label dan tanda pada kotakkotak penyimpan yang tersusun rapi di rak khusus teksil.

4. Kunjungan di Ruang Simpan Teksil, Museum Joshibi.
Ruang simpan Museum Joshibi ini dibuat selalu dijaga bersih, dan bagi siapa aja yang akan
memasukinya diminta untuk melepas sepatu dan hanya diperbolehkan membawa pensil sebagai
alat tulis (dilarang ball point atau alat tulis berinta lain). Tangga naik dan lantai dua dari ruangan
ini terbuat dari besi yang berkontruksi sangat kuat, lemari (berikut laci-lacinya) dan pelapis
dinding ruangan terbuat dari bahan kayu. Bahan kayu dianggap cocok untuk menseimbangkan
kelembaban udara pada saat terjadi luktuasi kelembaban udara diluar lemari atau ruang simpan.
Ukuran lemari dan lacinya disesuaikan dengan ukuran teksil yang akan menempainya. Teksil
yang berkondisi rapuh dibuat tempat berupa mouning kertas karton bebas asam (lihat foto 24).
Kain-kain datar ditempatkan langsung di laci dengan alas kertas bebas asam, sebagian di rol dan
dibungkus dengan kertas bebas asam dalam kotak kertas karton. Ruang simpan teksil ini juga

dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban udara.
Kotak-kotak karton yang berisi koleksi teksil yang dilipat dan dibungkus dengan kertas bebas
asam disusun rapi dalam rak-rak yang terbuat dari logam dan berkontruksi sangat kokoh. Masing7

masing kotak selanjutnya diberi label yang berisikan informasi nomor koleksi, nama dan asal koleksi.
Seiap koleksi juga dilengkapi dengan lembar data yang memuat foto, nomor koleksi, asal koleksi,
ukuran, bahan dan deskripsi, kemudian lembar-lembar data ini disimpan dalam folder data untuk
memudahkan penyimpanan dan pencarian koleksi. Lihat foto 28 dan 29. Lantai 2 di ruang simpan
teksil sengaja dibuat terbuka untuk memudahkan sirkulasi udara dan kontrol keamanan ruang di
Museum Joshibi. Lihat foto 32 dan 33. Ruang simpan lain di museum ini adalah ruang berlantai dua
dengan mobile-racks untuk menggantung lukisan atau teksil yang dipigura di Museum Joshibi.

Foto 28.: Gambaran lembar data (inventaris) teksil di
Museum Joshibi.

Foto 29.: Detail lembar data (inventaris) teksil dalam
folder-folder yang tersusun rapi disamping rak teksil di
Museum Joshibi.

Foto 30.: Gambaran kotak-kotak berisi teksil yang
dibungkus kertas bebas asam tersusun rapi disamping
rak-rak dalam ruang simpan di Museum Joshibi.

Foto 31.: Gambaran tangga dan rol-rol berisi teksil yang
dibungkus kertas bebas asam tersusun rapi di rak-rak
dalam ruang simpan di Museum Joshibi.

Foto 32.: Detail rol-rol berisi teksil yang dibungkus kertas
bebas asam tersusun rapi di rak-rak dalam ruang simpan
di Museum Joshibi.

Foto 33.: Detail lantai 2 di ruang simpan teksil sengaja
dibuat terbuka untuk memudahkan sirkulasi udara dan
kontrol keamanan ruang di Museum Joshibi.

8

Foto 34.: Gambaran ruang berlantai dua dengan mobileracks untuk menggantung lukisan atau teksil yang
dipigura di Museum Joshibi.

Foto 35.: Seorang asisten kurator yang menggerakkan
mobile-racks di Museum Joshibi.

Foto 36.: Detail mobile-racks yang menunjukkan rel
landasan di bagian lantai, di Museum Joshibi.

Foto 37.: Detail mobile-racks yang menunjukkan rel
gantung di bagian atap, di Museum Joshibi.

Foto 38.: Gambaran penerangan lampu dalam lemari
displai di suatu ruang pamer Museum Nasional Tokyo.

Foto 39.: Gambaran penerangan lampu diluar lemari
displai (dipasang menempel plafon) di suatu ruang pamer
Museum Nasional Tokyo.

5. Kunjungan di Ruang Pamer, Museum Nasional Tokyo.
Ada iga model ruang pamer Museum Nasional Tokyo, yaitu: 1. Model ruang dengan displai
koleksi terbuka (tanpa vitrin); 2. Model ruang dengan vitrin yang lampu penerangannya ada
didalamnya; dan 3. Model ruang dengan vitrin yang lampu penerangannya ada diluar (menempel di
plafon ruang pamer). Lihat foto 38 - 43.
9

Foto 40.: Gambaran penerangan lampu diluar lemari
displai (dipasang diatas plafon) di suatu ruang pamer
Museum Nasional Tokyo.

Foto 41.: Detail penerangan lampu sorot yang dipasang
menempel plafon di suatu ruang pamer Museum Nasional
Tokyo.

Foto 42.: Gambaran lemari displai berukuran besar di
suatu ruang pamer dilihat dari depan, di Museum Nasional
Tokyo.

Foto 43.: Detail lemari displai
berukuran besar di suatu ruang pamer
dilihat dari samping, di Museum
Nasional Tokyo.

C. PEMBAHASAN DAN SARAN
Proses konservasi teksil yang paling sederhana adalah pembersihan atau ‘cleaning’ kotoran
dari permukaan. Syarat utama pembersihan yaitu kita harus mampu mengideniikasi dan mengenali
kotoran-kotoran tersebut. Dua kategori kotoran dalam konservasi teksil, yakni kotoran yang larut dan
kotoran tak larut dengan bahan-bahan pelarut; baik itu air ataupun bahan-pelarut organik seperi
ethanol, acetone dsb. Disamping itu, kita harus bisa membedakan antara kotoran dan bahan-bahan
teksil itu sendiri, yang mungkin merupakan buki bahan yang idak perlu dihilangkan tetapi tetap
termasuk kategori kotoran.
Penguatan atau penambahan bahan lain pada koleksi teksil biasanya diperlukan untuk keperluan
displai ataupun penyimpanan. Setelah koleksi bersih dan layak simpan atau pamer, kita masih perlu
memperhitungan kondisi cahaya, suhu dan kelembaban udara. Pada kunjungan observasi ke Jepang
ini kita melihat beberapa hal:
1. Koleksi teksil rapuh dikondisikan layak simpan dan displai dengan cara penambahan support
kain yang ditempelkan dengan cara dijahit;
10

Foto 44.: Gambaran ruang pamer teksil di Museum Nasional
Indonesia. Cahaya matahari dengan intensitas sangat kuat bisa
memasuki ruang pamer ini.

Foto 45.: Gambaran mouning teksil diantara
kaca untuk keperluan penyimpanan dan displai di
Museum Nasional Indonesia.

2. Fragmen teksil rapuh dikondisikan dengan kontrol kelembaban dan disupport dengan tehnik
mouning kertas karton bebas asam atau mouning kayu berpenutup akrilik;
3. Bahan dan konstruksi untuk ruang simpan, ruang pamer, lemari simpan dan pamer selalu
memperhitungkan kaidah-kaidah konservasi. Hindari cara displai teksil dengan penerangan
sinar matahari secara langsung (foto 44), dan ganikan kontruksi dan bahan kaca untuk mouning
yang lebih aman dan mudah untuk pengecekan (foto 45);
4. Bahan-bahan untuk keperluan konservasi-restorasi diperoleh dengan informasi dari “talasonline.
com”.
Kunjungan observasi tentang konservasi teksil di Jepang berjalan sangat baik, berkat dukungan
Kepala Museum Nasional dan teman-teman Museum Nasional Indonesia dan Tokyo dari proses
persiapan sampai berakhirnya kunjungan observasi.

D. REFERENSI
1. Lovell, Rebecca, (2012): INSIGHT GUIDES JAPAN, Apa Publicaions Co., Singapore.
2. Sansom, G.B. (1987): JAPAN, A SHORT CULTURAL HISTORY, Charles E. Tutle Co., Tokyo.
3. Tsuda, Noritake (1988): HANDBOOK OF JAPANESE ART, Charles E. Tutle Co., Tokyo.
4. Wikipedia.org.

11

Gambar 1.

CHINA - INDIA - JAPAN - KOREAN PERIODS

Korean Periods

India Periods

China Periods

Japan Periods

MEIJI RESTORATION
1867-1911

1. Prehistoric era
• Stone Age
• Bronze Age
2. Vedic period (1500–500 BCE)
• Vedic society
• Sanskriizaion
3. “Second urbanisaion” (800-200 BCE)
• Mahajanapadas (600-300 BCE)
• Upanishads and Shramana movements
• Persian and Greek conquests
• Maurya Empire (322–185 BCE)
4. Epic and Early Puranic Period Early Classical Period & Golden Age
(ca. 200 BCE–700 CE)
• Northwestern hybrid cultures
• Satavahana Dynasty
• Kushan Empire
• Roman trade with India
• Gupta rule - Golden Age
5. Medieval and Late Puranic Period Late-Classical Age (500–1500 CE)
• Northern India
• Rashtrakuta Empire (8th-10th century)
• Pala Empire (8th-12th century)
• Chola Empire (9th-13th century)
• The Islamic Sultanates
• Delhi Sultanate
• Vijayanagara Empire (14th-16th century)
• Early modern period (1500-1850)
• Mughal Empire
• Post-Mughal period
o Maratha Empire
o Sikh Empire (North-west)
o Other kingdoms
6. Colonial era (1500-1947)
• Company rule in India
• The rebellion of 1857 and its consequences
• Briish Raj (1858-1947)
o Reforms
o Famines
• The Indian independence movement
7. Independence and pariion (1947-present)

[CE (Common Era) = AD (Anno Domini) = M (Masehi);
BCE (Before Common Era) = BC (Before Birth of Christ) = SM (Sebelum Masehi)]

12

Gambar 2.

Indonesian Periods and Historical Records
PERIODS

PRE HISTORY (NEOLITHIC)
Pithecantropus erectus
(manusia trinil).

YEAR
BCE
3000 - 2000
800 - 200

BRONZE AGE
Aji Çaka
The First Hinduism Kingdom
HISTORY (Kutai Kingdom)
(Kalimantan, Hindu)
TARUMANEGARA
(Jawa Barat, Hindu)
MATARAM I
(Jawa Tengah, Hindu)
SRIWIJAYA
(Sumatera Selatan, Hindu)
MADJAPAHIT
(Jawa Timur, Hindu) (13)
* Borobudur and Prambanan
* Kain Prada
King Hayam Wuruk who succeeded in
reuniting the Indonesian Archipelago
was among the re-owned rulers of that
period of Hindu Kingdoms. The same
period saw the building of the Borobudur
Buddist sanctuary under the Çailendra
dynasty in Central Java and Prambanan
Hindu temple by King Daksa.
P o r t u e g e s e w a s t h e f i r s t (14)
European to set foot in Indonesia.
The Dutch settled in Bantam
(Banten), West Java.

(16)

The Dutch established the
Netherlands East Indies
Company (VOC).

(17)

Kolonialisasi, Jatuhnya
Kekuasaan, JAYAKARTA (18)

Governor General Jan Peterzon Coen
succeeded in gaining the authority
over Jayakarta, which was renamed
‘Batavia’. That time was beginning of the
colonialism by the Dutch.

MATARAM II
(Jawa Tengah, Islam)
Secang-wood and mengkudu were (21)
in common use by using mineral
alum (Javanese called it as tawas) and plant
alum (probably Jirek). However, the plant
alum was considered the older mordant
than the mineral alum. [The raw materials
were treated with oil (castor) and lye (ash
from burning rice stalks, or trunks of various
trees of banana) that dyes from Morinda
mixed with Jirek, Symplocos fasciculata
Zoll.] Sugar, indigo, and coffee from Java
and Sumatera were exported to Europe.
T h e n e w m u s e u m b u i l d i n g (25)
(presently National Museum) was
opened in Jalan Merdeka Barat
12, Jakarta.
Artificial Indigo and Alizarin
were irstly used by Javanese. (27)

REPUBLIC OF INDONESIA,
(Negara Merdeka, Modern)
The Institute was presented to the (33)
Indonesian Government which then is
administered under Ministry of Education and
Culture. The institution was also changed its
name into Central Museum that become the
National Museum to the present time.
Conservation Lab for the
National Museum of Indonesia.

CE
78
400
450
500
518
600
670
700
732
900
960
1000
1279
1292
1370
1400
1453
1500
1509
1516
1528

1596
1602
1613
1619
1632
1645
1660
1695
1778
1815
1825-30
1868
1883
1900
1908
1928
1933
1945
1950
1962
1973

HISTORICAL RECORDS
The fragment recontruction on terracota with straight and waved lines is an evidence for
the earliest textiles.
lungsi (warp) is considered present in the time. The textile with geometrized
(1) Ikat
stylization of human, bird, reptilian, and loral forms. Those like textile producing
regions are Kalimantan (jackets and breechclouts from Dayak Iban, D.Bahau and
D.Kenyah), Sumatera (ulos from Batak, Palepai and Tampan from Lampung), Sulawesi
(Toraja), Nusatenggara (Timor and Sumbawa) and Bali. Songket or supplementary warp
was also present in that time (?).
on the bronze-wares from that era is similar to the textile design and pattern
(2) Motifs
of No.1. Bronze-wares from that era, for example kettle drums and axes which
were inluenced by the Dongson’s culture (Tongkin, Vietnam).

(3) The stone inscription found is as foundation of Indonesian Historic period.
(4) Chinese chronicles mention that certain King of North Sumatera wore silk cloth.
source of the Ling and T’ang dynasties: the people of Java and North Coast
(5) Chinese
of Sumatera wore cotton in use in Sumatera as early as the 6th century. There
are 3 species of Gossypium, i.e. G. herbaceum (the most common), G. obtusifolium
(in Southern Sumatera, cultivated by the Dutch), and G. brasiliense (Malay Peninsula,
cultivated by the British).
In Aceh, sappan-wood (secang) already was one of the outstanding export stuffs to
(6) the
Arab. The secang dye work was considered as the oldest native red dye work.

(7)

Mangosteen lower motifs in Prambanan temple reliefs (also similar to in
Palembang) or in Design Javanese Batik, jelamprang, attesting to origin
in the Hindu-Indonesian Period.

(8)

There was a barter trade which were Indonesian cotton cloth and Chinese
silk. Silk patola cloth (may from India) also present in the era (Javanese
and Sumatrans called as ‘cindai’).
The Sung dynasty mentions that cotton goods from Java were used as princely presents.

(9)
pakan (weft) together with import silks were brought by Indians and Islamic
(10) Ikat
traders to Java and Sumatera (possibly, also applications of beads, sequins, glass/

mirrors, and gaining of the knowledge of technique for mixing color/dye). The regions
of the two islands that were contacted by the mentioned traders were as indication of silk
and songket clothes, and probably silver and gold threads. Other regions: Palembang
(South Sumatera), Donggala (Central Sulawesi), Bugis (South Sulawesi) and Bali. In
old Javanese written source suggest that ‘kain prada’ enjoyed very great popularity in
aristocratic circles in East Javanese Kingdom of Madjapahit. (In Bali, gold leaf was an
important article of commerce imported from China and Thailand via the port of Singaraja
in the latter half of the 19th century).
the fall of Constantinople in 1453, the European merchants
(11) Because
sought to purchase spices, which at that time were very rare and quite
expensive, directly the producing country, i.e. Indonesia.
In Palembang, was cultivated the mulberry trees for Bombix mori foods (silk
(12) coccon),
it was also in Sulawesi. Typical silk cloth colors are red, green,
blue and other bright colors. Silver and gold threads was utilized throught the
supplementary weft technique, which raises the metallic threads to the surface of
the cloth with design of geometric and stylized loral meanders.
were mineral alum and madder imported from Mecca and Aden
(15) There
(Medinah), included coral and copper.
Agung introduced the Islamic-Javanese calendar and was patron
(19) Sultan
of the Arts and Crafts.
Merapi (a volcano name in Central Java) eruption sent a plenty
(20) Gunung
of minerals, i.e. mineral alum.
Batavian (presently Jakarta) Society for the Arts and Sciences was
(22) The
founded in Jakarta on April 24, 1778.

(23) Indian cotton (from Madapolam and Calicut) have been supplanted by
European fabrics.

the colonialism era the Fierce battles broke out everywhere led by
(24) In
brave patriots, like as Prince Diponegoro (1825-1830) in Central Java.
krakatau (a volcano name in the Java Sea, close to Banten
(26) Gunung
District) eruption also sent a plenty of minerals.
in this period of national awakening was heralded by ‘Boedi
(28) Because
Oetomo’, the organization founded on May 20. Its ultimate aim was the
establishment of an Independent Indonesian State.
Indonesian youth, in the 2nd congress on October 1928, called for
(29) The
unity among the Indonesian youth and pledged allegiance to ‘One Nation,
Indonesia, One Motherland, Indonesia, One Language, Bahasa Indonesia’.
Board Commerce and Industry of the Dutch East Indies published the
(30) The
Native Batik Industry. Some German synthetic dyestuffs irst produced in
the years 1920 to 1928 come into use in Jakarta and Pekalongan. e.g. for red
color (aniline of Beta-hydroxy naphthoic acid, which applicable in cold water), for
basic yellow (Auramine-O, Ciba Ltd., Basle), form brown (a benzidine dyestuffs,
called soga-soga which developed with diazo compounds).
proclaimed the Independence and established Unity State of the Republic
(31) Indonesia
of Indonesia covering the territory of the former Netherlands East Indies.
On February 29, 1950, the Batavian Society was changed into the name
(32) ‘the
Institute of Indonesian Culture’.

13

Source: htp://primastoria.net/