Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Seca

Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan di mana terdapat kurang lebih
13.000 pulau yang tersebar di seantero nusantara. Suku dan budaya di Indonesia
pun sangatlah beragam pula. Keanekaragaman suku dan budaya Indonesia ini
terpecah ke dalam 34 provinsi dan sekitar 497 kabupaten atau kota. Terbaginya
Indonesia ke dalam 34 provinsi dan sekitar 497 kabupaten/kota ini menimbulkan
konsekuensi yang logis akan pembagian wewenang dalam pemerintahaan.
Pembagian wewenang dalam pemerintahan terbagi menjadi 2, yaitu pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian ini didasarkan pada asas otonomi
daerah yang diarahkan untuk dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat

dalam

pembangunan

daerahnya


masing-masing.

Prinsip

ini

memberikan kewenangan daerah seluas-luasnya untuk dapat mengeksplorasi
potensi-potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing. Daerah juga diberikan
kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar
yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang.
Selain pemberian wewenang dalam mengatur dan mengelola daerahnya
sendiri, daerah juga diberi wewenang untuk menentukan dan memilih
pemimpinnya sendiri. Ini dimaksudkan agar daerah dipimpin oleh putra-putri
daerah yang mengetahui dan paham akan potensi-potensi yang dimiliki oleh
daerahnya. Sehingga, ketika pemerintah daerah mengeluarkan suatu kebijakan,
harapannya adalah kebikajakan tersebut tepat guna bagi masyarakat daerah
tersebut.
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara

langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

1
3301414103

atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni
2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu,
sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang
diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Hal ini pun dibarengi dan disahkan dengan pengesahan UU nomor 22 tahun 2014
tentang pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota (UU Pilkada).
UU nomor 22 tahun 2014 ini pun mendapat beberapa penolakan dari
masyarakat dengan berbagai alasan karena dinilai kurang sepaham dengan sistem
yang ada, misalnya Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa.
Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang pembangunan demokrasi,
sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji
materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau

langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi
adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat
hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD
mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika
Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD
(sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada. Maka Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono akhirnya mengesahkan Perpu nomor 1 tahun 2014 untuk menganulir
UU Pilkada tersebut.
Pembahasan
Dalam pelaksanaannya, pemilihan kepala daerah di Indonesia telah
melahirkan figur-figur pemimpin baru yang potensial. Bahkan, Presiden Jokowi
pun menapaki karier sebagai pemimpin melalui Pilkada, seperti saat menjabat
sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, sebelum terpilih sebagai
Presiden Republik Indonesia. Adapun Jusuf Kalla juga pernah terpilih sebagai
wakil presiden periode 2004-2009, juga melalui proses pemilihan langsung.

2
3301414103

Dalam pelaksanaannya Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan

Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan
(KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada
adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Pemilihan kepala daerah ini pun memberikan tantangan kepada
Pemerintah untuk dikelola secara lebih profesional, demokratis, dan memberi
dampak terhadap perubahan politik. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional(RPJMN), dalam kurun waktu Juni 2005 hingga pertengahan
Tahun 2013 tercatat 886 Pilkada langsung yang dilaksanakan di provinsi,
kabupaten dan kota. Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, sejumlah juga daerah
akan melaksanakan Pilkada.
Banyaknya daerah yang melaksanakan Pilkada menimbulkan inefisiensi

dan inefektivitas dalam pelaksanaannya. Isu dan permasalahan dalam pelaksanaan
Pilkada mencakup mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada, serta maraknya
konflik selama pelaksanaan Pilkada yang berdampak pada kerugian material
maupun non-material, seperti perusakan terhadap tidak kurang dari 279 unit
rumah tinggal, fasilitas umum di 156 lokasi, dan kantor pemerintahan di 56 lokasi.
Konflik Pilkada di antaranya dipicu oleh masalah administrasi data
pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu, serta kurangnya kepatuhan partai politik
terhadap peraturan yang berlaku. Konflik Pilkada juga dapat dilihat dari jumlah
kasus yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Sejak tahun 2008, Mahkamah

3
3301414103

Konstitusi telah menerima sejumlah 638 gugatan terkait sengketa hasil Pilkada.
Dari jumlah tersebut, hanya 601 kasus yang telah diputus dan berkekuatan hukum
tetap. Proses pegadilan politik ini membawa sejumlah dampak sistemik seperti
meningkatnya ketidakpastian politik, terganggunya roda pemerintahan, serta
semakin mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah dan
partai politik dalam proses pertarungan politik.
Hal tersebut jelas jauh dari semangat Nawacita untuk mewujudkan

pemerintahan yang demokratis, termasuk pada tingkat daerah. Untuk menghindari
hal tersebut terjadi pada Pilkada berikutnya, Presiden Jokowi menandatangani
Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Penandatanganan UU nomor 8 tahun 2015 itu dilakukan pada 18 Maret 2015,
bersamaan dengan penandatanganan UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam UU Nomor 8 tahun 2015, pelaksaanan pemilihan gubernur, bupati,
dan wali kota dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak. Hanya saja,
pelaksanaan serentak nasional itu baru benar-benar bisa dilaksanakan pada 2027.
Pemungutan suara serentak kepala daerah yang masa jabatannya berakhir
pada 2015 dan yang masa jabatannya berakhir pada bulan Januari sampai Juni
2016, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember
2015. Adapun pemungutan suara serentak kepala daerah yang masa jabatannya
berakhir pada Juli sampai Desember 2016 dan yang masa jabatannya berakhir
pada 2017, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada Februari 2017.
Pilkada serentak tahun 2015 ini sempat membuat polemik karena di
beberapa wilayah hanya terdapat satu pasang calon kepala daerah, atau calon
tunggal. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memperbolehkan
pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal.
Mahkamah Konstitusi beralasan, jika pilkada ditunda karena kurangnya calon,

maka akan menghapus hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih.
Mahkamah juga menilai UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada juga tidak
memberikan jalan keluar seandainya syarat-syarat calon tidak terpenuhi.

4
3301414103

Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal, surat suara akan
dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu pasangan calon
kepala daerah, dengan pilihan "Setuju" atau "Tidak Setuju" dibagian bawahnya.
Apabila pilihan "Setuju" memperoleh suara terbanyak, maka calon tunggal
ditetapkan sebagai kepala daerah yang sah. Namun jika pilihan "Tidak Setuju"
memperoleh suara terbayak, maka pemilihan ditunda hingga pilkada selanjutnya.
Pemilukada gubernur pastilah berpotensi menimbulkan konflik. Tidak
dipungkiri jika konflik pasti akan mengiringi demokrasi dalam pemilihan kepala
daerah. Adanya konflik tentu bukan untuk diperbesar atau sebaliknya dihilangkan
sama sekali, tapi justru yang paling penting konflik perlu dikelola dengan baik.
Konflik yang biasa muncul mengiringi pemilihan kepala daerah dibagi
menjadi 2 kategori, konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horizontal
adalah konflik diantara pasangan kandidat, sedangkan konflik vertikal berarti

konflik antara kandidat dengan KPU sebagai lembaga penyelenggara pilkada.
Konflik horizontal yang melibatkan antar pasangan cagub atau cawagub
ini terkait dengan persaingan secara tidak sehat antar pasangan cagub atau
cawagub dalam usahanya untuk merebut perhatian dan mencari pendukung guna
menduduki jabtan no 1 di tingkat provinsi. Peta persaingan yang ketat antar
pasangan

cagub/cawagub

memunculkan

adanya

indikasi-indikasi

praktik

kecurangan dalam persaingan (Black Campaign). Konflik vertikal contohnya
ketidak puasan salah satu pasangan cagub/cawagub terhadap KPU terkait daftar
pemilih tetap (DPT) dan konflik sengketa hasil penghitugan suara.

Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multi
dimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi, ada pula yang bermotif
mengejar kekuasaan dan kehormatan. Terkait juga kehormatan Parpol pengusung,
harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di
samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah,
sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena
“Politics is the Struggle Over Allocation of Values in Society”(Politik merupakan
perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat).

5
3301414103

Pemenangan perjuangan politik seperti Pemilu legislatif atau Pilkada
eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan
budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government).
Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and
compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang
tentang Partai Poltik UU No. tahun 2008, yang telah dirubah dengan UU No.2
tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah
lainnya sistem perekrutan calon kepala daerah (Bupati, Wali kota, Gubernur)

bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal finansial
besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya
yang sangat besar untuk memenangkan Pilkada atau Pemilukada, akibatnya tidak
dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik
sang calon, serta banyak Perda-Perda yang bermasalah, dan memberatkan
masyarakat dan iklim investasi.
Beberap hal tersebut tentulah sangat menggangu keefektivitasan dan
efisiensi yang ada dalam Pilkada. Berikut ini beberapa permasalahan dan rincian
dari permasalahan yang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung
yang dapat menggangu efektivitas dari Pilkada Langsung itu sendiri, adapun
permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Daftar Pemilih Tidak Akurat.
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering
dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain
mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih,
daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan

RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang

6
3301414103

tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling
mengetahui penduduknya.
Hal yang mengikuti atau menjadi faktor yaitu, sebagai berikut :
a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan.
b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu
tempat.
c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi
DPS.
d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak
maksimal.
e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih
ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika
sudah mendekati hari pemungutan suara.
f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.

2. Proses Pencalonan yang Bermasalah.
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2
(dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan
keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan
mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan
yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti
keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang
walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki
kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali
terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Berikut ini beberapa hal yang menjadi indikator dari permasalahan
tersebut, antara lain :

7
3301414103

a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang
sama.
c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan
calon atau Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang
ditetapkan oleh KPU.
e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak
kepada salah satu pasangan calon atau pengurus parpol tertentu
sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun
gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai
politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi
mereka.
3. Pemasalahan pada Masa Kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75
sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi
pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye,
jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama
pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah
pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat
pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan
informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke
depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas
kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi
program.
Berikut beberapa indikator pelanggaran dalam kampaye, antara lain
sebagai berikut :
a. Pelanggaran ketentuan masa cuti.
b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik.

8
3301414103

c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan
d.
e.
f.
g.
h.

Pilkada.
Money politics.
Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi.
Kampanye negatif.
Pelanggaran etika dalam kampanye.
Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di
luar waktu yang telah ditetapkan.

4. Manipulasi dalam Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara
dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU
Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam
wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para
pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan
biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak
netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
Hal yang mendasari antara lain :
a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan
suara dan rekapitulasi penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara
dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas
PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan
calon.
e. Keterbatasan

anggota

Panwas

mengontrol

hasil

penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5. Penyelenggara Pilkada Tidak Adil dan Netral.

9
3301414103

a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu
pasangan calon.
b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan
calon.
c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji
kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada
oleh KPU di atasnya.
e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan
f.

calon.
Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan

calon yang kalah.
Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU,
KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD,
Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU,
KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi,
tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang
baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.
6. Putusan MA dan MK yang Menimbulkan Kontroversi.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa
hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk
pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah
Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk
mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang
mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana
apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu
beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi
10
3301414103

menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada
berlarut-larut.
7. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan UU No.
8.

32 Tahun 2004 Dan UU No. 12 Tahun 2008.
Penyesuaian Tata Cara Pemungutan Suara dan Penggunaan KTP

sebagai Kartu Pemilih.
9. Posisi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Incumbent dalam Pilkada
ang tadinya kurang diatur dalam UU Pilkada.
Namun demikian, Pilkada langsung memiliki kelebihan-kelebihan, di
antaranya :
1. Kepala daerah terpilih akan memilki mandat dan legitimasi yang
sangat kuat;
2. Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai
atau faksi-faksi politik yang mencalonkannya;
3. Sistem Pilkada langsung lebih accountabel karena adanya
akuntabilitas publik;
4. Checks and balances antar lembaga legislatif dan eksekutif dapat
lebih berjalan seimbang;
5. Kriteria calon Kepala Daerah dapat dinilai secara langsung oleh
rakyat yang yang akan memebrikan suaranya;
6. Pillkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat;
7. Kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi;
8. Pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan;
9. Membangun stabilitas politik dan mencegah separatisme;
10. Kesetaraan politik; dan
11. Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat.
12. Efisiensi anggaran.
13. Efektivitas lembaga pemilihan umum.
14. Sarana menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar.
Dapat dilihat dari kelebihan yang dimiliki oleh Pilkada secara langsung,
maka hal itu dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.
Terlepas dari beberapa peryantaan mengenai hal-hal yang menciderai dan
menjadi kelebihan dari Pilkada secara langsung, ada juga beberapa tinjauan yang
perlu kita tahu demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pemilihan

11
3301414103

kepala daerah secara langsung. Adapun pengetahuan yang mendasar mengenai hal
itu adalah tentang tinjauan dasar dalam pilkada langsung, yaitu sebagai berikut :
1. Tinjauan Yuridis
Memiliki dasar :
a. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa,
"Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang",
b. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa,
"Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis",
c. Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakanbahwa, "Setiap
warga negera berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan".
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung,
sehingga

pemilihan gubernur dilakukan

melalui system

perwakilan tidak

bertentangan dengan konstitusi.

a.

2. Tinjauan Filosofis
Dari sisi ruang partisipasi rakyat untuk memilih, pemilihan kepala
daerah melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi
rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan
langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika

b.

persyaratan calon gubernur sama.
Dari sisi ruang partisipasi rakyat untuk dipilih, baik sistem pemilihan
secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama

c.

jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan
di daerah kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur
kepala daerah tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan
masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan
kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.

12
3301414103

d.

Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi
kepentingan pusat dan daerah, pemilihan kepala daerah melalui
perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran
dalam menentukan seorang kepala daerah akan memiliki nilai yang lebih
baik, karena di satu sisi kepala daerah harus menjamin terlaksananya
kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain kepala daerah juga
harus

e.

memperhatikan

kepentingan

masyarakat

di

daerah

yang

direpresentasikan oleh DPRD.
Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana kepala daerah harus
dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi
pemerintah provinsi/kabupaten/kota, maka posisi kepala daerah yang
diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi
pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung

f.

oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan
gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat
sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas
kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan
langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus
dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

3. Tinjauan Politis
a. Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 bahwa
Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk
menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga
dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI,
maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur
yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat
antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah
mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi
tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya
13
3301414103

peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki
nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
b. Penataan posisi gubernur/ kepala daerah dan sumber
legitimasi.
Pemilihan gubernur/kepala daerah secara langsung oleh rakyat
sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur
setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga
tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur
setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu
bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah
sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur
sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka
sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari
rakyat.
4. Tinjauan Sosiologis
a. Menumbuhkan Budaya Persaingan yang Sehat.
Kondisi

masyarakat

dengan

kultur

masyarakat

yang

masih

mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan
belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada
secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam
menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui
pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para
calon bersaing secara sehat.
b. Menumbuhkan

Kesadaran

akan

Kebutuhan

Pemimpin

yang

Mampu Membawa Kemajuan Daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas
visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit
diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang
mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan.
Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk
14
3301414103

memberi

pertanggungjawaban

atas

pilihannya

kepada

rakyat

yang

memilihnya.

5. Tinjauan Efektivitas dan Efisiensi
Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik
dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem
pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan
dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.

Simpulan
Untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi pemerintahan daerah sudah
barang tentu harus memerlukan pemimpin yang akan mengambil kebijakankebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan daerah tersebut. Untuk memilih
pemimpin sautu daerah tersebut harus dipilih langsung oleh rakyatnya sebagai
perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan
memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah
sehingga mendinamisir kehidupan demokrasi di tingkat lokal.
Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat saat ini memang
masih menjadi solusi yang terbaik untuk digunakan dalam system pemerintahan
daerah di Indonesia. Namun satu hal yang perlu dicermati, bahwa pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat ini juga memiliki problematika.
Walaupun problem yang muncul tidak begitu besar, namun cukup
mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Hal yang
demikian inilah yang menjadi problematika ketika pemerintah pusat dalam hal ini

15
3301414103

presiden menentukan kebijakan yang harus dijalankan oleh seluruh lapisan
pemerintah di daerah.
Sedangkan kebijakan tersebut tidak sejalan dengan apa yang diinginkan
oleh partai oposisi. Maka bukan tidak mungkin tugas gubernur sebagai
penghubung atau coordinator antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
tidak menjalankan tugasnya dengan baik untuk menyampaikan kebijakan
pemerintah pusat kepada daerah-daerah di bawahnya.
Meski masih harus menjalani proses pematangan lebih lanjut, inisiatif
penandatanganan undang-undang ini sebaiknya dianggap sebagai inisiatif
mewujudkan proses demokrasi yang bersih di seluruh wilayah Indonesia.
Pelaksanaan Pilkada serentak pun tentu meminta komitmen dan tanggung jawab
semua pihak, agar dapat berjalan dengan jujur, adil dan demokratis, serta
melahirkan sosok-sosok pemimpin baru dengan ikhtiar memajukan daerahnya,
serta negara Indonesia.

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dewanto, Nugroho. 2006. Pancasila dan UUD 1945. Bandung : Nuansa Aulia.
Kaligis, OC.

2009. Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan.

Bandung : PT. Alumni.
Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi. Malang :
Averroes Press.
Pradhanawati, Ari. 2005. Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal.
Surakarta : KOMPIP.

16
3301414103

Prihatmoko,Joko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem
dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Pelajar.
Harmantyo, Djoko. 2007. Pemekaran Daerah Dan Konflik Keruangan Kebijakan
Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara, Sains, Vol.
11, No. 1, April 2007: 16-22.
Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan. 2008. Reformasi Birokrasi dan Good
Governance : Kasus Best Practicedari Sejumlah Daerah di Indonesia.
Jurnal Antropologi Indonesia 5th International Symposium. 22-25 Juli
2008.
http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2015/3829/Arief-Tujuan-PilkadaSerentak-Untuk-Terciptanya-Efektivitas-dan-Efisiensi-Anggaran/berita
(diakses pada 5 Desember 2016, pukul 12:33:56 WIB).
http://www.presidenri.go.id/reformasi-birokrasi/pilkada-serentak-demiefektivitas-dan-efisiensi-demokrasi.html (diakses pada 5 Desember 2016,
pukul 12:23:36 WIB).
https://arifmanabu.wordpress.com/2012/09/03/efektifitas-pemilihan-kepaladaerah-provinsi-gubernur-dan-wakil-gubernur-di-indonesia/ (diakses pada
5 Desember 2016, pukul 12:40:53 WIB).

17
3301414103

18
3301414103

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PERBANDINGAN BUDIDAYA "AIR LIUR" SARANG BURUNG WALET ANTARA TEKNIK MODERN DAN TEKNIK KONVENSIONAL (Studi Pada Sarang Burung Burung Walet di Daerah Sidayu Kabupaten Gresik)

6 108 9

Pengaruh Kebijakan Alokasi Aset dan Pemilihan Sekuritas terhadap Kinerja Reksadana Campuran Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK)

0 54 101

Asas Motivasi kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Mensosialisasikan hasil Perhitungan Suara Pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 Melalui Website

1 54 171

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Sistem Informasi Absensi Karyawan Di Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung

38 158 129

Prosedur Verifikasi Internal Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat

2 110 1

Uji Efektivitas Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti Instar III

17 90 58

Kontrol Yuridis PTUN dalam Menyelesaikan Sengketa Tata UsahaNegara di Tingkat Daerah

0 0 25