Asia Tenggara Kurun Niaga 1540 1680

Ausof Ali Athiyyah (1106057033)
Muhammad Firdaus (110605)

Asia Tenggara Pada Masa Kurun Niaga Abad 17
Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan penting dalam dunia
internasional abad 17. Kondisi geografis Asia Tenggara yang strategis
membuatnya menjadi wilayah perdagangan penting pada masanya terutama pada
tahun-tahun 1570 – 1630 M atau yang dikenal sebagai masa kurun niaga.
Posisinya yang terletak diantara dua wilayah bangsa pedagang besar pada masa
itu, India dan China, juga membuat kawasan Asia Tenggara menjadi tempat
singgah para pelayar yang menuju daratan China sehingga aktifitas perekonomian
di wilayah pesisir daratan Asia Tenggara mengalami perkembangan.
Perkembangan ini memancing bangsa-bangsa Eropa untuk membuka
hubungan dangan dengan penguasa-penguasa setempat. Bahkan mereka juga
membuka kongsi dagang di wilayah Asia Tenggara. Belanda telah membuka
kongsi dagangnya Vereeniging Oost Indies Compagnie (VOC) sejak abad 16 dan
Inggris juga membuka kongsi dagangnya East India Company (EIC). Kehadiran
mereka tentunya membawa pengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat Asia Tenggara.
Selain bangsa Eropa, Asia Tenggara juga menjadi destinasi para imigran
Cina dan India yang ingin mencari pekerjaan di kota-kota pelabuhan dan juga

kebun-kebun di tanah partikelir. Imigran-imigran yang kebanyakan menjadi buruh
dan pekerja kasar ini menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi di kawasan
Asia Tenggara. Mereka hidup menetap bahkan menjadi sebagian berbaur dan
menjadi penduduk lokal sehingga terjadi akulturasi budaya. Keragaman budaya ini
adalah salah satu pengaruh dari aktifitas ekonomi di Asia Tenggara pada masa
kurun niaga ini.

Kondisi Ekonomi Asia Tenggara Masa Kurun Niaga

Asia Tenggara secara keseluruhan adalah pengekspor bahan mentah dan
pengimpor barang pabrikan. Barang pabrikannya sendiri merupakan barang yang
berarti untuk perdagangan lokal. Pada abad ke-15 hingga abad ke-17 merupakan
masa-masa perkembangan perdagangan di Asia Tenggara yang kemudian
berkembang menjadi wilayah eksportir. Lada yang banyak di Produksi di wilayah
Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1510
mencapai 2500 ton kemudian pada tahun 1670 hasilnya melonjak hingga
mencapai 8500 ton. Pada saat itu Tahun 1670, penanaman Lada diperkirakan
melibatkan 40.000 keluarga atau sama dengan kurang lebih 200.000. Wilayah
Kepulauan Banda merupakan satu-satunya wilayah yang memproduksi pala saat
itu. Ekspor besar-besaran ke padagang China dan Eropa dilakukan saat itu bahkan

sejak tahun 1400-an.
Perkembangan ini menjadikan Asia Tenggara mampu menandingi
perdagangan di kota-kota di Eropa. Hal tersebut juga telah membentuk karakter
masyarakat Asia Tenggara yang dapat dilihat dari Islam yang dibawa dari India,
keramik dari Cina dan teknologi lainnya dari Eropa yang kemudian mempengaruhi
struktur kehidupan masyarakat terutama di kota perdagangan.
Perdagangan di Asia Tenggara juga menghasilkan kekayaan yang besar di
kota-kota Pelabuhan di Asia Tenggara, serta juga daerah-daerah pedalaman, karena
besarnya pengaruh asing dalam perdagangan di Asia Tenggara kemudian
membentuk pedagang pribumi yang berpengalaman. Selain itu, sedikitnya
pedagang pribumi yang ada juga dikarenakan oleh penguasa setempat.
Meskipun demikian, Asia Tenggara tetaplah menjadi daerah yang paling
diminati dalam hal perdagangan. Sehingga pada saat itu perlu ditunjuk syahbandar
di kota-kota perdagangan yang ada. Syahbandar ini berperan sebagai kepala
pelabuhan yang mengatur arus lalu lintas perdagangan laut.

Pada pertengahan abad ke-17 terjadi penurunan dalam aktifitas ekonomi di
Asia Tenggara yang disebabkan oleh kekalahan pada penguasa-penguasa lokal
pada saat itu. VOC berhasil merebut Batavia pada tahun 1619, Kepulauan Banda
tahun 1621, Makassar tahun1666 dan Banten tahun 1682.

VOC juga memonopoli perdagangan cengkeh di Ambon. Selain itu,
perebutan kekuasaan di Siam pada tahun 1688 juga berpengaruh terhadap
kemunduran perdagangan di Asia Tenggara. Hal inilah yang menyebabkan
kemunduran perdagangan di Asia Tenggara bagi pedagang pribumi.
Salah satu sebab khusus terjadinya penurunan dalam perdagangan adalah
perang yang pecah kembali antara Spanyol dan Belanda ke Jazirah Iberia dan Laut
Tengah serta membawa Spanyol kembali dalam depresi. Sekalipun sebagian besar
dari ekonomi dunia berkurang dalam masa ini, Asia Tenggaralah yang paling
terpukul karena bagiannya menurun sekali. Persaingan internasional untuk
memperoleh produk-produknya mencapai puncaknya dalam tahun 1620-an, ketika
lada dan cengkih Asia Tenggara merupakan lebih dari separuh nilai muatan
Belanda, Inggris, Portugis, dan Prancis, sementara sebagian besar dari
perdagangan antara Cina dan Jepang juga berlangsung di pelabuhan-pelabuhan
Asia Tenggara. Bagi orang Eropa perhatian semula pada rempah-rempah dan lada
beralih pada produk-produk Asia lainnya, terutama tekstil dan indigo dari India.
Rempah-rempah Maluku dan lada Asia Tenggara sebagai muatan Belanda sama
sekali jatuh dari 68 persen dalam tahun 1648-1650.
Gabungan beberapa faktor, termasuk keadaan perdagangan global yang
kurang menguntungkan, tekanan dari monopoli Belanda, kekalahan-kekalahan
militer, dan iklim yang relatif tidak stabil dengan keadaan kekeringan tinggi,

melahirkan keadaan krisis yang parah di Asia Tenggara di pertengahan abad ke-17.
Kesempatan yang makin berkurang untuk perdagangan makin terlihat antara tahun
1630 dan 1650, sementara iklim paling buruk terlihat dalam tahun 1650-an dan
1660-an.
Menjelang akhir abad ke-17 keseganan untuk menanam lada sangat jelas
muncul dalam tulisan-tulisan Melayu, hal tersebut menggambarkan kekhawatiran

pihak elite-elite istana yang terancam oleh tidak stabilnya penanaman lada
tersebut.
Abad

ke-17

tidak

saja

ditandai

dengan


pengunduran

diri

dari

ketergantungan pada pasar internasional namun juga meningkatnya kebencian atas
gagasan-gagasan asing. Negara-negara absolut yang terbentuk dalam persaingan
perdagangan, perang dan tenaga kerja, makin banyak beralih pada penonjolan
simbolis keunggulannya dalam bidang-bidang yang tidak memerlukan persaingan
keras.
Asia Tenggara memang tidak pernah menjadi pusat perdagangan yang
dominan di dunia, tetapi beberapa kawasan Asia Tenggara mengekspor barangbarang mewah seperti mutiara, kayu damar, dan emas ke Cina dan India.
Kondisi Politik Asia Tenggara Abad 17
Besarnya pengaruh bangsa luar yang aktif berdagang di Asia Tenggara
seperti India, Arab, dan China membawa dampak perubahan pada aspek sosial dan
politik masyarakat Asia Tenggara. Munculnya kota metropolitan di wilayah –
wilayah pesisir menjadi media penyebaran pengaruh pada masyarakat pedalaman.
Selain berdagang, para pedagang yang singgah di kota-kota pelabuhan seperti

Malaka dan Ayutthaya juga melakukan misi lain seperti penyebaran agama. Para
pedagang tersebut kebanyakan melakukan komunikasi dengan penduduk setempat
selama berbulan-bulan menetap sebelum singgah ke tempat lainnya bahkan tak
sedikit yang melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi sehingga terjadi
persilangan budaya.
Dampak yang dibawa pedagang cukup membawa perubahan mendasar
pada masyarakat Asia Tenggara khususnya pada aspek agama. Pada masa kurun
niaga ini banyak penduduk Asia Tenggara banyak melakukan perpindahan agama
dari kepercayaan mereka pada hal-hal yang berbau animisme dinamisme menjadi
agama-agama ‘kitabiah’seperti Islam dan Kristen. Hal inilah yang disebut Anthony
Reid sebagai ‘Revolusi Agama’. Perubahan agama ini kemudian juga
mempengaruhi politik kekuasaan sebagian wilayah Asia Tenggara terutama
wilayah Nusantara. Penguasa-penguasa lokal yang terpengaruh oleh agama-agama

‘baru’ itu kebanyakan merubah agamanya beserta kerajaannya sehingga perubahan
itu diikuti oleh rakyat-rakyatnya yang menganggap raja sebagai titisan dewa
mereka. Keterbukaan penguasa-penguasa di wilayah pesisir menjadi faktor
mudahnya agama langit, terutama Islam, masuk dan mengakar di penduduk
Nusantara. Peran pedagang menjadi sangat penting dalam hal ini karena
merekalah yang menjadi agen dalam penyebaran agama tersebut.

Masa-masa kurun niaga juga menjadi masa perkembangan Islam. Ada
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang juga membuka hubungan kerja sama
dalam pengembangan militer dan hubungan dagang dengan kerajaan Islam lain.
Kerja sama ini menjadi faktor pula bagi perkembangan kerajaan Islam, kerajaan
Islam di Sumatera contohnya, mereka memiliki amunisi senjata yang diimpor dari
Kerajaan Turki Utsmani untuk membendung pengaruh dan kekuatan armada laut
VOC dan pemberontakan.
Dinamika politik di Asia Tenggara pada masa kurun niaga juga banyak
dipengaruhi oleh kongsi dagang bangsa Eropa, VOC dan EIC. VOC menguasai
mayoritas wilayah Nusantara sementara EIC menguasai wilayah semenanjung
Malaya. Usaha mereka pada awalnya adalah menjadi eksportir rempa-rempah
pada daratan Eropa namun pada perkembangannya mereka mencoba untuk
menghegemoni wilayah Asia Tenggara dan memonopoli perdagangannya. Upaya
ini dilakukan dengan cara menguasai penguasa-penguasa setempat dan menguasai
kota-kota strategis dalam perdagangan. Pertikaian antara penguasa lokal dan juga
kongsi dagang Eropa menjadi pemicu runtuhnya masa keemasan Asia Tenggara
dalam perdagangan karena hegemoni bangsa Eropa yang mematikan penguasa dan
saudagar lokal dalam perdagangan.

Sumber Bacaan:

-

Owen, Norman. G. Emergence Of Modern Southeast Asia: A New History.

-

Honolulu: University Of Hawaii Press
Reid, Anthony. Asia Tenggara Pada Masa Kurun Niaga 1450-1680.
Pustaka Obor: Jakarta. 2011.