Profesi Supervisor Klinis untuk Perbaika

Profesi Supervisor Klinis untuk Perbaikan Pembelajaran
oleh nufififi pada Juni 4, 2012

Supervisi Klinis
Seorang supervisor pembelajaran yang professional mampu melakukan pendekatan klinis dalam
pelaksanaan tugasnya. Kajian dan diskusi mengenai supervisi klinis di bidang pendidikan makin
intensif akhir – akhir ini. Hal ini membersitkan kuatnya pengakuan atas status supervisor klinis
sebagai profesi atau setidaknya sub keahlian dari supervisor pembelajaran. Khusus Indonesia,
keharusan pengawas memenuhi angka kredit untuk naik jabatan fungsional tertentu
membuktikan pengakuan Negara atas profesi ini, meski sangat mungkin substantinya masih
layak diperdebatkan. Supervisi klinis untuk pembelajaran memang sangat kompleks. Karenanya,
masih perlu dicari mengenai teknik supervise yang paling cocok dalam rangka meningkatkan
kerja guru. Upaya untuk menemukan model atau teknik supervisi pembelajaran terbaik akan
terus dilakukan, meski sangat mungkin tidak akan benar – benar berhasil menemukannya.
Tingkat kemandirian guru sangat tinggi seringkali menyebabkan mereka tidak merasa perlu lagi
kehadiran supervisor. Sementara pengawas, yang karena tugas pokok dan fungsinya, merasa
memiliki otonomi untuk mensupervisi guru seperti apapun. Pengawas memandang aktivitas
mensupervisi guru adalah haknya dan keputusan bertindak ada pada sisinya sementara guru
tertentu sangat mungkin merasa tidak memerlukan lagi, karena dia sudah memposisikan diri
sebagai tenaga professional sungguhan. Lalu, muncullah apa yang disebut sebagai konflik
otonomi sebagai kewenangan dengan otonomi sebagai persepsi atas kemampuan. Meski sabgat

mungkin sesekali di antara mereka muncul dependensi kondisional, ketika ada masalah khusus
yang memerlukan pemecahan.
Pelaksanaan supervisi klinis untuk menigkatkan kemampuan professional guru dilakukan
melalui tahapan – tahapan :
a)
Praobservasi, yang berisi pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru
mengenai apa permasalahan yang dihadapi oleh guru atau apa yang akan diamati dan diperbaiki
dari pengajaran yang dilakukan.
b)
Observasi, yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan focus yang
telah disepakati.
c) Analisis permasalahan yang dilakukan secara bersama oleh supervisor dengan guru
terhadap hasil pengamatan.
d)

Perumusan langkah – langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan.

Perwujudan supervise klinis memang tidak terfokus pada pengembangan professional guru,
melainkan berkaitan juga dengan kesejahteraan, proteksi dan profesi, dan peningkatan hasil
belajar siswa. Karenanya, supervise klinis tidak hanya sekedar berkaitan dengan hubungan antara


supervisor dengan guru yang disupervisi, melainkan juga harus dipandang sebagai bagian dari
proses pendidikan secara keseluruhan.
1. Definisi Supervisi klinis.
Supervise klinis adalah bantuan professional kesejawatan oleh supervisor kepada guru yang
mengalami masalah dalam pembelajaran agar yang bersangkutan dapat mengatasi masalahnya
dengan menempuh langkah yang sistematis, dimulai dari tahap perencanaan, pengamatan guru
mangajar, analisis perilaku, dan tindak lanjut. Supervisi klinis adalah proses bantuan atau terapi
professional yang berfokus pada upaya perbaikan pembelajaran melalui proses siklikal yang
sistematis dimulai dari perencanaan, pengamatan dan analisis yang intensif terhadap penampilan
guru dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
Istilah klinis (clinical) mengandung maksud bahwa dalam pelaksanaan supervisi hubungan
berlangsung secara tatap muka (face to face) antara guru dengan supervisor dan difokuskan pada
perilaku actual guru di depan kelas. Kata klinis juga mengandung arti berkenaan dengan
penyakit, seorang supervisor dalam melaksanakan layanan supervisi klinis, ibarat seorang dokter
yang sedang mengobati pasiennya. Didahului dengan datangnya pasien, kemudian dokter
menanyakan keluhan apa saja yang dirasakan untuk mengetahui sebab-sebab dan jenis penyakit
yang diderita, kemudian setelah mendapatkan kepastian dari proses diagnosis baru dokter
memberikan obatnya. Hal yang terpenting dari analogi dengan pengobatan penyakit adalah
bahwa supervisi klinis menghendaki inisiatif datang dari guru, untuk penyembuhan suatu aspek

tertentu yang jelas, dan memang sangat dibutuhkan oleh guru itu sendiri.
2. Ciri – ciri Supervisi Klinis
Perilaku supervisi memandang masalah klien sebagai masalah belajar. Karenanya, hal itu
memerlukan dua keahlian. Pertama, identifikasi masalah. Kedua, menyeleksi teknik belajar yang
tepat (Leddick & Bernard, 1980). Guru yang disupervisi dapat berpartisipasi sebagai ko-terapis
untuk melakukan penguatan. Supervisi klinis termasuk bagian dari supervise pembelajaran.
Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaannya ditekankan kepada
mencari sebab – sebab atau kelemahan yang dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran
dan kemudian langsung di usahkan perbaikan atas kekurangan dan kelemahan tersebut.
Ciri – ciri pelaksanaan supervise klinis yang baik adalah sebagai berikut:
1. Bimbingan supervisor pengajaran kepada guru bersifat hubungan pembantuan, bukan
hubungan perintah atau intruksi.
2. Kesepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan
yang paling penting merupakan hasil diskusi bersama.
3. Instrumen supervise klinis dikembangkan dan disepakati bersama antara guru dan
supervisor.

4. Guru melakukan persiapan dengan mengidentifikasi aspek kelemahan – kelemahan yang
dipandang perlu diperbaiki.
5. Pelaksanaan supervise klinis selayaknya teknik observasi kelas.

6. Umpan balik atau balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif.
7. Guru hendaknya dapat menganalisis penampilannya.
8. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau
mengarahkan guru.
9. Supervisor dan guru berada atau menciptakan kondisi dalam keadaan atau suasana akrab
dan terbuka.
10. Supervisor dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan
keterampilan pembelajaran.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui dan dibedakan antara supervisi pengajaran dan supervisi
klinis. Supervisi pengajaran lebih menekankan pada pengawasan dari supervisor terhadap guruguru tentang pengelolaan pembelajaran yang dikelolanya. Sedangkan supervisi klinis lebih
menekankan pada inisiatif guru untuk menyampaikan problem-problem pengajaran yang
dihadapinya untuk disampaikan kepada supervisor, dan selanjutnya dicarikan solusi terbaiknya.
Persamaannya adalah bahwa baik dalam supervisi pengajaran maupun dalam supervisi klinis
dituntut adanya kooperasi atau kerja sama yang harmonis antara supervisor dengan guru itu
sendiri, guru tidak boleh masa bodoh.
3. Karakter Supervisi Klinis
1. Perbaikan proses pembelajaran mengharuskan guru mempelajari kemampuan intelektual
dan keterampilan teknis. Supervisor mendorong guru berperilaku berdasarkan
kemampuan intelektual dan keterampilan teknis yang dimilikinya.
2. Fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa kemampuan dan

keterampilan, seperti :


Kemampuan dan keterampilan menganalisis proses pembelajaran berdasarkan hasil
pengamatan.



Kemampuan dan keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama bahan
pembelajaran.



Kemampuan dan keterampilan dalam proses pembelajaran



Kemampuan dan keterampilan guru melakukan evaluasi dan tindak lanjut.

1. Berfokus pada :

2. Perbaikan mutu proses dan hasil pembelajaran
3. Perbaikan kinerja guru pada hal – hal spesifik yang masih memerlukan penyempurnaan
4. Upaya perbaikan didasari atas kesepakatan bersama dan pengalaman masa lampau.
5. Hubungan pembantuan antara supervisor dengan yang di supervisi mengedepankan
dimensi kolegalitas.
6. Tindakan supervisor menemukan kelemahan atau kekurangan guru semata – mata
diperuntukkan bagi upaya perbaikan, bukan untuk keperluan penilaian atas prestasi
individual guru.
4. Urgensi Supervisi Klinis
1. Menghindarkan guru dari jebakan oenurunan motivasi dan kinerja dalam melaksanakan
proses pembelajaran.
2. Menghindarkan guru dari upaya menutupi kelemahannya sendiri melalui cara – cara
dialog terbuka dengan supervisornya.
3. Menghindari ketiadaan respon dari supervisor atas praktik professional yang telah
memenuhi standar kompetensi dank ode etik atau yang masih di bawah standar.
4. Mendorong guru untuk selalu adaptif terhadap kemajuan Iptek dalam proses
pembelajaran.
5. Menjaga konsistensi guru agar tidak kehilangan identitas diri sebagai penyangang profesi
yang terhormat dan bermanfaat bagi kemajuan generasi.
6. Menjaga konsistensi perilaku guru, agar tidak masuk dalam jebakan kejenuhan

professional, bahkan meningkatkannya.
7. Mendorong guru untuk secara cermat dalam bekerja dan berinteraki dengan sejawat dan
siswa agar terhindar dari pelanggaran kode etik profesi guru.
8. Menghindarkan guru dari praktik – praktik melakukan atau mengulangi kekeliruan secara
masif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
9. Menghindarkan guru dari erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan
prajabatan selama studi di perguruaan tinggi.
10. Menghindarkan siswa dari praktik – praktik yang merugikan, karena tidak memperoleh
layanan yang memuaskan, baik secara akademik maupun non akademik.

11. Menjauhkan guru dari menurunnya apresiasi dan kepercayaan siswa, orangtua siswa,
masyarakat atas profesi yang mereka sandang.

5. Tujuan Supervisi Klinis

1. Menjaga konsistensi motivasi dan kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.
2. Mendorong keterbukaan guru kepada supervisor mengenai kelemahan – kelemahannya
sendiri dalam melaksanakan pembelajaran.
3. Menciptakan kondisi agar guru teris menjaga dan meningkatkan mutu praktik
professional sesuai dengan standar kompetensi dank ode etik yang telah ditetapkan dan

disepakati.
4. Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan
pembelajaran yang berkualitas, baik proses maupun hasilnya.
5. Menciptakan guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses
pembelajaran dengan jalan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,
wawasan umum, dan keterampilan khusus yang diperlukan dalam proses pembelajaran.
6. Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang ditemukan dalam
proses pembelajaran, baik di dalam maupun diluar kelas.
7. Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan masalah yang ditemukan
dalam proses pembelajaran, sehingga benar – benar memberikan nilai tambah bagi siswa
dan masyarakat.
8. Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif terhadap profesi dalam
mengembangkan diri secara berkelanjutan, baik secara individual maupun kelompok,
dengan cara yang dilembagakan atau atas insiatif sendiri.

6. Prinsip – prinsip Supervisi Klinis

1. Hubungan supervisor dengan guru didasari semangat kolegialitas yang taat asas.
2. Setiap kelemahan atau kesalahan guru semata – mata digunakan untuk tindakan
perbaikan, tanpa secdara eksplisit melabeli guru belum professional.


3. Menumbuhkembangkan posisi guru, mulai dari tidak professional sampai professional.
4. Hubungan antar supervisor dengan guru dulakukan secara objektif, transparan, dan
akuntabel.
5. Diskusi atau pengkajian atas umpan balik yang segera atau yang diketahui kemudian
bersifat demokratis dan didasarkan pada data hasil pengamatan.
6. Hubungan antar supervisor dengan guru bersifat interaktif, terbuka, obyektif, dan tidak
bersifat menyalahkan.
7. Pelaksanaan keputusan atau tindakan perbaikan ditetapkan atas kesepakatan atau kerelaan
bersama.
8. Supervisor tidak mempublikasikan kelemahan – kelemahan guru dan guru tidak
menjadikan kelemahan supervisor sebagai dalih untuk tidak menerima bimbingsn
professional darinya.
9. Focus utama dan pelengkap kegiatan supervise terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru
dan tetap berada di ruang lingkup tugas – tugas pembelajaran.
10. Prosedur pelaksanaan berupa siklus, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan atau
pengamatan, dan siklus balikan.

http://profesikependidikan.wordpress.com/2012/06/04/profesi-supervisor-klinis-untuk-perbaikanpembelajaran/


PENDIDIKAN GRATIS

Sabtu, 17 Oktober 2009
Supervisi Klinis untuk Perbaikan Pembelajaran
1. Apa supervisi klinis itu?
Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pembelajaran melalui siklus yang
sistematis mulai dari tahap perencanaan, pengamatan dan analisis yang intesif terhadap penampilan
pembelajarannya dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
2. Mengapa supervisi klinis diperlukan?
Beberapa alasan mengapa supervisi klinis diperlukan, diantaranya:
• Tidak ada balikan dari orang yang kompeten sejauhmana praktik profesional telah memenuhi standar

kompetensi dan kode etik
• Ketinggalan iptek dalam proses pembelajaran
• Kehilangan identitas profesi
• Kejenuhan profesional (bornout)
• Pelanggaran kode etik yang akut
• Mengulang kekeliruan secara masif
• Erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan prajabatan (PT)
• Siswa dirugikan, tidak mendapatkan layanan sebagaimana mestinya

• Rendahnya apresiasi dan kepercayaan masyarakat dan pemberi pekerjaan
3. Apa tujuan supervisi klinis?
Secara umum tujuan supervisi klinis untuk :
• Menciptakan kesadaran guru tentang tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan kualitas proses
pembelajaran.
• Membantu guru untuk senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
• Membantu guru untuk mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang muncul dalam proses
pembelajaran
• Membantu guru untuk dapat menemukan cara pemecahan maslah yang ditemukan dalam proses
pembelajaran
• Membantu guru untuk mengembangkan sikap positif dalam mengembangkan diri secara
berkelanjutan.
4. Apa karakteristik supervisi klinis?
Supervisi klinis memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Perbaikan dalam pembelajaran mengharuskan guru mempelajari keterampilan intelektual dan
bertingkah laku berdasarkan keterampilan tersebut.
• Fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa keterampilan, seperti: (1) keterampilan
menganalisis proses pembelajaran berdasarkan hasil pengamatan, (2) keterampilan mengembangkan
kurikulum, terutama bahan pembelajaran, (3) keterampilan dalam proses pembelajaran.
• Fokus supervisi klinis adalah: (1) perbaikan proses pembelajaran, (2) keterampilan penampilan
pembelajaran yang memiliki arti bagi keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran dan memungkinkan
untuk dilaksanakan, dan (3) didasarkan atas kesepakatan bersama dan pengalaman masa lampau.
5. Apa prinsip-prinsip dalam supervisi klinis?
Beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi pelaksanaan supervisi klinis, adalah:
• Hubungan antara supervisor dengan guru, kepala sekolah dengan guru, guru dengan mahasiswa PPL
adalah mitra kerja yang bersahabat dan pebuh tanggung jawab.
• Diskusi atau pengkajian balikan bersifat demokratis dan didasarkan pada data hasil pengamatan.
• Bersifat interaktif, terbuka, obyektif dan tiidak bersifat menyalahkan.
• Pelaksanaan keputusan ditetapkan atas kesepakatan bersama.
• Hasil tidak untuk disebarluaskan
• Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru, dan tetap berada di ruang lingkup
pembelajaran.
• Prosedur pelaksanaan berupa siklus, mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan (pengamatan)
dan tahap siklus balikan.
6. Bagaimana prosedur supervisi klinis?
Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang terdiri dari tiga tahap berikut :
• Tahap perencanaan awal. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: (1) menciptakan
suasana yang intim dan terbuka, (2) mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode,
waktu, media, evaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang terkait dengan pembelajaran, (3) menentukan
fokus obsevasi, (4) menentukan alat bantu (instrumen) observasi, dan (5) menentukan teknik

pelaksanaan obeservasi.
• Tahap pelaksanaan observasi. Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: (1)
harus luwes, (2) tidak mengganggu proses pembelajaran, (3) tidak bersifat menilai, (4) mencatat dan
merekam hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan (5)
menentukan teknik pelaksanaan observasi.
• Tahap akhir (diskusi balikan). Pada tahap ini beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: (1)
memberi penguatan; (2) mengulas kembali tujuan pembelajaran; (3) mengulas kembali hal-hal yang
telah disepakati bersama, (4) mengkaji data hasil pengamatan, (5) tidak bersifat menyalahkan, (6) data
hasil pengamatan tidak disebarluaskan, (7) penyimpulan, (8) hindari saran secara langsung, dan (9)
merumuskan kembali kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses perbaikan.
Sumber :
Iim Waliman, dkk. 2001. Supervisi Klinis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah). Bandung : Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Agus Taufiq. 2007. Supervisi Bimbingan dan Konseling (Bahan Pelatihan BK di Cikole). Bandung.
Teori-Teori Motivasi
Diterbitkan Februari 6, 2008 psikologi pendidikan
Tags: kurikulum, motivasi, pembelajaran, psikologi pendidikan
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat
persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri
individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang
ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang
motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti,
terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2)
frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam
mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat
aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk
(out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara
lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi);
(3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori
penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku;
dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93;
Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1.
Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa
manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological
needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam
arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang
(love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam
berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya
kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga
berubah menjadi kemampuan nyata.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer,
sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas
bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan
organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”.
Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang
dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi
berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga
yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan
kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan
terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian
pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam
penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena
pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara
simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin
menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan
sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan
datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan
kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam
mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah
memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada
kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement
(N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang
akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut
sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi,
atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat
mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai
standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan
pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum
yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2)
menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan
karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang
keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan hurufhuruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness
(kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual
terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena
“Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “
Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan
“Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer
menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak.
Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk
memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang
lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan
untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya
dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg.
Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor
motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang
sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor
hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar
diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang,
keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain.
Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam
organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem
administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan
tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat
intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan
antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila
seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua
kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai
pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi,
seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;

b. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif
sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan
kegiatan sejenis;
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan
hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di
bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas
di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi
organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam
penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masingmasing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c)
tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencanarencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori
yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari
yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah
kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan
tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan
sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh
hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai
daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para
pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat
untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman
menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi
cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif
motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan
berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula
oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar
diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa
manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan
dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya
konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik
dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada
kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu
terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan

keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin
bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari
atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan
dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi
perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap
memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara
tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masingmasing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan
menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model
tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model
tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri
sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi
kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat
pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi
lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Diposkan oleh Rudi di 05.29
http://karyatulisguru.blogspot.com/2009/10/supervisi-klinis-untuk-perbaikan.html

SUPERVISI KLINIS DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN
Juni 18, 2013 | lis270992

TUGAS VII PROFESI KEPENDIDIKAN
IMPLEMENTASI PENDEKATAN KLINIS DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN, DAN
TINDAK LANJUT YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan
Dosen Pengampu : Dra. Rini Budiharti, M.Pd.
Anantyas Kusuma Dewi (K2311006)
Dwi Waryanti (K2311023)
Friska Ambarwati (K2311029)
Lis Murtini (K2311044)
Ovika Dwi L. (K2311058)
Yuli Priyanti (K2311088)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
SUPERVISI KLINIS
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini permasalahan mutu pendidikan sering dipersoalkan berkaitan dengan tuntutan
peningkatan mutu sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa ini. Banyak orang
berpendapat bahwa mutu pendidikan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Sehingga
peningkatan mutu harus segera diupayakan mengingat pentingnya pengaruhnya tehadap
keberhasilan pembangunan bangsa khususnya di era kompetisi global.
Banyak tulisan yang memberi problem solving berkaitan dengan ini. Baik dilakukan oleh
individu sebagai praktisi dan ahli pendidikan maupun oleh institusi sebagai lembaga yang
menangani kegiatan kependidikan. Diantaranya perlu upaya pengembangan kurikulum sebagai
keseluruhan program pengalaman belajar, pengadaan buku-buku pelajaran beserta buku
pegangan guru, penambahan dan penataran guru, dan pembinaan perpustakaan sekolah sebagai
pusat atau sumber belajar.
Sampai sekarang sebagian besar dan mungkin semua problem solving di atas telah dilakukan.
Namun perbaikan mutu pendidikan belum juga dapat dirasakan hasilnya bahkan untuk
mengatakan tampak menuju ke perbaikan saja masih sulit untuk mengungkapkan indikatorindikatornya, kecuali indikator biaya untuk pengadaan buku, penataran guru dan lain-lain yang
jelas jumlah nominalnya yang telah dikeluarkan.
Peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana dikemukakan banyak ahli pendidikan secara teoritis
tidak mungkin tercapai tanpa ikut pula diperhatikan masalah performansi guru. Para guru
merupakan sumber daya manusia yang sangat menentukan keberhasilan program pendidikan
karena kedekatan hubungannya dengan anak didik dalam pelaksanaan pendidikan. Setiap hari di
sekolah guru berhubungan dengan anak didik untuk kegiatan belajar mengajar sehingga sangat
menentukan keberhasilan anak didik dalam belajar yang akhirnya juga menentukan pencapaian
tujuan pendidikan.
Berdasarkan hal itu maka upaya peningkatan mutu pendidikan harus memperhatikan peningkatan
performansi guru berkaitan dengan pembelajarannya yang dilakukan secara terus menerus dan
berkelanjutan. Salah satunya adalah melalui kegiatan supervisi pengajaran. Supervisi pengajaran
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam pembelajaran secara umum baik di kelas
maupun di luar kelas. Terdapat beberapa pendekatan dalam kegiatan supervisi pengajaran ini
misalnya pendekatan saintifik, pendekatan neo-saintifik, pendekatan artistik dan pendekatan
klinikal. Masing-masing pendekatan memiliki penekanan yang berbeda-beda terhadap salah satu
aspek dalam kegiatan supervisi pengajaran.
Pendekatan klinikal sebagai satu pendekatan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
pendekatan yang memfokuskan kegiatan supervisi pengajaran pada pengembangan kemampuan
mengajar guru di kelas. Atau dengan kata lain supervisi dengan pendekatan klinikal adalah
kegiatan supervisi yang membantu guru mengembangkan penampilannya di kelas. Bagaimana
konsep dan pendekatan ini dilakukan dalam supervisi akan menjadi cakupan bahasan tulisan ini.

B. PERMASALAHAN
Untuk meningkatkan mutu pendidikan dilakukan kegiatan supervisi kepada guru yang dianggap
paling menentukan atau menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan. Tetapi dalam kenyataan
seperti dinyatakan oleh Tim Khusus (2005) bahwa selama ini sistem supervisi yang berlaku
masih kurang mendukung usaha pembaharuan dan peningkatan mutu pendidikan yang
disebabkan banyaknya permasalahan.
Salah satu bentuk supervisi pendidikan adalah supervisi pengajaran yang dapat dilakukan dengan
pendekatan klinikal untuk meningkatkan mutu/profesionalitas guru. Ada berbagai faktor atau
permasalahan yang mendorong dikembangkannya supervisi klinik bagi para guru, antara lain
sebagai berikut:
1. Dalam kenyataan supervisi ialah mengadakan evaluasi guru-guru semata di akhir semester
dengan guru mengisi skala penilaian yang diisi anak didik mengenai cara mengajar guru. Tidak
dianalisis mengapa guru mencapai tingkat penampilan tertentu.
2. Pusat pelaksanaan supervisi adalah supervisor, bukan pada apa yang dibutuhkan guru seperti
keprofesionalan, sehingga guru merasa tidak memperoleh apa-apa dari supervisi.
3. Penggunaan merit rating (alat penilaian kemampuan guru) hanya mengukur tingkah laku guru
yang bersifat terlalu umum, aspek-aspek tingkah laku yang mendasar seperti perasaan mereka
(guru) tidak terdeskripsikan karena diagnosisnya tidak mendalam.
4. Umpan balik yang diperoleh dari hasil pendekatan yang ada, misalnya saintifik sifatnya
memberi arahan, petunjuk, instruksi, tidak menyentuh masalah manusia yang terdalam yang
dirasakan guru-guru, sehingga hanya bersifat di permukaan.
5. Tidak diciptakan hubungan identifikasi dan analisis diri, sehingga guru melihat konsep
dirinya.
6. Praktek-praktek supervisi yang tidak manusiawi di atas itu, menyebabkan kegagalan dalam
pemberian supervisi kepada guru-guru, dan karena itulah perlu supervisi klinik.
1. Pengertian Supervisi Klinis
Supervisi klinis berasal dari kata supervisi dan klinis. Supervisi diartikan sebagai suatu
bimbingan dan tuntunan kearah perbaikan dan penyempurnaan proses pembelajaran. Sedangkan
klinis dalam hal ini diartikan :
 Sebagai hubungan tatap muka antara supervisor dengan guru yang berfokus pada tingkah laku
yang sebenarnya dari guru yang mengajar di kelas, maksudnya adalah tingkah laku yang
sewajarnya, tidak dibuat buat.
 Sebagai kegiatan observasi dari dekat dan dilakukan secara cermat.
 Mendiskripsikan hasil/ data observasi secara detail.
 Sebagai hubungan yang kooperatif antara supervisor dan guru untuk bersama-sama
mencermati penampilan guru dalam mengajar.
 Mendorong guru melihat kekuranganya dalam mengajar dan menemukan cara unutk
mengatasinya.
Secara umum supervisi klinis diartikan sebagai bentuk bimbingan profesional yang diberikan
kepada guru berdasarkan kebutuhannnya melalui siklus yang sistematis. Siklus sistematis ini
meliputi: perencanaan, observasi yang cermat atas pelaksanaan dan pengkajian hasil observasi
dengan segera dan obyektif tentang penampilan mengajarnya yang nyata.
Jika dikaji berdasarkan istilah dalam “klinis”, mengandung makna: (1) Pengobatan (klinis) dan
(2) Siklus, yaitu serangkaian kegiatan yang merupakan daur ulang. Oleh karena itu makna yang
terkandung dalam istilah klinis merujuk pada unsur-unsur khusus, sebagai berikut:

 Adanya hubungan tatap muka antara pengawas dan guru didalam proses supervisi.
 Terfokus pada tingkah laku yang sebenarnya didalam kelas.
 Adanya observasi secara cermat.
 Deskripsi pada observasi secara rinci.
 Pengawas dan guru bersama-sama menilai penampilan guru.
 Fokus observasi sesuai dengan permintaan kebutuhan guru.
Nana Sudjana (2008:5) mendiskripsikan bahwa supervisi klinis sebagai bantuan profesional yang
diberikan kepada guru yang mengalami masalah dalam melaksanakan pembelajaran agar guru
tersebut dapat mengatasi masalah yang dialaminya berkaitan dengan proses pembelajaran.
Sedangkan menurut Cogan (1973), kegiatan pembinaan performansi guru dalam mengelola
proses belajar mengajar. Menurut Sergiovanni (1987) ada dua tujuan supervisi klinis:
pengembangan profesional dan motivasi kerja guru dan memperbaiki proses pembelajaran yang
kurang efektif. Menurut Keith Acheson dan Meredith Gall dalam bukunya jurang antara tingkah
laku mengajar nyata dengan tingkah laku mengajar ideal. Dengan demikian penulis dapat
mendeskripsikan makna supervisi klinis adalah bantuan profesional yang diberikan kepada guru
yang mengalami masalah dalam pe
http://lismurtini270992.wordpress.com/2013/06/18/supervisi-klinis-dalam-supervisi-pendidikan

Makalah Supervisi Klinis (Administrasi dan Supervisi)

A. Latar Belakang

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini. Kegiatan serupa yang
dahulu banyak dilakukan adalah Inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Dalam konteks
sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi merupakan bagian dari proses administrasi dan
manajemen. Kegiatan supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah sebagai fungsi
terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam mencapai tujuan. Dengan supervisi, akan
memberikan inspirasi untuk bersama-sama menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan jumlah lebih
banyak, waktu lebih cepat, cara lebih mudah, dan hasil yang lebih baik daripada jika dikerjakan sendiri.
Supervisi mempunyai peran mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi bersangkut
paut dengan semua upaya penelitian yang tertuju pada semua aspek yang merupakan factor penentu

keberhasilan. Dengan mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat diketahui
dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas organisasi yang bersangkutan. Salah
satu model supervisi yang dilakukan di sekolah adalah supervisi klinis
B.

Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah, yaitu:

1. Bagimana konsep supervisi dan supervisi Klinis?
2. Bagaimana karakteristik supervisi klinis?
3. Apa tujuan supervisi klinis?
4. Bagiamana teknik dan kriteria supervisi klinis

BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Supervisi dan Supervisi Klinis
Dalam konsep kuno supervisi disamakan dengan inspeksi dalam artian mencari kesalahan.
Sedangkan dalam konsep modern supervisi adalah usaha untuk memperbaiki situasi belajar mengajar
sebagai bantuan bagi guru untuk membantu siswa agar lebih baik dalam belajar. Namun kenyataannya di
masyarakat, masih banyak orang beranggapan bahwa supervisi pendidikan masih identik dengan
pengawasan yang bersifat inspeksi. Akibatnya tingkah laku seperti rasa kaku, ketakutan pada atasan,
tidak berani berinisiatif , bersikap menunggu instruksi, dan birokratis lainnya bagi para guru.
Sesungguhnya konsep supervisi pada awalnya adalah adanya kebutuhan sesuatu dalam
landasan pengajaran dengan cara membimbing guru, memilih metode mengajar, dan mempersiapkan
guru untuk mampu melaksanakan tugasnya dengan kreatifitas yang tinggi.
Secara umum supervisi berarti upaya bantuan kepada guru agar guru dapat membantu para
siswa belajar untuk menjadi lebih baik. Supervisi merupakan gabungan dari kata super yang berarti luar
biasa, istimewa, atau lebih dari yang lain, sedangkan visi artinya kemampuan untuk melihat persoalan
jauh ke depan, dengan demikian supervisi adalah suatu pandangan yang luar biasa yang melihat
permasalahan jauh melampaui batas waktu sekarang sampai yang akan datang.[1]
Supervisi sebagai aktivitas yang dirancang untuk memperbaiki pengajaran pada semua jenjang
persekolahan, berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan anak supervisi juga merupakan
bantuan dalam perkembangan dari belajar mengajar dengan baik ( Kimbal Willes, 1983), dari sudut
manjerial supervisi adalah usaha menstimulir, mengkoordinasi, dan membimbing guru secara terus
menerus baik individu maupun kolektif agar memahami secara efektif pelaksanaan aktivitas mengajar
dalam rangka pertumbuhan murid secara Kontinyu ( Boardman dalam Syaiful Sagala). Kemudian

supervisi pendidikan menkoordinasi, menstimulir, dan mengarahkan perkembangan guru ( Brigs dalam
Syaiful Sagala).[2]
Dengan demikian supervisi diberikan kepada guru untuk mendukung keberhasilan belajar siswa,
meskipun supervisi sering diterjemahkan sebagai pengawasan namun memiliki arti khusus yaitu
“membantu” dan turut serta dalam usaha-usaha perbaikan dan meningkatkan mutu. Kimbal Wiles
dalam Saiful Sagala menegaskan bahwa supervisi berusaha untuk memperbaiki situasi-situasi belajar
mengajar, menumbuhkan kreatifitas guru, memberi dukungan dan mengikutsertakan guru dalam
kegiatan sekolah, sehingga menumbuhkan rasa memiliki bagi guru. Burton mengemukakan bahwa
supervisi sebagai usaha bersama untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan belajar siswa.[3]
Sejak tahun 1980-an di Indonesia diperkenalkan istilah supervisi klinis atau sering disebut
supervisi pengajaran.[4] Cogan mengemukakan bahwa supervisi klinis adalah upaya yang dirancang
secara rasional dan praktis untuk memperbaiki performansi guru di kelas, dengan tujuan untuk
mengembangkan profesional guru dan perbaikan pengajaran. Unsur penting supervisi klinis mencakup
penciptaan iklim supervisi umum yang sehat, sistem supervisi khusus yang saling mendukung disebut
“kesejawatan” dan siklus supervisi ini mencakup pertemuan, observasi guru selama bekerja dan analisis
pola
Menurut Snyder dan Anderson supervisi klinis dapat diartikan sebagai suatu teknologi perbaikan
pengajaran, tujuan yang dicapai dan memadukan kebutuhan sekolah dan pertumbuhan personal.
Supervisi klinis merupakan suatu model supervisi untuk menyelesaikan masalah tertentu yang sudah
diketahui. Supervisi klinis merupakan sistem bantuan dari dalam kelas yang dirancang untuk
memberikan bantuan langsung kepada guru. Dengan supervisi klinis diharapkan jurang yang tajam
antara “perilaku nyata” dan “perilaku ideal” para guru dapat diperkecil terutama dalam rangka
peningkatan kulaitas dan kemampuan para guru memecahkan berbagai persoalan, karena seringkali para

guru menghadapi inovasi-inovasi pendidikan. Supervisi klinis adal suatu proses bimbingan bertujuan
membantu pengembangan profesional guru/calon guru, dalam penampilan mengajar berdasarkan
observasi dan analisis data secara teliti dan objjektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku
tersebut.
Dalam prakteknya supervisi klinis mempersyaratkan hubungan intens antara supervisor dan guru
ketimbang yang terjadi pada evaluasi tradisional. Supervisi klinis sebagai intervensi yang direncanakan
dalam dunia tiruan, karenanya tidak hanya memperhatikan perilaku guru dan anteseden perilaku ini juga
berkaitan dengan ketidak utuhan dengan asumsi, kepercayaan, tujuan dan perilaku guru. Supervisor
dalam praktek supervisi klinis dapat dilakukan oleh sejawat guru atau kepala sekolah atas dasar
kesepakatan bersama baik yang berkaitan dengan teknik pengajaran maupun hal lainnya. Oleh karena itu
inti dari supervisi klinis adalah perbaikan pengajaran dengan hubungan yang intens berlanjut dan
matang antara supervisor dan guru searah dengan perbaikan praktek profesional guru yang dapat
menjamin kualitas pelayanan belajar secara berkelanjutan dan konsisten.
B. Karakteristik Supervisi Klinis
Untuk memandu pelaksanaan supervisi klinis bagi supervisor dan guru diperlukan karakteristik
agar arah yang ditempuh sejalan dengan rencana program yang dtentukan sebelumnya, adapun
karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1.
2.

3.
4.
5.

Perbaikan dalam mengajar mengharuskan guru mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah
laku yang spesifik.
Fungsi utama supervisor adalah mengajarkan berbagai keterampilan kepada guru atau calon guru yaitu
(a) keterampilan menghayati dan memahami (mempersepsi) proses pengajaran analitis, (b) keterampilan
menganalisis proses pengajaran secara rasional berdasarkan bukti-bukti pengamatan yang jelas dan
tepat; (c) keterampilan dalam kurikulum, pelaksanaan serta percobaannya; dan (d) keterampilan dalam
mengajar.
Fokus supervisi klinis adalah perbaikan cara guru melaksanakan tugas mengajar dan bukan mengubah
kepribadian guru.
Fokus supervisi klinis dalam perencanaan dan analisis merupakan pegangan dalam pembuatan dan
pengujian hipotesis mengajar yang didasarkan atas bukti-bukti pengamatan.
Fokus supervisi klinis pada masalah mengajar dalam jumlah keterampilan yang tidak terlalu banyak,
mempunyai arti vital bagi pendidikan, berada dalam jangkauan intelektual serta dapat diubah bila perlu.

6. Fokus supervisi klinis adalah analisis konstruktif dan memberi penguatan (reinforcem