Membaca hukum and Kematian Makna Refleks

Membaca hukum & Kematian Makna (Refleksi atas Hermeneutika Hukum)
Yakub Adi Krisanto
Membaca hukum merupakan pekerjaan yang kompleks, melibatkan seluruh aspek kehidupan si
pembaca. Inilah menariknya membaca hukum, yang seolah hanya membaca namun sebenarnya
sedang mentransformasi pengalaman menyejarah manusia yang berkoeksistensi.Transformasi
pengalaman dalam membaca hukum menentukan arah dan kerangka berpikir menafsirkan teks
hukum. Pertama, karena kata selalu tidak bermakna tunggal. Kemajemukan makna adalah
kekayaan dari kata, selain memampukan kata tersebut ditempatkan pada konteks yang
dikehendaki penulis. Makna kata inilah yang memungkinkan interaksi antara penulis dengan
pembaca.
Interaksi antara penulis dan pembaca bisa melalui kata melahirkan penafsiran yang tidak hanya
didasarkan pada pembacaan si pembaca, melainkan rekontekstualisasi dari kata yang
dimaknakan. Kata yang ditorehkan adalah kontekstualisasi penulis, kemudian dibaca dan
melahirkan rekontekstualisasi yang didasarkan pada penafsiran pembaca. Kedua, penafsiran
bukan hanya pembacaan atas teks (kata), melainkan refleksi dari olah pikir sekaligus
mentransformasikan pengalaman pembaca dengan memasuki 'dunia' penulis dalam kata yang
dibaca.
Hukum yang bermuatan nilai terbungkus dalam kaedah (hukum) menjadi pengatur perilaku
individu. Membaca hukum berarti menggali nilai yang terkandung dalam bunyi pasal, mencari
makna dari teks (menafsirkan) dan menerapkan pada situasi tertentu (rekontekstualisasi). Ketiga
tindakan yang simultan dilakukan bersanding dengan transformasi pengalaman menyejarah

pembaca. Pengalaman menyejarah ini bukan yang utama dalam membaca hukum, namun
mempengaruhi pembacaan hukum. Persandingan inilah sebenarnya terjadi 'pertempuran intrinsik'
pembaca, sebelum kemudian melahirkan pemaknaan atas teks yang dibaca.
Pertempuran intrinsic ini berada diranah bawah sadar, mengalir sampai muncul di pikiran
bertemu dengan rasionalitas. Membaca hukum tidak sekedar berpikir, namun mempertemukan
pengalaman dan pengalaman inilah yang memngaruhi penafsiran sebuah teks. Sehingga pada
awalnya, membaca hukum adalah pertempuran nilai, yaitu nilai hukum yang ditetapkan dengan
nilai individu yang dianut. Pertemuan inilah yang melahirkan corak penafsiran yang bisa berbeda
satu dengan yang lainnya. Dengan tidak menutup kemungkinan, ketika nilai individu yang dianut
sama maka akan menghasilkan penafsiran yang sama pula.
Pertanyaannya adalah apakah nilai hukum bermakna tunggal? Ataukah nilai hukum bermakna
jamak dan ditentukan oleh referensi pribadi yang menafsirkan. Sehingga didalam membaca
hukum, memaknai nilai hukum menjadi penting bahkan pondasi bagi penafsiran atas kaidah
hukum. Apabila nilai hukum adalah keadilan maka arti nilai hukum adalah tunggal, namun arti
keadilan sendiri tidak tunggal. Ketidaktunggalan makna keadilan inilah yang memperkaya tafsir
atas nilai hukum itu sendiri, termasuk hasil penafsiran atas bunyi teks dalam pasal.

Kematian makna
Mungkinkah makna mengalami kematian ketika teks selalu dibaca dan ditafsirkan? Makna akan
mengalami titik ajalnya apabila membaca teks tidak melahirkan pemaknaan baru atau

rekontekstualisasi dari makna awal saat teks tersebut dituliskan. Kematian makna didahului
dengan kemandegkan tafsir. Tafsir teks yang 'jalan ditempat' akan mengerdilkan teks itu, karena
makna yang ajeg. Padahal situasi yang menjadi konteks dari makna tersebut mengalami
perubahan (atau perkembangan).
Masyarakat mengalami perubahan. Jadi ketika membaca hukum tidak menghasilkan penafsiran
makna yang sesuai dengan perubahan masyarakat maka teks akan mengalami kematian makna.
Kematian makna atas teks hukum akhirnya akan menggiring pada kematian hukum itu sendiri.
Dengan asumsi diatas bahwa membaca hukum adalah interaksi maka ketika makna yang
dihasilkan ajeg maka sudah tidak terjadi interaksi lagi antara hukum dan masyarakat melalui
pembacanya (pengemban hukum).
Dalam situasi demikian hukum mengalami alienasi. Keterasingan hukum dari masyarakat,
sekaligus kegagalan pembaca melakukan rekontekstualisasi teks. Hukum yang terasing dari
masyarakatnya akan menjadi hukum yang menjadi penghukum semata, tidak berhasil menjadi
inspirator perubahan yang menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum yang terasing
akan 'mimpes' atau menyusut baik dari sisi maknanya maupun keberlakuannya. Inilah kematian
hukum. Ketika hukum sudah tidak lagi bisa dimaknakan dan keberlakuannya hanya sekedar
menjadi penghukum dari perilaku masyarakatnya, hukum menjadi arogan dan otoriter.
Hukum yang demikian harus dijungkalkan. Penjungkalan ini dilakukan dengan kembali
menginteraksikan hukum dengan kenyataan. Kalau tidak membuat hukum baru, maka
menghidupkan hukum dengan penafsiran yang memperkaya makna dari teks. Apabila dilakukan

maka akan disematkan tindakan demikian sebagai langkah revolusi, padahal tindakan tersebut
bukan langkah revolusi hanya menafaskan teks dengan makna yang responsive dan progresif. Ini
bukan langkah revolusi, hanya mengembalikan hukum kepada kedinamisannya. Yaitu membaca
hukum dengan melibatkan interaksinya dengan situasi dimana hukum akan diterapkan. Dalam
hal ini pengemban hukum harus memiliki kekayaan pengalaman menyejarah.
Pengalaman menyejarah dapat membantu membaca hukum. Membaca yang tidak sekedar
mengeja, melainkan memberi makna kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat. Membaca
hukum adalah membaca masyarakat dengan menggali (kembali) dan mempertemukan antara
nilai hukum dengan nilai-nilai yang masih dianut oleh masyarakat. Hukum ada untuk mengatur
masyarakat, sehingga pembacaan hukum adalah membaca melalui kacamata masyarakat
berdasarkan pengalaman (hidup) pembaca. Dalam kerangka demikian, dimungkinkan membaca
hukum dengan empati. Membaca dengan rasa. Membaca dengan melibatkan seluruh pengalaman
menyejarah dapat menghidupkan hukum dan mendekatkan pada nilai keadilan.