PENDUGAAN KARAKTERISTIK DASAR PERAIRAN B

PENDUGAAN KARAKTERISTIK DASAR PERAIRAN (Bathymetri) PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG SKRIPSI

Oleh : ELANG TRY SATRIA

NRP. 11.03.4.1.1.00036

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA BANGKALAN 2016

PENDUGAAN KARAKTERISTIK DASAR PERAIRAN (Bathymetri) PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat Sarjana Strata 1 (S1) Pada Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Oleh : ELANG TRY SATRIA

NRP. 11.03.4.1.1.00036

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA BANGKALAN 2016

RIWAYAT HIDUP

Elang Try Satria dilahirkan pada tanggal 03 Mei 1993, Kabupaten Bangkalan. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Putra dari pasangan Akhwan dan Sri Minarti.

Pendidikan pertama yaitu di taman kanak-kanak Dharmawanita di Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan. Berikutnya melanjutkan sekolah di SDN Burneh 1 Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan. Pendidikan berikutnya di SMPN 4 Bangkalan, Kabupaten Bangkalan. Selanjutnya menempuh pendidikan ke SMAN 1 Bangkalan, Kabupaten Bangkalan.

Pada tahun 2011, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura dan mengambil Program Studi Ilmu Kelautan. Penulis telah menyelesaikan rangkaian tugas akhir, masing-masing Praktek Kerja Lapang (PKL) pada tahun 2014 di Balai Taman Nasional Bali Barat dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2015 di Pulau Mandangin Kabupaten Sampang. Judul PKL penulis yaitu “Aplikasi Sistem Informasi Untuk Identifikasi Perubahan Garis Pantai D i Taman Nasional Bali Barat”. Serta penulis melakukan penelitian untuk menyelesaikan tugas akhir di Jurusan Ilmu Kelautan dengan judul “ Pendugaan Karakteristik Dasar Perairan (Bathymetri) Pulau Mandangin Kabupaten Sampang”.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

“Saya Elang Try Satria , menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Pendugaan Karakteristik Dasar Perairan (Bathymetri) Pulau Mandangin Kabupaten Sampang” merupakan karya pribadi saya kecuali yang disebutkan sumbernya, dan tidak pernah digunakan sebagian atau seluruh bagiannya untuk mendapatkan gelar

akademik apapun”.

Bangkalan, 28 Januari 2016

Penulis,

Elang Try Satria NRP. 11.03.4.1.1.00036

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan ALLAH SWT atas anugerah dan nikmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pendugaan Karakteristik Dasar Perairan Di Pulau Mandangin Kabupaten Sampang” yang merupakan laporan

hasil penelitian yang dilaksanakan oleh penulis sejak bulan Agustus 2015 hingga dengan Desember 2015.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari campur tangan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin berterimakasih sebesar- besarnya dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak-pihak terkait antara lain :

1. Bapak Zainul Hidayah, S.Pi. M.App.Sc selaku Pembimbing Utama dan Ibu Maulinna Kusumo Wardhani, S.Kel. M.Si selaku Pembimbing Anggota yang telah banyak memberikan masukan ilmu, waktu dan semangat serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Mahfud Efendi, Bapak Agus Romadhon segenap tim penguji yang telah menguji dan juga sekaligus menguji mental serta adrenalin penulis. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas segala saran, kritik, dan koreksinya dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini

3. Bapak Dr. Ir. Slamet Subari, SP. M.P selaku Dekan Fakultas Pertanian dan Dr. H. Agus Romadhon, SP. M.Si selaku ketua Prodi Ilmu Kelautan yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi penulisan skripsi ini, serta kepada dosen Prodi Ilmu Kelautan yang senantiasa memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan selama mengikuti kegiatan perkuliahan serta menjadikan kami lebih berguna dengan ilmu yang telah diberikannya kepada kami. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf Tata Usaha Fakultas Pertanian yang telah banyak membantu dan mengurusi segala keperluan administrasi.

Bangkalan, 28 Januari 2016 Elang Try Satri

Pendugaan Karakteristik Dasar Perairan Di Pulau Mandangin Kabupaten

Sampang, Elang Try Satria dibawah bimbingan Zainul Hidayah, S.Pi. M.App.Sc dan Maulinna Kusumo Wardhani, S.Kel. M.Si.

ABSTRAK

Pulau Mandangin merupakan sebuah pulau yang berada di Kabupaten Sampang yang memiliki kedalaman perairan yang bervariasi.Selain itu, Pulau Mandangin juga memiliki panjang garis pantai sepanjang 3,92 km. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memetakan kedalaman perairan Pulau Mandangin dengan menggunakan data kedalaman yang diperoleh menggunakan alat GPS Map Sounder dan juga membuat model 3 dimensi profil kedalaman perairan Pulau Mandangin. Adapun tujuan kedua dari penelitian ini yaitu memetakan dan menganalisa perubahan garis pantai Pulau Mandangin dari tahun 2012 hingga tahun 2015. Hasil dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang profil dasar perairan Pulau Mandangin yang berupa peta bathymetri, model 3 dimensi dari kedalaman perairan Pulau Mandangin dan perubahan garis pantai.

Kata Kunci : Pulau Mandangin, Bathymetri, Perubahan Garis Pantai, Citra WorldView-2.

Estimation of Basic Characteristics of water (Bathymetri) Mandangin Island

Sampang, Elang Try Satria adviced by Zainul Hidayah, S.Pi. M.App.Sc and Maulinna Kusumo Wardhani, S.Kel. M.Si.

ABSTRACT

Mandangin Island is an island located in Sampang regency which has a depth of water varies. In addition, Mandangin Island also has a long coastline along the 3,92 km. The purpose of this study is to map the depth of the water of the Mandangin Islang using depth data obtained using a GPS Map Sounder and also made a 3D model of the depth profile Mandangin Island waters. The second objective of this study is to map and analyze changes in the coastline Mandangin Island from bathymetri maps, 3D model of the depth of the waters and the Mandangin Island shoreline change.

Keyword : Mandangin Island, Bathymetri, Changes Coastline, Citra WorldView-2

4.4.3. Membuat Model 3D Peta Profil Kedalaman...........................28

4.5. PROFIL KEMIRINGAN DASAR PERAIRAN..............................30

4.6. PERUBAHAN GARIS PANTAI.....................................................32

V. KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................39

5.1. KESIMPULAN.................................................................................39

5.2. SARAN.............................................................................................39 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................40 LAMPIRAN...................................................................................................42

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Karakteristik satelit WorldView2.........................................................13 Tabel 2.2. Spesifikasi satelit WorldView2............................................................14 Tabel 3.1. Alat dan kegunaan................................................................................20 Tabel 3.2. Bahan yang digunakan.........................................................................20 Tabel 4.1. Luas abrasi............................................................................................36 Tabel 4.2. Luas akresi............................................................................................38

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tabel Data Hasil Survei Kedalaman Menggunakan

GPS Map Sounder.......................................................................42 Lampiran 2. Tabel perubahan panjang akresi dan abrasi setiap segmen.............58 Lampiran 3. Tabel data pasang surut wilayah Pulau Mandangin........................59 Lampiran 4. Tabel Nilai Regresi Linear Sederhana b%.......................................60 Lampiran 5. Pemisahan daratan dan lautan (masking).........................................61 Lampiran 6. Pembuatan peta bathymetri Pulau Mandangin................................63 Lampiran 7. Membuat model 3D.........................................................................65 Lampiran 8. Membuat peta perubahan garis pantai.............................................67 Lampiran 9. Proses perhitungan perubahan panjang garis pantai........................69

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Mandangin merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Sampang yang memiliki kedalaman perairan yang sangat bervariasi dari laut dangkal hingga laut dalam. Keadaan tentang perbedaan kedalaman tersebut dapat diketahui dengan melihat peta bathimetrinya. Karakteristik dasar perairan merupakan hasil pengukuran kedalaman perairan dengan menggunakan alat yang dinamakan GPS Map Sounder. Dasar perairan memiki tipe atau karakteristik yang berbeda-beda diantaranya tipe dasar perairan datar, landai, miring, sangat miring, curam, dan sangat curam.

Secara umum, menentukan karakteristik dasar perairan digunakan suatu alat yang dinamakan GPS Map Sounder. Alat ini bekerja dengan memancarkan gelombang suara yang akan dipantulkan ke dasar perairan. Gelombang suara yang dikeluarkan oleh GPS Map Sounder akan mengenai segala material yang ada di dasar perairan lalu akan dipantulkan kembali. Selain menggunakan alat GPS Map Sounder dalam menentukan kedalaman perairan yang kemudian dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dasar perairan, dapat juga menggunakan pendekatan citra satelit.

Pengetahuan tentang keberadaan lingkungan pesisir dan lautan serta tentang pengelolaan wilayah pesisir termasuk didalamnya pemahaman tentang morfologi (Dahuri, dkk., 2001; Davis Jr. 1991). Morfologi pantai amat sangat dipengaruhi oleh faktor arus, pasut, dan gelombang yang dimana jika arus lemah tidak akan dapat mengangkut sedimen berukuran besar atau berbutir kasar, akan tetapi dapat mengangkut sedimen dengan ukuran kecil atau berbutir halus.

Perubahan yang terjadi pada kondisi hidrografi selain diakibatkan oleh beberapa faktor alam seperti terjadinya pengikisan pantai oleh gelombang, faktor cuaca dan iklim, serta juga diakibatkan oleh fenomena yang berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir dan juga terbawanya berbagai macam materi partikel dan padatan yang tersuspensi oleh aliran sungai sehingga Perubahan yang terjadi pada kondisi hidrografi selain diakibatkan oleh beberapa faktor alam seperti terjadinya pengikisan pantai oleh gelombang, faktor cuaca dan iklim, serta juga diakibatkan oleh fenomena yang berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir dan juga terbawanya berbagai macam materi partikel dan padatan yang tersuspensi oleh aliran sungai sehingga

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang, permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Adanya penambangan pasir secara ilegal oleh penduduk pulau Mandangin tidak menutup kemunginan lahan pantai akan mengalami perubahan geomorfologi karena aktivitas intervensi dan kesinambungan upaya manusia untuk memanfaatkan dan mendayagunakan kawasan pantai secara tidak terpadu.

2. Mengetahui bagaimana cara membuat model pendugaan karakteristik dasar perairan di Pulau Mandangin berdasarkan analisa nilai pantulan gelombang pada citra satelit WorldView-2.

1.3. Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

1. Memetakan profil kedalaman dasar perairan Pulau Mandangin

2. Memetakan dan menganalisa perubahan garis pantai Pulau Mandangin

1.4. Batasan Masalah

Penelitian ini hanya berbatas pada pendugaan karakteristik dasar perairan dengan memanfaatkan data citra WorldView-2 dan data pengukuran kedalaman perairan di Pulau Mandangin menggunakan alat GPS Map Sounder.

1.5. Manfaat

Diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar atau sumber informasi tentang perubahan yang terjadi dipulau Mandangin sebagai akibat proses hidrodinamika ( arus dan gelombang ) dan kegiatan manusia. Sebagai data tentang karakteristik dasar perairan Pulau Mandangin, apakah termasuk perairan dengan tipe dasar perairan yang datar, landai, miring, sangat miring, curam, atau sangat curam.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Kedalaman Laut

Kedalaman merupakan parameter yang penting dalam memecahkan masalah teknik berbagai pesisir seperti erosi. Pertambahan stabilitas garis pantai, pelabuhan dan kontraksi, pelabuhan, evaluasi, penyimpanan pasang surut, pergerakan, pemeliharaan, rute navigasi (Roonawale, 2010). Menurut Ariana (2002) faktor – faktor yang mempengaruhi kedalaman adalah betimetri. Batimetri adalah ukuran tinggi rendahnya dasar laut. Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap kualitas air pada lokasi tersebut. Lokasi yang dangkal akan lebih mudah terjadinya pengadukan dasar akibat dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya kedalaman perairan lebih dari 3 meter dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya kedalaman perairan lebih dari dasar jaring (Setiawan, 2010).

2.1.1. Vertikal

Sumber : http://geoenviron.blogspot.com/2011/12/zona-laut-kepulauan.html . Gambar 2.1. Zonasi Kedalaman Laut Vertikal

Secara vertikal kawasan pelagik dibagi berdasarkan daya tembus cahaya matahari ke dalam kolom perairan, yaitu :

1. Zona Fotik dan Eufotik merupakan perairan pelaik yang masih mendapatkan cahaya matahari. Batas bawah zona ini tergantung pada batas 1. Zona Fotik dan Eufotik merupakan perairan pelaik yang masih mendapatkan cahaya matahari. Batas bawah zona ini tergantung pada batas

2. Menurut Sudjoko, dkk (1998) Zona Afotik adalah zona yang tidak dapat ditembus cahaya matahari yang posisinya terdapat dibawah zona fotik.

Secara vertikal zona afotik pada kawasan pelagis dapat dibagi beberapa zona yaitu :

1. Zona mesopelagis merupakan bagian teratas zona afotik hingga kedalaman isoterm 10°C yang terletak pada kedalaman 200 - 1000 meter.

2. Zona batipelagis merupakan daerah yang terletak pada kedalaman dimana suhu perairan berkisar antara 10°C dan 4°C atau pada kedalaman anntara 1000 - 4000 meter.

3. Zona abisal pelagis merupakan daerah diatas daratan pasang surut laut yang mencapai kedalaman 4000 - 6000 meter.

4. Zona hadal pelagis merupakan zona perairan terbuka dari palung laut dengan kedalaman 6000 - 10.000 meter.

Sedangkan pada zona vertikal dasar atau bentik dibagi atas beberapa zona, yaitu :

1. Zona batial adalah daerah yang mencakup lereng benua hingga mencapai kedalaman 4.000 meter.

2. Zona abisal termasuk daratan abisal yang luasnya berada pada kedalaman 4.000 – 6.000 meter.

c. Zona hadal adalah zona bentik dan palung lautan dengan kedalaman antara 6.000 – 10.000 meter.

2.1.2. Horizontal

Sumber : http://smamuhammadiyahtasikmalayageo.blogspot.com/2012/10/arus-laut-di

bumi.html . Gambar 2.2. Zonasi Kedalaman Laut Horizontal

Berdasarkan kedalamannya laut dibedakan menjadi 4 wilayah / zona, yaitu :

a. Zona lithoral adalah wilayah pantai atau pesisir atau shore. Di wilayah ini pada saat air pasang tergenang air dan pada saat air laut surut menjadi daratan. Oleh karena itu, wilayah ini sering disebut juga sebagai wilayah pasang surut.

b. Zona neritik (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 200 meter. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari sehinga pada wilayah ini palin banyak terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

c. Zona bathyal (wilayah laut dalam) adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 200 – 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat ditembus sinar matahari. Oleh karena itu kehidpan organismenya tidak sebanyak yang terdapat di wilayah neritic.

d. Zona abysal (wilayah laut sangat dalam) yaitu wilayah laut yang memiliki kedalaman di atas 1800 meter. Wilayah ini suhunya sangat rendah dan tidak ada tumbhan yang hidup serta jenis hewan di wilayah ini sangat terbatas (Odum, Eugene.1971:408).

2.2. Profil Kedalaman / Kemiringan

Kemiringan (profil) dasar perairan dapat digambarkan berdasarkan pada perubahan kedalaman permukaan dasar laut sepanjang garis transek. Penentuan profil suatu perairan atau pantai dapat ditentukan berdasarkan nilai koefisien regresi ( b%) dari persamaan y = a + bx dimana y adalah kedalaman perairan dan x adalah jarak dari garis pantai ke setiap titik kedalaman yang diukur. Menurut Sunarto (1991), kriteria klasifikasi kemiringan lereng terdiri dari lereng datar (0,0- 2,9%), lereng landai (3,0-7,9%), lereng miring (8,0-13,9%), lereng sangat miring (14,0-20,9%), lereng curam (21,0-55,9%), lereng sangat curam (56,0-140,9%), dan lereng terjal (>140,9%) (Patty W, 2010).

2.3. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya akan diproses dan diinterpretasikan berdasarkan kegunaannya. Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan (Lo, 1986). Sedangkan menurut Curran (1985), penginderaan jauh yaitu penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna. Selanjutnya menurut Kushardono (2003), informasi yang diperoleh mengenai kondisi permukaan bumi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa keuntungan, yakni:

a. Daerah cakupan datanya luas sehingga data global dapat diperoleh

b. Resolusi temporalnya tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir setiap hari bahkan setiap jam, sehingga dapat digunakan untuk pemantauan

c. Perolehan datanya cepat, karena dapat diperoleh setiap saat dari satelit yang sedang berorbit. Selain itu, bentuk data dalam format digital, maka pengolahan informasi dapat dilakukan secara cepat dengan menggunakan komputer

d. Dipandang relatif ekonomis, karena sudah adanya beberapa fasilitas satelit penginderaan jauh di Indonesia

2.4. Teori Dasar Penginderaan Jauh

Radiasi adalah suatu istilah yang berlaku untuk banyak proses yang melibatkan pindahan tenaga oleh gejala gelombang elektromagnetik (Pitts and Sissom, 2001). Sumber energi terbesar dan bersifat kontinyu yang tersedia bagi manusia adalah energi surya. Energi surya dihasilkan melalui reaksi fusi yang terjadi dalam inti matahari, jika cahaya menempa pada zat kimia pada sel matahari maka akan dihasilkan energi listrik potensial atau voltas (Challoner, 1998). Energi matahari yang sampai ke bumi merupakan sebuah pancaran gelombang pendek dalam bentuk radiasi.

Menurut Flapin (1998) radiasi adalah energi pancaran berupa gelombang elektromagnetik. Radiasi surya yang sampai puncak atmosfer 1360W/m2 sedangkan yang sampai permukaan bumi setengah dari radiasi yang sampai puncak atmosfer dan 30% dari radiasi surya yang sampai permukaan bumi dipantulkan kembali luar angkasa (Handoko, 1995). Beberapa faktor yang menentukan besarnya radiasi yang datang adalah tingkat keawanan, sudut datang matahari, dan kondisi atmosfer. Tingkat keawanan dan sudut datang matahari merupakan faktor utama yang menentukan variasi besarnya radiasi yang datang di bumi (Kondratyev, 1969).

Selain beberapa faktor diatas, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi radiasi sinar matahari, yakni lubang hitam. Lubang hitam adalah suatu benda dengan massa yang sangat masif, sehingga menyebabkan cahaya bisa tertarik dan terjebak ke dalamnya tanpa bisa melepaskan diri. Bila cahaya terjebak oleh lubang hitam, maka tidak akan mungkin ada informasi yang bisa diperoleh untuk membuktikan adanya lubang hitam secara langsung (Mumpuni, 2008).

Permukaan yang bersifat seperti benda hitam tidak akan memantulkan energi radiasi yang diterimanya, oleh karena itu disebut sebagai penyerap paling baik (Koestoer, 2003). Dalam fisika, benda hitam (black body) adalah obyek yang menyerap seluruh radiasi elektromagnetik yang jatuh kepadanya. Tidak ada radiasi yang dapat keluar atau dipantulkannya. Namun demikian, dalam fisika klasik, secara teori benda hitam haruslah juga memancarkan seluruh panjang gelombang energi karena hanya dari sinilah energi benda itu dapat diukur (Tampubolon, 2011).

Jumlah dan jenis radiasi elektromagnetik yang dipancarkan bergantung pada suhu benda hitam tersebut. Benda hitam dengan suhu dibawah sekitar 700 Kelvin hampir semua eneginya dipancarkan dalam bentuk gelombang inframerah, sangat sedikit dalam panjang gelombang tampak. Istilah benda hitam pertama kali diperkenalkan oleh Gustav Robert Kirchhoff pada tahun 1862. Cahaya yang dipancarkan oleh benda hitam disebut radiasi benda hitam (Anonimous, 2008). Dalam penginderaan jauh digunakan tenaga elektromagnetik. Matahari merupakan sumber utama dari tenaga elektromagnetik. Tenaga elektromagnetik tidak tampak oleh mata, dan hanya tampak bila berinteraksi dengan benda, seperti debu, uap air, dan benda lain di atmosfer atau dipermukaan bumi (Sutanto,1994).

Matahari memancarkan tenaga elektromagnetik ke segala arah, sebagian dari yang dipancarkan mencapai bumi. Pemancaran tenaga elektromegnetik dari matahari menuju bumi berlangsung dengan cara radiasi. Radiasi tenaga elektromagnetik berlangsung dengan kecepatan tetap dan dengan pola gelombang yang harmonik, karena komponen-komponen gelombangnya teratur secara sama dan repetitif dalam ruang dan waktu (Sutanto,1994). Selain itu, pemancaran gelombang elektromagnetik dalam bentuk panas di atmosfer lapisan bawah berlangsung secara konveksi. Akan tetapi, cara konveksi ini memiliki pengaruh yang kecil, sehingga diabaikan. Tenaga elektomagnetik tidak hanya berbentuk panas saja, tetapi dalam bentuk sinar (Sutanto,1994). Tenaga elektromagnetik terdiri dari berkas atau spektrum yang sangat luas. Spektrum tersebut meliputi spekta kosmik, Gamma X, ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, gelombang mikro (microwave), dan radio. Jumlah total untuk spektrum tersebut dikenal dengan istilah spektrum elektromagnetik (Sutanto,1994).

Sumber:http://ari-awp.blogspot.com/2009_10_01_archive.html. Gambar 2.3. Spektrum Elektromagnetik

Spektral merupakan hasil interaksi antara energi elektromagnetik (EM) dengan suatu objek. Objek yang diamati di permukaan bumi memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Artinya, ada objek yang memiliki sifat daya serap (absorpsi) tinggi terhadap EM dan pantulannya rendah. Akan tetapi, ada pula objek yang memiliki daya serap rendah dan daya pantulnya tinggi. Pola pantulan dan absorpsi berbeda untuk tiap panjang gelombang yang berbeda. Dengan kata lain, masing-masing objek akan memberikan pantulan EM yang berbeda, sehingga dapat dibedakan suatu objek dengan objek yang lain (Anonimous, 2010). Spectral signature adalah penanda (signature) yang mencirikan spektral dari target yang diamati. Nilai spektral dipengaruhi oleh sifat optik media dan permukaan dari objek yang diamati. Komposisi medium atau permukaan sehingga mempengaruhi bagaimana cahaya ditransmisikan, diserap, tersebar, atau dipantulkan. Spectral reflectance signature dapat membantu dalam menentukan perbedaan dari dua target yang berbeda jenis (Anonimous, 2010).

Sumber:http://www.eumetsat.int/metprods_webcast/media/graphics/MODIS_WC_land_s

olar_spectral_signatures.jpg Gambar 2.4. Spectral Signature

2.5. Sensor Satelit Pengindderaan Jauh

Pengumpulan data dalam penginderaan jauh dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan sensor buatan. Dengan melakukan analisis terhadap data yang terkumpul dapat diperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Data tersebut direkam dan dikumpulkan dengan tiga cara, yakni distribusi daya (force), distribusi gelombang bunyi, dan distribusi tenaga elektromagnetik. Sistem penginderaan jauh bekerja dengan cara memanfaatkan pancaran dan pantulan energi dari benda-benda yang ada di permukaan bumi. Kemudian ditangkap oleh sistem sensor pada satelit. Energi yang ditangkap oleh sensor tersebut diubah menjadi sinyal-sinyal yang selanjutnya dikirimkan ke stasiun bumi untuk disimpan dalam bentuk data analog atau digital (Sutanto, 1994)

Sensor pada wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek dipermukan bumi, dimana tiap-tiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik Sensor pada wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek dipermukan bumi, dimana tiap-tiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik

Sumber : Ekadinata, dkk. 2011 Gambar 2.5. Energi pantulan dalam penginderaan jauh

Data penginderaan jauh memiliki karakteristik atau resolusi yang dapat dibedakan menjadi tiga, yakni resolusi spasial, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spasial adalah luasan objek di permukaan bumi yang dapat diukur oleh sensor dan dipresentasikan pada suatu pixel dalam citra digital penginderaan jauh. Resolusi radiometrik, menyatakan besaran kuantitas citra digital berdasarkan nilai tingkat keabuan yang terdapat pada sistem sensor. Resolusi radiometrik dinyatakan dengan besaran biner atau bit, dimana untuk n bit memiliki nilai tingkat keabuan sebanyk 2n, dan nilai digital pada citra berkisar dari 0 hingga 2n-1 (Kushardono, 2003).

Resolusi temporal adalah lamanya waktu wahana penginderaan jauh untuk mendapatkan data pada lokasi yang sama. Misalnya, Landsat mempunyai resolusi temporal 16 hari, yang berarti data pada lokasi yang sama dapat diperoleh setiap 16 hari sekali (Kushardono, 2003). Berdasarkan posisinya di angkasa, satelit penginderaan jauh dibedakan menjadi dua jenis satelit, yakni satelit orbit berputar dan satelit orbit geostasioner. Satelit orbit berputar memiliki ketinggian agak rendah sekitar 800 km dari permukaan bumi. Satelit orbit berputar memiliki

2 arah perputaran, yakni satelit orbit berputar mengelilingi bumi melewati kutub utara dan kutub selatan atau orbit satelit polar, dan satelit orbit berputar mengelilingi bumi disekitar khatulistiwa. Sedangkan satelit orbit geostasioner, posisinya menetap di atas khatulistiwa dengan ketinggian sekitar 35,800 km, yang pada umumnya digunakan sebagai satelit pemantauan untuk meteorologi (Kushardono, 2003).

2.6. Pengembangan Teknologi Penginderaan Jauh

Munculnya teknologi penginderaan jauh memiliki hubungan yang erat dengan teknologi pesawat atau wahana terbang seperti balon udara, pesawat terbang, satelit, dan teknologi di bidang fotografi (fotogrametri). Pada Perang Dunia ke-II terjadi persaingan teknologi militer antara pihak Amerika dan sekutunya dengan pihak Jerman dan Jepang sebagai lawannya. Salah satu teknologi tersebut adalah teknologi penginderaan jauh yakni kemampuan mendeteksi kekuatan musuh dari jarak jauh melalui pemotretan dari wahana atau pesawat terbang (Tarmansyah, 2010).

Setelah ditemukan dan dikembangkan teknologi fotogrametri yang dapat mentransformasikan citra foto ke bentuk peta garis (peta topografi). Sejak itu mulailah dikenal metode fotogrametri di bidang pemetaan topografi. Sejalan dengan kemajuan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, maka teknologi penginderaan jauh juga mengalami kemajuan yang pesat. Dengan melibatkan ahli- ahli di bidang ilmu-ilmu kebumian (Geologi, Geografi, Hidrologi, Geodesi dan lain-lain) citra foto udara ternyata dapat dimanfaatkan di lapangan yang lebih luas karena dari citra tersebut dapat dianalisis potensi sumber daya alam, bencana alam, kondisi iklim/cuaca, dan aspek-aspek geografi lainnya (Tarmansyah, 2010).

Teknologi citra satelit yang ditemukan dapat mendeteksi potensi sumber daya alam dari satelit yang mengorbit dari ketinggian ribuan kilometer dari permukaan bumi. Kelebihan dari teknologi citra satelit ini dapat meliput daerah yang luas secara cepat dan mengulanginya secara periodik dalam waktu yang relatif singkat (kurang dari satu bulan) (Tarmansyah, 2010).

Menurut Sitanggang (1998) ada beberpa satelit yang dimanfaatkan oleh Indonesia adalah sebagai berikut :

 Landsat, yang merupakan pengembangan dari ERTS (Earth Resources Technology Satellite ).  Satelit SPOT.

 Satelit Radar SAR (Svnthetic Aperture Radar) atau Radarsar. Kelebihan satelit dengan sensor SAR dapat menembus awan dan kegelapan malam serta

mampu menampilkan data stereoskopis, pengulangan orbit setiap 24 hari.  Satelit ERS (Earth Resources Satellite) merupakan satelit sumberdaya alam.

 Satelit JERS, bekerja pada gelombang visible hingga near infrared (VNIR). Penggunaan kanal Infra Red ini sangat efektif untuk mendeteksi sumberdaya mineral.

2.7. Karakteristik Satelit WorldView-2

Satelit WorldView-2 adalah satelit generasi terbaru dari Digitalglobe yang diluncurkan pada tanggal 8 Oktober 2009. Citra satelit yang dihasilkan selain memiliki resolusi spasial yang tinggi juga memiliki resolusi spectral yang lebih lengkap dibandingkan produk citra sebelumnya. Resolusi spasial yang dimiliki citra satelit WorldView-2 ini lebih tinggi, yaitu 0.46 m – 0.5 m untuk citra pankromatik dan 1.84 m untuk citra multispektral. Citra multispektral dari WorldView-2 ini memiliki jumlah band sebanyak 8 band, sehingga sangat memadai bagi keperluan analisis-analisis spasial sumber daya alam lingkungan hidup (http://sellquickbird.wordpress.com/worldview/). Tabel 2.1. Karakteristik Satelit WorldView-2

Peluncuran

Tanggal : 8 Oktober 2009 Roket Peluncur : Delta 7920 Lokasi Peluncuran : Vandenberg Air Force Base, California

Orbit Tinggi : 770 kilometer Sun synchronous, jam 10:30 am descending node Periode orbit : 100 menit

Masa Operasi

7.25 tahun, meliputi seluruh yang terpakai dan yang mengalami penyusutan (mis. bahan bakar). Dimensi Satelit,

4.3 meter tinggi x 2.5 meter lebar, 7.1 meter lebar panel Bobot & Power

energi surya Bobot : 2800 kilogram

3.2 kW panel surya, 100 Ahr battery

Sensor Bands

Pankromatik

8 Multispektral:

4 standard colors: blue, green, red, near-IR 1 newcolors: coastal, yellow, red edge, near-IR 2 Resolusi Sensor

Pankromatik : 0.46 meter GSD pada nadir (GSD = Ground

0.52 meter GSD pada 20° off-nadir

Sample Distance) Multispektral: 1.84 meter GSD pada nadir

2.08 meter GSD pada 20° off-nadir (catatan : citra satelit harus diresampling ke ukuran 0.5 meters bagi kostumer di luar pemerintahan Amerika)

Dynamic Range

11-bit per pixel

Lebar Sapuan

16.4 kilometer pada nadir

Kapasitas

2199 gigabit

penyimpanan Perekaman per orbit 524 gigabit Maksimal area

65.6 km x 110 km mono

terekam pada sekali

48 km x 110 km stereo

lintas Putaran ke lokasi yg

1.1 hari pada 1 meter GSD atau kurang sama

3.7 hari pada 20° off-nadir atau kurang (0.52 meter GSD) Ketelitian lokasi (CE 6.5m CE90, dengan perkiraan antara 4.6 s/d 10.7 meter 90)

CE90, di luar pengaruh terrain dan off-nadir

2.0 m jika menggunakan registrasi titik kontrol tanah

Sumber : http://www.jualcitrasatelit.com/p/WorldView-2.html 2012

Tabel 2.2. Spesifikasi Satelite WorldView-2

Rangkuman Spesifikasi Teknis Satelit WorldView-2

0.5 meter (citra pankromatik)

1.8 meter (citra multispektral pada keadaan nadir Resolusi Spasial

2.4 meter (untuk citra multi spektral pada keadaan 20° off-nadir

4 Band (merah, hijau, biru, infra merah dekat) dan 8 Band

band

Lebar Sapuan

16.4 km (pada keadaan nadir)

Altitude/Ketinggian

770 km sun synchronous

Waktu Lintas Ulang s 1.1 /

d 3.7 hari

Sumber : https://citrasatelit.wordpress.com 2013

2.8. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik merupakan tahap awal pengolahan data sebelum analisis dilakukan untuk suatu tujuan, misalnya untuk identifikasi liputan lahan pertanian. Proses koreksi radiometrik mencakup koreksi efek-efek yang berhubungan dengan sensor untuk meningkatkan kontras setiap piksel dari citra, sehingga objek yang terekam mudah diinterpretasikan atau dianalisis untuk menghasilkan data/informasi yang benar sesuai dengan keadaan lapang (Supriatna, 2002). Koreksi radiometri diperlukan atas dasar dua alasan, yakni untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya (Danoedoro, 2012).

Koreksi radiometrik citra yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas visual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena drop-out baris maupun masalah kesalahan awal pemindaian. Baris atau bagian baris yang bernilai tidak sesuai dengan yang seharusnya dikoreksi dengan mengambil nilai piksel satu baris di atas dan di bawahnya, kemudian dirata-ratakan (Guindon, 1984, dalam Jensen 2005). Koreksi radiometri yang ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya juga bisa dilakukan dengan mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Pada koreksi ini diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai terendah piksel pada kerangka liputan tersebut bukan nol, maka nilai penambah tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer (Danoedoro, Projo. 2012).

2.9. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan citra sehingga cocok dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya. Posisi geografis citra pada saat pengambilan data dapat menimbulkan distorsi karena perubahan posisi dan juga Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan citra sehingga cocok dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya. Posisi geografis citra pada saat pengambilan data dapat menimbulkan distorsi karena perubahan posisi dan juga

Model geometri orbital didasari oleh pengetahuan mengenai karakteristik orbit wahana satelit. Bannari (1995) menjelaskan, faktor-faktor yang dikoreksi melalui model geometri orbital sebagai berikut :

Koreksi Aspect

untuk menghilangkan efek oversampling. Oversampling terjadi karena adanya perbedaan kecepatan pemindaian dengan coding dan penyimpanan data dari pantulan oleh detektor. Misalkan, untuk citra Landsat MSS seharusnya diperoleh ground sample distance, GSD sepanjang 79x79 m. Namun, pada saat perekaman hanya diperoleh GSD sepanjang 56x56 m. Sehingga perlu dilakukan aspect rasio 56:79 atau 1:1,41. Sehingga diperoleh matriks aspect rasio (Bannari, 1995)

Ratio merupakan

proses

M=

Koreksi Kemencengan merupakan proses menghilangkan pengaruh kemencengan detektor saat dilaksanakan pengambilan citra oleh detektor pada satelit. Sec ara matematis tertulis dalam persamaan 2, dimana θ menunjukkan besarnya sudut kemencengan, L menunjukkan lintang tempat diambilnya citra dan θe menunjukkan arah gerak satelit terhadap ekuator (Bannari, 1995).

Koreksi Rotasi Bumi, merupakan proses untuk menghilangkan efek rotasi bumi pada saat pengambilan citra oleh detektor pada satelit. Secara matematis tertulis dalam persamaan 3, dimana Ve(L) menunjukkan kecepatan suatu titik Koreksi Rotasi Bumi, merupakan proses untuk menghilangkan efek rotasi bumi pada saat pengambilan citra oleh detektor pada satelit. Secara matematis tertulis dalam persamaan 3, dimana Ve(L) menunjukkan kecepatan suatu titik

V e (L) = R cos (L) ω e

Transformasi ground control point, GCP merupakan proses koreksi geometrik citra dengan cara membandingkan posisi yang berada pada citra, dengan posisi yang ada di lapangan/peta yang sudah tersedia sebelumnya. Ground control point , GCP adalah suatu lokasi pada permukaan bumi yang dapat diidentifikasi pada citra dan sekaligus dikenali posisinya pada peta (Jensen, 2005).

2.10. Peta Model Karakteristik Dasar Perairan

Membuat peta pendugaan karakteristik dasar perairan dengan menggunakan aplikasi ArcGis 10 dapat diperoleh dengan menggunakan teknik interpolasi untuk pendugaan data kedalaman. Terlebih dahulu dengan plotting data X,Y,Z, dimana X dan Y adalah koordinat di setiap titik transek sedangkan Z adalah nilai kedalaman pada setiap titik transek. Setelah proses plotting telah dilakukan maka peta karakteristik dasar perairan dapat dimunculkan (Anonimous, 2012).

2.11. Prinsip Kerja GPS Map Sounder

Hidroakustik merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik. Perangkat akustik tersebut antara lain echosounder, fish finder, GPS Map Sounder, sonar dan ADCP. Hidroakustik dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan dasar perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target (Burczynki et al. 2001).

Langkah dasar pendeteksian bawah air adalah adanya transmitter yang menghasilkan listrik dengan frekuensi tertentu. Kemudian disalurkan ke transducer yang akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam bentuk pulsa suara dipancarkan. Suara yang dipancarkan akan mengenai obyek, dan akan dipantulkan kembali oleh obyek dalam bentuk echo dan diterima kembali oleh alat transducer. Echo tersebut diubah kembali menjadi Langkah dasar pendeteksian bawah air adalah adanya transmitter yang menghasilkan listrik dengan frekuensi tertentu. Kemudian disalurkan ke transducer yang akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam bentuk pulsa suara dipancarkan. Suara yang dipancarkan akan mengenai obyek, dan akan dipantulkan kembali oleh obyek dalam bentuk echo dan diterima kembali oleh alat transducer. Echo tersebut diubah kembali menjadi

Prinsip kerjanya, yaitu pada transmiter terdapat tranduser yang berfungsi untuk merubah energi listrik menjadi suara. Kemudian suara yang dihasilkan dipancarkan dengan frekuensi tertentu. Suara ini dipancarkan melalui medium air yang mempunyai kecepatan rambat sebesar, v=1500 m/s. Ketika suara ini mengenai objek, misalnya ikan maka suara ini akan dipantulkan. Sesuai dengan sifat gelombang yaitu gelombang ketika mengenai suatu penghalang dapat dipantulkan, diserap dan dibiaskan, maka hal yang sama pun terjadi pada gelombang ini (http://amuchtarom51.blogspot.co.id/2014_06_01_archive.html).

Ketika gelombang mengenai objek maka sebagian enarginya ada yang dipantulkan, dibiaskan ataupun diserap. Untuk gelombang yang dipantulkan energinya akan diterima oleh receiver. Besarnya energi yang diterima akan diolah dangan suatu program, kemudian akan diperoleh keluaran (output) dari program tersebut. Hasil yang diterima berasal dari pengolahan data yang diperoleh dari penentuan selang waktu antara pulsa yang dipancarkan dan pulsa yang diterima. Dari hasil ini dapat diketahui jarak dari suatu objek yang dideteksi (http://amuchtarom51.blogspot.co.id/2014_06_01_archive.html).

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data kedalaman perairan menggunakan GPS Map Sounder / echosounder yang akan dilaksanakan pada tanggal 06 Oktober 2015 dengan lokasi pengamatan di perairan Pulau Mandangin kabupaten Sampang. Pengambilan titik sampel kedalaman dilakukan tepat jam 07.00 pagi saat perairan mengalami surut hingga jam 11.46.

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1. Alat Tabel 3.1. Alat dan fungsi alat

Skala / No

untuk mengukur kedalaman air

data mendeteksi keberadaan ikan

sampai 500 m

kedalaman GPS Map

dengan menggunakan tranduser Sounder

1 kHz

dual frekuensi yaitu 50kHz (untuk titik laut dalam) dan 200kHz (untuk laut koordinat

dangkal)

Komputer memproses dan menyimpan data

2 - / PC

yang akan di analisa

peta yang telah Software

mengolah dan menganalisa data dikoreksi ENVI

geometrik dan reflektan peta kontur Software

primer

kedalaman ArcGIS

mengolah dan menganalisa data

primer

peta model kedalaman

3.2.2. Bahan Tabel 3.2. Bahan

No

Bahan / Data

1 Citra satelit WorldView-2 wilayah Pulau Mandangin

2 Data Pasang Surut

3 Data Kedalaman Perairan Pulau Mandangin

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Teknik Pengambilan Data Pengambilan data dalam penelitian ini mencakup pengambilan data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan survey lapang atau turun langsung ke tempat penelitian dan mengambil data sesuai dengan data yang diperlukan. Penelitian ini memerlukan data primer antara lain:

1. Data kedalaman perairan pulau Mandangin yang diperoleh dengan menggunakan alat GPS Map Sounder

Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari literatur – literatur seperti jurnal ilmiah, buku yang memiliki tema penelitian yang sama, dan referensi – referensi lainnya.

3.3.2. Metode Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari citra satelit

WorldView-2 dengan resolusi 0,46 m – 0,5 m. Data citra satelit WorldView-2 harus dikoreksi radiometrik dengan mengubah nilai digital number (DN) pada setiap piksel menjadi nilai reflektansi dan koreksi geometrik menggunakan peta RBI sebagai peta acuan. Selain itu, digunakan juga data kedalaman dari hasil pengukuran kedalaman menggunakan GPS Map Sounder.

Metode pengambilan data dalam penelitian ini ada beberapa macam dan juga diperlukannya ketelitian dalam proses pengambilannya. Data yang dibutuhkan adalah data primer yang dapat diperoleh dengan cara survey lapang. Data yang dibutuhkan antara lain :

1. Data kedalaman perairan pulau Mandangin

2. Data titik koordinat Cara atau metode pengambilan data kedalaman perairan pulau

Mandangin yaitu dengan menggunakan alat yang bernama GPS Map Sounder yang di pasang di bagian bawah lambung kapal. Alat ini bekerja dengan 2 frekuensi gelombang yaitu 50kHz untuk laut dalam dan 200kHz untuk laut dangkal. Jika GPS Map Sounder telah di setting dan telah terpasang di bawah lambung kapal, kita siap untuk melakukan pemeruman. Pemeruman disini dilakukan mulai dari jarak 5 meter dari bibir pantai dan mengarah ke tengah laut sejauh ±500 meter kemudian memutar kembali ke arah pantai hingga mengelilingi seluruh pulau Mandangin.

3.4. Alur Kegiatan Penelitian

Citra WorldView2 Data Lapang

resolusi 0,46 – 0,5 m

Kedalaman

Perbandingan Koreksi pasang DN

surut

Digitasi Citra Kontur Kedalaman

Profil

Masking Citra (pemisahan Kedalaman/Kemiringan daratan dan lautan)

Dasar Laut

Pemodelan

Peta Garis Pantai

Peta Karakteristik Dasar Perairan

Gambar 3.2. Alur Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Pulau Mandangin

Pulau Mandangin merupakan salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Sampang, tepatnya di perairan Madura. Pulau ini dijuluki juga sebagai pulau kambing, hal ini dikarenakan Pulau Mandangin banyak terdapat populasi kambing yg secara bebas berkeliaran di wilayah Pulau Mandangin. Pulau Mandangin

memiliki luas wilayah sekitar 1.650 km 2 dan dihuni oleh sekitar 19.000 jiwa. Secara geografis Pulau Mandangin terletak pada 113° 12’ 30” - 113° 14’

0” BT dan 07° 18’ 30” - 07° 19’ 30” LS (Muhsoni, 2014). Pulau Mandangin hanya memiliki satu desa yang terbagi 3 dusun yaitu dusun barat yang terbagi 6 RT, dusun kramat yang terbagi 5 RT, dan dusun candin yang terbagi 5 RT.

Pulau Mandangin memiliki pantai di bagian timur, selatan, dan barat dengan total panjang garis pantai sekitar 3,92 km. Substrat yang terdapat di pantai Pulau Mandangin di dominasi oleh pasir putih serta didukung oleh kondisi perairan yang relatif jernih dan tida keruh. Terdapat pula ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Mandangin yang tersebar di hampir seluruh perairan Pulau Mandangin. Keadaan terumbu karang yang terdapat di perairan Pulau Mandangin saat ini dalam keadaan rusak, hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor manusia. Banyak kapal dan perahu yang menjatuhkan jangkarnya di atas terumbu karang sehingga merusak terumbu karang yang ada dibawahnya, selain itu juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap kerang yang tidak ramah lingkungan yang berpotensi besar merusak ekosistem terumbu karang.

Perairan Mandangin memiliki kedalaman yang bertingkat dimulai dari bibir pantai sampai ke arah laut lepas. Perbedaan ini dapat dilihat dengan jelas melalui hasil pemotretan citra satelit, dimana pada jarak beberapa meter dari bibir pantai merupakan laut dalam dan dengan kasat mata kita dapat melihatnya dari perbedaan warna perairan tersebut.

4.2. Survei Kedalaman Menggunakan GPS Map Sounder

Gambar 4.1. Pengambilan Titik Sampel Kedalaman dengan Menggunakan GPS Map Sounder

Pengambilan titik sampel dilakukan dengan cara mengikuti koordinat lintang dan bujur untuk memudahkan proses pengambilan data yang dimulai dari kedalaman 0.5 meter ke arah laut sampai pada jarak ± 500 meter. Untuk jalur berikutnya diukur dari arah laut ke arah darat sampai pada kedalaman 0.5 meter. Hal ini terus diulang sampai pada transek terakhir atau hingga mengelilingi seluruh pulau. Jumlah transek dari pengambilan titik sampel sebanyak 41 transek (gambar 4.2).

Pengambilan sample dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2015 pukul 07.00 WIB sampai pukul 11.46 WIB dengan menggunakan alat GPS Map Sounder. Pengambilan data dilakukan saat laut sedang dalam keadaan surut. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan hasil kedalaman perairan yang setelah dikoreksi dengan data pasang surut akan mendapatkan hasil yang lebih valid.

Gambar 4.2. Peta Transek dan Jalur Pemeruman

Peta diatas menggambarkan jalur pemeruman atau jalur survei kedalaman perairan yang dimana jalur tersebut menggunakan teknik sampling acak sederhana. Penggunaan teknik sampling acak sederhana bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan pemeruman di lapang untuk memperoleh data kedalaman (Hazzir, 2012). Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran kedalaman. Lajur perum dapat berbentuk garis-garis lurus, lingkaran, atau yang lainnya sesuai metode yang akan digunakan untuk penentuan posisi titik fiks perumnya. Agar mampu mendeteksi perubahan kedalaman yang lebih ekstrem lajur perum dipilih dengan arah yang tegak lurus terhadap arah garis pantai. Terdapat pula transek pada jalur pemeruman yang bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisa profil dasar perairan yang diperoleh mengunakan regresi linear sederhana untuk menghasilkan nilai b % pada setiap transek.

4.3. Koreksi Kedalaman dengan Pasang Surut

Data kedalaman yang telah diperoleh melalui hasil survei lapang tidak dapat langsung digunakan karena masih mengalami kesalahan antara lain karena Data kedalaman yang telah diperoleh melalui hasil survei lapang tidak dapat langsung digunakan karena masih mengalami kesalahan antara lain karena

Sumber : DISHIDROS TNI – AL 2015

Gambar 4.3. Grafik Pasang Surut Tanggal 06 Oktober 2015 Grafik diatas adalah grafik pasang surut yang diperoleh dari BMKG

Perak. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2015. Pengambilan data menggunakan GPS Map Sounder dimulai dari jam 07.00 WIB hingga jam

11.46 WIB, sehingga data pasang surut yang digunakan untuk mengoreksi kedalaman yaitu pada jam 07.00 hingga jam 11.00. Pada tanggal 6 Oktober 2015, perairan Pulau Mandangin mengalami keadaan surut setinggi -50 cm atau -0,5 m dan pasang setinggi 50 cm atau 0,5 m. Pada jam 07.00 sampai jam 08.00 terdapat perbedaan pasang sebesar 0,2 m dan 0,1 m sehingga pada perolehan survei kedalaman harus dikurangkan 0,2 untuk data kedalaman jam 07.00 dan 11.46 WIB, sehingga data pasang surut yang digunakan untuk mengoreksi kedalaman yaitu pada jam 07.00 hingga jam 11.00. Pada tanggal 6 Oktober 2015, perairan Pulau Mandangin mengalami keadaan surut setinggi -50 cm atau -0,5 m dan pasang setinggi 50 cm atau 0,5 m. Pada jam 07.00 sampai jam 08.00 terdapat perbedaan pasang sebesar 0,2 m dan 0,1 m sehingga pada perolehan survei kedalaman harus dikurangkan 0,2 untuk data kedalaman jam 07.00 dan