Tujuan dari kedatangan pada tiap

Tujuan dari kedatangan VOC dengan perjalanan De Haen ke mataram pada tahun 1623 adalah untuk
memastikan export beras terbesar dari kota pesisir di Jawa ke Btavia dimana itu disediakan dalam
kapasitas yang sedikit. Meskipun Sultan agung telah memblokade jalur pelabuhan, dikarenakan ada
gangguan dijalur perdagangan. Dibawah peraturan amangkurat 1 (1646-1577) kebijaksananya itu
telah tetapkan. Raja baru itu menawarkan belanda ini kembali pada bantuan untuk melawan musuhmusuhnya dan kebebasan dari perdagangan untuk orang jawa selain jawa, dan untuk semua orang
malaysia dimana didalamnya ada kerajaan Mataram. Sebuah persamaan yang kontras dapat
disimpulkan pada tahun 1647, walaupun orang-orang jawa dilarang melakukan perdagangan ke
pulau penghasil rempah-rempah di maluku. Sampai pada tahun 1652 beras telah terjual pada jumlah
yang besar ke batavia, dimana dari tahun 1641 juga biberi kebebasan untuk mendapatkan beras dari
Malaka, semua bahan baku yang penting telah diambil oleh VOC pada tahun tersebut.
Amangkurat menawarkan fasilitas perdagangan pada orang belanda sepanjang sunga Sala.mereka
memperdagangkan beras, kayu jati, dan gula yang telah diangkut pada waktu itu. Bagaimanapun
orang-orang Belanda mengakibatkat kemerosotan bahwa mereka tertarik pada dlluar pulau tesus
menerus. Pada tahun 1652 perdagangan tiba tiba mengalami kenaikan lagi. Perwakilan dari VOC
yaitu Rijklof van Goens memberikan alasan bahwa ini bukan saatnya melawan mereka, hal itu
sebagai percobaan untuk memaksa bupati Pasisir untuk menghormati kebijakan raja pada expor
beras dan kayu. Pada tahun 1653 dan 1654 pengiriman beras telah kembali dilarang, kendati
demikian produksi disuplai penuh didaerah Mataram. Rupanya, penguhukuman tersebut ditujukan
kepada empat pemerintah daerah pesisir, mereka mencoba untuk memperoleh keuntungan
keuntungan dari perdagangan untuk mereka sendiri. Pada tahun 1657 perdagangan kembali dibuka,
tetapi pada tahun 1660 pelabuhan pelabuhan sekali lagi telah ditutup.

Setelah tahun 1675, ketika peperangan Trunajaya dimulai, kerajaan mataram mulai untuk tidak
mengintegrasikan. VOC menawarkan bantuan kepada raja-raja jawa, tetapi pada harga yang tinggi:
mereka dan pengganti mereka telah memberikan kebebasan pada bangsa Belanda pada daerah
pesisir dan berjanji mengganti bayarang dengan upah yang sangat besar. Pada tahun 1677 raja
mengakui mempunyai utang 250,000 real dan orang Belanda memperoleh potongan atau
keringanan dari bea cukai. Pada tahun 1697 untang itu naik mencapai 1.542,000 real. Hal itu terlihat
jelas bahwa orang orang Jawa menghendaki itu tidak akanpernah bisa untuk menaikan dana dana. Ini
akibat dari kebijakan dari pendapatan kapita, atau sebuah gangguan organisasi keuangan pusat
setelah tahun 1670. Beberapa dokumen penting VOC tentang perpajakan di Semarang dan Surabaya
yang mungkin mengarahkan mereka pada keputusan ahir.
Pada tahun 1677-1678 C.J Speelman menawarkan pada J. Couper sebuah surfei pendapatan dari
kerajaan Mataram dari area Surabaya. Ada pengiriman expor beras dan barang lainnya dan impor
barang barang (total pendapatan 1.500 real), bea cukai dari hasil pertania ke orang orang cina (total
400 real) ada sebuah pendapatan pajak (12,000 x 0,25 = 3,000 real) dan pajak pada pemanenan padi
seharga 4,000 real. Dengan demikian, berdasarkan daftar tersebut Kerajaan Mataram memperoleh
pendapatan pertahun sebanyak 8.900 real dari Gubernur Surabaya, yang menyimpan pendapatan
dari pasar dan bea cukai di sejumlah sungai kecil sebagai gajinya sendiri. Wilayah Gresik dibayar raja
Jawa 64 real untuk biaya cukai, 1.000 real untuk bea cukai bertani ke Cina dan 310 real dari sumber
lain, dan total keseluruhan 1.374 real. Sebuah survey yang sama untuk Semarang. Jumlah kelebihan
dari kapal syahbandar, bea cukai dan pajak telah diakumulasi sejumlah 8.000 per real, tidak lebih dari

2.000 real dicapai kerajaan Mataram.

Kemungkinan solvabilitas orang-orang Jawa pada saat itu ditunjukkan pada tahun 1685, hanya
delapan tahun setelah jatuhnya Plered. Penghormatan 0,25 real dikenakan pada setiap petani biasa,
dan pajak para pejabat Jawa lebih rendah atas dasar jumlah selir mereka, menghasilkan sekitar
200,000-300,000 real. Meskipun sultan harus meneruskan sebagian besar sum untuk rombongannya,
dalam satu tahun ia bisa membayar Belanda 27,878 real untuk membantu mereka melawan
Trunajaya.
Perhatikan bahwa jarak antara istana Mataram dan pejabat bawahan itu berbanding terbalik dengan
persentase dari pendapatan ia serahkan. Kecenderungan ini jelas tercermin dalam daftar pendapatan
disimpan oleh pemerintah pusat Kartasura. Jumlah total pengiriman derah pesisir lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah inti, tetapi terkait dengan ukuran mereka dan kepentingan ekonomi,
wilayah utara menghasilkan jauh lebih sedikit.
Dampak dari perang abad ke-17 pada penghasilan pengadilan tidak dapat diturunkan dari jumlah
unit pajak, karena sampai 1755 daftar pajak umum menunjukkan angka yang ideal. Dari informasi
yang dijelaskan diatas, ini terlihat jelas bahwa terpisah dari beras, Mataram dan Kartasura menuntut
upeti moeneter dari barang mereka. Pengadilan setidaknya mendapat keuntungan secara tidak
langsung dari aktivitas perdagangan di sepanjang sungai, terutama Sala atau Bengawan sungai yang
menghubungkan jawa Tengah dengan Gresik, di wilayah Surabaya. Perdagangan juga dilakukan di
sepanjang jalan utama dari Plered (setelah Surakarta) ke Semarang, dan ini juga menghasilkan

pendapatan bagi kas kerajaan. Antara Semarang dan Mataram, perwakilan VOC Rijklof van Goens
paling tidak telah melewati 4 jemabatan bea cukai.
Pengaruh perang abad 17 dan 18 tidak mudah untuk dikaji. Namun, mereka mungkin telah sering
dianggap kurang serius dianggap. Dalam banyak kasus, kekerasan adalah lokal dan singkat. Selain itu,
secara umum, pertempuran tampaknya telah lebih berat di daerah pesisir dan di Jawa Timur
daripada di daerah inti Jawa Tengah. Penggantian mungkin telah menyebabkan lebih banyak
gangguan ekonomi dari pertarungan yang sebenarnya. Namun penelitian yang lebih rinci tentang
sistem militer Jepang diperlukan.
Meskipun pernyataan ini memperingatkan, pendapatan pengadilan telah terkena dampak negatif.
oleh dislokasi perang. Jika kita percaya kronik istana Jawa, perang telah memberi efek jangka pendek
daripada yang jangka panjang. Babad Tanah Jawi memberitahu kita dari Pangeran Puger, yang
menyamar dari pengemis-santri, berkunjung ke pasar di wilayah Kartasura. Pada saat itu, ada
kekurangan makanan di ibukota. Seorang wanita menceritakan Pangeran mengapa tidak ada orang
yang menawarkan beras untuk penjualan masyarakat umum belum mampu bekerja pada swahs
mereka, karena mereka harus melayani tentara raja. Tetapi, berdasarkan babad tanah Jawi, harga
dari beras telah merosot secara tiba-tiba. Tentu kerugian dari tega manusia telah mempunyai
dampak negatif pada ekonomi lokal, tetapi itu akan menjadi salah secara umum. Tingkat dari
kegiatan ekonomi dan monetasi pada hakikatnya sangat berbeda, bahkan diantara sebuah daerah
tertentu atau pada rentan waktunya. Penyusautan pendapatan pengadilan adalah tanda dari
hilangnya politik dan kontrol keuangan dalam bidangnya.

Pada awal adad ke 18, beras dan uang masih disediakan untuk pengadilan Jawa, meskipun dalam
jumlah lebih sedikit. Pengadilan tersbut juga tetap memberlakukan pajak dari barang dagangannya.
Dengan demikian pada tahun 1717-1718 susuhunan pakubuwono telah membayar 69% hutangnya
pada VOC. Pada tahun 1746, ketika G.W. van Imhoff bertemu pakubuwono II di Semarang, salah satu

topik yang penting dari agendanya adalah beban berat dari jembatan bea cukai. Pada saat itu, hal itu
terlihat untuk memiliki keuntungan pada pihak pengadilan Jawa. Negosiasi negosiasi menghasilkan
pada penyerahan dari bea cukai pada VOC diarea pertukaran.
Ii periode 1755-1830
Kita lebih baik diberitahukan pada periode majalah giyanti dari perdamaian. Walaupun sampai tahun
1768 divisi dari bidangnya mengakibatkan banyak pergeseran antara sultan Susuhunan dan Mas Said
(setelah Mangkunegara, dimana hubungan politik telah distabilkan kekuatan dari VOC berkurang dan
sampai tahun 1808 prinsip-prinsip telah ditinggalkan secara tidak berkesan. Menurut Carey, pada
pertengahan kedua abad ke-18 adalah masa kemakmuran belum pernah terjadi sebelumnya.
perdagangan sangat besar dikembangkan dengan Pasisir, di tanaman (kapas, tembakau, indigo) dan
produk lokal (kain, batik, beras, minyak, dll). Bagian tertentu dari desa menjadi dimonetisasi,
terutama karena pemerintah kerajaan itu begitu teratur pada petani pemilik tanah (Sikep), sebagai
'purba-kapitalis’, yang mendapat keuntungan dari keadaan ekonomi yang baik. Area penyewaan pada
saat itu telah dibayar menggunakan uang. Produksi ekspor paling penting adalah beras, barang
utama yang ke dua adalah tembakau Kedhu.


Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22