Telaah Makna Hukum Putusan MK yang Bersi
TELAAH MAKNA HUKUM PUTUSAN MK YANG BERSIFAT FINAL1
Oleh: Muhammad Bahrul Ulum2
MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang lahir setelah
perubahan
UUD
1945
untuk
merespon
perkembangan
sistem
ketatanegaraan Indonesia, baik dari sisi pembangunan hukum maupun
perkembangan
konsekuensi
demokrasi
logis
pengawalan
parlemen
konstitusi
(supemacy of
(constitutional
the
Pembentukan
MK
merupakan
konstitusi
atas
pergeseran
democracy)
yang
menjunjung
(parliamentary
demokrasi
konstitusional
Indonesia.
konsep
democracy) menuju demokrasi
constitution).3
Atas
dasar
tinggi
tersebut,
pelaksanaan demokrasi dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi.4
Asshiddiqie mengemukakan bahwa MK merupakan badan peradilan
ketatanegaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945.5 MK tidak
hanya merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution), tetapi juga merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi
(the last interpreter of the constitution) dan lembaga pelindung hak
1
2
3
4
5
Makalah disampaikan pada diskusi rutin Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H)
Fakultas Hukum Universitas Jember pada tanggal 8 Maret 2011.
Direktur Eksekutif 2009/2010 dan Manajer Bidang Penelitian 2010/2011 FK2H Fakultas
Hukum Universitas Jember.
Dalam prinsip demokrasi parlemen, produk hukum undang-undang dihasilkan oleh
parlemen tidak dapat diganggu gugat karena parlemen merupakan representasi dan
kedaulatan rakyat. Sedangkan dalam prinsip demokrasi konstitusional bahwa
penyelenggaraan demokrasi harus didasrkan pada konstitusi sebagai wujud perjanjian
sosial tertinggi sehingga ketika adanya produk hukum yang bertentangan dengan
konstitusi, maka dapat dibatalkan atas nama supremasi konstitusi. Lihat dan
bandingkan dengan Zainal Arifin Hoesein. Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm.
52-53.
Dalam pandangan ini, MK merupakan lembaga pengawal konstitusi dan demokrasi
(the guardian of the constitution and democracy), lembaga penafsir akhir konstitusi
(the lst interpreter of the constitution) dan lembaga pelindung hak konstitusional
warga negara (the protector of the citizens rights) .
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006, hlm. 333.
konstitusioal warga negara (the protector of constitutional rights of
citizens).6
Keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip konstitusi yang
menurut Hans Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus
guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah. Pandangan
tersebut merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi (supremacy of the consitution). Supremasi
konstitusi menghendaki setiap aturan hukum tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi dan mengikat terhadap tindakan negara sehingga tidak
ada satu pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan
konstitusi.7
MK dalam melaksanakan fungsinya memiliki empat kewenangan
dan satu kewajiban. Kewenangan tersebut dalam mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.8
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD
1945 (constitutional review) didasarkan pada paham supremasi konstitusi
yang kemudian diintrodusir dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sehingga
6
7
8
Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, ...lembaga negara yang berfungsi menangani perkara-perkara di bidang
ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi .
M. Ali Safa at, et.al. Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah Diskursus tentang Pemilu,
Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi, (Malang, In Trans Publishing: 2010), hlm.
27-28.
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
menempatkan konstitusi sebagai the supreme law of the land.9
Constitutional
undangan
review
terhadap
merupakan
konstitusi
pengujian
mengenai
peraturan
apakah
perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi.
suatu
perundangperaturan
Secara konseptual, ruang lingkup constitutional review terdiri atas
pengujian konstitusionalitas norma dan pengujian konstitusionalitas
tindakan. Mengenai pengujian konstitusionalitas norma yaitu segala
peraturan
perundang-undangan.
keputusan
pejabat
Sedangkan
mengenai
pengujian
konstitusionalitas tindakan adalah tindakan pejabat negara, seperti
negara.
Pengajuan
dilakukan ketika ada warga negara
konstitusionalitas
tersebut
yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi sehingga kemudian
diajukan kepada MK untuk diperiksa, diadili, dan diputus secara adil yang
berdasarkan pada konstitusi.10 Dalam hal ini, ruang lingkup constitutonal
review secara substansi berkaitan erat dengan pengaduan konsitusional
(constitutional complaint).11
MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara berfungsi
sebagai lembaga penafsir akhir konstitusi yang memberikan tafsir atas
UUD 1945 melalui putusan yang diajukan kepada MK. Tafsir konstitusi
tersebut dimuat dalam raison d etre (pertimbangan hukum) putusan MK.
9
10
11
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Lihat dan bandingkan dengan I Dewa
Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State , Jakarta:
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 49.
Bandingkan juga dengan Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang Demokratis,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 533.
Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 99.
Namun demikian, constitutional review yang dilekatkan sebagai kewenangan MK di
Indonesia hanya terkait pengujian undang-undang, sehingga peraturan perundangundangan di bawah undang-undang tidak dapat diuji oleh MK, karena Pasal 24A ayat
(2) UUD 1945, MA yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang yang diujikan terhadap undang-undang (bukan UUD 1945).
Begitu pula mengenai konstitusionalitas keputusan pejabat negara juga tidak dapat
diujikan kepada MK.
Implikasi dari tafsir hukum MK tersebut, sering menimbulkan perubahan
konstitusi.12
Makna Hukum Putusan MK Bersifat Final
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan
terletak pada kekuatan mengikatnya. Setiap putusan yang dijatuhkan MK
bersifat erga omnes, yaitu putusan MK tidak hanya mengikat pada para
pihak yang berperkara yang dirugikan hak konstitusionalnya (pihak
pemohon), namun juga mengikat dan harus ditaati setiap warga negara di
wilayah Indonesia. Asas ini tercermin dari ketentuan UU MK yang
menyatakan bahwa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan
tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali
peraturan perundang-undangan mengatur lain.13 Hal demikian berbeda
dengan putusan MA bersifat inter partes yang hanya mengikat para pihak
bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum.14
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan putusan MK bersifat final
sehingga berkaitan erat dengan kekuatan hukum mengikat. Hal ini secara
harfiah putusan MK yang bersifat final dan mengikat memiliki makna
hukum masing-masing. Frase final dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai terakhir dari rangkaian pemeriksaan, sedangkan frase
mengikat diartikan sebagai mengeratkan dan menyatukan.15
Perlu dicermati bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum
mengikat belum tentu bersifat final. Sedangkan putusan yang bersifat final
telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum dapat
12
13
14
15
Salah satu upaya untuk mengubah konstitusi dapat dilakukan melalui penafsiran oleh
hakim. Hardjono. Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian Terhadap Perubahan UUD
1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 48.
Bambang Sutiyoso. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 46.
Arsyad Sanusi dalam Majalah Konstitusi. Putusan MK Bersifat Erga Omnes, Majalah
Konstitusi, Nomor 32. (Jakarta: Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2009), hlm. 54.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai
Pustaka, 2001, hlm. 317.
dipastikan telah mempunyai daya hukum yang mengikat (inkracht van
gewijdse). Misalnya, mengenai perkara pidana yang telah dijatuhkan
sebuah putusan pada tingkat pertama di pengadilan negeri yang telah
lebih dari jangka waktu 14 hari atau tidak dilakukannya upaya hukum
banding oleh terpidana, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum
mengikat. Namun, putusan tersebut tidak bersifat final karena ketika pada
suatu hari ditemukan bukti baru (novum) yang menyatakan orang yang
bersangkutan (terpidana) tidak terlibat dalam tindak pidana, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan
pengadilan tingkat pertama tersebut kepada MA. PK tersebut diajukan
agar hakim mengoreksi putusan yang telah dijatuhkan pada tingkat
pertama agar dijatuhkan putusan bahwa terpidana tersebut tidak
bersalah.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
juncto Pasal 10 ayat (1) UU MK, maka frasa ...putusannya bersifat final
dan mengikat tidak dapat dilepaskan dari frasa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir... . 16 Apabila kita
cermati, maka dapat ditafsirkan MK berwenang mengadili perkara pada
dua tingkat, yaitu tingkat pertama dan terakhir. Artinya, MK sebagai
sebuah institusi peradilan memiliki kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang dilakukan secara berjenjang melalui
dua ruang, yaitu pada tingkat pertama dan tingkat terakhir.
Frase
...putusannya bersifat final
merupakan penegasan dari
frase ...terakhir... . Sedangkan frase ...pada tingkat pertama... tidak
adanya ketentuan putusan MK yang bersifat mengikat. Artinya, putusan
MK yang bersifat final adalah putusan yang dijatuhkan pada tingkat
terakhir, sedangkan putusan MK yang dijatuhkan pada tingkat pertama
16
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undnag-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum .
tidak adanya ketentuan bersifat final. Atas dasar tersebut, putusan MK
sangat dimungkinkan dapat diajukan kembali kepada MK untuk dilakukan
uji konstitusionalitasnya, mengingat dalam beberapa hal justru putusan
MK perlu dilakukan perbaikan sehingga dapat menghindarkan bentuk
pelanggaran HAM.
Penulis melihat bahwa selama ini adanya ketidaktepatan dalam
menafsirkan ketentuan mengenai putusan MK yang bersifat final sehingga
mengakibatkan anggapan putusan MK memperoleh kekuatan hukum final
dan mengikat setelah diucapkan pada persidangan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh lagi sehingga putusan MK tidak dapat
diajukan penninjauan kembali untuk diuji (reconstitutional review).17
Jika harus menentukan putusan MK bersifat final dan tidak dapat
diuji, maka rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seharusnya berbunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili dan putusannya bersifat
final... dengan menghapus frasa pada tingkat pertama dan terakhir dan
redaksinya berbunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili dan
putusannya bersifat final untuk menguji... . Hal demikian dilakukan agar
tidak menimbulkan norma hukum yang kabur (obscuur) sehingga selama
ini antara rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbeda dengan
pelaksanaan hukumnya.
17
Mencermati makna hukum dan menafsirkan rumusan hukum merupakan hal yang
penting dilakukan demi arah konsistensi hukum sebagai sebuah sistem. Dalam
pandangan Aulis Aarnio, tugas dogmatik hukum adalah menginterpretasikan dan
sistematisasi norma-noma hukum (the tasks of legal dogmatic are interpretation and
systematization of legal norms). Menurutnya, dua kebutuhan pokok dalam penafsiran
hukum adalah rasionalitas dan akseptabilitas. Sistematisasi bermaksud melakukan
reformulasi norma-norma hukum dalam pengungkapan abstrak dalam hubungannya
terhadap konsep-konsep dasar. Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006,
hlm. 305. Hal demikian merupakan sebuah wujud terobosan hukum tengan tipe
responsif, lihat dan bandingkan dengan Nonet dan Selznick mengenai ciri khas hukum
resposif adalah mencari nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan atau
kebijakan. Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Terjemahan dari Law
and Society in Transition: Towards Responsive Law Alih bahasa: Raisul Muttaqien,
Bandung: Nusamedia, 2008, hlm. 90.
Oleh: Muhammad Bahrul Ulum2
MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang lahir setelah
perubahan
UUD
1945
untuk
merespon
perkembangan
sistem
ketatanegaraan Indonesia, baik dari sisi pembangunan hukum maupun
perkembangan
konsekuensi
demokrasi
logis
pengawalan
parlemen
konstitusi
(supemacy of
(constitutional
the
Pembentukan
MK
merupakan
konstitusi
atas
pergeseran
democracy)
yang
menjunjung
(parliamentary
demokrasi
konstitusional
Indonesia.
konsep
democracy) menuju demokrasi
constitution).3
Atas
dasar
tinggi
tersebut,
pelaksanaan demokrasi dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi.4
Asshiddiqie mengemukakan bahwa MK merupakan badan peradilan
ketatanegaraan sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945.5 MK tidak
hanya merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution), tetapi juga merupakan lembaga penafsir akhir konstitusi
(the last interpreter of the constitution) dan lembaga pelindung hak
1
2
3
4
5
Makalah disampaikan pada diskusi rutin Forum Kajian Keilmuan Hukum (FK2H)
Fakultas Hukum Universitas Jember pada tanggal 8 Maret 2011.
Direktur Eksekutif 2009/2010 dan Manajer Bidang Penelitian 2010/2011 FK2H Fakultas
Hukum Universitas Jember.
Dalam prinsip demokrasi parlemen, produk hukum undang-undang dihasilkan oleh
parlemen tidak dapat diganggu gugat karena parlemen merupakan representasi dan
kedaulatan rakyat. Sedangkan dalam prinsip demokrasi konstitusional bahwa
penyelenggaraan demokrasi harus didasrkan pada konstitusi sebagai wujud perjanjian
sosial tertinggi sehingga ketika adanya produk hukum yang bertentangan dengan
konstitusi, maka dapat dibatalkan atas nama supremasi konstitusi. Lihat dan
bandingkan dengan Zainal Arifin Hoesein. Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm.
52-53.
Dalam pandangan ini, MK merupakan lembaga pengawal konstitusi dan demokrasi
(the guardian of the constitution and democracy), lembaga penafsir akhir konstitusi
(the lst interpreter of the constitution) dan lembaga pelindung hak konstitusional
warga negara (the protector of the citizens rights) .
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Jakarta, Setjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: 2006, hlm. 333.
konstitusioal warga negara (the protector of constitutional rights of
citizens).6
Keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip konstitusi yang
menurut Hans Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus
guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah. Pandangan
tersebut merupakan konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi (supremacy of the consitution). Supremasi
konstitusi menghendaki setiap aturan hukum tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi dan mengikat terhadap tindakan negara sehingga tidak
ada satu pun tindakan negara yang boleh bertentangan dengan
konstitusi.7
MK dalam melaksanakan fungsinya memiliki empat kewenangan
dan satu kewajiban. Kewenangan tersebut dalam mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar.8
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD
1945 (constitutional review) didasarkan pada paham supremasi konstitusi
yang kemudian diintrodusir dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sehingga
6
7
8
Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, ...lembaga negara yang berfungsi menangani perkara-perkara di bidang
ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi .
M. Ali Safa at, et.al. Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah Diskursus tentang Pemilu,
Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi, (Malang, In Trans Publishing: 2010), hlm.
27-28.
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
menempatkan konstitusi sebagai the supreme law of the land.9
Constitutional
undangan
review
terhadap
merupakan
konstitusi
pengujian
mengenai
peraturan
apakah
perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi.
suatu
perundangperaturan
Secara konseptual, ruang lingkup constitutional review terdiri atas
pengujian konstitusionalitas norma dan pengujian konstitusionalitas
tindakan. Mengenai pengujian konstitusionalitas norma yaitu segala
peraturan
perundang-undangan.
keputusan
pejabat
Sedangkan
mengenai
pengujian
konstitusionalitas tindakan adalah tindakan pejabat negara, seperti
negara.
Pengajuan
dilakukan ketika ada warga negara
konstitusionalitas
tersebut
yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi sehingga kemudian
diajukan kepada MK untuk diperiksa, diadili, dan diputus secara adil yang
berdasarkan pada konstitusi.10 Dalam hal ini, ruang lingkup constitutonal
review secara substansi berkaitan erat dengan pengaduan konsitusional
(constitutional complaint).11
MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara berfungsi
sebagai lembaga penafsir akhir konstitusi yang memberikan tafsir atas
UUD 1945 melalui putusan yang diajukan kepada MK. Tafsir konstitusi
tersebut dimuat dalam raison d etre (pertimbangan hukum) putusan MK.
9
10
11
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Lihat dan bandingkan dengan I Dewa
Gede Palguna. Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State , Jakarta:
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 49.
Bandingkan juga dengan Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang Demokratis,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 533.
Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 99.
Namun demikian, constitutional review yang dilekatkan sebagai kewenangan MK di
Indonesia hanya terkait pengujian undang-undang, sehingga peraturan perundangundangan di bawah undang-undang tidak dapat diuji oleh MK, karena Pasal 24A ayat
(2) UUD 1945, MA yang berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang yang diujikan terhadap undang-undang (bukan UUD 1945).
Begitu pula mengenai konstitusionalitas keputusan pejabat negara juga tidak dapat
diujikan kepada MK.
Implikasi dari tafsir hukum MK tersebut, sering menimbulkan perubahan
konstitusi.12
Makna Hukum Putusan MK Bersifat Final
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan
terletak pada kekuatan mengikatnya. Setiap putusan yang dijatuhkan MK
bersifat erga omnes, yaitu putusan MK tidak hanya mengikat pada para
pihak yang berperkara yang dirugikan hak konstitusionalnya (pihak
pemohon), namun juga mengikat dan harus ditaati setiap warga negara di
wilayah Indonesia. Asas ini tercermin dari ketentuan UU MK yang
menyatakan bahwa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan
tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali
peraturan perundang-undangan mengatur lain.13 Hal demikian berbeda
dengan putusan MA bersifat inter partes yang hanya mengikat para pihak
bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum.14
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan putusan MK bersifat final
sehingga berkaitan erat dengan kekuatan hukum mengikat. Hal ini secara
harfiah putusan MK yang bersifat final dan mengikat memiliki makna
hukum masing-masing. Frase final dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai terakhir dari rangkaian pemeriksaan, sedangkan frase
mengikat diartikan sebagai mengeratkan dan menyatukan.15
Perlu dicermati bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum
mengikat belum tentu bersifat final. Sedangkan putusan yang bersifat final
telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum dapat
12
13
14
15
Salah satu upaya untuk mengubah konstitusi dapat dilakukan melalui penafsiran oleh
hakim. Hardjono. Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian Terhadap Perubahan UUD
1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 48.
Bambang Sutiyoso. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 46.
Arsyad Sanusi dalam Majalah Konstitusi. Putusan MK Bersifat Erga Omnes, Majalah
Konstitusi, Nomor 32. (Jakarta: Sekretaria Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2009), hlm. 54.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai
Pustaka, 2001, hlm. 317.
dipastikan telah mempunyai daya hukum yang mengikat (inkracht van
gewijdse). Misalnya, mengenai perkara pidana yang telah dijatuhkan
sebuah putusan pada tingkat pertama di pengadilan negeri yang telah
lebih dari jangka waktu 14 hari atau tidak dilakukannya upaya hukum
banding oleh terpidana, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum
mengikat. Namun, putusan tersebut tidak bersifat final karena ketika pada
suatu hari ditemukan bukti baru (novum) yang menyatakan orang yang
bersangkutan (terpidana) tidak terlibat dalam tindak pidana, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan
pengadilan tingkat pertama tersebut kepada MA. PK tersebut diajukan
agar hakim mengoreksi putusan yang telah dijatuhkan pada tingkat
pertama agar dijatuhkan putusan bahwa terpidana tersebut tidak
bersalah.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
juncto Pasal 10 ayat (1) UU MK, maka frasa ...putusannya bersifat final
dan mengikat tidak dapat dilepaskan dari frasa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir... . 16 Apabila kita
cermati, maka dapat ditafsirkan MK berwenang mengadili perkara pada
dua tingkat, yaitu tingkat pertama dan terakhir. Artinya, MK sebagai
sebuah institusi peradilan memiliki kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang dilakukan secara berjenjang melalui
dua ruang, yaitu pada tingkat pertama dan tingkat terakhir.
Frase
...putusannya bersifat final
merupakan penegasan dari
frase ...terakhir... . Sedangkan frase ...pada tingkat pertama... tidak
adanya ketentuan putusan MK yang bersifat mengikat. Artinya, putusan
MK yang bersifat final adalah putusan yang dijatuhkan pada tingkat
terakhir, sedangkan putusan MK yang dijatuhkan pada tingkat pertama
16
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undnag-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum .
tidak adanya ketentuan bersifat final. Atas dasar tersebut, putusan MK
sangat dimungkinkan dapat diajukan kembali kepada MK untuk dilakukan
uji konstitusionalitasnya, mengingat dalam beberapa hal justru putusan
MK perlu dilakukan perbaikan sehingga dapat menghindarkan bentuk
pelanggaran HAM.
Penulis melihat bahwa selama ini adanya ketidaktepatan dalam
menafsirkan ketentuan mengenai putusan MK yang bersifat final sehingga
mengakibatkan anggapan putusan MK memperoleh kekuatan hukum final
dan mengikat setelah diucapkan pada persidangan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh lagi sehingga putusan MK tidak dapat
diajukan penninjauan kembali untuk diuji (reconstitutional review).17
Jika harus menentukan putusan MK bersifat final dan tidak dapat
diuji, maka rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seharusnya berbunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili dan putusannya bersifat
final... dengan menghapus frasa pada tingkat pertama dan terakhir dan
redaksinya berbunyi,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili dan
putusannya bersifat final untuk menguji... . Hal demikian dilakukan agar
tidak menimbulkan norma hukum yang kabur (obscuur) sehingga selama
ini antara rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbeda dengan
pelaksanaan hukumnya.
17
Mencermati makna hukum dan menafsirkan rumusan hukum merupakan hal yang
penting dilakukan demi arah konsistensi hukum sebagai sebuah sistem. Dalam
pandangan Aulis Aarnio, tugas dogmatik hukum adalah menginterpretasikan dan
sistematisasi norma-noma hukum (the tasks of legal dogmatic are interpretation and
systematization of legal norms). Menurutnya, dua kebutuhan pokok dalam penafsiran
hukum adalah rasionalitas dan akseptabilitas. Sistematisasi bermaksud melakukan
reformulasi norma-norma hukum dalam pengungkapan abstrak dalam hubungannya
terhadap konsep-konsep dasar. Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006,
hlm. 305. Hal demikian merupakan sebuah wujud terobosan hukum tengan tipe
responsif, lihat dan bandingkan dengan Nonet dan Selznick mengenai ciri khas hukum
resposif adalah mencari nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan atau
kebijakan. Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Terjemahan dari Law
and Society in Transition: Towards Responsive Law Alih bahasa: Raisul Muttaqien,
Bandung: Nusamedia, 2008, hlm. 90.