Fotojurnalistik Antara Dilema Realis Dan
FOTOJURNALISTIK ANTARA DILEMA REALIS DAN SUREALIS (Tinjauan Teoritis Pada Beberapa Karya Fotojurnalistik Terkait Pembunuhan Osama bin Laden Pada Harian Kompas)
Eko Nugroho
Dosen di Universitas Profesor Doktor Mustopo (Beragama) Jakarta, email : [email protected] (Naskah diterima melalui email pada 14 November 2012, disetujui terbit 22 Desember 2012)
ABSTRACT
Photography presents a new climate in fine art discourse. Clasic and realism drawings could present their goal. There are two interesting controversy between two kind of photography: 1) Realism- photography. It regards photography as iconistic realities; 2) Surealism photography. It regards photography as a discursive and non-discursive materials. Journalistic photos after September 11 incident made up journalistic photos which emerged from witness bearing, or redundancy of way and news forms. This article will give theoretical review how to simulate reality of Osama bin Laden’s death in the journalistic photos. The conclusion of this article indicates that Osama bin Laden had become a real figure of simulacrum which legalized any accusation or demonization into certain group (muslims). News about Osama’s death was like one about the death of horor figure showed in films. This thing is like a naration necessity. Hence, in the room of simulation, it is a must to make hypereality in the event and certain scenes. This is like a dreaming and principles of surealistic works. Journaslitic photos about Osama’s death could be regarded as an illusion event with a dreaming and surealism nuance.
Keywords: Journalistic Photo; Realism; Surealism.
ABSTRAK
Fotografi menyajikan sebuah iklim baru dalam diskursus seni rupa. Lukisan klasik dan realis mampu menghadirkan tujuan-tujuannya. Ada dua kontroversi yang cukup menarik dari sebuah karya fotografi. 1). Fotografi realisme yang menjadikan fotografi sebagai sebuah realitas yang ikonis; 2) Fotografi Surealisme yang menjadikan sebuah karya fotografi menjadi materi diskursif dan nondiskursif. Fotojurnalistik setelah peristiwa 11 September merupakan sebuah karya fotojurnalistik yang lahir dari sebuah witness bearing yang merupakan sebuah pengulangan langgam dan bentuk pemberitaan. Tulisan ini ingin memberikan suatu penjelasan teoritis berupa tinjuan tentang bagaimana simulasi realitas pembunuhan Osama bin Laden dalam fotojurnalistik. Kesimpulannnya menunjukkan bahwa Osama bin Laden yang kerap digambarkan melalui sebuah berita foto atau berita visual televisi telah menjadi sebuah sosok simulakrum sejati yang mengesahkan segala macam tuduhan atau demonisasi pada kelompok tertentu (muslim). Pemberitaan Kematian Osama seperti matinya sosok horor dalam film. Seolah-olah menjadi keharusan narasi. Karena itu menjadi keharusan, maka dalam ruang simulasi harus dibuat hiperelitasnya dalam sebuah peristiwa dan adegan tertentu. Ini serupa dengan cara kerja mimpi dan prinsip karya surealistik. Fotojurnalistik tentang kematian Osama bin Laden dapat dikatakan sebuah peristiwa ilusi dan bercorak mimpi dan surealistik.
Kata-kata Kuci: Foto jurnalistik; Realisme; Surealisme. PENDAHULUAN
Latar Belakang
F otografi sebagai sebuah medium karya rupa sudah ada sejak masa Yunani kuno. Kemunculannya
sebagai sebuah moda seni di abad 20-an menyajikan sebuah iklim baru dalam pergulatan dan diskursus seni rupa. Kemampuan ikonisitas yang melebihi detil-detil karya lukisan klasik dan realis mampu menghadirkan tujuan-tujuan awal dari rupa di masa lalu seperti misalnya usaha-usaha nilai guna terkait penggambaran alam semesta dan deskripsi atau maping ide dalam bentuk fotografis lukisan atau patung bercorak realis-sampai dengan abad ke-19 .
Fotografi dalam konteks ikonisitas merupakan suatu bentuk dari ikon terhadap realitas yang digambarkannya (Noth 1990, 460). Dimana sifat keikonan yang memberikan kedekatan menyeluruh antartanda dan rujukan menyebabkan fotografi dituding sebagai nonrepresentasional, sebuah mirror of reality, dimana hubungan realitas dihadirkan dalam bentuk yang sama secara geomertikal.
Namun masalah ratifikasi realitas melalui ikonisitas ini diberi catatan oleh Barthes yang secara umum menganggap bahwa penanda dalam fotografi adalah sebuah analogon atas realitas tertentu (Noth 1990, 460). Yang artinya sedikit banyak image yang ada dalam fotografi bukanlah realitas, sedikitnya ia
JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
FOTOJURNALISTIK .....
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
adalah sebuah analogon dari realitas. Barthes mengatakan, fotografi selalu membawa rujukan dalam dirinya sendiri, sejak dia menjadi sebuah pancaran atas relitas yang telah lalu. (Barthes 1982, 88).
Fotografi sendiri merupakan sebuah image tanpa kode, bahwa ini bukanlah sebuah copy dari relitas tetapi sesutu yang memang berasal dari relitas yang telah lalu yang meiliki sebuah kekuatan pembuktian (Barthes 1982, 89). Sehingga logikanya ini bukanlah sebuah kepalsuan tetapi apa yang dihadirkan adalah sebuah sifat-sifat yang memiliki bukti keberadaan atau seolah-olah bukti tersebut ada. Melihat konsep simulasi Baudrillard sepertinya sinyalemen Barthes ini relevan dengan konsep simulasi. Konsep simulasi juga meberikan sebuah gambaran artifisialitas pada realitas, yang mana ketika sebuah relitas menjadi masa lalu maka yang timbul adalah sebuah artifisialitas atau gambaran tertentu yang seolah olah memilki bukti kuat. Seolah-olah sebuah realitas buatan yang benar benar seperti asli atau lebih memiliki kekuatan pembuktian ketimbang aslinya.
Sifat sifat realitas fotografi ini merupakan sebuah cara fotojurnalistik berkomunikasi dalam ruang ruang citra. Fotojurnalistik sebagai genre pemberitaan telah tumbuh berkembang menjadi bagian dari content komunikasi massa sejak perang saudara (perang Crimean) di Amerika Serikat. Perkembangan fotojurnalistik merupakan sebuah perkembangan tentang ruang realitas dalam moda pemberitaan. Dimana justifikasi komunikatif antar sebuah peristiwa dan fakta, dengan ruang realitas media massa terjadi. Fotojurnalistik menjadi sebuah bukti keberadaan sebagaimana ratifikasi keberadaan dari sebuah visualisai ikonis fotografi itu sendiri. Sehingga foto berita tumbuh menjadi sebuah cara menyampaikan bukan hanya sebuah “narasi visual” tetapi lebih kepada penyampaian sebuah justifikasi kebenaran atau bahkan sebuah monumen dari sejarah itu sendiri. Foto-foto tentang serangan ke Iwo Jima misalnya, kontroversi tentang cerita di balik foto penegakan bendera di gunung Suribaci masih menjadi sebuah kontroversi fotojurnalistik.
Bahwa orang-orang di dalam foto berlainan dengan orang-orang di dalam realitas sebenarnya (pengibar bendera awal). Bahwa kejadian sebenarnya terjadi sebelum foto itu diambil. Dan terungkap belakangan foto itu ternyata sebuah konstruksi dari wartawan AP (Associated Press) Joe Rosenthal yang menyuruh agar beberapa anggota marinir Amerika melakukan penegakan bendera -dan sebenarnya kejadian pengangkatan bendera terjadi sebelum foto diambil dan orang orang yang melakukan itu bukanlah orang -orang yang ada di dalam foto tetapi mereka melakukan itu atas
perintah Rosenthal untuk memberi efek herois seolah- olah saat itu moment pengibaran bendera yang sebenarnya sebagai pertanda jatuhnya iwo jima. Ini artinya fotojurnalistik kemudian beralih menjadi sebuah kosntruksi realitas tersendiri.
Fotojurnalistik sebagai kesatuan pesan dalam news-speak pemberitaan dunia tidak bisa lepas dari aspek diskursif ini. Yang artinya klaim ikonisitas dipertanyakan. Dengan kata lain klaim eksitensi yang biasa menjadi kekuatan realitas visual menjadi bergeser pada sebuah prespektif bahwa visualisai
fotografi jurnalistik adalah sebuah konstruksi realitas yang komplek 1 . Atau bahkan ada sebuah pergerseran bahwa ini bukanlah konfigurasi karya ikonik yang realis tetapi sebuah perminan Surealis
dalam konteks cerita yang diciptakan untuk ada dan lahir ke dalam jajaran dokumen sejarah. Yang sebenarnya semua itu adalah sebuah ide yang ilusif, yang ditarik ke dalam realitas sebagai bentuk yang surealis. Di mana dunia rekaan mimpi berpotensi menjadi seolah olah hadir dalam “keberadann alam sadar “atau ruang relitas itu sendiri—yang sebanrnya itu adalah surealis. Dengan kata lain suatu entitas atau ruang yang tidak ada hadir dalam keberadaan, seolah-olah itulah keberadaan itu sendiri.
Susan Sontag berpendapat fotografi melakukan dua hal sekaligus. Pertama, menentukan juga memenjarakan dan memalsukan waktu. Kedua mensertifikasi dan menolak pengalaman. Ini adalah sebuah ketundukan kepada dan sebuah serangan kepada realitas, ini adalah alat untuk menyesuaikan realitas dan alat untuk membuatnya usang (Hutcheon 1989, 122). Ini menujukkan kekuatan foto sebagai elemen jurnalistik mampu memberikan sebuah justifikasi fakta atau seolah olah pengadaan fakta tentang suatu peristiwa pemberitaan atau sebaliknya peniadaan fakta dari suatu peristiwa yang setiap penonton atau pembaca foto berita tidak merasakan kejadian sebenarnya. Mereka hanya disuguhkan suatu asumsi bahwa ”ini kebenaran, ini adalah benar dan faktual, seperti yang anda lihat!”
News Speak merupakan konsep yang diutarakan Chomsky tentang bagaimana sebuah konsntruksi berita dalam kerangka permainan bahasa yang berefek pada sebuah konstruksi sudut pandang tertentu dlam memandang sebuah masalah. mislanya ketika Amerika menawarkan “perdamaian” maka kata perdamaian pada dsarnya dlah semua syarat ameriak bukan syrat mushnya yang artinya perdamaian bisa dimaknai sebagai sesuatau penyerahan dan persetujuan terhadap suatu bentuk kecendrungan keinginan pemnguasa itu sednri. Dann kata “ perdamai ‘cendrung seolah olah logis (lihat Chomsky 1991:36)
FOTOJURNALISTIK ..... JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
Dalam hal ini ada dua kontroversi yang cukup menarik dari sebuah karya fotografi antara realis yang menjadikan fotografi sebagai sebuah realitas yang ikonis dan surealis yang menjadikan sebuah karya fotografi menjadi materi diskursif dan nondiskursif. Sebagai sebuah karya bersifat surealis, fotografi memberikan sebuah sifat yang mengetengahkan realitas dalam bentuk yang sangat keluar dari ruang realitas itu sendiri. Dimana simulasi menggantikan berbagai kekuatan diskursif representasi dari sebuah elemen visual. Menurut Lash (2004, 184) dengan sifat surelismenya maka sebuah kenyataan (realitas) pada prinsipnya hanyalah sebuah penanda. Yang artinya dalam setiap klaim atas realitas itu hanyalah sebuah klaim pada sebuah konstelasi penanda biasa yang secar dekonstruktif dijelaskan oleh Derrida dengan rantai penandaan yang lebih panjang,. Dan fotografi sebagi sebuah artikel visual yang mampu memberikan klaim atau otoritas keberadaan seperti kata Barthes maka pada dasarnya hanyalah permainan tanda tanda. Realitas konstruktif dari tanda tanda tersebut bermain dalam prinsip realitas surealis dimana penanda sebagai yang nyata dan yang nyata sebagai penanda itu sendiri (Lash 2004, 184). Ini merupakan sebuah perpanjangan dari fungsi mimpi seperti pendapat Freud tentang ketidaksadaran, dimana aliran pemikiran dan aliran seni surealistik berusaha menghadirkan sebuah tinjauan kembali pada realitas dengan menghasilkan sebuah relitas mimpi. Andre Brenton sendiri (sebagai penggagas ide surealisme) menggaris bawahi prinsip umum dari hasil karya surealistik adalah bagaimana realitas superior yang bisa dihadirkan dalam mimpi yang biasa di anggap sebagi ilusi dan ketiadaan sebagai bentuk dari sebuah tinjauan kritis terhadap realitas dimana realitas kemudian dibongkar dan realitas mimpi dijadikan sebuah tuturan yang secara langsung dan lugas hadir dalam karya. (Walz 2000, 5). Disatu sisi gerakan ini berusaha memberikan sebuah rekonfigurasi dari arti kesadaran itu sendiri (Walz 2000, 5). Dimana mimpi kemudian dihadirkan dalam karya sebagai bentuk kesadaran baru. Disatu sisi ini sama juga menghadirkan ilusi untuk bercerita tentang fakta atau informasi. Fotografi dalam konteks ini juga menghadirkan gaya yang sama, Suatu sosok yang terkadang tidak ada dikenyataan atau mempunyai sifat mengangkat elemen mimpi dan ritus ilusi masuk kedalam karya fotografi-dan menjadi klaim realitas.,
Namuan masalah utama fotografi khususnya fotojurnalistik adalah pakem dari sebuah beberan fakta dalam bidang jurnalistik. Dimana ketika foto berita digunakan untuk menghadirkan sebuah reprenstasi dan konstruksi realitas dari sebuah peristiwa. Namun yang dihadirkan adalah sepenggal potongan realitas dalam sebuah drama tertentu. Ketika fotojurnalistik bersentuhan dengan komposisi dan langgam estetis tertentu maka tampilan penanda telah berubah dari bentuk representasi cerminan menjadi sebuah konstruksi realitas. Dan ketika sebuah langgam foto tertentu misalnya siluet, panning atau pun elemen yang lebih atraktif dihadirkan, yang sebenarnya di kenyataannya tidak ada, hanya permainan angle dan sudut kamera serta sudut pencahyaan. Ini menghadirkan realitas lain yang jauh dan bahkan menyimpang dari ruang realitas aslinya, dimana kemudian penanda-penanda dalam foto menghadirkan ruang lain, sebuah ruang ilusi yang dipenuhi elemen-elemen estetis yang tidak ada pada kejadian sebenarnya dan mengaburkan bentuk-bentuk representasi untuk kemudian menghadirkan ide ide simulakrum dalam kualitas pesannya.
Fotojurnalistik setelah peristiwa 11 September merupakan sebuah karya foto jurnalistik yang lahir dari sebuah witness bearing yang merupakan sebuah template atau pengulangan langgam dan bentuk pemberitaan dari pemberitaan masa lalu dengan event yang berbeda berupa intertextualitas, terutama dari penggambaran dan langgam visual dan pesan fotojurnalistik dari perang dunia kedua. Menurut Berbie Zelizer bahwa fotojurnaistik telah menerapkan sebuah template tertentu, dimana fotojurnalistik tentang peristiwa besar dunia yang terutama menyangkut peristiwa perang dunia kedua membangun template tertentu. Dan itu diulang pada visualisasi peristiwa 11 September, dimana yang ditampilkan oleh jurnalis tentang foto sebelas September adalah sebuah template dari realitas yang di tampilkan pada perang dunia kedua (Zelizer & Allen 2004, 57). Sebagai sebuah kasus yang terjadi dalam lingkup 11 September, kasus pembunuhan Osama memiliki sebuah realitas yang sedikit banyak merupakan sebuah template. Dimana segi-segi visual dalam berita foto terkait pembunuhan Osama bin Laden ini telah menghadirkan sebuah pakem tertentu yang diramu dari template pakem sebelumnya yaitu pakem 11 September yang mengarah pada bentuk postioning tertentu atas realitas.
Sehingga realitas kematian Osama adalah realitas yang dibentuk dan diukir dalam kerangka template visualisasi realitas lain -sebuah pengulangan tutur realitas atau bahkan kerangka visual realitas itu sendiri yang diulang dalam komposisi yang sama- yang merupakan sebuah intertekstualitas yang mengaburkan sebuah usaha pengunkapan realitas-, tetapi membiarkan orang hidup dalam sebuah realitas yang menjadi pendirian publik .Ini jelas memberikan ruang bagi simulasi yang menghadirkan realitas lain selain dari realitas yang terjadi dan diklaim sebagai sebuah realitas (padahal itu realitas copy).
JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
FOTOJURNALISTIK .....
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
Osama sejak kemunculan pertamanya di media merupakan sosok yang tidak pernah dilihat secara lagsung oleh publik media massa secara umum. Semua isu terkait dirinya hanya diketahui dan hidup dari visualisasi konstruksi visual ataupun rumours dan newspeek seputar mitos 11 September. Osama sendiri adalah seorang milioner dari Arab saudi, ayahnya Mohamed Awad bin Laden mempunyai hubungan baik dengan pihak kerajaan saudi di medio 1930-an . Terutama pada saat raja Saud naik tahta. Dimana keluarga Laden bahkan mendukung kerajaan secara finansial seperti membangun istana dan membiayai dua tanah suci serta membayar seluruh gaji pegawai negeri di Arab Saudi (http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/binLaden/who/bio.html).
Osama Bin Laden dididik dalm tradisi islam yang cukup kuat sehingga dalam banayak tindkannya semuany punya orientasisi islam. Orientasi keislamannya itu di tekankan pada Jihad. Jihad merupkan sebuah konsepsi tentang bagaimana seorang muslim itu bertindak dengan kesungguhanya, termasuk terutama dalam memandang sebuah peperangan. Dan jihad Bin Laden ini memberikan sebuah catatan penting tentang dirinya dan bagaimana mental spiritual Osama dibangun.
Osama mulai terlibat dengan kancah politik Timur Tengah dengan menjadi salah satu petinggi Taliban, dimana pada saat peristiwa 11 September terjadi, pemerintahan Bush memberikan stigmatisasi kepada Taliban yang dipimpin Osama dengan label, simbol serta bangunan mitos terorisme. Dan dengan sayap-sayap lain seperti Al Qaeda dan lain lain dengan dalang dan tokoh utamanya Osama sebagai seorang sosok pemimpin teroris. Osama kemudian dikenal luas sebagai sebuah sosok demonik dalam banyak media, baik dalam content populer atau dalam berita konvensional secara umum.
Osama pada dasarnya adalah sebuah fragmen dari realitas, terutama relitas atau konstruksi relitas tentang islam dan umat islam. Dimana kemudian fragmen tersebut dijalin menjadi sebuah peta realitas dalam relasi yang paling umum antar hubungan islam dan terorisme. “Peta” ini sendiri dalam terminologi teoritis Baudrillard didefinisikan sebagai justifikasi teritori yang dibangun dari fragmentasi relitas itu sendiri (Baudrilard 2000, 63). Fotojurnalistik hanyalah sebentuk peta bukanlah realitas. Namuan akan jadi masalah ketika kita meyakini peta tersebut sebagai daratan atau lanscape yang sebenarnya. Yang mungkin pada bentuk landscape yang sebenarnya tidak sepresisi itu. Yang artinya bisa dibilang fotojurnalistik pada dasarnya adalah sebuah usaha yang menjauhkan realitas dari presisinya. Karena sebuah bentuk pemediasian dan pengkonstruksian realitas kedalam ruang ruang yang lain dari realitas itu sendiri. Dalam hal ini Osama adalah sebuah titik dalam peta atau peta itu sendiri. Dimana hanya ada sebuah gambaran yang kita rasakan sebagai Osama dalam media—bukan sosok Osama yang real. Bukan sebuah ruang tentang Osama sebagaimana anda mengenal orang orang yang pernah anda temui dan inderai langsung.
Semua versi cerita tentang Osama baik secara tertulis ataupun visual menggambarkan hal yang sama, dan ditemukan dengan cara yang sama bermedia tanpa sebuah informasi jelas yang berreferensi langsung dengan sumber-sumber relevan hanya asumsi dan keterlibatan, dan bahkan tidak ada media yang benar benar mendapatkan sumber wawancara langsung, orang hanya mendapat realitas Osama sebagai realitas media. Osama selalu muncul dengan repetisi simbol sebagai Tokoh jahat, yang tidak diketahui asalnya . Ia tiba tiba ada dengan segala fitur fitur ”kejahatannya” seperti sebuah karakter dalm video game yang membawa fitur-fitur tertentu sebagai sifat kejahatannya dan dimainkan dalam bentuk penjahat atau tokoh protogonis. Mitos-mitos tentang islam dan 11 September, mempunyai koneksi monumental dalam representasi sosok Osama. Dalam banyak pemberitaan dan literatur yang membahas islam kontemporer-rata rata buku keluaran Barat dan orentalis-selalu didentikan dengan sosoknya, dan melalui sosoknya pula legitimasi news speak tentang terorisme dan islam diimagekan dan diratifikasi. Sehingga Osama menjadi sebuah kriminal yang hadir dalam kejahatan yang tidak jelas, dengan sosok yang tidak jelas, dan cerita yang juga tidak jelas, dipaksakan dalam sebuah ekstasi yang tragis dengan menjadikan semua stigma islam menjadi sebuah hiburan dan pesona yang terus di reproduksi dalam kenikmatan menikmati tontonan tentang film bertajuk islam dan terorisme. Ini merupakan sebuah tipikal bagaimana konsumsi media oleh sebuah masyarakat yang biasa disebut msyarakat konsumsi yang oleh Guy Debord ini disamakan dengan konsepsinya menggenai spectacle society. Ini (spectacle society) adalah sebuah masyarakat yang mendasarkan bentuk komunikasinya pada konsumsi image sebagai sebuah material tontonan atau material yang dirasakan secara permukaan sebagai sebuah tontonan. Dan pola realitas adalah sebagai bentuk mekanisme menonton itu sendiri dimana realitas tontonan media memisahkan manusia dari realitas yang sebenarnya dan realitas yang ia kenal melalui media massa (Holmes 2005, 32). Logikanya apa yang dilihat adalah penanda dan merupakan pemisah dari realitas sehingga kekuatan realitas permukaan yang disajikan adalah realitas yang lain dari aslinya.
Sejak realitas umat islam dibicarakan di media. Pada dasarnya image umat Islam telah memenjarakan realitas umat islam dalam sebuah pola wacana yang oleh Chomsky disebut sebagai newspeak di atas(Chomsky 1991, 36). News Speak membuat pola dalam penyebutan dan positioning
FOTOJURNALISTIK ..... JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
serta pola representasi menjadi sebuah alat pengarah pada bentuk- bentuk realitas yang sifatnya adalah direktif dan dideterminasi oleh keinginan penguasa. Karena pada dasarnya News Sspeak melepaskan suatu terma dengan arti teknis dari arti atau makna lazimnya (Chomsky 1991, 36). Sehingga logikanya semua penanda dalam konstelasi pemberitaan terkait umat islam melepas fungsi informasinya pada fungsi konstruksi wacana tertentu-khususnya terkait terorisme dan islam yang melibatkan sosok Osama Bin Laden.
Dalam perspektif ruang-ruang postmodernitas hiperealitas tentang imajinasi visual pada foto menjadi sangat signifikan dalam citra media. Jurnalisme secara umum tidak lagi menghadirkan rangkaian konstruksi fakta, tetapi menghadirkan realitas dalam konteks seduksi dan apakah sebuah materi kemudian memilki sebuah mind game sebagai sebuah pemenuh hasrat manusia. Dimana ini adalah sebuah bahan tontonan yang hanya melepaskan sebuah hasrat informasi. Yang membuat para konsumen tidak membaca fakta jurnalistik tetapi justru merasakan konstruksi realitas peristiwa kehidupan dalam berita sebagai sebuah bahan atau hasrat yang menghadirkan seduksi tertentu, sebuah ilusi dalam visualisasi. Sebuah kesenangan yang diperoleh dari sebuah kejadian asli yang seharusnya bukanlah dipandang sebagai tontonan tetapi sebagai sebuah informasi.
Dan pada ujungnya hiperealitas sebagai sebuah hubungan referensial hanyalah menghubungkan simbol-simbol dengan ruang ilusi. Permainan fragmentasi fakta fakta dalam konstruksi hiperealitas telah mengahdirkan ruang ilusi tertentu dalam potongan potongan dan dalam parody-parody tertentu yang oleh Hutcheon dikatakan banyak berisi sebuah ironisasi yang kuat yang terus tumbuh hingga refernsial realitas dan tanda hilang dan menjadi sebuah parodi yang tersusun kompleks dari potongan simulasi dan bersifat surealis ketimbang realis.
Dan inillah yang menjadi sebuah pertanyaan bahwa pola pola pemberitaan foto terutama terkait Osama ini dalam pandangan prespektif postmo terletak dalam sebuah dilemma bahwa asumsi fotojurnalistik sebgai entitas ikonik dan realis menjadi sebuah hal yang dipertanyakan. Bahwa elemen elemen gambar hadir hanya sebagai lukisan bukan cerminan fakta. hanya sebuah ide dan ilusi bukan sebuah fakta. Sehingga mimpi mimpi kekuasaan hadir dalam peristiwa pembunuahn Osama ini sebagai sebuah konstruksi seurealistik dari sebuah hasrat ataupun ilusi kekuasan dari Negara Negara yang terobsesi memburu pria arab pimpinan Taliban ini atau mereka yang memang putus asa dengan ruang ruang realitas yang tidak mampu memberikan atau memenuhi hasarat yang terpeta dalam ilusi mereka . lalu konstruksi visual hanyalah sebuah konstruksi ilusi yang diduga sebuah teks surealistik belaka.
Dalam kajian komunikasi khususnya berbasis teori kritis postrukturialis, hal di atas menjadi sebuah kritik tersendiri terkait bagaimana sebuah ruang fotojurnalistik merubah peristiwa fragmentasi realitas menjadi sebuah bidang simulasi, dan bagaimana sebuah klaim realis ikonik menjadi sebuah kekuatan visual yang mampu hadirkan ilusi dan mimpi tersebut -secara teoritis realisme fotojurnalistik itu menjadi sebuah dilema tersendiri, apakah fotojurnalistik itu realis atau surealis. Ketika sifat-sifat ruang realitas visual yang disajikanya justru mengarah pada aspek-aspek surealisme yang kental dengan penyajian abstrak dari sebuah idealisme dan mimpi terntu. Sebuah politik imagologi dalam surealisme rupa visual postmodern. Dan yang terpenting adalah bahwa bergesernya nilai guna informasi dari kekuatan ikonisitas pemberitaan menjadi sebuah nilai simbol-simbol yang hanya mengedepankan tontonan, mampu menjadikan semua realits ke dalam ruang. Ini semuanya bisa terjadi di tangan kekuasaan imagologi atau di tangan sebuah seduksi yang hadir sebagai sebuah peran hiburan semata. Ini
justru memberikan sebuah blur of reality 2 yang rentan terhadap hilangnya realitas dan menjadi banalnya sebuah peristiwa peristiwa penting yang diturunkan dari sebuah isu faktual yang memberi
kejelasan kebenaran menjadi sebuah tontonan yang menghibur. Sebuah Hiburan tragis di balik sebuah aksi yang menegangkan hanya untuk memenuhi hasrat hedois-dalam ilusi surelis (mimpi)-dalam balutan horrorisme yang diciptakan kekuasaan itu sendri. Sehingga lebih lanjut bagaiman kematian Osama ini kemudian menjadi sebuah materi surealisme dalam kerangka simulasi dan hiperelitasnya terutama dalam hubungan simulasi dalam sebuah kerangka News Speak “islam dan teorisme“. Sebuah demonisasi dalam kerangka yang terlihat lebih logis dari kejadian dan realitas aslinya.
Tulisan ini ingin memberikan suatu penjelasan teoritis berupa tinjauan tentang bagaimana simulasi realitas pembunuhan Osama dalam fotojurnalistik terkait pemberitaan tersebut, dan bagaimana fakta-fakta yang diklaim sebagai sebuah fakta benar pada dasarnya adalah sebuah mekanisme surealisme fotografi dari foto berita tersebut dan bagaimana surealistik fotografi terjadi dalam realitas foto berita tentang pembunuhan Osama bin Laden ini? dan bagaimana simbol-simbol simulasi ini memberi sebuah hiperealitas tentang peristiwa ini.
2 Imagologi kondisi yang di dalamanya realitas poltik dibingkai dan sekaligus direduksi kedalam prinsip dan wujud wujud citra di dalam berbagai media nya (Piliang 2005 , XVII).
JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
FOTOJURNALISTIK .....
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
PEMBAHASAN Surealisme Foto Jurnaistik dan Perfrect Crime
Konsep perfect crime (Baudrillard 1996, 1) dalam sebuah pemberitaan foto menurut Baudrillard telah menghasilkan sebuah realitas yang membangun narasi yang mengandung anomali, yang berbeda dari berbagai konstruksi narasi realitas yang biasa ada dalam bentuk komunikasi dan bentuk sejarah dimana bentuk keberadaan orang sebagai pelaku, ataupun korban sebagai sebuah bentuk oposisi biner hilang. Secara seturktural, berbagai hal terkait entitas keberadaan semua berbaur dan hakikinya hilang dalam kosntelasi hiperelitas dimana kejahatan secara umum -pada hakikinya merupakan mekanisme simulakrum dalam teks-tidak memiliki pelaku, tidak memilki korban dan tidak juga memiliki motif. Hanya terjadi dlam sebuah virtualitas yang diceritakan dalam konstruksi hipereluitas teks media massa. Yang tidak bisa diungkap dan diurai ke dalam ruang realitas sebenarnya. Namun karakter fotografi yang oleh Barthes telah diberi sebuah karakter yang sangat spesifik, dimana fotografi pada dasarnya sebuah tanda yang tidak mengambil (don’t take) dimana maksud Barthes sebuah foto pada dasarnya adalah tidak terlihat, bahwa itu tidak seperti yang kita lihat (Barthes 1982, 6). Maksud Barthes disini pada dasarnya foto tidak mengambil keseluruhan ruang realitas apa yang dilihat difoto pada dasarnya bukanlah peristiwa real yang terjadi, tetapi sebuah justifikasi dari potongan totalitas realitas yang kemudian diberi fungsi penunjukan (indexing) yang kuat yang menjadi kekuatan tersendiri dalam mengkreasi sebuah realitas tentang peristiwa tertentu. Dengan kata lain Membuat sebuah fakta dari potongan fakta.
Baudrillard mengatakan bahwa pada dasarnya sebuah benda yang difoto pada hakikatnya adalah sebuah jejak yang ditinggalkan dari keterhilangan realitas ruang peristiwa yang sebenarnya. Dimana objek yang absen telah melahirkan sebuah gambaran tentang dunia yang tak terkalahkan- dalam sebuah foto (Baudrillard 1996, 85). Penyajian fakta melalui fotografi dalam fotojurnalistik pada dasarnya adalah sebuah jejak terhadap hilangnya fakta itu sendiri. Ketika realitas dipaksakan pada bentuk yang paling minim sebagai sebuah ruang yang diklaim sebagai “peristiwa”. Namun padahal tidak ada seorang pun yang mengindera realitas itu sebagai perasa dan pelaku, sebagai ruang dari realitas yang sebenarnya. Hanya sebuah konstelasi spektator dari sebuah foto menurut Barthes (1982, 9)
Kemampuan fotografi menyajikan sebuah narasi diluar narasi yang sebenarnya menyebabkan sebuah gejala semiotis nondiskursif terbentuk, dimana ciri kental surealisme dalam hal ini penyelewengan realitas menjadi mungkin dalam pesan pesan foto jurnalsitik. Menurut Krauss fotografi merupakan bentuk seni surelis yang paling tinggi mirip dengan topeng kematian, seperti “cetakan dari yang nyata” (Lash 2004, 185). Sehingga realitas yang coba di gambarkan semuanya adalah bersifat surealis ketimbang realis. Dimana ciri figural terlihat dalam setiap karya fotografi seprti misalnya realitas yang dihasilkan adalah realitas fragmentasi tetapi semua klaim atas realitas dihadirkan dalam kaitan “jari’ yang seolah olah menujuk klaim konstruksi itu sebagai sebuah realitas vis a vis.
Sebuah foto tentang sesosok orang tidak bisa berdiri sendiri tetapi butuh sebuah bangunan realitas yang ditempelkan dari ide eksternal figural yang mungkin sebenarnya realitas yang terjadi berbeda dengan realitas yang kemudian diberikan oleh figural. Bisa jadi gambar sosok itu dituduh sebagai penjahat, atau orang kaya, atau nabi, kenyataannya bisa jadi semua itu hanya klaim dan realitas surelis yang bermain dalam konteks fotografis yang kental dimana yang nyata sebagai penanda dan penanda sebagai yang nyata. Yang oleh Baudrillard disebut Simulasi. Yang hadir sebagai realitas dalam mata-mata yang memandang dan membaca sebuah foto, adalah sebuah kehidupan dimana ambang dari keadaan bangun dan tidur pada setiap orang menghilang akibat citraan yang beraneka ragam dan tidak menyisakan tempat atau celah bagi “makna“ (Lash 2004, 187).
Osama bin Laden mungkin adalah hantu paling menyeramkan yang disediakan media massa beberapa tahun belakangan sejak 9/11. Bahkan ketenarannya mungkin mengalahkan sosok nosferatu/drakula, atau bahkan lebih menyeramkan dari Were Wolf. Namun satu hal yang menyamai antara tokoh tokoh hantu itu dengan Osama bin Laden, tidak ada pembaca teks yang pernah berhadapan atau menyaksikan langsung semua realitas ruang sosok-sosok tersebut. Osama hanya dikenal dari poster, film, dan berita TV/cetak, dan lebih banyak lagi dari beberapa fotojurnalistik.
Dan cerita tentang dirinya serta tema-tema yang menyertainya diciptakan dalam sebuah narasi yang rapih yang diklaim sebagai narasi besar. Penciptaan narasi seperti ini oleh Lyotard diamini sebagai sebuah ciri postmodern yang menghadirkan berlapis relitas dan menjadikan relitas fakta-fakta menjadi carut-marut hingga kita tidak bisa membedakan mana copy mana asli, mana narasi yang sebenarnya mana yang hanya sebuah narasi kecil. Narasi kecil ini diperoleh menurut Lyotard dari sebuah permainan bahasa (sifat kebahasaan tanda) (Ritzer 2009, 217) . Sehingga asumsi metanarasi dalam pembunuhan Osama bin Laden dalam visualisasi foto bisa dijelaskan dalam beberpa hal berikut. Pertama bahwa apa yang disaksikan dan diyakini orang tentang visualisasi Osama adalah sebuah konstruksi citra dan foto-
FOTOJURNALISTIK ..... JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
fotonya hanyalah sebuah hiperelitas dalam konteks tokoh yang memang ada seperti sebuah bentuk ilusi animasi. Hiperealitas ini yang membentuk sebuah narasi sejarah yang banal dan seolah olah adalah sejarah atau peristiwa itu sendiri, padahal semua sajian image itu adalah sebuah ilusi sejarah .
Kedua narasi tentang keberadaan dan kematian semuanya adalah sebuah narasi dalam konteks potongan yang disusun menjadi seolah olah metanarasi. Yang sebenarnya semua itu adalah narasi kecil yang boleh dibilang bahkan tidak memiliki pola narasi. Ini hanya sebuah fragmen realitas yang disusun dan di”render” serta diberi sebuah fakta dan klaim narasi suatu event.
Ketiga, foto-foto berita terkait Osama bin Laden merupakan suatu konstruksi visual dalam kerangka karya karya surelistik. Dimana penanda dan petanda tidak memiliki batas. Bahwa apa yang dilihat sebagi ”ruang” tentang kematian Osama adalah ruang tanda itu sendiri, bukan ruang realitas. Bahwa kekuatan surelistik yang menyajikan sebuah realitas di luar realitas yang ada dalam ruang realitas asli terjadi dalam karya karya fotojurnalistik. Dimana potongan potangan fakta disusun dalam ruang-ruang dan diklaim dalam sebuah cerita dan konstruksi baru yang lebih mengesankan sebagai kebenaran dan fakta seolah olah itulah faktanya. Bahwa pada dasarnya bentuk-bentuk ide yang seharusnya ada di luar ruang realitas yang berada dalam imajinasi manusia, kemudian dikeluarkan sebagai realitas itu sendiri. Ini membuat realitas bisa disetarakan dengan permainan ilusi ideal dari ketidaksadaran itu sendiri dalam sebuah terma surealis.
Prinsip surelisme adalah bahwa tanda sebagai acuan dan acuan tersebut adalah realitas-telah bekerja di sini. 3 Fotojurnalistik tentang Osama adalah sebuah acuan dan realitasnya sekaligus. Karena
memang tidak ada yang bisa masuk ke dalam ruang relitas yang sudah menjadi jejak-jejak itu kecuali menyatukan jejak-jejak itu secara tidak tepat sehingga yang tercipta adalah ilusi surealis yang mengetengahkan ide ide atau ruang imajinasi ketimbang ruang realis faktual yang sudah ditelan waktu atau bahkan terjeda oleh berbagai halangan keberadann waktu dan ruang itu sendiri.
Foto yang paling terkenal dikaitkan dengan event kematian Osama adalah foto karya Pete Soza dari kantor berita Associated Press dan diterbitkan oleh Kompas dengan tajuk menteri luar negri AS (Kompas, Rabu 4 Mei 2011, headline).
Foto ini hanya menjelaskan sebuah kegiatan dari beberapa pimpinan negara adidaya Amerika Serikat. Sebenarnya kegiatan ini sering juga dilakukan, mungkin adegan ini bisa terlihat untuk sebuah peristiwa seperti makan malam bersama atau pun rapat gabungan di Gedung putih, sebuah sekwen yang sebenarnya tidak meberikan secara langsung diskursi tentang sebuah peristiwa seperti kematian Osama. Hanya sebuah “nonton bareng” yang dikaitkan dengan event Osama. Yang artinya yang
ditawarkan bukanlah sebuah visualisasi tetapi sebuah realitas tentang kematian Osama yang bereferensi pada sebuah hubungan. Dan hubungan-hubungan antarfragmen dan logika sebenarnya adalah sebuah citra murni yang bisa di-counterfeit-kan dengan realitas lain dengan menggunakan potongan realitas entah realitas baru atau pun nostalgia. Sehingga foto ini menghasilkan sebuah narasi kecil yang kemudian dalam hubungan signifikasi menciptakan sebuah cerita besar tentang kematian Osama itu sendiri.
Kematian Osama dan Osama sendiri adalah sebuah monumen. Dimana sejarah diskursi terbentuk dari monumen-monuman dimana realitas -yang oleh Lyotard dikonsepsikan dalam narasi- adalah bagaimana sebuah sejarah terbentuk dari kepingan monumen monumen. Dimana menurut Foucault sejarah adalah sesuatu yang mentransformasikan dokumen dokumen menjadi monumen- monumen (Foucault 2002, 10).
Dan apa yang dilihat orang di media massa dalam foto-fotojurnalistik itu adalah sebuah monumen-monumen yang berasal dari fakta-fakta atau frgmentasi fakta sebagai dokumen. Namun monumen bukanlah realitas itu sendiri. Monumen hanyalah sebuah titik yang ditunjuk dan dibangun atas diskursi terentu, dimana sejarah menurut Foucault merupakan suatu usaha mengorganisasi dokumen itu sendiri mengaturnya dalam berbagai level dan menciptakan kategori serta membangun rangkaian rangkaian tertentu (Foucault 2002, 9). Maka dari prepektif ini setiap foto tentang Osama telah
Tanda seharusnya menjadi tanda yang mengacu pada realitas bukan menjadi acuan dari realitas sehingga logikanya tanda adalah konstruksi realitas dan bukan realitas itu sendiri. Ini sejalan dengan pendapat Berger dan Luckman tentang bagaimana konstruksi realitas dibuat melalui konstruksi realitas dalam proses siignifikasi melalui proses objektivasi. Baca Berger dan Luckman 1979, 50-51 ).
JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
FOTOJURNALISTIK .....
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
menjadi monumen tentang Osama itu sendiri. Foto karya Soza di atas merupakan sebuah foto yang memberi efek monumen pada hiperealitas tentang Osama. Dimana narasi Osama dibangun dari rangkaian monumen visual yang diakhiri dengan epik pembunuhan atas dirinya. Namun simbolnya adalah sebuah relasi dimana penguasa hadir dalam bentu visual sebagai kelompok yang begitu serius melihat pertandinagn atau pertunjukan tersebut. Seolah olah yang mati itu siapa, yang korban itu siapa. semua hanya sebuah pesta dan pertunjukan pertandingan olahraga serupa eforia kemenangan dalam pertandingan piala dunia atau euro. Dan Osama kemudian dirubah dalam sebuah mitos tentang perayaan sama dengan sebuah aktifitas menoton pertandingan, menjadi sebuah relasi kesenjangan dibalik semua tragedi yang menyertainya. Yang menjadi monumen atas rangkaian permusuhan dan eksekusi rencana rencana barat dalam hiperelitasnya.
Tidak ada foto yang kuat dalam rangkaian penggambaran ini. Seolah olah ini hanya biasa saja, hanya sebuah tontonan ala Hollywood yang menghadirkan sebuah epik kemenangan superhero yang berkumpul dengan hangat bersama koleganya. Layaknya sebuah lukisan perjamuan malam terakhir karya Davinci atau sebuah parodi atas bagaimana sebuah kepentingan itu hanya ditentukan oleh sebuah ruang kendali yang tidak memberikan celah untuk melihat hal lain kecuali sebuah pengendalian atas dominasi tertentu.
Realitas di sini hanyalah sebuah monumen yang dihadirkan dlam kerangka Perfect Crime yang oleh Baudrillard dikatakan sebagai sebuah kejahatan tanpa pelaku, tidak ada korban dan tidak ada motif (Baudrillard 1996, 1). Sehingga bentuk monumen yang disajikan bukanlah monumen tentang kematian seorang Osama yang merupakan rangkaian peperangan terhadap terorisme tetapi sebuah drama tentang sebuah perjamuan layaknya pesta saja. Sehingga terlihat antara fakta, ide dan visualisasi tidak memilki koherensi. Semua hanya representasi dari ketiadaan. Yang dilihat hanyalah jejak yang djadikan monumen dan diklaim
sebagai universum. Padahal itu adalah sebuah keparsialan yang dalam kekuatan fotografis hanyalah sebuah klaim tanpa korespondensi yang kuat pada ruang realitas itu sendiri. Foto karya Jhon Moore dari Getty Image yang disiarkan Kompas pada kamis 5 Mei 2011 dengan tajuk caption “arsip” (hal 8).
Foto ini menggambarkan seorang pasukan Navy Seal yang sedang bersiap menggunakan peralatannya. Pertanyaan terhadap foto ini pertama apa yang dilakukanya itu sebenarnya kaitanya apa? apakah benar kaitannya seperti yang diceritakan caption. Dalam visual tidak ada penunjuk waktu yang memberikan determinasi visual tentang kapan terjadinya kejadian. Ruang yang dijadikan latar hanya memberikan referensi signifikasi yang berupa sebuah hubungan-hubungan bukan realitas ruang peristiwa aslinya. Setting atau latar foto hanya memberikan sebuah gambaran signifikasi tentang ruang tunggu, dalam sebuah backstage dari sebuah peristiwa sebenarnya yang entah ada atau tidak. Tipikal tubuh manusia yang dihadirkan merupakan pesona tersendiri, tubuh adalah sesuatu yang punya nilai signifikasi tinggi, dilihat dari kesimetrisan tubuh tentara Seal dan otot yang terlihat memberikan sebuah penanda atas sebuah signifikasi kesempurnaan tertentu. Sama dengan sosok tokoh superhero di dalam komik, seperti Superman, Spiderman ataupun Batman yang digambarkan memiliki tubuh yang simetris dan sempurna. Sebuah pesona fetitisme dengan mengumbar narsisme sebagai bagian dari permaianan dan motivasi citra murni/citra copy. Baudrilalrd dalam bukunya Masyarakat Konsumsi berargumen bahwa tubuh dalam konteks tampilan media massa merupakan sesuatu yang tersaji sebagai sebuah logika bagi ”pemuja sesaji” dan spektakuler (2004, 168). Bahwa keindahan tubuh bukan hanya untuk memberi identifikasi tetang rujukan tubuh yang sempurna tetapi lebih kepada logika kenikamtan narsistik yang terus berkembang dalam fetitisme pencitraan tubuh itu sendiri.
Sehingga dalam foto ini kita tidak disajikan sebuah sajian faktual. Tapi sebuah estetika fetitisme yang tidak bertujuan memberikan informasi, tetapi memberikan sebuah pelepasan hedonis sebagai sebuah tontonan atau pun sebuah sensasi yang menghibur semata, yang mendorong sebuah kebanalan dari peristiwa itu sendiri bukan sebuah bahasa yang mencoba bicara tentang kebenaran dalam konteks
jurnalistik yang menganggap jurnalistik bersandar pada sebuah konteks yaitu kebenaran. 4 Tetapi sebuah horrorisme dan action yang diangkat sebagai konsumsi hasrat untuk dinikmati sebagai tontonan
kekerasan. Seperti pendapat Erich Fromm (2000, 259 ) yang memberikan sebuah premis bahwa manusia adalah makhluk yang menikmati kekerasan sebagai bagian dari pelepasan kesenjangan dan kesenangan.
4 Prinsip perinsip positivist dari jurnalistik secara normatif di ungkapkan kovack dan rosenstiel dalam beberapa konsep tentang jurnalisme ideal yang diharus kan mengatakan yang sebnarnya dan bersandar pada kebenaran itu sendiri. Lihat Kovach dan Rosenstiel ( 2004, 38-39)
FOTOJURNALISTIK ..... JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)
Sehingga penanda ini adalah sebuah usaha pembanalan yang membuat fakta tidak dibeberkan tetapi dihentikan pada sebuah substansi monumen yang kaku dan bisu. Monumen yang hanya bisa dinikmati dalam hasrat yang berbatas pada hedonisme semata, tidak bermakna sebuah realitas . Ini hanya sebuah sensasi yang menyenangkan pada sebuah film yang boleh diberi judul “kematian Osama”. Bukan makna heroisme yang ada pada visualisasi ini yang ada adalah sebuah pesona remeh dari heroisme itu sendiri. Superioritas hasrat dalam ilusi heroisme yang kental yang selalu ada pada bentuk bentuk propaganda perang bahkan sejak perang dunia kedua. Heroisme yang hanya berasal dari sepotong gambar atau dengan kasar boleh disebut sepotong realitas yang bukan realitas.
Sensasi heroisme sebagai sebuah simbol dan counterfeiting sagat kental terlihat untuk memberikan kesan ini adalah sebuah adegan pertempuran antara sesosok superhero yang begitu apik dan ideal melawan iblis yang benar benar jahat. Ini adalah tipikal sebuah narasi dalam film-film berbau amerikanisi dan westernisasi yang di satu sisi tidak membeberkan fakta tetapi memberi sebuah cerita atau fiksi tentang betapa hebatnya supremasi kekuasaan yang adidaya itu dengan simbol sosok superhero dalam teks tubuh yang simetrikal. Ini bisa dilihat dalam sosok Rambo pada sekuel film Rambo. Seperti ungkapkan Kellner bahwa pada sekuel Rambo, Rambo merupakan sebuah simbol kejantanan adidaya namun lebih jauh dalam konteks postmodernime dan hiperealitas, Rambo memamerkan kejantanan sebagai sebuah pengakuan kejantaan diri dengan menampilkan diri sebagai sosok yang keras dan agresif (Kellner 2010, 88-89). Ini menjadikan kekerasan dan agresifitas merupakan rangkaian cerita yang membangkitkan hasrat orang untuk menikmati seduksi agresifitas, bahkan ini terlihat dalam narsisme ekstreem pada pemujaan tubuh sebagai simbol-simbol realitas penguasa. Kemudian ini diterjemahkan lebih lanjut dalam hiburan sebagai sososk superhero yang seolah-olah ada untuk melindungi. Sebuah ilusi akan proteksi dan keidealan yang coba diciptakan dalam cerita visual pada foto di atas. Sementara heroisme ini, apakah ada makna heroisme dalam visualisasi ini. Makna itu sudah diceraikan dan bahkan tidak pernah ada, hanya ditinggalkan seduksinya dalam ilusi visual ini.
Pada foto ketiga, foto karya Bay Ismoyo dari AFP (Kompas, 4 Mei 2011) yang diperlihatkan pada visual hanya siluet seorang personel tentara Amerika di mulut pintu sebuah helikopter. Gambar hanya memberikan sebuah impresi dan kesan hangat, kesan tentang sesuatu yang telah terjadi adalah sebuah nostalgia “penuh romantika” penting yang merupakan
sebuah kejadian yang ”tanpa salah” (innocent event). Sesuatu yang bisa biasa saja atau bahkan hanya memberikan sebuah kesan bahwa semua sudah selesai. Tanpa ada materi yang menjelaskan secara visual tentang ikon- ikon yang ada dan semuanya hanya elemen grafis yang disatukan dalam potongan konstruksi visual yang sebenarnya jika ditarik ke belakang banyak
ditemukan dalam akhir bahagia film-film action peperangan Hollywood. Seperti The Last Platoon, dimana pada akhirnya tentara kembali ke base dengn helicopter yang terbang menyelamatkan mereka, atau pada film karya Steven Spielberg ‘Jurasic Park” yang pada adegan-adegan terakhir tokoh tokoh di selamatkan dalam sebuah helikopter dan melalui rekayasa ruang cerita. Semua diselesaikan dengan keindahan yang ditinggalkan di cakrawala seperti sebuah penyelesaian yang hangat, romantis dan seolah-olah memancarkan kemenangan atau hanya untuk menyelesaikan sebuah narasi kecil tentang sebuah film yang secara tipikal berplot ’amerikanisme” yang selalu menyajikan amerika sebagai pemenang dan berperan tokoh utamnya, no crime here just a movie.
Secara semiotis (post-struktural), bahwa seduksi yang dihasilkan dari fetitisme horroristik perang telah melahirkan sebuah realitas baru tentang perburuan terorisme. Sebuah seduksi kekerasan dan sebuah akhir dari “pertandingan bola’ yang memberikan gambaran kemenangan pada akhirnya. Gambaran tentang sebuah perburuan yang begitu serius pada dasarnya tidak diikuti dengan fakta perburuan itu sendiri. Semua setting sepertinya sudah jelas diketahui sebagai sebuah template visual. Sebuah aturan yang mirip dengan panggung broad way dengan cerita yang diulang-ulang sama, atau bahkan dalam bentuk ekstrem mirip dengan pertunjukan striptease yang hanya menyajikan pole dan stage sebagai ruang dan pergerakan serta template selera yang sama pada satu fetitisme yang tercampur dalam berbagai narasi kecil baik itu narasi berupa narsisme atau pun bahkan sebuah sensasi tentang “nikmatnya “ kematian (nekrofilik) .
Foto-foto tersebut dalam prespektif surelistik menyangkut beberapa hal. Pertama, bagaimana penanda murni dibentuk melalui ruang-ruang visual. Keterputusan antara realitas ruang peristiwa dan
JURNAL STUDI KOMUNIKASI DAN MEDIA
FOTOJURNALISTIK .....
Vol. 16 No. 2 (Juli – Desember 2012)