Stabilitas Gula Kelapa Beriodium Pada Be
Stabilitas Gula Kelapa Beriodium
Pada Berbagai Kemasan dan Suhu Penyimpanan
Oleh:
Rifda Naufalin, Rifah Ediati dan Maulana Alfiansyah
ABSTRAK
Palm sugar is sugar produced from evaporating sap of palm trees. Palm
sugar is a potential product to fortified with iodine so it can be used as an alternative
food source of iodine in order to address the problem of Iodine Deficiency Disorders.
Problems in the fortification of iodine is the stability of iodine during storage. One
effort that can be done to maintain the stability of iodine is by packaging and storage
at a particular temperature. The purpose of this research is to determine the effect of
type of packaging utilization to the iodine content of iodized palm sugar, determine
the effect of storage temperature to the iodine content of iodized palm sugar,
determine the effect of the combination of types of packaging and storage
temperature for maintaining the stability of iodine during storage. This research
using Randomized Complete Design (RCD) with the two factors. The first factor is
the type of packaging (P) consist of 3 type i.e polyethylene plastic (P1),
polypropylene plastic (P2), and aluminum foil (P3). The second factor is the storage
temperature (T) consist of 2 type i.e room temperature (28-30 ºC) (T1) and cold
temperature (9-11 ºC) (T2). Variables observed include moisture content, ash
content, iodine content, total solids, and sugar reduction. The data obtained were
analyzed by Analysis of Variance to determine the effect of treatment on the
confidence level of 95%, when it shows slightly or significantly influence it followed
by Duncan's Multiple Range Test (DMRT) at 95% confidence level. The results shows
that combination of type packaging and storage temperature to the stability of iodine
in iodized palm sugar until the 6th week is a type of aluminum foil packaging and cold
storage temperatures (P3T2) with iodine content as big as 34.24 ppm.
PENDAHULUAN
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) di Indonesia merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius mengingat
dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya
manusia. Selain pembesaran kelenjar gondok, kekurangan iodium jika terjadi pada
wanita hamil mempunyai risiko terjadi keguguran, lahir mati, sampai cacat
bawaan. Jika terjadi pada bayi yang lahir dapat mengakibatkan gangguan
perkembangan syaraf, mental, dan fisik yang disebut kretin. Semua gangguan ini
dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah, rendahnya
produktivitas kerja pada orang dewasa serta timbulnya berbagai permasalahan
sosial ekonomi masyarakat yang dapat menghambat pembangunan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
1
Berdasarkan survei pemetaan GAKI secara nasional di Indonesia pada
tahun 2003, diketahui secara umum bahwa Total Goiter Rate (TGR) pada anak
sekolah masih berkisar 11,1%. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 35,8%
kabupaten adalah endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan 8,2%
endemik berat. Survei serupa pernah dilakukan pada tahun 1998 dengan TGR
sebesar 9,8%. Hasil survei tahun 2003 menunjukkan bahwa prevalensi GAKI
masih cukup besar.
Fortifikasi iodium dipilih karena merupakan salah satu upaya yang cukup
mudah dan murah dalam penanggulangan GAKI. Fortifikasi iodium perlu
dilakukan pada bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
menggunakan bahan pangan yang sudah mentradisi dan banyak dihasilkan di
suatu daerah tertentu. Selama ini fortifikasi iodium telah dilakukan pada garam,
air minum, susu, dan roti. Bahan makanan lain yang juga potensial untuk
difortifikasi dengan iodium adalah gula kelapa. Gula kelapa tepat digunakan
sebagai pangan pembawa karena penggunaannya yang cukup luas dalam berbagai
jenis makanan, baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri makanan.
Salah satu permasalahan dalam fortifikasi iodium adalah stabilitas iodium
selama penyimpanan. Stabilitas iodium sangat dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan
udara di sekitarnya. Kemasan yang umum digunakan untuk mengemas gula
kelapa yaitu daun pisang atau plastik polietilen. Kelemahan dari kemasan ini
adalah permeabilitas pengemas terhadap uap air dan gas yang keluar masuk cukup
banyak sehingga dapat mempercepat gula menjadi lembek. Apabila gula tersebut
mengandung iodium, maka kandungan iodium akan mudah teroksidasi.
Modifikasi kemasan gula kelapa beriodium dimaksudkan sebagai upaya
mempertahankan kualitas selama penyimpanan, yaitu dengan menggunakan
plastik polipropilen dan alumunium foil.
Penyimpanan pada suhu ruang juga dikhawatirkan dapat mempercepat
kehilangan iodium dalam gula kelapa. Hal ini disebabkan bahwa pada keadaan
kelembaban tinggi dan suhu yang panas, gula kelapa memiliki kecenderungan
untuk menyerap uap air lebih banyak yang mengakibatkan iodium mudah
teroksidasi. Untuk itu penyimpanan pada suhu dingin diharapkan dapat menjaga
stabilitas iodium pada gula kelapa.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis
kemasan terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, mengetahui pengaruh
suhu penyimpanan terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, dan mengetahui
pengaruh kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan terbaik untuk menjaga
stabilitas iodium selama penyimpanan.
Manfaat penelitian adalah dapat memberikan informasi kepada produsen
dan konsumen mengenai jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang baik untuk
mempertahankan stabilitas iodium gula kelapa beriodium selama penyimpanan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai April 2011 di Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,
2
UNSOED Purwokerto dan Laboratorium Kimia, Fakultas MIPA, UNNES
Semarang.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nira kelapa, kalium
iodat (KIO3), akuades, plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil.
Bahan kimia untuk analisis meliputi larutan akuades, NaOH 2%, KNO3 1%,
akuabides, asam arsenit, ammonium sulfat untuk analisis kadar iodium, dan
reagen nelson untuk analisis gula reduksi. Alat yang digunakan untuk pembuatan
gula kelapa beriodium terdiri atas kompor, wajan, pengaduk, gelas ukur,
termometer, labu ukur, dan cetakan gula. Alat yang digunakan untuk analisis
meliputi timbangan analitik, glassware, oven, termometer, cawan porselin,
desikator, tanur, spektrofotometer, erlenmeyer, vortex mixer, pipet, dan lemari
pendingin dengan spesifikasi 220 V ~ 50 Hz 75 W; 1,1 A.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial. Faktor
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Jenis kemasan (P) dengan tiga taraf
percobaan, P1 = plastik polietilen, P2 = plastik polipropilen, P3 = alumunium foil;
Suhu penyimpanan (T) dengan dua taraf percobaan yaitu T1 = suhu ruang, T2 =
suhu dingin. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 0, 2, 4, dan 6.
Variabel yang diamati meliputi kadar air, kadar abu, kadar iodium, total
padatan, dan kadar gula reduksi.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Analysis of
Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada tingkat kepercayaan 95%.
Apabila menunjukkan pengaruh yang nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) pada
tingkat kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan
Penelitian ini menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu faktor jenis
pengemas dan faktor suhu penyimpanan. Adapun jenis pengemas yang digunakan
adalah plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil. Sedangkan
suhu penyimpanan yang digunakan adalah penyimpanan pada suhu ruang dan
suhu dingin. Besarnya suhu penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin
selama 6 minggu dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Gambar 1. Distribusi suhu ruang dan suhu dingin selama penyimpanan.
Variabel yang diamati pada penelitian meliputi kadar air, kadar abu, kadar
iodium, total padatan, dan kadar gula reduksi. Data hasil pengamatan variabel
tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan pada variabel yang diamati
Variabel yang diamati
Pengamatan
P1T1
P1T2
P2T1
P2T2
P3T1
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Kadar Air Kadar Abu
(% bb)
(% bk)
7,86
8,25
8,56
9,16
7,86
7,68
8,25
8,71
7,86
7,31
7,79
8,44
7,86
7,46
7,56
7,98
7,86
6,62
3,15
2,47
1,95
0,80
3,15
2,57
2,04
0,96
3,15
2,71
2,06
0,80
3,15
2,63
1,82
0,84
3,15
3,12
4
Kadar
Iodium
(ppm)
Total
Padatan
(% bb)
36,54
35,22
32,11
31,32
36,54
34,98
32,72
32,19
36,54
34,22
33,85
32,74
36,54
35,68
34,58
33,79
36,54
35,07
92,14
91,75
91,44
90,84
92,14
92,32
91,75
91,29
92,14
92,69
92,21
91,56
92,14
92,54
92,46
92,02
92,14
93,38
Kadar
Gula
Reduksi
(% bk)
5,22
4,20
3,20
2,46
5,22
4,78
3,45
2,60
5,22
4,40
3,61
2,44
5,22
4,84
3,48
2,72
5,22
4,47
P3T2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
7,48
8,16
7,86
7,15
6,84
7,58
2,08
1,16
3,15
2,82
2,09
1,18
35,25
33,18
36,54
35,46
35,18
34,24
92,52
91,84
92,14
92,85
93,16
92,42
3,45
2,41
5,22
4,67
3,59
2,71
Hasil analisis ragam pengaruh jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan
(T) serta interaksi antara keduanya (PXT) terhadap variabel yang diamati pada
minggu ke-6 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati
pada minggu ke-6
Perlakuan
T
PXT
1
Kadar air
*
tn
tn
2
Kadar abu
*
tn
tn
3
Kadar iodium
**
*
tn
4
Total padatan
*
tn
tn
5
Kadar gula reduksi
tn
*
tn
Keterangan: P = jenis kemasan; T = suhu penyimpanan; PXT = interaksi
pengaruh perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan; * =
berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh sangat nyata
pada taraf 1%; tn = berpengaruh tidak nyata.
No.
Variabel
P
1. Kadar air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kemasan
berpengaruh nyata terhadap kadar air gula kelapa beriodium pada minggu ke-6.
Nilai rata-rata kadar air yang diperoleh dengan perlakuan jenis kemasan plastik
polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan alumunium foil (P3) pada minggu
ke-6 berturut-turut yaitu 8,93% bb; 8,21% bb; dan 7,87% bb. Sedangkan hasil
analisis ragam untuk perlakuan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata pada
minggu ke-6. Nilai rata-rata kadar air yang diperoleh dengan perlakuan
penyimpanan suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu ke-6 yaitu
8,59% bb dan 8,09% bb. Nilai rata-rata kadar air pada berbagai jenis kemasan (P)
pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 2. Nilai rata-rata kadar air untuk berbagai jenis kemasan (P) pada minggu
ke-6.
Kemasan dapat menjadi penghalang antara produk dan lingkungan,
mengontrol transmisi cahaya, transfer panas, air dan gas serta mencegah
masuknya mikroba atau serangga (Suyitno, 1990). Kemasan yang digunakan
untuk mengemas gula kelapa beriodium adalah plastik polietilen, plastik
polipropilen, dan alumunium foil. Ketiga jenis pengemas ini memiliki
permeabilitas terhadap uap air yang berbeda. Handayani (2008) menyebutkan
bahwa permeabilitas terhadap uap air dari plastik polietilen 0,82 g/hari.m2.mmHg,
sedangkan permeabilitas terhadap uap air dari plastik polipropilen sebesar 0,67
g/hari.m2.mmHg. Akibatnya selama penyimpanan terjadi perubahan kelembaban
lingkungan dalam kemasan dari setiap kemasan yang digunakan yang dapat
mempengaruhi kadar air produk.
Interaksi perlakuan antara jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T)
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air gula kelapa beriodium. Pengaruh
interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap kadar
air gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar air gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
6
Gambar 3 menunjukkan bahwa mula-mula beberapa interaksi perlakuan
gula kelapa beriodium mengalami penurunan kadar air terlebih dahulu sebelum
mengalami peningkatan. Hal ini diakibatkan oleh sifat permeabilitas kemasan
terhadap uap air. Pada awal penyimpanan, kemasan mampu menahan uap dari
luar untuk tidak masuk ke dalam kemasan. Akibatnya udara di dalam kemasan
kelembabannya lebih kering daripada kelembaban produk. Hal inilah yang
membuat kadar air bahan berkurang karena uap air keluar dari produk. Setelah
penyimpanan beberapa minggu, jumlah uap air yang masuk ke dalam kemasan
pun semakin banyak. Akibatnya udara yang ada di dalam kemasan menjadi
lembab dan membuat uap air masuk ke dalam produk. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sulchan dan Endang (2007) yang menyebutkan bahwa berbagai
kemasan memiliki keunggulan dan kelemahan, khususnya terhadap permeabilitas
beberapa jenis gas dan uap air, sehingga memungkinkan terjadinya perpindahan
molekul-molekul gas baik dari luar kemasan maupun sebaliknya dari makanan ke
luar. Adanya perpindahan tersebut dapat menimbulkan berbagai perubahan dari
bahan yang dikemas.
2. Kadar abu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 pengaruh
perlakuan jenis kemasan (P) berpengaruh nyata pada kadar abu gula kelapa
beriodium, sedangkan pengaruh perlakuan suhu penyimpanan (T) dan interaksi
jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata.
Nilai rata-rata kadar abu pada minggu ke-6 yang diperoleh dengan
perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan
alumunium foil (P3) berturut-turut yaitu 0,88% bk; 0,82% bk; dan 1,17% bk.
Sedangkan nilai rata-rata kadar abu gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan
perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu
ke-6 berturut-turut adalah 0,92% bk dan 0,99% bk. Nilai rata-rata kadar abu pada
berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Nilai rata-rata kadar abu untuk berbagai jenis kemasan (P) pada
minggu ke-6.
7
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan (Sudarmadji et al.,
1996). Kalium iodat merupakan bentuk garam mineral, sehingga perubahan kadar
abu diduga salah satunya berhubungan dengan kadar iodium dalam gula kelapa.
Pengaruh interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T)
terhadap kadar abu gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kadar abu gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Kadar abu mengalami penurunan selama penyimpanan, hal ini diduga
salah satunya disebabkan oleh menurunnya kadar iodium. Naufalin et al. (2002)
menyebutkan bahwa penurunan kadar abu pada gula kelapa selama penyimpanan
diduga berhubungan dengan ketidakstabilan iodium selama penyimpanan. Hal ini
juga dapat dilihat dari analisis kadar iodium yang cenderung menurun selama
penyimpanan.
3. Kadar iodium
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan
jenis kemasan (P) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar iodium gula kelapa
beriodium, perlakuan suhu penyimpanan (T) berpengaruh nyata terhadap kadar
iodium gula kelapa beriodium. Sedangkan interaksi kedua perlakuan tersebut
tidak berpengaruh nyata. Kadar iodium pada berbagai jenis kemasan (P) gula
kelapa beriodium pada minggu ke-6 ditunjukkan pada Gambar 6.
8
Gambar 6. Nilai rata-rata kadar iodium untuk berbagai jenis kemasan (P) pada
minggu ke-6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar iodium tertinggi terjadi pada
penggunaan jenis kemasan alumunium foil. Hal ini diduga karena alumunium foil
mempunyai permeabilitas terhadap uap air yang lebih rendah dibandingkan
kemasan yang lain sehingga reaksi oksidasi berjalan lebih lambat.
Berdasarkan hasil penelitian, interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan
suhu penyimpanan (T) terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium mengalami
penurunan setiap minggunya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kadar iodium gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Penurunan kadar iodium selama penyimpanan diduga berhubungan
dengan stabilitas iodium selama penyimpanan. Kestabilan iodium sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kelembaban udara, panas, dan
cahaya. Menurut Lotfi et al. (1996), senyawa iodium dapat hilang dengan mudah
apabila garam yang diiodisasi digunakan pada kondisi basah, terkena cahaya
9
langsung, panas, kondisi asam yang relatif tinggi, atau kondisi garam yang tidak
murni.
Selama penyimpanan juga terjadi reaksi oksidasi karena adanya kontak
dengan uap air, sehingga iodium menjadi rusak yang berakibat pada penurunan
kadar iodium. Chauhan (1992) menyebutkan bahwa air berperan penting dalam
mekanisme hilangnya iodium melalui reaksi oksidasi. Reaksi tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut:
IO3- + 6H+ + 5e- → 1/2 I2 + 3H2O + I2
Nilai rata-rata kadar iodium gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan
perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu
ke-6 berturut-turut adalah 32,41 ppm dan 33,41 ppm. Nilai rata-rata pengaruh
perlakuan suhu penyimpanan terhadap kadar iodium pada minggu ke-6
ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai rata-rata kadar iodium untuk perlakuan suhu penyimpanan (T)
pada minggu ke-6.
Gambar 8 menunjukkan bahwa penurunan kadar iodium yang disimpan
pada suhu ruang (T1) lebih besar dibandingkan dengan kadar iodium yang
disimpan pada suhu dingin (T2). Hal ini diduga karena pada suhu ruang, gula
kelapa menyerap lebih banyak uap air karena sifatnya yang higroskopis. Semakin
banyak uap air yang diserap, maka kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi akan
semakin besar sehingga kerusakan iodium juga akan semakin besar.
Total padatan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan
jenis kemasan (P) berpengaruh nyata terhadap total padatan gula kelapa
beriodium, sedangkan perlakuan suhu penyimpanan (T) dan interaksi antara jenis
10
kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan
gula kelapa beriodium.
Nilai rata-rata total padatan pada minggu ke-6 yang diperoleh dengan
perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan
alumunium foil (P3) berturut-turut yaitu 91,07% bb; 91,79% bb; dan 92,13% bb.
Sedangkan nilai rata-rata total padatan gula kelapa beriodium yang diperoleh
dengan perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada
minggu ke-6 berturut-turut adalah 91,41% bb dan 91,91% bb.
Interaksi antara jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap
total padatan gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Total padatan gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Total padatan adalah bahan yang tersisa setelah air yang terkandung dalam
sampel diuapkan semua. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada beberapa interaksi
perlakuan, mula-mula total padatan mengalami peningkatan terlebih dahulu
sebelum mengalami penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kadar air yang
terkandung dalam produk. Total padatan berbanding terbalik dengan kadar air.
Saat total padatan mengalami peningkatan, kadar air dalam bahan mengalami
penurunan. Sebaliknya, saat total padatan mengalami penurunan maka kadar air
dalam bahan mengalami peningkatan.
4. Kadar gula reduksi
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan
jenis kemasan (P) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi gula
kelapa beriodium, perlakuan suhu penyimpanan (T) berpengaruh nyata terhadap
kadar gula reduksi, dan interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan
tidak berpengaruh nyata. Interaksi antara jenis kemasan (P) dan suhu
11
penyimpanan (T) terhadap kadar gula reduksi gula kelapa beriodium dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Kadar gula reduksi gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan
jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Gula reduksi adalah golangan gula yang memiliki kemampuan untuk
mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron. Gambar 10 menunjukkan bahwa
kadar gula reduksi mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan kadar
gula reduksi diduga karena terjadinya reaksi Maillard selama penyimpanan.
Menurut Fennema (1996), reaksi Maillard terjadi karena adanya persenyawaan
antara gula reduksi dengan protein dan menghasilkan produk berupa pigmen
coklat yang disebut melanoidin. Terbentuknya melanoidin mengakibatkan
perubahan warna gula kelapa menjadi makin coklat. Reaksi Maillard dapat terjadi
dalam periode penyimpanan yang relatif lama bahkan dalam suhu yang relative
rendah. Oleh karena gula reduksi digunakan dalam reaksi Maillard, maka terjadi
penurunan kadar gula reduksi selama penyimpanan.
Nilai rata-rata pengaruh suhu penyimpanan (T) terhadap kadar gula
reduksi gula kelapa beriodium pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Nilai rata-rata kadar gula reduksi untuk perlakuan suhu penyimpanan
(T) pada minggu ke-6.
12
Gambar 11 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kadar gula reduksi pada
gula kelapa beriodium yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin.
Perbedaan kadar gula reduksi ini diduga diakibatkan oleh perbedaan kecepatan
reaksi Maillard yang cenderung lebih aktif pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini
juga dapat dilihat pada kenampakan warna gula kelapa beriodium yang lebih
coklat pada gula kelapa beriodium yang disimpan di suhu ruang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Jenis kemasan terbaik yang mampu menjaga stabilitas iodium gula kelapa
beriodium adalah alumunium foil (P3).
2. Penyimpanan pada suhu dingin (T2) merupakan suhu penyimpanan yang
lebih baik dalam menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium.
3. Kombinasi perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan terbaik
terhadap stabilitas iodium gula kelapa beriodium sampai minggu ke-6
adalah jenis kemasan alumunium foil dan penyimpanan suhu dingin
(P3T2) dengan kadar iodium 34,24 ppm.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mencari suhu penyimpanan
optimum untuk menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium.
2. Perlu adanya pengujian organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan
gula kelapa beriodium.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chenmist, 25th Edition. Publisher AOAC., Inc., Washington.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedanawati, dan S. Budiyanto.
1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Astawan, M. 2003. Iodium Cegah Lost Generation. (On-Line). http://
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1043213364,24317.
Diakses 30 November 2010.
Binnerts, W.T. 1954. Determinan of iodine in milk. Analitica Chemica Acta.
10:78-80.
Chauhan, S.A., A.M. Bhatt, M.P. Bhatt, and K.M. Majeethia. 1992. Stability of
Iodized Salt with Respct to Iodine Content, India Research and Industry.
13
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium dan Garam Beriodium. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Desrosier, N.W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan oleh Muchji
Muljohaardjo. 1988. UI-Press, Jakarta.
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc, New York.
Hadisaputro, S., T. Suhartono, Suhardjono, H.S. Setyawan, B.B. Basuki, T.
Djokomoeljanto, Banandari, A. Sartono, A. Udijono, Darmono, dan B.
Sutrisno. 1996. Survey Pemetaan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) di Jawa Tengah. Tim GAKI Fakultas Kedokteran Undip dan
Kanwil Depkes Propinsi Jawa Tengah, Semarang.
Handayani, H.T. 2008. Studi Kemunduran Mutu Polong Panili Kering Selama
Penyimpanan Pada Berbagai Kemasan Plastik. Skripsi. UNS, Solo.
Lotfi, M., M.G.V. Mannar, R.J.H.M. Merx and P.N. van den Heuvel. 1996.
Micronutrient Fortification of Foods. Current Practises, Research, and
Oppurtunities. The Micronutrient Initiative and International Agriculture
Centre, The Netherlands.
Naufalin, R., B. Sustriawan dan P. Arsil. 2002. Fortifikasi Iodium dalam Gula
Kelapa dan Evaluasi Stabilitasnya selama Penyimpanan sebagai Alternatif
Upaya Pencegahan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Laporan Hasil
Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sulchan, M dan N. W. Endang. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan
Styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 57, Nomor: 2,
Februari 2007.
Suyitno. 1990. Bahan-Bahan Pengemas. PAU Pangan dan Gizi UGM,
Yogyakarta.
14
View publication stats
Pada Berbagai Kemasan dan Suhu Penyimpanan
Oleh:
Rifda Naufalin, Rifah Ediati dan Maulana Alfiansyah
ABSTRAK
Palm sugar is sugar produced from evaporating sap of palm trees. Palm
sugar is a potential product to fortified with iodine so it can be used as an alternative
food source of iodine in order to address the problem of Iodine Deficiency Disorders.
Problems in the fortification of iodine is the stability of iodine during storage. One
effort that can be done to maintain the stability of iodine is by packaging and storage
at a particular temperature. The purpose of this research is to determine the effect of
type of packaging utilization to the iodine content of iodized palm sugar, determine
the effect of storage temperature to the iodine content of iodized palm sugar,
determine the effect of the combination of types of packaging and storage
temperature for maintaining the stability of iodine during storage. This research
using Randomized Complete Design (RCD) with the two factors. The first factor is
the type of packaging (P) consist of 3 type i.e polyethylene plastic (P1),
polypropylene plastic (P2), and aluminum foil (P3). The second factor is the storage
temperature (T) consist of 2 type i.e room temperature (28-30 ºC) (T1) and cold
temperature (9-11 ºC) (T2). Variables observed include moisture content, ash
content, iodine content, total solids, and sugar reduction. The data obtained were
analyzed by Analysis of Variance to determine the effect of treatment on the
confidence level of 95%, when it shows slightly or significantly influence it followed
by Duncan's Multiple Range Test (DMRT) at 95% confidence level. The results shows
that combination of type packaging and storage temperature to the stability of iodine
in iodized palm sugar until the 6th week is a type of aluminum foil packaging and cold
storage temperatures (P3T2) with iodine content as big as 34.24 ppm.
PENDAHULUAN
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) di Indonesia merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius mengingat
dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya
manusia. Selain pembesaran kelenjar gondok, kekurangan iodium jika terjadi pada
wanita hamil mempunyai risiko terjadi keguguran, lahir mati, sampai cacat
bawaan. Jika terjadi pada bayi yang lahir dapat mengakibatkan gangguan
perkembangan syaraf, mental, dan fisik yang disebut kretin. Semua gangguan ini
dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah, rendahnya
produktivitas kerja pada orang dewasa serta timbulnya berbagai permasalahan
sosial ekonomi masyarakat yang dapat menghambat pembangunan (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
1
Berdasarkan survei pemetaan GAKI secara nasional di Indonesia pada
tahun 2003, diketahui secara umum bahwa Total Goiter Rate (TGR) pada anak
sekolah masih berkisar 11,1%. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 35,8%
kabupaten adalah endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan 8,2%
endemik berat. Survei serupa pernah dilakukan pada tahun 1998 dengan TGR
sebesar 9,8%. Hasil survei tahun 2003 menunjukkan bahwa prevalensi GAKI
masih cukup besar.
Fortifikasi iodium dipilih karena merupakan salah satu upaya yang cukup
mudah dan murah dalam penanggulangan GAKI. Fortifikasi iodium perlu
dilakukan pada bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
menggunakan bahan pangan yang sudah mentradisi dan banyak dihasilkan di
suatu daerah tertentu. Selama ini fortifikasi iodium telah dilakukan pada garam,
air minum, susu, dan roti. Bahan makanan lain yang juga potensial untuk
difortifikasi dengan iodium adalah gula kelapa. Gula kelapa tepat digunakan
sebagai pangan pembawa karena penggunaannya yang cukup luas dalam berbagai
jenis makanan, baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri makanan.
Salah satu permasalahan dalam fortifikasi iodium adalah stabilitas iodium
selama penyimpanan. Stabilitas iodium sangat dipengaruhi oleh suhu, cahaya, dan
udara di sekitarnya. Kemasan yang umum digunakan untuk mengemas gula
kelapa yaitu daun pisang atau plastik polietilen. Kelemahan dari kemasan ini
adalah permeabilitas pengemas terhadap uap air dan gas yang keluar masuk cukup
banyak sehingga dapat mempercepat gula menjadi lembek. Apabila gula tersebut
mengandung iodium, maka kandungan iodium akan mudah teroksidasi.
Modifikasi kemasan gula kelapa beriodium dimaksudkan sebagai upaya
mempertahankan kualitas selama penyimpanan, yaitu dengan menggunakan
plastik polipropilen dan alumunium foil.
Penyimpanan pada suhu ruang juga dikhawatirkan dapat mempercepat
kehilangan iodium dalam gula kelapa. Hal ini disebabkan bahwa pada keadaan
kelembaban tinggi dan suhu yang panas, gula kelapa memiliki kecenderungan
untuk menyerap uap air lebih banyak yang mengakibatkan iodium mudah
teroksidasi. Untuk itu penyimpanan pada suhu dingin diharapkan dapat menjaga
stabilitas iodium pada gula kelapa.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis
kemasan terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, mengetahui pengaruh
suhu penyimpanan terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium, dan mengetahui
pengaruh kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan terbaik untuk menjaga
stabilitas iodium selama penyimpanan.
Manfaat penelitian adalah dapat memberikan informasi kepada produsen
dan konsumen mengenai jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang baik untuk
mempertahankan stabilitas iodium gula kelapa beriodium selama penyimpanan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai April 2011 di Laboratorium
Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,
2
UNSOED Purwokerto dan Laboratorium Kimia, Fakultas MIPA, UNNES
Semarang.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nira kelapa, kalium
iodat (KIO3), akuades, plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil.
Bahan kimia untuk analisis meliputi larutan akuades, NaOH 2%, KNO3 1%,
akuabides, asam arsenit, ammonium sulfat untuk analisis kadar iodium, dan
reagen nelson untuk analisis gula reduksi. Alat yang digunakan untuk pembuatan
gula kelapa beriodium terdiri atas kompor, wajan, pengaduk, gelas ukur,
termometer, labu ukur, dan cetakan gula. Alat yang digunakan untuk analisis
meliputi timbangan analitik, glassware, oven, termometer, cawan porselin,
desikator, tanur, spektrofotometer, erlenmeyer, vortex mixer, pipet, dan lemari
pendingin dengan spesifikasi 220 V ~ 50 Hz 75 W; 1,1 A.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial. Faktor
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Jenis kemasan (P) dengan tiga taraf
percobaan, P1 = plastik polietilen, P2 = plastik polipropilen, P3 = alumunium foil;
Suhu penyimpanan (T) dengan dua taraf percobaan yaitu T1 = suhu ruang, T2 =
suhu dingin. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 0, 2, 4, dan 6.
Variabel yang diamati meliputi kadar air, kadar abu, kadar iodium, total
padatan, dan kadar gula reduksi.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Analysis of
Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada tingkat kepercayaan 95%.
Apabila menunjukkan pengaruh yang nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) pada
tingkat kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan
Penelitian ini menggunakan dua faktor perlakuan, yaitu faktor jenis
pengemas dan faktor suhu penyimpanan. Adapun jenis pengemas yang digunakan
adalah plastik polietilen, plastik polipropilen, dan alumunium foil. Sedangkan
suhu penyimpanan yang digunakan adalah penyimpanan pada suhu ruang dan
suhu dingin. Besarnya suhu penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin
selama 6 minggu dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Gambar 1. Distribusi suhu ruang dan suhu dingin selama penyimpanan.
Variabel yang diamati pada penelitian meliputi kadar air, kadar abu, kadar
iodium, total padatan, dan kadar gula reduksi. Data hasil pengamatan variabel
tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan pada variabel yang diamati
Variabel yang diamati
Pengamatan
P1T1
P1T2
P2T1
P2T2
P3T1
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Kadar Air Kadar Abu
(% bb)
(% bk)
7,86
8,25
8,56
9,16
7,86
7,68
8,25
8,71
7,86
7,31
7,79
8,44
7,86
7,46
7,56
7,98
7,86
6,62
3,15
2,47
1,95
0,80
3,15
2,57
2,04
0,96
3,15
2,71
2,06
0,80
3,15
2,63
1,82
0,84
3,15
3,12
4
Kadar
Iodium
(ppm)
Total
Padatan
(% bb)
36,54
35,22
32,11
31,32
36,54
34,98
32,72
32,19
36,54
34,22
33,85
32,74
36,54
35,68
34,58
33,79
36,54
35,07
92,14
91,75
91,44
90,84
92,14
92,32
91,75
91,29
92,14
92,69
92,21
91,56
92,14
92,54
92,46
92,02
92,14
93,38
Kadar
Gula
Reduksi
(% bk)
5,22
4,20
3,20
2,46
5,22
4,78
3,45
2,60
5,22
4,40
3,61
2,44
5,22
4,84
3,48
2,72
5,22
4,47
P3T2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
Minggu ke-0
Minggu ke-2
Minggu ke-4
Minggu ke-6
7,48
8,16
7,86
7,15
6,84
7,58
2,08
1,16
3,15
2,82
2,09
1,18
35,25
33,18
36,54
35,46
35,18
34,24
92,52
91,84
92,14
92,85
93,16
92,42
3,45
2,41
5,22
4,67
3,59
2,71
Hasil analisis ragam pengaruh jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan
(T) serta interaksi antara keduanya (PXT) terhadap variabel yang diamati pada
minggu ke-6 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati
pada minggu ke-6
Perlakuan
T
PXT
1
Kadar air
*
tn
tn
2
Kadar abu
*
tn
tn
3
Kadar iodium
**
*
tn
4
Total padatan
*
tn
tn
5
Kadar gula reduksi
tn
*
tn
Keterangan: P = jenis kemasan; T = suhu penyimpanan; PXT = interaksi
pengaruh perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan; * =
berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh sangat nyata
pada taraf 1%; tn = berpengaruh tidak nyata.
No.
Variabel
P
1. Kadar air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kemasan
berpengaruh nyata terhadap kadar air gula kelapa beriodium pada minggu ke-6.
Nilai rata-rata kadar air yang diperoleh dengan perlakuan jenis kemasan plastik
polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan alumunium foil (P3) pada minggu
ke-6 berturut-turut yaitu 8,93% bb; 8,21% bb; dan 7,87% bb. Sedangkan hasil
analisis ragam untuk perlakuan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata pada
minggu ke-6. Nilai rata-rata kadar air yang diperoleh dengan perlakuan
penyimpanan suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu ke-6 yaitu
8,59% bb dan 8,09% bb. Nilai rata-rata kadar air pada berbagai jenis kemasan (P)
pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 2. Nilai rata-rata kadar air untuk berbagai jenis kemasan (P) pada minggu
ke-6.
Kemasan dapat menjadi penghalang antara produk dan lingkungan,
mengontrol transmisi cahaya, transfer panas, air dan gas serta mencegah
masuknya mikroba atau serangga (Suyitno, 1990). Kemasan yang digunakan
untuk mengemas gula kelapa beriodium adalah plastik polietilen, plastik
polipropilen, dan alumunium foil. Ketiga jenis pengemas ini memiliki
permeabilitas terhadap uap air yang berbeda. Handayani (2008) menyebutkan
bahwa permeabilitas terhadap uap air dari plastik polietilen 0,82 g/hari.m2.mmHg,
sedangkan permeabilitas terhadap uap air dari plastik polipropilen sebesar 0,67
g/hari.m2.mmHg. Akibatnya selama penyimpanan terjadi perubahan kelembaban
lingkungan dalam kemasan dari setiap kemasan yang digunakan yang dapat
mempengaruhi kadar air produk.
Interaksi perlakuan antara jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T)
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air gula kelapa beriodium. Pengaruh
interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap kadar
air gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar air gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
6
Gambar 3 menunjukkan bahwa mula-mula beberapa interaksi perlakuan
gula kelapa beriodium mengalami penurunan kadar air terlebih dahulu sebelum
mengalami peningkatan. Hal ini diakibatkan oleh sifat permeabilitas kemasan
terhadap uap air. Pada awal penyimpanan, kemasan mampu menahan uap dari
luar untuk tidak masuk ke dalam kemasan. Akibatnya udara di dalam kemasan
kelembabannya lebih kering daripada kelembaban produk. Hal inilah yang
membuat kadar air bahan berkurang karena uap air keluar dari produk. Setelah
penyimpanan beberapa minggu, jumlah uap air yang masuk ke dalam kemasan
pun semakin banyak. Akibatnya udara yang ada di dalam kemasan menjadi
lembab dan membuat uap air masuk ke dalam produk. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sulchan dan Endang (2007) yang menyebutkan bahwa berbagai
kemasan memiliki keunggulan dan kelemahan, khususnya terhadap permeabilitas
beberapa jenis gas dan uap air, sehingga memungkinkan terjadinya perpindahan
molekul-molekul gas baik dari luar kemasan maupun sebaliknya dari makanan ke
luar. Adanya perpindahan tersebut dapat menimbulkan berbagai perubahan dari
bahan yang dikemas.
2. Kadar abu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 pengaruh
perlakuan jenis kemasan (P) berpengaruh nyata pada kadar abu gula kelapa
beriodium, sedangkan pengaruh perlakuan suhu penyimpanan (T) dan interaksi
jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata.
Nilai rata-rata kadar abu pada minggu ke-6 yang diperoleh dengan
perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan
alumunium foil (P3) berturut-turut yaitu 0,88% bk; 0,82% bk; dan 1,17% bk.
Sedangkan nilai rata-rata kadar abu gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan
perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu
ke-6 berturut-turut adalah 0,92% bk dan 0,99% bk. Nilai rata-rata kadar abu pada
berbagai jenis kemasan (P) pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Nilai rata-rata kadar abu untuk berbagai jenis kemasan (P) pada
minggu ke-6.
7
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan (Sudarmadji et al.,
1996). Kalium iodat merupakan bentuk garam mineral, sehingga perubahan kadar
abu diduga salah satunya berhubungan dengan kadar iodium dalam gula kelapa.
Pengaruh interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T)
terhadap kadar abu gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kadar abu gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Kadar abu mengalami penurunan selama penyimpanan, hal ini diduga
salah satunya disebabkan oleh menurunnya kadar iodium. Naufalin et al. (2002)
menyebutkan bahwa penurunan kadar abu pada gula kelapa selama penyimpanan
diduga berhubungan dengan ketidakstabilan iodium selama penyimpanan. Hal ini
juga dapat dilihat dari analisis kadar iodium yang cenderung menurun selama
penyimpanan.
3. Kadar iodium
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan
jenis kemasan (P) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar iodium gula kelapa
beriodium, perlakuan suhu penyimpanan (T) berpengaruh nyata terhadap kadar
iodium gula kelapa beriodium. Sedangkan interaksi kedua perlakuan tersebut
tidak berpengaruh nyata. Kadar iodium pada berbagai jenis kemasan (P) gula
kelapa beriodium pada minggu ke-6 ditunjukkan pada Gambar 6.
8
Gambar 6. Nilai rata-rata kadar iodium untuk berbagai jenis kemasan (P) pada
minggu ke-6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar iodium tertinggi terjadi pada
penggunaan jenis kemasan alumunium foil. Hal ini diduga karena alumunium foil
mempunyai permeabilitas terhadap uap air yang lebih rendah dibandingkan
kemasan yang lain sehingga reaksi oksidasi berjalan lebih lambat.
Berdasarkan hasil penelitian, interaksi perlakuan jenis kemasan (P) dan
suhu penyimpanan (T) terhadap kadar iodium gula kelapa beriodium mengalami
penurunan setiap minggunya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kadar iodium gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Penurunan kadar iodium selama penyimpanan diduga berhubungan
dengan stabilitas iodium selama penyimpanan. Kestabilan iodium sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kelembaban udara, panas, dan
cahaya. Menurut Lotfi et al. (1996), senyawa iodium dapat hilang dengan mudah
apabila garam yang diiodisasi digunakan pada kondisi basah, terkena cahaya
9
langsung, panas, kondisi asam yang relatif tinggi, atau kondisi garam yang tidak
murni.
Selama penyimpanan juga terjadi reaksi oksidasi karena adanya kontak
dengan uap air, sehingga iodium menjadi rusak yang berakibat pada penurunan
kadar iodium. Chauhan (1992) menyebutkan bahwa air berperan penting dalam
mekanisme hilangnya iodium melalui reaksi oksidasi. Reaksi tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut:
IO3- + 6H+ + 5e- → 1/2 I2 + 3H2O + I2
Nilai rata-rata kadar iodium gula kelapa beriodium yang diperoleh dengan
perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada minggu
ke-6 berturut-turut adalah 32,41 ppm dan 33,41 ppm. Nilai rata-rata pengaruh
perlakuan suhu penyimpanan terhadap kadar iodium pada minggu ke-6
ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai rata-rata kadar iodium untuk perlakuan suhu penyimpanan (T)
pada minggu ke-6.
Gambar 8 menunjukkan bahwa penurunan kadar iodium yang disimpan
pada suhu ruang (T1) lebih besar dibandingkan dengan kadar iodium yang
disimpan pada suhu dingin (T2). Hal ini diduga karena pada suhu ruang, gula
kelapa menyerap lebih banyak uap air karena sifatnya yang higroskopis. Semakin
banyak uap air yang diserap, maka kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi akan
semakin besar sehingga kerusakan iodium juga akan semakin besar.
Total padatan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan
jenis kemasan (P) berpengaruh nyata terhadap total padatan gula kelapa
beriodium, sedangkan perlakuan suhu penyimpanan (T) dan interaksi antara jenis
10
kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan
gula kelapa beriodium.
Nilai rata-rata total padatan pada minggu ke-6 yang diperoleh dengan
perlakuan jenis kemasan plastik polietilen (P1); plastik polipropilen (P2); dan
alumunium foil (P3) berturut-turut yaitu 91,07% bb; 91,79% bb; dan 92,13% bb.
Sedangkan nilai rata-rata total padatan gula kelapa beriodium yang diperoleh
dengan perlakuan penyimpanan pada suhu ruang (T1) dan suhu dingin (T2) pada
minggu ke-6 berturut-turut adalah 91,41% bb dan 91,91% bb.
Interaksi antara jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T) terhadap
total padatan gula kelapa beriodium dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Total padatan gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan jenis
kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Total padatan adalah bahan yang tersisa setelah air yang terkandung dalam
sampel diuapkan semua. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada beberapa interaksi
perlakuan, mula-mula total padatan mengalami peningkatan terlebih dahulu
sebelum mengalami penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kadar air yang
terkandung dalam produk. Total padatan berbanding terbalik dengan kadar air.
Saat total padatan mengalami peningkatan, kadar air dalam bahan mengalami
penurunan. Sebaliknya, saat total padatan mengalami penurunan maka kadar air
dalam bahan mengalami peningkatan.
4. Kadar gula reduksi
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada minggu ke-6 perlakuan
jenis kemasan (P) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi gula
kelapa beriodium, perlakuan suhu penyimpanan (T) berpengaruh nyata terhadap
kadar gula reduksi, dan interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan
tidak berpengaruh nyata. Interaksi antara jenis kemasan (P) dan suhu
11
penyimpanan (T) terhadap kadar gula reduksi gula kelapa beriodium dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Kadar gula reduksi gula kelapa beriodium pada interaksi perlakuan
jenis kemasan (P) dan suhu penyimpanan (T).
Gula reduksi adalah golangan gula yang memiliki kemampuan untuk
mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron. Gambar 10 menunjukkan bahwa
kadar gula reduksi mengalami penurunan selama penyimpanan. Penurunan kadar
gula reduksi diduga karena terjadinya reaksi Maillard selama penyimpanan.
Menurut Fennema (1996), reaksi Maillard terjadi karena adanya persenyawaan
antara gula reduksi dengan protein dan menghasilkan produk berupa pigmen
coklat yang disebut melanoidin. Terbentuknya melanoidin mengakibatkan
perubahan warna gula kelapa menjadi makin coklat. Reaksi Maillard dapat terjadi
dalam periode penyimpanan yang relatif lama bahkan dalam suhu yang relative
rendah. Oleh karena gula reduksi digunakan dalam reaksi Maillard, maka terjadi
penurunan kadar gula reduksi selama penyimpanan.
Nilai rata-rata pengaruh suhu penyimpanan (T) terhadap kadar gula
reduksi gula kelapa beriodium pada minggu ke-6 dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Nilai rata-rata kadar gula reduksi untuk perlakuan suhu penyimpanan
(T) pada minggu ke-6.
12
Gambar 11 menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kadar gula reduksi pada
gula kelapa beriodium yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin.
Perbedaan kadar gula reduksi ini diduga diakibatkan oleh perbedaan kecepatan
reaksi Maillard yang cenderung lebih aktif pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini
juga dapat dilihat pada kenampakan warna gula kelapa beriodium yang lebih
coklat pada gula kelapa beriodium yang disimpan di suhu ruang.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Jenis kemasan terbaik yang mampu menjaga stabilitas iodium gula kelapa
beriodium adalah alumunium foil (P3).
2. Penyimpanan pada suhu dingin (T2) merupakan suhu penyimpanan yang
lebih baik dalam menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium.
3. Kombinasi perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan terbaik
terhadap stabilitas iodium gula kelapa beriodium sampai minggu ke-6
adalah jenis kemasan alumunium foil dan penyimpanan suhu dingin
(P3T2) dengan kadar iodium 34,24 ppm.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mencari suhu penyimpanan
optimum untuk menjaga stabilitas iodium gula kelapa beriodium.
2. Perlu adanya pengujian organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan
gula kelapa beriodium.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chenmist, 25th Edition. Publisher AOAC., Inc., Washington.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedanawati, dan S. Budiyanto.
1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Astawan, M. 2003. Iodium Cegah Lost Generation. (On-Line). http://
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1043213364,24317.
Diakses 30 November 2010.
Binnerts, W.T. 1954. Determinan of iodine in milk. Analitica Chemica Acta.
10:78-80.
Chauhan, S.A., A.M. Bhatt, M.P. Bhatt, and K.M. Majeethia. 1992. Stability of
Iodized Salt with Respct to Iodine Content, India Research and Industry.
13
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium dan Garam Beriodium. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Desrosier, N.W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan oleh Muchji
Muljohaardjo. 1988. UI-Press, Jakarta.
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc, New York.
Hadisaputro, S., T. Suhartono, Suhardjono, H.S. Setyawan, B.B. Basuki, T.
Djokomoeljanto, Banandari, A. Sartono, A. Udijono, Darmono, dan B.
Sutrisno. 1996. Survey Pemetaan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) di Jawa Tengah. Tim GAKI Fakultas Kedokteran Undip dan
Kanwil Depkes Propinsi Jawa Tengah, Semarang.
Handayani, H.T. 2008. Studi Kemunduran Mutu Polong Panili Kering Selama
Penyimpanan Pada Berbagai Kemasan Plastik. Skripsi. UNS, Solo.
Lotfi, M., M.G.V. Mannar, R.J.H.M. Merx and P.N. van den Heuvel. 1996.
Micronutrient Fortification of Foods. Current Practises, Research, and
Oppurtunities. The Micronutrient Initiative and International Agriculture
Centre, The Netherlands.
Naufalin, R., B. Sustriawan dan P. Arsil. 2002. Fortifikasi Iodium dalam Gula
Kelapa dan Evaluasi Stabilitasnya selama Penyimpanan sebagai Alternatif
Upaya Pencegahan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium. Laporan Hasil
Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Sulchan, M dan N. W. Endang. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan
Styrofoam. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 57, Nomor: 2,
Februari 2007.
Suyitno. 1990. Bahan-Bahan Pengemas. PAU Pangan dan Gizi UGM,
Yogyakarta.
14
View publication stats