Sejarah Perjumpaan Islam Kristen Tradisi
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI JAKARTA
Nama
: Marco Yoel Kumendong, Novia Abigail, Tony
Wiyaret F.
Kelompok
:1
Mata Kuliah
: Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam
Dosen Pengampu : Prof.Dr.Jan S. Aritonang dan Dr. Yusak Soleiman
TRADISI KEKUASAAN: NEGARA DAN AGAMA
EKSPANSI, PERJUMPAAN PERTAMA DAN KETEGANGAN
I. Ekspansi Islam ke Berbagai Negara: Perjumpaan Pertama
Dalam masa-masa awal Muhammad memperkenalkan Islam, tentu ia
mengalami berbagai penolakan dan menghasilkan pengikut yang sedikit.
Melihat kejadian tersebut, lalu Muhammad beserta para pengikutnya
berpindah dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M (Goddard 2000, 40).
Namun setelah itu, dapat dikatakan Islam mengalami kebangkitan.
Ditengah jumlah pengikut Islam yang minoritas, namun mereka
membuktikan bahwa mereka dapat berkuasa. Setelah Muhammad
meninggal perluasan wilayah sangatlah pesat. Menurut mereka, melakukan
perluasan wilayah bukan untuk memaksa orang lain menjadi Islam namun
mereka ingin menyebarkan manfaat dari Islam itu sendiri, yaitu kehidupan
yang teratur dan terciptanya tata tertib (Goddard 2000, 41). Muhammad
meninggal pada 8 Juni 632 M dan seluruh Jazirah Arab telah ditaklukan di
bawah kekuasaan Islam (Goddard 2000, 42).
Setelah Muhammad meninggal, Abu Bakar Shiddiq menggantikan
Muhammad. Kemudia ia memulai ekspansinya ke luar wilayah Arab. Ia
memerintahkan Khalid bin Walid untuk ke Iraq dan menguasai wilayah alHilah yang pada saat itu dikuasai oleh Imperium Persia pada 634 M
(Goddard 2000, 43). Kemudian Abu Bakar memerintahkan Amr bin al-Ash
beserta tentaranya untuk pergi ke Palestina (Goddard 2000, 43). Lalu Yazid
bin Abi Sufyan, Abu Ubaidah bin al-Jarah, dan Syurahbil bin Hasanah pergi
ke Syam. Namun pasukan Romawi yang menguasai saat itu, melakukan
perwalanan yang cukup hebat. Oleh sebab itulah Khalid bin Walid
diperintahkan oleh Abu Bakar untuk membantu di Syam (Goddard 2000,
44). Lalu setelah Syam dapat ditaklukan, mereka bersama pergi ke
Palestina untuk membantu. Pada masa inilah Islam mulai mengembangkan
perluasan wilayahnya dengan baik dan merebut daerah-daerah sekitarnya.
Setelah itu Abu Bakar meninggal dan ekspansi dilanjutkan oleh pemimpin
berikutnya yaitu Umar bin Khattab (Goddard 2000, 44). Pada masa inilah
ekspansi Islam makin luas dan kota Damaskus dapat direbut dari kekuasaan
Bizantium.
Di Irak Umar bin Khattab memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash
untuk menjadi gubernur. Pada 640 M, Babilonia juga berhasil ditaklukan,
hingga akhirnya pada 641 M, Mesir jatuh ke tangan Islam (Goddard 2000,
44). Ekspansi pertama ini dapat dikatakan berhasil, karena Islam mampu
menguasai Arab, Irak, Persia, Palestina, Suriah, dan Mesir. Namun pada
pemerintahan Ali, ekspansi berhenti karena kondisi pemerintahan yang
tidak stabil. Lalu ekspansi ini dilanjutkan kembali pada masa Bani
Umayyah.
Jika melihat riwayat ini, pertanyaannya mengapa wilayah Kristen pada
saat itu mudah sekali ditaklukan? Apakah karena Kristen adalah minoritas
disana? Tentu tidak, menurut jumlah, umat Kristen dapat dikatakan lebih
banyak dibandingkan umat muslim pada saat itu. Kekristenan di daerah
Timur terpecah karena hasil Konsili Kalsedon (Goddard 2000, 46). Seperti
di Siria, umat Kristen banyak yang terpecah akibat dari hasil Konsili
tersebut, oleh karena itu karena ada perpecahan di dalam diri Kristen,
akhirnya umat Kristen dapat terpecah belah dengan mudah. Selain itu Islam
mampu menguasai wilayah lain juga dengan jalur diplomasi (Goddard 2000,
46). Sebenarnya Islam tidak pernah memaksa umat Kristen untuk
berpindah agama ke Islam. Namun jika orang tersebut ingin memiliki
jabatan atau berpengaruh di wilayahnya, maka ia harus menjadi seorang
muslim (Goddard 2000, 47). Hal ini dikarenakan pemerintahan sangat
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh muslim. Selain itu, ada juga kewajiban untuk
membayar pajak kepada pemerintah. Pajak ini dapat dikatakan tinggi. Agar
mereka tidak membayar Jizyah (pajak) yang tinggi ini, mereka lebih baik
menjadi muslim agar tidak perlu membayar mahal (Goddard 2000, 45).
II. Sistem Pemerintahan Islam: Dampak Bagi Kristen dan Dhimmi
Pasca penaklukkan bangsa Arab ke wilayah pemerintahan Byzantium
dan Persia, yang kemudian direbut sebagai wilayah negara Arab tersebut
memberikan dampak yang cukup besar khususnya di dalam tata
pemerintahan dan masyarakat Kristen pada masa itu. Beberapa aliran
Kekristenan Timur merasakan dampak ketika bangsa Arab telah menduduki
wilayah dan melaksanakan tata aturan pemerintahan dan masyarakatnya.
Pada masa pemerintahan Byzantium di Mesir, Kekristenan terbagi ke
dalam beberapa kelompok-kelompok lokal, seperti kelompok Koptik, Melkit,
dan lain-lain dan masing-masing kelompok tersebut saling menguasai.
Namun sejak invasi Arab ke Mesir, terjadi perubahan perilaku ketika
pemimpin Arab melaksanakan peraturannya di Mesir. Patriakh Benyamin,
yang selama sepuluh tahun berada di dalam pengasingan kembali ke
Aleksandria dan dihormati oleh Amr bin Ash (Atiya 1980, 82). Pada masa ini
Koptik mulai pada masa kebangkitan di dalam sudut keagaaman, sastra dan
seni karena mereka di mata orang penguasa Arab dianggap sama semua
dengan kelompok lain, seperti Melkit. Sementara jika dilihat di masa
pemerintahan Byzantium, kelompok Koptik ditindas oleh Melkit yang
menguasai mereka (Atiya 1960, 82). Salah satu bentuk kebangkitan mereka
adalah diperbolehkannya membangun sebuah gereja, The Church of the
Holy Sepulchre oleh Al-Zahir di masa pemerintahan kekhalifaan Fatimid
(Atiya 1960, 90). Selain itu juga dengan kebebasan pemerintahan Arab
terhadap Koptik telah memberikan dampak perkembangan yang sangat
pesat di dalam kesenian. Tukang pembuat perhiasan dari Koptik diberikan
keluasaan untuk mengembangkan usahanya dan salah satu bentuk
kemajuan Koptik di bidang kesenian (Atiya 1960, 90).
Paling terpenting kekristenan di dalam pemerintahan Islam atau Arab
ini adalah sistem pemungutan pajak terhadap orang-orang lokal. Kharaj
atau Jizya yang berarti pajak penghasilan diwajibkan oleh seluruh orang
Kristen dewasa yang digunakan untuk membiayai militer Islam dan
dilaksanakan secara menyeluruh di Mesir. Akibat pajak ini terjadi banyak
sekali pemberontakan-pemberontakan di Mesir seperti kebangkitan
Bashmurik. Namun sistem ini sangat efektif sekali. Di dalam masa
pemerintahan Amr bin Ash, mereka dapat mengumpulkan dua belas juta
dinar (Atiya 1960, 83).
Akan tetapi seiring banyaknya orang Kristen yang berpindah ke Islam,
maka semakin kurangnya pendapatan melalui pajak. Hal ini dikarenakan
orang-orang Kristen berusaha menghindari pajak yang terlampau tinggi
dengan cara berpindah agama menjadi Islam sehingga tidak perlu
dibebankan pajak lagi (Atiya 1960, 83-84).
Bergeser ke arah Suriah, hal yang terjadi di Mesir juga hampir sama
terjadi di Suriah. Di Suriah sendiri terdapat beberapa kelompok
Kekristenan seperti Jakobit, Nestorian, Melkit dan lain-lain. Di sini pun
Jakobit juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan
pemerintah Kekhalifaan saat itu menganggap seluruh kelompok Kristen di
Suriah sama, berbeda dengan pemerintahan Byzantium yang merendahkan
posisi dari Jakobit di bawah Nestorian (Atiya 1960, 194). Jika di masa
dahulu keberadaan Jakobit masih sangatlah kecil, namun di masa
pemerintahan Islam dan Arab mereka dapat berkembang baik secara
kualitas maupun kuantitas. Dan sama seperti di Mesir, orang Kristen di
Suriah juga dikenakan pajak, yaitu pajak Kharaj atau pajak tanah dan Jizyah
atau pajak perseorangan dengan satu dinar emas berarti satu kepala
tentara militer Islam (Atiya 1960, 193).
Perkembangan-perkembangan kualitas Jakobit saat itu adalah mulai
banyaknya karya-karya seni dan ilmiah yang ditulis dalam bahasa Syria dan
Arab. Beberapa tulisan-tulisan flsafat Syria dibuat pada masa ini, seperti
Kenneshre yang merupakan pionir dari pengetahuan Hellenistik-Syria
(Atiya 1960, 195-196). Tulisan-tulisan Teologi pun juga banyak pada masa
itu, seperti Homilia cathredales yang dibuat oleh Keuskupan Antiokhia
(Atiya 1960, 196). Namun beberapa tahun kemudian kaum Jakobit mulai
merasakan masa kemunduran. Hal itu ditandai dengan mulai dibatasinya
gerak masyarakat Jakobit dan mulai kesulitan di dalam seluruh aktivitasnya.
Orang-orang Kristen di dalam pemerintahan juga sudah mulai berkurang
bahkan sampai tidak ada sama sekali. Alasan orang Kristen tidak
merasakan kebebasan lagi adalah mulai banyaknya orang pintar di
kalangan Arab dan tidak perlu lagi membutuhkan orang Kristen lokal yang
sejak dari awal terdidik dan juga mulai menyusutnya orang-orang Arab di
dalam pemerintahan (Atiya 1960, 199-200).
Nestorian pun merasakan hal yang sama dengan beberapa kelompok
Kristen lainnya. Sejak dari awal Nestorian mengalami penindasan di dalam
pemerintahan Byzantium dan Persia. Kemudian dengan kehadiran orang
Islam yang kemudian memerintah, Nestorian juga merasakan kebebasan
dan keadilan. Pemimpin Arab memberikan keadilan kepada semua ras dan
budaya di dalam masyarakat Kristen pada saat itu (Atiya 1960, 268).
Dengan kebebasan tersebut, orang-orang terdidik di kalangan Nestorian
dapat berkembang dengan baik, seperti ahli fsika, guru dan penafsir dan
orang-orang Kristen khususnya Nestorian benar-benar dilindungi oleh
pemimpin Islam (dhimmi). Namun sama dengan kelompok lainnya, mereka
juga dibebankan pajak kharaj dan jizyah (Atiya 1960, 269-270).
Melihat dari ketiga kelompok Kristen ini, memperlihatkan kebebasan
dan keadilan yang diberikan oleh pemerintah Islam kepada kelompok
Kristen pada masa awal-awal pasca penaklukkan terhadap bangsa-bangsa
lain. Keberadaan Islam di dalam kalangan Kristen telah memberikan
kebebasan walaupun masih dalam cakupan sangatlah terbatas di masa
awal.
B. Dhimmi: Bebas namun Terbatas
Keberadaan orang Kristen di dalam pemerintahan Islam menjadi
sangat unik sekali. Selain karena jumlahnya yang sangat mayoritas di dalam
satu negara Islam jika dibandingkan dengan jumlah orang Islam,
keberadaan orang Kristen yang lebih terdidik membuat mereka
mendapatkan kebebasan dan toleransi yang baik. Namun seiring
berjalannya waktu, kaum non-Muslim atau disebut sebagai dhimmi atau
yang dilindungi menjadi permasalahan secara relasi dan berkurangnya
kebebasan dan keadilan untuk kaum dhimmi tersebut,
Sedari awal kaum dhimmi diberikan wajib pajak terhadap pemerintah
yang digunakan sebagai biaya pengembangan militernya, salah satunya
adalah Jizya atau pajak perorangan, atau juga ada namanya Kharaj atau
pajak tanah. Pajak ini diwajibkan kepada semua orang non-Muslim. Setiap
orang Kristen yang mempunyai tanah harus membayar kharaj. Sebenarnya
kharaj ini merupakan sistem perpajakan yang dibuat oleh pemerintah Persia
dan Yunani, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah Islam sebagai pajak
yang disakralkan (Ye’or 2002, 70). Karena tingginya dan kewajiban pajak
yang terlampau tinggi, maka orang-orang Kristen saat itu memutuskan
untuk berpindah agama menjadi Islam agar tidak dikenakan wajib pajak lagi
(Ye’or 2002, 73).
Selain pajak, orang Kristen juga diperbolehkan mengelola tanahnya
sendiri dengan catatan tanah tersebut tidak boleh diperluas lagi. Peraturan
pemerintah Islam hanya memberikan kebebasan bagi kalangan atas Islam
atau orang Islam yang dapat melebarkan tanahnya (Ye’or 2002, 70).
Sementara mengenai peribadahan, banyak sekali batasan-batasan
yang diberikan oleh pemerintah Islam terhadap orang Kristen. Gerejagereja atau tempat persekutuan Kristen yang baru dilarang dibangun
namun restorasi tempat penyembahan pra-Islam diperbolehkan menurut
kondisi dan kepentingan saat itu (Ye’or 2002, 83). Orang-orang Kristen juga
dilarang untuk melaksanakan ibadah dengan suara yang keras,
membunyikan lonceng dan memasang salib di tempat peribadahaannya
(Ye’or 2002, 87). Orang-orang Kristen yang dulunya diperbolehkan
menduduki pemerintahan juga akhirnya dilarang masuk dalam jabatan
tertinggi dalam pemerintahan (Ye’or 2002, 90).
Selain dibatasi, pemerintah Islam juga menggencarkan proses
Islamisasi terhadap orang non-Muslim. Menyita seluruh properti milik nonmuslim, dijadikan sebagai budak, dan berbagai cara lainnya untuk
membatasi orang Kristen di dalam pemerintah Islam yang memberikan
ketegangan yang cukup tinggi di dalma masyarakat Kristen dan Muslim.
III. Perjumpaan Kristen-Islam: Tradisi dan Ilmu Pengetahuan
Salah satu hal yang dapat dikatakan sebagai pendukung perluasan
Islam adalah sistem irigasi. Hal itu dikarenakan Islam hadir di daerahdaerah yang memiliki curah hujan yang cukup rendah. Mereka
mengembangkan sistem perairan yang cukup memadai sehingga, melalui
itu bahan makanan tersedia. Bahkan, populasi umat Islam juga semakin
bertambah (Marthin dkk, 194).
Di Iraq, orang-orang Muslim amatlah tertarik pada ilmu medis dan
astronomi yang dikembangkan oleh orang Yunani. Hingga pada tahun 870,
al-Ma’mun membangun perpustakaan dan pusat untuk menerjemahkan
buku-buku Yunani. Usaha itu dilakukan untuk menghadirkan buku-buku
dalam bahasa Arab (Watt 1991, 52).
Proses penerjemahan itu pun terjadi pada para teolog Islam yang tertarik
pada flsafat dan konsep keilmuan Yunani. Bahkan, Hisham ibn-al Hakam
dan Dirar ibn-‘Amr mulai menggunakan ilmu flsafat itu untuk menentang
penganut agama lainnya dan kelompok Muslim yang tidak mereka setujui.
Konsep Yunani ini juga mampu membuat anak-anak Kristen konversi ke
Muslim. Salah satu konsep Islam yang ditentang saat itu
Pada tahun 634-44, perluasan Islam dimulai. Pergerakan itu dinamai
Islamic Colonialism. Namun, pada titik itu, orang-orang Islam hendak
menyatakan bahwa perluasan yang dilakukan Islam bukanlah kolonialisme.
Islam menganggap bahwa gerakan mereka hanya berjalan pada asas
perluasan kebaikan dari agama Islam dan sistem politik kepada mereka
yang di luar Islam (Watt 1991, 60).
Pada dasarnya, jumlah umat Islam tidak lebih banyak dari umat
Kristen. Namun, karena kekuasaan dan para petinggi negara adalah orang
Islam, maka orang Kristen merasa bahwa mereka adalah kaum minoritas.
Sistem yang coba dikembangkan oleh Muslim sendiri berporos pada
penaklukan untuk merampas. Beberapa tempat yang menjadi korban
rampasan itu adalah Tunisia dan Basra, di Iraq selatan (Watt 1991, 61).
Salah satu paradigma yang terus dipegang petinggi Islam pada saat itu
adalah jika petinggi negara itu adalah Islam maka penganut Islam akan
makin membanyak (Marthin 2004, 240). Tentunya, banyak di antara mereka
yang hendak konversi karena ingin mempunyai jabatan yang baik ataupun
alasan politik (Marthin 2004, 240).
Umat Islam sangatlah menjaga kaum minoritas. Mereka
melaksanakan beberapa peraturan yang berasas pada otonomi. Setiap
pemimpin agama haruslah taat pada otonomi itu. Otonomi itu juga ditaati
oleh sistem pemerintahan Islam sendiri. Pembayaran pajak merupakan
salah satu peraturannya. Pajak patutlah dibayar kepada pihak provinsi.
Dalam hal ini, pihak Muslim (Watt 1991, 61). Pajak ini disebut dengan
istilah jizya. Terkadang, pajak ini juga dilatar-belakangi oleh keinginan
Muslim agar agama lain memeluk Muslim (Marthin 2004, 241).
Sebagai kaum minoritas, walaupun umat Kristen merasa bahwa
mereka berada pada kelas nomer 2. Mereka di luar para elit dan dari posisi
pemerintahan. Bahkan, laki-laki Islam dapat menikahi perempuan Kristen,
tetapi laki-laki Kristen tidak dapat menikahi perempuan Islam (Watt 1991,
61).
Pada tahun 781, terjadi pergolakan di Iraq. Pasalnya, umat Kristen
dilarang untuk melaksanakan ibadah mereka oleh pihak Islam. Timotius,
seorang pemimpin Nostorian pun langsung mempertanyakan hal itu kepada
kalifah al-Mahdi (Abasiah). Dapat dikatakan pada bagian ini bahwa
percakapan yang dilakukan oleh Timotius cukuplah serius, pasalnya, itu
adalah percakapan yang dilakukan antara para pemimpin (Watt 1991, 63).
Menjawab pertanyaan itu, al-Madhi menyatakan bahwa salah satu
penyebabnya dimulai dari Yesus adalah Allah; Yesus mati di kayu salib;
orang Kristen percaya kepada tiga Allah. Al-Mahdi menyatakan bahwa Allah
tidak bisa menikahi seorang perempuan dan mempunyai seorang anak. Itu
tidak mungkin, bahkan jika dikaji dari segi genetikal (Watt 1991, 63).
Pada dasarnya, al-Mahdi mengetahui bahwa Timotius menganut
Nestorian: yang percaya mengenai keilahian Yesus. Al-Mahdi menanyakan,
mengapa Yesus bisa menjadi Allah? Timotius menjawab dengan menyatakan
bahwa pribadi Yesus yang bersatu dengan Allah bagaikan tubuh dan jiwa.
Al-Mahdi menjawabnya, di Injil Yohanes 17: 20, dinyatakan bahwa “aku
pergi ke Allahku dan Allahmu. Di situ, dititikberatkan bahwa Yesus sendiri
berdoa kepada Allah (Thomas. 2003, 244)
Al-Mahdi menyatakan secara tegas bahwa Yesus tidak bisa menjadi
yang ilahi, karena yang Ilahi tidak bisa terlahir dalam suatu waktu. Bahkan,
Yesus sendiri beribadah dan berdoa kepada Allah. Yesus menyebut diri-Nya
hamba, dengan begitu, seorang hamb tidak bisa disamakan dengan Allah.
Dengan demikian, Yesus bukanlah Allah (Watt 1991, 63-4).
Lebih lanjut, al-Mahdi menjelaskan mengenai kitab-kitab Injil yang
dimengertinya. Al-Mahdi menyatakan bahwa janji yang dinyatakan oleh
keempat kitab Injil mengenai kedatangan yang mendamaikan merujuk
kepada Muhammad (Watt 1991, 64). Dari beberapa pernyataan itu, dapat
dikatakan bahwa seorang pemimpin Islam saja sudah mempunyai
pandangan terhadap Kristen yang demikian. Pemahaman yang dapat
dikatakan sebagai tradisi yang dipertahankan hingga kini.
Dari perluasan Islam dan pemahaman mereka terhadap Kristen yang
demikian, Watt menyatakan bahwa perluasan (kolonialisme) yang dilakukan
Islam tidak untuk mengerti Kristen dengan baik. Begitu juga dengan para
pelajar Muslim. Bahkan, mereka seakan tidak tertarik pada konsep dan
persepsi iman orang Kristen (Watt 1991, 72).
Kemudian, pada tahun 795, Ammar al-Basri berusaha untuk mendialogkan
kedua hal itu. Pertama, Ammar menyatakan bahwa Yesus bisa menjadi ilahi
karena Allah membagikan anugerah-Nya kepada manusia sebagai bentuk
komunikasi-Nya dengan manusia. Kedua, Allah hendak merespons
keinginan manusia untuk melihat-Nya. Ketiga, Allah hendak
memperlihatkan keadilan-Nya dengan kehadiran-Nya di dunia. Keempat,
Allah hendak menyatakan keunggulan manusia (Thomas 2003,248).
IV. Refleksi
Ekspansi bangsa-bangsa Islam ke negara-negara lain memberikan
dampak yang sangat besar, baik kepada Islam maupun Kristen. Keberadaan
negara-negara Islam yang sebenarnya cukup mengejutkan dunia karena
mampu menaklukkan negara-negara besar dan juga negara Islam tidak
pernah diperhitungkan sebelumnya telah memberikan “sentuhan-sentuhan”
yang sangat berpengaruh di masa itu bahkan sampai pada masa kini.
Banyak sekali bidang-bidang yang disentuh, seperti pemerintahan, sudut
pandang agama, ilmu pengetahuan, kesenian, sastra dan lain-lain yang
terkena dampak dari perjumpaan awal antara Kristen dan Islam.
Perjumpaan awal secara langsung antara Islam dan Kristen telah
memberikan dampak yang positif, namun juga memberikan dampak yang
negatif. Positinya adalah banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan yang saling
bersinggungan dan membentuk sebuah ilmu baru atau melengkapi ilmu
yang sudah ada. Kelak, seluruh ilmu-ilmu tersebut kemudian masih relevan
digunakan pada masa sekarang. Selain itu juga beberapa bentuk pemikiran
teologi juga mengalami persinggungan dan membentuk teologi yang baru
dan beberapa masih dapat digunakan pada masa sekarang. Tetapi
perjumpaan awal Kristen dan Islam ini juga menimbulkan dampak negatif.
Beberapa ketegangan-ketegangan yang terjadi di dalam hubungan IslamKristen sangat berpengarub bagi kedua agama ini dan kelak menimbulkan
kekerasan-kekerasan dan bahkan masih terjadi sampai pada masa kini.
Seluruh dampak bagi positif maupun mengiringi perjalanan Kristen dan
Islam dalam satu negara.
Terlepas dari pertanyaan bagaimana negara Islam yang sangat kecil
dan tidak diperhitungkan ini dapat menaklukkan beberapa bangsa besar
yang jawabannya tidak pernah berhujung itu, bentuk perjumpaan ini
menjadi salah satu contoh bahwa kedua agama (atau hudaya) tersebut
mempunyai kisahnya dan dampaknya masing-masing, baik kepada Islam,
Kristen ataupun hubungan keduanya. Jika ditilik pada masa kini, masih
banyak ketegangan-ketegangan yang terjadi di beberapa negara atau
kelompok. Ketegangan tersebut dapat dimaklumi (atau menjadi berbahaya?)
di dalam sebuah hubungan kedua agama dan budaya yang berbeda.
Penyikapan secara positif adalah jalan tengah untuk menghindari konfik
dua kebudayaan secara masal, seperti memperlihatkan dampak-dampak
hubungan tersebut secara positif.
Maka dengan perjumpaan awal antara Islam dan Kristen sedikit
membuka jalan sejarah dunia yang lainnya dan masih dirasakan pada masa
kini.
Daftar Acuan:
Marthin, Richard. C. 2004. Encyclopedia of Islam. Macmillan Reference
USA.
Thomas, David. 2003. Christian at the Heart of Islamic Rule. Brill: Leiden.
Watt, W. Montgomery. 1991. Muslim-Christian Encounters: Persceptions
and Misperceptions. USA: Routledge Revival.
Ye’or, Bat. 2002. The Decline of Eastern Christianity under Islam: From
Jihad to Dhimmitude. London: Associated University Press.
Anes: Apa pendapat orang Kristen pertama kali ketika orang Islam menjadi
tuannya?
Ada istilah orang Arab islam, padahal bbelum tentu orang Islam Arab. Sejak
kapan Arabisasi ?
Muhammad: Ada perbedaan antara konsep negara-islam dengan
Muhammad dalam sistem perdagangan. Apa yang menjadikan sistem ini
unggul atau tidak unggul? Kenapa mereka tidak melakukan seperti yang
dilakukan Muhammad?
Nama
: Marco Yoel Kumendong, Novia Abigail, Tony
Wiyaret F.
Kelompok
:1
Mata Kuliah
: Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam
Dosen Pengampu : Prof.Dr.Jan S. Aritonang dan Dr. Yusak Soleiman
TRADISI KEKUASAAN: NEGARA DAN AGAMA
EKSPANSI, PERJUMPAAN PERTAMA DAN KETEGANGAN
I. Ekspansi Islam ke Berbagai Negara: Perjumpaan Pertama
Dalam masa-masa awal Muhammad memperkenalkan Islam, tentu ia
mengalami berbagai penolakan dan menghasilkan pengikut yang sedikit.
Melihat kejadian tersebut, lalu Muhammad beserta para pengikutnya
berpindah dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M (Goddard 2000, 40).
Namun setelah itu, dapat dikatakan Islam mengalami kebangkitan.
Ditengah jumlah pengikut Islam yang minoritas, namun mereka
membuktikan bahwa mereka dapat berkuasa. Setelah Muhammad
meninggal perluasan wilayah sangatlah pesat. Menurut mereka, melakukan
perluasan wilayah bukan untuk memaksa orang lain menjadi Islam namun
mereka ingin menyebarkan manfaat dari Islam itu sendiri, yaitu kehidupan
yang teratur dan terciptanya tata tertib (Goddard 2000, 41). Muhammad
meninggal pada 8 Juni 632 M dan seluruh Jazirah Arab telah ditaklukan di
bawah kekuasaan Islam (Goddard 2000, 42).
Setelah Muhammad meninggal, Abu Bakar Shiddiq menggantikan
Muhammad. Kemudia ia memulai ekspansinya ke luar wilayah Arab. Ia
memerintahkan Khalid bin Walid untuk ke Iraq dan menguasai wilayah alHilah yang pada saat itu dikuasai oleh Imperium Persia pada 634 M
(Goddard 2000, 43). Kemudian Abu Bakar memerintahkan Amr bin al-Ash
beserta tentaranya untuk pergi ke Palestina (Goddard 2000, 43). Lalu Yazid
bin Abi Sufyan, Abu Ubaidah bin al-Jarah, dan Syurahbil bin Hasanah pergi
ke Syam. Namun pasukan Romawi yang menguasai saat itu, melakukan
perwalanan yang cukup hebat. Oleh sebab itulah Khalid bin Walid
diperintahkan oleh Abu Bakar untuk membantu di Syam (Goddard 2000,
44). Lalu setelah Syam dapat ditaklukan, mereka bersama pergi ke
Palestina untuk membantu. Pada masa inilah Islam mulai mengembangkan
perluasan wilayahnya dengan baik dan merebut daerah-daerah sekitarnya.
Setelah itu Abu Bakar meninggal dan ekspansi dilanjutkan oleh pemimpin
berikutnya yaitu Umar bin Khattab (Goddard 2000, 44). Pada masa inilah
ekspansi Islam makin luas dan kota Damaskus dapat direbut dari kekuasaan
Bizantium.
Di Irak Umar bin Khattab memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash
untuk menjadi gubernur. Pada 640 M, Babilonia juga berhasil ditaklukan,
hingga akhirnya pada 641 M, Mesir jatuh ke tangan Islam (Goddard 2000,
44). Ekspansi pertama ini dapat dikatakan berhasil, karena Islam mampu
menguasai Arab, Irak, Persia, Palestina, Suriah, dan Mesir. Namun pada
pemerintahan Ali, ekspansi berhenti karena kondisi pemerintahan yang
tidak stabil. Lalu ekspansi ini dilanjutkan kembali pada masa Bani
Umayyah.
Jika melihat riwayat ini, pertanyaannya mengapa wilayah Kristen pada
saat itu mudah sekali ditaklukan? Apakah karena Kristen adalah minoritas
disana? Tentu tidak, menurut jumlah, umat Kristen dapat dikatakan lebih
banyak dibandingkan umat muslim pada saat itu. Kekristenan di daerah
Timur terpecah karena hasil Konsili Kalsedon (Goddard 2000, 46). Seperti
di Siria, umat Kristen banyak yang terpecah akibat dari hasil Konsili
tersebut, oleh karena itu karena ada perpecahan di dalam diri Kristen,
akhirnya umat Kristen dapat terpecah belah dengan mudah. Selain itu Islam
mampu menguasai wilayah lain juga dengan jalur diplomasi (Goddard 2000,
46). Sebenarnya Islam tidak pernah memaksa umat Kristen untuk
berpindah agama ke Islam. Namun jika orang tersebut ingin memiliki
jabatan atau berpengaruh di wilayahnya, maka ia harus menjadi seorang
muslim (Goddard 2000, 47). Hal ini dikarenakan pemerintahan sangat
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh muslim. Selain itu, ada juga kewajiban untuk
membayar pajak kepada pemerintah. Pajak ini dapat dikatakan tinggi. Agar
mereka tidak membayar Jizyah (pajak) yang tinggi ini, mereka lebih baik
menjadi muslim agar tidak perlu membayar mahal (Goddard 2000, 45).
II. Sistem Pemerintahan Islam: Dampak Bagi Kristen dan Dhimmi
Pasca penaklukkan bangsa Arab ke wilayah pemerintahan Byzantium
dan Persia, yang kemudian direbut sebagai wilayah negara Arab tersebut
memberikan dampak yang cukup besar khususnya di dalam tata
pemerintahan dan masyarakat Kristen pada masa itu. Beberapa aliran
Kekristenan Timur merasakan dampak ketika bangsa Arab telah menduduki
wilayah dan melaksanakan tata aturan pemerintahan dan masyarakatnya.
Pada masa pemerintahan Byzantium di Mesir, Kekristenan terbagi ke
dalam beberapa kelompok-kelompok lokal, seperti kelompok Koptik, Melkit,
dan lain-lain dan masing-masing kelompok tersebut saling menguasai.
Namun sejak invasi Arab ke Mesir, terjadi perubahan perilaku ketika
pemimpin Arab melaksanakan peraturannya di Mesir. Patriakh Benyamin,
yang selama sepuluh tahun berada di dalam pengasingan kembali ke
Aleksandria dan dihormati oleh Amr bin Ash (Atiya 1980, 82). Pada masa ini
Koptik mulai pada masa kebangkitan di dalam sudut keagaaman, sastra dan
seni karena mereka di mata orang penguasa Arab dianggap sama semua
dengan kelompok lain, seperti Melkit. Sementara jika dilihat di masa
pemerintahan Byzantium, kelompok Koptik ditindas oleh Melkit yang
menguasai mereka (Atiya 1960, 82). Salah satu bentuk kebangkitan mereka
adalah diperbolehkannya membangun sebuah gereja, The Church of the
Holy Sepulchre oleh Al-Zahir di masa pemerintahan kekhalifaan Fatimid
(Atiya 1960, 90). Selain itu juga dengan kebebasan pemerintahan Arab
terhadap Koptik telah memberikan dampak perkembangan yang sangat
pesat di dalam kesenian. Tukang pembuat perhiasan dari Koptik diberikan
keluasaan untuk mengembangkan usahanya dan salah satu bentuk
kemajuan Koptik di bidang kesenian (Atiya 1960, 90).
Paling terpenting kekristenan di dalam pemerintahan Islam atau Arab
ini adalah sistem pemungutan pajak terhadap orang-orang lokal. Kharaj
atau Jizya yang berarti pajak penghasilan diwajibkan oleh seluruh orang
Kristen dewasa yang digunakan untuk membiayai militer Islam dan
dilaksanakan secara menyeluruh di Mesir. Akibat pajak ini terjadi banyak
sekali pemberontakan-pemberontakan di Mesir seperti kebangkitan
Bashmurik. Namun sistem ini sangat efektif sekali. Di dalam masa
pemerintahan Amr bin Ash, mereka dapat mengumpulkan dua belas juta
dinar (Atiya 1960, 83).
Akan tetapi seiring banyaknya orang Kristen yang berpindah ke Islam,
maka semakin kurangnya pendapatan melalui pajak. Hal ini dikarenakan
orang-orang Kristen berusaha menghindari pajak yang terlampau tinggi
dengan cara berpindah agama menjadi Islam sehingga tidak perlu
dibebankan pajak lagi (Atiya 1960, 83-84).
Bergeser ke arah Suriah, hal yang terjadi di Mesir juga hampir sama
terjadi di Suriah. Di Suriah sendiri terdapat beberapa kelompok
Kekristenan seperti Jakobit, Nestorian, Melkit dan lain-lain. Di sini pun
Jakobit juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan
pemerintah Kekhalifaan saat itu menganggap seluruh kelompok Kristen di
Suriah sama, berbeda dengan pemerintahan Byzantium yang merendahkan
posisi dari Jakobit di bawah Nestorian (Atiya 1960, 194). Jika di masa
dahulu keberadaan Jakobit masih sangatlah kecil, namun di masa
pemerintahan Islam dan Arab mereka dapat berkembang baik secara
kualitas maupun kuantitas. Dan sama seperti di Mesir, orang Kristen di
Suriah juga dikenakan pajak, yaitu pajak Kharaj atau pajak tanah dan Jizyah
atau pajak perseorangan dengan satu dinar emas berarti satu kepala
tentara militer Islam (Atiya 1960, 193).
Perkembangan-perkembangan kualitas Jakobit saat itu adalah mulai
banyaknya karya-karya seni dan ilmiah yang ditulis dalam bahasa Syria dan
Arab. Beberapa tulisan-tulisan flsafat Syria dibuat pada masa ini, seperti
Kenneshre yang merupakan pionir dari pengetahuan Hellenistik-Syria
(Atiya 1960, 195-196). Tulisan-tulisan Teologi pun juga banyak pada masa
itu, seperti Homilia cathredales yang dibuat oleh Keuskupan Antiokhia
(Atiya 1960, 196). Namun beberapa tahun kemudian kaum Jakobit mulai
merasakan masa kemunduran. Hal itu ditandai dengan mulai dibatasinya
gerak masyarakat Jakobit dan mulai kesulitan di dalam seluruh aktivitasnya.
Orang-orang Kristen di dalam pemerintahan juga sudah mulai berkurang
bahkan sampai tidak ada sama sekali. Alasan orang Kristen tidak
merasakan kebebasan lagi adalah mulai banyaknya orang pintar di
kalangan Arab dan tidak perlu lagi membutuhkan orang Kristen lokal yang
sejak dari awal terdidik dan juga mulai menyusutnya orang-orang Arab di
dalam pemerintahan (Atiya 1960, 199-200).
Nestorian pun merasakan hal yang sama dengan beberapa kelompok
Kristen lainnya. Sejak dari awal Nestorian mengalami penindasan di dalam
pemerintahan Byzantium dan Persia. Kemudian dengan kehadiran orang
Islam yang kemudian memerintah, Nestorian juga merasakan kebebasan
dan keadilan. Pemimpin Arab memberikan keadilan kepada semua ras dan
budaya di dalam masyarakat Kristen pada saat itu (Atiya 1960, 268).
Dengan kebebasan tersebut, orang-orang terdidik di kalangan Nestorian
dapat berkembang dengan baik, seperti ahli fsika, guru dan penafsir dan
orang-orang Kristen khususnya Nestorian benar-benar dilindungi oleh
pemimpin Islam (dhimmi). Namun sama dengan kelompok lainnya, mereka
juga dibebankan pajak kharaj dan jizyah (Atiya 1960, 269-270).
Melihat dari ketiga kelompok Kristen ini, memperlihatkan kebebasan
dan keadilan yang diberikan oleh pemerintah Islam kepada kelompok
Kristen pada masa awal-awal pasca penaklukkan terhadap bangsa-bangsa
lain. Keberadaan Islam di dalam kalangan Kristen telah memberikan
kebebasan walaupun masih dalam cakupan sangatlah terbatas di masa
awal.
B. Dhimmi: Bebas namun Terbatas
Keberadaan orang Kristen di dalam pemerintahan Islam menjadi
sangat unik sekali. Selain karena jumlahnya yang sangat mayoritas di dalam
satu negara Islam jika dibandingkan dengan jumlah orang Islam,
keberadaan orang Kristen yang lebih terdidik membuat mereka
mendapatkan kebebasan dan toleransi yang baik. Namun seiring
berjalannya waktu, kaum non-Muslim atau disebut sebagai dhimmi atau
yang dilindungi menjadi permasalahan secara relasi dan berkurangnya
kebebasan dan keadilan untuk kaum dhimmi tersebut,
Sedari awal kaum dhimmi diberikan wajib pajak terhadap pemerintah
yang digunakan sebagai biaya pengembangan militernya, salah satunya
adalah Jizya atau pajak perorangan, atau juga ada namanya Kharaj atau
pajak tanah. Pajak ini diwajibkan kepada semua orang non-Muslim. Setiap
orang Kristen yang mempunyai tanah harus membayar kharaj. Sebenarnya
kharaj ini merupakan sistem perpajakan yang dibuat oleh pemerintah Persia
dan Yunani, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah Islam sebagai pajak
yang disakralkan (Ye’or 2002, 70). Karena tingginya dan kewajiban pajak
yang terlampau tinggi, maka orang-orang Kristen saat itu memutuskan
untuk berpindah agama menjadi Islam agar tidak dikenakan wajib pajak lagi
(Ye’or 2002, 73).
Selain pajak, orang Kristen juga diperbolehkan mengelola tanahnya
sendiri dengan catatan tanah tersebut tidak boleh diperluas lagi. Peraturan
pemerintah Islam hanya memberikan kebebasan bagi kalangan atas Islam
atau orang Islam yang dapat melebarkan tanahnya (Ye’or 2002, 70).
Sementara mengenai peribadahan, banyak sekali batasan-batasan
yang diberikan oleh pemerintah Islam terhadap orang Kristen. Gerejagereja atau tempat persekutuan Kristen yang baru dilarang dibangun
namun restorasi tempat penyembahan pra-Islam diperbolehkan menurut
kondisi dan kepentingan saat itu (Ye’or 2002, 83). Orang-orang Kristen juga
dilarang untuk melaksanakan ibadah dengan suara yang keras,
membunyikan lonceng dan memasang salib di tempat peribadahaannya
(Ye’or 2002, 87). Orang-orang Kristen yang dulunya diperbolehkan
menduduki pemerintahan juga akhirnya dilarang masuk dalam jabatan
tertinggi dalam pemerintahan (Ye’or 2002, 90).
Selain dibatasi, pemerintah Islam juga menggencarkan proses
Islamisasi terhadap orang non-Muslim. Menyita seluruh properti milik nonmuslim, dijadikan sebagai budak, dan berbagai cara lainnya untuk
membatasi orang Kristen di dalam pemerintah Islam yang memberikan
ketegangan yang cukup tinggi di dalma masyarakat Kristen dan Muslim.
III. Perjumpaan Kristen-Islam: Tradisi dan Ilmu Pengetahuan
Salah satu hal yang dapat dikatakan sebagai pendukung perluasan
Islam adalah sistem irigasi. Hal itu dikarenakan Islam hadir di daerahdaerah yang memiliki curah hujan yang cukup rendah. Mereka
mengembangkan sistem perairan yang cukup memadai sehingga, melalui
itu bahan makanan tersedia. Bahkan, populasi umat Islam juga semakin
bertambah (Marthin dkk, 194).
Di Iraq, orang-orang Muslim amatlah tertarik pada ilmu medis dan
astronomi yang dikembangkan oleh orang Yunani. Hingga pada tahun 870,
al-Ma’mun membangun perpustakaan dan pusat untuk menerjemahkan
buku-buku Yunani. Usaha itu dilakukan untuk menghadirkan buku-buku
dalam bahasa Arab (Watt 1991, 52).
Proses penerjemahan itu pun terjadi pada para teolog Islam yang tertarik
pada flsafat dan konsep keilmuan Yunani. Bahkan, Hisham ibn-al Hakam
dan Dirar ibn-‘Amr mulai menggunakan ilmu flsafat itu untuk menentang
penganut agama lainnya dan kelompok Muslim yang tidak mereka setujui.
Konsep Yunani ini juga mampu membuat anak-anak Kristen konversi ke
Muslim. Salah satu konsep Islam yang ditentang saat itu
Pada tahun 634-44, perluasan Islam dimulai. Pergerakan itu dinamai
Islamic Colonialism. Namun, pada titik itu, orang-orang Islam hendak
menyatakan bahwa perluasan yang dilakukan Islam bukanlah kolonialisme.
Islam menganggap bahwa gerakan mereka hanya berjalan pada asas
perluasan kebaikan dari agama Islam dan sistem politik kepada mereka
yang di luar Islam (Watt 1991, 60).
Pada dasarnya, jumlah umat Islam tidak lebih banyak dari umat
Kristen. Namun, karena kekuasaan dan para petinggi negara adalah orang
Islam, maka orang Kristen merasa bahwa mereka adalah kaum minoritas.
Sistem yang coba dikembangkan oleh Muslim sendiri berporos pada
penaklukan untuk merampas. Beberapa tempat yang menjadi korban
rampasan itu adalah Tunisia dan Basra, di Iraq selatan (Watt 1991, 61).
Salah satu paradigma yang terus dipegang petinggi Islam pada saat itu
adalah jika petinggi negara itu adalah Islam maka penganut Islam akan
makin membanyak (Marthin 2004, 240). Tentunya, banyak di antara mereka
yang hendak konversi karena ingin mempunyai jabatan yang baik ataupun
alasan politik (Marthin 2004, 240).
Umat Islam sangatlah menjaga kaum minoritas. Mereka
melaksanakan beberapa peraturan yang berasas pada otonomi. Setiap
pemimpin agama haruslah taat pada otonomi itu. Otonomi itu juga ditaati
oleh sistem pemerintahan Islam sendiri. Pembayaran pajak merupakan
salah satu peraturannya. Pajak patutlah dibayar kepada pihak provinsi.
Dalam hal ini, pihak Muslim (Watt 1991, 61). Pajak ini disebut dengan
istilah jizya. Terkadang, pajak ini juga dilatar-belakangi oleh keinginan
Muslim agar agama lain memeluk Muslim (Marthin 2004, 241).
Sebagai kaum minoritas, walaupun umat Kristen merasa bahwa
mereka berada pada kelas nomer 2. Mereka di luar para elit dan dari posisi
pemerintahan. Bahkan, laki-laki Islam dapat menikahi perempuan Kristen,
tetapi laki-laki Kristen tidak dapat menikahi perempuan Islam (Watt 1991,
61).
Pada tahun 781, terjadi pergolakan di Iraq. Pasalnya, umat Kristen
dilarang untuk melaksanakan ibadah mereka oleh pihak Islam. Timotius,
seorang pemimpin Nostorian pun langsung mempertanyakan hal itu kepada
kalifah al-Mahdi (Abasiah). Dapat dikatakan pada bagian ini bahwa
percakapan yang dilakukan oleh Timotius cukuplah serius, pasalnya, itu
adalah percakapan yang dilakukan antara para pemimpin (Watt 1991, 63).
Menjawab pertanyaan itu, al-Madhi menyatakan bahwa salah satu
penyebabnya dimulai dari Yesus adalah Allah; Yesus mati di kayu salib;
orang Kristen percaya kepada tiga Allah. Al-Mahdi menyatakan bahwa Allah
tidak bisa menikahi seorang perempuan dan mempunyai seorang anak. Itu
tidak mungkin, bahkan jika dikaji dari segi genetikal (Watt 1991, 63).
Pada dasarnya, al-Mahdi mengetahui bahwa Timotius menganut
Nestorian: yang percaya mengenai keilahian Yesus. Al-Mahdi menanyakan,
mengapa Yesus bisa menjadi Allah? Timotius menjawab dengan menyatakan
bahwa pribadi Yesus yang bersatu dengan Allah bagaikan tubuh dan jiwa.
Al-Mahdi menjawabnya, di Injil Yohanes 17: 20, dinyatakan bahwa “aku
pergi ke Allahku dan Allahmu. Di situ, dititikberatkan bahwa Yesus sendiri
berdoa kepada Allah (Thomas. 2003, 244)
Al-Mahdi menyatakan secara tegas bahwa Yesus tidak bisa menjadi
yang ilahi, karena yang Ilahi tidak bisa terlahir dalam suatu waktu. Bahkan,
Yesus sendiri beribadah dan berdoa kepada Allah. Yesus menyebut diri-Nya
hamba, dengan begitu, seorang hamb tidak bisa disamakan dengan Allah.
Dengan demikian, Yesus bukanlah Allah (Watt 1991, 63-4).
Lebih lanjut, al-Mahdi menjelaskan mengenai kitab-kitab Injil yang
dimengertinya. Al-Mahdi menyatakan bahwa janji yang dinyatakan oleh
keempat kitab Injil mengenai kedatangan yang mendamaikan merujuk
kepada Muhammad (Watt 1991, 64). Dari beberapa pernyataan itu, dapat
dikatakan bahwa seorang pemimpin Islam saja sudah mempunyai
pandangan terhadap Kristen yang demikian. Pemahaman yang dapat
dikatakan sebagai tradisi yang dipertahankan hingga kini.
Dari perluasan Islam dan pemahaman mereka terhadap Kristen yang
demikian, Watt menyatakan bahwa perluasan (kolonialisme) yang dilakukan
Islam tidak untuk mengerti Kristen dengan baik. Begitu juga dengan para
pelajar Muslim. Bahkan, mereka seakan tidak tertarik pada konsep dan
persepsi iman orang Kristen (Watt 1991, 72).
Kemudian, pada tahun 795, Ammar al-Basri berusaha untuk mendialogkan
kedua hal itu. Pertama, Ammar menyatakan bahwa Yesus bisa menjadi ilahi
karena Allah membagikan anugerah-Nya kepada manusia sebagai bentuk
komunikasi-Nya dengan manusia. Kedua, Allah hendak merespons
keinginan manusia untuk melihat-Nya. Ketiga, Allah hendak
memperlihatkan keadilan-Nya dengan kehadiran-Nya di dunia. Keempat,
Allah hendak menyatakan keunggulan manusia (Thomas 2003,248).
IV. Refleksi
Ekspansi bangsa-bangsa Islam ke negara-negara lain memberikan
dampak yang sangat besar, baik kepada Islam maupun Kristen. Keberadaan
negara-negara Islam yang sebenarnya cukup mengejutkan dunia karena
mampu menaklukkan negara-negara besar dan juga negara Islam tidak
pernah diperhitungkan sebelumnya telah memberikan “sentuhan-sentuhan”
yang sangat berpengaruh di masa itu bahkan sampai pada masa kini.
Banyak sekali bidang-bidang yang disentuh, seperti pemerintahan, sudut
pandang agama, ilmu pengetahuan, kesenian, sastra dan lain-lain yang
terkena dampak dari perjumpaan awal antara Kristen dan Islam.
Perjumpaan awal secara langsung antara Islam dan Kristen telah
memberikan dampak yang positif, namun juga memberikan dampak yang
negatif. Positinya adalah banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan yang saling
bersinggungan dan membentuk sebuah ilmu baru atau melengkapi ilmu
yang sudah ada. Kelak, seluruh ilmu-ilmu tersebut kemudian masih relevan
digunakan pada masa sekarang. Selain itu juga beberapa bentuk pemikiran
teologi juga mengalami persinggungan dan membentuk teologi yang baru
dan beberapa masih dapat digunakan pada masa sekarang. Tetapi
perjumpaan awal Kristen dan Islam ini juga menimbulkan dampak negatif.
Beberapa ketegangan-ketegangan yang terjadi di dalam hubungan IslamKristen sangat berpengarub bagi kedua agama ini dan kelak menimbulkan
kekerasan-kekerasan dan bahkan masih terjadi sampai pada masa kini.
Seluruh dampak bagi positif maupun mengiringi perjalanan Kristen dan
Islam dalam satu negara.
Terlepas dari pertanyaan bagaimana negara Islam yang sangat kecil
dan tidak diperhitungkan ini dapat menaklukkan beberapa bangsa besar
yang jawabannya tidak pernah berhujung itu, bentuk perjumpaan ini
menjadi salah satu contoh bahwa kedua agama (atau hudaya) tersebut
mempunyai kisahnya dan dampaknya masing-masing, baik kepada Islam,
Kristen ataupun hubungan keduanya. Jika ditilik pada masa kini, masih
banyak ketegangan-ketegangan yang terjadi di beberapa negara atau
kelompok. Ketegangan tersebut dapat dimaklumi (atau menjadi berbahaya?)
di dalam sebuah hubungan kedua agama dan budaya yang berbeda.
Penyikapan secara positif adalah jalan tengah untuk menghindari konfik
dua kebudayaan secara masal, seperti memperlihatkan dampak-dampak
hubungan tersebut secara positif.
Maka dengan perjumpaan awal antara Islam dan Kristen sedikit
membuka jalan sejarah dunia yang lainnya dan masih dirasakan pada masa
kini.
Daftar Acuan:
Marthin, Richard. C. 2004. Encyclopedia of Islam. Macmillan Reference
USA.
Thomas, David. 2003. Christian at the Heart of Islamic Rule. Brill: Leiden.
Watt, W. Montgomery. 1991. Muslim-Christian Encounters: Persceptions
and Misperceptions. USA: Routledge Revival.
Ye’or, Bat. 2002. The Decline of Eastern Christianity under Islam: From
Jihad to Dhimmitude. London: Associated University Press.
Anes: Apa pendapat orang Kristen pertama kali ketika orang Islam menjadi
tuannya?
Ada istilah orang Arab islam, padahal bbelum tentu orang Islam Arab. Sejak
kapan Arabisasi ?
Muhammad: Ada perbedaan antara konsep negara-islam dengan
Muhammad dalam sistem perdagangan. Apa yang menjadikan sistem ini
unggul atau tidak unggul? Kenapa mereka tidak melakukan seperti yang
dilakukan Muhammad?