View of Mendengungkan Suara yang Terbungkam 115 1 10 20171017

402

SUSASTRA

Dan kalau malam minggu, orang pos biasanya main gitar ... Dangdut
biasanya. Instrumennya lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass,
suling, dan lain-lain. Tapi ... semuanya dengan mulut. [ 158)

Waiau begitu nampaknya sulit untuk tidak terbawa suasana dengan
adegan mencekam dari 'penyekolahan' yang terjadi di Aceh. Beberapa
paragrafyang menggambarkan kekejaman perang tak dapat terhindarkan
dan paragraf seperti itu memastikan pada pembaca bahwa sebenamya
kejadian di Aceh tidak \ucu sama sekali. Cara pandang ada\ah satu cara
untuk membuat kejadian itu menjadi biasa sehingga para tentara-dan
mungkin Alfian sendiri-dapat bertahan dalam keadaan seperti itu.
Artikel tersebut paling tidak membuka sebuah perspektif lain tentang
psikologi militer dan kemanusiaan tentara Indonesia yang melaksanakan
tugas di Aceh.
Pembahasan tiga artikel di atas memberikan gambaran kasar ba­
gaimana penggunaan elemen prosa sastra di dalam laporan jurnalistik.
Imajinasi, kreatifitas, dan dedikasi jumalis berperan besar da\am mem­

buat hal itu. Imajinasi pasti bercampur dengan fakta, namun dalam hal
yang tidak melanggar aturan pemakaian fakta: bukti konkrit harus jelas.
Kreatifitas membuat perrnainan plot, urutan, dan kata-kata dalam ranah
fakta menjadi mungkin. Dedikasi membuat data akurat yang menjadi
basis setiap kata yang ditulis menjadi mungkin untuk ada.
Namun kita akan selalu tersudut pada suatu kenyataan bahwa pers
bebas di Indonesia baru memasuki masa IO tahun-pasca reformasi. Di
sinilah kita dibawa kepada kesadaran bahwa wartawan berkualitas den­
gan kemampuan imajinasi, kreatifitas dan dedikasi menjadi tenaga kerja
minor di negeri ini. Ditambah lagi visi kapitalis media di Indonesia juga
belum memungkinkan diterbitkannya lagi majalah semacam Pantau di
negeri ini. Tapi buku ini mestinya membuat kita menjadi lebih optimis;
temyata masih ada hibrida seniman-wartawan dan masih ada pula geliat
pers Indonesia untuk menuju ke sana.

C,S'l'()

Mendengungkan Suara Yang Terbungkam
Herlin Putri


Universitas Indonesia

Judul Buku

: Rahasia Bulan (Kumpulan
Cerita Pendek)
: Is Mujiarso
Penyunting
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
: 2006
Jum/ah Halaman: 232 ha/aman
Dimensi (p x I) : 135 x 200 mm

R

ahasia Bulan adalah antologi pertama kolaborasi cerpen bertema ke­
hidupan gay, lesbian, biseksual, dan transgender (GLBT) di Indonesia
atau Homosexual Literature. Buku ini merupakan produk kesengajaan

dari Is Mujiarso, editor yang juga ikut menyumbangkan satu cerpen ber­
judul "Taman Trembesi" yang menjadi cerpen pembuka. Sebagaimana
yang diutarakan Is dalam kata pengantamya, enam belas cerpen dalam
antologi ini terdiri dari berbagai varian yang akan membuat pembaca
serasa tengah menyantap "gado-gado" (9]: mulai dari yang pop sampai
yang "nyastra" banget dan ada pula yang tidak terlalu "nyastra" dan tidak
terlalu "ngepop". Kisah yang menggelitik, penuh romansa hingga yang
membutuhkan perenungan batin yang mendalam. Penulis-penulis yang
menyumbang pun beragam, baik yang sudah memiliki nama di khasanah
literatur kita, maupun mereka yang namanya masih terdengar " asing".
Dalam antologi ini, masing-masing karya memiliki warna yang khas
dalam menggambarkan sekelumit kehidupan GLBT beserta dimensi

404

SUSASTRA

sosial, budaya, seksualit as, psikis, etnisit as hingga dimensi spiritualitas
internal para tokoh yang berada di dalamnya. Mis alny a p ada cerpen
"Dinding" kary a Ade Amui yang kaya akan perlambang-perla mbang

yang menany aka n kesahihan mor alitas buatan masyar ak at. "Dinding"
mengisahkanAdam at au Sang Penanti ya ng menunggu kehadiran Romi,
kekasihny a. Kisah ini sebena my a merup akan perenungan Sang Tokoh
(Ada m) yang mencerminkan dialog-dialog serta gejolak dalam relung
spiritualitas intemalnya. Dari cerita y ang dipap arkan terlih at ada nya
bentur an ant ara realitas seksualitas Adam seb agai seorang gay deng an
nilai-nilai spiritu alitas dan sosial-buday a yang i a y akini.
Adam d an Romi sendiri adalah dua narna y ang secara metonimik
mewakili laki-laki dan kedu anya sudah memiliki 'perempuannya ' mas­
ing-masing;Adam dengan H awa sementara Romi dengan Juli. Perkat aan
Bunda yang datang menasehatiAdam bahwa "Romi akan tetap bersama
Yuli d an Adam akan selamanya bersam a llawa" [128) menjadi peng­
gala n simbolik dari nilai-nilai normatif ya ng mengharuskan hubungan
heteroseksu al. Secara menyeluruh, kisah cintaAdam da n Rom i mew akili
penggambaran kis ah cint a ses ama lelaki (gay).
"Dinding" di sini ad ala h simbol d ari nil ai-nilai mor alit a s ya ng
dianggap adiluhung dan "sakral untuk dirusak" (124). Nilai-nilai mo­
ralitas y ang mensegregasi terang-gelap, baik-benar, nonnal-abnorm al,
moral- amoral, dan legal-ilegal. Da lam dua kutub tersebut, cerpen ini
menggarnbarkan bagaimana supremasi pemaknaa n diletakkan pada kubu

perta ma ( heteroseksu alitas), sementar a homoseksualitas sendiri dia ng­
gap "melanggar perunda nga n Tuhan" [ I 22). lronisny a, nilai mor alit as
sebagaim ana disim bolka n oleh dinding yang tinggi dan leba r tak bertepi
ini adalah sesuatu yang "tipis dan tr ansp aran seperti kulit ari, namun
kasat m ata" (124) , yang menyir atkan bag aim ana r apuhnya mor alitas
y ang dikonstruksi dan dibuat oleh masyarakat. Bahkan, moralit as ini
cenderung hipokrit karena, seperti yang disimbolka n da lam cerita, Sang
Pemimpin justru menj adi or ang yang melubangi dinding tersebut. "Dind­
ing", pendek kata, sarat akan simbol-simbol yang menggelitik kita untuk
mempert any akan kebenar an dari moralitas itu sendiri.
Sebag ai kumpulan cerpen yang mengusung ideologi yang lebih ber­
pihak pad a kaum GLBT, sosok-sosok GLBT dalam antologi ini tidak
Jagi ditemp atkan sebagai tokoh s amping an, tet api menj adi sosok yang

HERLIN PUTRI

405

memegang su ara di seti ap pencerit aan. H al ini berda mpak pada pem­
bongkaran dan pencitr aan kembali konsep homoseksualitas.

Pemelintira n citra baku dan pemahama n ulang ini dapat dilih at dal am
cerpen "Merindu R andu" karya Indra Herlambang. Nama Indra Herlarn­
bang sudah barang tentu akrab di mata d an lekat di kuping kita semua.
Seorang presenter dan aktor temama ya ng waj ahnya sering menya pa kita
melalui laya r kaca. Namun, dalam ranah literatur lndra boleh dibilang
baru. Terlepas dari hal itu, ccrpen "Merindu Randu" justru menjadi cerpen
yang menghadirkan pencitraan yang paling berbeda tent ang kehidupan
gay. Ketirnb ang mengeksplorasi kehidup an seksu al gay secara h abis­
habisan, Indra menampilka n hubungan Randu d an tokoh Aku sebagai
sebuah romantic relationship ya ng tid ak hanya mengej ar nafsu sem ata.
Kisah tokoh Aku dan Randu tidak h anya berisi adegan persetubuhan
yang diumbar vulgar. Tengok saj a penggambaran persetubuh an antara
tokoh Aku da n R andu berikut:
Tubuh kami adalah menu sarapan sore itu.
Dan kami bercinta. Dan kami saling dekap tanpa banyak bicara.
Seperti ini rasanya rumah. Memabukkan dalam nyaman. Sambil
menyentuh hidungnya aku berjanj1. surga ini akan terus kunikmati.
[109)
Indra tidak menerangkan secara detil bagaim ana persetubuhan antara
tokoh Aku dan Randu. Adegan tersebut digambarkan dalam ungkap an

meta forik b agaimana tubuh keduanya ibarat menj adi "menu sarapan"
yang menyiratka n bahwa keduanya sangat menikmati hubungan tersebut.
Ungkapan ini hanya ditambah dengan k alim at-kalimat sederhana, "ber­
cinta t anpa ba nyak bicar a" yang memperdalam b agaimana keduanya l arut
dalam adega n tersebut. Teknik ini adal ah cara yang cerd as. Indr a terasa
sekali mengedepankan kedalaman maknawi dan kekuatan im ajinatif dari
sebu ah ungkapan. Sehingga pembaca bisa membayangkan dan merasakan
bagaimana adegan persetubuh a n ini memiliki makn a ya ng dalam bagi
kedua tokoh tersebut. Tidak hanya nafsu, tet api cint a, kasih, kepercayaan,
dan kehanga tan layaknya "sebuah rumah". Di sini, bentuk perasaan tokoh
Aku dan Randu dita mpilkan sebagai bentuk cinta . Homo-'seksualitas'

406

SUSASTRA

bergeser menjadi homo-'philia' alias cinta pada sesama jenis.
Penulisan ulang seputar homoseksualitas terus terjadi melalui ungka­
pan-ungkapan metaforik sederhana dan bermakna dalam cerpen.
Rasa ini bukan kami yang minta. Karena urusan hati tidak sama dengan

lampu, tidak bisa dinyalakan dan dipadamkan sewaktu-waktu. (110)

Kalimat pertama dari tokohAku di atas justru menghadirkan penjung­
kir-balikan logika. Tokoh Aku mengibaratkan bahwa homoseksualitas
bukanlah ha! yang bisa dicerabut begitu saja ataupun hadir begitu saja.
Hingga akhir cerita, "Merindu Randu" berhasil menghadirkan pencitraan
homoseksualitas yang baru sebagai bentuk perasaan, hasrat, dan cinta
yang sifatnya fitrah dan hakiki dalam diri manusia.
Pencitraan serupa juga kental terasa dalam cerpen "Rahasia Bulan"
dari Clara Ng, novelis yang sudah melahirkan beberapa bestseller.
"Rahasia Bulan" bercerita tentang seorang perempuan bernama Diana.
Apakah Diana seorang lesbian dengan kekasihnya Estella? Tentu bukan
karena ia memiliki suami dan seorang anak perempuan bemama Chantal.
Diana adalah seorang biseksual.
"Rahasia Bulan" mengungkap sebuah pencitraan homoseksualitas
yang secara simbolik dan implisit hadir melalui perbandingan antara
heteroseksualitas (Diana dengan Yayang, suaminya) dan homoseksualitas
(Diana dengan Estella, kekasihnya).
Cerpen ini pada dasamya menggambarkan keseharian Diana selama
24 jam, dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul tujuh pagi lagi di

keesokan harinya. Cerpen dibuka dengan prolog yang temyata adalah
sebuah penggalan dari tulis.an Diana:
Aku adalah bulan yang mencintai matahari. Bulan mencintai matahari
karena dia membutuhkan cahaya terang. Tanpa cahaya, buIan tidak akan
pemah bersinar. Matahari hangat menggairahkan. Tapi, bukankah sewaja­
mya bulan mencintai matahari? Karena dalam putaran satu hari manusia
pasti akan bertemu dengan matahari dan bulan (dengan pengecualian
pada saat gerhana). Matahari melengkapi bulan dan bulan melengkapi
matahari. Sama seperti siang melengkapi malam dan malam melengkapi
siang. Yin Yang. Lingkaran maskulin dan feminin. Sempuma. [29)

HERLIN PUTRI

407

Perpindahan adegan ditandai dengan keterangan waktu. Dari pem­
bagian waktu ini kita diajak untuk menelusuri dan memungut satu demi
satu fakta bahwa ada rutinitas dalam hidup Diana. Pagi Diana selalu
sama seperti yang disimbolkan bagaimana kegiatan pukul tujuh pagi
di awal cerita sama dengan kegiatan pukul tujuh pagi keesokan harinya

di akhir cerita; jam weker berbunyi, Diana membangunkan Chantal,
suaminya mandi lalu membaca koran sambil minum kopi. Rutinitas ini
yang dirujuk sebagai "perputaran satu hari dirnana matahari pasti akan
bertemu bulan".
Hubungan bulan dan matahari, lingkaran maskulin dan feminin, serta
Yin-Yang merujuk pada hubungan Diana dan suaminya, heteroseksualitas.
Hubungan inilah yang dicitrakan sebagai hubungan yang bersifat habitual
serta lahir semata-mata karena menjadi kewajaran dan ·sempurna kar­
ena berhasil memenuhi nilai-nilai norrnatif; sudah sewajarnya laki-laki
menikah dengan perernpuan, menikah, dan rnernpunyai anak. Apakah
Diana bahagia? Ya. Suami Diana, Yayang, berusia empat puluh tahun dan
merupakan suami yang mapan dengan "hidup yang lurus-lurus saja, ber­
hati emas, berjiwa tu/us, tidak suka dugem, main cewek, minum-minum
apa/agi narkoba" , [35). Dalam narasi pun Diana mengakui bahwa ia
bahagia hidup bersama Yayang:
Bahagiakah Diana dalam perkawinannya? Tentu, dia sangat bahagia.
Seratus persen. Tidak ada potongan diskon. No excuse. [38)

Tapi bahagia seperti apa? Kebahagiaan Diana bersama Yayang tak
lepas dari sekadar pencapaian atas kesempurnaan nilai. Dalam satu hari,

Diana dua kali bersetubuh. Siang dengan Estella, dan malam dengan
suaminya. Meski tidak ditampilkan secara garnblang, riak-riak konflik
batin dalam diri Diana tergambarkan melalui perbandingan saat ia ber­
sama Estella dan suaminya. Saat bersetubuh dengan Estella, ada rasa
balance ofpower dan ketersalingan.
Mereka berdua masuk ke ruang tidur tamu.

(... )

408

SUSASTRA

Bibir-bibir mereka saling memagut. [ .. .). Waktu saling melumer ketika
mereka saling bergerak, menggelosor, dan menghisap.
[ ... ]
terpenjam.
Mereka berdua terkapar diranjang, terengah-engah. Mata
[37]

Kata "saling" dan "berdua" menunjukkan bahwa hubungan ini ber­
sifat resiprokal; intersubjektivitas. Tidak ada objektivikasi. Bandingkan
ketika narasi menceritakan hubungan Diana dengan suaminya yang
dimulai dengan "kode" dari Sang Suami yang berkata, "Yang, kangen
nih," [38) yang dipahami oleh Diana adalah bahwa "suaminya meng­
ingin.kan tubuhnya," [38). Meskipun tidak tampak di permukaan, hal ini
menyiratkan bahwa ketika bersama suaminya, Diana berpindah menjadi
objek untuk suaminya; Sang Suami yang menginginkan, sementara tubuh
Diana adalah yang diinginkan. Berbeda dengan persetubuhan antara
Diana dan Estella yang diakhiri dengan tidur pulas, sehabis bersetubuh
dengan suaminya Diana justru tak bisa tidur, seperti masih ada yang
mengganjal dalam hatinya. Semua ini secara implisit menarnpilkan bahwa
dalam hubungan dengan suaminya seksualitas Diana adalah sebagai
pemberi dan dipusatkan untuk suaminya. Timpang.
Persetubuhan Estella dan Diana berakhir dengan kata-kata, "I love
you very much," sementara Diana dengan suaminya sendiri berakhir
dengan kata, "/ love you. " Perbedaan yang nampak sepele pada dua
ungkapan ini sesungguhnya menggambarkan bagaimana hubungan
Diana dan Estella sebagai sebuah hasrat tersendiri, sementara dengan
suaminya bersifat lebih datar. Hal ini ditegaskan ketika narasi berkata,
"takdir menyeret mereka" untuk menggambarkan persetubuhan antara
Diana dan Estella. Serupa dengan "Merindu Randu", hal ini menghad­
irkan pembalikan logika bahwasanya homoseksualitas bukanlah hasrat
bentukan, melainkan sebuah takdir Tuhan, given, dalam arti ia adalah
suatu yang fitrah dan hakiki. Jika hubungan Diana dengan suaminya
adalah wujud kesempurnaan normatif, maka Diana dan Estella adalah
sebuah wujud kesempurnaan Diana sendiri sebagai manusia.
Dalam pencitraan transgender, dua cerpen dalam antologi ini,
"Mereka Benci Aku Banci'' karya D. Jayadikarta dan "Numi" karya

HERLIN PUTRI

409

Yetti A. KA, mengambil sudut permasalahan yang kurang lebih sama,
yakni kehidupan tokohnya sebagai lelaki yang terjebak dalam tubuh
perempuan. Namun, orasi yang gamblang dan lantang dapat ditemui
dalam "Mereka Benci Aku Banci" karya D. Jayadikarta, yang mengi­
sahkan seorang waria bernama Krisna yang memperolok gender sebagai
"perkara selangkangan". Perjalanan kisah hidup Krisna terasa menyentil
orang-orang yang mengagungkan kesempumaan gender, baik femininitas
maupun maskulinitas. Krisna menunjukkan bagaimana eksistensi seorang
transgender merupakan wujud dari tubuh yang menginterupsi dikotomi
genderistik yang ada.
Cerpen lain yang memberi nuansa berbeda datang dari Rahmat
Hidayat berjudul "Dua Lelaki". Di sini hubungan homoseksualitas
ditampilkan dalam bentuk relasi kuasa yang tak kasat mata antara Si
Lelaki Berkulit Coklat dan Si Lelaki Bermata Biru. Penyebutan tokoh
melalui aspek fisik seperti wama kulit dan mata ini sudah menyiratkan
perbedaan yang hendak ditampilkan; bahwa dua lelaki yang dikisahkan
berasal dari ras yang berbeda. Hal ini seolah dipertegas dengan narasi
yang secara eksplisit mengatakan bahwa mereka adalah "lelaki yang
berbeda," [150].
Kisah ini sebenarnya hanya menceritakan percakapan antara Si
Lelaki Berkulit Coklat (yang tengah merindukan tanah aimya) dan Si
Mata Biru pada suatu malam. Seiring berjalannya cerita muncul satu per
satu konflik yang terselubung dalam hubungan mereka. Ada perasaan
te1tekan setiap kali Si Lelaki Berkulit Coklat merasa Si Mata Biru men­
golok kesukaannya, dari idenya tentang Tuhan dan hujan sampai selera
makan mie instannya. Kisah ini menunjukkan bahwasanya hubungan
homoseksualitas pada dasamya sama dengan hubungan heteroseksualitas;
kompleks dan rumit.
Selain karya-karya yang boleh dikatakan telah memberi citra yang
baru terhadap homoseksualitas, sebagian besar karya yang ada dalam
antologi ini masih berkutat di seputar kehidupan seksual, rumah tangga
dan percintaan kalangan GLBT. Misalnya cerpen "Vino Tidak Datang"
karya Ve Handojo, "Aku lngin Kepastian", "Clarissa" karya Stefanny
Irawan, "Lari" oleh Nuage Kusuma, "Secangkir Kopi di Starbucks"
oleh Alberthine Endah dan "Sebuah Ruangan Berdinding Abu-Abu"
oleh Dalih Sembiring.

410

SUSASTRA

Dalam hal pencitraan, minimnya eksplorasi ini berakibat pada ter­
jebaknya sebuah karya dalam citra baku terhadap bomoseksualitas itu
sendiri. Yang paling terasa adalah masih banyaknya penggambaran homo­
seksualitas sebagai bentuk trauma psikis, masa kecil, atau disharmoni ke­
luarga. Contohnya antara lain cerpen "Mercusuar" oleh Linda Christanty
yang bercerita tentang seorang gadis keturunan Cina bemama Hana yang
menjadi lesbian karena kejadian traumatis yang menimpanya saat terjadi
kerusuhan Meil. Cerita pun berkutat di seputar kehidupan seksual Hana
dengan pasangannya, Catwoman yang menggenggam cambuk, berbikini
hitam dan memborgol tubuhnya [53-54). Homoseksualitas dan trauma
masa kecil menjadi tema dalam "Anak Yang Ber-Rahasia" karya Ucu
Agustin yang mengisahkan seorang anak bemama Massimo yang menjadi
seorang gay karena pernah disodomi oleh ayahnya sendiri. Sementara
itu, cerpen "Lolongan di Balik Dinding" karya Djenar Maesa Ayu, yang
sudah tak asing lagi kiprahnya di khasanah literer kita, menyoroti ho­
moseksualitas dan kaitannya dengan disharmoni keluarga, begitu pula
dengan cerpen "Taman Trembesi" karya ls Mujiarso. Walaupun tidak
dipaparkan secara gamblang, ada kecenderungan untuk menampilkan
ketiadaan figur bapak (the absence of the father) sebagai latar dari motif
seseorang menjadi gay atau transgender.
Hal penting yang menjadi catatan untuk antologi ini adalah adanya
bias-bias heteronormativitas dalam beberapa karya. Mohammad A.
Yasir (2004) dalam bukunya berjudul Dekonstruksi Seksualitas Posko­
lonial menjelaskan bahwa heteronormativitas adalah ideologi yang
mengedepankan bentuk hubungan laki-laki dan perempuan, kesejatian
kelamin serta pentingnya prokreasi tubuh sebagai patokan norma(l) yang
secara bersamaan menyingkirkan bentuk hubungan yang lain seperti
GLBT [Yasir, 2004]. ldeologi ini merupakan perpanjangan dari konsep
gender, yakni kontruksi sosial-budaya mengenai konsep menjadi' lelaki'
dan 'perempuan' yang' ideal'. Pembedaan ini diterapkan lewat sosialisasi
gender untuk menentukan maskulinitas bagi laki-laki (gagah, rasional,
dan kuat) dan feminitas bagi perempuan (lembut, emosional, dan lemah).
Masyarakat kita sebagai penganut ideologi tersebut memberi garis deTragedi bulan Mei di sini merujuk pada Kerusuhan Mei 1998 paska Tragedi penem­
bakan empat mahasiswa Trisakti dalam upaya pendudukan gedung MPR/DPR masa
rezim Soeharto. Saat itu terjadi penjarahan besar-bcsaran, penganiayaan, hingga
pemerkosaan terhadap etnis Cina.

HERLIN PUTRI

411

markasi yang tajam antara maskulin dengan feminin sehingga mereka
yang menyeberang akan dianggap sebagai anomali.
ldeologi ini sudah tersosialisasi dengan baik sehingga sulit untuk
diruntuhkan bahkan dalam hubungan homoseksual. Masih sering sekali
terdengar kelakar seseorang, "siapa yang jadi perempuan?" atau "siapa
yang jadi laki-lak.i" manakala menanggapi pasangan sesama jenis. Opini
ini secara implisit mencerminkan sebuab pandangan yang masih mem­
bawa bias heteronormativitas yang secara tidak langsung mengesankan
bahwa dalam suatu hubungan harus ada yang menjadi 'perempuan'dan
ada yang menjadi 'laki-\aki', 'feminin'dan 'maskulin'.
Dikotomi ini bertebaran dalam "Taman Trembesi" yang mengisahkao
hubungan kasih antara Reno (narator) dan Danang yang harus berpisah
ketika mereka telah dewasa karena Danang merasa bersalah menjadi
gay. Hal ini secara eksplisit terlihat dari penggambaran tokoh Reno dan
tokoh Danang kekasihnya [ 14-15).
Reno><
lembut
kecil
putih

Oanang
gagah
besar
coklat

Dari pembedaan yang diberikan dalam penggambaran kedua tokoh
di atas, terlihat bahwa di sini tengab berlaku dikotomi yang genderistik.
Kata sifat "lembut", "manja"dan "kecil"merujuk pada sifat-sifat femi­
n in pada perempuan yang sering diidentikkan dengan sifat pasif, halus,
dan bentuk kecil yang dilawankan dengan "gagah" , "bergairah," dan
"besar" yang identik dengan maskulinitas. Kulit Reno yang putih juga
menyiratkan kefemininitasan yang menandakan bahwa ia sering berada
di dalam rumah (domestik) , berbeda dengan Danang yang berkulit coklat
yang menunjukkan bahwa ia seorang yang sering berada di luar rumah
dan aktif. Semua penggambaran ini memperlihatkan bagaimana tokoh
Reno ditempatkan sebagai the feminine (pseudo woman) sementara
Danang sebagai the masculine. Dikotomi ini jelas mengandung bias
heteronormativitas yang menetapkan laki-laki dan perempuan (maskulin

SUSASTRA

412

dan feminin) sebagai bentuk hubungan yang normatif.
Dikotomi yang heterosentris ini dicoba diruntuhkan pada cerpen
"Menanti Pelangi" karya Andre Aksana yang mengusung ide egaliter
dalam hubungan homoseksual. Tidak ada macho-ngondek, top-bottom,
memasuki-dimasuki, maskulin-feminin. Cerpen ditutup dengan peng­
gambaran sang tokoh dan pasangannya yang sama-sama terlentang
dengan dua kaki yang mengangkang (221]. Namun sayangnya, pendo­
brakan ini sekali lagi berkutat diseputar kehidupan seksual sang tokoh
dan cenderung mengeksplorasi promiscuos sex1 yang seakan menjadi
gaya hidup kalangan gay sehingga pencitraan dan penulisan kembali
homoseksualitas tidak cukup berhasil hingga akhir cerita.

***
Kekurangan dalam hal kekompleksitasan pada sebagian besar karya
sangat disayangkan karena, masih banyak dimensi lain yang bisa digali
seperti budaya, sejarah, politik, ataupun hukum yang berhubungan den­
gan eksistensi mereka. Minimnya eksplorasi ini berakibat pada sempit­
nya representasi GLBT itu sendiri sehingga pembongkaran stereotipe
nampaknya akan masih menjadi perjuangan yang panjang.
Hal lain yang menjadi kekurangan dalam antologi ini adalah tidak
adanya pemilahan antara karya yang ditulis oleh penulis non-GLBT
dengan karya yang langsung ditulis dari tangan GLBT sendiri. Pemilahan
ini tentunya merupakan hal yang signifikan dalam melakukan pembacaan
dan melihat perbedaan bagaimana isu-isu GLBT terepresentasi. Apakah
isu yang sama akan digodok dan menghasilkan representasi yang berbeda
ataukah sama saja. Representasi ini erat dengan suara yang ingin disam­
paikan dan dengan sikap serta cara berpikir "only the native can speak
about the native" yang masih kental, tentunya hal ini masih menjadi hal
yang signifikan. Meskipun demikian, ketiadaan pemilahan ini adalah
sesuatu yang dapat dimafhumi mengingat masih adanya homophobia
akut di tengah masyarakat kita sendiri.
Terlepas dari dua kekurangan tersebut, hadirnya antologi ini di tengah
2

Berhubungan seks dengan berganti-ganti pa�angan dalam satu waktu.

HERLIN PUTRI

413

ruang-ruang fiksi kita secara bersamaan menegaskan bahwa eksistensi
kaurn GLBT tidak dapat dinafikan lagi. Mereka ada dan meojadi bagian
dari masyarakat. Pastilah masih terlalu pagi bagi antologi ini untuk
menginterupsi hegemoni heteronorrnativitas yang punitif dan represif di
tengah masyarakat kita yang belum mampu menerima kebhinekaan sek­
sualitas. Akan tetapi, antologi ini sebagai karya sastra tetaplah merupakan
sebuah wujud dari perjuangan kaurn GLBT sebagai kaum marginal untuk
menyuarakan eksistensi dan hak-hak mereka yang selama ini dibungkam,
yang tidak boleh hadir dalam tindak dan wicara.

C6'to

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

An Analysis of illocutionary acts in Sherlock Holmes movie

27 148 96

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

Teaching speaking through the role play (an experiment study at the second grade of MTS al-Sa'adah Pd. Aren)

6 122 55

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138