BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Desa 2.1.1. Sejarah Desa - Analisis Alokasi Dana Desa (ADD) Berdasarkan Karakteristik Desa di Kabupaten Dairi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desa

2.1.1. Sejarah Desa

  Desa di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah laporannya tertanggal 14 daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan dikemudian hari ditemukan juga desa-desa di kepulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa (Soetardjo, 1984:36).

  Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah ingin hidup bersama keluarga suami/ istri dan anak, serta sanak familinya, yang kemudian lazimnya memilih suatu tempat kediaman bersama. Tempat kediaman tersebut dapat berupa suatu wilayah dengan berpindah-pindah terutama terjadi pada kawasan tertentu hutan atau areal lahan yang masih memungkinkan keluarga tersebut berpindah-pindah. Hal ini masih dapat ditemukan pada beberapa suku asli di Sumatera seperti kubu, suku anak dalam, beberapa warga melayu asli, juga di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua. (sumardjo, 2010).

  Setidaknya ada tiga alasan pokok dari semula orang-orang membentuk masyarakat adalah (Kartohadikoesoemo, 1965): (1) untuk hidup, yaitu mencari makan, pakaian dan perumahan; (2) untuk mempertahankan hidupnya terhadap berbagai ancaman dari luar; dan (3) untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.

  Desa pertanian merupakan gejala desa pertama-tama dibentuk, setelah membuka hutan dan mengolah lahan untuk ditanami tumbuhan yang menghasilkan makanan dan bahan kebutuhan lainnya. Di tepi laut dan sungai-sungai besar terbentuk desa- desa perikanan dan pelayaran (masyarakat pesisir) yang mendapat pencahariannya dari menangkap ikan, tambak dan jasa pelayaran. menjadi kesatuan hukum yang melindungi kepentingan bersama atas penduduknya dilindungi dan dikembangkan menurut ketentuan hukum adat setempat. Hukum itu memuat dua hal, yaitu: (1) hak untuk mengurus daerahnya sendiri, yang kemudian dikenal istilah “hak otonomi”, dan (2) hak memilih kepala desanya sendiri. Di masa lalu hak otonomi itu mencakup banyak aspek, seperti hukum kekerabatan, hukum waris, hukum tanah, hukum perdata, dan hukum pidana pun termasuk di dalamnya. Antara otonomi desa di Jawa, Madura, dan Bali dengan desa lain bias saja berbeda, misalnya di Sumatera Barat dikenal istilah desa ini dengan wilayah “nagari” yang mempunyai hukum adat yang berbeda dalam hal hak otonomi tersebut. (sumardjo, 2010).

  Desa pasar (jasa) tumbuh di sekitar tempat orang-orang bertemu satu sama lain untuk bertransaksi (di era modern disebut jual beli), sehingga terjadilah sebuah pasar yang terbentuk oleh masyarakat sekelilingnya. Di sekitar pasar tersebut kemudian berkembang menjadi desa perdagangan (jasa). Desa-desa tradisional juga sering terbentuk terkait dengan keberadaan sumber air atau sumber-sember pencaharian lainnya, seperti pertambangan, pertambakan, dan sebagainya. Kadang-kadang alasan terbentuknya desa tercantum dalam nama desa, dari nama desa dapat diketahui alasan terbentuknya suatu masyarakat desa tertentu (Kartohadikoesoemo, 1965).

  Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di dengan istilah gampong, di Yogyakarta dosebut dusun dan di Bali disebut banjar. sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat.

2.1.2. Pengertian Desa

  Kata “desa” sendiri berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Soetardjo, 1984:15, Yuliati, 2003:24). Sesuai batasan definisi tersebut, maka di Indonesia dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat dengan peristilahannya masing-masing seperti Dusun dan Marga bagi masyarakat Sumatera Selatan, Dati di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa. Pada daerah lain masyarakat setingkat desa juga memiliki berbagai istilah dan keunikan sendiri baik mata pencaharian maupun adat istiadatnya.

  Menurut defenisi umum, desa adalah sebuah aglomerasi permukiman di wilayah perdesaan (Hardjatno, 2007). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administrative di bawah Kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Menurut Poerwadarminta (1976) Desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampong (di luar kota) dusun atau udik (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota). Beradasarkan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana Desa atau yang disebut dengan nama lain (selanjutnya disebut desa), adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampong (di luar kota); dusun atau udik (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota) (Poerwadarminta, 1976). Desa merupakan suatu daerah hukum yang merupakan wilayah masyarakat hokum terbentuk atas dasar ikatan tertentu, antara lain: (1) bentuk genealogis, (2) bentuk “teritorial” dan (3) bentuk campuran keduanya.

  Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

  Pengakuan Desa dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 18B ayat 1 dan 2, serta dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah nomor 32 tahun 2004, di mana Desa atau yang disebut dengan nama lain (selanjutnya disebut desa), adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini kemudian dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

2.1.3. Karakteristik Desa

  Di Indonesia, wilayah yang disebut desa seharusnya dilihat dalam tahapan yang tidak sama. Masyarakat yang telah mulai menetap juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain, antara Jawa dengan luar Jawa, antara desa dekat kota dengan desa yang jauh dari kota, antara wilayah dataran tinggi dengan dataran rendah, demikian pula antara pantai dan pedalaman. Di Indonesia kelihatannya belum ada kajian mendalam tentang hal ini. Secara umum masyarakat yang telah mulai menetap yang disebut dengan desa, istilah sebutannya sangat beragam di berbagai suku bangsa. Di Jawa disebut desa, di Aceh disebut Gapong, di Papua disebut kampong dan masih banyak berbagai istilah tentangnya. Sangatlah penting mengklasifikasikan penduduk yang telah mulai menetap. Kalau digolongkan menurut sistem produksinya, ada penduduk desa yang digolongkan dengan desa subsistensi. Sistem produksi yang dikembangkan adalah berproduksi untuk kepentingan hidup diri mereka sendiri dan pemenuhan penduduk desa itu sendiri. Kebudayaan produksi bukan mengubah alam akan tetapi mengadaptasi alam. Artinya apa yang di dalam alam sekitarnya itulah sumber kehidupan mereka. Karakter sistem sosialnya bersifat komunal. Ikatan antar hubungan personal dan pemilikan diatur atas dasar pemilikan komunal. Contoh jelas akan hal ini adalah tanah, adat. Bagi desa yang belum mengenal ekonomi uang, aktivitas ekonominya dilakukan dengan cara barter (susetiawan, 2010).

  Desa merupakan bentukan dan pengembangan konsep asli bangsa Kehidupan masyarakat desa terikat pada nilai-nilai budaya asli yang sudah diwariskan secara turun menurun dan melalui proses adaptasi yang sangat panjang dari interaksi intensif dengan perubahan lingkungan biofisik masyarakat. Kearifan lokal merupakan salah satu aspek karakteristik masyarakat, yang terbentuk melalui proses adaptasi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat, sehingga nilai- nilai yang terkandung di dalamnya seyogianya dipahami sebagai dasar dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (sumardjo,2010).

  Kondisi masyarakat perdesaan di Indonesia pada saat ini sangat beragam, mulai dari perilaku berladang berpindah, bertani menetap, desa industri, desa dengan mata pencaharian dominan sektor jasa sampai desa yang dengan fasilitas modern (semi urban dan urban) dapat ditemukan di wilayah Indonesia di era milenium ini.

  Pada tahun 1952 (Hadikoesoemo, 1965) terkait dengan desa terungkap bahwa norma-norma daerah hukum masyarakat itu menurut hukum adat: (1) berhak mempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah, (2) berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri, (3) berhak mengangkat pimpinan atau majelis pemerintahannya sendiri, (4) berhak memiliki harta benda dan sumber keuangannya sendiri, (5) berhak atas tanahnya sendiri, (6) berhak memungut pajak sendiri. Atas dasar prinsip-prinsip tersebut terdapat keberagaman hukum asli di masing-masing desa yang tersebar di seluruh nusantara ini. Di Sumatera Barat misalnya, ada nagari yang mempunyai tata

  Desa mengandung sejumlah kearifan-kearifan lokal (local wisdom) yang apabila dicermati nilai yang terkandung dalam kearifan tersebut maka dapat menjadi suatu kekuatan untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana suatu masyarakat berdomisili di suatu wilayah desa. Kearifan tersebut dapat dicermati dari aturan-aturan, norma, tata krama/ tata susila, bahasa, kelembagaan, nama dan gelaran, teknologi yang digunakan (konstruksi rumah, tata letak rumah, teknik irigasi, teknik pengolahan tanah dan peralatannya, teknik membuat jalan/ jembatan, teknik perahu dan sebagainya). Sekiranya nilai (value) yang terkandung di dalam aspek-aspek tersebut diperhatikan dalam pengembangan teknologi di era modern ini, meski menggunakan bahan yang mungkin berbeda, maka keserasian lingkungan dan daya adaptasi tampaknya menjadi tetap tinggi.

  Infrastruktur itu alat penting bagi kemajuan perkembangan masyarakat desa, namun masyarakat paham arti pentingnya infrastruktur itu jauh lebih penting sebab orang akan bertindak dengan alat yang dimilikinya karena mereka mengetahui arti pentingnya alat yang dipunyai. Meskipun infrastuktur perdesaan banyak ditemui di desa, pertanyaannya apakah infrastuktur yang ada telah dipahami arti pentingnya bagi kehidupan masyarakat perdesaan. Data statistik tentangnya seperti jalan desa, gedung SD, Polindes (Poliklinik Desa), kantor pemerintah desa, kendaraan umum dan infrastuktur lainnya, dapat ditemukan dengan mudah. Jika dilihat dari jumlah yang ada maka penyebaran infrastuktur tidak merata antardesa di Jawa, apalagi dibandingkan dengan desa di luar Jawa. Pembangunan infrastuktur buka sekedar ada dan menyebarkan secara merata tentang pengadaannya, akan tetapi perlu analisis infrastuktur mana yang paling dibutuhkan (susetiawan,2010).

  Infrastuktur pendidikan perdesaan seperti gedung SD harus menjadi perhatian utama. Kurang nya gedung SD dan kalau toh ada kualitas bangunan yang ada sangat buruk mudah rusak bahkan ambruk. Dalam waktu yang singkat barangkali Jawa tidak banyak membutuhkan infrastuktur itu, akan tetapi bagaimana pemeliharaan infrastuktur tersebut. Luar Jawa keadaanya tidak hanya pada pengadaan infrastuktur bangunan gedung sekolah akan tetapi tenaga pengajar akan siap melayani pendidikan di pelosok desa pedalaman jauh lebih penting untuk diperhatikan.

  Kesehatan dan Gizi masyarakat harus dilihat pada tipologi desa macam apa. Desa menetap dan berbudidaya di mana penduduk nya kreatif, ada pertanian yang maju dan ada industri perdesaan yang berkembang, mereka tidak kesulitan untuk memenuhi gizi. Bagi masyarakat yang telah memiliki pengetahuan pemenuhan gizi tidak menjadi problematik. Ini terutama dapat dilihat di desa di Jawa. Desa lain yang berada di luar Jawa juga tidak bisa dilihat secara kuantitatif semata akan tetapi juga harus dilihat dari sifat kualitatif penyelenggaraan kesehatan dan gizi.

  Keadaan seperti itu perlu dilihat lebih teliti desa mana yang mengalami tingkat kesehatan rendah dan kekurangan gizi. Bagi masyarakat desa yang telah menetap lama sebagai masyarakat desa persoalan ini sudah tidak menjadi persoalan serius.

  Karakteristik wilayah perdesaan sangat berbeda tipologinya baik karakteristik sosial budaya, keadaan infrasturkur yang ada, keadaan di wilayah perdesaan, tingkat kesehatan dan gizi sampai dengan karakteristik kondisi kemiskinannya. Tipologi desa seharusnya mempertimbangkan keadaan yang dan karakteristik ini tidak mungkin digeneralisasikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, desentralisasi menjadi prinsip utama dalam proses pembangunan agar pembangunan lebih cepat untuk menjawab kebutuhan masyarakat perdesaan (susetiawan, 2010).

2.1.4. Dasar Hukum Berdirinya Desa

  Berikut merupakan dasar hukum berdirinya desa :

  1. Undang-Undang Repubklik Indonesia Nomor 5 tahun 1979 Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  2. Undang-Undang Repubklik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

  Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  tentang Desa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

  Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.1.5. Pembentukan dan Perubahan Status Desa

  Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa sebagaimana harus memenuhi syarat :

  a. Jumlah penduduk;

  b. Luas wilayah; c. Bagian wilayah kerja;

  d. Perangkat desa; dan e. Sarana dan prasarana pemerintahan.

  Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.

  Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi kelurahan memperhatikan persyaratan: a. Luas wilayah;

  b. Jumlah penduduk;

  c. Prasarana dan sarana pemerintahan;

  d. Potensi ekonomi; dan e. Kondisi sosial budaya masyarakat.

  Desa yang berubah menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil.

2.1.6. Ruang Lingkup Desa

  Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: a.Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b.Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c.Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; d.Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang undangan diserahkan kepada desa.

  Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Penyelengaraan Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri atas : a. Sekretariat desa;

  b. Pelaksana teknis lapangan; c. Unsur kewilayahan.

  Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai wewenang:

  a. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

  b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa; c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa;

  e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan danmenyalurkan aspirasi masyarakat; dan f. Menyusun tata tertib BPD. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai hak :

  a. Meminta keterangan kepada Pemerintah Desa; b. Menyatakan pendapat.

2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

  pemerintah, mencerminkan kemampuan keuangan yang dimiliki daerah. Karena itu anggaran sebagai satu di antara indikator penting untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi secara makro di daerah, maka format anggaran mesti disusun berdasarkan kemampuan dan kebutuhan obyektif (Pheni chalid, 2005).

  Anggaran merupakan rencana kerja pemerintah dalam bentuk uang dalam periode tertentu. Dengan demikian, anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam satu tahun. Anggaran daerah tersebut disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan menjadi istrumen utama kebijakan pemerintah daerah, terutama dalam mengembangkan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Sebagai alat ukur bagi pendapatan dan pengeluaran keuangan daerah, APBD sangat membantu pemerintah daerah dalam mengambil keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran, pengembangan ukuran-ukuran untuk evaluasi kinerja pemerintah. Selain itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen yang dapat dipakai untuk memotivasi para pegawai dan alat bagi semua unit kerja dalam mengkoordinasikan semua aktivitas (Mardiasmo, 2002).

  APBD memiliki posisi strategis bagi kemampuan keuangan pemerintah daerah, seperti halnya portofolio suatu perusahaan yang mencerminkan

  

performance kinerja perusahaan. Oleh karena itu penyusunan arah dan kebijakan

  umum APBD merupakan bagian dari upaya pencapain visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstrada, Rencana Strategis Daerah (Kuntandi, 2002). Tingkat pencapaian yang direncanakan dalam satu tahun anggaran menunjukkan tahapan dan perkembangan tingkat pencapaian yang

  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terdiri atas:

  1. Anggaran pendapatan, terdiri atas a.

  sil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain b.

  Bagia c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah ata

  2. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.

  3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

2.3. Keuangan Desa

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Sumber pendapatan desa terdiri atas : a. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;

  b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa;

  c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa; d. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

  Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

2.4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)

  Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ( APB Desa ) terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan Anggaran pembangunan desa. Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa. Pedoman penyusunan APB Desa, perubahan APB Desa, perhitungan APB Desa, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Penyelenggaraan pemerintah desa yang output nya berupa pelayanan public, pembangunan, dan perlindungan masyarakat harus disusun perencanaannya setiap tahun dan dituangkan dalam APBDesa. Dalam APBDesa inilah terlihat apa yang akan dikerjakan pemerintah desa dalam tahun berjalan.

  Pemerintah desa wajib membuat APBDesa. Melalui APBDesa kebijakan desa yang dijabarkan dalam berbagai program dan kegiatan sudah ditentukan anggarannya. Dengan demikian, kegiatan pemerintah desa berupa pemberian pelayanan, pembangunan, dan perlindungan kepada warga dalam tahun berjalan sudah dirancang anggarannya sehingga sudah dipastikan dapat dilaksanakan. Tanpa APBDesa, pemerintah desa tidak dapat melaksanakan program dan kegiatan pelayanan publik. Berikut Struktur APBDesa :

  a. Pendapatan Desa

  Pendapatan desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Pendapatan desa terdiri atas:

  1) Pendapatan asli desa (PADesa)

  2) Bagi hasil pajak kabupaten/ kota

  3) Bagian dari retribusi kabupaten/ kota Alokasi dana desa (ADD)

  5) Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, dan desa lainnya

  6) Hibah

  7) Sumbangan pihak ketiga

  b. Belanja desa

  Belanja desa meliputi semua pengeluaran dan rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa terdiri atas:

  1) Belanja langsung yang terdiri atas:

  a) Belanja pegawai

  b) Belanja barang dan jasa

  c) Belanja modal

  2) Belanja tidak langsung yang terdiri atas:

  a) Belanja pegawai/ penghasilan tetap b) Belanja subsidi

  c) Belanja hibah (pembatasan hibah)

  d) Belanja bantuan social

  e) Belanja bantuan keuangan

  f) Belanja tak terduga

c. Pembiayaan Desa

  Pembiayaan desa meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan

  1) Penerimaan pembiayaan, yang mencakup:

  a) Sisa lebih perhitungan anggaran (SilPA) tahun sebelumnya

  b) Pencairan dana cadangan

  c) Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan

  d) Penerimaan pinjaman

  2) Pengeluaran pembiayaan yang mencakup:

  a) Pembentukan dana cadangan

  b) Penyertaan modal desa

c) Pembayaran utang

2.5. Alokasi Dana Desa (ADD)

2.5.1. Latar Belakang Alokasi Dana Desa

  Alokasi Dana Desa merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan yaitu hubungan keuangan antara pemerintahan Kabupaten dengan pemerintahan desa. Untuk dapat merumuskan hubungan keuangan yang sesuai maka diperlukan pemahaman mengenai kewenangan yang dimiliki pemerintah desa. Penjabaran kewenangan desa merupakan implementasi program desentralisasi dan otonomi. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi desa maka desa memerlukan pembiayaan untuk menjalankan kewenangan yang dilimpahkan pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan Otonomi Desa agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari Desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan mayarakat.

  Alokasi dana desa dalam APBD kabupaten/ kota dianggarkan pada bagian pemerintah desa. Pemerintah desa membuka rekening pada bank yang ditunjuk berdasarkan keputusan kepala desa. Kepala desa mengajukan permohonan penyaluran alokasi dana desa kepada bupati c.q kepala bagian pemerintah desa secretariat daerah kabupaten/ kota melalui camat setelah dilakukan verifikasi oleh tim pendamping kecamatan. Bagian pemerintah desa pada setda kabupaten/ kota akan meneruskan berkas permohonan berikut lampirannya kepada kepala bagian keuangan setda kabupaten/ kota atau kepala badan pengelola keuangan daerah (BPKD) atau kepala badan pengelola keuangan dan kekayaan asset daerah (BPKKAD). Kepala bagian keuangan setda atau kepala BPKD atau kepala BPKKAD akan menyalurkan alokasi dana desa langsung dari kas daerah ke rekening desa. Mekanisme pencairan alokasi dana desa dalam APBDesa dilakukan secara bertahap atau disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi daerah kabupaten/ kota.

  Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang pembiayaan nya bersumber dari ADD dalam APBDesa sepenuhnya dilakukan oleh tim pelaksana desa dengan mengacu pada peraturan bupati/ wali kota. Penggunaan anggaran alokasi dana desa adalah sebesar 30% untuk belanja aparatur dan operasional pemerintah desa, sebesar 70% untuk biaya pemberdayaan masyarakat. Belanja pemberdayaan masyarakat

  a) Biaya perbaikan sarana public dalam skala kecil

  b) Penyertaan modal usaha masyarakat melalui badan usaha milik desa

  (BUMDesa)

  c) Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan

  d) Perbaikan lingkungan dan pemukiman

  e) Teknologi tepat guna

  f) Perbaikan kesehatan dan pendidikan

  g) Pengembangan social budaya

  h) Kegiatan lain yang dianggap penting

2.5.2. Dasar Hukum Alokasi Dana Desa

  a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

  b. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa;

  c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa;

  d. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tanggal 22 Maret 2005 perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa ;

  e. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/286/SJ Tanggal 17 Pebruari 2006 perihal Pelaksanaan Alokasi Dana Desa ; f. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/1784/2006 Tanggal 3

  Oktober 2006 perihal Tanggapan atas Pelaksanaan ADD;

   Kepada Pemerintah Desa

  Landasan Pemikiran Alokasi Dana Desa sebagai berikut :

  1. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan- kebijakan tentang desa, terutama dalam memberi pelayanan, peningkatan peran serta, peningkatan prakarsa dan pemberdayaan masyarakat desa yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.

  2. Undang Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa keseluruhan belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah.

  3. Hasil penelitian Tim Studi Alokasi Dana Desa di beberapa Kabupaten menunjukkan bahwa pelaksanaan alokasi dana desa dapat meningkatkan peran pemerintah desa dalam memberikan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

  4. Dalam rangka meningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, desa mempunyai hak untuk memperoleh bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota.

  5. Perolehan bagian keuangan desa dari kabupaten/kota selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa (ADD), yang penyalurannya melalui Kas Desa.

  6. Pemberian Alokasi Dana Desa merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman,

  2.5.4. Tujuan Alokasi Dana Desa (ADD)

  1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya.

  2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa.

  3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa.

  4. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.

  2.5.5. Penyusunan Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota Tentang Alokasi Dana Desa (ADD) 1.

  Proses penyusunan kebijakan ADD, diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bersama DPRD, dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap kemandirian desa, seperti wakil dari pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan di Desa, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi.

2. Dalam rangka menyiapkan kebijakan daerah tentang ADD, Pemerintah

  Kabupaten/Kota membentuk suatu Tim yang keanggotannya berasal dari aparat pemerintah daerah, kecamatan, dan desa; perwakilan DPRD dan BPD; serta organisasi kemasyarakatan yang memiliki pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat dan desa.

  3. Tim tersebut dalam angka 2 di atas bertugas untuk mempersiapkan berbagai hal yang terkait dengan ADD sesuai dengan kebijakan daerah. atau Peraturan Daerah.

  5. Proses penetapan Peraturan Bupati/Walikota atau Peraturan Daerah tentang ADD dilakukan secara transparan dan partisipatif.

  6. Pemerintah Kabupaten/Kota bekerjasama dengan para pelaku terkait, perlu menyiapkan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan didesa dalam mengelola, memanfaatkan dan mengembangkan hasil-hasil ADD (surat edaran menteri dalam negeri nomer 140/640/SJ/ tanggal 22 maret tahun 2005 perihal pedoman alokasi dana desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa).

2.5.6. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD)

  1. Pengelolaan keuangan ADD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam APBDesa.

  2. Seluruh kegiatan yang didanai oleh ADD direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat di desa.

  3. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, teknis dan hukum.

  4. ADD dilaksanakan dengan menggunakan prinsip hemat, terarah dan terkendali.

  2.5.7. Mekanisme Penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD)

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mekanisme penyaluran Alokasi Dana Desa 1.

  Penyediaan dana untuk ADD beserta untuk pengelolaannya dianggarkan dalam APBD setiap tahunnya.

  2. Pengajuan ADD dapat dilakukan oleh pemerintah desa apabila sudah ditampung dalam APBDesa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa.

  3. Mekanisme penyaluran secara teknis yang menyangkut penyimpanan,nomor rekening, transfer, Surat Permintaan Pembayaran, mekanisme pengajuan dan lain-lain diatur lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di daerah.

  2.5.8. Penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD)

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) adalah sebagai berikut:

  1. Penggunaan Alokasi Dana Desa dimusyawarahkan antara Pemerintah Desa dengan masyarakat dan dituangkan dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) tahun yang bersangkutan.

  2. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dilakukan oleh Pemerintah Desa yang dibantu oleh Lembaga Kemasyarakatan di Desa.

  3. Kegiatan – kegiatan yang dapat didanai oleh ADD adalah sesuai dengan ketentuan penggunaan belanja APBDesa.

  4. Bagian dari ADD yang digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat desa, sekurang-kurangnya adalah sebesar 60%.

  5. Peraturan lebih lanjut tentang teknis pelaksanaannya dapat diatur dalam Keputusan Kepala Desa.

  6. Perubahan penggunaan ADD yang tercantum dalam APBDesa dapat diatur

  7. Guna kepentingan pengawasan, maka semua penerimaan dan pengeluaran keuangan sebagai akibat diberikannya Alokasi Dana Desa dicatat dan dibukukan sesuai dengan kebijakan daerah tentang APBDesa.

2.5.9. Pelaporan Alokasi Dana Desa (ADD)

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaporan ADD adalah sebagaiberikut:

  1. Pelaporan diperlukan dalam rangka pengendalian dan untuk mengetahui perkembangan proses pengelolaan dan penggunaan ADD. Adapun jenis pelaporan mencakup: a. Perkembangan pelaksanaan dan penyerapan dana.

  b. Masalah yang dihadapi.

  c. Hasil akhir penggunaan ADD.

  2. Laporan ini dilaksanakan melakui jalur struktural yaitu dari tim pelaksana tingkat Desa diketahui oleh Kepala Desa ke tim pendamping tingkat Kecamatan secara bertahap. Selanjutnya tim pendamping tingkat Kecamatan membuat laporan/rekapan dari seluruh laporan tingkat desadi wilayahnya secara bertahap melaporkan kepada Bupati melalui tim fasilitasi tingkat Kabupaten.

  3. Berbagai jenis laporan tersebut tersedia di kantor Kepala Desa untuk dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang membutuhkannya.

2.5.10. Pengawasan Alokasi Dana Desa (ADD)

  Pemerintah provinsi wajib mengkoordinir pemberian dan penyaluran alokasi dana desa dari kabupaten/kota kepada desa. Pemerintah kabupaten/ kota dan camat wajib membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

  1. Pengawasan terhadap ADD beserta kegiatan pelaksanaanya dilakukan secara fungsional oleh pejabat yang berwenang dan oleh masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

  2. Jika terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan ADD, maka penyelesaiannya secara berjenjang, mulai dari ditingkat desa kemudian kecamatan.

  3. Beberapa indikator yang dapat diberlakukan dalam menilai keberhasilan pengelolaan dan penggunaan ADD, yaitu: a. Pengelolaan 1. Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang adanya ADD.

  2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan tingkat Desa.

  3. Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang pertanggungjawaban penggunaan ADD oleh pemerintah desa.

  b. Penggunaan

  1. Kegiatan yang didanai sesuai dengan yang telah direncanakan dalam APBDesa.

  2. Daya serap (realisasi) keuangan sesuai yang ditargetkan.

  3. Tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

  4. Besarnya jumlah penerima manfaat (terutama dari kelompok miskin).

  5. Tingginya kontribusi masyarakat dalam mendukung penggunaan ADD.

  6. Terjadi peningkatan Pendapatan Asli Desa.

  7. Mampu bersinergi dengan program-program pemerintah yang adadi desa tersebut (surat edaran menteri dalam negeri nomer 140/640/SJ/ tanggal 22 kabupaten/kota kepada pemerintah desa).

2.5.11. Organisasi Pengelola Alokasi Dana Desa (ADD)

  Organisasi atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memonitoring jalannya alokasi dana desa pada setiap desa di Kabupaten dairi dari mulai penyusunan anggaran, penatausahaan (pencairan dana ) sampai dengan pertanggung jawabannya yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa dan semua kecamatan yang ada di Kabupaten dairi. Pertanggungjawaban alokasi dana desa (ADD) terintegrasi dengan pertanggung jawaban APBDesa, sehingga bentuk pertanggung jawabannya adalah pertanggung jawaban APBDesa. Bentuk pelaporan atas kegiatan-kegiatan dalam APBDesa yang dibiayai dari ADD adalah, sebagai berikut: a.

  Laporan berkala, artinya laporan mengenai pelaksanaan penggunaan dana ADD dibuat secara rutin setiap bulan. Adapun yang dimuat dalam laporan ini adalah realisasi penerimaan ADD dan realisasi belanja ADD. b.

  Laporan akhir penggunaan ADD, yang mencakup perkembangan pelaksanaan dan penyerapan dana, masalah yang dihadapi, dan rekomendasi penyelesaian hasil akhir penggunaan ADD.

  Penyampaian laporan dilaksanakan melalui jalur struktural, yaitu dari tim pelaksana tingkat desa dan diketahui kepala desa ke tim pendamping tingkat kecamatan secara bertahap. Tim pendamping tingkat kecamatan membuat laporan/ rekapan dari seluruh laporan tingkat desa di wilayah dan secara bertahap melaporkannya kepada bupati cq. Tim fasilitas tingkat kabupaten/ kota. Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan tugas pendampingan tim pendamping (ADD).

2.6. Pengangguran

  Pengangguran adalah masalah yang seringkali menghantui baik negara maju maupun negara berkembang. Tingkat penganggruran yang terlalu tinggi tidak hanya dapat mengganggu stabilitas keamanan namun juga stabilitas politik. Karenya pemerintah di semua negara selalu berusaha agar pengangguran yang terjadi berada pada tingkat yang “wajar”. Sebaliknya penganggur adalah orang yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan (payaman simanjuntak, 1985). Secara singkat: Angkatan Kerja = Pekerja + Penganggur

  Tingkat pengangguran adalah perbandingan jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja, dinyatakan dalam persen.

  Tingkat pengangguran = Jumlah penganggur X 100 % Jumlah angkatan kerja

  Menurut sebab terjadinya, pengangguran dapat digolongkan kepada tiga jenis yaitu pengangguran friksional, structural dan musiman.

a. Pengangguran Friksional

  kesulitan temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang ada. Kesulitan temporer ini dapat berbentuk sekedar waktu yang diperlukan selama prosedur pelamaran dan seleksi, atau terjadi karena faktor jarak atau kurangnya informasi. Di satu pihak, pencari kerja tidak hanya sekedar mencari pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan yang tertinggi dan kondisi kerja yang terbaik di antara beberapa alternatif. Proses pemilihan seperti itu memerlukan waktu. Di lain pihak, pengusaha tidak begitu saja mengisi lowongan kerja yang ada dengan orang yang pertama kali datang melamar. Untuk mengisi suatu lowongan tertentu pengusaha cenderung memilih seorang yang dianggap terbaik di antara calon-calon yang ada. Pengisian lowongan seperti itu memerlukan proses seleksi, berarti membutuhkan waktu. Selama proses yang demikian, seorang pelamar yang menunggu panggilan untuk seleksi atau ujian masuk (yang belum pasti akan diterima) adalah tergolong penganggur friksional.

  Penganggur friksional dapat pula terjadi karena kurangnya mobilitas pencari kerja di mana lowongan pekerjaan justru terdapat bukan di sekitar tempat tinggal si pencari kerja. Misalnya pencari kerja terkumpul di Jakarta sedang lowongan pekerjaan terdapat di luar Jakarta.

  Bentuk ketiga penganggur friksional terjadi karena pencari kerja tidak mengetahui di mana adanya lowongan pekerjaan dan demikian juga pengusaha tidak mengetahui di mana tersedianya tenaga-tenaga yang sesuai.

  Dengan sepintas lalu dapat disimpulkan bahwa pengangguran friksional merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan walaupun secara teoritis jangka pasar kerja yang lebih lengkap.

b. Pengangguran Struktural

  Pengangguran struktural terjadi karena adanya perubahan dalam struktur atau komposisi perekonomian. Perubahan struktur yang demikian memerlukan perubahan dalam keterampilan tenaga kerja yang dibutuhkan sedangkan pihak pencari kerja tidak mampu menyesuaikan diri dengan keterampilan baru tersebut.

  Misalnya dalam suatu pergeseran dari ekonomi yang berat agraris menjadi ekonomi yang berat industri. Di satu pihak, akan terjadi pengangguran tenaga di sektor pertanian, dan di pihak lain bertambah kebutuhan di sektor industri. Akan tetapi tenaga yang berlebih di sektor pertanian tidak dapat begitu saja diserap di sektor industri, karena sektor industri memerlukan tenaga dengan keterampilan tertentu. Akibatnya tenaga berlebih di sektor pertanian tersebut merupakan pengangguran struktural.

  Bentuk pengangguran struktural yang lain adalah terjadinya pengurangan pekerja akibat penggunaan alat-alat dan teknologi maju. Penggunaan traktor misalnya dapat menimbulkan pengangguran di kalangan buruh tani.

  Penganggur sebagai akibat perubahan struktur perekonomian pada dasarnya memerlukan tambahan latihan untuk memperoleh keterampilan baru yang sesuai dengan permintaan dan teknologi baru.

  Lamanya pengangguran struktural pada umumnya lebih panjang dari lamanya pengangguran friksional. Namun dalam survey atau sensus, kedua jenis pengangguran tersebut sukar dibedakan.

  Pengangguran musiman terjadi karena pergantian musim. Di luar musim panen dan turun ke sawah banyak orang yang tidak mempunyai kegiatan ekonomis, mereka hanya sekadar menunggu musim yang baru. Selama masa menunggu tersebut mereka digolongkan sebagai penganggur musiman. Namun dalam Sensus Penduduk 1971, Survei Nasional 1976 dan Sensus Penduduk 1980 hal ini tidak terjelas terlihat karena mereka menurut definisi digolongkan bekerja (payaman simanjuntak,1985).

2.7. Penduduk

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan menyatakan bahwa Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pengelompokkan penduduk berdasarkan ciri-ciri tertentu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  1. Biologis; meliputi umur dan jenis kelamin Umur dan jenis kelamin merupakan karakteristik penduduk yang pokok.

  Struktur ini mempunyai pengaruh penting, baik terhadap tingkah laku demografis maupun sosial ekonomi.

  2. Sosial; antara lain meliputi tingkat pendidikan, status perkawinan dan sebagainya.

  3. Ekonomi; meliputi penduduk yang aktif secara ekonomi, lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan.

  4. Geografis; berdasarkan tempat tinggal, daerah perkotaan, pedesaan, provinsi, Kepadatan penduduk merupakan perbandingan banyaknya jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah suatu daerah tertentu. Penyebaran penduduk disebabkan karena sumber-sumber mata pencaharian, sosial dan budaya, sarana dan prasarana publik menjadikan penduduk hidup berkelompok-kelompok. Selain itu kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk mempengaruhi jumlah penduduk suatu wilayah.

2.8. Koperasi

  Koperasi merupakan suatu alat yang ampuh bagi pembangunan, oleh karena koperasi merupakan suatu wadah, di mana kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok tergabung sedemikian rupa. Sehingga melalui kegiatan kelompok, kepentingan pribadi para anggota menjadi kekuatan pendorong yang memberikan manfaat bagi seluruh anggota kelompok tersebut. Kelompok tersebut bisa terjadi jika kelompok itu secara relatif homogen dan setiap anggotanya mampu memberikan kontribusi yang nyata (tiktik sartika partomo, 2008).

  Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian di dalam pasal 3 dikatakan mengenai pengertian koperasi, yaitu: Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi rakyat sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2012 tentang oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.

  Koperasi berdasar atas asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.

  Koperasi Unit Desa (KUD) adalah organisasi ekonomi yang berwatak sosial yang merupakan wadah bagi pengembangan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan yang diselenggarakan untuk masyarakat pedesaan guna meningkatkan pelayanan kepada anggota masyarakat dan masyarakat pedesaan.

  Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai pusat pelayanan dalam kegiatan perekonomiaan pedesaan memiliki dan melaksanakan fungsi : a. Perkreditan, untuk keperluan produksi dan penyediaan kebutuhan modal investasi dan modal kerja/usaha bagi anggota KUD dan warga desa umumnya.

  b. Penyediaan dan penyaluran sarana-sarana produksi seperti sarana sebelum dan sesudah panen, sarana produksi untuk keperluan industri/kerajinan dan sebagainya, penyediaan dan penyaluran barang-barang keperluan sehari-hari khususnya sembilan bahan pokok.

  c. Pengolahan dan pemasaran hasil produksi/industri dan sebagainya dari d. Kegiatan perekonomian lainnya seperti perdagangan dan pengangkutan.

2.9. Penelitian Terdahulu

  Pada penelitian terdahulu, para peneliti telah melakukan berbagai penelitian tentang alokasi dana desa ( ADD ) dan pembangunan desa, sehingga akan sangat membantu dalam mencermati masalah yang akan diteliti dengan berbagai pendekatan spesifik sebagai rujukan utama. Selain itu juga memberikan pembedaan atau pembanding penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu tersebut yaitu sebagai berikut :