DAMPAK MULTIGANDA RENCANA INDUK PEMBANGU (1)
DAMPAK MULTIGANDA RENCANA INDUK PEMBANGUNAN
KEPARIWISATAAN DAERAH (RIPPARDA) TERHADAP
KEPARIWISATAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Aditha Agung Prakoso
Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) Yogyakarta
Jl. Laksda Adisucipto Km. 5 Yogyakarta 55281 Indonesia
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Nowadays, Daerah Istimewa Yogyakarta is announced as one of tourism destination in
Indonesia. It is confirmed that Daerah Istimewa Yogyakarta in Regulation of Government No
50 of Government No 50 Year 2011 is belong to 50 national tourism destinations as known as
National Tourism Destination Borobudur – Yogyakarta and its surrounding area. To
accomplish The Act No 10 Year 2009 on Tourism and Regulation of Government No 50 Year
2011 on Grand Strategy of National Tourism Development, so Daerah Istimewa Yogyakarta
composed Grand Strategy of Regional Tourism Development that called Regulation of
Regional Government No 1 Year 2012 on Grand Strategy of Regional Tourism Development
Provence Daerah Istimewa Yogyakarta. It is expected to give positive multiplier effect for
Daerah Istimewa Yogyakarta community.
Keywords : tourism destination, multiplier effect, grand strategy of national tourism
development, tourism planning,
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata bagi banyak daerah di Indonesia sangat diandalkan sebagai sektor unggulan
dengan kemampuannya menjadi penopang ekonomi daerah. Sebagai salah satu sektor
pembangunan, pariwisata menjadi sumberdaya yang dapat mendukung peningkatan potensi
lokal yang ada, sehingga mampu mempersempit kesenjangan yang mungkin terjadi dengan
daerah lain yang memiliki sumberdaya sejenis.
Di dalam pengembangan suatu daerah dengan suatu basis sektoral tertentu disebutkan oleh
Tarigan (2004:11-12) bahwa dengan adanya perubahan pada satu sektor (industri) secara
otomatis akan mendorong perubahan pada sektor (industri) lainnya. Perubahan itu sendiri
memiliki sifat pengganda (multiplier) karena akan terjadi beberapa kali putaran perubahan,
dimana putaran yang terakhir sudah begitu kecil pengaruhnya. Dalam hal ini, apa yang
dikemukakan Tarigan sebenarnya dapat memperkuat asumsi bahwa pariwisata sebagai salah
satu sektor usaha (industri) memiliki pengaruh yang besar terhadap sektor-sektor lainnya yang
ada di suatu daerah yang pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan wilayah tersebut
secara keseluruhan.
Tarigan juga berpendapat bahwa pembangunan dengan menggunakan suatu pendekatan
pengembangan yang berbasis sektoral juga mampu mengubah ruang dan perkiraan atas
penggunaan ruang di masa datang dan pada tahap selanjutnya dapat diprediksikan bahwa akan
terjadi perpindahan orang dan barang dari satu daerah ke daerah lainnya secara bebas
berdasarkan daya tarik (attractiveness) yang lebih kuat yang dimiliki suatu daerah
dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam kerangka pemikiran ini, apabila sektor
pariwisata memiliki daya tarik yang kuat di suatu daerah maka sangat terbuka kemungkinan
bahwa akan banyak wisatawan yang datang ke daerah tersebut. Bahkan apabila dipandang
secara lebih optimistik kedepan, daya tarik tersebut juga akan membuka peluang bagi
berkembangnya investasi dan kegiatan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Ada beberapa komponen pengembangan kepariwisataan di daerah yang perlu
diakomodasikan. Inskeep (1991) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan kepariwisataan
di suatu daerah, perlu dikenali terlebih dahulu sifat dari pengembangan yang akan dilakukan
tersebut. Beberapa hal yang perlu dikenali dari pengembangan pariwisata di suatu daerah
antara lain:
a. Kebijakan pembangunan daerah
b. Akses wilayah dan jaringan transportasi internal yang menghubungkan antara obyek,
fasilitas, dan jasa pelayanan lainnya
c. Tipe dan lokasi atraksi pariwisata
d. Lokasi pengembangan kegiatan kepariwisataan termasuk area perhotelan/resort
e. Jumlah, tipe, dan lokasi akomodasi wisatawan dan fasilitas jasa dan pelayanan lainnya
f. Kondisi lingkungan perwilayahan, sosial budaya, ekonomi dan analisis dampak
g. Tingkat edukasi masyarakat dan program-program
dikembangkan di sekitar obyek wisata
pendukung
yang
telah
h. Strategi pemasaran yang telah dilakukan dan program-program promosi lainnya
i. Struktur dan hierarki organisasi, legislasi, regulasi, dan kebijakan investasi
j. Teknik implementasi yang mencakup petahapan pengembangan, program/proyek
pengembangan, serta regulasi zonasi kewilayahan.
Selain itu, ada pula komponen pengembangan kepariwisataan lainnya yang harus
dilibatkan dalam pengembangan kepariwisataan di suatu daerah yaitu (Inskeep, 1991):
a. Atraksi dan aktifitas wisatawan yang mencakup dekripsi kewilayahan, lingkungan
alam, fitur, dan aktifitas terkait lainnya dan ada di area obyek.
b. Akomodasi yang menjadi fasilitas bermalam wisatawan
c. Fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan pengembangan kepariwisatan termasuk
pusat informasi wisatawan, restoran, pusat cinderamata atau belanja, bank, penukaran
uang, retail outlet penyedia barang kebutuhan, tempat-tempat pelayanan pribadi
seperti spa, perawatan kesehatan, jasa keamanan dan perlindungan, serta fasilitas
tiketing.
d. Fasilitas dan jasa transportasi yang ada sebagai pendukung pergerakan wisatawan
termasuk menuju obyek-obyek wisata
e. Infrastruktur pendukung lainnya termasuk listrik, jaringan drainase, pembuangan, dan
telekomunikasi
f. Institusi terkait: pihak-pihak yang berkompeten dengan kegiatan pengembangan
pariwisata secara luas.
Kedudukan sektor pariwisata sebagai salah satu pilar pembangunan nasional semakin
menunjukkan posisi dan peran yang sangat penting sejalan dengan perkembangan dan
kontribusi yang diberikan baik dalam penerimaan devisa, pendapatan daerah, pengembangan
wilayah, maupun dalam penyerapan investasi dan tenaga kerja di berbagai wilayah di
Indonesia. Dinamika dan tantangan dalam konteks regional dan global, telah menuntut suatu
perencanaan dan pengembangan sektor pariwisata yang memiliki jangkauan strategis,
sistematis, terpadu, dan sekaligus komprehensif mencakup keseluruhan komponen
pembangunan kepariwisataan yang terkait, baik dari aspek industri pariwisata, destinasi
pariwisata, pemasaran, maupun kelembagaan.
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah akan menjadi fondasi dan dasar
yang sangat penting bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata budaya dan
alam yang tersebar di seluruh DIY. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah
secara konkrit akan memberikan visi, arah, dan rencana yang jelas bagi pengembangan
kawasan-kawasan wisata baik yang sudah layak disebut unggulan maupun yang potensial di
seluruh DIY. Rencana Induk sekaligus akan memberikan panduan atau arahan bagi
stakeholders yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah, baik pemerintah/sektor publik,
swasta, maupun masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata
secara terarah, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
Dengan tersusunnya rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah DIY tersebut
maka kebijakan, strategi dan program yang ada didalamnya diharapkan memberikan solusi
pengelolaan sumberdaya pariwisata yang ada di DIY sekaligus akan memberikan efek
multiganda kepada kesejahteraan masyarakat DIY pada umumnya.
1.2 Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apa dampak multiganda penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Daerah (RIPPARDA) terhadap kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. TINJAUAN PUSTAKA
Buku referensi yang mendukung dalam menyelesaikan penelitian ini cukup banyak,
namun beberapa hal yang dapat menjadi referensi teori adalah sebagai berikut:
2.1 Aspek Pembangunan Kepariwisataan
Dalam pasal 7 UU no 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa:
Pembangunan kepariwisataan meliputi:
a. Industri Pariwisata
b. Destinasi Pariwisata
c. Pemasaran, dan
d. Kelembagaan Kepariwisataan
Di jabarkan lebih detil lagi dalam PP no 50 tahun 2011 tentang rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, seperti gambar di bawah ini:
1. INDUSTRI
PARIWISATA
2. DESTINASI
PARIWISATA
“ Pembangunan
struktur (fungsi,
hirarkhi, hubungan)
industri pariwisata,
daya saing produk
pariwisata, kemitraan
usaha pariwisata,
kredibilitas bisnis. Dan
tanggung jawab thd
lingkungan alam dan
sosial budaya”
“Pembangunan daya
tarik wisata,
pembangunan
prasarana,
pembangunan fasilitas
umum, pembangunan
fasilitas pariwisata serta
Pemberdayaan
masyarakat, secara
terpadu dan
berkesinambungan
3. PEMASARAN
4. KELEMBAGAAN
KEPARIWISATAAN
“Pemasaran pariwisata
bersama terpadu dan
berkesinambungan
dengan melibatkan
seluruh pemangku
kepentingan serta
pemasaran yang
bertanggung jawab dalam
membangun citra
Indonesia sebagai
destinasi pariwisata yang
berdaya siang
“Pengembangan
organisasi
pemerintah,
pemerintah daerah,
swasta dan
masyarakat,
pengembangan
sumber daya
manusia, regulasi
dan mekanisme
operasional di bidang
kepariwisataan
Gambar Komponen Pembangunan Kepariwisataan
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Pengembangan Destinasi Pariwisata (Perwilayahan, Daya Tarik, Aksesibilitas, Fasilitas,
Pemberdayaan Masyarakat, Investasi), Pemasaran Pariwisata, Industri Pariwisata, dan
Kelembagaan Kepariwisataan (Organisasi, SDM).
Empat pilar tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Destinasi Pariwisata, yang berisi :
1) Perwilayahan Destinasi Pariwisata Daerah
2) Pembangunan Daya Tarik Wisata
3) Pembangunan Aksesibilitas dan/ atau Transportasi Pariwisata
4) Pembangunan Prasarana Umum, Fasilitas Umum dan Fasilitas Pariwisata
5) Pemberdayaan Masyarakat melalui Pariwisata
6) Pengembangan investasi di bidang Pariwisata
b. Pemasaran Pariwisata, yang berisi:
1) Pengembangan Pasar Wisata
2) Pengembangan Citra Pariwisata
3) Pengembangan Kemitraan Pemasaran Pariwisata
c. Industri Pariwisata, yang berisi:
1) Penguatan Struktur Industri Pariwisata
2) Peningkatan Daya Saing Produk Pariwisata
3) Pengembangan Kemitraan Usaha Pariwisata
4) Pengembangan Kredibilitas Bisnis
d. Kelembagaan Kepariwisataan
1) Pengembangan Organisasi Kepariwisataan
2) Pengembangan Sumber Daya Manusia Pariwisata
2.2 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi DIY
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyadari pentingnya menyiapkan
grand design pengembangan pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam wujud
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sekaligus melaksanakan amanat UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dengan
berbagai perubahan dalam pengaturan kepariwisataan mengharuskan tiap-tiap daerah
menyesuaikan diri. Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
“Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan Nasional,
rencana induk pembangunan kepariwisataan Provinsi, dan rencana induk pembangunan
kepariwisataan Kabupaten/kota.”
Juga dalam pasal 9 disebutkan bahwa “Rencana induk pembangunan kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri
pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.”
Sehingga muncullah Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta 2012 – 2025 yang akan menjadi menjadi pondasi dan dasar yang sangat penting
bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata budaya dan alam yang tersebar
di seluruh daerah. RIPPARDA DIY secara konkrit akan memberikan visi, arah, dan rencana
yang jelas bagi pengembangan kawasan- kawasan wisata baik yang sudah layak disebut
unggulan maupun yang potensial di seluruh daerah. RIPPARDA DIY ini sekaligus akan
memberikan panduan atau arahan bagi pemangku kepentingan terkait baik di pusat maupun
daerah, baik pemerintah/sektor publik, swasta, maupun masyarakat dalam pengembangan dan
pengelolaan destinasi pariwisata secarah terarah, tepat sasaran dan berkelanjutan.
Pelaksanaan RIPPARDA DIY diselenggarakan secara terpadu oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha, dan masyarakat. Dalam
pelaksanaan dibagi dalam tiga (3) tahap:
Tahap I
: Tahun 2012 – 2014
Tahap II
: Tahun 2015 – 2019
Tahap III
: Tahun 2020 – 2025
Dengan penerapannya pada arah kebijakan, strategi dan indikasi program yang tercantum
dalam lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan batang tubuh perda tersebut.
2.3 Dampak Ekonomi Multi Ganda Pariwisata (Tourism Multiplier Effect)
Menurut Glasson (1990) multiplier effects adalah suatu kegiatan yang dapat memacu
timbulnya kegiatan lain. Berdasarkan teori ini dapat dijelaskan bahwa industri pariwisata akan
menggerakkan industri-industri lain sebagai pendukungnya. Komponen utama industri
pariwisata adalah daya tarik wisata berupa destinasi dan atraksi wisata, perhotelan, restoran
dan transportasi lokal. Sementara komponen pendukungnya, mencakup industri-industri
dalam bidang transportasi, makanan dan minuman, perbankan, atau bahkan manufaktur.
Semuanya dapat dipacu dari industri pariwisata.
Menurut Harry G. Clement, (Yoeti, 2008: 249) setelah wisatawan datang pada suatu
negara atau destinasi, mereka pasti akan membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginannya selama mereka tinggal di negara atau destinasi tersebut. Uang yang
dibelanjakan wisatawan itu, setelah dibelanjakan tidak pernah berhenti beredar, akan tetapi
berpindah dari satu tangan ke tangan orang lain atau dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Setelah melalui beberapa kali transaksi dalam periode satu tahun, baru akan berhenti dari
peredarannya bila uang itu tidak lagi memberi pengaruh terhadap perekonomian negara atau
destinasi yang dikunjungi.
Konsep Dampak Ganda (Multiplier Effect) didasarkan pada berbagai sektor pembentuk
ekonomi yang saling terkait serta memiliki ketergantungan dalam ekonomi lokal. Analisis
dan nilai ganda (multiplier) merupakan indikator penting dalam dampak ekonomi sebelum
mendefinisikan perubahan daerah dalam tingkat permintaan eksternal. Oleh karenanya, setiap
perubahan pada tingkat pengeluaran wisatawan, dalam hal ini dari luar ekonomi lokal, akan
mempengaruhi tingkat pendapatan (income), ketenagakerjaan (employment), penerimaan
pemerintah (government revenue), dan pengeluaran (output). Rasio perubahan dalam
permintaan akhir (dalam hal ini pengeluaran wisatawan) tersebut yang disebut multiplier.
Kompleksitas dari analisis ganda tergantung dari seluk-beluk transaksi yang terdapat pada
sektor ekonomi di tiap daerah. Menurut Industry Classification Standards, pariwisata
mempunyai keterkaitan dalam setiap transaksi ekonomi, tidak seperti industri lain yang
terpisah-pisah. Untuk itu sektor transaksi data yang digunakan dalam penghitungan dampak
ganda pariwisata dibagi dalam 3 macam grup transaksi, yaitu: akomodasi/ hotel dan restoran,
tranportasi, dan barang dan jasa serta cinderamata.
Multiplier merupakan konsep analisis Keynes. Konsep ini menjajaki pengeluaran
wisatawan dan penyaringnya (filters) ke dalam ekonomi. Penerimaan mengalami penurunan
dalam deret geometrik (geometric progression) pada setiap lingkup dampak sebagai hasil
kebocoran (leakage). Kebocoran-kebocoran tersebut akan mengurangi penerimaan, baik
lingkup efek langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect), maupun efek ikutan
(induced effect).
A. Efek Langsung (Direct Effect)
Efek langsung merupakan efek yang mengacu pada sektor pariwisata yang langsung
terkait dengan pembelanjaan. Efek keluarannya akan sama dengan nilai perubahan pada
permintaan akhir. Dengan kata lain adanya pengeluaran wisatawan secara langsung akan
menimbulkan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan perhotelan, restoran, toko kerajinan,
dan lain-lain. Atau dapat dikatakan juga bahwa perkembangan kunjungan wisatawan secara
otomatis merupakan pertumbuhan industri pariwisata.
B. Efek Tidak Langsung (Indirect Effect)
Efek tak langsung mengacu pada kelanjutan dari kebutuhan sebuah industri yang
mengalami peningkatan permintaan produknya untuk melakukan pembelian dari industri lain
yang terkait, untuk memproduksi outputnya. Jadi dari sebagian uang yang dikeluarkan oleh
wisatawan tersebut akan mengalami peredaran lebih lanjut. Misalnya, hotel akan
menggunakan penerimaannya untuk membayar upah dan gaji kepada pekerja lokal atau untuk
membeli barang-barang keperluan hotel tersebut dari pedagang besar atau eceran. Adanya
tambahan permintaan ini merupakan derivative demand yang tidak berhenti pada padagang
saja tetapi akan terus berlanjut sampai industri hulunya.
C. Efek Ikutan (Induced Effect)
Dampak ini terjadi karena peningkatan pendapatan akibat perubahan pada permintaan
akhir, sebagian akan dibelanjakan untuk barang dan jasa yang tidak berkaitan dengan
permintaan akhir tersebut. Penjual souvenir akan membelanjakan sebagian pendapatannya
untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, membeli barang elektronik, dan sebagainya.
Makin banyak yang dibelanjakan oleh industri pariwisata dan industri terkait untuk berbagai
jenis barang dan jasa, makin besar dampak ikutan dari sektor pariwisata. Pemasok barang dan
jasa akan meningkat pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini akan mendorong lebih lanjut
perekonomian masyarakat sehingga kesempatan kerja dan pendapatan makin lama makin
meningkat.
Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa
konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi
lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan
menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
a. Pengganda output (output multiplier) yaitu rasio perubahan dampak langsung, tidak
langsung, dan ikutan dalam output terhadap perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan.
b. Pengganda penjualan/transaksi (sales or transaction multiplier) yaitu rasio perubahan
dampak langsung, tidak langsung, dan ikutan dalam output terhadap perubahan tingkat
pembelanjaan wisatawan tetapi tidak termasuk tambahan inventory atau persediaan yang
mungkin terjadi akibat perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan tersebut.
c. Pengganda pendapatan (income multiplier): memperlihatkan penambahan dampak
langsung, tidak langsung, dan ikutan terhadap pendapatan domestik yang dihasilkan
akibat penambahan pembelanjaan wisatawan.
d. Pengganda ketenagakerjaan (employment multiplier) : menunjukkan berapa peluang
ketenagakerjaan akibat peningkatan pembelanjaan wisatawan.
e. Pengganda penerimaan pemerintah (government revenue multiplier) : menunjukkan
bagaimana berapa besar pendapatan pemerintah mampu diciptakan oleh setiap 1 unit
tambahan pembelanjaan wisatawan. Secara umum mencakup berbagai bentuk penerimaan
pemerintah: pajak, ijin usaha, pungutan/iuran, subsidi, bantuan yang dibayarkan kepada
kepada pemerintah terkait dengan penyediaan barang dan jasa pariwisata baik langsung
maupun tidak langsung.
f. Pengganda impor (import multiplier) : ketika wisatawan membelanjakan uangnya di
suatu daerah sebagian diantaranya akan dibelanjakan untuk barang-barang produk
domestik, tetapi sebagian lainnya akan dibelanjakan untuk barang-barang/jasa yang
merupakan produksi dari luar/impor. Hal ini sama halnya dengan kenyataan bahwa para
pemasok akan membelanjakan faktor produksinya dari dalam daerahnya dan sebagian dari
luar daerahnya. Oleh karenanya penting diketahui berapa banyak total pembelanjaan
wisatawan digunakan untuk membeli barang/jasa produksi lokal dan berapa banyak yang
‘bocor’ (leaks out) akibat membelai barang/jasa impor. Dalam konteks ini, dampak
pengganda impor akan memperlihatkan nilai impor barang dan jasa yang berasosiasi
dengan setiap unit pembelanjaan wisatawan.
3. CARA PENELITIAN
3.1 Penentuan Sampel
Cara penentuan sampel nonramdom sampling purpovise sample, yaitu penentuan sampel
tanpa diacak, dengan cara langsung mengarah pada sampel kunci, yaitu dinas pariwisata
Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerhati pariwisata DIY. Karena mereka berperan
langsung dalam pengembangan kepariwisataan DIY. (Got, 2010)
3.2 Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data adalah:
a. Observasi, yaitu peneliti melakukan pengamatan secara langsung di pengembangan
kepariwisataan di DIY setelah tersusunnya Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang
RIPPARDA DIY.
b. Interview, yaitu peneliti melakukan wawancara terhadap pemerintah daerah dalam hal ini
adalah dinas pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerhati pariwisata DIY.
c. Studi Kepustakaan, yaitu membaca buku-buku yang berhubungan dengan pengembangan
kepariwisataan destinas pariwisata. Sekaligus mencari data sekunder di internet mengenai
kepariwisataan di destinasi pariwisata, khususnya dalam skala provinsi (Got, 2010).
3.3 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mengunakan data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui internet.
Metode analisis data yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini
mengambil data penelitian dari hasil survei dan wawancara langsung pada pemangku
kepentingan di DIY.
Penelitian deskriptif bermaksud memberikan gambaran suatu gejala sosial tertentu, sudah
ada informasi mengenai gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam suatu permasalahan
penelitian namun belum memadai. Penelitian deskriptif menjawab pertanyaan apa dengan
penjelasan yang lebih terperinci mengenai gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam
suatu permasalahan penelitian yang bersangkutan (Malo dan Trisnoningtias, 1986).
Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek dan merasakan apa yang
dialami dalam kehidupan sehari-hari dalam pengembangan kepariwisataan di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif sehingga
merupakan rinci dari suatu fenomena pengembangan kepariwisataan yang diteliti.
4. PEMBAHASAN
4.1 Potensi Kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu provinsi yang berada pada Pulau
Jawa sebelah Selatan, bentuk wilayahnya menyerupai bangun segitiga dengan puncak Gunung
Merapi di bagian utara dengan ketinggian 2.911 M di atas permukaan air laut, sedangkan pada
bagian kaki, dua buah dataran membentang ke arah selatan membentuk dataran pantai yang
memanjang di tepian Samudera Indonesia.Secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta
terletak di antara 7º 30‘ sampai dengan 8º15’ Lintang Selatandan 110º sampai d0º52’ Bujur
Timur dengan batas-batas wilayah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Magelang.Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Wonogiri. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Purworejo.Dengan luas wilayah 3.185,80 km² atau 0,17 dari luas wilayah Indonesia, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, dan secara administatif meliputi 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu :
Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota,
yaitu:
a. Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 Km² (1,02%)
b. Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 Km² (15,91%)
c. Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 Km² (18,40%)
d. Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 Km² (46,62%)
e. Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 Km² (18,04%)
Sebagai wilayah perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta menyandang peran dan posisi
strategis dari sisi geopolitik maupun ekonomi. Oleh karena potensi unggulan yang dimiliki
Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dibangkitkan dan dikembangkan untuk menjadi pilar
pembangunan perekonomian provinsi tersebut.
Gambar Peta Sebaran Daya Tarik Wisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Dalam konteks kepariwisataan, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi
kepariwisataan yang cukup besar dan beragam, baik berupa daya tarik wisata, budaya
(peninggalan sejarah maupun adat tradisi kehidupan masyarakat) maupun khusus.
Yogyakarta dikenal sebagai salah satu destinasi dengan kekayaan budaya dan warisan
budaya yang apresiasif. Kawasan Candi Prambanan, Kawasan Kraton Kasultanan
Ngayogyokarto Hadiningrat, Kawasan Kotagede dan bangunan-bangunan eks Belanda
merupakan salah satu bukti kebesaran masa lalu yang masih eksis di destinasi tersebut.
Keanekaragaman ritual, kreativitas seni dan keramahtamahan masyarakatnya, membuat DIY
mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan. Waktu tempuh
yang relatif pendek dan jangkauannya yang mudah dengan heritage (di luar batas administrasi
Propinsi DIY) lain seperti kawasan Candi Borobudur, Kasunanan Surakarta, Dieng Plateau,
klentheng-klentheng tua di Semarang dan beberapa obyek wisata lain menjadikan DIY
memiliki nilai tambah tersendiri.
Kekayaan alam dan keajaiban alam yang ada di DIY, merupakan potensi yang dapat
dikembangkan dan mempunyai daya jual yang bagus. Kawasan lereng Gunung Merapi;
Kawasan Waduk Sermo, Kawasan Pegunungan Seribu dengan potensi “Karst”nya; kawasan
pantai selatan dengan potensi baharinya; Kawasan gumuk pasir sebagai salah satu fenomena
alam yang spesifik. Beberapa potensi tersebut apabila ditangani dengan benar akan menjadi
produk wisata yang layak diperhitungkan.
Secara historis, masyarakat Yogyakarta merupakan masyarakat yang memiliki budaya
tinggi. Berbagai bentuk kesenian berkembang pesat. Kesenian tradisional, modern atau
modifikasinya dari keduanya dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Peninggalan
budaya masa lalu yang berujud fisik, non fisik (pertunjukan) maupun adat istiadat (ritual)
masih terpelihara dan mengakar dengan kuat pada sebagian komunitas. Bahkan berbagai
ritual tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat secara rutin dan merupakan potensi wisata
yang layak diagendakan. Desa wisata merupakan salah satu wujud upaya pemberdayaan
potensi (budaya dan alam) yang terkandung dalam lingkungan masyarakat.
DIY memiliki julukan Indonesia Mini, karena di DIY banyak ditemukan pendatang dari
berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari mereka
datang sebagai pelajar dan mahasiswa. Kedatangan mereka dibarengi dengan masuknya aneka
ragam budaya. Keberadaan mereka merupakan pasar yang cukup potensial sekaligus alat
promosi yang baik bagi eksistensi DIY di daerahnya, khususnya yang berkaitan dengan
bidang pariwisata. Berikut beberapa daya tarik wisata di DIY:
Tabel Daya Tarik Wisata di DIY
Objek dan Daya Tarik Wisata
Wisata Alam
Wisata Budaya
Wisata Khusus
▪ Pantai Parangtritis
▪ Kraton Yogyakarta
▪ Pantai Samas
▪ Puro Pakualaman
▪ Kebun Binatang
Gembiraloka
▪ Pantai Pandansimo
▪ Tamansari
▪ Monumen Jogja Kembali
▪ Pantai Baron dan Pulau
Drini
▪ Makam Imogiri
▪ Kawasan Malioboro
▪ Makam Girigondo
▪ Agrowisata Salak Pondoh
Turi
▪ Pantai Krakal
▪ Pantai Glagah dan
Congot
▪ Makam dan Masjid
Agung Kotagede
▪ Purawisata
▪ Masjid Agung Kauman
▪ Merapi Golf
▪ Pantai Wediombo
▪ Gua Jepang
▪ TR Tirta Artha
▪ Hutan Wisata
Kaliurang
▪ C. Prambanan
▪ Waduk Sermo
▪ C. Kalasan
▪ Museum Geoteknologi UPN
▪ C. Ratu Boko
▪ Sendangsono
▪ C. Sambisari
▪ Sentra Gerabah Kasongan
▪ C. Ijo
▪ Sentra Kulit Manding
▪ C. Banyunibo
▪ Sentra Kerajinan Perak Kota
▪ Hutan Wisata
Wanagama
▪ Kaliadem
▪ Gua Selarong
Objek dan Daya Tarik Wisata
Wisata Alam
▪ Gua Kiskendo
Wisata Budaya
▪ C. Morangan
Wisata Khusus
Gede
▪ Kawasan Kotagede
▪ Museum Sonobudoyo
▪ Museum Batik
▪ Museum Perjuangan
▪ Museum Kereta Kraton
▪ Museum Benteng
Vredenburg
▪ Museum Affandi
▪ Museum Wayang
Kekayon
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Potensi daya tarik wisata tersebut tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
meliputi wilayah kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten
Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul.
Gambar Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Sumber: BPS DIY, 2014
Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2013 cukup berfluktuasi dan
sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun faktor eksternal seperti
bencana alam dan lainnya. Tercatat sebanyak dua kali jumlah kunjungan wisata mengalami
penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai
dampak dari erupsi Merapi. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY
menunjukkan peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2013, jumlah wisatawan yang
berkunjung ke DIY mencapai 3,81 juta, terdiri dari 3,60 juta wisatawan domestik dan 207,28
ribu wisatawan asing. Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dibanding wisatawan
asing dengan porsi sekitar 94,56 persen. Perkembangan kunjungan wisata selama sembilan
tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap tahun jumlah kunjungan rata-rata meningkat
sebesar 7,83 persen. Jumlah kunjungan wisatawan asing mampu tumbuh di atas tas 20 persen
per tahun, sementara wisatawan domestik tumbuh 7,40 persen per tahun. (BPS DIY, 2014)
4.2 Nilai Strategis Penyusunan RIPPARDA DIY
Sejalan dengan perkembangan industri pariwisata yang semakin kompetitif dan tren pasar
dunia yang semakin dinamis, maka pembangunan kepariwisataan Kabupaten Bintan harus
didorong pengembangannya secara lebih kuat dan diarahkan secara tepat untuk meningkatkan
keunggulan banding dan keunggulan saing kepariwisataan DIY dalam peta kepariwisataan
regional, nasional maupun Internasional.
Sejalan dengan pemberlakukan UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dengan
berbagai perubahan dalam pengaturan kepariwisataan mengharuskan tiap-tiap daerah
menyesuaikan diri. Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa
“Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan Nasional,
rencana induk pembangunan kepariwisataan Provinsi, dan rencana induk pembangunan
kepariwisataan Kabupaten/kota.”
Dalam pasal 9 disebutkan bahwa
“Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran,
dan kelembagaan kepariwisataan.”
Dari pasal-pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) haruslah selaras dengan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) dan RIPPARDA mencakup perencanaan
pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan
kepariwisataan. Sehingga RIPPARNAS dapat menjadi pedoman bagi pembuatan RIPPARDA
provinsi-provinsi di Indonesia dan selanjutnya RIPPARDA provinsi menjadi acuan bagi
RIPPARDA kabupaten/kota.
Dalam dokumen RIPPARNAS, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masuk dalam
destinasi Borobudur – Yogyakarta dskt.
Gambar Posisi Destinasi Borobudur – Yogyakarta dalam RIPPARNAS
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Destinasi Borobudur-Yogyakarta menjadi salah satu dari 50 Destinasi Kepariwisataan
Nasional, yang didalamnya memiliki 7 (tujuh) Kawasan Pengembangan Pariwisata, dengan 5
kawasan di wilayah DIY, yaitu:
a. Kws Karts Gunung Kidul dskt
b. Kws Prambanan–Kalasan dskt
c. Kws Yogyakarta Kota dskt
d. Kws Pantai Selatan Yogya dskt
e. Kws Merapi–Merbabu dskt
Dan 2 (dua) kawasan di wilayah Jawa Tengah
a. Kws Borobudur–Mendut–Pawon dskt
b. Kws Dieng dskt
Gambar Destinasi Borobudur – Yogyakarta
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Keseluruhan substansi yang dicakup dalam penyusunan RIPPARDA Provinsi tersebut
selanjutnya akan menjadi kunci atau roadmap yang sangat penting dalam membangun dan
membangkitkan keunggulan banding dan keunggulan saing pariwisata Daerah dalam peta
pariwisata nasional dan internasional di abad 21 ini, dan khususnya dalam meningkatkan
kontribusi sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam pendapatan asli daerah dan
menggantikan kontribusi sektor lain di masa mendatang. RIPPARDA Provinsi diperlukan
sebagai acuan operasional pembangunan pariwisata bagi pelaku pariwisata dan pelaku
ekonomi, sosial dan budaya di daerah, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dengan pembangunan kepariwisataan daerah. RIPPARDA Provinsi sangat penting, karena:
a. Memberikan arah pengembangan yang tepat terhadap potensi kepariwisataan (dari sisi
produk, pasar, spasial, sumber daya manusia, manajemen, dsbnya),sehingga dapat tumbuh
dan berkembang secara positif dan berkelanjutan bagi pengembangan wilayah dan
kesejahteraan masyarakat; dan
b. Mengatur peran setiap pemangku kepentingan terkait (lintas sektor, lintas pelaku, lintas
daerah/ wilayah) agar dapat mendorong pengembangan pariwisata secara sinergis dan
terpadu.
Dalam RIPPARDA DIY terdapat pengembangan perwilayahan kepariwisataan DIY yang
mencakup beberapa pembagian wilayah dengan konsep pengembangan yang spesifik.
kawasan pengembangan kepariwisataan seperti yang ada pada bagian perwilayahan
RIPPARDA DIY. Perwilayahan pembangunan destinasi pariwisata daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta mencakup:
A. Kawasan Lereng Merapi Bagian Selatan dskt
B. Kawasan Prambanan – Ratu Boko dskt
C. Kawasan Godean – Moyudan dskt
D. Kawasan Kraton – Malioboro dskt
E. Kawasan Kasongan – Tembi – Wukirsari dskt
F. Kawasan Parangtritis – Depok – Kuwaru dskt
G. Kawasan Baron – Sundak dskt
H. Kawasan Siung – Wediombo – Bengawan Solo Purba dskt
I. Kawasan Patuk dskt
J. Kawasan Karst Gunung Sewu dskt
K. Kawasan Congot – Glagah – Trisik dskt
L. Kawasan Pegunungan Menoreh dskt
Gambar Peta Perwilayahan RIPPARDA DIY 2012 – 2025
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Kawasan tersebut dikembangkan dengan konsep dan tema yang berbeda, baik dari segi
destinasi, pemasaran, industri dan kelembagaannya.
Dengan tema yang spesifik tersebut diharapkan pengembangan kepariwisataan di tiap
kawasan pengembangan tersebut dapat lebih sesuai dan langsung kepada permasalahannya,
sehingga dapat terencana dan terealisasikan secara optimal.
4.3 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY
Selama kurun waktu 2009-2013, rata-rata pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,04%
per tahun. Kondisi tahun 2013, laju pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,40% yang berarti
bahwa kinerja perekonomian DIY mengalami pertumbuhan dari tahun sebelumnya yang
sebesar 5,32%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2013 bahkan merupakan angka tertinggi selama
sepuluh tahun terakhir. Sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan terbesar yaitu
sebesar 7,81%. Industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil; serta industri
furnitur memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan di sektor industri pengolahan
yang produksinya sangat dipengaruhi oleh permintaan domestik melalui kegiatan pariwisata
maupun permintaan ekspor.
Pertumbuhan tertinggi berikutnya dihasilkan oleh sektor listrik, gas dan air bersih (6,54%)
serta sektor pengangkutan dan komunikasi (6,30%). Kemudian disusul sektor perdagangan,
hotel, dan restoran serta sektor jasa yang masing-masing tumbuh sebesar 6,20% dan 5,57%.
Sektor pertanian menjadi sektor yang memiliki laju pertumbuhan terendah, meskipun masih
tumbuh positif sebesar 0,63%.
Gambar Pertumbuhan Ekonomi DIY 2009-2013
Sumber: BPS DIY, 2014
Pertumbuhan ekonomi DIY jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa relatif
masih rendah. Bahkan lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa. Hal
tersebut salah satunya disebabkan karena wilayah DIY relatif kecil sehingga sumber daya
alam yang dimiliki terbatas dan skala pengembangan industri pengolahan tidak sebesar
provinsi lain di Jawa. Perekonomian DIY lebih mengandalkan sektor tersier terkait dengan
perkembangannya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan peranan sektor
pertanian yang merupakan sektor primer cenderung menurun. Penurunan kontribusi sektor
pertanian sebagai akibat konversi lahan pertanian dan kenaikan harga biaya produksi
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian DIY mengalami pergeseran dari
perekonomian agraris menuju niaga jasa. Industrialisasi yang biasanya terjadi pada beberapa
wilayah yang semula berbasis pertanian tidak sepenuhnya terjadi di DIY.
Selama kurun waktu 2009-2013, nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
mengalami peningkatan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Pada tahun 2009
nilai PDRB ADHB tercatat sebesar 41,41 trilyun rupiah dan pada tahun 2013 mencapai 63,69
trilyun rupiah yang berarti PDRB DIY secara nominal mengalami kenaikan sebesar 22,28
trilyun rupiah atau 53,82% selama kurun lima tahun tersebut.
Tabel Nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) 2009 - 2013
Sumber : BPS DIY, 2014
Tabel di atas menunjukkan kontribusi masing-masing sektor terhadap pembentukan
PDRB yang dapat menggambarkan seberapa besar peranan suatu sektor dalam menunjang
perekonomian. Selama periode 2009-2013 struktur perekonomian DIY didominasi oleh empat
sektor, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor jasa-jasa; sektor pertanian; serta
sektor industri pengolahan. Kontribusi sektor pariwisata yang diwakili oleh perdagangan,
hotel, dan restoran cenderung meningkat pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012, yakni
sekitar 13,152 trilyun rupiah.
Sektor jasa memberikan kontribusi terbesar pada PDRB DIY dengan rata-rata kontribusi
selama lima tahun terakhir sebesar 20,02%. Setelah itu diikuti sektor perdagangan, hotel dan
restoran (19,84%); sektor pertanian (14,71%), serta sektor industri pengolahan dengan
kontribusi 13,77%.
Dengan angka sektor pariwisata yang diwakili oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran
yang cukup tinggi membuktikan bahwa kegiatan kepariwisataan di DIY merupakan salah satu
bidang yang cukup memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian DIY pada
umumnya.
4.4 Dampak Multi Ganda Pengembangan Kepariwisataan di DIY
Berkembangnya kegiatan pariwisata akan menggerakkan berlapis-lapis mata rantai usaha
yang terkait di dalamnya, sehingga akan menciptakan efek ekonomi multi ganda (multiplier
effect) yang akan memberikan nilai manfaat ekonomi yang sangat berarti bagi semua pihak
yang terkait dalam mata rantai usaha kepariwisataan tersebut. Dampak ekonomi multi ganda
pariwisata akan menjangkau baik dampak langsung, dampak tak langsung maupun dampak
ikutan yang pada umumnya terkait dengan usaha skala kecil dan menengah maupun usahausaha di sektor hulu (pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya).
Gambar Kontribusi Para Wisatawan Terhadap Ekonomi Lokal dan Multiplier Effect nya bagi Sosial
Ekonomi Masyarakat Setempat
Gambar Dampak Ekonomi Multi Ganda Pengembangan Pariwisata
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Gambar Dampak Ekonomi dari Pariwisata
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Efek multiganda (multiplier effect) bisa terjadi pada aspek:
(1) Pendapatan
(2) Ketenagakerjaan
Proses multiganda pada aspek pendapatan:
(1)
dampak langsung (direct) adalah belanja wisatawan;
(2)
dampak tidak langsung (indirect) adalah pengeluaran industri pariwisata (misal:
akomodasi);
(3)
dampak ikutan (induced) adalah pengeluaran rutin pemasok industri non-pariwisata.
Pariwisata yang memiliki keterkaitan lintas sektor dan usaha mampu membangkitkan
DAMPAK EKONOMI MULTI GANDA (multiplier effect) yang sangat signifikan bagi
tumbuhnya mata rantai usaha lintas skala, terutama UKM sehingga membantu penciptaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam hal ini, artinya pariwisata memberikan banyak peluang usaha pula kepada
masyarakat, termasuk kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Selain menjadi
tenaga kerja, masyarakat di sekitar kawasan wisata dapat pula menjadi pelaku pengembangan
usaha diantaranya dalam bentuk pembuatan dan/atau penjualan cinderamata, usaha kuliner
lokal, supplier bahan baku makanan, dan sebagainya.
Pengembangan kepariwisataan di DIY tidaklah lepas dari dampak multi ganda yang
ditimbulkan. RIPPARDA DIY sebagai dokumen pengembangan kepariwisataan menjadi
salah satu alat untuk meningkatkan optimalisasi dampak multi ganda pengembangan
kepariwisataan.
Beberapa dampak yang dapat dijabarkan dengan adanya RIPPARDA DIY, antara lain:
A. Efek Langsung
Penyusunan RIPPARDA DIY diharapkan menjadi pedoman dalam meningkatkan
pengembangan kepariwisataan di DIY, DIY sebagai salah satu destinasi wisata nasional
maupun internasional membutuhkan pedoman pengembangan kepariwisataan yang tidak
hanya menghadirkan daya tarik yang berkelas dunia serta kenyamanan dan keamanan dalam
berwisata, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat DIY pada umumnya.
Dampak multi ganda – efek langsung yang dapat dilihat langsung adalah yang langsung
terkait dengan pembelanjaan wisatawan. Contohnya : hotel, restoran, guide, tour operator,
galeri, cinderamata dll.
Perkembangan hotel bintang di DIY sebagai contohnya, mengalami peningkatan sebagai
akibat dari perkembangan kepariwisataan di DIY, dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di DIY 2004 – 2013
Sumber : BPS DIY, 2015
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di DIY 2013 – 2014
Sumber : BPS DIY, 2015
Berdasar data statistik, pada tahun 2010 terdapat 36 hotel berbintang dengan kapasitas
3.631 kamar dan hotel non bintang sebanyak 1098 hotel dengan kapasitas 12.519 kamar. Pada
tahun 2011 bertambah menjadi 41 hotel mulai dari bintang, dengan jumlah 3.953 kamar hotel,
sedangkan hotel kelas melati ada tiga hotel dengan 12.407 kamar. Dapat dilihat dari tabel di
atas bahwa terdapat pertumbuhan jumlah hotel bintang di DIY dari tahun 2013 berjumlah 39
bertambah menjadi 43 pada tahun 2014. Pertumbuhan hotel berbintang yang demikian pesat
yang tentu mau tak mau akan mempertajam tingkat persaingan usaha. Apalagi, jika laju
pertumbuhan tersebut disertai dengan pertumbuhan pasar/ wisatawan. Pertumbuhan hotel
yang sangat tajam di DIY ini dari satu sisi menimbulkan masalah namun dari sisi positifnya
akan membuka lapangan pekerjaan bagi para lulusan pariwisata.
B. Efek Tidak Langsung
Efek tak langsung mengacu pada kelanjutan dari kebutuhan sebuah industri yang
mengalami peningkatan permintaan produknya untuk melakukan pembelian dari industri lain
yang terkait, untuk memproduksi outputnya. Jadi dari sebagian uang yang dikeluarkan oleh
wisatawan tersebut akan mengalami peredaran lebih lanjut. Misalnya, hotel akan
menggunakan penerimaannya untuk membayar upah dan gaji kepada pekerja lokal atau untuk
membeli barang-barang keperluan hotel tersebut dari pedagang besar atau eceran.
Tabel Dampak Multi Ganda – Efek Tidak Langsung
No
1.
Efek Langsung
Hotel
Efek Tidak Langsung
− Karyawan Hotel
− Supplier Sayuran, Buah, Bunga, Daging, Ikan dll
− Tour Operator
No
Efek Langsung
Efek Tidak Langsung
− Event Organizer
− Pemerintah Daerah (Pajak)
− Daya Tarik Wisata (kunjungan wisatawan)
2.
Restoran
− Karyawan Restoran
− Supplier
− Tour Operator
− Event Organizer
− Pemerintah Daerah (Pajak)
3.
Tour Operator
− Karyawan TO
− Pemerintah Daerah (Pajak)
− Daya Tarik Wisata (kunjungan wisatawan)
− Perusahaan Transportasi
Sumber: Analisis Penulis, 2015
C. Efek Ikutan
Dampak ini terjadi karena peningkatan pendapatan akibat perubahan pada permintaan
akhir, sebagian akan dibelanjakan untuk barang dan jasa yang tidak berkaitan dengan
permintaan akhir tersebut. Contohnya penjual souvenir akan membelanjakan sebagian
pendapatannya untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, membeli barang elektronik,
dan sebagainya. Sehingga efek ikutan ini bisa mencakup ke bidang usaha yang lebih luas lagi,
diharapkan dampak positif pariwisata ini merata pada masyarakat DIY pada umumnya.
4.5 Penyelenggaraan Even Pariwisata dan Budaya sebagai Upaya Perluasan Dampak
Multiganda Kepariwisataan
Sebagai kota pariwisata dan budaya, Yogyakarta memiliki beberapa even-even rutin yang
diselenggarakan oleh DIY sebagai ajang untuk promosi dan memasarkan DIY kepada
wisatawan yang berkunjung. Dari beberapa event tersebut dapat dibagi menjadi tiga jenis
event, antara lain:
A. Event Tradisional
Labuhan merupakan upacara tradisional masyarakat Yogyakarta dimana upacara
tradisional yang telah di adakan setiap tahun ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan dan telah menjadi icon bagi pariwisata Yogyakarta. Labuhan atau larung yaitu
membuang sesuatu kedalam air sungai atau laut. Upacara Labuhan sendiri bermaksud
memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Upacara Labuhan adalah
upacara yang digelar secara rutin pada tanggal 29 Rejeb dalam penangalan Jawa. Upacara ini
merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam
rangka peringatan jumenengan Ndalem Sri Sultan Hamengkubuwono yang diselenggarakan
setiap tanggal 30 bulan Rejeb penanggalan Jawa. Upacara Labuan ini telah di laksanakan
semenjak berdirinya kesultanan Yogyakarta. Upacara Labuan sendiri biasanya dilakukan di
Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sesaji yang dilarung dalam
upacara ini dimaksdkan sebagai keselamatan Sri Sultan, seluruh isi keraton, dan seluruh
rakyat Yogyakarta. Di ketiga tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain
batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung.
Selain upacara Labuhan, event tradisional DIY sendiri adalah Upacara Sekaten. Sekaten
merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul
upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari
kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo
dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan
Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan
Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11
bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan secara bergantian menandai
perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan
upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil
beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan
mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup
dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih dan Endhog Abang merupakan makanan
khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil.
Selain itu terdapat pula, upacara Bekakak yang merupakan upacara tradisional masyarakat
gamping, dimana Setiap bulan Sapar yaitu bulan ke dua dalam penanggalan Jawa, masyarakat
Ambar Ketawang, Gamping Sleman,Jogjakarta mempunyai tradisi perayaan Grebeg Bekakak.
Tradisi itu muncul sejak zaman Sultan HB I itu diyakini warga setempat sebagai tradisi tolak
bencana atau tolak bala.Perayaan Grebeg Bekakak berupa parade boneka pengantin bekakak
yang diarak dari wilayah Ambar Ketawang menuju sebuah Gunung Kapur yang jaraknya
sekitar 600 meter dari lokasi upacara. Boneka-boneka yang terbuat dari beras ketan dan cairan
gula kelapa tersebut kemudian dikorbankan sebagai sesaji.Perayaan Grebeg Bekakak diawali
dengan pementasan fragmen tari legenda Ki Wirosuta dan Nyi Wirosuta saat berperang
melawan siluman jahat dan dilanjutkan dengan kirab pengantin Bekakak dan Gunungan
menuju Gunung Gamping. Pengantin dikawal pasukan berkuda, serta prajurit bertombak dari
Kraton Yogyakarta.
Gambar Even Tradisional Sekaten dan Labuhan
Sumber : www.google.com
B. Event Buatan berbasis Budaya
Festival Kesenian Yogyakarta atau FKY adalah event seni-budaya tahunan yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Even tersebut merupakan agenda kesenian
yang dilaksanakan setiap tahun DIY. Agenda kesenian ini dimeriahkan oleh para seniman
maupun kelompok-kelompok kesenian yang ada di 5 kabupaten/kota DIY (Bantul, Sleman,
Kulonprogo, Gunungkidul dan Yogyakarta).
FKY memberikan nuansa tradisional yang kuat lewat kesenian daerah yang
dipertunjukkan di acara ini.Sebut saja Pagelaran Wayang Kulit, Ketoprak, Jathilan, Pentas
Seni Sulap Tradisi, Pentas Musik Kontemporer, Pertunjukkan Tari kontemporer, Pagelaran
Musik Rukun Rencang dan berbagai kompetisi gelar seni untuk anak hingga festival band
untuk umum membuat suasana liburan jadi kian lengkap. Tak hanya itu, berbagai kuliner
tradisional pun disuguhkan bagi para pengunjung.
Setiap tanggal 7 Oktober masyarakat Kota Yogyakarta selalu merayakan hari jadi
kotanya, bertepatan dengan perpindahan kraton yongyakarta dari pesanggrahan
Ambarketawang ke kawasan yang dikenal sebagai kraton Yogyakarta saat ini. Pada tahun
2011 ini Kota Yogyakarta akan merayakan hari jadi kotanya yang ke-255 tahun. Dengan
diawali serangkaian kegiatan seperti Pawai Mozaik Jogja dan Festival 45 Kelurahan, puncak
peringatan hari jadi Kota Yogyakarta akan diperingati dengan Jogja Java Carnival pada
tanggal 15 Oktober 2011. Jogja Java Carnival yang mengusung brand image : night carnival
(carnival di malam hari), street performance (performance yang akan selalu dilakukan selama
carnival berjalan dengan menggunakan jalan sebagai area panggungnya), mobile floating
(area panggung yang berjalan yang diwujudkan dalam vehicle atau kendaraan sebagai bagian
dari area panggungnya), dan international participant (keterlibatan partisipan dari luar negeri)
ini diharapkan dapat menjadi ikon event pariwisata Kota Yogyakarta.
Brand image ini menjadikan Jogja Java Carnival berbeda dengan carnival yang ada
selama ini baik dari sisi tampilannya, kontennya, maupuan pengemasannya. Dengan
mengusung tagline Celebration of Cultural Unity yang bermakna perayaan atas kesatuan atau
keharmonisan budaya, di tahun 2011 yang merupakan tahun keempat penyelenggaraannya,
Jogja Java Carnival mengusung tema Magnificence of The World dimana Jogja Java Carnival
akan mengusung pusat-pusat peradaban dunia yang masuk dalam jajaran Keajaiban Dunia
dalam sebuah karya garapan seni dan budaya. Hal ini menunjukkan pluralisme Kota
Yogyakarta yang tergambar dalam kemampuannya menyerap sebuah inovasi tanpa
menanggalkan ciri-ciri tradisinya. Tradisi Mengawal Inovasi menj
KEPARIWISATAAN DAERAH (RIPPARDA) TERHADAP
KEPARIWISATAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Aditha Agung Prakoso
Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) Yogyakarta
Jl. Laksda Adisucipto Km. 5 Yogyakarta 55281 Indonesia
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Nowadays, Daerah Istimewa Yogyakarta is announced as one of tourism destination in
Indonesia. It is confirmed that Daerah Istimewa Yogyakarta in Regulation of Government No
50 of Government No 50 Year 2011 is belong to 50 national tourism destinations as known as
National Tourism Destination Borobudur – Yogyakarta and its surrounding area. To
accomplish The Act No 10 Year 2009 on Tourism and Regulation of Government No 50 Year
2011 on Grand Strategy of National Tourism Development, so Daerah Istimewa Yogyakarta
composed Grand Strategy of Regional Tourism Development that called Regulation of
Regional Government No 1 Year 2012 on Grand Strategy of Regional Tourism Development
Provence Daerah Istimewa Yogyakarta. It is expected to give positive multiplier effect for
Daerah Istimewa Yogyakarta community.
Keywords : tourism destination, multiplier effect, grand strategy of national tourism
development, tourism planning,
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata bagi banyak daerah di Indonesia sangat diandalkan sebagai sektor unggulan
dengan kemampuannya menjadi penopang ekonomi daerah. Sebagai salah satu sektor
pembangunan, pariwisata menjadi sumberdaya yang dapat mendukung peningkatan potensi
lokal yang ada, sehingga mampu mempersempit kesenjangan yang mungkin terjadi dengan
daerah lain yang memiliki sumberdaya sejenis.
Di dalam pengembangan suatu daerah dengan suatu basis sektoral tertentu disebutkan oleh
Tarigan (2004:11-12) bahwa dengan adanya perubahan pada satu sektor (industri) secara
otomatis akan mendorong perubahan pada sektor (industri) lainnya. Perubahan itu sendiri
memiliki sifat pengganda (multiplier) karena akan terjadi beberapa kali putaran perubahan,
dimana putaran yang terakhir sudah begitu kecil pengaruhnya. Dalam hal ini, apa yang
dikemukakan Tarigan sebenarnya dapat memperkuat asumsi bahwa pariwisata sebagai salah
satu sektor usaha (industri) memiliki pengaruh yang besar terhadap sektor-sektor lainnya yang
ada di suatu daerah yang pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan wilayah tersebut
secara keseluruhan.
Tarigan juga berpendapat bahwa pembangunan dengan menggunakan suatu pendekatan
pengembangan yang berbasis sektoral juga mampu mengubah ruang dan perkiraan atas
penggunaan ruang di masa datang dan pada tahap selanjutnya dapat diprediksikan bahwa akan
terjadi perpindahan orang dan barang dari satu daerah ke daerah lainnya secara bebas
berdasarkan daya tarik (attractiveness) yang lebih kuat yang dimiliki suatu daerah
dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam kerangka pemikiran ini, apabila sektor
pariwisata memiliki daya tarik yang kuat di suatu daerah maka sangat terbuka kemungkinan
bahwa akan banyak wisatawan yang datang ke daerah tersebut. Bahkan apabila dipandang
secara lebih optimistik kedepan, daya tarik tersebut juga akan membuka peluang bagi
berkembangnya investasi dan kegiatan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Ada beberapa komponen pengembangan kepariwisataan di daerah yang perlu
diakomodasikan. Inskeep (1991) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan kepariwisataan
di suatu daerah, perlu dikenali terlebih dahulu sifat dari pengembangan yang akan dilakukan
tersebut. Beberapa hal yang perlu dikenali dari pengembangan pariwisata di suatu daerah
antara lain:
a. Kebijakan pembangunan daerah
b. Akses wilayah dan jaringan transportasi internal yang menghubungkan antara obyek,
fasilitas, dan jasa pelayanan lainnya
c. Tipe dan lokasi atraksi pariwisata
d. Lokasi pengembangan kegiatan kepariwisataan termasuk area perhotelan/resort
e. Jumlah, tipe, dan lokasi akomodasi wisatawan dan fasilitas jasa dan pelayanan lainnya
f. Kondisi lingkungan perwilayahan, sosial budaya, ekonomi dan analisis dampak
g. Tingkat edukasi masyarakat dan program-program
dikembangkan di sekitar obyek wisata
pendukung
yang
telah
h. Strategi pemasaran yang telah dilakukan dan program-program promosi lainnya
i. Struktur dan hierarki organisasi, legislasi, regulasi, dan kebijakan investasi
j. Teknik implementasi yang mencakup petahapan pengembangan, program/proyek
pengembangan, serta regulasi zonasi kewilayahan.
Selain itu, ada pula komponen pengembangan kepariwisataan lainnya yang harus
dilibatkan dalam pengembangan kepariwisataan di suatu daerah yaitu (Inskeep, 1991):
a. Atraksi dan aktifitas wisatawan yang mencakup dekripsi kewilayahan, lingkungan
alam, fitur, dan aktifitas terkait lainnya dan ada di area obyek.
b. Akomodasi yang menjadi fasilitas bermalam wisatawan
c. Fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan pengembangan kepariwisatan termasuk
pusat informasi wisatawan, restoran, pusat cinderamata atau belanja, bank, penukaran
uang, retail outlet penyedia barang kebutuhan, tempat-tempat pelayanan pribadi
seperti spa, perawatan kesehatan, jasa keamanan dan perlindungan, serta fasilitas
tiketing.
d. Fasilitas dan jasa transportasi yang ada sebagai pendukung pergerakan wisatawan
termasuk menuju obyek-obyek wisata
e. Infrastruktur pendukung lainnya termasuk listrik, jaringan drainase, pembuangan, dan
telekomunikasi
f. Institusi terkait: pihak-pihak yang berkompeten dengan kegiatan pengembangan
pariwisata secara luas.
Kedudukan sektor pariwisata sebagai salah satu pilar pembangunan nasional semakin
menunjukkan posisi dan peran yang sangat penting sejalan dengan perkembangan dan
kontribusi yang diberikan baik dalam penerimaan devisa, pendapatan daerah, pengembangan
wilayah, maupun dalam penyerapan investasi dan tenaga kerja di berbagai wilayah di
Indonesia. Dinamika dan tantangan dalam konteks regional dan global, telah menuntut suatu
perencanaan dan pengembangan sektor pariwisata yang memiliki jangkauan strategis,
sistematis, terpadu, dan sekaligus komprehensif mencakup keseluruhan komponen
pembangunan kepariwisataan yang terkait, baik dari aspek industri pariwisata, destinasi
pariwisata, pemasaran, maupun kelembagaan.
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah akan menjadi fondasi dan dasar
yang sangat penting bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata budaya dan
alam yang tersebar di seluruh DIY. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah
secara konkrit akan memberikan visi, arah, dan rencana yang jelas bagi pengembangan
kawasan-kawasan wisata baik yang sudah layak disebut unggulan maupun yang potensial di
seluruh DIY. Rencana Induk sekaligus akan memberikan panduan atau arahan bagi
stakeholders yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah, baik pemerintah/sektor publik,
swasta, maupun masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata
secara terarah, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
Dengan tersusunnya rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah DIY tersebut
maka kebijakan, strategi dan program yang ada didalamnya diharapkan memberikan solusi
pengelolaan sumberdaya pariwisata yang ada di DIY sekaligus akan memberikan efek
multiganda kepada kesejahteraan masyarakat DIY pada umumnya.
1.2 Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apa dampak multiganda penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Daerah (RIPPARDA) terhadap kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. TINJAUAN PUSTAKA
Buku referensi yang mendukung dalam menyelesaikan penelitian ini cukup banyak,
namun beberapa hal yang dapat menjadi referensi teori adalah sebagai berikut:
2.1 Aspek Pembangunan Kepariwisataan
Dalam pasal 7 UU no 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa:
Pembangunan kepariwisataan meliputi:
a. Industri Pariwisata
b. Destinasi Pariwisata
c. Pemasaran, dan
d. Kelembagaan Kepariwisataan
Di jabarkan lebih detil lagi dalam PP no 50 tahun 2011 tentang rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, seperti gambar di bawah ini:
1. INDUSTRI
PARIWISATA
2. DESTINASI
PARIWISATA
“ Pembangunan
struktur (fungsi,
hirarkhi, hubungan)
industri pariwisata,
daya saing produk
pariwisata, kemitraan
usaha pariwisata,
kredibilitas bisnis. Dan
tanggung jawab thd
lingkungan alam dan
sosial budaya”
“Pembangunan daya
tarik wisata,
pembangunan
prasarana,
pembangunan fasilitas
umum, pembangunan
fasilitas pariwisata serta
Pemberdayaan
masyarakat, secara
terpadu dan
berkesinambungan
3. PEMASARAN
4. KELEMBAGAAN
KEPARIWISATAAN
“Pemasaran pariwisata
bersama terpadu dan
berkesinambungan
dengan melibatkan
seluruh pemangku
kepentingan serta
pemasaran yang
bertanggung jawab dalam
membangun citra
Indonesia sebagai
destinasi pariwisata yang
berdaya siang
“Pengembangan
organisasi
pemerintah,
pemerintah daerah,
swasta dan
masyarakat,
pengembangan
sumber daya
manusia, regulasi
dan mekanisme
operasional di bidang
kepariwisataan
Gambar Komponen Pembangunan Kepariwisataan
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Pengembangan Destinasi Pariwisata (Perwilayahan, Daya Tarik, Aksesibilitas, Fasilitas,
Pemberdayaan Masyarakat, Investasi), Pemasaran Pariwisata, Industri Pariwisata, dan
Kelembagaan Kepariwisataan (Organisasi, SDM).
Empat pilar tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Destinasi Pariwisata, yang berisi :
1) Perwilayahan Destinasi Pariwisata Daerah
2) Pembangunan Daya Tarik Wisata
3) Pembangunan Aksesibilitas dan/ atau Transportasi Pariwisata
4) Pembangunan Prasarana Umum, Fasilitas Umum dan Fasilitas Pariwisata
5) Pemberdayaan Masyarakat melalui Pariwisata
6) Pengembangan investasi di bidang Pariwisata
b. Pemasaran Pariwisata, yang berisi:
1) Pengembangan Pasar Wisata
2) Pengembangan Citra Pariwisata
3) Pengembangan Kemitraan Pemasaran Pariwisata
c. Industri Pariwisata, yang berisi:
1) Penguatan Struktur Industri Pariwisata
2) Peningkatan Daya Saing Produk Pariwisata
3) Pengembangan Kemitraan Usaha Pariwisata
4) Pengembangan Kredibilitas Bisnis
d. Kelembagaan Kepariwisataan
1) Pengembangan Organisasi Kepariwisataan
2) Pengembangan Sumber Daya Manusia Pariwisata
2.2 Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi DIY
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyadari pentingnya menyiapkan
grand design pengembangan pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam wujud
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sekaligus melaksanakan amanat UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dengan
berbagai perubahan dalam pengaturan kepariwisataan mengharuskan tiap-tiap daerah
menyesuaikan diri. Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
“Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan Nasional,
rencana induk pembangunan kepariwisataan Provinsi, dan rencana induk pembangunan
kepariwisataan Kabupaten/kota.”
Juga dalam pasal 9 disebutkan bahwa “Rencana induk pembangunan kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri
pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.”
Sehingga muncullah Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta 2012 – 2025 yang akan menjadi menjadi pondasi dan dasar yang sangat penting
bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata budaya dan alam yang tersebar
di seluruh daerah. RIPPARDA DIY secara konkrit akan memberikan visi, arah, dan rencana
yang jelas bagi pengembangan kawasan- kawasan wisata baik yang sudah layak disebut
unggulan maupun yang potensial di seluruh daerah. RIPPARDA DIY ini sekaligus akan
memberikan panduan atau arahan bagi pemangku kepentingan terkait baik di pusat maupun
daerah, baik pemerintah/sektor publik, swasta, maupun masyarakat dalam pengembangan dan
pengelolaan destinasi pariwisata secarah terarah, tepat sasaran dan berkelanjutan.
Pelaksanaan RIPPARDA DIY diselenggarakan secara terpadu oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha, dan masyarakat. Dalam
pelaksanaan dibagi dalam tiga (3) tahap:
Tahap I
: Tahun 2012 – 2014
Tahap II
: Tahun 2015 – 2019
Tahap III
: Tahun 2020 – 2025
Dengan penerapannya pada arah kebijakan, strategi dan indikasi program yang tercantum
dalam lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan batang tubuh perda tersebut.
2.3 Dampak Ekonomi Multi Ganda Pariwisata (Tourism Multiplier Effect)
Menurut Glasson (1990) multiplier effects adalah suatu kegiatan yang dapat memacu
timbulnya kegiatan lain. Berdasarkan teori ini dapat dijelaskan bahwa industri pariwisata akan
menggerakkan industri-industri lain sebagai pendukungnya. Komponen utama industri
pariwisata adalah daya tarik wisata berupa destinasi dan atraksi wisata, perhotelan, restoran
dan transportasi lokal. Sementara komponen pendukungnya, mencakup industri-industri
dalam bidang transportasi, makanan dan minuman, perbankan, atau bahkan manufaktur.
Semuanya dapat dipacu dari industri pariwisata.
Menurut Harry G. Clement, (Yoeti, 2008: 249) setelah wisatawan datang pada suatu
negara atau destinasi, mereka pasti akan membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginannya selama mereka tinggal di negara atau destinasi tersebut. Uang yang
dibelanjakan wisatawan itu, setelah dibelanjakan tidak pernah berhenti beredar, akan tetapi
berpindah dari satu tangan ke tangan orang lain atau dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Setelah melalui beberapa kali transaksi dalam periode satu tahun, baru akan berhenti dari
peredarannya bila uang itu tidak lagi memberi pengaruh terhadap perekonomian negara atau
destinasi yang dikunjungi.
Konsep Dampak Ganda (Multiplier Effect) didasarkan pada berbagai sektor pembentuk
ekonomi yang saling terkait serta memiliki ketergantungan dalam ekonomi lokal. Analisis
dan nilai ganda (multiplier) merupakan indikator penting dalam dampak ekonomi sebelum
mendefinisikan perubahan daerah dalam tingkat permintaan eksternal. Oleh karenanya, setiap
perubahan pada tingkat pengeluaran wisatawan, dalam hal ini dari luar ekonomi lokal, akan
mempengaruhi tingkat pendapatan (income), ketenagakerjaan (employment), penerimaan
pemerintah (government revenue), dan pengeluaran (output). Rasio perubahan dalam
permintaan akhir (dalam hal ini pengeluaran wisatawan) tersebut yang disebut multiplier.
Kompleksitas dari analisis ganda tergantung dari seluk-beluk transaksi yang terdapat pada
sektor ekonomi di tiap daerah. Menurut Industry Classification Standards, pariwisata
mempunyai keterkaitan dalam setiap transaksi ekonomi, tidak seperti industri lain yang
terpisah-pisah. Untuk itu sektor transaksi data yang digunakan dalam penghitungan dampak
ganda pariwisata dibagi dalam 3 macam grup transaksi, yaitu: akomodasi/ hotel dan restoran,
tranportasi, dan barang dan jasa serta cinderamata.
Multiplier merupakan konsep analisis Keynes. Konsep ini menjajaki pengeluaran
wisatawan dan penyaringnya (filters) ke dalam ekonomi. Penerimaan mengalami penurunan
dalam deret geometrik (geometric progression) pada setiap lingkup dampak sebagai hasil
kebocoran (leakage). Kebocoran-kebocoran tersebut akan mengurangi penerimaan, baik
lingkup efek langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect), maupun efek ikutan
(induced effect).
A. Efek Langsung (Direct Effect)
Efek langsung merupakan efek yang mengacu pada sektor pariwisata yang langsung
terkait dengan pembelanjaan. Efek keluarannya akan sama dengan nilai perubahan pada
permintaan akhir. Dengan kata lain adanya pengeluaran wisatawan secara langsung akan
menimbulkan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan perhotelan, restoran, toko kerajinan,
dan lain-lain. Atau dapat dikatakan juga bahwa perkembangan kunjungan wisatawan secara
otomatis merupakan pertumbuhan industri pariwisata.
B. Efek Tidak Langsung (Indirect Effect)
Efek tak langsung mengacu pada kelanjutan dari kebutuhan sebuah industri yang
mengalami peningkatan permintaan produknya untuk melakukan pembelian dari industri lain
yang terkait, untuk memproduksi outputnya. Jadi dari sebagian uang yang dikeluarkan oleh
wisatawan tersebut akan mengalami peredaran lebih lanjut. Misalnya, hotel akan
menggunakan penerimaannya untuk membayar upah dan gaji kepada pekerja lokal atau untuk
membeli barang-barang keperluan hotel tersebut dari pedagang besar atau eceran. Adanya
tambahan permintaan ini merupakan derivative demand yang tidak berhenti pada padagang
saja tetapi akan terus berlanjut sampai industri hulunya.
C. Efek Ikutan (Induced Effect)
Dampak ini terjadi karena peningkatan pendapatan akibat perubahan pada permintaan
akhir, sebagian akan dibelanjakan untuk barang dan jasa yang tidak berkaitan dengan
permintaan akhir tersebut. Penjual souvenir akan membelanjakan sebagian pendapatannya
untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, membeli barang elektronik, dan sebagainya.
Makin banyak yang dibelanjakan oleh industri pariwisata dan industri terkait untuk berbagai
jenis barang dan jasa, makin besar dampak ikutan dari sektor pariwisata. Pemasok barang dan
jasa akan meningkat pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini akan mendorong lebih lanjut
perekonomian masyarakat sehingga kesempatan kerja dan pendapatan makin lama makin
meningkat.
Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa
konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi
lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan
menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
a. Pengganda output (output multiplier) yaitu rasio perubahan dampak langsung, tidak
langsung, dan ikutan dalam output terhadap perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan.
b. Pengganda penjualan/transaksi (sales or transaction multiplier) yaitu rasio perubahan
dampak langsung, tidak langsung, dan ikutan dalam output terhadap perubahan tingkat
pembelanjaan wisatawan tetapi tidak termasuk tambahan inventory atau persediaan yang
mungkin terjadi akibat perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan tersebut.
c. Pengganda pendapatan (income multiplier): memperlihatkan penambahan dampak
langsung, tidak langsung, dan ikutan terhadap pendapatan domestik yang dihasilkan
akibat penambahan pembelanjaan wisatawan.
d. Pengganda ketenagakerjaan (employment multiplier) : menunjukkan berapa peluang
ketenagakerjaan akibat peningkatan pembelanjaan wisatawan.
e. Pengganda penerimaan pemerintah (government revenue multiplier) : menunjukkan
bagaimana berapa besar pendapatan pemerintah mampu diciptakan oleh setiap 1 unit
tambahan pembelanjaan wisatawan. Secara umum mencakup berbagai bentuk penerimaan
pemerintah: pajak, ijin usaha, pungutan/iuran, subsidi, bantuan yang dibayarkan kepada
kepada pemerintah terkait dengan penyediaan barang dan jasa pariwisata baik langsung
maupun tidak langsung.
f. Pengganda impor (import multiplier) : ketika wisatawan membelanjakan uangnya di
suatu daerah sebagian diantaranya akan dibelanjakan untuk barang-barang produk
domestik, tetapi sebagian lainnya akan dibelanjakan untuk barang-barang/jasa yang
merupakan produksi dari luar/impor. Hal ini sama halnya dengan kenyataan bahwa para
pemasok akan membelanjakan faktor produksinya dari dalam daerahnya dan sebagian dari
luar daerahnya. Oleh karenanya penting diketahui berapa banyak total pembelanjaan
wisatawan digunakan untuk membeli barang/jasa produksi lokal dan berapa banyak yang
‘bocor’ (leaks out) akibat membelai barang/jasa impor. Dalam konteks ini, dampak
pengganda impor akan memperlihatkan nilai impor barang dan jasa yang berasosiasi
dengan setiap unit pembelanjaan wisatawan.
3. CARA PENELITIAN
3.1 Penentuan Sampel
Cara penentuan sampel nonramdom sampling purpovise sample, yaitu penentuan sampel
tanpa diacak, dengan cara langsung mengarah pada sampel kunci, yaitu dinas pariwisata
Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerhati pariwisata DIY. Karena mereka berperan
langsung dalam pengembangan kepariwisataan DIY. (Got, 2010)
3.2 Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data adalah:
a. Observasi, yaitu peneliti melakukan pengamatan secara langsung di pengembangan
kepariwisataan di DIY setelah tersusunnya Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang
RIPPARDA DIY.
b. Interview, yaitu peneliti melakukan wawancara terhadap pemerintah daerah dalam hal ini
adalah dinas pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerhati pariwisata DIY.
c. Studi Kepustakaan, yaitu membaca buku-buku yang berhubungan dengan pengembangan
kepariwisataan destinas pariwisata. Sekaligus mencari data sekunder di internet mengenai
kepariwisataan di destinasi pariwisata, khususnya dalam skala provinsi (Got, 2010).
3.3 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mengunakan data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui internet.
Metode analisis data yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini
mengambil data penelitian dari hasil survei dan wawancara langsung pada pemangku
kepentingan di DIY.
Penelitian deskriptif bermaksud memberikan gambaran suatu gejala sosial tertentu, sudah
ada informasi mengenai gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam suatu permasalahan
penelitian namun belum memadai. Penelitian deskriptif menjawab pertanyaan apa dengan
penjelasan yang lebih terperinci mengenai gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam
suatu permasalahan penelitian yang bersangkutan (Malo dan Trisnoningtias, 1986).
Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek dan merasakan apa yang
dialami dalam kehidupan sehari-hari dalam pengembangan kepariwisataan di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif sehingga
merupakan rinci dari suatu fenomena pengembangan kepariwisataan yang diteliti.
4. PEMBAHASAN
4.1 Potensi Kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu provinsi yang berada pada Pulau
Jawa sebelah Selatan, bentuk wilayahnya menyerupai bangun segitiga dengan puncak Gunung
Merapi di bagian utara dengan ketinggian 2.911 M di atas permukaan air laut, sedangkan pada
bagian kaki, dua buah dataran membentang ke arah selatan membentuk dataran pantai yang
memanjang di tepian Samudera Indonesia.Secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta
terletak di antara 7º 30‘ sampai dengan 8º15’ Lintang Selatandan 110º sampai d0º52’ Bujur
Timur dengan batas-batas wilayah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Magelang.Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Wonogiri. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Purworejo.Dengan luas wilayah 3.185,80 km² atau 0,17 dari luas wilayah Indonesia, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, dan secara administatif meliputi 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu :
Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota,
yaitu:
a. Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 Km² (1,02%)
b. Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 Km² (15,91%)
c. Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 Km² (18,40%)
d. Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 Km² (46,62%)
e. Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 Km² (18,04%)
Sebagai wilayah perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta menyandang peran dan posisi
strategis dari sisi geopolitik maupun ekonomi. Oleh karena potensi unggulan yang dimiliki
Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dibangkitkan dan dikembangkan untuk menjadi pilar
pembangunan perekonomian provinsi tersebut.
Gambar Peta Sebaran Daya Tarik Wisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Dalam konteks kepariwisataan, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi
kepariwisataan yang cukup besar dan beragam, baik berupa daya tarik wisata, budaya
(peninggalan sejarah maupun adat tradisi kehidupan masyarakat) maupun khusus.
Yogyakarta dikenal sebagai salah satu destinasi dengan kekayaan budaya dan warisan
budaya yang apresiasif. Kawasan Candi Prambanan, Kawasan Kraton Kasultanan
Ngayogyokarto Hadiningrat, Kawasan Kotagede dan bangunan-bangunan eks Belanda
merupakan salah satu bukti kebesaran masa lalu yang masih eksis di destinasi tersebut.
Keanekaragaman ritual, kreativitas seni dan keramahtamahan masyarakatnya, membuat DIY
mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan. Waktu tempuh
yang relatif pendek dan jangkauannya yang mudah dengan heritage (di luar batas administrasi
Propinsi DIY) lain seperti kawasan Candi Borobudur, Kasunanan Surakarta, Dieng Plateau,
klentheng-klentheng tua di Semarang dan beberapa obyek wisata lain menjadikan DIY
memiliki nilai tambah tersendiri.
Kekayaan alam dan keajaiban alam yang ada di DIY, merupakan potensi yang dapat
dikembangkan dan mempunyai daya jual yang bagus. Kawasan lereng Gunung Merapi;
Kawasan Waduk Sermo, Kawasan Pegunungan Seribu dengan potensi “Karst”nya; kawasan
pantai selatan dengan potensi baharinya; Kawasan gumuk pasir sebagai salah satu fenomena
alam yang spesifik. Beberapa potensi tersebut apabila ditangani dengan benar akan menjadi
produk wisata yang layak diperhitungkan.
Secara historis, masyarakat Yogyakarta merupakan masyarakat yang memiliki budaya
tinggi. Berbagai bentuk kesenian berkembang pesat. Kesenian tradisional, modern atau
modifikasinya dari keduanya dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Peninggalan
budaya masa lalu yang berujud fisik, non fisik (pertunjukan) maupun adat istiadat (ritual)
masih terpelihara dan mengakar dengan kuat pada sebagian komunitas. Bahkan berbagai
ritual tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat secara rutin dan merupakan potensi wisata
yang layak diagendakan. Desa wisata merupakan salah satu wujud upaya pemberdayaan
potensi (budaya dan alam) yang terkandung dalam lingkungan masyarakat.
DIY memiliki julukan Indonesia Mini, karena di DIY banyak ditemukan pendatang dari
berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari mereka
datang sebagai pelajar dan mahasiswa. Kedatangan mereka dibarengi dengan masuknya aneka
ragam budaya. Keberadaan mereka merupakan pasar yang cukup potensial sekaligus alat
promosi yang baik bagi eksistensi DIY di daerahnya, khususnya yang berkaitan dengan
bidang pariwisata. Berikut beberapa daya tarik wisata di DIY:
Tabel Daya Tarik Wisata di DIY
Objek dan Daya Tarik Wisata
Wisata Alam
Wisata Budaya
Wisata Khusus
▪ Pantai Parangtritis
▪ Kraton Yogyakarta
▪ Pantai Samas
▪ Puro Pakualaman
▪ Kebun Binatang
Gembiraloka
▪ Pantai Pandansimo
▪ Tamansari
▪ Monumen Jogja Kembali
▪ Pantai Baron dan Pulau
Drini
▪ Makam Imogiri
▪ Kawasan Malioboro
▪ Makam Girigondo
▪ Agrowisata Salak Pondoh
Turi
▪ Pantai Krakal
▪ Pantai Glagah dan
Congot
▪ Makam dan Masjid
Agung Kotagede
▪ Purawisata
▪ Masjid Agung Kauman
▪ Merapi Golf
▪ Pantai Wediombo
▪ Gua Jepang
▪ TR Tirta Artha
▪ Hutan Wisata
Kaliurang
▪ C. Prambanan
▪ Waduk Sermo
▪ C. Kalasan
▪ Museum Geoteknologi UPN
▪ C. Ratu Boko
▪ Sendangsono
▪ C. Sambisari
▪ Sentra Gerabah Kasongan
▪ C. Ijo
▪ Sentra Kulit Manding
▪ C. Banyunibo
▪ Sentra Kerajinan Perak Kota
▪ Hutan Wisata
Wanagama
▪ Kaliadem
▪ Gua Selarong
Objek dan Daya Tarik Wisata
Wisata Alam
▪ Gua Kiskendo
Wisata Budaya
▪ C. Morangan
Wisata Khusus
Gede
▪ Kawasan Kotagede
▪ Museum Sonobudoyo
▪ Museum Batik
▪ Museum Perjuangan
▪ Museum Kereta Kraton
▪ Museum Benteng
Vredenburg
▪ Museum Affandi
▪ Museum Wayang
Kekayon
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Potensi daya tarik wisata tersebut tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
meliputi wilayah kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten
Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul.
Gambar Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Sumber: BPS DIY, 2014
Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2013 cukup berfluktuasi dan
sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun faktor eksternal seperti
bencana alam dan lainnya. Tercatat sebanyak dua kali jumlah kunjungan wisata mengalami
penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai
dampak dari erupsi Merapi. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY
menunjukkan peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2013, jumlah wisatawan yang
berkunjung ke DIY mencapai 3,81 juta, terdiri dari 3,60 juta wisatawan domestik dan 207,28
ribu wisatawan asing. Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dibanding wisatawan
asing dengan porsi sekitar 94,56 persen. Perkembangan kunjungan wisata selama sembilan
tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap tahun jumlah kunjungan rata-rata meningkat
sebesar 7,83 persen. Jumlah kunjungan wisatawan asing mampu tumbuh di atas tas 20 persen
per tahun, sementara wisatawan domestik tumbuh 7,40 persen per tahun. (BPS DIY, 2014)
4.2 Nilai Strategis Penyusunan RIPPARDA DIY
Sejalan dengan perkembangan industri pariwisata yang semakin kompetitif dan tren pasar
dunia yang semakin dinamis, maka pembangunan kepariwisataan Kabupaten Bintan harus
didorong pengembangannya secara lebih kuat dan diarahkan secara tepat untuk meningkatkan
keunggulan banding dan keunggulan saing kepariwisataan DIY dalam peta kepariwisataan
regional, nasional maupun Internasional.
Sejalan dengan pemberlakukan UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dengan
berbagai perubahan dalam pengaturan kepariwisataan mengharuskan tiap-tiap daerah
menyesuaikan diri. Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa
“Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan Nasional,
rencana induk pembangunan kepariwisataan Provinsi, dan rencana induk pembangunan
kepariwisataan Kabupaten/kota.”
Dalam pasal 9 disebutkan bahwa
“Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran,
dan kelembagaan kepariwisataan.”
Dari pasal-pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) haruslah selaras dengan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) dan RIPPARDA mencakup perencanaan
pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan
kepariwisataan. Sehingga RIPPARNAS dapat menjadi pedoman bagi pembuatan RIPPARDA
provinsi-provinsi di Indonesia dan selanjutnya RIPPARDA provinsi menjadi acuan bagi
RIPPARDA kabupaten/kota.
Dalam dokumen RIPPARNAS, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masuk dalam
destinasi Borobudur – Yogyakarta dskt.
Gambar Posisi Destinasi Borobudur – Yogyakarta dalam RIPPARNAS
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Destinasi Borobudur-Yogyakarta menjadi salah satu dari 50 Destinasi Kepariwisataan
Nasional, yang didalamnya memiliki 7 (tujuh) Kawasan Pengembangan Pariwisata, dengan 5
kawasan di wilayah DIY, yaitu:
a. Kws Karts Gunung Kidul dskt
b. Kws Prambanan–Kalasan dskt
c. Kws Yogyakarta Kota dskt
d. Kws Pantai Selatan Yogya dskt
e. Kws Merapi–Merbabu dskt
Dan 2 (dua) kawasan di wilayah Jawa Tengah
a. Kws Borobudur–Mendut–Pawon dskt
b. Kws Dieng dskt
Gambar Destinasi Borobudur – Yogyakarta
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Keseluruhan substansi yang dicakup dalam penyusunan RIPPARDA Provinsi tersebut
selanjutnya akan menjadi kunci atau roadmap yang sangat penting dalam membangun dan
membangkitkan keunggulan banding dan keunggulan saing pariwisata Daerah dalam peta
pariwisata nasional dan internasional di abad 21 ini, dan khususnya dalam meningkatkan
kontribusi sektor pariwisata sebagai sektor andalan dalam pendapatan asli daerah dan
menggantikan kontribusi sektor lain di masa mendatang. RIPPARDA Provinsi diperlukan
sebagai acuan operasional pembangunan pariwisata bagi pelaku pariwisata dan pelaku
ekonomi, sosial dan budaya di daerah, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dengan pembangunan kepariwisataan daerah. RIPPARDA Provinsi sangat penting, karena:
a. Memberikan arah pengembangan yang tepat terhadap potensi kepariwisataan (dari sisi
produk, pasar, spasial, sumber daya manusia, manajemen, dsbnya),sehingga dapat tumbuh
dan berkembang secara positif dan berkelanjutan bagi pengembangan wilayah dan
kesejahteraan masyarakat; dan
b. Mengatur peran setiap pemangku kepentingan terkait (lintas sektor, lintas pelaku, lintas
daerah/ wilayah) agar dapat mendorong pengembangan pariwisata secara sinergis dan
terpadu.
Dalam RIPPARDA DIY terdapat pengembangan perwilayahan kepariwisataan DIY yang
mencakup beberapa pembagian wilayah dengan konsep pengembangan yang spesifik.
kawasan pengembangan kepariwisataan seperti yang ada pada bagian perwilayahan
RIPPARDA DIY. Perwilayahan pembangunan destinasi pariwisata daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta mencakup:
A. Kawasan Lereng Merapi Bagian Selatan dskt
B. Kawasan Prambanan – Ratu Boko dskt
C. Kawasan Godean – Moyudan dskt
D. Kawasan Kraton – Malioboro dskt
E. Kawasan Kasongan – Tembi – Wukirsari dskt
F. Kawasan Parangtritis – Depok – Kuwaru dskt
G. Kawasan Baron – Sundak dskt
H. Kawasan Siung – Wediombo – Bengawan Solo Purba dskt
I. Kawasan Patuk dskt
J. Kawasan Karst Gunung Sewu dskt
K. Kawasan Congot – Glagah – Trisik dskt
L. Kawasan Pegunungan Menoreh dskt
Gambar Peta Perwilayahan RIPPARDA DIY 2012 – 2025
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Kawasan tersebut dikembangkan dengan konsep dan tema yang berbeda, baik dari segi
destinasi, pemasaran, industri dan kelembagaannya.
Dengan tema yang spesifik tersebut diharapkan pengembangan kepariwisataan di tiap
kawasan pengembangan tersebut dapat lebih sesuai dan langsung kepada permasalahannya,
sehingga dapat terencana dan terealisasikan secara optimal.
4.3 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY
Selama kurun waktu 2009-2013, rata-rata pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,04%
per tahun. Kondisi tahun 2013, laju pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,40% yang berarti
bahwa kinerja perekonomian DIY mengalami pertumbuhan dari tahun sebelumnya yang
sebesar 5,32%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2013 bahkan merupakan angka tertinggi selama
sepuluh tahun terakhir. Sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan terbesar yaitu
sebesar 7,81%. Industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil; serta industri
furnitur memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan di sektor industri pengolahan
yang produksinya sangat dipengaruhi oleh permintaan domestik melalui kegiatan pariwisata
maupun permintaan ekspor.
Pertumbuhan tertinggi berikutnya dihasilkan oleh sektor listrik, gas dan air bersih (6,54%)
serta sektor pengangkutan dan komunikasi (6,30%). Kemudian disusul sektor perdagangan,
hotel, dan restoran serta sektor jasa yang masing-masing tumbuh sebesar 6,20% dan 5,57%.
Sektor pertanian menjadi sektor yang memiliki laju pertumbuhan terendah, meskipun masih
tumbuh positif sebesar 0,63%.
Gambar Pertumbuhan Ekonomi DIY 2009-2013
Sumber: BPS DIY, 2014
Pertumbuhan ekonomi DIY jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa relatif
masih rendah. Bahkan lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa. Hal
tersebut salah satunya disebabkan karena wilayah DIY relatif kecil sehingga sumber daya
alam yang dimiliki terbatas dan skala pengembangan industri pengolahan tidak sebesar
provinsi lain di Jawa. Perekonomian DIY lebih mengandalkan sektor tersier terkait dengan
perkembangannya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan peranan sektor
pertanian yang merupakan sektor primer cenderung menurun. Penurunan kontribusi sektor
pertanian sebagai akibat konversi lahan pertanian dan kenaikan harga biaya produksi
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian DIY mengalami pergeseran dari
perekonomian agraris menuju niaga jasa. Industrialisasi yang biasanya terjadi pada beberapa
wilayah yang semula berbasis pertanian tidak sepenuhnya terjadi di DIY.
Selama kurun waktu 2009-2013, nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
mengalami peningkatan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Pada tahun 2009
nilai PDRB ADHB tercatat sebesar 41,41 trilyun rupiah dan pada tahun 2013 mencapai 63,69
trilyun rupiah yang berarti PDRB DIY secara nominal mengalami kenaikan sebesar 22,28
trilyun rupiah atau 53,82% selama kurun lima tahun tersebut.
Tabel Nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) 2009 - 2013
Sumber : BPS DIY, 2014
Tabel di atas menunjukkan kontribusi masing-masing sektor terhadap pembentukan
PDRB yang dapat menggambarkan seberapa besar peranan suatu sektor dalam menunjang
perekonomian. Selama periode 2009-2013 struktur perekonomian DIY didominasi oleh empat
sektor, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor jasa-jasa; sektor pertanian; serta
sektor industri pengolahan. Kontribusi sektor pariwisata yang diwakili oleh perdagangan,
hotel, dan restoran cenderung meningkat pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012, yakni
sekitar 13,152 trilyun rupiah.
Sektor jasa memberikan kontribusi terbesar pada PDRB DIY dengan rata-rata kontribusi
selama lima tahun terakhir sebesar 20,02%. Setelah itu diikuti sektor perdagangan, hotel dan
restoran (19,84%); sektor pertanian (14,71%), serta sektor industri pengolahan dengan
kontribusi 13,77%.
Dengan angka sektor pariwisata yang diwakili oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran
yang cukup tinggi membuktikan bahwa kegiatan kepariwisataan di DIY merupakan salah satu
bidang yang cukup memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian DIY pada
umumnya.
4.4 Dampak Multi Ganda Pengembangan Kepariwisataan di DIY
Berkembangnya kegiatan pariwisata akan menggerakkan berlapis-lapis mata rantai usaha
yang terkait di dalamnya, sehingga akan menciptakan efek ekonomi multi ganda (multiplier
effect) yang akan memberikan nilai manfaat ekonomi yang sangat berarti bagi semua pihak
yang terkait dalam mata rantai usaha kepariwisataan tersebut. Dampak ekonomi multi ganda
pariwisata akan menjangkau baik dampak langsung, dampak tak langsung maupun dampak
ikutan yang pada umumnya terkait dengan usaha skala kecil dan menengah maupun usahausaha di sektor hulu (pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya).
Gambar Kontribusi Para Wisatawan Terhadap Ekonomi Lokal dan Multiplier Effect nya bagi Sosial
Ekonomi Masyarakat Setempat
Gambar Dampak Ekonomi Multi Ganda Pengembangan Pariwisata
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Gambar Dampak Ekonomi dari Pariwisata
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Efek multiganda (multiplier effect) bisa terjadi pada aspek:
(1) Pendapatan
(2) Ketenagakerjaan
Proses multiganda pada aspek pendapatan:
(1)
dampak langsung (direct) adalah belanja wisatawan;
(2)
dampak tidak langsung (indirect) adalah pengeluaran industri pariwisata (misal:
akomodasi);
(3)
dampak ikutan (induced) adalah pengeluaran rutin pemasok industri non-pariwisata.
Pariwisata yang memiliki keterkaitan lintas sektor dan usaha mampu membangkitkan
DAMPAK EKONOMI MULTI GANDA (multiplier effect) yang sangat signifikan bagi
tumbuhnya mata rantai usaha lintas skala, terutama UKM sehingga membantu penciptaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Dalam hal ini, artinya pariwisata memberikan banyak peluang usaha pula kepada
masyarakat, termasuk kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Selain menjadi
tenaga kerja, masyarakat di sekitar kawasan wisata dapat pula menjadi pelaku pengembangan
usaha diantaranya dalam bentuk pembuatan dan/atau penjualan cinderamata, usaha kuliner
lokal, supplier bahan baku makanan, dan sebagainya.
Pengembangan kepariwisataan di DIY tidaklah lepas dari dampak multi ganda yang
ditimbulkan. RIPPARDA DIY sebagai dokumen pengembangan kepariwisataan menjadi
salah satu alat untuk meningkatkan optimalisasi dampak multi ganda pengembangan
kepariwisataan.
Beberapa dampak yang dapat dijabarkan dengan adanya RIPPARDA DIY, antara lain:
A. Efek Langsung
Penyusunan RIPPARDA DIY diharapkan menjadi pedoman dalam meningkatkan
pengembangan kepariwisataan di DIY, DIY sebagai salah satu destinasi wisata nasional
maupun internasional membutuhkan pedoman pengembangan kepariwisataan yang tidak
hanya menghadirkan daya tarik yang berkelas dunia serta kenyamanan dan keamanan dalam
berwisata, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat DIY pada umumnya.
Dampak multi ganda – efek langsung yang dapat dilihat langsung adalah yang langsung
terkait dengan pembelanjaan wisatawan. Contohnya : hotel, restoran, guide, tour operator,
galeri, cinderamata dll.
Perkembangan hotel bintang di DIY sebagai contohnya, mengalami peningkatan sebagai
akibat dari perkembangan kepariwisataan di DIY, dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di DIY 2004 – 2013
Sumber : BPS DIY, 2015
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di DIY 2013 – 2014
Sumber : BPS DIY, 2015
Berdasar data statistik, pada tahun 2010 terdapat 36 hotel berbintang dengan kapasitas
3.631 kamar dan hotel non bintang sebanyak 1098 hotel dengan kapasitas 12.519 kamar. Pada
tahun 2011 bertambah menjadi 41 hotel mulai dari bintang, dengan jumlah 3.953 kamar hotel,
sedangkan hotel kelas melati ada tiga hotel dengan 12.407 kamar. Dapat dilihat dari tabel di
atas bahwa terdapat pertumbuhan jumlah hotel bintang di DIY dari tahun 2013 berjumlah 39
bertambah menjadi 43 pada tahun 2014. Pertumbuhan hotel berbintang yang demikian pesat
yang tentu mau tak mau akan mempertajam tingkat persaingan usaha. Apalagi, jika laju
pertumbuhan tersebut disertai dengan pertumbuhan pasar/ wisatawan. Pertumbuhan hotel
yang sangat tajam di DIY ini dari satu sisi menimbulkan masalah namun dari sisi positifnya
akan membuka lapangan pekerjaan bagi para lulusan pariwisata.
B. Efek Tidak Langsung
Efek tak langsung mengacu pada kelanjutan dari kebutuhan sebuah industri yang
mengalami peningkatan permintaan produknya untuk melakukan pembelian dari industri lain
yang terkait, untuk memproduksi outputnya. Jadi dari sebagian uang yang dikeluarkan oleh
wisatawan tersebut akan mengalami peredaran lebih lanjut. Misalnya, hotel akan
menggunakan penerimaannya untuk membayar upah dan gaji kepada pekerja lokal atau untuk
membeli barang-barang keperluan hotel tersebut dari pedagang besar atau eceran.
Tabel Dampak Multi Ganda – Efek Tidak Langsung
No
1.
Efek Langsung
Hotel
Efek Tidak Langsung
− Karyawan Hotel
− Supplier Sayuran, Buah, Bunga, Daging, Ikan dll
− Tour Operator
No
Efek Langsung
Efek Tidak Langsung
− Event Organizer
− Pemerintah Daerah (Pajak)
− Daya Tarik Wisata (kunjungan wisatawan)
2.
Restoran
− Karyawan Restoran
− Supplier
− Tour Operator
− Event Organizer
− Pemerintah Daerah (Pajak)
3.
Tour Operator
− Karyawan TO
− Pemerintah Daerah (Pajak)
− Daya Tarik Wisata (kunjungan wisatawan)
− Perusahaan Transportasi
Sumber: Analisis Penulis, 2015
C. Efek Ikutan
Dampak ini terjadi karena peningkatan pendapatan akibat perubahan pada permintaan
akhir, sebagian akan dibelanjakan untuk barang dan jasa yang tidak berkaitan dengan
permintaan akhir tersebut. Contohnya penjual souvenir akan membelanjakan sebagian
pendapatannya untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, membeli barang elektronik,
dan sebagainya. Sehingga efek ikutan ini bisa mencakup ke bidang usaha yang lebih luas lagi,
diharapkan dampak positif pariwisata ini merata pada masyarakat DIY pada umumnya.
4.5 Penyelenggaraan Even Pariwisata dan Budaya sebagai Upaya Perluasan Dampak
Multiganda Kepariwisataan
Sebagai kota pariwisata dan budaya, Yogyakarta memiliki beberapa even-even rutin yang
diselenggarakan oleh DIY sebagai ajang untuk promosi dan memasarkan DIY kepada
wisatawan yang berkunjung. Dari beberapa event tersebut dapat dibagi menjadi tiga jenis
event, antara lain:
A. Event Tradisional
Labuhan merupakan upacara tradisional masyarakat Yogyakarta dimana upacara
tradisional yang telah di adakan setiap tahun ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan dan telah menjadi icon bagi pariwisata Yogyakarta. Labuhan atau larung yaitu
membuang sesuatu kedalam air sungai atau laut. Upacara Labuhan sendiri bermaksud
memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Upacara Labuhan adalah
upacara yang digelar secara rutin pada tanggal 29 Rejeb dalam penangalan Jawa. Upacara ini
merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam
rangka peringatan jumenengan Ndalem Sri Sultan Hamengkubuwono yang diselenggarakan
setiap tanggal 30 bulan Rejeb penanggalan Jawa. Upacara Labuan ini telah di laksanakan
semenjak berdirinya kesultanan Yogyakarta. Upacara Labuan sendiri biasanya dilakukan di
Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sesaji yang dilarung dalam
upacara ini dimaksdkan sebagai keselamatan Sri Sultan, seluruh isi keraton, dan seluruh
rakyat Yogyakarta. Di ketiga tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain
batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung.
Selain upacara Labuhan, event tradisional DIY sendiri adalah Upacara Sekaten. Sekaten
merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul
upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari
kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo
dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan
Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan
Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11
bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan secara bergantian menandai
perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan
upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil
beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan
mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup
dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih dan Endhog Abang merupakan makanan
khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil.
Selain itu terdapat pula, upacara Bekakak yang merupakan upacara tradisional masyarakat
gamping, dimana Setiap bulan Sapar yaitu bulan ke dua dalam penanggalan Jawa, masyarakat
Ambar Ketawang, Gamping Sleman,Jogjakarta mempunyai tradisi perayaan Grebeg Bekakak.
Tradisi itu muncul sejak zaman Sultan HB I itu diyakini warga setempat sebagai tradisi tolak
bencana atau tolak bala.Perayaan Grebeg Bekakak berupa parade boneka pengantin bekakak
yang diarak dari wilayah Ambar Ketawang menuju sebuah Gunung Kapur yang jaraknya
sekitar 600 meter dari lokasi upacara. Boneka-boneka yang terbuat dari beras ketan dan cairan
gula kelapa tersebut kemudian dikorbankan sebagai sesaji.Perayaan Grebeg Bekakak diawali
dengan pementasan fragmen tari legenda Ki Wirosuta dan Nyi Wirosuta saat berperang
melawan siluman jahat dan dilanjutkan dengan kirab pengantin Bekakak dan Gunungan
menuju Gunung Gamping. Pengantin dikawal pasukan berkuda, serta prajurit bertombak dari
Kraton Yogyakarta.
Gambar Even Tradisional Sekaten dan Labuhan
Sumber : www.google.com
B. Event Buatan berbasis Budaya
Festival Kesenian Yogyakarta atau FKY adalah event seni-budaya tahunan yang
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Even tersebut merupakan agenda kesenian
yang dilaksanakan setiap tahun DIY. Agenda kesenian ini dimeriahkan oleh para seniman
maupun kelompok-kelompok kesenian yang ada di 5 kabupaten/kota DIY (Bantul, Sleman,
Kulonprogo, Gunungkidul dan Yogyakarta).
FKY memberikan nuansa tradisional yang kuat lewat kesenian daerah yang
dipertunjukkan di acara ini.Sebut saja Pagelaran Wayang Kulit, Ketoprak, Jathilan, Pentas
Seni Sulap Tradisi, Pentas Musik Kontemporer, Pertunjukkan Tari kontemporer, Pagelaran
Musik Rukun Rencang dan berbagai kompetisi gelar seni untuk anak hingga festival band
untuk umum membuat suasana liburan jadi kian lengkap. Tak hanya itu, berbagai kuliner
tradisional pun disuguhkan bagi para pengunjung.
Setiap tanggal 7 Oktober masyarakat Kota Yogyakarta selalu merayakan hari jadi
kotanya, bertepatan dengan perpindahan kraton yongyakarta dari pesanggrahan
Ambarketawang ke kawasan yang dikenal sebagai kraton Yogyakarta saat ini. Pada tahun
2011 ini Kota Yogyakarta akan merayakan hari jadi kotanya yang ke-255 tahun. Dengan
diawali serangkaian kegiatan seperti Pawai Mozaik Jogja dan Festival 45 Kelurahan, puncak
peringatan hari jadi Kota Yogyakarta akan diperingati dengan Jogja Java Carnival pada
tanggal 15 Oktober 2011. Jogja Java Carnival yang mengusung brand image : night carnival
(carnival di malam hari), street performance (performance yang akan selalu dilakukan selama
carnival berjalan dengan menggunakan jalan sebagai area panggungnya), mobile floating
(area panggung yang berjalan yang diwujudkan dalam vehicle atau kendaraan sebagai bagian
dari area panggungnya), dan international participant (keterlibatan partisipan dari luar negeri)
ini diharapkan dapat menjadi ikon event pariwisata Kota Yogyakarta.
Brand image ini menjadikan Jogja Java Carnival berbeda dengan carnival yang ada
selama ini baik dari sisi tampilannya, kontennya, maupuan pengemasannya. Dengan
mengusung tagline Celebration of Cultural Unity yang bermakna perayaan atas kesatuan atau
keharmonisan budaya, di tahun 2011 yang merupakan tahun keempat penyelenggaraannya,
Jogja Java Carnival mengusung tema Magnificence of The World dimana Jogja Java Carnival
akan mengusung pusat-pusat peradaban dunia yang masuk dalam jajaran Keajaiban Dunia
dalam sebuah karya garapan seni dan budaya. Hal ini menunjukkan pluralisme Kota
Yogyakarta yang tergambar dalam kemampuannya menyerap sebuah inovasi tanpa
menanggalkan ciri-ciri tradisinya. Tradisi Mengawal Inovasi menj