Kemunculan Masyarakat Ekonomi Indonesia dan

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

LEMBAR COVER TUGAS 2013
Nama

No. Mahasiswa

Nama Matakuliah
Dosen

Alan Griha Yunanto
(11/317917/SP/24800)
Adriansyah Dhani Darmawan(11/317979/SP/24860)
Permadi Tunggul S.W.
(11/311843/SP/24442)
Bachrudin Hidayatulloh
(11/312565/SP/24575)
Tissa Karaniya Prametta V. (11/317880/SP/24765)
Indah Ayu Lestari
(11/317795/SP/24685)

Aditya Wicaksono
I Gede Mas Suputra
(08/270221/SP/23072)
Masyarakat Ekonomi
M. Adhi Iksanto

Judul Tugas

Kemunculan Masyarakat Ekonomi Indonesia dan Formasi Borjuasi yang
Mengikutinya

CHECKLIST
Saya telah:
Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten.................................................................................................. 
Memberikan soft copy tugas.................................................................................................................................... 
Deklarasi
Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:




Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi.



Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun menggunakan kata dan gaya bahasa
saya sendiri.



Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan pemikiran tersebut dikutip
dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku.



Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan dan/atau digunakan untuk
memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.

Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya sadar akan menerima sanksi
minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk mata kuliah ini.


________________________________________

_____________________________________________
Tanggal

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

Dalam tulisan ini kami akan memaparkan proses pembentukan masyarakat ekonomi
di Indonesia pada fase kolonial dan formasi borjuasi yang terbentuk pada saat itu. Telaah
kami menggunakan pedoman buku “Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama dan
Keajaiban Pertumbuhan” karya Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks, serta sebuah Jurnal
karya Farchan Bulkin yang berjudul Negara, Masyarakat, dan Ekonomi.
Sedikit mengulang cerita untuk memperjelas alur munculnya masyarakat ekonomi di
Indonesia, di Pulau Jawa tentunya. Pada awalnya Belanda datang di Banten untuk
membangun VOC, adanya VOC digunakan untuk menguasai pulau-pulau penting Nusantara
untuk membangun kuasi Negara Kolonial. Sebenarnya incaran utama mereka yakni rempahrempah yang berada di Pulau Maluku. Akibatnya mulai berkembang perusahaan dagang di
Jawa (awalnya hanya ingin menikmati komersialisasi Jawa tetapi justru berubah jadi Negara
colonial yang sebagian besar pendapatannya dair pajak dan pengumpulan surplus produksi
dgn berbagai cara).

Flashback: Jawa pada tahun 1800
Masyarakat Jawa saat itu terbagi menjadi 3 jenis kelompok yang hidup
berdampingan: pribumi, kelompok kolonial bekas VOC (keturunan pegawai VOC dan
pedagang independen), dan kelompok komprador (terdiri dari pedagang China, Arab, dan
India dgn tipe struktur sosial yang berbeda). Sifatnya yang feodal dengan ciri-ciri mempunyai
basis ekonomi pertanian dan belum mengenal uang, penduduknya yang merupakan petani
bagian dari Negara terpusat untuk menciptakan surplus ekonomi yang diperoleh dengan cara
non-ekonomis (kerja wajib dan klaim kepemilikan atas tanah produktif). Oleh karena itu,
struktur sosio-politik dan distribusi surplus selalu mengikuti perubahan dalam perimbangan
kekuasaan. Disisi lain adanya kekaburan definisi hak kepemilikan karena dalam proses
pertukaran pasar tidak berjalan dengan baik.
Negara kolonial menghendaki system distribusi tanah agar bisa menciptakan stabilitas
di masyarakat petani dan memperluas basis pemungutan pajak tenaga kerja. Administrasi
kolonial setelah 1830 juga mendukung dan mendorong adanya system kepemilikan sawah
secara kolektif yang bertujuan untuk meredistribusikan lahan. Sehingga dapat melemahkan
penguasaan langsung petani atas faktor produksi utama (sawah)

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM


Sejak abad 17 dan 18 VOC telah mempelajari bagaimana cara memanfaatkan sistem
penarikan surplus feodal untuk mencapai tujuannya sendiri. Beberapa pajak yang dipungut
merusak proses pertukaran pasar (biaya transaksi yang tinggi), tidak transparan, suku bunga
yang tinggi di pasar modal. Untuk itu gambaran ekonomi Jawa sangat terbatas karena insentif
untuk pasar yang buruk (muncul penyimpangan, tenaga kerja terbelakang dan tidak terampil)
dan tingkat produktifitas pasar serta spesialisasi ekonomi pun rendah.
Pada abad 19 tingkat urbanisasi juga rendah karena masyarakatnya hanya stagnan
bekerja di sektor pertanian pedesaan sehingga tidak ada perpindahan dan tidak ada perputaran
arus perekonomian. efeknya: pertukaran pasar dan permintaan atas komoditas pertanian
sangat terbatas karena baik di kota maupun desa masih berbasiskan pertanian, dan tingkat
transformasi struktural dari perekonomian yang seperti ini masih rendah.
Struktur ekonomi di Jawa dapat dilihat dari adanya impor dan ekspor. Jawa sebagai
pengekspor kopi utama (Priangan), teksil tenun, beras, gula, dan rempah-rempah. Struktur
ekspor-impor juga merefleksikan kondisi “keterbelakangan” ekonomi jawa yang dilihat dari
produk pertanian yang mendominasi ekspor, sementara produk manufaktur mendominasi
impor.
Sistem Tanam Paksa 1830-1870
Gubernur

Jenderal


Hindia-Belanda,

Van

Den

Bosch

berhasil

memajukan

perekonomian lokal. Di bawah komandonya, perekonomian bergerak dalam sebuah
mekanisme yang bernama Sistem Tanam Paksa. Awal tahun 1830-an, di mana periode tanam
paksa mulai berlaku, produksi ekspor dalam negeri meningkat secara dramatis. Semisal, hasil
kopi meningkat menjadi 64.000 ton pada tahun 1839 di mana pada tahun 1829 hanya mampu
mencapai besaran 20.000 ton saja. Begitu pula untuk komoditas gula, pada tahun 1831 hanya
mampu mengekspor 6.700 ton namun di tahun 1840 mampu meningkat tajam.
Dalam tujuan meningkatkan produktivitas perekonomian, cara yang dilakukan Bosch

memang bisa dikatakan berhasil. Salah satu faktor penyebab keberhasilannya, Bosch
merekrut kerjasama dengan elite lokal dan regional. Kepala-kepala desa tersebut menjadi
jembatan komunikasi baru antara koloni dengan warga pribumi. Perekrutan atas elite lokal
dan regional membawa imbas munculnya kembali hak-hak istimewa untuk para elite tersebut.
Salah satunya sifat hereditary atau turun-temurun, di mana garis keturunan elite lokal dapat

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

dengan mudah mengisi posisi birokrasi pada waktu itu. Pun pula mengenai hak memiliki
sebagian hasil persawahan dari warga pribumi, elite lokal juga mendapatkannya. Dampaknya,
bupati atau regenten pada waktu itu menjadi sangat kaya dan kuat. Selain menjalin kerjasama
dengan elite lokal, tanam pakasa juga melibatkan pengusaha China. Utamanya dalam
pengolahan gula di mana negara koloni memberikan kredit kepada pengusaha China dalam
mendirikan pabrik-pabrik baru.
Selain itu, penyuplaian tenaga kerja dari daerah pun dilakukan secara besar-besaran
oleh negara untuk mengisi kantong-kantong ketenagakerjaan di pabrik baru. Negara koloni
memberikan jaminan, bahwa gula yang dihasilkan akan dibeli oleh negara dengan harga yang
juga terjamin (Fasseur, 1975: 65). Dalam pengaplikasian mekanisme sistem tanam paksa
tersebut bisa dikatakan merupakan arena yang memeprtemukan kepentingan negara koloni,

elite lokal (jawa), dan pengusaha China. Merekalah pennentu kebijakan dalam hal
perekonomian yang sedang berlangsung di masa tanam paksa. Dengan power dan legitimasi
yang dimiliki masing-masing aktor tersebut, kiranya bisa kita indikasikan bahwa mereka
merupakan kaum borjuasi politik yang mampu mengutak-atik kebijakan untuk kepentingan
ekonomi mereka.
Awal kemunculan masyarakat ekonomi di Indonesia barangkali bisa disebabkan oleh
beberapa determinan penting seperti Sistem Tanam Paksa yang memusatkan segala aspek
ekonomi sosial di tangan penguasa Belanda. Sistem Tanam Paksa merupakan pembentuk
pondasi penting kehadiran elite-elite lokal yang berada di sektor ekonomi dalam dinamika
sosial masyarakat Indonesia. sebabnya adalah ketika proses akumulasi modal yang dilakukan
pemerintah Hindia Belanda memerlukan orang-orang pribumi untuk berada di dalam sistem.
Fungsi mereka jelas, sebagai alat komunikasi “baru” untuk mempromosikan kebijakankebijakan yang digelontorkan pemerintah Hindia-Belanda. Kerjasama ini kemudian
memperkuat posisi masing-masing aktor di dalam sebuah sistem tersebut, dan masyarakatlah
yang kemudian tersubordinasi akibat sistem yang memaksa masyarakat tidak memiliki andil
yang kuat di dalam proses ekonomi tersebut.
Hal senada juga dikemukakan oleh Bulkin (1984) dalam artikelnya, sebenarnya
masyarakat ekonomi yang hadir pada era Orde Baru mungkin sekali ada kaitannya dengan
corak colonial. Seperti munculnya Beemtenstaat –negara sebagai mesin birokrasi yang efisien
dengan penekanan kuat pada administrasi, keahlian dan pembangunan ekonomi. Ini muncul


JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

di era Orde Baru yang memunculkan corak kepentingan negara untuk negara sendiri,
contohnya dapat kita lihat di sektor perkebunan melalui perusahaan negara NHM. Hal ini
mengacu pada satu kesimpulan bahwa yang dijelaskan Zanden dan Farchan Bulkin mengarah
pada satu frame penjelasan yang sama bahwa kemunculan masyarakat ekonomi Indonesia
sangat banyak dipengaruhi oleh kolonial, hanya bedanya pada sisi mana awalnya
memandang.
Beberapa variabel penting di dalam dnamika ekonomi masyarakat Jawa di abad ke-19
pada umumnya tersebar di beberapa sektor, antara lain pajak, infrastruktur, kebijakan
kolonial, selisih harga, pedagang Cina, komoditas, perlindungan hak kepemilikan, dan lainlain. Dari beberapa variabel tersebut kemudian sistem yang tercipta adalah keterpurukan
ekonomi masyarakat yang paling bawah akibat tertindas secara struktural antara lain oleh
para pedagang Cina yang secara brutal memonopoli komoditas (terutama beras dan gula)
hingga proses eksploitasi secara nyata terlihat di dalam tulisan-tulisan yang menceritakan
sejarah ekonomi masyarakat Jawa pada pertengahan abad 19.
Di era 1940-an hingga 1960-an, konsolidasi sistem ekonomi berkembang pesat
terutama di pulau Jawa. Komoditas beras yang pada awalnya merupakan produk untuk
konsumsi lokal mulai diekspor untuk kepentingan kerajaan Belanda. Motif dari hal ini jelas,
mengingat pada saat itu karut-marut penggunaan mata uang masih menjadi problema.

Terutama dalam hal satuan pertukaran barang dengan mata uang. Pemberlakuan mata uang
pun mulai diterapkan untuk membayar hasil komoditas petani dan sebagai upah pekerja bebas
maupun paksa. Jika dilihat dengan menggunakan paradigma neo-institusionalisme, kehadiran
sistem seperti ini tak luput dari institusi-institusi sosial maupun ekonomi yang bekerja di
dalamnya. Motif tentang persebaran mata uang dan eksploitasi tenaga kerja didukung oleh
kelompok-kelompok hegemonik macam priyayi, administrator Belanda, dan para pedagang
Cina yang mendukung dari sektor ekonomi dan sosial. Akibatnya adalah sistem yang muncul
meng-institusionalisasi-kan sektor-sektor tersebut ke dalam sebuah sistem Tanam Paksa yang
oleh beberapa ilmuwan dianggap sebagai sebuah eksperimen awal kemunculan masyarakat
ekonomi di Jawa.
Di tahun-tahun 1940-an hingga 1960-an dapat diartikan sebagai era kemunculan
sektor pendukung ekonomi modern di Indonesia. hal ini ditandai dengan munculnya struktur
ekonomi baru semacam kreditor, pegadaian, bank, gaji, selisih harga, dan lain-lain. Berawal

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

dari faktor-faktor itu, kita dapat melihat bahwa institusi negara serta institusi pasar lain
(pedagang Cina) memanfaatkan peluang tersebut sebesar-besarnya demi keuntungan yang
berlimpah. Tentu dengan kerjasama dengan pihak lain. Para pedagang Cina bahkan bekerja

sama dengan kaum pribumi demi menjaga kepentingan ekonomi-nya dengan meminang
gadis-gadis priyayi, memberikan pendidikan, dan lain-lain.
Pasar sebagai sentra ekonomi pun kemudian terbagi menjadi dua, pasar di pedesaan
yang sebagian besar dikuasai oleh perantara Cina dan pasar perkotaan yang sedikit lebih fluid
dari aspek penguasaannya antara para pedagang dengan elite lokal. Keberadaan para petani
tidak dapat dinafikan ketika harus berurusan dengan sistem produksi masif komoditas seperti
ini. sistem upah dan tidak adanya subsistensi- seperti yang dilakukan sebelum adanya sistem
tanam paksa- memunculkan ketergantungan yang berlebihan terhadap kredit yang disajikan
sedemikian rupa oleh para kreditor di desa. Mereka memberikan kredit dengan bunga cukup
tinggi sehingga mengakibatkan masyarakat secara perlahan tapi pasti memberikan hak
kepemilikan yang paling riil (yakni tenaga) untuk membayar utang-utang mereka yang
terlampau tinggi.
Sementara fragmentasi kekayaan semakin jelas, kehadiran borjuasi ekonomi sekaligus
sebagai borjuasi politik hadir di dalam proses transaksional antara kekuasaan (wewenang)
dengan modal. Bulkin (1984) mengemukakan bahwa ini merupakan politisasi dan
ideologisasi dari kelompok atas golongan Pribumi ( Bangsawan, Intelektual pendidikan
Barat, Pemimpin Agama, dan anggota kelompok pedagang komersial). Artinya, kaum elite
lokal menyediakan “lahan” untuk para pemodal dengan mentransaksikan sebagian modalnya
untuk melanggengkan kekuasaan elite lokal yang berada di wilayah tersebut.
Contoh konkritnya dapat kita lihat ketika kerjasama antar keduanya timbul di kotakota seperti Surabaya, Jakarta dan Semarang ketika kota tersebut menjadi pusat perdagangan
pada masa itu. Di dalamnya terjadi proses transaksi bisnis yang memuat konsesi antara kedua
aktor tersebut. Kelahiran keduanya tak luput dari kehadiran sistem tanam paksa yang
berimplikasi luas terhadap kondisi sosial di Jawa. Kendati pun begitu, tak mudah memang
menilik kehadiran elite lokal yang berada di posisi sebagai borjuasi politik. Karena memang
mereka hadir hanya sebagai aktor lokal dengan pendidikan yang lebih tinggi untuk kemudian
mengeksploitasi masyarakat yang berpendidikan lebih rendah dengan dukungan pemerintah
kolonial dan para pemodal.

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

Daftar Pustaka
C. Fasseur, (1975). Kultuurstelsel en Koloniale Baten: De Nederlandse Exploitatie
Van Java 1840-1860. Leiden: University Press.
Farchan Bulkin, 1984, Negara, Masyarakat, dan Ekonomi, Jurnal Prisma, No. 8.
Zanden, Jan Luiten Van dan Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2010:
Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas & KITLVJakarta.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24