LAPORAN PRAKTIKUM AGROKLIMATOLOGI Klasif id

LAPORAN PRAKTIKUM
AGROKLIMATOLOGI

ACARA VI
KLASIFIKASI IKLIM UNTUK BIDANG PERTANIAN

Oleh :
Ikhwani Nindya Puspita (A1D017182)
Rombongan 07
Kelompok 03
PJ Asisten. Clara L

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2018

I.

PENDAHULUAN

A

Latar Belakang

Iklim merupakan rata-rata kondisi cuaca tahunan yang meliputi wilayah
relatif luas. Adanya iklim dapat diketahui melalui perhitungan, pengamatan, dan
pencacatan yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Ilmu yang mempelajari
tentang iklim disebut klimatologi.
Kondisi cuaca ataupun iklim ini dicirikan oleh unsur-unsur atau
komponen atau parameter cuaca atau iklim antara lain suhu, angin, kelembaban,
penguapan, curah hujan serta lama dan intensitas penyinaran matahari. Kondisi
dari unsur-unsur tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tinggi
tempat, lintang tempat dan posisi matahari.
Berdasarkan hal tersebut, iklim memiliki kondisi yang berbeda-beda pada
suatu daerah dengan daerah yang lain. Sehingga diperlukan klasifikasi terhadap
iklim sebagai pembeda dan ciri khas dari suatu daerah. Terdapat berbagai
klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti Koppen,
Thornthwaite, Mohr, Junghun, Schmidt-Ferguson,

dan Oldeman. Mereka


menggunakan metode-metode yang berbeda-beda di setiap pengamatannya.
Namun, adapula yang melakukan penelitian lebih lanjut terhadap teori yang telah
ada sehingga metodenya mirip dengan penambahan atau beberapa perubahan.
Pada praktikum ini, dilakukan perhitungan pada salah satu teori, yaitu
Scmidth-Ferguson dan Oldeman. Penelitian yang dilakukan menggunakan data

curah hujan 10 tahun terakhir atau hasil rata-rata yang akan ditentukan bobot
basah dan bobot keringnya. Hasil yang diperoleh akan menentukan tipe iklim
masing-masing pada data yang telah tersedia. Dengan begitu, dapat diketahui
habitat suatu tanaman dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman pertanian. Sehingga, kegiatan praktikum ini penting untuk dilakukan.

B
Tujuan
1. Menetapkan kelas iklim suatu daerah berdasarkan data curah hujan suatu
stasiun cuaca menurut Schmidth- Ferguson, dan menurut Oldeman.
2. Menetapakan keadaan iklim berdasarkan kelas iklim menurut SchmidtFerguson, dan menurut Oldeman.

II.


TINJAUAN PUSAKA

Klasifikasi Oldeman dalam Kertasapoetra (1993:27) digunakan
terutama untuk keperluan pertanian di Indonesia. Dasar yang digunakan adalah

adanya bulan basah yang berturut-turut juga. Kedua bulan ini dihubungkan
dengan kebutuhan tanaman padi di sawah serta palawija terhadap air. Menurut
Irianto, dkk (2000) penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson
lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut
Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering
seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klsifikasi iklim Mohr.
Iklim adalah perpaduan dari semua unsur dalam satu gabungan yang
berasal dari proses iklim terkait. Factor yang menentukan kondisi atmosfer dapat
dipakai dalam klasifikasi iklim. Akan tetapi, kriteria yang dipakai untuk
membedakan jenis iklim sebaiknya mencerminkan iklim itu sendiri (Tjasyono,
2004).
Meskipun semua unsur iklim penting, hubungan yang menyatakan
kecukupan panas dan air banyak mempengaruhi klasifikasi iklim. Thornthwaite
(1933) menyatakan bahwa klasifikasi iklim adalah menetapkan pemerian ringkas

jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif, terutama air dan panas.
Unsur lain seperti angina, sinar matahari atau perubahan tekanan ada
kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan tertentu (Tjasyono, 2004).
Klasifikasi iklim menurut schmidth-ferguson dan oldeman adalah
klasifikasi iklim secara empirik, Klasifikasi iklim ini mendasarkan pada hasil
pengamatan yang teratur terhadap curah hujan bulanan. Selain itu, mendasarkan
pada pertumbuhan vegetasi (Handoko,1993).

Cara schmidth-ferguson mengkelaskan iklim berdasarkan data
curah

hujan

bulanan

minimum

10tahun

dan


pertumbuhan

tanaman

hutan(perkebunan), sedangkan cara oldeman juga berdasarkan curah hujan
bulanan minimum 10tahun dan pertumbuhan tanaman pangan padi dan palawija
(Dorenbos,1977).
Klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara
umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai
kriteria utama, mengungkapkan bahwa dengan adanya hubunga sistematik antara
unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang
klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara tanaman dengan unsur
suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai
kriteria dalam pengklasifikasian iklim (Djaenudin, dkk. 2002).
Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas
merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering
dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya
sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk
pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap

menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data
unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas
atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).
Klasifikasi ini merupakan modifikasi atau perbaikan dari sistem
klasifikasi Mohr (Mohr menentukan berdasarkan nilai rata-rata curah hujan
bulanan selama periode pengamatan). BB dan BK pada klasifikasi Schmidt-

Ferguson ditentukan tahun demi tahun selama periode pengamatan yang
kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya. Dimana bulan kering adalah
bulan dengan curah hujan < 60mm, bulan lembab yaitu bulan dengan curah hujan
antara 60mm-100mm, dan bulan basah adalah bulan dengan curah hujan > 100m (
Guslim,2009 ).
ada dasarnya Kriteria bulan basah dan bulan kering yang dipakai
Oldeman berbeda dengan yang digunakan oleh Koppen ataupun SchmidtFerguson Bulan basah yang digunakan Oldeman adalah sebagai berikut: Bulan
basah apabila curah hujan lebih dari 200 mm. Bulan lembab apabila curah
hujannya 100 - 200 mm. Bulan kering apabila curah hujannya kurang dari 100
mm. Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah
kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe
iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut (
Oldeman et al., 1980 ).


III.

METODE PRAKTIKUM
A

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri atas data curah hujan 10 tahun beberapa
stasiun cuaca (data dibagikan saat praktikum).

Alat yang digunakan adalah mesin hitung (kalkulator).
B Prosedur Kerja
1. Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson
a.

Data curah hujan bulanan menurut bulan Januari-Desember dan tahun ke
1-10 disusun.

b.


Bulan basah (BB), bulan kering (BK), dan bulan lembab (BL) setiap
tahun ditentukan.

c.

Kriteria bulan basah, kerng, dan lembab masing-masing > 100 mm,
antara 60-100 mm, dan < 60 mm. Kemudian jumlah bulan basah, bulan
kering, dan bulan lembab ditentukan.

d.

Jumlah bulan basah, jumlah bulan kering, dan jumlah bulan lembab
dijumlahkan.

e.

Jumlah bulan basah, jumlah bulan kering, dan jumlah bulan lembab di
rata-ratakan.


f.

Nilai nisbah rata-rata jumlah bulan kering/rata-rata jumlah bulan basah
ditentukan.

g.

2.

Kelas iklim ditentukan.

Klasifikasi iklim menurut Oldeman
a.

Data curah hujan bulanan menurut bulan Januari-Desamber dan tahun 110 disiapkan.

b.

Curah hujan bulanan bulan Januari sampai Desember dijumlahkan dan
dihitung rata-ratanya.


c.

Bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) ditentukan.

3.

Bila curh hujan bulanan > 200 mm sebagai bukan basah dan bila curah
hujan bulanan < 100 mm sebagai bulan kering.

4.

Periode bulan basah dan periode bulan kering ditentukan secara
berurutan.

5.

Jumlah periode bulan basah dan bulan kering berurutan untuk
menentukan tipe iklim utama (A atay B atau C atau D atau E), dan
periode bulan kering berurutan untuk menentukan sub-divisi iklim (1

atau 2 atau 3 atau 4).

6.

Tipe utama iklim dan sub-divisi iklim ditentukan menggunakan tabel
yang telah tersedia.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Terlampir

B. Pembahasan
Awalnya, iklim diperkenalkan oleh masyarakat Yunani kuno. Kehidupan
mereka bergantung pada alam, sehingga dipengaruhi oleh berbagai fenomena
cuaca dan iklim yang tidak dapat dijelaskan secara logika. Adanya kepercayaankepercayaan pada saat itu membantu pengetahuan mereka mengenai gejala-gejala
atmosfer. Hal tersebut dapat terlihat oleh nama-nama dewa yang disematkan
mereka. Kemudian, masyarakat Yunani kuno terutama filusuf-filusufnya
memberikan perhatian yang besar terhadap klimatologi dan meteorologi. Seiring
berjalannya waktu, pengetahuan cuaca dan iklim mulai berkembang. Masyarakat
mulai menyadari terjadinya kondisi iklim yang berubah-berubah

yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berbagai tokohpun melakukan penelitian lebih
lanjut sehingga ditemukan klasifikasi iklim yang bermacam-macam menurut para
ahli yang dilandasi oleh kriteria tertentu, salah satunya yaitu Koppen,
Thornthwaite, Mohr, Junghun, Schmidt-ferguson, dan Oldeman.
1.

Kopper.
Seorang ahli kimia dari Jerman bernama W. Kopper membuat
klasifikasi iklim yang diperoleh dari data temperatur udara dan endapan
yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok tanaman pada tahun 1884
(dengan beberapa perubahan oleh Köppen, tahun 1918 dan 1936).
Kemudian, seorang ahli iklim Jerman yang bernama Rudolf Geiger
bekerjasama dengan Köppen untuk mengubah sistem klasifikasi, sehingga
sistem ini kadang-kadang disebut sebagai sistem klasifikasi Köppen–Geiger.
Klasifikasinya berdasarkan curah hujan dan temperatur. Koppen membagi

iklim dalam lima daerah iklim dan dinyatakan dengan simbol huruf, yaitu
iklim A, B, C, D, dan E.
2.

Thornthwaite
Sistem Thornthwaite termasuk sistem yang sering digunakan di
seluruh dunia. Sistem ini diperkenalkan padatahun 1933. Sama halnya
dengan klasifikasi iklim Koppen, sistem ini berdasarkan pada vegetasi,
evaporasi, surah hujan, dan suhu. Menurut Thornthwaite, iklim di dunia
dibedakan menjadi 6 tipe, yaitu tropika, mesotermal, mikrotermal, taiga,
tundra, dan frost (dingin).

3.

Mohr
Mohr mengajukan klasifikasi iklim di Indonesia yang didasarkan
curah hujan pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah
Bulan Kering (BK) dan jumlah Bulan Basah (BB) yang dihitung sebagai
harga rata-rata dalam waktu yang lama. Biasanya, curah hujan rata-rata yang
digunakan diperoleh dari pengamatan curah hujan selama minimal 10 tahun.

4.

Junghuhn
Bernama lengkap Franz Wilhelm Junghuhn, merupakan ahli botani
yang berasal dari Belanda. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1838 dan
melakukan penelitian di Pulau Jawa. Penelitian tersebut ditujukan untuk
keperluan pola pembudidayaan tanaman perkebunan, seperti tanaman teh,

kopi, dan kina. Junghuhn membuat klasifikasi iklim berdasarkan ketinggian
tempat dan jenis tumbuhan yang tumbuh.
5.

Schmidt-Ferguson
Klasifikasi iklim Schmidt Ferguson dikembangkan pada tahun 1950.
Schmidt adalah guru besar dan pejabat Direktur Lembaga Meteorologi dan
Geofisika di Jakarta, sedangkan Ferguson adalah seorang guru besar
pengelolaan hutan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada waktu itu.
Mereka berdua membuat klasifikasi iklim ini dengan alasan sistem
klasifikasi yang telah dikenal seperti Koppen, Thornwaite. Sistem
Thornwaite kurang sesuai dengan keadaan di Indonesia khususnya
mengenai teknik menilai curah hujan. Penelitian mereka bertujuan untuk
keperluan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Cara perhitungan
pembagian iklim menurut Schmidt-Ferguson berdasarkan perhitungan
jumlah bulan-bulan terkering dan bulan-bulan basah setiap tahun kemudian
dirata-ratakan. Mereka menentukan bulan basah dan bulan kering dengan
menggunakan metode Mohr, namun terdapat tambahan yaitu pada
penentuan tipe iklim dengan menggunakan nilai Q, yaitu persentase
perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan bulan kering.

6.

Oldeman
Seperti halnya metode Schmidt-Ferguson, metode Oldeman (1975)
hanya menggunakan unsur curah hujan sebagai dasar dari klasifikasi iklim.

Bulan basah dan bulan kering secara berturut-turut dihubungkan dengan
pertanian untuk daerah-daerah tertentu. Oleh karenanya penggolongan
iklimnya

dikenal

dengan

sebutan

zona

agroklimat

(agro-climatic

classification).
Iklim merupakan rata-rata kondisi cuaca tahunan yang meliputi wilayah
relatif luas. Iklim pada suatu daerah berbeda-beda sesuai dengan faktor yang
mempengaruhinya, sehingga diperlukan klasifikasi iklim untuk mengetahui
keadaan suatu daerah tersebut. Menurut Thornthwaite (1933) dalam Tjasyono
(2004) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian
ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama
presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan
tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.
Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia
sering ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada
daerah tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi
pertanian, sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan
dalam kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi. Dalam segi
ketinggian suatu daerah, klasifikasi iklim dapat digunakan dalam bidang
perkebunan dan pertanian untuk menanam tanaman lalu ada juga dalam mengukur
ketinggian suatu daerah, mengetahui seberapa besar jumlah curah hujan di suatu
daerah, temparatur rata-rata, rata-rata bulan basah dan bulan kering secara harian

bulanan tahunan. Rata-rata kelembaban udaranya, dan musim-musim apakah yg
dimiliki dan terjadi di suatu tempat.
Terdapat beberapa metode untuk mengklasifikasikan iklim, antara lain :
1. Metode Matahari
Dasar perhitungan untuk mengadakan pembagian daerah iklim matahari
ialah banyaknya sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Menurut
teori, makin jauh dari khatulistiwa makin besar sudut datang sinar matahari,
sehingga makin sedikit jumlah sinar matahari yang di terima oleh permukaan
bumi.vPembagian daerah iklim matahari didasarkan pada letak lintang adalah
sebagai berikut :
a. Daerah iklim tropis : 0° LU – 23,5° LU dan 0° LS – 23,5° LS
b. Daerah iklim sedang : 23,5° LU – 66,5° LU dan 23,5° LS – 90° LS
c. Daerah iklim dingin : 66,5° LU – 90° LU dan 66,5° LS – 90° LS
Pembagian daerah iklim menurut iklim matahari didasarkan suatu teori,
bahwa temperatur udara makin rendah jika letaknya makin jauh dari
khatulistiwa. Maka dari itu, ada ahli yang menyebut iklim matahari sebagai
iklim teoritis. Menurut kenyataanya, temperatur beberapa tempat menyimpang
dari teori tersebut.
2. Metode Kopper

Klasifikasi ini adalah salah satu sistem klasifikasi iklim yang paling
banyak digunakan secara luas. Pembagian klasifikasi ini disusun berdasarkan
temperatur, curah hujan, vegetasi, dan jenis tanah (soil distribution). Sistem
klasifikasi iklim Koppen disusun dengan memakai kode huruf -huruf besar dan
kecil. Untuk menentukan pembagian atas golongan dengan satu huruf, lalu subgolongan dengan dua huruf. Seterusnya di buat sub-divisi untuk mengadakan
perbedaan atau variasi berdasarakan temperatur unsur cuaca lainnya dengan
simbol (kode) tiga huruf. Ada lima golongan iklim yang pokok, yaitu sebagai
berikut:
a. KELOMPOK A: Iklim tropis/megatermal
Iklim tropis berkarakter temperatur tinggi (pada permukaan laut atau
ketinggian rendah) — dua belas bulan memiliki temperatur rata-rata 18 °C
(64.4 °F) atau lebih tinggi. Terbagi menjadi:
1) Iklim hutan hujan tropis (Af)
2) Iklim monsum tropis (Am)
3) Iklim basah dan kering atau sabana tropis (Aw)
Cirinya adalah sebagai berikut:
1) Suhu rata-rata bulanan tidak kurang dari 18°C
2) Suhu rata-rata tahunan 20°C-25°C
3) Curah hujan rata-rata lebih dari 70 cm/tahun
4) Tumbuhan yang tumbuh beraneka ragam.
b. KELOMPOK B: Iklim kering (gersang dan semigersang)

Sepanjang tahun, rata-rata penguapan lebih besar dari curah hujan.
Tidak terdapat surplus air. Dalam zona iklim ini tidak terdapat sumber
sungai yang permanen.
Dengan ciri sebagai berikut:
1) Terdapat di daerah gurun dan daerah semiarid (steppa)
2) Curah hujan terendah kurang dari 25,4/tahun, dan penguapan besar.
c. KELOMPOK C: Iklim sedang/mesotermal
Bulan terdingin mempunyai temperatur rata-rata di bawah 180C,
tetapi di atas-30C. Paling sedikit satu bulan mempunyai temperatur ratarata di atas 100C. Pada iklim terdapat musim panas dan musim dingin
1) Iklim Mediterania (Csa, Csb)
2) Iklim subtropis (Cfa, Cwa)
3) Iklim sedang maritim atau iklim laut (Cfb, Cwb)
4) Iklim subarktik maritim atau iklim laut subkutub (Cfc)
d. Kelompok D: Iklim benua/mikrotermal
Bulan terdingin memiliki temperatur rata-rata di bawah -3C.
Temperatur rata-rata bulan terpanas di atas 100 yang berbatasan kira-kira
sama derngan ishoterm 100, yakni batas pohon paling utara

1) Iklim benua musim panas (Dfa, Dwa, Dsa)
2) iklim benua musim panas hangat atau hemiboreal (Dfb, Dwb, Dsb)
3) Iklim subarktik kontinental atau boreal (taiga) (Dfc, Dwc, Dsc)
4) iklim subarktik kontinental dengan musim dingin ekstrem (Dfd, Dwd)
e. KELOMPOK E: Iklim Kutub
Temperatur rata-rata bulan terpanas di bawah 10 0C dan tidak terdapat
musim panas.
1) Iklim tundra (ET)
2) Iklim kutub es (EF)
3. Metode Mohr
Klasifikasi Iklim Mohr berdasarkan hubungan antara penguapan dan
besarnya curah hujan. Dasar penggolongan iklim menurut Mohr adalah adanya
bulan basah dan bulan kering. Berdasarkan penelitian tanah, Mohr membagi
tiga derajat kelembapan yaitu :
a.

Bulan basah adalah bulan yang curah hujannya > 100 mm dalam 1 bulan.
Jumlah curah hujan melampaui penguapan.

b.

Bulan kering adalah bulan yang curah hujannya < 60 mm dalam 1 bulan.
Penguapan banyak berasal dari dalam tanah daripada curah hujan.

c.

Di antara bulan basah dan bulan kering disebut bulan lembab. Bulan
lembab tak masuk dalam hitungan. Curah hujan dan penguapan relatif
seimbang.

4. Metode Junghuhn
Pembagian iklim pada metode Junghuhn didasarkan pada ketinggian
tempat yang ditandai dengan jenisvegetasi, zone iklimnya adalah terbagi lima
zone:
a.

BB (Bulan Basah) CH > 100 mm ; CH > E

b.

BK (Bulan Kering) CH < 60 mm ; CH < E

c.

BL (Bulan Lembab) 60 < CH < 100 mm.

Pembagian daerah iklim tersebut adalah sebagai berikut :
a. Daerah Panas/Tropis
Tinggi tempat : 0–600 m di atas permukaan laut.
Suhu : 22° C–26,3° C.
Tanaman : padi, jagung, kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa.
b. Daerah Sedang
Tinggi tempat : 600 m–1500 m di atas permukaan laut.

Suhu : 17,1° C–22° C
Tanaman : padi, tembakau, teh, kopi, kina, sayur-sayuran.
c. Daerah Sejuk
Tinggi tempat : 1500–2500 m di atas permukaan laut.
Suhu : 11,1° C–17,1° C
Tanaman : kopi, teh, kina, sayur-sayuran.
d. Daerah Dingin
Tinggi tempat : lebih dari 2500 m di atas permukaan laut.
Suhu : 6,2° C–11,1° C
Tanaman : Tidak ada tanaman budidaya.
5. Schmidt-Ferguson
Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah
bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering
klsifikasi iklim Mohr. Pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah (X)
dalam

klasifikasian

iklim

Schmidt-Ferguson

dilakukan

dengan

membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau bulan basah selama tahun
pengamatan ( åf ) dengan banyaknya tahun pengamatan (n) (Irianto dkk, 2000).

Kriteria yang digunakan untuk menentukan bulan basah, bulan lembab dan
kering adalah sebagai berikut :
a.

Bulan Basah (BB) : jumlah curah hujan lebih dari 100 mm/bulan.

b.

Bulan Lembab (BL) : jumlah curah hujan antara 60-100 mm/bulan.

c.

Bulan Kering (BK) : jumlah curah hujan kurang dari 60 mm/bulan.
Schmidt dan Ferguson menentukan BB, BL dan BK tahun demi tahun

selama pengamatan, yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya.
Penentuan

tipe

iklimnya

mempergunakan

tipe

iklimnya

dengan

mempergunakan nilai Q yaitu:
Q : Banyak Bulan Kering (Md) x 100%
Banyak Bulan Basah (Mw)
Keterangan :
Q

= perbandingan bulan kering dan bulan basah (%)

 Md = mean (rata-rata) bulan kering, yaitu perbandingan antara jumlah bulan
kering dibagi dengan jumlah tahun pengamatan
 Mw = mean (rata-rata) bulan basah, yaitu perbandingan antara jumlah bulan
basah dibagi dengan jumlah tahun pengamatan.
Ketentuan dari sistem klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson adalah sebagai
berikut.
a.

Tipe Iklim A (sangat basah), jika nilai Q antara 0%–14,33%.

b.

Tipe Iklim B (basah), jika nilai Q antara 14,33%–33,3%.

c.

Tipe Iklim C (agak basah), jika nilai Q antara 33,3%–60%.

d.

Tipe Iklim D (sedang), jika nilai Q antara 60%–100%.

e.

Tipe Iklim E (agak kering), jika nilai Q antara 100%–167%.

f.

Tipe Iklim F (kering), jika nilai Q antara 167%–300%.

g.

Tipe Iklim G (sangat kering), jika nilai Q antara 300%–700%.

h.

Tipe Iklim H (kering sangat ekstrim), jika nilai Q lebih dari 700%.

6. Oldeman
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah
kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe
iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlansung secara berturutturut.
Berikut ini adalah tipe-tipe iklim menurut Oldeman.
a. Iklim A : Jika terdapat lebih dari 9 bulan basah berurutan.
b. Iklim B : Jika terdapat 7–9 bulan basah berurutan.
c. Iklim C : Jika terdapat 5–6 bulan basah berurutan.
d. Iklim D : Jika terdapat 3–4 bulan basah berurutan.
e. Iklim E : Jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan.
Bulan basah, lembap, dan kering yang digunakan Oldeman adalah sebagai
berikut.

a. Bulan basah jika curah hujan lebih dari 200 mm.
b. Bulan lembap jika curah hujannya berkisar antara 100 - 200 mm.
c. Bulan kering jika curah hujannya kurang dari 100 mm.
Metode klasifikasi iklim yang lazim digunakan di Indonesia yaitu metode
Scmidt-Ferguson dan Oldeman. Schmidth dan Ferguson (1951) menentukan
jenis iklim di Indonesia berdasarkan perhitungan jumlah bulan kerin dan bulan
basah. Mereka memperoleh delapan jenis iklim dari iklim basah sampai
kering. Kemudian Oldeman (1975) juga memakai unsur iklim curah hujan
sebagai dasar klasifikasi iklim di Indonesia. Metode Oldeman lebih
menekankan pada bidang pertanian, karenanya sering disebut klasifikasi iklim
pertanian (Tjasyono, 2004).
Iklim mikro merupakan faktor-faktor iklim yang memiliki pengaruh
langsung, yaitu: suhu lingkungan, radiasi matahari, kelebapan udara, dan gesekan
udara (Murtidjo, 1990). Iklim mikro merupakan kondisi iklim pada suhu ruang
yang sangat terbatas tetapi komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan
tumbuhan hewan dan manusia. Karena kondisi udara pada skala mikro ini akan
berkontak langsung dengan dan mempengaruhi secara langsung makhlukmakhluk hidup tersebut. Makhluk hidup tanggap terhadap dinamika dan
perubahan dari unsur-unsur iklim sekitarnya. Keadaan unsur-unsur iklim ini akan
mempengaruhi tingkah langsung dan metabolisme yang berlangsung pada
makhluk hidup. Sebaliknya keberadaan makhluk hidup tersebut (terutama

tumbuh-tumbuhan) akan pula mengalami keadaan iklim mikro di sekitarnya.
Antara makhluk hidup dan udara di sekitarnya akan terjadi saling mempengaruhi
atau interaksi satu sama lain (Shelton, 2009).
Iklim mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas
sampai batas kurang lebih setinggi dua meter dari permukaan tanah. Iklim mikro
merupakan iklim dalam ruang kecil yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
hutan, rawa, danau, dan aktivitas manusia. Keadaan unsur-unsur iklim ini akan
mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh
makhluk hidup, sebaliknya keberadaan makhluk tersebut (terutama tumbuhan)
akan pula mempengaruhi keadaan iklim mikro di sekitarnya. Pengaruh lingkungan
terhadap iklim mikro misalnya terhadap suhu udara, suhu tanah, kecepatan arah
angin, intensitas penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan kelembaban
udara (Holton, 2004).
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama yakni samasama menggambarkan kondisi udara (atmosfer bumi), namun keduanya juga
memiliki perbedaan, terutama dari aspek fokus kajian, luasan wilayah, dan kurun
waktu pengkajian. Cuaca (atau ilmu yang mempelajari cuaca yaitu meteorologi)
merupakan bentuk awal yang dihubungkan dengan penafsiran dan pengertian akan
kondisi fisik udara sesaat pada suatu lokasi dan suatu waktu tertentu. Secara
sederhana, cuaca dapat dimaknai sebagai apa yang terjadi saat ini dan dapat
berubah-ubah darinwaktu ke waktu. Sedangkan iklim (atau ilmu yang
mempelajari iklim yaitu klimatologi) merupakan kondisi lanjutan dan merupakan
kumpulan dari kondisi cuaca yang kemudian disusun dan dihitung dalam bentuk

rata-rata kondisi cuaca dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama (Kaho,
2014). Menurut Winarso (2003) berdasarkan kajian dan pantauan dibidang iklim
siklus cuaca dan iklim terpanjang adalah 30 tahun dan terpendek adalah 10 tahun
dimana kondisi ini dapat menunjukkan kondisi baku yang umumnya akan berguna
untuk menentukan kondisi iklim per dekade. Penyimpangan iklim mungkin akan,
sedang atau telah terjadi bila dilihat lebih jauh dari kondisi cuaca dan iklim yang
terjadi saat ini.
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda
pengertian, khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca merupakan bentuk awal yang
dihubungkan dengan penafsiran dan pengertian akan kondisi fisik udara sesaat
pada suatu lokasi dan suatu waktu, sedangkan iklim merupakan kondisi lanjutan
dan merupakan kumpulan dari kondisi cuaca yang kemudian disusun dan dihitung
dalam bentuk rata-rata kondisi cuaca dalam kurun waktu tertentu (Winarso, 2003).
Menurut Rafi’i (1995) Ilmu cuaca atau meteorologi adalah ilmu pengetahuan yang
mengkaji peristiwa-peristiwa cuaca dalam jangka waktu dan ruang terbatas,
sedangkan ilmu iklim atau klimatologi adalah ilmu pengetahuan yang juga
mengkaji tentang gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat dan gejala-gejala tersebut
mempunyai sifat umum dalam jangka waktu dan daerah yang luas di atmosfer
permukaan bumi.
Berikut ini adalah faktor faktor yang mempengaruhi iklim dan cuaca, antara
lain :
1. Sinar Matahari

Matahari sendiri adalah sumber cahaya utama yang menerangi bumi
kita dan juga tata surya kita. Sinar matahari ini memberikan berbedaan siang
dan malam. Daerah yang terkena sinar matahari daerahnya akan terang dan
sebaliknya daerah yang tidak dapat matahari akan jadi gelap atau malam.
Faktor ini membuat adanya perbedaan cuaca dan iklim. Contohnya saja dari
yang kita ketahui, bumi yang di lalui garis katulistiwa dengan daerah yang
tidak, memiliki cuaca dan iklim yang berbeda. Semakin menjauhi katulistiwa
daerah itu akan semakin kekurangan sinar matahari dan memberikan cuaca dan
iklim yang berbeda.
2.

Suhu dan Temperatur
Berhubungan dengan sinar matahari, faktor lain adalah suhu dan
temperatur. Semakin sinar matahari ada daerah yang sering terkena sinar
biasanya memiliki suhu dan temperature yang hangat dan tinggi. Sedangkan
daerah seperti kutub utara dan selatan karena jarang terkena sinar matahari,
hasilnya daerah disana memiliki suhu dan temperature yang dingin dan rendah.
Maka jekas suhu dan temperature juga termasuk faktor yang mempengaruhi
cuaca dan iklim.

3. Kelembapan Udara
Pemanasan yang terjadi di bumi mengakibatkan air baik di darat maupun
di laut mengalami penguapan dan akhirnya termuat dalam udara, inilah yang
dimaksud dengan kelembapan udara. Kelembapan udara dapat berubah ubah

tergantung dengan pemanasan yang terjadi. Jika semakin tinggi suhu dan
temperatur,

maka semakin tinggi juga kelembapan udaranya, begitu pula

sebaliknya semakin rendah suhu semakin rendah juga kelembapan udaranya.

4.

Tekanan Udara
Tekanan udara adalah suatu gaya yang terjadi dari berat lapisan udara.
Udara adalah kumpulan gas yang masing masing memiliki massa dan
mempuanyai ruang. Suhu di suatu wilayah sangat berpengaruh dengan tekanan
udara. Bila suhu tinggi maka tekanan udaranya rendah, begitu sebaliknya jika
suhu rendah tekanan udara yang di hasilkan tinggi.

5. Angin
Di setiap tempat atau daerah, angin itu berbeda beda. Di setiap tempat
atau wilayah angin memiliki kecepatan yang berbeda beda, arah angin yang
berbeda beda, maupun juga tekanan angin yang dihasilkan pun juga berbeda.
Maka disitulah angina juga merupakan faktor yang mempengaruhi iklim dan
cuaca. Faktor angin dapat merubah kondisi iklim dan cuaca.
6. Curah Hujan
Curah hujan juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi iklim dan
cuaca. Kenapa demikian, karena curah hujan ini memiliki intensitas yang
berbeda beda. Dari curah hujan yang ringan, sedang, dan tinggi ini membuat

iklim dan cuaca terpengaruh. Misal di tempat ini lagi memang musim hujan,
namun di berbagai wilayah memiliki curah hujan yang berbeda beda sehingga
membuat iklim dan cuaca bisa berganti dan terpengaruh.
7. Awan
Awan adalah kumpulan besar dari titik-titik air atau kristal-kristal es yang
halus di atmosfer. Pada waktu musim kemarau sedikit sekali kita jumpai awan
di udara karena penguapan yang terjadi sedikit, akan tetapi di musim hujan kita
dapat menjumpai banyak sekali awan dengan berbagai bentuk dan variasinya,
hal ini karena kandungan uap air di udara cukup banyak.Berdasarkan
bentuknya, awan dibagi sebagai berikut:
a. Awan cumulus, yaitu awan putih yang bergerombol yangsering kita lihat di
siang dan sore hari.
b. Awan stratus, yaitu awan yang berbentuk seperti selimutyang berlapis-lapis
dan relatif luas.
c. Awan cirrus, yaitu awan yang letaknya tinggi sekali dan tipis seperti tabir.
d. Awan nimbus, yaitu awan gelap dengan bentuk yang tidak menentu, awan
ini menandakan akan terjadinya hujan.
Oldeman membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim
merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang
terjadi dalam setahun. Sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah
bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim
berdasarkan huruf . Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu Oldeman
membagi iklim menjadi 5 tipe yaitu :

1. Tipe A, bulan- bulan basah secara berturut- turut lebih dari 9 bulan
2. Tipe B, bulan- bulan basah secara berturut- turut antara 7 sampai 9 bulan
3. Tipe C, bulan- bulan basah secara berturut- turut antara 5 sampai 6 bulan
4. Tipe D, bulan- bulan basah secara berturut- turut antara 3 sampai 4 bulan
5. Tipe E, bulan- bulan basah secara berturut- turut kurang dari 3 bulan
Berdasarkan urutan bulan basah dan kering dengan ketententuan tertentu
diurutkan sebagai berikut:
1. Bulan basah bila curah hujan lebih dari 200 mm
2. Bulan lembab bila curah hujan 100 – 200 mm
3. Bulan kering bila curah hujan kurang dari 100 mm
Pada dasarnya Kriteria bulan basah dan bulan kering yang dipakai
Oldeman berbeda dengan yang digunakan oleh Koppen atau pun Schmidt –
Ferguson Bulan basah yang digunakan Oldeman adalah sebagai berikut: Bulan
basah apabila curah hujan lebih dari 200 mm. Bulan lembab apabila curah
hujannya 100 - 200 mm. Bulan kering apabila curah hujannya kurang dari 100
mm.
Berdasarkan lima tabel yang dihitung dari masing-masing data 10 tahun
terakhir dan 12 bulan curah hujan dari beberapa daerah, diketahui tabel 1 curah
hujan bulanan selama 10 tahun di daerah Banjarnegara, memiliki zona agroklimat
B2 dengan BB= 8 dan BK= 2 berdasarkan metode menurut Oldeman. Jika

menggunakan metode menurut Schmidth-Ferguson, zona agroklimatnya adalah B
atau daerah basah yaitu daerah sangat basah dengan nilai sebesar 32,18 %.
Berdasarkan tabel 2 curah hujan bulanan selama 10 tahun di daerah
Klampok, memiliki zona agroklimat B2 dengan nilai BB= 7 dan BK= 2
berdasarkan metode menurut Oldeman. Jika menggunakan metode menurut
Schmidth-Ferguson, zona agroklimatnya adalah C yaitu daerah agak basah dengan
nilai sebesar 37,04 %.
Berdasarkan tabel 3 curah hujan bulanan selama 10 tahun di daerah
Bukateja, memiliki zona agroklimat B2 dengan nilai BB= 8 dan BK=3
berdasarkan metode menurut Oldeman. Jika menggunakan metode menurut
Schmidth-Ferguson, zona agroklimatnya adalah B yaitu daerah basah dengan
jumlah nilai sebesar 33,33 %.
Berdasarkan tabel 4 curah hujan bulanan selama 10 tahun di daerah
Wanadadi, memiliki zona agroklimat B2 dengan nilai BB= 8 dan BK= 2
berdasarkan metode menurut Oldeman. Jika menggunakan metode menurut
Schmidth-Ferguson, zona agroklimatnya adalah B yaitu daerah basah dengan
jumlah nilai sebesar 24,44 %.
Berdasarkan tabel 5 curah hujan bulanan selama 10 tahun di daerah
Krikil, memiliki zona agroklimat C3 dengan nilai BB= 6 dan BK= 4 berdasarkan
metode menurut Oldeman. Jika menggunakan metode menurut SchmidthFerguson, zona agroklimatnya adalah C yaitu daerah agak basah dengan jumlah
nilai sebesar 39,47 %.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Curah hujan bulanan selama 10 tahun pada beberapa daerah di Indonesia
berbeda-beda tergantung jumlah nilai bulan basah dan bulan keringnya.
2. Menurut metode Oldeman, daerah Banjarnegara, Klampok, Bukateja dan
Wanadadi memiliki zona agroklimat yang sama yaitu B2, sedangkan
daerah Krikil memiliki zona agroklimat C3.
3. Menurut metode Schmidth-Ferguson daerah Kalmpok dan Krikil
merupakan daerah yang agak basah. Sedangkan daerah Banjarnegara,
Bukateja, dan Wanasari merupakan daerah basah.
4. Menurut metode penggolongan iklim menurut Oldeman suatu buan
dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar
dari 200 mm sedangkan yang dikatakan bulan kering apabila curah hujan
bulanan lebih kecil dari 100 mm.
5. Menurut metode penggolongan iklim Schmidth-Ferguson, bulan basah
yaitu bulan yang menerima curah hujan lebih besar dari 100 mm

sedangkan bulan kering yaitu bulan yang menerima curah hujan kurang
dari 60 mm.
6. Pengklasifikasi iklim menurut Schmidth-Ferguson di dasarkan pada ratarata jumlah Bulan Basah dan jumlah Bulan Kering dengan menggunakan
symbol Q yaitu :

7. Pengklasifikasian iklim menurut Oldeman didasarkan pada jumlah bulan
basah berurutan dan jumlah bulan kering yang berurutan pula.
B. Saran
Praktikan sebaiknya lebih teliti dan fokus saat menghitung tabel agar tidak
terjadi kesalahan yang fatal berulang-ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Djaenudin, dkk. 2002. Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian menurut
pedo-agroklimat di kawasan timur Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian.
Dorenbos. 1997. Guidelines for Predicting crop water Requirement, FAO, ROME.
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar: Landasan pemahaman Fisika Atmosfer dan
Unsur-unsur Iklim. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Holton. J.R. 2004. An Introduction to Dynamic Meteorology. Md: Elsevier Inc.
Burlington.
Irianto dkk. 2000. Keragaman Iklim sebagai Peluang Diversifikasi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Kaho, Norman, P.L.B., Riwu. 2014. Paduan Interpretas da Respon Informasi
Iklim dan Cuaca Untuk Petani dan Nelayan. Perkumpulan Pikul.
Kupang.
Lakitan. 2002. Iklim. Erlangga. Jakarta.

Murtidjo, A. 1990. Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.
Oldeman, R. L., I. Las dan Muladi. 1980. The Agro-Climate Maps of Kalimantan,
Maluku, Irian Jaya and Bali West and East Nusa Tenggara Contrib.
Centre. Res. Inst. Agrc. Bogor.
Shelton, M. L. 2009. Hydroclimatology: Perspectives and Applications.
Cambridge University Press. California.
Rafi'i, Suryatna. 1995. Meteorologi dan Klimatologi. Angkasa. Bandung.
Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. ITB Press. Bandung.
Winarso, P. A. 2003. Pengelolaan Bencana Cuaca dan Iklim untuk masa
mendatang. KLH. Indonesia.