Kerjasama internasional Indonesia dan Jepang: peran Jepangterhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema Asia Forest Partnership (AFP) periode 2008-2011

(1)

KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN

JEPANG: PERAN JEPANGTERHADAP ISU

DEFORESTASI

DI INDONESIA DALAM SKEMA

ASIA

FOREST PARTNERSHIP

(AFP)

PERIODE 2008-2011

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh

Starlet Rallysa Injaya

106083003674

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Skripsi ini memaparkan kerjasama internasional antara pemerintah Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011. Skripsi ini bertujuan menganalisa peran Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam forum AFP, dan diharapkan mampu menjadi informasi yang bermanfaat. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan melalui studi kepustakaan dan menggunakan dokumen. Dalam proses penelitian, informasi yang telah diperoleh kemudian dikaitkan dengan konsep kerjasama internasional, pendekatan green thought, dan konsep kepentingan nasional. Hasil dari proses penelitian tersebut selanjutnya dipaparkan menjadi sebuah uraian penelitian.

Dari penelitian skripsi ini diketahui bahwa kerjasama internasional Indonesia dan Jepang periode 2008-2011, dilatarbelakangi oleh deforestasi akibat penebangan liar. Hutan bagi Indonesia merupakan sebuah kawasan yang terdiri atas pepohonan dan tumbuh lebat, serta memiliki banyak manfaat sehingga perlu dijaga kelestariannya. Namun permasalahan penebangan liar di hutan Indonesia terus terjadi. Sehingga pemerintah Indonesia perlu menangani persoalan ini dengan cara melakukan kerjasama dengan Jepang melalui AFP, yang tertera dalam "The G8 Forest Expert Report on Illegal Logging" dan "The Second Round of The Expert Meeting on Illegal Logging."

Peran Jepang sangat berpengaruh bagi Indonesia dengan alasan, membantu Indonesia bertujuan guna mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Asia. Dengan cara membentuk forum AFP dan menyumbangkan pinjaman dari ODA dan dana bantuan yang disalurkan melalui JICA. Dalam hal ini, Jepang memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Disisi lain, Jepang memiliki motif ekonomi dalam isu lingkungan yaitu, membeli kayu dari Indonesia dengan mendapatkan harga murah. Karena Jepang merupakan negara pengimpor kayu terbesar di dunia. Selain itu, Jepang mempunyai kepentingan besar atas perkembangan industri HTI dan kertas Indonesia. Sebab, kebutuhan Jepang atas kayu dan dalam mendapatkan bubur kertas dari Indonesia selalu dimanfaatkan dalam membuat rumah dan kertas origami. Untuk itu, Jepang dan Indonesia diharapkan selalu menjaga hubungan baik agar menciptakan kondisi yang stabil dalam menangani penebangan liar dan menjaga wilayah jalur perdagangan antara Jepang dan Indonesia guna melancarkan motif politik internasional Jepang. Dikarenakan Jepang merupakan negara strategis bagi Indonesia dan sebagai salah satu investor terbesar bagi Indonesia.

Keywords: Jepang, Indonesia, deforestasi, Illegal Logging.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohim. Syukur Alhamdulillah atas kemudahan dan keberkahan yang Allah SWT telah berikan dalam proses pengerjaan skripsi dari awal hingga akhir. Selanjutnya, kepada beberapa orang yang sangat berkontribusi dan berpartisipasi dalam penyusunan skripsi saya, dengan tema “Kerjasama Internasional Indonesia dan Jepang: Peran Jepang Terhadap Isu Deforestasi di Indonesia dalam Skema Asia Forest Partnership (AFP) Periode 2008-2011.” Saya telah menyelesaikan skripsi saya sebagai persyaratan untuk melewati Sarjana Hubungan Internasional. Saat ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Untuk pembimbing skripsi saya Ibu Rahmi Fitriyanti, M.Si yang selalu memotivasi dan memberikan masukan, agar cepat terselesaikannya skripsi ini, serta mau mendengarkan keluh kesah saya. Terimakasih bu, semoga Allah SWT membalas dengan keberkahan dan kasih sayang atas apa yang telah ibu berikan kepada saya.

2. Untuk ketua Program Studi Hubungan Internasional, selaku penguji I Bapak Kiky Rizky, M.Si. dan penguji II Bapak M. Adian Firnas, M.Si. Terimakasih atas saran, hasil akhir (nilai) dan nasehatnya. Semoga Allah memberikan kelancaran rizki dan kesehatan untuk bapak sekeluarga.

3. Untuk Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof. Dr. Bahtiar Effendy terimakasih atas dukungannya kepada mahasiswa angkatan 2006.

4. Untuk semua dosen terbaik saya yang selalu mendukung saya dan waktu yang berharga untuk berdiskusi dengan saya, Bapak Drs. Armein Daulay, M.Si. Ibu Mutiara Pertiwi, MA. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. Ibu Friane Aurora, M.Si. dan Ibu Eva Mushoffah, MHSPS.

5. Untuk Kedua Orang Tua (R. Yoviara Indri Novianthy Koesoemadinegara dan M. Slamet Sanjaya Soenhadji, B.Sc) dan Ibu mertua saya (Hj. Muniah), yang selalu memberikan do’a, motivasi dan memberikan pelajaran tentang kesabaran. Terakhir terimakasih kepada nenek tercinta Ibu Sri Sundari


(7)

iii

Prawiroredjo, atas dukungan dan doanya. Ini adalah hadiah terbesar untuk kalian.

6. Untuk pendamping hidup saya Dedi Hermawan, S.Pd. Terimakasih atas dorongannya dan selalu berada disamping saya, jika saya senang maupun sedih, serta anak-anakku tersayang Ghaisan Azfaar Sabir dan Aurora Raisha Ramadhani, kalian adalah harta berharga bagi saya.

7. Saya juga ingin mengucapkan terimakasih untuk Bapak Jajang serta Bapak Amali, Ibu Novi, Ibu Lily, Ibu Dewi, Bapak Basri, Bapak Nanda dan semua Staf Departemen Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Jakarta, atas dukungannya.

8. Untuk adik-adik tercinta Vanya, Adrian, Ivy, Audy, dan keponakan tersayang Adiva, terimakasih atas semangat, canda dan tawanya.

9. Terimakasih kepada teman-teman terdekat saya Rosi, Yeni, Susan, Chairunnisa, Maya ndut, Lilis, Nadya, Sabriela, Prila, Iyul, Ibnu, Ade, Ikhsan, Wibi, Firman, Viki, Kiss, Maya, Atik, Hazrina, Tia, Nanda, Hendrawan, Maman, Umam, Adnan, Alfian, dan Insan. Saya ingin berterimakasih kepada Puthi, Eno, Riri, Diana, Zaza, Awi, Ika Zahara, dan Fitriyanti atas partisipasinya dalam peminjaman buku-buku yang saya butuhkan.

10.Selanjutnya, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada tante Tetri, om Romi, Tasya, tante Lily, om Hakso, Zafira dan Abigael, atas doa, dukungan serta semangatnya. Yang, terakhir kepada keluarga besar Koesoemadinegara, keluarga besar Muntaha, keluarga besar Soenhadji, dr. Aisyah, Ph.D., ka Herni, om Amax, Nihal, Melur, dan Zuhdayanti terimakasih atas supportnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam,


(8)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI………. iv

DAFTAR AKRONIM……….. vi

DAFTAR TABEL………. vii

DAFTAR GAMBAR………... viii

DAFTAR LAMPIRAN………. ix

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pertanyaan Penelitian……….………… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 6

D Tinjauan Pustaka……… 7

E. Kerangka Pemikiran………... 9

E.1 Konsep Kerjasama Internasional………..……….. 9

E.2 Pendekatan Green Thought ………....……..…….. 10

E.3 Konsep Kepentingan Nasional ……….……….. 11

F. Metode Penelitian……… 13

G. Sistematika Penulisan………..……… 14

BAB II ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA………... 16

A. Kondisi Hutan di Indonesia……….…………...…… 16

A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur..…..……….. 18

A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat……...………. 23

A.3 Kondisi Hutan di Sumatera dan Papua……… 28

B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia...……….……..…….. 30

B.1 Faktor Ekonomi………..…………... 31

B.2 Faktor Geografis………….……….…….. 33


(9)

v

C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar…….. 36

D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di Hutan Indonesia……….. 38

BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI….. 42

A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional guna Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional... 42

B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management….……….. 49

C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia………. 50

D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia………. 52

BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA AFP PERIODE 2008-2011………. 58

A. Pertemuan Formal AFP………. 59

A.1 Fase Pertama Tahun 2002-2007... 60

A.2 Fase Kedua Tahun 2008-2011……… 66

B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang dalam AFP periode 2008-2011………. 69

C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership (AFP)………… 71

BAB V PENUTUP……….. 78

DAFTAR PUSTAKA………. x


(10)

vi

DAFTAR AKRONIM

AFP Asia Forest Partnership APL Area Penggunaan Lain

ASEAN Association of Southeast Asian Nations A/R Afforestaion and Reforestation

BRIK Badan Revitalisasi Industri Kehutanan CDM Clean Development Mechanism CGI Consultative Group on Indonesia

CIFOR Center for International Forestry Research FAO Food and Agriculture Organization

FLEG Forest Law Enforcement and Governance GDP Gross Domestic Product

HL Hutan Lindung

HPT Hutan Produksi Terbatas

HP Hutan Produksi

HPK Hutan Tetap yang dapat Dikonversi HTI Hutan Tanaman Industri

IGES Intsitute for Global Environmental Strategies IJ-EPA Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement ITTC International Tropical Timber Council

ITTO The International Tropical Timber Organization JBIC Japan Bank for International Coorperation JFWIA Japan Federation of Wood Industry Associations JICA Japan International Coorperation Agency

KALBAR Kalimantan Barat KALTIM Kalimantan Timur KPA Kawasan Pelestarian Alam KSA Kawasan Suaka Alam KTT Konferensi Tingkat Tinggi

LEI Lembaga Ekolabel Indonesia LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia MRV Measurement, Reporting and Verification ODA Official Development Assistance

OECD Organisation for Economic Co-Operation and Development PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

RAPP Riau Andalan Pulp and Paper

REDD Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation

SDM Sumber Daya Manusia

SFM Sustainable Forest Management TNC The Nature Conservancy

WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

WSSD World Summit on Sustainable Development


(11)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel II.A.1.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001… 20 Tabel II.A.1.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan

Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit

Landsat 7 Etm+2009/2010……….... 21

Tabel II.A.1.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010……….…...… 22

Tabel II.A.1.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur……….… 23

Tabel II.A.2.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/Kpts-II/2000… 24 Tabel II.A.2.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7Etm+2009/2010……...……….….. 25

Tabel II.A.2.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th) ……… 27

Tabel II.A.2.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Barat………. 27

Tabel II.A.3.1. Luas Kawasan Hutan Papua………...…. 28

Tabel II.A.2.2. Luas Kawasan Hutan Sumatera…….………. 29

Tabel III.A.2. Penyaluran ODA Jepang melalui JICA “Baru”...………..….. 48

Tabel III.C.1. Daftar Proyek/Program Kerjasama Luar Negeri (Kln) di Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2008-2011…….... 51


(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.B.2.1. Peta Kalimantan Barat………..……… 34 Gambar II.B.2.2. Peta Kalimantan Timur……….……… 35 Gambar III.A.1. ODA (Bantuan Pembangunan Jepang yang Diberikan pada


(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 The G8 Forest Expert Report on Illegal Logging ……….…... xvi Lampiran 2 The Second Round of The Expert Meeting on Illegal logging…xxv


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki potensi besar terhadap hutan karena Indonesia pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil danRepublik Demokrasi Kongo. Hutan tropis dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti, pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, bahkan di Papua.

Meskipun didera berbagai permasalahan seperti penebangan liar (illegal logging), penambangan, dan kebakaran hutan, Indonesia tetap bertahan untuk menjaga keragaman hutan.Manfaat hutan bagi Indonesia sedemikian rupa sehingga tetap harus dijaga kelestariannya.Hutan adalah salah satu ekosistem penyangga kehidupan, sehingga kelestariannya harus dijaga untuk memperkuat ekonomi rakyat dan mendukung perekonomian nasional demi kesejahteraan rakyat.

Menurut data Informasi Umum Kehutanan, sebelum tahun 2000, produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman rata-rata per tahun sebesar 25,40 juta m3. Begitupun dengan keuntungan yang didapat Indonesia berupa devisa dari ekspor komoditas primer kehutanan pada tahun 1998 yang mencapai US $7.52 miliar.1 Tenaga kerja yang sangat menggantungkan kehidupan dari sektor kehutanan ini berjumlah 183 ribu orang. Namun, pada tahun 2000, produksi kayu bulat cenderung menurun akibat menurunnya sumber daya hutan.2

Hutan merupakan sebuah kawasan yang terdiri atas pepohonan dan tumbuhan lebat. Hutan dapat digunakan sebagai penampung karbondioksida, tempat tinggal fauna, dan tempat pelestarian tanah. Kawasan ini terhampar luas di seluruh dunia.

1

BoenM Purnama.Informasi Umum Kehutanan. Jakarta.2002, h. 10

2


(15)

2

Hutan yang terdapat di seluruh dunia ini beragam jenisnya. Salah satunya adalah hutan tropis di Indonesia.

Hutan tropis adalah hutan yang berada dalam kawasan tropika yang mencakup tanah dan persembunyian bagi kekayaan hayati dunia (pepohonan, tumbuh-tumbuhan, serangga dan aneka satwa).Selanjutnya, hutan tropis memiliki beberapa karakteristik, yaitu, memiliki curah hujan tinggi, perbedaan temperature rendah, kelembaban udara tinggi, selalu hijau, dan tingkat keanekaragaman jenis tinggi.3

Sebagaimana kondisi hutan di Jepang yang memiliki hutan seluas 22,120 juta ha, sekitar 80% wilayah Jepang terdiri dari pegunungan yang berhutan-hutan. Namun, sebagai salah satu negara yang berpenduduk padat di dunia 120 juta jiwa pada tahun 2005, luas perkapita hutan di Jepang sangatlah rendah. Dengan kehidupan yang sangat membutuhkan kayu pertahun untuk masyarakat Jepang, kebutuhan kayu mencapai 87 juta m3 yang sebagian besar untuk membangun rumah dan 68 juta m3 untuk import.4

Dilihat dari kemampuan Jepang dalam mencukupi kebutuhan domestiknya sangat berpengaruh pada kondisi hutan di Jepang. Sebagian besar kawasan hutan Jepang terletak di daerah pegunungan, di mana fungsi hutan dan sebagai kawasan perlindungan sangat diutamakan. Selain itu, biaya dan harga kayu yang cenderung meningkat, menjadi salah satu alasan Jepang untuk memenuhi kebutuhan kayu dari import.

Kondisi geografis di Jepang sangat mempengaruhi hutan di negaranya. Seperti, gempa bumi, terdapatnya lereng-lereng, memiliki pegunungan, dan memiliki empat musim. Sama halnya di Indonesia, hutan di Jepang sangat membutuhkan perhatian. Akan tetapi, kebutuhan kayu domestik maupun import setiap tahunnya terus meningkat, yang disertai adanya penebangan liar,

3

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/biol4413/materi_02.swf. Diakses pada 4 Juli 2013

4

Forestry Agency (2008). AnnualReport on Trensd In Forest And Forestry Fiscal Year 2007 (Summarry)


(16)

3

penurunannya keanekaragaman hayati, dan pengurangan dampak perubahan iklim.5

Penebangan liar juga telah menjadi praktek yang mendominasi hutan di Indonesia sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Indonesia. Pada zaman rezim Soeharto, keuntungan perekonomian dihasilkan dari eksploitasi hutan dan untuk mendapat dukungan politik tidak luput dari pemanfaatan alokasi kawasan hutan.6

Namun, sangat disayangkan bahwa masyarakat umum sendiri tidak merasakan adanya keuntungan yang diperoleh dari tebangan kayu untuk wilayah yang ditebang, yang sebelumnya sangat berharap keuntungan dapat diraih dari hasil tebangan di wilayah mereka. Selain itu, kerugian seperti kekurangan air tanah, potensi banjir, dan penyakit yang berasal dari hama tanaman dapat terjadi jika penebangan liar tidak dihentikan. Faktor kebutuhan import yang sangat tinggi, sehingga membuat Jepang menjadi lebih mementingkan bagaimana menjaga hubungan dengan negara lain dalam isu kehutanan. Seperti diberitakan dalam Metro TV News adanya kontribusi Jepang dalam penanaman pohon di Taman Nasional Way Kambas.7

Menurut Zain,penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari pemerintah setempat.8 Penebangan liar ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional yang dilihat dari besarnya kapasitas industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan, dan wilayah perbatasan Indonesia.

Penebangan liar ini juga kerap terjadi di perbatasan wilayah Republik Indonesia, meliputi penebangan kayu dan membuka jalan untuk mengangkut hasil

5

Forestry Agency (2008), Summarry

6

Luca Tacconi dkk. Proses Pembelajaran Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. CIFOR. 2004, h.10

7

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/04/3/128360/Jepang-Bantu-Pelestarian-Hutan-Indonesia. Diakses pada 1 April 2013

8


(17)

4

kayu dari penebang liar.9 Dengan adanya berbagai konvensi mengenai lingkungan yang membahas sumber daya hutan dan beberapa negara yang memiliki kepentingan atas wilayah hutan, Indonesia merupakan salah satu negara yang berperan dalam beberapa pembentukan kerjasama dengan negara lain yang menyangkut penebangan liar.

Di sisi lain, untuk menjaga keutuhan hutan, Indonesia merupakan negara yang tergolong aktif dalam berbagai konvensi mengenai lingkungan. Pada September 2001, Indonesia merupakan tuan rumah dari Deklarasi Bali, yang menggambarkan keprihatinan belahan dunia terhadap maraknya penebangan liar dan perdagangan ilegal kayu-kayu hasil penebangan liar atau yang dikenal dengan nama ForestLawEnforcementandGovernance (FLEG).10

Deklarasi Bali ini merupakan komitmen pertama komunitas internasional dalam memerangi perdagangan kayu ilegal. Deklarasi yang ditandatangani dalam konferensi tingkat Menteri Asia Timur tentang "penegakan hukum dan pengelolaan kehutanan ("Forest Law Enforcement and Government East Asia Ministerial Conference") yang dilaksanakan di Bali, Indonesia, 11 -13 September 2001, juga memasukkan komitmen negara dari belahan dunia lain, seperti, Amerika dan Eropa. Tujuan dari Deklarasi ini adalah memperkuat usaha-usaha untuk mengatasi kejahatan kehutanan, terutama illegal logging, yang bersisian dengan perdagangan liar dan korupsi, baik itu di tingkat nasional, bilateral, regional, maupun internasional, yang mempunyai pengaruh besar pada lemahnya penegakkan hukum. Deklarasi ini juga menginginkan adanya aksi nyata kerja sama antarpenegak hukum, baik di dalam negeri maupun antar negara untuk mencegah pergerakan kayu ilegal.11 Dengan waktu yang bersamaan dalam rangka mempromosikan Sustainable Forest Management (SFM) dan sebagai tindak lanjut FLEG, maka perlu di bentuk Asia Forest Partnership (AFP) yang merupakanforum kemitraan sukarelaserta

9

Suryadi. Ilegal Loging di Perbatasan Indonesia Malaysia. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi X. Departemen Kehutanan. Jakarta. 2008, h. 26-27

10

http://arsip.gatra.com//2003-07-07/artikel.php?id=29675. Diakses pada 20 Maret 2013

11

http://www.cifor.org/ilea/_pf/1/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/antikorupsi/corrupti on-interco.htm. Diakses pada 20 Maret 2013


(18)

5

merupakan kolaborasi dari berbagai pihak yang meliputi lembaga pemerintah, organisasi antarpemerintah dan organisasi nonpemerintah dalam rangka mempromosikan hutan lestari di Asia. Tujuan AFP adalah mempromosikan pengelolaan hutan lestari di Asia, yang didasari atas adanya deforestasi di Indonesia.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, AFP memiliki peran-peran penting dalam isu lingkungan, yaitu, pengelolaan hutan lestari dan penebangan liar. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki permasalahan dalam hutan harus dapat bekerjasama dengan Jepang melalui AFP sebagai salah satu sarana untuk mengatasi penebangan liar.

Dengan adanya AFP, diharapkan kepentingan Indonesia dalam tataran internasional guna mengatasi penebangan liar sedikitnya dapat tercapai serta dapat menekan kerugian akibat praktik penebangan liar. 12

Pada dasarnya, hubungan Indonesia dengan AFP lebih ditekankan untuk mendapatkan sumber-sumber pengetahuan yang baru dengan cara berbagi informasi dengan negara anggota yang lain.

Kajian ini akan difokuskan pada permasalahan penebangan liar di wilayah Kalimantan Timur dan Barat. Latar belakang kajian ini didasari olehkerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi dalamskema AFP. Selain itu, penelitian ini juga akan memfokuskan analisanya terhadap seberapa besar peran Jepang dalam forum AFP guna mengatasi penebangan liar di Indonesia.

12

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UMUM/KLN/AFP.htm. Diakses pada 24 Maret 2013


(19)

6 B. Pertanyaan Penelitian

Sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, maka pertanyaan penelitian adalah:

1. “Bagaimana perkembangan kesepakatan antara Indonesia dan Jepang dalam forum Asia Forest Partnershipperiode 2008-2011?”

2. “Seberapa besar peran Jepang dalam forum Asia Forest Partnership?” Pertemuan AFP dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahun 2002-2007 pada tahap pertama dan tahun 2008-2011 pada tahap kedua. Fokus kajian dalam skripsi ini dibatasi pada kerjasama internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP di Indonesia periode 2008-2011 yaitu tahap kedua.

Alasan utama fokus penelitian diawali pada tahun 2008 karena tahun itu merupakan tahap berkelanjutan yang dipelopori oleh Indonesia dan Jepang pada tahap pertama.Sebab, pada masa sebelumnya, telah terjadi penebangan liar yang merugikan Indonesia.

Untuk membatasi pembahasan kerjasama dalam forum AFP di kedua negara, skripsi ini mengakhiri periodisasi waktu pada tahun 2011 yang menunjukkan telah terlaksananya beberapa pertemuan antara mitra atau anggota AFP, termasuk Indonesia dan Jepang.

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah, pertama, mendeskripsikan perkembangan kesepakatan kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011. Dan seberapa


(20)

7

besarperan Jepang dalam forum AFP.Dikarenakan hutan Indonesia merupakan hutan alam sangat penting dalam ekonomi politik global sehingga dapat meningkatkan kredibilitasnya di mata dunia internasional.

Penelitian ini untuk memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan ekonomi politik internasional khususnya menangani deforestasi yang diakibatkan penebangan liar di Indonesia.Dan memberikan masukan kepada pihak-pihak tertentu dalam menangani dan menanggulangi penebangan liar.

D. Tinjauan Pustaka

Skripsi ini diinspirasikan oleh tesis sebelumnya yang ditulis Ferrytilova Noviar berjudul “Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah Illegal Logging(2002-2006).” Noviar menjelaskan bagaimana organisasi AFP ini berkontribusi di Indonesia. Dengan melihat visi, misi, keanggotaan, struktur, dan mekanisme serta ruang lingkup AFP.13

Termasuk terbentuknya AFP pada tahun 2002-2006 dan menciptakan dinamika perkembangan AFP dalam menangani kasus illegal logging di Indonesia. Dalam tesis ini juga menyatakan upaya internal pemerintah Indonesia, upaya eksternal Indonesia, serta kerjasama dengan negara lainnya.

Penelitian lain tentang penebangan liar di Indonesia dilakukan oleh Kusmayadi dalam tesisnya yang berjudul “Aktivitas Illegal Loggingdan Pengendaliannya di Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak.” Kusmayadi menggambarkan bahwa aktivitas illegal logging dilihat dari fakta-fakta yang

13

Ferrytilova Noviar. Hubungan AFP dengan Indonesia dalam Mengatasi Masalah Illegal Logging periode 2002-2006. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2007, h. 25


(21)

8

terungkap melalui hasil operasi penertiban yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun yang telah diproses sampai ke pengadilan.14

Dengan demikian, illegallogging dapat dibuktikan dengan melakukan pengamatan melalui pos-pos pemeriksaan lintas batas yang ada di sepanjang perbatasan, seperti, Entikong dan Nanga Badau.

Selain Noviar dan Kusmayadi, Siti zulfah juga membahas illegal logging dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Illegal Logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.” Zulfah menyatakan bahwa masalah illegal logging erat kaitannya dengan hukum islam karena dua hal, yaitu, halal (yang menguntungkan) dan haram (yang membahayakan).15

Illegal logging merusak bagi manusia dan sebaliknya, serta sanksi hukuman yang patut diberikan pada pelaku illegal logging yang dinyatakan pada perusakan terhadap lingkungan, yakni, hudud atau ta’zir. Selain itu, skripsi ini juga memperjelas dengan menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an Q.S. ALmaidah, ayat 33 dan 38 sebagai landasan Hukum Islam.

Dari ketiga penelitian yang telah dipaparkan di atas,terdapat perbedaan dengan penelitian ini. Ketiganya lebih difokuskan pada cara menangani aktivitas illegal loggingyang dilakukan oleh pemerintah dan berdasarkan hukum islam. Bedanya, skripsi ini difokuskan pada perkembangan kesepakatan kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang dalamskema AFP, serta peran Jepang dalam AFP.

14

Kusmayadi. Aktivitas Illegal Logging dan Pengendaliannya di Perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2003, h. 93

15

Siti Zulfah. Tindak Pidana Illegal Logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.


(22)

9 E. Kerangka Pemikiran

Analisa mengenai perkembangan kesepakatan antaraIndonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema AFP periode 2008-2011, kemudian menganalisa peran Jepang dalam AFP dengan menggunakan konsep kerjasama internasional, pendekatan green thought, dan konsep kepentingan nasional.

E.1 Konsep Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional adalah hubungan antar bangsa yang memiliki tujuan berlandaskan kepentingan nasional.Kerjasama internasional terdiri dari, seperangkat aturan, prinsip-prinsip, norma-norma, dan prosedur pembuat keputusan yang mengatur jalannya rezim internasional.16 Selain itu, negara-negara yang melakukan kerjasama internasional mempunyai tujuan bersama atau kepentingan bersama karena, ketidakberadaan kepentingan bersama di dalam kerjasama, merupakan sesuatu hal yang mustahil.17

Menurut Matthew Paterson dalam palgrave advances in environmental international politics, bahwa “politik lingkungan internasional dalam kerjasama internasional adalah ketergantungan antar aktor akan membuat mereka melakukan kerjasama untuk menghadapi ancaman yang akan membahayakan kepentingan nasional.”18Adanya kesamaan tujuan atau kepentingan bersama merupakan hal yang wajib dalam kerjasama. Tidak dipungkiri bahwa dalam kerjasama selalu

16

Lisa L. Martin. Noe liberalism dalam Internasional Relations Theories:Discipline and Diversity. 2007, h. 11

17

Robert O Keohane.Neoliberal Institutionalsm: a Prespektif in World Politics, in Internasional Instituions and State Power. 1989, h.3

18

Michele M. Betsill et al. ed. Palgrave Advances in International Environmental Politics. 2006, h. 63


(23)

10

terdapat benturan kepentingan masing-masing negara, namun selama tujuan bersama dapat disepakati, sejauh itu pula kerjasama dapat terus berjalan.

Kerjasama internasional menurut Thomas Bernauer di kutip dari Kate O’Neill, change the behavior or states and other actors in the direction intended by the cooperating parties, solve the environmental problem they are designed to solve and do so in an efficient and equitable manner. Dalam kerjasama internasional negara akan cenderung mengubah sikapnya sesuai dengan kesepakatan yang diambil dalam institusi kerjasama tersebut, kemudian para aktor akan memfokuskan masalah apa yang akan mereka hadapi dan merencanakan skema penyelesaian masalah yang dianggap paling efektif (terj. pen-).19

Sependapat dengan pemahaman di atas bahwa keefektifan suatu kerjasama internasional, dilihat sebagaimana negara merespon suatu insentif guna memenuhi kewajiban perjanjian internasionaldengan adanya mekanisme, seperti bantuan lingkungan dan transfer teknologi dapat mengembangkan kapasitas negara guna mencapai tujuan yang telah disepakati dalam perjanjian.20

E.2 Pendekatan GreenThought

Pendekatan greenthought (ekologisme) lebih kepada isu atau penyelesaian masalah terhadap lingkungan hidup. Seperti, sistem negara kontemporer, struktur utama perekonomian global, dan institusi global dilihat sebagai bagian dari permasalahan.21

Greenthought merupakan hubungan antarmanusia dengan alam secara luas dan menjelaskan krisis lingkungan hidup yang sedang terjadi saat ini. Berbagai fase hubungan ini perlu disusun agar kehidupan yang akan datang lebih aman.22

19

Kate O’Neill. The Environment and Internasional Relations. 2009, h. 106

20

Kate O’Neill. 2009, h. 119

21

Jill Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema.2009, h. 381

22


(24)

11

Asumsi dasar dari GreenThought sendiri, adalah:23

1. Para pemerhati lingkungan menekankan institusi global atau kerjasama internasional, contohnya: nilai penting komunitas global sama diakuinya hak-hak dari komunitas lokal untuk mengontrol sumber daya mereka sendiri dan keberadaan komunitas-komunitas bioregional sebagai bangunan dasar bagi bumi.

2. Para pemerhati lingkungan berangkat dari pemahaman implisit bahwa kebiasaan manusia masa kini dalam beberapa pengertian tidak sejalan dengan dunia nonmanusia.

3. Para pemerhati lingkungan menekankan bahwa kebiasaan manusia zaman modern, yang didukung oleh sistem kepercayaan, filsafat, dan antroposentris, sebagai penyebab utama dari krisis lingkungan hidup.

Penebangan liar juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di daerah hutan.Masyarakat bergantung pada air bersih dan air untuk irigasi.Oleh karena itu, makin berkurangnya lapisan tanah yang subur, maka banjir di Indonesia tidak dapat dicegah.24

Akibatnya, tanah yang subur semakin berkurang dan menyebabkan musnahnya flora dan fauna. Penyebab krisis lingkungan sangat perlu dibatasi, karena konsumsi sumber daya alam tidak pernah berhenti yang didasari oleh kebebasan dan keegoisan. Permasalahan ini erat kaitannya terhadap pemikiran politik hijau atau biasa disebut dengan Teori Hijau, dimana memiliki dampak cukup besar terhadap politik global. Tujuan dari Teori Hijau ini untuk memberikan penjelasan tentang krisis ekologi yang dihadapi manusia dan memberikan pengertian bahwa krisis ini menjadi persoalan utama.25

E.3 Konsep Kepentingan Nasional

Selanjutnya penelitian ini menggunakan konsep kepentingan nasional. Melihat kerjasama internasional erat hubungannya dengan kepentingan nasional dari beberapa negara yang bersangkutan.

Menurut Miroslav Nincic dikutip dari Jemadu, terdapat tiga asumsi dasar dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan itu harus

23

Jill Steans dan Lloyd Pettiford. 2009, h. 395-396

24

Kenneth Chomitz. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia“Dalam sengketa?Perluasan, pertanian, pengentasan kemiskinan dan lingkungan di hutan tropis”.Jakarta. 2007, h. 3

25


(25)

12

bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan internasional atau pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh lingkunga internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan.26

Untuk mencapai target serta tujuan yang diinginkan suatu negara haruslah mengacu pada kepentingan nasional demi menciptakan kebijakan luar negeri yang baik. Dapat dilihat dari kekuasaan dan negara, menurut Subadi adalah mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang bertentangan satu dengan yang lainnya supaya tidak menjadi hal yang membahayakan. Sehingga tercapai kegiatan yang sesuai tujuan dari masyarakat menuju tujuan nasional.27

Begitu pula yang dikatakan oleh Joseph Frankel bahwa kepentingan nasional merupakan aspirasi dari suatu negara yang bisa direalisasikan secara operasional pada suatu kebijakan dalam upaya mencapai suatu tujuan yang spesifik.28

Menurut Olthon kepentingan nasional adalah kesejahteraan ekonomi, militer keamanan dan pertahanan sebagai hasil dari bentuk adanya kepentingan nasional. Sehingga kepentingan nasional dapat menjadi arahan para pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan konsep dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri seperti yang terdapat dalam kamus hubungan internasional.29

Solusi untuk penebangan liar sudah menjadi masalah di tataran internasional, dengan adanya kerjasama internasional diharapkan dapat menjaga kelestarian hutan. Demikian konsep kerjasama internasional, pendekatan Green Thought dan

26

Aleksius Jemadu. Politik Global Dalam Teori Dan Praktek. Yogyakarta. 2008, h. 67

27

Subadi. Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan. Jakarta. 2010, h. 10

28

Joseph Frankel. Internasional Relations in Changing World. 1998, h. 93

29


(26)

13

konsep kepentingan nasional yang saling berkesinambungan kiranya relevan untuk membahas lebih lanjut mengenai Kerjasama Internasional Indonesia dan Jepang terhadap isu deforestasi di Indonesia dalam skema Asia Forest Partnership Periode 2008-2011.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Pengertian deskriptif analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan situasi yang menjadi bagian permasalahan yang akan diteliti.30

Menurut Creswell, pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia. Selanjutnya, untuk memaparkan tentang kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang dalam forum AFP menangani isu penebangan liar di Indonesia periode 2008-2011 menggunakan penelitian kualitatif.

Pengumpulan data diambil dari beberapa dokumen untuk lebih memahami kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam forum Asia Forest Partnership (AFP) menangani masalah penebangan liar di Indonesia, seperti, buku rujukan (textbook), artikel dalam buku, skripsi atau tesis, jurnal, surat kabar, majalah dan internet.

Sumber tersebut diperoleh dari berbagai perpustakaan misalnya, perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Jakarta, perpustakaan utama Universitas Indonesia,perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri, perpustakaan

30


(27)

14

Kementrian Kehutanan, perpustakaan Harian KOMPAS, perpustakaan Nasional Republik Indonesia, perpustakaan Center for International Forestry Research (CIFOR), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dalam penelitian kualitatif ini meliputi empat tipe, yaitu: observasi, wawancara, dokumen, dan gambar visual yang masing-masing mempunyai fungsi dan keterbatasan.31 Dari keempat tipe tersebut penelitian menggunakan dokumen atau arsip yang dikeluarkan dari Kementrian Kehutanan, Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Lingkungan Hidup Jepang untuk mengetahui permasalahan yang tercatat dalam dokumen atau arsip yang menjadi topik dalam penelitian ini.

Diharapkan dengan adanya studi kepustakaan dan dokumen atau arsip dari beberapa Kementrian dapat membantu analisa penelitian ini mengupas dan membahas lebih dalam mengenai peran Jepang dalam AFP dalam mengatasi deforestasi di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah B.Pertanyaan Penelitian

C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian D.Tinjuan Pustaka

E. Kerangka Pemikiran

E.1 Konsep Kerjasama Internasional

E.2 Green Thought

E.3 Konsep Kepentingan Nasional F. Metode Penelitian

G.Sistematika Penulisan

BAB II ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA A. Kondisi Hutan di Indonesia

A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur

31


(28)

15

A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat A.3 Kondisi Hutan di Sumatera dan Papua B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia B.1 Faktor Ekonomi

B.2 Faktor Geografis B.3 Faktor Penegakan Hukum

C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar

D. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar di Hutan Indonesia

BAB III PERAN JEPANG DALAM MENGATASI DEFORESTASI

A. Kerjasama Jepang di Bidang Lingkungan Hidup Internasional guna Mengatasi Penebangan liar di Lingkungan Internasional

B. Keterlibatan Jepang pada Sustainable Forest Management C. Tujuan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia

D. Kepentingan Jepang dalam Mengatasi Penebangan Liar di Indonesia

BAB IV KERJASAMA INTERNASIONAL INDONESIA DAN JEPANG TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA DALAM SKEMA AFP PERIODE 2008-2011

A. Pertemuan Formal AFP

A.1 Fase Pertama Tahun 2002-2007 A.2 Fase Kedua Tahun 2008-2011

B. Perkembangan Kesepakatan Indonesia dan Jepang dalam AFP periode 2008-2011

C. Peran Jepang dalam Asia Forest Partnership (AFP) BAB V PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(29)

16

BAB II

ISU PENEBANGAN LIAR DI INDONESIA

Bab ini memaparkan isu penebangan liar di Indonesia,khususnya kondisi hutan di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim). Alasan utama memilih kawasan Kaltim dan Kalbar adalah, besarnya kasus deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan dan Sumatera dengan persentase masing-masing 36,32 persen dan 24,49 persen, sedangkan Papua menjadi wilayah paling kecil dalam menyumbang deforestasi yaitu sebesar 4,15 persen.32Sehingga deforestasi di Indonesia sampai pada tahun 2009 terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera.

Bab ini selanjutnya dibagi menjadi empat sub-bab, yang diawali dengan pembahasan kondisi hutan di Indonesia. Dilanjutkan, mengenai faktor-faktor penebangan liar di Indonesia.Lalu, respon pemerintah Indonesia terhadap penebangan liar.Terakhir, mengenai kebijakan pemerintah Indonesia terhadap penebangan liar di hutan Indonesia.

A. Kondisi Hutan di Indonesia

Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayati. Selain itu, hutan di Indonesia telah memberikan manfaat berlipat ganda, baik secara

32


(30)

17

langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia.33

Akan tetapi, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian pada tahun 1980 dan 1990 telah mengorbankan hutan. Karena, praktik kegiatan kehutanan yang tidak lestari. Untuk itu, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia yang berasal dari penebangan hutan yang berlebihan dan cenderung liar dengan laju deforestasiataukerusakan hutan mencapai dua juta ha per tahun.34

Selama sepuluh tahun terakhir, kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar adalah penyebab terbesar kerusakan hutan. Bahkan, lebih dari itu, penebangan liar ini telah melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis. Kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan produksi, melainkan juga sudah sampai ke kawasan hutan lindung dan taman nasional.35

Istilah penebangan liar (illegal logging) mulai umum digunakan di Indonesia sejak pertengahan tahun 1990-an yang diidentikan pada perusakan hutan.Log berartikan batang kayu atau kayu gelondongan dan Logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.36

Penebangan liar ini memanfaatkan lahan hutan masyarakat setempat. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan kekayaan yang

33

http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2013/02/PHKI_2000-2009_FWI_low-res.pdf. Diakses pada 4 Juli 2013

34

http://www.hariansumutpos.com/2012/09/42591/hutan-ini-milik-siapa#axzz2Y81sSfoi. Diakses pada 4 Juli 2013

35

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013

36


(31)

18

dikuasai oleh negara dan bermanfaat bagi umat manusia serta dijaga kelestariannya. Selain itu, sebagai salah satu penentu sistem penyanggah kehidupan manusia dan sumber kemakmuran rakyat, maka keberadaannya harus dipertahankan secara optimal.37

Kerusakan hutan di Indonesia terus menurun setiap tahunnya.Pada tahun 2003-2006 sebesar 1,15 juta hektar dan terus menurun menjadi 0,45 juta hektar pada tahun 2009-2011. Meskipun masih banyak yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan aktivitas pengerusakan hutan yang salah satunya dilakukan akibat penebangan liar.38

Dapat disimpulkan bahwa kondisi hutan di Indonesia sudah memprihatinkan.Hal ini dapat dilihat dari adanya kerusakan hutan dengan cara penebangan liar yang telah menjadi akar permasalahan pada rendahnya kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan.

A.1 Kondisi Hutan di Kalimantan Timur

Propinsi di Pulau Kalimantan bagian timur atau disebut Kalimantan Timur dengan luas wilayah 245.237,8 km2 atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura, terletak antara 113’44” Bujur Timur dan 119’00” Bujur Barat serta diantara 4’24” Lintang Utara dan 2’25” Lintang Selatan. Dengan adanya pemekaran wilayah, propinsi terluas kedua setelah Papua ini dibagi menjadi sembilan kabupaten, empat kota, seratus sembilan kecamatan, dan 1.299 desa atau kelurahan.39

37

Undang-Undang R.I No 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan dan Illegal Logging. Dikutip dalam Undang-Undang RI No.19 Tahun 2004. 2010, h. 3

38

http://reddkaltim.or.id/2012/08/kliping-berita-kemenhut-laju-deforestasi -indonesia-menurun.html. Diakses pada 29 April 2013

39


(32)

19

Pulau yang beribu kota Samarinda ini, memiliki beberapa suku bangsa, yaitu, Daya (Tunjung, Kenyah, Medang, Benuaq, Bahau, Penihing, Punang, Basap), Kutai dan Banjar.40 Lebih dari empat per lima wilayah daerah ini tertutup hutan tropis yang memiliki berbagai macam tumbuh-tumbuhan, seperti, meranti, ulin, keriung, damar, kayu kapur, lempung, agatis, rotan, bambu, dan pakis.41

Hasil utama dari hutan tropis ini adalah kayu karena merupakan salah satu sumber sektor perekonomian dan memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi. Guna mencegah makin luasnya penghabisan hutan, maka pemerintah makin giat menggalakkan pembangunan dengan wawasan lingkungan.42

Hutan Kalimantan Timur pada tahun 2002 mencapai luas sekitar 19,54 juta hektar yang terbagi menjadi enam jenis hutan, yaitu, hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan pendidikan atau penelitian. Dari enam jenis hutan tersebut, yang terluas adalah hutan tetap dan hutan produksi terbatas masing-masing 4.597.809 ha dan 5.181.422 ha. Sedangkan daerah atau kota yang mempunyai kawasan hutan terluas adalah kabupaten Kutai Timur dengan luas area hutan mencapai 3,58 juta ha atau 18,32 persen dari luas hutan Kalimantan Timur. 43

Kawasan hutan adalah hutan tetap dimana pada wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkankeberadaannya oleh pemerintah. Untuk itu, wilayah Kalimantan Timur memiliki tiga fungsi, yaitu, sebagai kawasan hutan konservasi,

40

Redaksi Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi “Indonesia”. 1990, h. 173

41

Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175

42

Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 1990, h. 175

43


(33)

20

kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 menunjuk kawasan hutan dan perairan di Provinsi Kalimantan Timur dengan rincian sebagai berikut:44

Tabel II.A.1.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/200145

No Penunjukan/Fungsi Hutan Luas

1 Hutan Kawasan Konservasi a.Cagar Alam

b.Taman Nasional c.Hutan Wisata Alam

173.272 ha 1.930.076 ha 61.850 ha

2 Hutan Lindung 2.751.702 ha

3 Hutan Produksi Terbatas 4.612.965 ha

4 Hutan Produksi 5.121.688 ha

JUMLAH 14.651.553 ha

Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001.

Indonesia memiliki beberapa kategori kawasan hutan tetap yang terdiri atas, Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sedangkan Hutan Tetap yang dapat dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL), juga dimasukkan sebagai salah satu kategori untuk melihat sejauh mana perubahan kawasan hutan di Indonesia.46Dapat dilhat pada tabel dibawah ini:

44

Heru Soekarno. Statistik Kehutanan BP2HP Kaltim. 2009, h. 15

45

Data tersebut diolah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001

46


(34)

21

Tabel II.A.1.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 Etm+2009/2010.47

PROVINSI KALIMANTAN

TIMUR

KAWASAN HUTAN

HPK Jumlah APL

TOTAL

HUTAN TETAP

Jumlah %

KSA-KPA HL HPT HP Jumlah

A. Hutan 1,761.2 2,606.6 4,374.0 2,925.3 11,667.0 - 11,667.0 1,824.7 13,491.8 69.2 - Hutan Primer 1,415.6 1,970.3 2,145.6 439.5 5,970.9 - 5,970.9 242.9 6,213.8 31.9 - Hutan Sekunder 307.2 625.8 2,224.0 2,136.3 5,293.2 - 5,293.2 1,442.0 6,735.2 34.5

- Hutan Tanaman * 38.5 10.5 4.5 349.5 402.9 - 402.9 139.9 542.8 2.8

B. Non Hutan 403.5 145.2 238.9 2,196.4 2,984.0 - 2,984.0 3,030.4 6,014.4 30.8

C. Tidak ada data - - - -

TOTAL 2,164.7 2,751.7 4,613.0 5,121.7 14,651.1 - 14,651.1 4,855.1 19,506.2 100.0

Sumber:

Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)

Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasi kawasan hutan per Desember 2010,

Perubahan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kaltim pada tahun 2011, telah ditetapkan bahwa KSA dan KPA memiliki luas 2,164.7 ha, HL memiliki luas 2,751.7 ha, selanjutnya HPT seluas 4,613.0 ha, HP memiliki luas 5,121.7 ha, terakhir adalah APL seluas 4,855.1 ha.Dapat disimpulkan bahwa Hutan Produksi memiliki kawasan yang lebih luas dibandingkan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

47

Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011,Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012


(35)

22

Luas kawasan hutan di Kaltim tidak terlepas dari deforestasiyang terjadi pada provinsi tersebut, hal ini salah satunya diakibatkan oleh penebangan liar dan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel II.A.1.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th).48

Sumber:

Data digital Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 dan 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)

Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasi kawasan hutan per Desember 2010,

Sesuai dengan tabel diatasdeforestasi atau pengrusakan yang terjadi di Kaltim, pada KSA dan KPA seluas 20,794.9 m2, HL 2,841.8 m2, HPT8,520.6 m2, dan HP 27,735.6 m2. Dapat disimpulkan bahwa luas kawasan Hutan Produksi berkurang sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.

48

Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012

PROVINSI KALIMANTAN

TIMUR

KAWASAN HUTAN

HPK Jumlah APL TOTAL HUTAN TETAP

KSA-KPA HL HPT HP Jumlah

A. Hutan Primer 54.4 255.0 248.0 101.8 759.2 - 759.2 24.6 783.8

B. Hutan

Sekunder 640.5 2,586.8 8,248.6 24,875.2 36,351.1 - 36,351.1 5 6,420.8 92,771.9

C. Hutan Lainnya

* - - 24.0 2,758.6 2 ,782.6 - 2,782.6 597.6 3,380.2


(36)

23

TabelII.A.1.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Timur49

Kalimantan Timur Luas (ha) Deforestasi Persentase Tahun 2001 14,651,553 ha 453,000 ha 3.10 Tahun 2009-2010 14,651,100 ha 39,893 ha 0.27

Tahun 2011 14,611,207 ha

-Pada tahun 2001, luas kawasan hutan tetap di Indonesia, khususnya Kalimantan Timur mencapai 14,651,553 ha,50 dan mengalami penurunan luas kawasan pada tahun 2009 sampai 2010 menjadi 14,651,100 ha51akibat adanya penurunan luas kawasan hutan sebesar 453,000 ha atau dengan persentase sebesar 3,10 persen. Namun, melihat kondisi kawasan hutan pada tahun 2011 itu, maka telah terjadideforestasi atau kerusakan hutan yang mencapai 39,893 ha atau dengan persentase sebesar 0.27 persen.52

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mengalami perubahan yang cukup banyak dan semakin berkurangnya kawasan hutan tetap Indonesia, dimana jumlah luas kawasan pada tahun 2011 adalah 14,611,207 ha.

A.2 Kondisi Hutan di Kalimantan Barat

Selanjutnya adalah propinsi di bagian barat Pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat yang memiliki luas daratan Indonesia sekitar 544.150,07 km2, serta memiliki delapan kabupaten, satu kotamadya, 128 kecamatan, dan 1.444

49

Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 17,24

50

Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11

51

Bambang Soepijanto. 2012, h. 17

52


(37)

24

desa, terletak antara 108’30” Bujur Timur dan 114’10” Bujur Barat serta diantara 2’05” Lintang Utara dan 3’05” Lintang Selatan.53

Wilayah Kalimantan Barat memiliki tiga fungsiyang sama dengan Kalimantan Timur, yaitu, sebagai kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi.54

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 pada 23 Agustus 2000 menunjuk kawasan hutan dan perairan di Provinsi Kalimantan Barat dengan rincian sebagai berikut:

Tabel II.A.2.1. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/Kpts-II/200055

No Penunjukan/Fungsi Hutan Luas

1 Kawasan Suaka Alam dan KAwasan Pelestarian Alam (darat dan perairan) a.Cagar Alam

b.Taman Nasional c.Taman Wisata Alam d.Suaka Alam Laut

• Dataran

• perairan

153.275 ha 1.252.895 ha 29.310 ha 22.215 ha 187.885 ha

2 Hutan Lindung 2.307.045 ha

3 Hutan Produksi Terbatas 2.445.985 ha

4 Hutan Produksi 2.265.800 ha

5 Hutan produksi yang dapat dikonversi 514.350 ha

JUMLAH 9.178.760 ha

Sumber: SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-11/2000. Tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.

53

Sukaryadi. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. 2011, h. 1

54

http://humasplanologi.dephut.go.id/sekdit/index.php?option=com_content&view=article&i d=102&Itemid=109&lang=en. Diakses pada 4 Juli2013

55

Data tersebut diolah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 pada 23 Agustus 2000


(38)

25

Kalimantan Barat memiliki beberapa suku bangsa, yaitu, Melayu dan Daya (Iban, Kendayan, Kayan, Embaloh, Taman, Kantuk, Bugau, Bukat, Punan). Wilayah Kalimantan Barat 65 persen terdiri dari hutan dan termasuk hutan tropis.

Oleh sebab itu, kawasan hutannya kaya akan berbagai jenis kayu. Beberapa nama kayu hasil hutan tropis ini adalah ramin, meranti, jelutung, medang, dan kayu besi.56

Indonesia memiliki beberapa kategori kawasan hutan tetap yang terdiri atas, Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sedangkan Hutan Tetap yang dapat dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL)juga dimasukkan sebagai salah satu kategori untuk melihat sejauh mana perubahan kawasan hutan di Indonesia.57

Tabel II.A.2.2. Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 Etm+2009/2010.58

PROVINSI KALIMANTAN

BARAT

KAWASAN HUTAN

HPK Jumla

h APL

TOTAL HUTAN TETAP

Jumlah %

KSA-KPA HL HPT HP Jumlah

A. Hutan 1,253.2 1,793.9 1,831.3 765.9 5,644.3 279.2 5,923.6 780.0 6,703.6 46.0 - Hutan Primer 957.3 966.5 575.0 24.5 2,523.4 3.4 2,526.7 18.4 2,545.1 17.5 - Hutan Sekunder 295.9 827.4 1,256.3 732.9 3,112.4 275.9 3,388.3 758.0 4,146.3 28.5

- Hutan Tanaman* - - - 8.5 8.5 - 8.5 3.6 12.2 0.1

56

Redaksi Ensiklopedi Indonesia. Ensiklopedi Indonesia seri Geografi”Indonesia”. 1990, h. 154

57

Boen M Purnama. Informasi Umum Kehutanan. 2002, h. 19

58

Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012.


(39)

26

B. Non Hutan 315.3 513.2 614.7 1,499.9 2,943.1 235.1 3,178.2 4,690.8 7,868.9 54.0

C. Tidak ada data - - - - - - - - - -

TOTAL 1,568.6 2,307.0 2,446.0 2,265.8 8,587.4 514.4 9,101.8 5,470.8 14,572.5 100.0

Sumber:

Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan(Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)

Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasikawasan hutan per Desember 2010,

Perubahan kawasan hutan di Indonesia khususnya Kalbar pada tahun 2011, telah ditetapkan bahwa KSA dan KPA memiliki luas 1,568.6 ha, HL memiliki luas 2,307.0 ha, selanjutnya HPT seluas 2,446.0 ha, HP memiliki luas 2,265.8 ha, terakhir adalah APL seluas 5,470.8 ha. Dapat disimpulkan bahwa Area Penggunaan lain memiliki kawasan yang lebih luas dibandingkan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Luas kawasan hutan di Kalbar tidak terlepas dari deforestasi yang terjadi pada provinsi tersebut, hal ini salah satunya diakibatkan oleh penebangan liardapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(40)

27

Tabel II.A.2.3. Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2009/2010 (Ha/Th).59

Sumber:

Data digital Hasil Penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 dan 2009/2010, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan(Data Hasil Pencermatan per Desember 2011)

Data digital kawasan hutan dan perairan berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, TGHK serta mutasi kawasan hutan per Desember 2010,

Sesuai dengan tabel diatas bahwa deforestasi atau pengrusakan yang terjadi di Kaltim, pada KSA dan KPA seluas 17,781.4 m2, HL 4,984.8 m2, HPT 12,226.7 m2, dan HP 14,340.3 m2. Dapat disimpulkan bahwa luas KSA dan KPA berkurang sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan yang lainnya.

Tabel II.A.2.4. Luas Kawasan Hutan Kalimantan Barat60

Kalimantan Barat Luas (ha) Deforestasi Persentase

Tahun 2000 9,178,760 ha 591,360 ha 6.44

Tahun 2009-2010 8,587,400 ha 32,333 ha 0.38

Tahun 2011 85,550,67 ha -

59

Data tersebut telah diolah berdasarkan Buku Statistik Kehutanan Tahun 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta, Juli 2012

60

Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-11/2000 danBambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 16,23

PROVINSI KALIMANTAN

BARAT

KAWASAN HUTAN

HPK Jumlah APL TOTAL HUTAN TETAP

KSA-KPA HL HPT HP Jumlah

A. Hutan Primer - - -

B. Hutan Sekunder 17781.4 4,984.8 12,226.7 14,340.3 32,333.3 5,714.0 38,047.3 56,500.8 94,548.1

C. Hutan Lainnya * - - -


(41)

28

Pada tahun 2000, kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 9,178,760 ha61 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi 8,587,400 ha62 pada tahun 2009 hingga 2010. Penurunan luas kawasan hutan inisebesar 591,360 ha atau dengan persentase sebesar 6.44 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Kalimantan Barat tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 85,550,670 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar 32,333 ha atau dengan persentase sebesar 0.38 persen.63

A.3 KondisiHutan di Sumatera dan Papua

Kawasan yang menjadi wilayah deforestasi selain Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat adalah kawasan hutan Sumatera dan Papua.sehingga dapat dilhat pada tabel berikut:

Tabel II.A.3.1. Luas Kawasan Hutan Papua64

Papua Luas (ha) Deforestasi Persentase Tahun 1999 42,224,840.ha 17,598,240ha 41.68 Tahun 2009-2010 24,626,600ha 20,993 ha 0.08

Tahun 2011 24,605,607ha -

-Pada tahun 1999, kawasan hutan di Papua mencapai 42,224,840 ha65 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi 24,626,600 ha66 pada tahun 2009 hingga 2010.Penurunan luas kawasan hutan ini sebesar 17,598,240 ha atau dengan

61

Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11

62

Bambang Soepijanto. 2012, h. 16

63

Bambang Soepijanto. 2012, h. 23

64

Datatersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.891/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999 dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 11, 19, 25

65

Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11

66


(42)

29

persentase sebesar 41.68 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Papua tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 24,605,607 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar 20,993 ha atau dengan persentase sebesar 0.08 persen.67

Tabel II.A.3.2. Luas Kawasan Hutan Sumatera68

Sumatera Luas (ha) Deforestasi Persentase

Tahun 2005 3,742,120 ha 53,120ha 1.42

Tahun 2009-2010 3,689,000ha 29,663 ha 0.8

Tahun 2011 3,659,337 ha -

-Pada tahun 2005, kawasan hutan di Sumatera mencapai3,742,120 ha69 sampai pada akhirnya menurun hingga menjadi3,689,000ha70 pada tahun 2009 hingga 2010. Penurunanluas kawasan hutan inisebesar 53,120ha atau dengan persentase sebesar 1.42 persen. Namun, pada tahun 2011, luas kawasan hutan di Sumatera tidak terlalu berkurang banyak dibanding tahun 2009. Yaitu, mencapai 3,659,337 ha. Berkurangnya luas kawasan hutan tetap diakibatkan karena adanya deforestasi atau kerusakan hutan sebesar29,663 ha atau dengan persentase sebesar 0.8 persen.71

Dapat disimpulkan bahwa penyumbang deforestasi paling kecil di Indonesia pada tahun 2011 adalah wilayah Papua sebesar 0.08 persen, jika dibandingkan

67

Bambang Soepijanto. 2012, h. 25

68

Data tersebut telah diolah dari beberapa sumber yaitu, SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 44/Menhut-II/2005 16 Februari 2005dan Bambang.Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta. 2012, h. 11, 14, 21.

69

Bambang Soepijanto. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. 2012, h. 11

70

Bambang Soepijanto. 2012, h. 14

71


(43)

30

dengan wilayah Sumatera, Kaltim dan Kalbar. Oleh karena itu, Kalbar menjadi penyumbang deforestasi paling besar di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 0.38 persen.

B. Penyebab Penebangan Liar di Indonesia

Masalah penebangan liar sudah menjadi berita umum yang merupakan tindakan tidak baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan tetapi penebangan liar ini sudah menjadi pekerjaan rutinitas dan kini bukan lagi merupakan masalah kehutanan saja. Melainkan menjadi persoalan multipihak yang dalam penyelesaiannya membutuhkan banyak pihak terkait.72

Ada tiga jenis penebangan liar, pertama, yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Ketiga, dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan rakyat.73

Banyaknya kasus penebangan liar di Indonesia telah berdampak negatif terhadap beberapa faktor, seperti, faktor ekonomi, faktor geografis, dan faktor penegakan hukum. Adapun penjelasan yang akan dipaparkansebagai berikut:

72

http://www.wwf.or.id/?18621/Jon-Hendra-mantan-pembalak-liar-yang-menjadi-salah-seorang-anggota-TPU/ . Diakses pada 4 Juli 2013

73

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-indonesia-357287.html . Diakses pada 4 Juli 2013


(44)

31 B.1 Faktor Ekonomi

Kerugian dari sisi ekonomi yang disebabkan penebangan liar tidak sedikit. Setiap tahunnya diperkirakan negara Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp35 triliun sampai Rp45 triliun. Jumlah ini selalu meningkat setiap tahunnya.74

Di bawah himpitan ekonomi yang semakin berat, tidak jarang mereka menerima tawaran sebagai penebang liar dengan upah yang cukup menarik. Namun, lain dengan kenyataan yang ada, upah mereka diberikan hanya sedikit. Sedangkan keterlibatan mereka sebagai pemain lapangan semakin memperkuat illegal loggersyang pada akhirnya mereka tergantung dengan satu sistem yang telah diciptakan para pelaku mafia penebangan liar.75

Selain kerugian yang dialami masyarakat setempat, negara juga mengalami kerugian yang cukup besar hingga Rp83 milyaratau setara dengan Rp30,3 triliun.76Guna menanggulangi permasalahan ini, diharapkan pemerintah membentuk satuan petugas pemberantasan mafia hutan karena Instruksi Presiden tidak berpengaruh bagi pelaku penebangan liar.

Salah satu penyebab sulitnya memberantas penebangan liar adalah faktor wilayah perbatasan, karena kuatnya kerjasama antara masyarakat dan para mafia dari Malaysia dalam mendukung kelancaran aktifitas penebangan liar.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat menengarai, pembalakan liar di wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang

74

Siti Zulfah. Tindak Pidana Illegal logging Perspektif Hukum Islam dan Hukum positif.

2006, h. 43

75

http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081028134227. Diakses pada 4 Juli 2013

76

http://news.detik.com/read/2010/07/29/153943/1409542/10/-negara-rugi-rp-83-miliar-hari-akibat-illegal-logging. Diakses pada 29 April 2013


(45)

32

selanjutnya diselundupkan ke wilayah Serawak, Malaysia, hingga saat ini masih terus terjadi. Modus yang digunakan adalah memanfaatkan kayu hasil tebangan saat pembersihan lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar yang dikelola pihak swasta.77

Di sisi lain, adanya oknum aparat yang menjadi cukong kayu. Sebagimana di beritakan oleh harian kompas bahwa Brigjen Nata Kesuma mendapat amanah langsung dari Kapolri Jenderal Sutanto, menyusul pencopotan jabatan Kapolda Brigjen Zainal yang dinilai gagal memberantas pembalakan liar. Zainal dicopot Kapolri, bersama tiga perwira lainnya terkait kasus penebangan hutan secara liar di Kabupaten Ketapang.

Zainal dituding turut melindungi cukong kayu. Nata Kesuma pun diberi amanah untuk memangku jabatan Kapolda Kalbar, sejak 15 April 2008 lalu. Kapolri mengeluarkan keputusan perpindahan jabatan bernomor Skep/133/IV/2008/15 April 2008 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di lingkungan Polri.78

Hal ini terjadi karena kurangnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia dan merupakan akibat dari kesenjangan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di perbatasan dibandingkan masyarakat di bagian wilayah Indonesia lainnya serta masyarakat di negara tetangga Malaysia.

77

http://regional.kompas.com/read/2008/11/03/20481589/Pembalakan.Liar.di.Perbatasan.Kal bar-Serawak.Masih.Terjadi. Diakses pada 5 Juli 2013

78

http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhkan.Jabata n. Diakses pada 5 Juli 2013


(46)

33 B.2 Faktor Geografis

Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing. Dilihat dari banyaknya garis perbatasan,maka hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya praktik penebangan liar. Sebab,banyaknya patok-patok perbatasan yang dibuat telah bergeser masuk ke wilayah Indonesia atau bahkan hilang sama sekali. Misalkan, perbatasan darat dengan Malaysia yang sering hilangnya patok-patok pembatasan wilayah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus berupaya menyelesaikan lintas batas Indonesia dan Malaysia dengan membuat kebijakan atau undang-undang batas wilayah negara.79

Adapun batas-batas wilayah Kalimantan Barat, yaitu, bagian utara adalah serawak (Malaysia), bagian selatan adalah Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, bagian timur adalah Kalimantan Timur, dan terakhir bagian barat adalah Laut Natuna dan selat Karimata.80

Adanya jalan darat antara Kalimantan dan Malaysiatelah menjadi salah satu perantara untuk menjalankan kegiatan yang ilegal.Sebab, hanya perlu menempuh sekitar enam sampai delapan jam perjalanan dari Pontianak menuju Entinkong dan terakhir sampai di Kuching, Malaysia. Hal ini dapat dilihat dalam peta berikut:81

79

Awani Irewati. Jurnal Penelitian Politik:Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Illegal logging di Kalbar dan Kaltim. 2005, h. 94

80

http://www.kalbarprov.go.id/profil.php?id=9. Diakses pada 29 April 2013

81

http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/kabupaten /kalbar/kalbarrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013


(47)

34

GambarII.B.2.1. Peta Kalimantan Barat

Sumber: Bappeda Propinsi Kalimantan Barat dan RTRWN

Selain Kalimantan Barat, sebelah utara Kalimantan Timur berbatasan dengan Sabah (Malaysia), bagian timur berbatasan dengan Laut Sulawesi dan Selat Makasar, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.82Hal ini dapat dilihat dalam peta berikut:83

82

http://www.kaltimprov.go.id/halaman-20-kaltim-green.html. Diakses pada 29 April 2013

83

http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/info_peta/infrastruktur/flash/html/images/kabupaten /kaltim/kaltimrtrw.htm. Diakses pada 29 April 2013


(48)

35

Gambar II.B.2.2. Peta Kalimantan Timur

Sumber: Bappeda Propinsi Kalimantan Timur dan RTRWN

B.3 Faktor Penegakan Hukum

Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas penebangan liar termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir adalahadanya pemeran utama (intelectual actor) dan pelaku materialnya.84 Pelaku material adalah buruhpenebang kayu yang hanya dibayar dengan upah kecil. Sedangkan pemeran utama adalah pemilik modal (cukong),

84

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013


(49)

36

pembeli, penjual, dan TNI atau Polri, aparat pemerintah, maupun tokoh masyarakat.85

Kerja sama yang dilakukan secara rapi dan teratur ini telah membuat praktik penebangan liar sulit diberantas. Oleh karena itu, pemeran utama sangat susah ditangkap dan hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda kapal yang dapat ditangkap.86

Minimnya hukuman bagi pelaku kejahatan kehutanan dalam praktik ini, menimbulkan suatu pemikiran bahwa tidak adanya ketidakadilan. Disatu sisi, masyarakat kecil yang mengambil sejumlah kecil hasil hutan untuk penyambung hidupnya. Disisi lain, mereka pun terlibat dalam membantu penebangan kayu dan dikenakan sanksi hukuman penjara. Sementara itu, para mafia penebangan kayu liar dan pihak-pihak lain justru mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan mereka dibiarkan bebas dan menikmati hasil kejahatannya.87

C. Respon Pemerintah Indonesia terhadap Penebangan Liar

Awal tahun 1970 hutan sudah mulai dimanfaatkan dan dipersiapkan untuk masa yang akan datang. Hal ini tampak dari pendapatan devisa yang besar, peningkatan pendapatan, mendorong pembangunan wilayah, dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan jika dilihat dari segi negatif, hutan sudah menjadi hutan yang rusak karena tingginya deforestasi atau pengrusakan hutan dengan sengaja,

85

http://regional.kompas.com/read/2008/04/29/21550833/Kapolda.Kalbar.Pertaruhkan.Jabata n. Diakses pada 5 Juli 2013

86

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013

87

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-indonesia-357287.html. Diakses pada 4 Juli 2013


(1)

xxvi

The co-chairs explained that the Meeting would review developments on illegal logging at the national and international levels, the effects of measures taken and discuss how further progress can be made.

2. Actions to Tackle Illegal Logging and their Impacts

This session consisted of presentations on i) developments since 2002 in forest law enforcement, governance and trade, ii) policies of Gabon to tackle illegal logging, and iii) FLEG initiatives, specifically in East Asia.

During the discussion one participant warned that the new issue of climate change may soon replace illegal logging as the next theme for forests, as yet another shift in the forests agenda, but without significant impacts on deforestation rates.

Further elaboration was provided of the study by Chatham House on indicators of progress in dealing with illegal logging. The study will initially cover 12 countries, the indicators are not yet fully decided and there may be scope for social issues to be included.

The 11 steps for Indonesia to tackle illegal logging that had been developed by the World Bank and others also generated interest. Some of the steps may now be reflected in some aspects of national policy but it appears that these steps have not become a truly national programme. The WB, together with others, is supporting Indonesia in promoting the development of national efforts.

One participant asked whether we could reflect on the recommendations of the last meeting in our discussions, i.e. whether they are still valid or whether we can build upon these. The co-chair stated that this would be touched upon in session 4.

Logging, whether legal or illegal, was recognized as very important in the Solomon Islands. As part of its development policy the government is reviewing its logging legislation and is putting in place a code of ethics of logging. The Solomon Islands would like further assistance from G8 countries for these initiatives.

A participant felt that the FLEG discussion lacked a result focus, i.e. a mechanism to assess whether countries are moving forward. Due diligence (prosecutions etc.) can be measured and could be used to reward countries through ODA. One participant felt that market incentives such as favourable prices from consumer countries that can be channeled back to producer countries would work better to enhance progress in forest management in a country such as Malaysia that does not receive ODA.

Another participant emphasized that illegal logging was a livelihood strategy of poor communities in countries that had experienced colonialism and that the Meeting needed to take up this issue in its discussion. It was noted that there is a need for different policy responses according to whether illegal logging is driven by poverty or by greed

A participant explained that the partnership agreement approach of EU-FLEGT is based on a dialogue between parties, identification of what needs to be done, a program of action, agreement of what support is required and measurement of results.


(2)

xxvii

3. Challenges Ahead and Ways to Move Forward 3.1 Verifying Legality and Sustainability

The three presentations in this session were on i) the experience of Indonesia in timber legality verification, ii) public procurement policies for legal and sustainable timber, and iii) initiatives by the private sector in Japan.

A question was raised as to whether governments should develop their own criteria or use what is available in certification schemes for public procurement. In response, it was suggested that governments should develop their own standards to explain what they mean by legality and sustainability and that these could raise the performance of certification schemes. One participant felt that principles from certification, which are broadly accepted, could be used to develop national legality standards that could then be used for public procurement.

A problem noted of certification is that it was introduced to improve forest management in tropical countries but it has progressed most in the temperate zone countries because of their longer experience with SFM. A concern raised was that while Japan’s current procurement system is useful, timber rejected by countries with procurement policies will be consumed elsewhere. The need for additional measures was discussed.

One participant argued that if Indonesia develops a good verification scheme, it should be accepted by all countries. A concern that VPAs might be discriminatory trade measures was raised. Another participant responded that these are voluntary agreements and that discussions with Latin American countries are now underway, i.e. that there is no intention to limit the VPAs to Asia and Africa. The issue of changing forest agendas again stimulated interest with one participant arguing that without fundamental changes in forest governance climate change objectives cannot be met.

One participant explained that in Indonesia the legality verification standard has been elaborated to distinguish between planted forests, community forests and natural forests and that this will help in combating illegal logging. He felt that a global scheme may be ideal but it is unrealistic; therefore, mutual recognition agreements between important producing and consuming countries to ensure that only verified legal products from the producing countries are permitted entry to the consuming countries may be a more practical and important measure.

Another participant explained that because forest certification has progressed further in temperate forests most governments have included alternative verification

modalities in their procurement policies, allowing the purchase of verified legal products from tropical countries. Public procurement policies that only use the two global forest certification schemes may be discriminating against tropical countries.

The concern that public procurement policies will merely shift the flow of illegal wood to countries without policies is also relevant for the substitute of wood materials, according to one participant. To reduce these risks, he argued that there is a need to bring in cost effective systems and to promote harmonization amongst consumer countries.


(3)

xxviii

3.2 Ensuring Transparency of Forest Management

i) Improvement of international trade statistics, ii) multi-stakeholder initiatives to promote transparency, and iii) forest governance initiatives in Ghana were the three topics of presentations in this session.

A question was asked as to whether there is evidence that transfer pricing continues to be a significant source of revenue loss for producer countries.

One participant felt that there is a need for information to be connected with a clear process for informed action, but that for transparency we need a lot of data that may not be available.

The issue of discrepancies in trade statistics was a point of interest for participants. One participant explained that some discrepancies are to be expected, but that we need to identify which of these are due to forest crime, and that in such cases there is a need for further investigation. He felt that this is the responsibility of national governments; therefore, we need to build the capacity of governments to follow up on some of the clues from these discrepancies. He explained that ITTO studies have shown that this follow up is very inadequate.

Another participant noted that if information is in the public domain, the public can play a role in forest monitoring. Several participants raised the issue of the need for making the counterfactual available to the public.

The participants noted that information sharing is very important. Cooperation between Japan and Brazil under which Japan is providing information from its satellite system was given as an example. One participant recommended that such cooperation could be extended to other countries and suggested to the G8.

Whether FLEGT had a positive impact from the perspective of producer countries was discussed. A participant explained that his country’s experience with FLEGT had been very positive. He noted that the country had undertaken policy reforms from 1994, but that it struggled to implement these and that FLEGT provided support for this reform process. He argued that FLEGT should be viewed as a mutually beneficial process.

Another participant noted that developing a standard of legality involving forest stakeholders could have a positive outcome in terms of broad buy in, but explained that this takes much longer than a unilateral process. He felt that additional necessary elements are adequate possession of information and a larger system of information governance including freedom of the press.

On information sharing, one participant felt that it could be very useful for G8 countries to make information available to producer countries, thereby reducing costs, and that informal multi-stakeholder processes can also be very useful (e.g. the process behind the amendment of the Lacey Act). He explained that multi-stakeholder processes have to be chosen and should be inclusive.

One participant explained the experience of a producer country included the following lessons:


(4)

xxix

--To define the stakeholders for a multi-stakeholder process is difficult. --Building trust is important but difficult.

--Governments with many different agencies, businesses and the representatives of local people must all decide their positions to be presented in the multi-stakeholder forum. --Local people need the assistance of local NGOs that can communicate in local languages.

-- The issue is not just about transparency, it is also about building trust amongst the stakeholders.

3.3 Further Options to Eliminate Illegal Logging and its Associated Trade

The four presentations in this session covered i) emerging lessons from VPAs and prospects for additional legislative measures, ii) efforts by Malaysia to combat illegal logging, iii) engaging Customs to curb the trade in illegal wood, and iv) US actions to combat illegal logging.

The suggestion of using Customs declaration forms to combat the international trade in illegal wood generated a lot of interest. A question as to whether they were easy to tamper with and defraud was raised. In response it was noted that there are some measures used by Customs to determine whether documents are accurate, but that there needs to be further analysis of documentation processes to determine if export declarations can be used at the importer end. Another participant felt that further work on the awareness of Customs of illegal logging is needed. He asked how high illegal logging is on their agenda, given that they are very busy people. Another participant noted that the strength of using a Customs declaration form is that if it does not accompany a shipment it will not be imported.

Another participant asked what the most effective disincentives and incentives are for businesses in relation to illegal logging and also whether the VPA schemes could address the issue of countries importing from non-VPA countries.


(5)

xxx

Appreciation for the study by TRAFFIC on Customs was expressed and the need to seriously consider how exporting and importing countries can exchange information on trade statistics was emphasised. One participant felt that before taking action we need to discuss what timber items should be included when a producer country decides to implement export bans. He felt that we must consider how markets can provide incentives for legal timber and noted that most countries do not yet have a market for verified legal and sustainable timber. He felt that the focus should be on increasing supply and that action should start with the developed countries that can most easily provide timber verified as legal to the market and that this could be used as an incentive for developing countries.

A participant explained that the Cebu workshop in 2005 on promoting cooperation among Customs and forest authorities showed that there was little action by Customs on illegal trade. The workshop found that international action was focused on forest departments and that the role of Customs was not being addressed. He explained that they lack expertise on forest crime and need other agencies to work with them.

Another participant noted that a strength of the proposed amendment to the Lacey Act is that an existing system is being used and that overall this is a significant step to tackle illegal trade.

Several participants expressed the view that timber should be perceived as a free trade commodity. A concern was raised that there appears to be no mention of the FLEGT VPAs in the public procurement policies and that expecting case by case assessment of evidence for public procurement would be too much, especially after countries had gone through the VPA process. One participant noted that the VPAs cannot stand on their own and that they need market incentives. He explained that the additional legislative options discussion should result in legislative options to support the VPAs. He also noted that the procurement policies in Europe prefer certified timber and hoped that they will acknowledge the VPAs. Another participant explained that the FLEGT license will be the only legality verification used by the UK from 2009 and that the licensing system needs to be elaborated to deal with laundering, and that there are two studies on this issue underway. He noted that the FLEGT licensing system would offer an easy way to ensure that any banned exports from VPA partner countries (e.g. logs or sawnwood) could not be imported into EU countries.

The desirability of reciprocal action was again raised in the discussion with one participant stating that this would be useful in relation to the Indonesia log and sawn timber export ban.

It was noted that there are three tools that could be considered in relation to the role of Customs: i) UNEP Green Customs Initiative, ii) International Network for Environmental Compliance and Enforcement, which tries to professionalise law enforcement in the realm of the environment, and iii) international law enforcement academies, which are regional training centres that have law enforcement tools and can include environmental issues.

One participant suggested that the new focus on REDD should be viewed positively as it would increase attention towards the same governance issues that the illegal logging agenda is attempting to deal with.


(6)

xxxi

In commenting on the discussion that had taken place throughout the day one participant felt that the keys to success are good governance, effective verification, an appropriate legal framework and enforcement, and that the participation of communities is essential. He noted a shift in the global agenda from SFM as a whole to its parts - on illegal logging and moving on to REDD - and stressed that there is a need to return to a holistic SFM approach that engages local communities and that incorporates international approaches. He felt that many lessons are offered by bilateral approaches that would allow us to develop a broader multilateral approach, and that an effective legal arrangement is the best approach to SFM and would include recognition of the problem of illegal logging.

Co-chair summary of discussion

The co-chairs briefly summarised the day’s discussion noting that participants had discussed many lessons from existing initiatives and best practices, but that they had also identified issues for further discussion such as timber as a free trade commodity and incentives for legal timber and timber products.

4. The G8 Forest Experts Meeting Report on Illegal Logging

Participants made suggestions that may be considered in preparation of the G8 Forest Experts Meeting Report on Illegal Logging. It was announced that the Draft Report will be drawn up by the Government of Japan in consideration of the discussion held at the Meeting with the intention of forwarding it to the G8 Environment Ministers Meeting to be held in May this year.