Tipologi Fasade Bangunan Kolonial di Kor
TIPOLOGI FASADE BANGUNAN KOLONIAL
DI KORIDOR JALAN LETNAN JENDERAL SOEPRAPTO
KOTA SEMARANG
Bunga Indra Megawati, Antariksa, Noviani Suryasari
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp.0341-567486
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Bangunan kolonial Belanda menjadi titik awal dari studi yang dapat memberikan pengetahuan
tentang tipologi fasade dan perkembangan bentuk arsitektur kolonial berlandaskan kebudayaan
lokal dan iklim tropis. Bentuk–bentuk arsitektur tersebut dapat menjadikan cermin bangunanbangunan kolonial di Indonesia. Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif-eksploratif, dan
pemilihan sampelnya digunakan purpossive sampling, kemudian dilanjutkan dengan metode
deskriptif-kualitatif dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain
adalah era pembangunan, elemen fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan. Hasil studi
ditemukan empat periode pembangunan, yaitu pada abad ke-18, abad ke-19, abad ke-20 serta
setalah abad ke-20, dan disetiap periode memiliki tipe fasade bangunan kolonial (elemen kepala
bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan). Selain perbedaan periodesasi juga terdapat
perbedaan fungsi–fungsi yang berbeda, yaitu sebagai tempat ibadah, perkantoran, perdagangan
dan hunian. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil visual
terhadap kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan diketahui mempunyai morfologi elemen bangunan
terhadap iklim. Secara umum disebutkan bahwa karakter visual dan tipe setiap tipologi fasade
bangunan memiliki beberapa jenis atap, yaitu atap perisai, pelana, kubah serta kombinasi pada
bentuk gable dan tower. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap
kasus bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan pada
elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta hirarki terpusat dengan
nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance.
Kata kunci: tipologi, fasade, kolonial
ABSTRACT
The Dutch colonial buildings to be the first point of study which can given a knowledge relating to
façade typologies, and the development of colonial architecture form is based on local culture and
tropical climate. The architectural forms can construct a reflection of colonial buildings in Indonesia.
This study used descriptive-exploratory methods, and the selection of the sample used purposive
sampling methods, and then to analysis is used descriptive-qualitative method, which assisted with
quantitative methods. Variables are used as aspect among others, is the era of development,
building facade elements, and the composition of the building facade. The results study show four
th
th
th
th
periods construction as in 18 , 19 , 20 and after 20 centuries, and each period had its own
façade typology type (the head of the building element, body of the building, and foot of the
building). Besides the different periods is found different functions, as place for pray, office,
commerce and dwellings. Typology based on building façade elements be able to give visual result
concerning selected cases, it results 18 buildings known have morphologies building elements
toward climates. Generally, as is mention that visual character and every typology building façade
types have several kind of roof shapes, which are angular roof (perisai), domes (pelana kubah),
and combine gable and tower. Based on building compositions is have typology which different in
every building cases, such as symmetric axes with its rhythm or repetition on its façade elements;
as doors, windows which dynamic, and centralized hierarchy with high values on the sizes and
entrance positioning.
Keywords: typology, façade, colonial
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
143
Pendahuluan
Pandangan masyarakat menyatakan bahwa kekuatan sejarah sangatlah besar
sehingga tidak mungkin dapat diubah oleh usaha manusia. Walaupun mungkin ada yang
dapat mengubah jalannya sejarah, sehingga nantinya penerus bangsa tidak bisa melihat
gambaran secara keseluruhan mengenai sejarah dan peninggalan-peninggalannya.
Masih ada pandangan lain lagi yang menyatakan bahwa sejarah tidak pernah berulang,
karena setiap kejadian sejarah merupakan sesuatu yang telah lampau. Dalam hal ini, ada
banyak faktor yang menyebabkan berlangsungnya suatu kejadian sejarah yang tidak
mungkin seluruh faktor ini muncul dan terulang lagi. Maka, pengetahuan yang telah
dimiliki mengenai suatu kejadian di masa lampau tidak dapat secara sempurna diterapkan
untuk kejadian di masa sekarang. Banyak yang menganggap bahwa pandangan ini tidak
sepenuhnya benar, karena pelajaran sejarah tetap dapat dan harus diambil dari setiap
kejadian bersejarah.
Sejarah yang terjadi mengakibatkan munculnya arsitektur yang semakin
berkembang dan memperkaya arsitektur Indonesia yang nantinya mampu mempertinggi
derajat manusia dan nilai historis bangsa Indonesia. Sejarah pada suatu kawasan akan
membentuk arsitektur baru. Dengan begitu kekayaan bangsa Indonesia akan arsitektur
semakin banyak dan hal tersebut berkaitan dengan bagaimana tipologi fasade pada
arsitektur tersebut. Fasade bangunan yang beragam dan memiliki ciri khas pada zaman
bersejarah memunculkan tipologi pada bangunan, dengan begitu bangunan kolonial
peninggalan belanda akan dijaga keaslian arsitekturnya.
Kehidupan sebuah kota akan berjalan dan berkembang menurut putaran waktu,
tidak akan terlepas dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Rentang waktu yang
saling terkait mampu memberikan suatu refleksi bagi perjalanan kehidupan sebuah kota.
Perkembangan Kota Semarang saat ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat.
Sebagai kota yang berkembang, Semarang banyak mengalami pahit getirnya setiap
kejadian sebagai suatu rangkaian sejarah. Bertumbuhnya Kota Semarang tentunya
meninggalkan cerita dan peninggalan bersejarah yang harus tetap dipelihara dan
dilestarikan sebagai kebanggaan kota, sehingga memperkaya dan menunjukkan identitas
diri Kota Semarang.
Arsitektur kolonial Belanda di Kota Lama Semarang, yaitu arsitektur dengan
beraneka ragam fasade bangunan yang mampu memberikan ciri khas arsitektur atau
tipologi bangunan tersebut, dengan demikian suatu kawasan akan muncul tipologi
bangunannya. Jika dilihat dari tipologi fasade bangunan yang terdiri dari elemen–elemen
bangunan seperti bentuk, detail, tekstur dan bahan materialnya dapat dilihat pada kepala
bangunan, tubuh bangunan, hingga kaki bangunan. Hal tersebut memperlihatkan
bagaimana arsitek Belanda pada masa itu berusaha menerapkan bangunan tersebut di
kawasan yang beriklim tropis. Keistimewaan pada tipologi fasade bangunan kolonial
mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan karena bangsa Indonesia memiliki arsitektur
yang beragam.
Studi ini dilakukan, untuk dapat menggali lebih dalam lagi mengenai tipologi fasade
bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. Pemilihan
objek dalam studi ini didasarkan dengan beberapa alasan di antaranya, objek ini memeliki
bentuk arsitektur yang beragam serta beberapa permasalahan yang menarik untuk
dilakukan studi.
Hasil studi diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab permasalahan
tentang bagaimana tipologi fasade bangunan colonial di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto Kota Semarang. Kemudian tujuan studi ini untuk mengidentifikasi dan
menganalisis tipologi fasade bangunan kolonial dalam upaya untuk menggali data historis
Kota Lama Semarang, dalam upaya mengembangkan bentuk–bentuk arsitektur kolonial
yang menjadi kekayaan arsitektur nusantara.
144
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
Metode Penelitian
Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif dan eksploratif, dan pemilihan
sampelnya digunakan metode purpossive sampling, dan kemudian dilanjutkan dengan
analisis menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang dibantu dengan metode
kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen
fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan.
Data didapatkan melalui survey data primer, dan kegiatan observasi langsung ke
lapangan, serta interview dengan beberapa pihak yang dianggap dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi studi dan survey data sekunder, melalui literatur-literatur,
dan melalui survey ke beberapa instansi, seperti badan pertanahan nasional Kota
Semarang, BAPEDA dan lain sebagainya.
Proses pemilihan sampel bangunan menggunakan purpossive sampling, sesuai
dengan kriteria yang ditentukan dari 18 sampel bangunan, sebagai kasus studi. Kriteria
pemilhan sampel berdasarkan aspek keaslian fasade bangunan berkaitan dengan tingkat
keaslian fasade bangunan yang tidak memiliki perubahan pada fasade dan kondisi dalam
bangunan yang masih asli. Aspek keaslian fasade bangunan, dengan tingkat keaslian
pada fasade bangunan namun di dalam isi bangunan telah mengalami perubahan pola
ruang, aspek estetika, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektonis keragaman fasade
bangunan dilihat dari style, periodesasi, bentuk, motif, pola, warna, material, perletakan,
dan fungsi, aspek pembangunan, berkaitan dengan tipologi dan keunikan pada fasade
bangunan yang mewakili pada zamannya dan tidak terdapat pada daerah atau kawasan
lain di Indonesia khususnya Kota Semarang.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. memiliki sasaran studi mengenai
bagaimana elemen-elemen yang digunakan pada bagian fasade bangunan kolonial rakyat
di kawasan studi. Analisis data dan penarikan kesimpulan berdasarkan latar belakang dan
identifikasi masalah. Parameter yang dijadikan acuan penilaian adalah kesesuaian antara
teori dengan objek yang ada di lapangan.
Langkah awal adalah dengan mengumpulkan data di lapangan, lalu menyesuaikan
dengan teori yang berkaitan dengan bentuk fasade bangunan. Langkah kedua, yaitu
mencari tahu detail dari setiap elemen yang terdapat pada fasade bangunan. Hasil dari
kedua langkah tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat kesimpulan tentang
tipologi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang.
Hasil dan Pembahasan
1. Tipologi berdasarkan bentukan atap
Bagian paling atas pada fasade bangunan adalah atap, sesuai dengan teori atap
adalah mahkota bangunan sebagai bukti dari fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan
dan martabat dari bangunan tersebut yang di sangga oleh badan bangunan. Secara
visual atap merupakan sebuah akhiran yang paling sering dikorbankan demi eksploitasi
volume bangunan.
Kasus yang ditemukan pada bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto Kota Semarang ini justru berbanding terbalik dengan teori yang menganggap
atap sering dikorbankan, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang atap merupakan bagian fasade bangunan yang masih dipertahankan keaslian
bentuknya. Pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang serta kasus
terpilih, mayoritas atap yang digunakan terbagi menjadi tiga, yaitu 1. Pelana; 2. Perisai
(kombinasi gable dan tower pada bagian titik entrance); dan 3. Kubah dengan kombinasi
tower di setiap sisi–sisi kubah.
Kasus yang banyak ditemukan adalah pemakaian atap pelana pada fasade
bangunan. Atap pelana pada kasus tersebut menggunakan bahan penutup berupa
genteng tanah liat berwarna coklat. Atap pelana cenderung digunakan pada kasus yang
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
145
di bangun pada tahun 1920, tepatnya pada masa kependudukan Belanda berlangsung,
sehingga pada perkembangannya bentuk atap tersebut menjadi bentuk yang mayoritas
digunakan pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang.
(Gambar 1)
Bentuk atap pelana dengan bahan material genteng tanah liat digunakan untuk bahan utama atap pada
tahun 1920 tanpa adanya elemen–elemen kepala bangunan, yang disebabkan oleh penyesuaian iklim
dan budaya lokal.
Gambar.1. Bentuk atap pelana pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.37.
Penggunaan atap perisai pada fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan
Jenderal Soeprapto ditemukan empat (4) bangunan, yaitu pada kasus 8 terdapat
kombinasi dengan gable berbentuk segitiga sebagai penanda entrance pada bangunan,
kasus 9 terdapat atap perisai dengan kombinasi gable yang runcing menyerupai kubah
menggunakan bahan material dari semen dengan ornamen garis–garis geometri, kasus
15 bentuk atap perisai polos tanpa ada tambahan variasi terkesan tradisional dan
sederhana, dan kasus 16 memeiliki bentuk atap perisai dengan kombinasi tower dan
kubah yang ada pada atap bangunan.
Atap perisai digunakan pada tahun yang sama seperti atap pelana tahun 1920
namun, disetiap penggunaan atap perisai memiliki fungsi sebagai bangunan perkantoran.
(Gambar 2)
Selain atap pelana, penggunaan atap perisai juga merupakan atap yang yang digunakan pada
tahun 1920 sebagai atap yang bias beradaptasi dengan iklim dan budaya.
Gambar 2. Bentuk atap perisai pada kasus tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.1.
Atap kubah ditemukan pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprpato Kota
Semarang berjumlah satu kasus saja, yaitu pada kasus satu. Atap kubah digunakan pada
kasus yang di bangun pada abad ke-18. Fungsi dari bangunan beratap kubah yakni
sebagai tempat beribadah. Bentuk kubah pada atap bangunan mampu memberikan
146
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
bentuk dan ciri khas tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang, sehingga fasade bangunan pada abad ke-18 mampu memberikan identitas,
karakter, dan tipe tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang. (Gambar 3 dan Tabel 1)
Penggunaan atap kubah disebabkan oleh pengaruh dari fungsi bangunan serta status
sosial pemilik bangunan. Atap kubah melambangkan kekuatan dan keselamatan.
Gambar. 3. Bentuk atap kubah pada kasus 1 di koridor Jalan Letnan
Jenderal Soeprapto No.32.
Tabel.1. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Atap Bangunan
Jenis Atap
Pelana
Kombinasi
Polos
Pelana
Perisai
Perisai
Kubah
Gable
Gable
Tower
Tower
Kasus
kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6,
kasus 7, kasus 10, kasus 11, kasus
12, kasus 14, kasus 17.
kasus 2 dan kasus 18
kasus 8, kasus 9, kasus 15
kasus 16.
kasus 1
Tipologi listplank pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang hanya memiliki dua bentuk, yaitu polos dan permainan ornamen. Dua belas
kasus menggunakan listplank polos, enam kasus tidak menggunakan listplank di
karenakan memiliki bentuk fasade yang massif dan satu kasus menggunakan listplank
dengan ornament (Gambar 4)
Listplank
dengan
motif
pada
kasus
12
menggunakan bentuk tradisional dengan bahan
dari kayu memberikan warna dan variasi yang baru
pada adaptasi bangunan kolonial terhadap budaya
Indonesia
Gambar 4. Bentuk listplank berornamen pada kasus 12 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.9.
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
147
Tipologi berdasarkan bentuk–bentuk dari karakteristik bangunan kolonial pada
koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, keberadaan gable, dormer, dan
nok acroterie hanya terdapat pada beberapa kasus bangunan pada abad ke-18, abad ke19 serta setelah tahun 1920. Bentuk gable mayoritas menggunakan bentuk segitiga
dengan permainan garis–garis geometri serta menggunakan bahan material dari semen.
Fungsi dari gable merupakan hiasan puncak atap yang mampu mewakili letak entrance
pada suatu bangunan. Keberadaan dormer hanya terdapat pada beberapa kasus
bangunan yang fungsinya merupakan bangunan rumah tinggal dikarenakan fungsi dormer
sebagai sirkulasi udara pada perapian, bentuk dormer mayoritas menggunakan bentuk
persegi dengan motif krepyak dan berbahan material dari semen. Nok acroterie
merupakan hiasan puncak atap yang paling tinggi letaknya. Bentuknya yang runcing
berbahan material dari besi memberikan simbol keselamatan dan kemakmuran pemilik
bangunan tersebut. Keberadaan bentuk fasade bangunan kolonial mampu menyiratkan
kondisi arsitektur di Belanda dengan penerapan ini, maka arsitektur kolonial di Indonesia
akan beragam, tidak seluruh bangunan kolonial menggunakan karakteristik tersebut
melainkan penyesuaian terhadap status sosial pemiliki, iklim, budaya, serta fungsi
bangunan menjadi perhatian penting dalam menentukan bentuk fasade bangunan, begitu
juga pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto disesuaikan dengan fungsi pada
bangunan.
1.
Tipologi berdasar elemen pada dinding
Ditinjau dari tekstur dinding pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
terbagi menjadi dua, yaitu bertekstur halus dan bertekstur kasar. Hal ini dikarenakan pada
17 kasus bangunan menggunakan dinding polos bertekstur halus dan 1 kasus bangunan
menggunakan permainan ornamen bata klinker pada bidang dinding. Terlihat pada kasus
2 menggunakan bata klinker sebagai bagian fasade bangunan. (Gambar 5)
Gambar 5. Bentuk dinding dengan bata klinker pada kasus
2 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.29.
Teritisan pada kasus yang ada di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang letak teritisan sepanjang lebar fasade bangunan. (Gambar 6)
Gambar 6. Bentuk teritisan pada tahun 1920 kasus 14 dan kasus 17 di koridor
Jalan Letnan Jenderal Soeprapto.
148
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
Lubang angin untuk kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi atas
dua jenis, yaitu berbentuk persegi dan berbentuk lengkung. Bentuk lubang angin
lengkung hanya ditemukan pada kasus 4 dan kasus 16, sedangkan enam belas kasus
yang lain menggunakan bentuk persegi pada lubang angin. Lubang angin pada kasus di
Koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang mayoritas berbentuk persegi
dengan permainan aksen garis. (Gambar 7)
Bentuk bouvenlicth menyesuaikan dengan bentuk dan ukuran dari bukaan pada
fasade bangunan.
Gambar 7. Bentuk lubang angin pada kasus 13 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.23-25.
Bentuk bouvenlicth memberikan kesan
yang monoton, sehingga permainan
garis–garis geometri akan membuat
bouvenlicth sebagai elemn fasade yang
juga penting bagi bangunan.
Gambar 8. Bentuk lubang angin pada kasus 5 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.19.
Jenis pintu pada pada delapan belas kasus yang ditemukan di koridor Jalan Letnan
Jederal Soeprapto, keseluruhan pintu pada fasade utama terbagi atas beberapa bentuk,
antara lain: 1. Pintu rangkap ganda; dan 2. Pintu ganda. (Gambar 9)
Tipologi bentuk pintu ganda
Gambar 9. Tipologi pintu pada kasus
Jenderal Soeprapto No.19.
Tipologi bentuk pintu rangkap ganda
5 di koridor Jalan Letnan
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
149
Bahan material yang digunakan pada pintu rangkap ganda adalah lapis terluar
berupa besi dengan permainan garis–garis, sedang lapis terdalam berupa kayu massif
dengan permainan ornamen kaca. Bahan material pintu jenis ganda yaitu berupa kusen
kayu dan kaca. (Tabel.2)
Tabel 2. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Pintu
Jenis Pintu
Pintu ganda
Pintu rangkap ganda
Kasus
Kasus 1, kasus 2, kasus 3, kasus 4,
kasus 7, kasus 9, kasus 10, kasus
11, kasus 12, kasus 13, kasus 14,
kasus 15, kasus 16, kasus 17, kasus
18
Kasus 5, kasus 6, kasus 8
Jenis jendela pada delapan belas kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
Kota Semarang, terbagi atas beberap bentuk, antara lain: 1. Jendela rangkap ganda; 2.
Jendela ganda; dan 3. Jendela tunggal. (Gambar 10)
Tipologi bentuk jendela tunggal
Tipologi bentuk jendela
rangkap ganda
Tipologi bentuk jendela ganda
Gambar 10. Tipologi jendela pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto.
Jenis jendela yang ditemukan pada kasus 1 semua menggunakan bentuk jendela
tunggal dengan motif krepyak dan permainan garis- garis. Bahan material yang digunakan
pada jendela rangkap ganda pada lapis terluar berupa kayu massif dengan permainan
garis–garis dan material kaca sedang lapis terdalam berupa besi teralis. Bahan material
pada jendela jenis ganda dan tunggal, yaitu berupa kusen kayu dan kaca. (Tabel 3)
Tabel.3. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Bentuk Jendela
Jenis Jendela
Jendela tunggal
Jendela ganda
Jendela rangkap ganda
Kasus
kasus 1
2, kasus 4, kasus 6, kasus 7, kasus
9, kasus 10, kasus 11, kasus 12,
kasus 13, kasus 14, kasus 15, kasus
16, kasus 17, dan kasus 18
kasus 3,kasus 5,dan kasus 8
Berdasarkan atas tinjauan gaya, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto terbagi atas empat tipe, yaitu
1.
Abad ke-18 (pada kasus 1), pada bangunan arsitektur kolonial pada abad ke-18
hanya memiliki satu tipe yang mayoritas menggunakan bentuk–bentuk dengan
variasi garis lengkung serta permainan pada elemen fasade bangunan membuat
fasade sangat menarik seperti pada peletakkan kubah dan tower di sisi–sisi titik
entrance.
150
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
2.
3.
4.
Abad ke-19 (pada kasus 2), pada bangunan arsitektur kolonial pada abad ke-19
hanya memiliki satu tipe yang menggunakan garis–garis lengkung pada kepala
bangunan khususnya gable dan nok acroterie, penggunaan dinding dengan bata
klinker menjadikan bangunan pada kasus 2 memiliki karakter yang cukup
menonjol dan memiliki perbedaan pada fasade bangunan.
Tahun 1920 (pada kasus 3 hingga kasus 17), pada bangunan kolonial pada tahun
1920 menggunakan bentuk–bentuk elemen fasade bangunan yang cukup
sederhana dengan penyesuaian terhadap budaya lokal, sehingga muncul bentubentuk arsitektur yang sederhana dan tradisional seperti pada penggunaan
elemen–elemen fasade atap, jendela, pintu, bouvenlicth menggunakan bentuk
persegi sebagai bentuk yang mampu mewakili arsitektur tradisional.
Setelah tahun 1920 (pada kasus 18), pada bangunan kolonial setelah tahun ke1920 muncul bentuk fasade bangunan yang cukup berbeda dengan mengolah
bentuk garis-garis geometri sebagai bentuk fasade bangunan dengan unsur–unsur
klasik eropa pada bentuk jendela, gable, serta pintu sebagai entrance.
2. Tipologi berdasarkan lantai bangunan
Lantai menggunakan penutup lantai dengan dua tipe yang berbeda agar mampu
menyesuaikan dengan budaya lokal dan iklim tropis di Indonesia. Lantai berwarna gelap
menggunakan bahan material dari semen agar mampu menyerap panas dan menjaga
kelembaban udara, sedangkan lantai dengan bahan material keramik merupakan
pengembangan bahan material. Menurut ketinggian lantai pada lima kasus memiliki
ketinggian yang berbeda dengan kasus yang lain karena memiliki ketinggian delapan
meter dengan kondisi bangunan dua lantai dan memiliki balkon sebagai, sedangkan pada
kasus bangunan yang lain memiliki ketinggian fasade mencapai 4 meter dengan kondisi
bangunan satu lantai dan mengalami ketinggian pada pencapaian entrance berupa 2-3
anak tangga. (Tabel 4)
Tabel.4. Klasifikasi tipologi berdasarkan ketinggian lantai bangunan
Jumlah lantai
Satu lantai
Dua lantai
Fungsi bangunan
Tempat ibadah
Gudang
Perkantoran
Perdagangan
Rumah tinggal
Perkantoran
Perdagangan
Rumah tinggal
Kasus
Kasus 1
Kasus 2 dan kasus 18
Kasus 7, kasus 14, kasus 16 dan
kasus 4
Kasus 5
Kasus 11
Kasus 5, kasus 8, kasus 13
Kasus 3 dan kasus 14
Kasus 10 dan kasus 12
3. Tipologi berdasarkan komposisi fasade bangunan
Dapat diambil kesimpulan berdasakan tipologi komposisi fasade bangunan kolonial
di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang berdasarkan sumbu,
perulangan dan hirarki, sebagai berikut:
a. Pada abad ke-18 memiliki satu tipe bangunan, fasade bangunan memiliki
komposisi yang simetri dengan perulangan yang seimbang serta bentuk hirarki
yang terpusat menurut skala, wujud dan peletakkan unsur-unsur fasade bangunan
seperti pada kolom, jendela, serta tower dan memiliki nilai hirarki yang tinggi pada
entrance sebagai komposisi yang dominan pada fasade bangunan. (Gambar 11)
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
151
Gambar 11. Komposisi fasade bangunan abad ke-18 di koridor Jalan Letnan
Jenderal Soeprapto.
a. Pada abad ke-19 memiliki satu tipe bangunan, fasade bangunan memiliki
komposisi yang asimetri dengan perulangan yang tidak seimbang pada peletakkan
elemen–elemen fasade bangunan seperti jendela serta elemen fasade lainnya.
Namun, pada peletakkan gable dan pintu mampu membentuk nilai hirarki yang
tinggi sebagai pusat entrance yang cukup dominan pada komposisi fasade
bangunan. Abad ke-19 memiliki sisi–sisi yang berbeda oleh karena itu mesipun
memiliki skala sisi–sisi yang berbeda namun peletakkan jendela dna pintu memiliki
perulangan yang harmonis.(Gambar.12)
Gambar.12. Komposisi fasade bangunan abad ke-19 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
b. Pada tahun 1920 terdapat 15 kasus bangunan dengan komposisi yang berbeda beda, fasade bangunan memiliki beberapa jenis komposisi fasade bangunan
disesuaikan dengan skala, wujud dan peletakkan elemen fasade bangunan. Pada
kasus 6, kasus 9, kasus 13 dan kasus 16 memiliki komposisi fasade asimetri
dengan sisi–sisi yang tidak seimbang dan perulangan yang tidak harmonis atau
linier dikarenakan adanya penyesuaian terhadap fungsi bangunan serta status
sosial pemilik bangunan, namun dengan sisi yang asimetri mampu memberikan
hirarki pada entrance sebagai komposisi yang cukup dominan pada setiap fasade
bangunan. Sedangkan, pada kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 7, kasus 8, kasus
10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 15, dan kasus 17 memiliki komposisi
152
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
fasade bangunan yang simetri dengan sumbu radial, perulangan elemen–elemen
fasade bangunan yang seimbang dan harmonis serta hirarki yang terpusat
berdasarkan ukuran, wujud, serta peletakkan dari komposisi elemen fasade
bangunan. (Gambar 13 dan Gambar 14)
Gambar.13. Komposisi fasade bangunan simetri di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto pada tahun 1920.
Gambar.14. Komposisi fasade bangunan simetri di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
pada tahun 1920.
c. Setelah tahun 1920 terdapat satu kasus bangunan yaitu pada kasus 18, dengan
komposisi yang simetri pada fasade bangunan, seimbang pada perulangan letak
jendela dan elemen fasade bangunan, serta memiliki hirarki terpusat pada atap
dan gable serta nilai hirarki yang tinggi pada peletakkan entrance. (Gambar 15)
Gambar 15. Komposisi fasade bangunan asimetri di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
pada tahun 1920.
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
153
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Tipologi berdasarkan gaya bangunan dan pembagian periodesasi yang dapat
ditemukan pada kasus fasade bangunan di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto Kota Semarang terbagi atas empat gaya:
a.
gaya pada abad ke-18 mayoritas menggunakan bentuk–bentuk dengan
variasi garis lengkung serta permainan pada elemen fasade bangunan
membuat fasade memiliki langgam kolonial seperti pada peletakkan kubah,
kolom dan tower di sisi–sisi titik entrance dengan fungsi sebagai bangunan
ibadah.
b.
abad ke-19 menggunakan garis–garis lengkung pada kepala bangunan
khususnya gable dan nok acroterie, penggunaan dinding dengan bata
klinker menjadikan bangunan pada kasus 2 memiliki karakter yang cukup
menonjol dengan fungsi sebagai gudang perkantoran.
c.
tahun 1920 menggunakan bentuk–bentuk elemen fasade bangunan yang
cukup sederhana dengan penyesuaian terhadap budaya lokal, sehingga
muncul bentuk–bentuk arsitektur yang sederhana dan tradisional seperti
pada penggunaan elemen–elemen fasade atap, jendela, pintu, bouvenlicth
dengan fungsi bangunan sebagai perkantoran,perdagangan dan rumah
tinggal.
d.
setelah tahun 1920 mengolah bentuk garis-garis geometri sebagai bentuk
fasade bangunan dengan unsur–unsur klasik eropa pada bentuk jendela,
gable, serta pintu sebagai entrance, bangunan tersebut berfungsi sebagai
gudang alat–alat derek.
2. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil analisis
deskriptif visual terhadap studi kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan dapat
diketahui morfologi elemen bangunan terhadap iklim, seperti adanya bentuk
kepala bangunan, badan bangunan, serta kaki bangunan. Hasil visual secara
umum disebutkan bahwa karakter dan tipe pada setiap bangunannya, antara lain:
pada tipologi fasade bangunan di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang memiliki beberapa jenis atap, yaitu
a.
Perisai pada kasus 8, kasus 9, kasus 15, dan kasus 16 serta beberapa
variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahn gable.
b.
Pelana pada kasus 2, kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6, kasus 7, kasus
10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 17 dan kasus 18 serta beberapa
variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahan gable, dan
tower.
c.
Kubah pada kasus 1 serta beberapa variasi pada setiap bentuk atap
dengan adanya penambahan kubah.
d.
Tipologi dinding dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu dinding polos
dan dinding yang menggunakan bata klinker sebagai elemen fasade
bangunan.
e.
Elemen bukaan ditemukan empat jenis, yaitu jendela, bouvenlicht, dan
lubang angin.
f.
Jenis pintu dan jendela yang paling banyak ditemukan adalah jenis
rangkap ganda dan ganda serta menggunakan bahan material kayu dan
kaca.
g.
Teritisan pada fasade bangunan letaknya hanya sepanjang lebar fasade
bangunan saja. Lantai pada keseluruhan kasus menggunakan lantai hitam
dengan bahan material semen. Selain itu, mampu menjaga kelembaban
udara di dalam ruangan. Ketinggian pada setiap bangunan mempengaruhi
bentuk fasade bangunan tersebut.
154
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
3. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap kasus
bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan
pada elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta
hirarki terpusat dengan nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance,
dan memiliki sumbu yang asimetris pada fasade bangunan, dengan ritme yang
tidak harmonis dan tidak dinamis serta hirarki yang linier, sehingga adanya satu
kesatuan bentuk pada komposisi fasade.
Saran
Diharapkan kajian mengenai tipologi fasade bangunan kolonial ini mampu menjadi
acuan terhadap perkembangan bentuk arsitektur kolonial yang berlandaskan kebudayaan
lokal dan iklim tropis, sehingga diharapkan bentuk– bentuk arsitektur mampu dijadikan
cerminan pada bangunan kolonial di Indonesia serta mampu dijadikan titik awal mengenai
tipologi fasade bangunan kolonial dalam rangka menambah pengetahuan mengenai
pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia serta menganalisis bangunan sebagai
cagar budaya dan kekayaan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Santosa, H. 2005. Karakteristik Fasade Bangunan Rumah Toko (ruko) di Kota Malang.
Jurnal RUAS (2): 137-146
Amiuza, C.B. 2006. Tipologi Rumah Tinggal Administrator P.G. Kebon Agung Kabupaten
Malang. Jurnal RUAS. IV (1):1-12
Atmadi. P. 1988. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Loekitokartono. 1942. Tipologi Tampak Rumah Tinggal di Kampung Surabaya Pada
Periode Sebelum Tahun 1942. Surabaya:Universitas Kristen Petra.
Kurniawan, S.H.N. 1988. Arsitektur Kolonial di Jawa Timur. Surabaya:Universitas Kristen
Petra.
Amien. B. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid Pertama. Semarang: Tanjung Sari.
Liem T.J. Riwayat Semarang. 1933.
Krier. R. 2001. Komposisi Arsitektur, Jakarta: Penerbit Erlangga
Artantya. 2008. Tipologi Fasade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan –
Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.
Hany, P. 2008. Tipologi Wajah Bangunan Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Ngamarto–
Lawang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.
Nova J.H. 2001. Tipologi Pintu dan Jendela Rumah Tinggal Kolonial Belanda di
Kayutangan Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Brawijaya.
Satyawan, Y. 2001. Fasade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Pusat Kota Lawang.
Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Brawijaya.
Pertiwi, P.A. 2008. Tipologi Wajah Bangunan Kolonial di Ngamarto, Lawang. Skripsi.
Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.
Dewanti, A.W. 2002 . Tipologi Wajah Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda di Kota
Malang
(Studi
Kasus
SMUN
Tugu).
Skripsi.
Tidak
dipublikasikan.
Malang:Universitas Brawijaya.
Yulian, W.P.K. 2002 . Tipologi Wajah Bangunan Pada Gedung Pendidikan Katolik
Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Malang:Universitas Brawijaya.
Antariksa © 2011
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
155
DI KORIDOR JALAN LETNAN JENDERAL SOEPRAPTO
KOTA SEMARANG
Bunga Indra Megawati, Antariksa, Noviani Suryasari
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp.0341-567486
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Bangunan kolonial Belanda menjadi titik awal dari studi yang dapat memberikan pengetahuan
tentang tipologi fasade dan perkembangan bentuk arsitektur kolonial berlandaskan kebudayaan
lokal dan iklim tropis. Bentuk–bentuk arsitektur tersebut dapat menjadikan cermin bangunanbangunan kolonial di Indonesia. Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif-eksploratif, dan
pemilihan sampelnya digunakan purpossive sampling, kemudian dilanjutkan dengan metode
deskriptif-kualitatif dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain
adalah era pembangunan, elemen fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan. Hasil studi
ditemukan empat periode pembangunan, yaitu pada abad ke-18, abad ke-19, abad ke-20 serta
setalah abad ke-20, dan disetiap periode memiliki tipe fasade bangunan kolonial (elemen kepala
bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan). Selain perbedaan periodesasi juga terdapat
perbedaan fungsi–fungsi yang berbeda, yaitu sebagai tempat ibadah, perkantoran, perdagangan
dan hunian. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil visual
terhadap kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan diketahui mempunyai morfologi elemen bangunan
terhadap iklim. Secara umum disebutkan bahwa karakter visual dan tipe setiap tipologi fasade
bangunan memiliki beberapa jenis atap, yaitu atap perisai, pelana, kubah serta kombinasi pada
bentuk gable dan tower. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap
kasus bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan pada
elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta hirarki terpusat dengan
nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance.
Kata kunci: tipologi, fasade, kolonial
ABSTRACT
The Dutch colonial buildings to be the first point of study which can given a knowledge relating to
façade typologies, and the development of colonial architecture form is based on local culture and
tropical climate. The architectural forms can construct a reflection of colonial buildings in Indonesia.
This study used descriptive-exploratory methods, and the selection of the sample used purposive
sampling methods, and then to analysis is used descriptive-qualitative method, which assisted with
quantitative methods. Variables are used as aspect among others, is the era of development,
building facade elements, and the composition of the building facade. The results study show four
th
th
th
th
periods construction as in 18 , 19 , 20 and after 20 centuries, and each period had its own
façade typology type (the head of the building element, body of the building, and foot of the
building). Besides the different periods is found different functions, as place for pray, office,
commerce and dwellings. Typology based on building façade elements be able to give visual result
concerning selected cases, it results 18 buildings known have morphologies building elements
toward climates. Generally, as is mention that visual character and every typology building façade
types have several kind of roof shapes, which are angular roof (perisai), domes (pelana kubah),
and combine gable and tower. Based on building compositions is have typology which different in
every building cases, such as symmetric axes with its rhythm or repetition on its façade elements;
as doors, windows which dynamic, and centralized hierarchy with high values on the sizes and
entrance positioning.
Keywords: typology, façade, colonial
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
143
Pendahuluan
Pandangan masyarakat menyatakan bahwa kekuatan sejarah sangatlah besar
sehingga tidak mungkin dapat diubah oleh usaha manusia. Walaupun mungkin ada yang
dapat mengubah jalannya sejarah, sehingga nantinya penerus bangsa tidak bisa melihat
gambaran secara keseluruhan mengenai sejarah dan peninggalan-peninggalannya.
Masih ada pandangan lain lagi yang menyatakan bahwa sejarah tidak pernah berulang,
karena setiap kejadian sejarah merupakan sesuatu yang telah lampau. Dalam hal ini, ada
banyak faktor yang menyebabkan berlangsungnya suatu kejadian sejarah yang tidak
mungkin seluruh faktor ini muncul dan terulang lagi. Maka, pengetahuan yang telah
dimiliki mengenai suatu kejadian di masa lampau tidak dapat secara sempurna diterapkan
untuk kejadian di masa sekarang. Banyak yang menganggap bahwa pandangan ini tidak
sepenuhnya benar, karena pelajaran sejarah tetap dapat dan harus diambil dari setiap
kejadian bersejarah.
Sejarah yang terjadi mengakibatkan munculnya arsitektur yang semakin
berkembang dan memperkaya arsitektur Indonesia yang nantinya mampu mempertinggi
derajat manusia dan nilai historis bangsa Indonesia. Sejarah pada suatu kawasan akan
membentuk arsitektur baru. Dengan begitu kekayaan bangsa Indonesia akan arsitektur
semakin banyak dan hal tersebut berkaitan dengan bagaimana tipologi fasade pada
arsitektur tersebut. Fasade bangunan yang beragam dan memiliki ciri khas pada zaman
bersejarah memunculkan tipologi pada bangunan, dengan begitu bangunan kolonial
peninggalan belanda akan dijaga keaslian arsitekturnya.
Kehidupan sebuah kota akan berjalan dan berkembang menurut putaran waktu,
tidak akan terlepas dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Rentang waktu yang
saling terkait mampu memberikan suatu refleksi bagi perjalanan kehidupan sebuah kota.
Perkembangan Kota Semarang saat ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat.
Sebagai kota yang berkembang, Semarang banyak mengalami pahit getirnya setiap
kejadian sebagai suatu rangkaian sejarah. Bertumbuhnya Kota Semarang tentunya
meninggalkan cerita dan peninggalan bersejarah yang harus tetap dipelihara dan
dilestarikan sebagai kebanggaan kota, sehingga memperkaya dan menunjukkan identitas
diri Kota Semarang.
Arsitektur kolonial Belanda di Kota Lama Semarang, yaitu arsitektur dengan
beraneka ragam fasade bangunan yang mampu memberikan ciri khas arsitektur atau
tipologi bangunan tersebut, dengan demikian suatu kawasan akan muncul tipologi
bangunannya. Jika dilihat dari tipologi fasade bangunan yang terdiri dari elemen–elemen
bangunan seperti bentuk, detail, tekstur dan bahan materialnya dapat dilihat pada kepala
bangunan, tubuh bangunan, hingga kaki bangunan. Hal tersebut memperlihatkan
bagaimana arsitek Belanda pada masa itu berusaha menerapkan bangunan tersebut di
kawasan yang beriklim tropis. Keistimewaan pada tipologi fasade bangunan kolonial
mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan karena bangsa Indonesia memiliki arsitektur
yang beragam.
Studi ini dilakukan, untuk dapat menggali lebih dalam lagi mengenai tipologi fasade
bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. Pemilihan
objek dalam studi ini didasarkan dengan beberapa alasan di antaranya, objek ini memeliki
bentuk arsitektur yang beragam serta beberapa permasalahan yang menarik untuk
dilakukan studi.
Hasil studi diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab permasalahan
tentang bagaimana tipologi fasade bangunan colonial di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto Kota Semarang. Kemudian tujuan studi ini untuk mengidentifikasi dan
menganalisis tipologi fasade bangunan kolonial dalam upaya untuk menggali data historis
Kota Lama Semarang, dalam upaya mengembangkan bentuk–bentuk arsitektur kolonial
yang menjadi kekayaan arsitektur nusantara.
144
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
Metode Penelitian
Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif dan eksploratif, dan pemilihan
sampelnya digunakan metode purpossive sampling, dan kemudian dilanjutkan dengan
analisis menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang dibantu dengan metode
kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen
fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan.
Data didapatkan melalui survey data primer, dan kegiatan observasi langsung ke
lapangan, serta interview dengan beberapa pihak yang dianggap dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi studi dan survey data sekunder, melalui literatur-literatur,
dan melalui survey ke beberapa instansi, seperti badan pertanahan nasional Kota
Semarang, BAPEDA dan lain sebagainya.
Proses pemilihan sampel bangunan menggunakan purpossive sampling, sesuai
dengan kriteria yang ditentukan dari 18 sampel bangunan, sebagai kasus studi. Kriteria
pemilhan sampel berdasarkan aspek keaslian fasade bangunan berkaitan dengan tingkat
keaslian fasade bangunan yang tidak memiliki perubahan pada fasade dan kondisi dalam
bangunan yang masih asli. Aspek keaslian fasade bangunan, dengan tingkat keaslian
pada fasade bangunan namun di dalam isi bangunan telah mengalami perubahan pola
ruang, aspek estetika, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektonis keragaman fasade
bangunan dilihat dari style, periodesasi, bentuk, motif, pola, warna, material, perletakan,
dan fungsi, aspek pembangunan, berkaitan dengan tipologi dan keunikan pada fasade
bangunan yang mewakili pada zamannya dan tidak terdapat pada daerah atau kawasan
lain di Indonesia khususnya Kota Semarang.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. memiliki sasaran studi mengenai
bagaimana elemen-elemen yang digunakan pada bagian fasade bangunan kolonial rakyat
di kawasan studi. Analisis data dan penarikan kesimpulan berdasarkan latar belakang dan
identifikasi masalah. Parameter yang dijadikan acuan penilaian adalah kesesuaian antara
teori dengan objek yang ada di lapangan.
Langkah awal adalah dengan mengumpulkan data di lapangan, lalu menyesuaikan
dengan teori yang berkaitan dengan bentuk fasade bangunan. Langkah kedua, yaitu
mencari tahu detail dari setiap elemen yang terdapat pada fasade bangunan. Hasil dari
kedua langkah tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat kesimpulan tentang
tipologi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang.
Hasil dan Pembahasan
1. Tipologi berdasarkan bentukan atap
Bagian paling atas pada fasade bangunan adalah atap, sesuai dengan teori atap
adalah mahkota bangunan sebagai bukti dari fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan
dan martabat dari bangunan tersebut yang di sangga oleh badan bangunan. Secara
visual atap merupakan sebuah akhiran yang paling sering dikorbankan demi eksploitasi
volume bangunan.
Kasus yang ditemukan pada bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto Kota Semarang ini justru berbanding terbalik dengan teori yang menganggap
atap sering dikorbankan, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang atap merupakan bagian fasade bangunan yang masih dipertahankan keaslian
bentuknya. Pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang serta kasus
terpilih, mayoritas atap yang digunakan terbagi menjadi tiga, yaitu 1. Pelana; 2. Perisai
(kombinasi gable dan tower pada bagian titik entrance); dan 3. Kubah dengan kombinasi
tower di setiap sisi–sisi kubah.
Kasus yang banyak ditemukan adalah pemakaian atap pelana pada fasade
bangunan. Atap pelana pada kasus tersebut menggunakan bahan penutup berupa
genteng tanah liat berwarna coklat. Atap pelana cenderung digunakan pada kasus yang
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
145
di bangun pada tahun 1920, tepatnya pada masa kependudukan Belanda berlangsung,
sehingga pada perkembangannya bentuk atap tersebut menjadi bentuk yang mayoritas
digunakan pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang.
(Gambar 1)
Bentuk atap pelana dengan bahan material genteng tanah liat digunakan untuk bahan utama atap pada
tahun 1920 tanpa adanya elemen–elemen kepala bangunan, yang disebabkan oleh penyesuaian iklim
dan budaya lokal.
Gambar.1. Bentuk atap pelana pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.37.
Penggunaan atap perisai pada fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan
Jenderal Soeprapto ditemukan empat (4) bangunan, yaitu pada kasus 8 terdapat
kombinasi dengan gable berbentuk segitiga sebagai penanda entrance pada bangunan,
kasus 9 terdapat atap perisai dengan kombinasi gable yang runcing menyerupai kubah
menggunakan bahan material dari semen dengan ornamen garis–garis geometri, kasus
15 bentuk atap perisai polos tanpa ada tambahan variasi terkesan tradisional dan
sederhana, dan kasus 16 memeiliki bentuk atap perisai dengan kombinasi tower dan
kubah yang ada pada atap bangunan.
Atap perisai digunakan pada tahun yang sama seperti atap pelana tahun 1920
namun, disetiap penggunaan atap perisai memiliki fungsi sebagai bangunan perkantoran.
(Gambar 2)
Selain atap pelana, penggunaan atap perisai juga merupakan atap yang yang digunakan pada
tahun 1920 sebagai atap yang bias beradaptasi dengan iklim dan budaya.
Gambar 2. Bentuk atap perisai pada kasus tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.1.
Atap kubah ditemukan pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprpato Kota
Semarang berjumlah satu kasus saja, yaitu pada kasus satu. Atap kubah digunakan pada
kasus yang di bangun pada abad ke-18. Fungsi dari bangunan beratap kubah yakni
sebagai tempat beribadah. Bentuk kubah pada atap bangunan mampu memberikan
146
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
bentuk dan ciri khas tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang, sehingga fasade bangunan pada abad ke-18 mampu memberikan identitas,
karakter, dan tipe tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang. (Gambar 3 dan Tabel 1)
Penggunaan atap kubah disebabkan oleh pengaruh dari fungsi bangunan serta status
sosial pemilik bangunan. Atap kubah melambangkan kekuatan dan keselamatan.
Gambar. 3. Bentuk atap kubah pada kasus 1 di koridor Jalan Letnan
Jenderal Soeprapto No.32.
Tabel.1. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Atap Bangunan
Jenis Atap
Pelana
Kombinasi
Polos
Pelana
Perisai
Perisai
Kubah
Gable
Gable
Tower
Tower
Kasus
kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6,
kasus 7, kasus 10, kasus 11, kasus
12, kasus 14, kasus 17.
kasus 2 dan kasus 18
kasus 8, kasus 9, kasus 15
kasus 16.
kasus 1
Tipologi listplank pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang hanya memiliki dua bentuk, yaitu polos dan permainan ornamen. Dua belas
kasus menggunakan listplank polos, enam kasus tidak menggunakan listplank di
karenakan memiliki bentuk fasade yang massif dan satu kasus menggunakan listplank
dengan ornament (Gambar 4)
Listplank
dengan
motif
pada
kasus
12
menggunakan bentuk tradisional dengan bahan
dari kayu memberikan warna dan variasi yang baru
pada adaptasi bangunan kolonial terhadap budaya
Indonesia
Gambar 4. Bentuk listplank berornamen pada kasus 12 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.9.
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
147
Tipologi berdasarkan bentuk–bentuk dari karakteristik bangunan kolonial pada
koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, keberadaan gable, dormer, dan
nok acroterie hanya terdapat pada beberapa kasus bangunan pada abad ke-18, abad ke19 serta setelah tahun 1920. Bentuk gable mayoritas menggunakan bentuk segitiga
dengan permainan garis–garis geometri serta menggunakan bahan material dari semen.
Fungsi dari gable merupakan hiasan puncak atap yang mampu mewakili letak entrance
pada suatu bangunan. Keberadaan dormer hanya terdapat pada beberapa kasus
bangunan yang fungsinya merupakan bangunan rumah tinggal dikarenakan fungsi dormer
sebagai sirkulasi udara pada perapian, bentuk dormer mayoritas menggunakan bentuk
persegi dengan motif krepyak dan berbahan material dari semen. Nok acroterie
merupakan hiasan puncak atap yang paling tinggi letaknya. Bentuknya yang runcing
berbahan material dari besi memberikan simbol keselamatan dan kemakmuran pemilik
bangunan tersebut. Keberadaan bentuk fasade bangunan kolonial mampu menyiratkan
kondisi arsitektur di Belanda dengan penerapan ini, maka arsitektur kolonial di Indonesia
akan beragam, tidak seluruh bangunan kolonial menggunakan karakteristik tersebut
melainkan penyesuaian terhadap status sosial pemiliki, iklim, budaya, serta fungsi
bangunan menjadi perhatian penting dalam menentukan bentuk fasade bangunan, begitu
juga pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto disesuaikan dengan fungsi pada
bangunan.
1.
Tipologi berdasar elemen pada dinding
Ditinjau dari tekstur dinding pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
terbagi menjadi dua, yaitu bertekstur halus dan bertekstur kasar. Hal ini dikarenakan pada
17 kasus bangunan menggunakan dinding polos bertekstur halus dan 1 kasus bangunan
menggunakan permainan ornamen bata klinker pada bidang dinding. Terlihat pada kasus
2 menggunakan bata klinker sebagai bagian fasade bangunan. (Gambar 5)
Gambar 5. Bentuk dinding dengan bata klinker pada kasus
2 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.29.
Teritisan pada kasus yang ada di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang letak teritisan sepanjang lebar fasade bangunan. (Gambar 6)
Gambar 6. Bentuk teritisan pada tahun 1920 kasus 14 dan kasus 17 di koridor
Jalan Letnan Jenderal Soeprapto.
148
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
Lubang angin untuk kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi atas
dua jenis, yaitu berbentuk persegi dan berbentuk lengkung. Bentuk lubang angin
lengkung hanya ditemukan pada kasus 4 dan kasus 16, sedangkan enam belas kasus
yang lain menggunakan bentuk persegi pada lubang angin. Lubang angin pada kasus di
Koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang mayoritas berbentuk persegi
dengan permainan aksen garis. (Gambar 7)
Bentuk bouvenlicth menyesuaikan dengan bentuk dan ukuran dari bukaan pada
fasade bangunan.
Gambar 7. Bentuk lubang angin pada kasus 13 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.23-25.
Bentuk bouvenlicth memberikan kesan
yang monoton, sehingga permainan
garis–garis geometri akan membuat
bouvenlicth sebagai elemn fasade yang
juga penting bagi bangunan.
Gambar 8. Bentuk lubang angin pada kasus 5 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto No.19.
Jenis pintu pada pada delapan belas kasus yang ditemukan di koridor Jalan Letnan
Jederal Soeprapto, keseluruhan pintu pada fasade utama terbagi atas beberapa bentuk,
antara lain: 1. Pintu rangkap ganda; dan 2. Pintu ganda. (Gambar 9)
Tipologi bentuk pintu ganda
Gambar 9. Tipologi pintu pada kasus
Jenderal Soeprapto No.19.
Tipologi bentuk pintu rangkap ganda
5 di koridor Jalan Letnan
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
149
Bahan material yang digunakan pada pintu rangkap ganda adalah lapis terluar
berupa besi dengan permainan garis–garis, sedang lapis terdalam berupa kayu massif
dengan permainan ornamen kaca. Bahan material pintu jenis ganda yaitu berupa kusen
kayu dan kaca. (Tabel.2)
Tabel 2. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Pintu
Jenis Pintu
Pintu ganda
Pintu rangkap ganda
Kasus
Kasus 1, kasus 2, kasus 3, kasus 4,
kasus 7, kasus 9, kasus 10, kasus
11, kasus 12, kasus 13, kasus 14,
kasus 15, kasus 16, kasus 17, kasus
18
Kasus 5, kasus 6, kasus 8
Jenis jendela pada delapan belas kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
Kota Semarang, terbagi atas beberap bentuk, antara lain: 1. Jendela rangkap ganda; 2.
Jendela ganda; dan 3. Jendela tunggal. (Gambar 10)
Tipologi bentuk jendela tunggal
Tipologi bentuk jendela
rangkap ganda
Tipologi bentuk jendela ganda
Gambar 10. Tipologi jendela pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto.
Jenis jendela yang ditemukan pada kasus 1 semua menggunakan bentuk jendela
tunggal dengan motif krepyak dan permainan garis- garis. Bahan material yang digunakan
pada jendela rangkap ganda pada lapis terluar berupa kayu massif dengan permainan
garis–garis dan material kaca sedang lapis terdalam berupa besi teralis. Bahan material
pada jendela jenis ganda dan tunggal, yaitu berupa kusen kayu dan kaca. (Tabel 3)
Tabel.3. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Bentuk Jendela
Jenis Jendela
Jendela tunggal
Jendela ganda
Jendela rangkap ganda
Kasus
kasus 1
2, kasus 4, kasus 6, kasus 7, kasus
9, kasus 10, kasus 11, kasus 12,
kasus 13, kasus 14, kasus 15, kasus
16, kasus 17, dan kasus 18
kasus 3,kasus 5,dan kasus 8
Berdasarkan atas tinjauan gaya, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto terbagi atas empat tipe, yaitu
1.
Abad ke-18 (pada kasus 1), pada bangunan arsitektur kolonial pada abad ke-18
hanya memiliki satu tipe yang mayoritas menggunakan bentuk–bentuk dengan
variasi garis lengkung serta permainan pada elemen fasade bangunan membuat
fasade sangat menarik seperti pada peletakkan kubah dan tower di sisi–sisi titik
entrance.
150
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
2.
3.
4.
Abad ke-19 (pada kasus 2), pada bangunan arsitektur kolonial pada abad ke-19
hanya memiliki satu tipe yang menggunakan garis–garis lengkung pada kepala
bangunan khususnya gable dan nok acroterie, penggunaan dinding dengan bata
klinker menjadikan bangunan pada kasus 2 memiliki karakter yang cukup
menonjol dan memiliki perbedaan pada fasade bangunan.
Tahun 1920 (pada kasus 3 hingga kasus 17), pada bangunan kolonial pada tahun
1920 menggunakan bentuk–bentuk elemen fasade bangunan yang cukup
sederhana dengan penyesuaian terhadap budaya lokal, sehingga muncul bentubentuk arsitektur yang sederhana dan tradisional seperti pada penggunaan
elemen–elemen fasade atap, jendela, pintu, bouvenlicth menggunakan bentuk
persegi sebagai bentuk yang mampu mewakili arsitektur tradisional.
Setelah tahun 1920 (pada kasus 18), pada bangunan kolonial setelah tahun ke1920 muncul bentuk fasade bangunan yang cukup berbeda dengan mengolah
bentuk garis-garis geometri sebagai bentuk fasade bangunan dengan unsur–unsur
klasik eropa pada bentuk jendela, gable, serta pintu sebagai entrance.
2. Tipologi berdasarkan lantai bangunan
Lantai menggunakan penutup lantai dengan dua tipe yang berbeda agar mampu
menyesuaikan dengan budaya lokal dan iklim tropis di Indonesia. Lantai berwarna gelap
menggunakan bahan material dari semen agar mampu menyerap panas dan menjaga
kelembaban udara, sedangkan lantai dengan bahan material keramik merupakan
pengembangan bahan material. Menurut ketinggian lantai pada lima kasus memiliki
ketinggian yang berbeda dengan kasus yang lain karena memiliki ketinggian delapan
meter dengan kondisi bangunan dua lantai dan memiliki balkon sebagai, sedangkan pada
kasus bangunan yang lain memiliki ketinggian fasade mencapai 4 meter dengan kondisi
bangunan satu lantai dan mengalami ketinggian pada pencapaian entrance berupa 2-3
anak tangga. (Tabel 4)
Tabel.4. Klasifikasi tipologi berdasarkan ketinggian lantai bangunan
Jumlah lantai
Satu lantai
Dua lantai
Fungsi bangunan
Tempat ibadah
Gudang
Perkantoran
Perdagangan
Rumah tinggal
Perkantoran
Perdagangan
Rumah tinggal
Kasus
Kasus 1
Kasus 2 dan kasus 18
Kasus 7, kasus 14, kasus 16 dan
kasus 4
Kasus 5
Kasus 11
Kasus 5, kasus 8, kasus 13
Kasus 3 dan kasus 14
Kasus 10 dan kasus 12
3. Tipologi berdasarkan komposisi fasade bangunan
Dapat diambil kesimpulan berdasakan tipologi komposisi fasade bangunan kolonial
di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang berdasarkan sumbu,
perulangan dan hirarki, sebagai berikut:
a. Pada abad ke-18 memiliki satu tipe bangunan, fasade bangunan memiliki
komposisi yang simetri dengan perulangan yang seimbang serta bentuk hirarki
yang terpusat menurut skala, wujud dan peletakkan unsur-unsur fasade bangunan
seperti pada kolom, jendela, serta tower dan memiliki nilai hirarki yang tinggi pada
entrance sebagai komposisi yang dominan pada fasade bangunan. (Gambar 11)
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
151
Gambar 11. Komposisi fasade bangunan abad ke-18 di koridor Jalan Letnan
Jenderal Soeprapto.
a. Pada abad ke-19 memiliki satu tipe bangunan, fasade bangunan memiliki
komposisi yang asimetri dengan perulangan yang tidak seimbang pada peletakkan
elemen–elemen fasade bangunan seperti jendela serta elemen fasade lainnya.
Namun, pada peletakkan gable dan pintu mampu membentuk nilai hirarki yang
tinggi sebagai pusat entrance yang cukup dominan pada komposisi fasade
bangunan. Abad ke-19 memiliki sisi–sisi yang berbeda oleh karena itu mesipun
memiliki skala sisi–sisi yang berbeda namun peletakkan jendela dna pintu memiliki
perulangan yang harmonis.(Gambar.12)
Gambar.12. Komposisi fasade bangunan abad ke-19 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
b. Pada tahun 1920 terdapat 15 kasus bangunan dengan komposisi yang berbeda beda, fasade bangunan memiliki beberapa jenis komposisi fasade bangunan
disesuaikan dengan skala, wujud dan peletakkan elemen fasade bangunan. Pada
kasus 6, kasus 9, kasus 13 dan kasus 16 memiliki komposisi fasade asimetri
dengan sisi–sisi yang tidak seimbang dan perulangan yang tidak harmonis atau
linier dikarenakan adanya penyesuaian terhadap fungsi bangunan serta status
sosial pemilik bangunan, namun dengan sisi yang asimetri mampu memberikan
hirarki pada entrance sebagai komposisi yang cukup dominan pada setiap fasade
bangunan. Sedangkan, pada kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 7, kasus 8, kasus
10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 15, dan kasus 17 memiliki komposisi
152
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
fasade bangunan yang simetri dengan sumbu radial, perulangan elemen–elemen
fasade bangunan yang seimbang dan harmonis serta hirarki yang terpusat
berdasarkan ukuran, wujud, serta peletakkan dari komposisi elemen fasade
bangunan. (Gambar 13 dan Gambar 14)
Gambar.13. Komposisi fasade bangunan simetri di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto pada tahun 1920.
Gambar.14. Komposisi fasade bangunan simetri di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
pada tahun 1920.
c. Setelah tahun 1920 terdapat satu kasus bangunan yaitu pada kasus 18, dengan
komposisi yang simetri pada fasade bangunan, seimbang pada perulangan letak
jendela dan elemen fasade bangunan, serta memiliki hirarki terpusat pada atap
dan gable serta nilai hirarki yang tinggi pada peletakkan entrance. (Gambar 15)
Gambar 15. Komposisi fasade bangunan asimetri di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
pada tahun 1920.
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
153
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Tipologi berdasarkan gaya bangunan dan pembagian periodesasi yang dapat
ditemukan pada kasus fasade bangunan di koridor Jalan Letnan Jenderal
Soeprapto Kota Semarang terbagi atas empat gaya:
a.
gaya pada abad ke-18 mayoritas menggunakan bentuk–bentuk dengan
variasi garis lengkung serta permainan pada elemen fasade bangunan
membuat fasade memiliki langgam kolonial seperti pada peletakkan kubah,
kolom dan tower di sisi–sisi titik entrance dengan fungsi sebagai bangunan
ibadah.
b.
abad ke-19 menggunakan garis–garis lengkung pada kepala bangunan
khususnya gable dan nok acroterie, penggunaan dinding dengan bata
klinker menjadikan bangunan pada kasus 2 memiliki karakter yang cukup
menonjol dengan fungsi sebagai gudang perkantoran.
c.
tahun 1920 menggunakan bentuk–bentuk elemen fasade bangunan yang
cukup sederhana dengan penyesuaian terhadap budaya lokal, sehingga
muncul bentuk–bentuk arsitektur yang sederhana dan tradisional seperti
pada penggunaan elemen–elemen fasade atap, jendela, pintu, bouvenlicth
dengan fungsi bangunan sebagai perkantoran,perdagangan dan rumah
tinggal.
d.
setelah tahun 1920 mengolah bentuk garis-garis geometri sebagai bentuk
fasade bangunan dengan unsur–unsur klasik eropa pada bentuk jendela,
gable, serta pintu sebagai entrance, bangunan tersebut berfungsi sebagai
gudang alat–alat derek.
2. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil analisis
deskriptif visual terhadap studi kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan dapat
diketahui morfologi elemen bangunan terhadap iklim, seperti adanya bentuk
kepala bangunan, badan bangunan, serta kaki bangunan. Hasil visual secara
umum disebutkan bahwa karakter dan tipe pada setiap bangunannya, antara lain:
pada tipologi fasade bangunan di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota
Semarang memiliki beberapa jenis atap, yaitu
a.
Perisai pada kasus 8, kasus 9, kasus 15, dan kasus 16 serta beberapa
variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahn gable.
b.
Pelana pada kasus 2, kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6, kasus 7, kasus
10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 17 dan kasus 18 serta beberapa
variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahan gable, dan
tower.
c.
Kubah pada kasus 1 serta beberapa variasi pada setiap bentuk atap
dengan adanya penambahan kubah.
d.
Tipologi dinding dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu dinding polos
dan dinding yang menggunakan bata klinker sebagai elemen fasade
bangunan.
e.
Elemen bukaan ditemukan empat jenis, yaitu jendela, bouvenlicht, dan
lubang angin.
f.
Jenis pintu dan jendela yang paling banyak ditemukan adalah jenis
rangkap ganda dan ganda serta menggunakan bahan material kayu dan
kaca.
g.
Teritisan pada fasade bangunan letaknya hanya sepanjang lebar fasade
bangunan saja. Lantai pada keseluruhan kasus menggunakan lantai hitam
dengan bahan material semen. Selain itu, mampu menjaga kelembaban
udara di dalam ruangan. Ketinggian pada setiap bangunan mempengaruhi
bentuk fasade bangunan tersebut.
154
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
3. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap kasus
bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan
pada elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta
hirarki terpusat dengan nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance,
dan memiliki sumbu yang asimetris pada fasade bangunan, dengan ritme yang
tidak harmonis dan tidak dinamis serta hirarki yang linier, sehingga adanya satu
kesatuan bentuk pada komposisi fasade.
Saran
Diharapkan kajian mengenai tipologi fasade bangunan kolonial ini mampu menjadi
acuan terhadap perkembangan bentuk arsitektur kolonial yang berlandaskan kebudayaan
lokal dan iklim tropis, sehingga diharapkan bentuk– bentuk arsitektur mampu dijadikan
cerminan pada bangunan kolonial di Indonesia serta mampu dijadikan titik awal mengenai
tipologi fasade bangunan kolonial dalam rangka menambah pengetahuan mengenai
pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia serta menganalisis bangunan sebagai
cagar budaya dan kekayaan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Santosa, H. 2005. Karakteristik Fasade Bangunan Rumah Toko (ruko) di Kota Malang.
Jurnal RUAS (2): 137-146
Amiuza, C.B. 2006. Tipologi Rumah Tinggal Administrator P.G. Kebon Agung Kabupaten
Malang. Jurnal RUAS. IV (1):1-12
Atmadi. P. 1988. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Loekitokartono. 1942. Tipologi Tampak Rumah Tinggal di Kampung Surabaya Pada
Periode Sebelum Tahun 1942. Surabaya:Universitas Kristen Petra.
Kurniawan, S.H.N. 1988. Arsitektur Kolonial di Jawa Timur. Surabaya:Universitas Kristen
Petra.
Amien. B. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid Pertama. Semarang: Tanjung Sari.
Liem T.J. Riwayat Semarang. 1933.
Krier. R. 2001. Komposisi Arsitektur, Jakarta: Penerbit Erlangga
Artantya. 2008. Tipologi Fasade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan –
Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.
Hany, P. 2008. Tipologi Wajah Bangunan Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Ngamarto–
Lawang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.
Nova J.H. 2001. Tipologi Pintu dan Jendela Rumah Tinggal Kolonial Belanda di
Kayutangan Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Brawijaya.
Satyawan, Y. 2001. Fasade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Pusat Kota Lawang.
Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Brawijaya.
Pertiwi, P.A. 2008. Tipologi Wajah Bangunan Kolonial di Ngamarto, Lawang. Skripsi.
Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.
Dewanti, A.W. 2002 . Tipologi Wajah Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda di Kota
Malang
(Studi
Kasus
SMUN
Tugu).
Skripsi.
Tidak
dipublikasikan.
Malang:Universitas Brawijaya.
Yulian, W.P.K. 2002 . Tipologi Wajah Bangunan Pada Gedung Pendidikan Katolik
Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Malang:Universitas Brawijaya.
Antariksa © 2011
ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011
155