Fatwa Pada Masa Rasulullah SAW

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika dilihat dari sejarahnya, fatwa adalah salah satu pranata dalam pengambilan
keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat
dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab

hukum yang memiliki corak pemikiran masing-

masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam
yang tergambar dari beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat
nabi. Pada masa itu, terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana
pada masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu
fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal dengan
Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam mazhab-mazhab
yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda
disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
Fatwa adalah “pendapat dalam bidang hukum” atau “official legal opinion”. 1 Hukum di
sini tidak hanya berarti sebagai hukum negara, tetapi juga hukum dengan kata jamak ahkam
menyangkut hukum taklifi tentang wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi

Muhammad, pendapat dalam bidang hukum selalu ditanyakan kepada beliau.
Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum ditanyakan
kepada para khalifah dan sahabat Nabi.2 Kemudian, persoalan hukum masyarakat setelah
masa tersebut ditanyakan kepada hakim pengadilan dan adapun di daerah-daerah yang jauh
dari pengadilan, pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang berfungsi sebagai mufti. Di
berbagai negara, jabatan mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti
Mesir, Mufti Suria, Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lainlain.
Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi Muhammad
s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa ulama adalah pewaris
para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam menyampaikan ketentuan hukum agama.
Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari

1
2

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: MacDonald & Evans Ltd., 1980), hal. 696.
Muhammad al-Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, 1080), hal. 69.

syariah dan di sisi lain pembuat hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan
kepada prinsip-prinsip syariah.3

Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim
mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah terhadap apa
yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu al-Qayyim menamakan kitabnya sebagai A’lam alMuwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili Tuhan Seluruh Alam). 4
Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara syariah) tanpa
mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam).5 Hukum Islam dalam hal ini
berciri qadha’i dan diyani.
Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat duniawi, bagaimana tampaknya di dunia (di
depan pengadilan) berdasarkan perbuatan atau tindakan lahir, yang tidak ada hubungannya
dengan hal-hal tidak tampak yang bersifat batin. Seorang hakim memutus berdasarkan fakta
yang ia lihat, dan ia tidak tahu secara batin apakah peristiwa itu sebenarnya seperti yang ia
lihat. Karena itu, ada ungkapan di kalangan hakim muslim: Nahnu nahkum bidz-zdawahir
wallahu yatawalla bis-sara’ir (Kami memutus dengan apa yang tampak, sedangkan Allah
mengendalikan yang tidak tampak). Hakim memutus sebatas kemampuannya dan putusannya
tidak menjadikan yang batil menjadi hak atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan yang
haram dan tidak pula mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia lihat, tetapi bila
hakikatnya tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu Allah. Karena itu, seperti
disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, “Bila hakim telah berusaha dengan
sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah di sisi Allah, maka ia masih mendapatkan
sebuah pahala sebagai balasan atas kesungguhannya. Bila putusannya benar di sisi Allah,
maka ia mendapat pahala dua kali, yaitu balasan atas kesungguhannya dan balasan atas

kebenarannya.” Berbeda dengan fatwa mufti, maka yurisprudensi bersifat mengikat.
Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana nantinya di akhirat,
berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya, sekalipun orang tidak
melihatnya.
Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah
yang menjadi dasar fatwa mufti.
Dengan demikian, yurisprudensi dan fatwa mufti sebenarnya mempunyai kesimpulan
yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda dalam pelaksanaannya.
Yurisprudensi
3

dijalankan sesuai dengan amar putusan, sedangkan fatwa mufti terserah

Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam, 1435/2994), hal. 37.
Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ ,,, hal. 38.
5
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I (Damaskud: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1984), hal. 35.
4

kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai dengan hati nuraninya apakah ia akan

menjalankannya atau tidak. Dahulu, di Peradilan Agama, ada yang disebut fatwa waris
(sekarang disebut penetapan ahli waris) dan putusan tentang masalah waris. Fatwa atau
penetapan waris diputuskan berdasarkan data yang diberikan oleh pemohon dan pengadilan
tidak memeriksa apakah data tersebut akurat atau tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for
granted bahwa seandainya data itu benar, maka fatwa atau penetapannya adalah seperti yang
difatwakan. Ini berbeda dengan yurisprudensi (putusan peradilan) tentang masalah waris di
mana datanya diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan fakta sebenarnya atau
tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah berapa jumlah harta warisan dan
siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai dengan posita penggugat. Secara hukum,
putusan tersebut harus dilaksanakan, apakah para pihak setuju atau tidak.
Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti menjawab masalah hukum
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam hukum Islam. Sedangkan mujtahid
menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum baru yang dirumuskan dari sumbersumber hukum primer dan sekunder Islam. Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan:
“Ijtihad dan fatwa sering digunakan silih berganti. Perbedaan utama antara keduanya adalah
bahwa ijtihad mempunyai substansi yuridis yang lebih besar yang menjelaskan dasar
pembuktiannya sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan putusan atau opini yang
diberikan dalam bentuk sebuah jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Tidak menjadi syarat
bahwa fatwa menjelaskan dasar pembuktiannya, bisa dalam bentuk pendek atau lebih
mendalam dan rinci.”6
B. Rumusan Masalah


C. Tujuan Pembahasan

6

Mohammad Hashim Kamali, Shariah Law: An Introduction (Oxford: Oneworld, 2008), hal. 152.

PEMBAHASAN
A. Fatwa Pada Masa Rasulullah SAW
Periode Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22
tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh besar dan hasil yang gemilang,
karena telah meninggalkan nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Periode ini
meninggalkan sejumlah dasar tasyri’ yang menyeluruh, yaitu sejumlah sumber hukum dan
dalil untuk mengetahui sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.7
Dalam periode Rasulullah terdiri atas dua fase, yaitu:
1. Fase Rasul berada di Mekah
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi
sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai
tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk
berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi

kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.8
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah selesai
tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan
kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang turun di Mekkah,
maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid,
memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi.
Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu,
menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan
memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya
seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal
pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri
(rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi,
agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang
mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
7
8

Khallaf, Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani. h. 4

Sirri, Mun’in.1995. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar. Risalah Gusti, h. 22

Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga
mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang
disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti
pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan
kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah
sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata.
Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan
moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
2. Fase Rasul Berada di Madinah
Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai
wafatnya. Pada fase ini Islam terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan, dan
media-media dakwah telah berjalan lancar. Pada fase atau periode ini Islam sudah
kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah
banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang. 9
Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan
undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan
bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula hubungan mereka dengan bangsa yang
bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.

Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan
masyarakat sebagai masyarakat percontohan.10 Oleh karena itu di periode madinah
inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat
ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Meskipun pada
periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang
bersifat legalitas sudah ada sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah
diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang
tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan
etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu
disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi,
dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun
kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris,

9

Khallaf, Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani, h. 10
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam lintasan sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, h. 13

10


wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan
ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwaperistiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan
kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi
pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan
bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan
hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang
Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat
(wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang
dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka
melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal
tersebut benar menurut Nabi SAW.
Pada masa Rasulullah, pengendali kekuasaan tasyri’ adalah Rasulullah sendiri. Tidak
seorangpun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang mentasyri’kan hukum pada suatu
kejadian, baik untuk dirinnya maupun untuk orang lain. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan hukum Islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh Rasulullah, dan tidak
ada masyarakat yang berani melakukan ijtihad sendiri. Rasulullah memberi fatwa,
menyelesaikan persengketaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan beberapa ayat
Al-Qur’an yang di wahyukan oleh Allah kepada beliau, dan tidak jarang pula dengan cara

ijtihad Rasulullah yang bersandar kepada ilham dari Allah, atau berdasar kepada petunjuk
akalnya. Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah kemudian menjadi tasyri’ bagi
umat Islam dan merupakan undang-undang yang wajib diikuti, baik hal itu bersumber dari
Allah maupun dari ijtihad Rasulullah sendiri. Perundang-undangan di masa Rasulullah
bersumber dari dua hal, yaitu wahyu Allah dan ijtihad Rasulullah sendiri. Apabila muncul
permasalahan yang menghendaki peraturan seperti perselisihan, peristiwa hukum,
pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya satu atau
beberapa ayat yang memuat hukum yang dikehendaki. Kemudian Rasulullah menyampaikan
wahyu yang lantas menjadi undang-undang yang wajib diikuti itu kepada umat Islam. Namun
apabila timbul sesuatu hal yang memerlukan peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan
kepada Rasulullah ayat yang menjelaskan hukum dimaksud, maka rasulullah berijtihad untuk
mengetahui hukumnya. Hasil ijtihadlah yang dipergunakan untuk memberi keputusan, atau
memberi fatwa hukum, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau menjawab permintaan

fatwa hukum. Sehingga ijtihad Rasulullah menjadi peraturan yang wajib diikuti, di samping
undang-undang Allah.

B. Fatwa Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin ummat dan
kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi

sendiri. Oleh karena itu, maka sebagai seorang pengganti nabi, ummat Islam secara otomatis
menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi di
masyarakat. Selain itu, para shahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi
pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit,
Abdullah ibnu umar di Madinah, Abdullah ibnu Mas’ud di Kufah, Abdullah ibn amr ibn ash
di Mesir. Aisyah dan zadhi yang mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal 11. Mereka
terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan
pengembangannya.
Pada masa ini sahabat mengeluarkan fatwa sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka
tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa
hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya.12 Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang
perlu difatwakan saja. Mereka berpendapat bahwa :
1. Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia,
membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu yang
berharga.
2. Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa
karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa terhadap
kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya apabila ia
apabila dimintai fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka
Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah
sampai kasusnya terjadi.“[23]

11

Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet II (Semarang : Pustaka Rizki Putra,
1999), hal 43.
12
Ali Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar ……., hal 35.

3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang mengeluarkan fatwa dan
ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan
mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin; baik keagamaan maupun keduniaan.
Inilah yang membuat mereka sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.[24]
Sahabat melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan suatu
kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan ijtihad.
Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena
adanya peristiwa yang terjadi. Dengan dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahanpermasalahan kontemporer umat islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini
kemudian mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi
ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum islam,
bahkan masalah yang belum dihadapi.
Beberapa usaha yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin dalam mengeluarkan fatwa
antara lain :
1. Ijtihad Sahabat
Setelah Rasulullah meninggal dan mewariskan Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi
sumber hukum ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam
Alquran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan
Islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan
islam mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria,
Persia dan Irak.13 Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi
banyak kejadian dan persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini
mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam
mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah
dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah bahwa mereka melihat
dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain sebagainya.
2. Ijma’
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan
ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah.
Hasil musyawaroh sahabat ini disebut ijma’14. Kemudian rasulullah telah menyediakan
metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan
13
14

Muhammad Ali As-says, Sejarah Fiqih Islam, cet I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) hal 59.
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal 37

pahala ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan
dalil bahwa seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum
kemudian benar hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia
mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram,
yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata : apabila
suatu perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di
temukan di sana hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka,
maka ia putuskan dengan hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia
ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut.
Bila tidak di temukan jaga ia keluar dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di
ajukan padaku…lalu apakah kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu
hukum dalam masalah ini? Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu
kepusan dari rasulullah.Bila tidak di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan
tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di
peroleh kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil
kesepakatan itu.15
3. Ro’yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu
menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan
ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat
menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat
diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia.
Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti
nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit. Tentang
qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka
menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah
berpikir, mengamati, dan mencari untuk mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang
terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut
mereka ra’yu tidak sebatas qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi
meliputi analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.16

15
16

Muhammad Ali As-says, Sejarah ……., hal 61
Muhammad Ali As-Says. Sejarah Fiqih……. h 60.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65