4 Gunung Salak Halimun Gede Pangrango

4 Gunung: Salak, Halimun, Gede, Pangrango
PENDAHULUAN
Sungai menyuburkan bumi dan peradaban manusia. Berbagai peradaban tua
yang tumbuh paling awal dalam sejarah manusia muncul di daerah aliran
sungai (DAS) Eufrat dan Tigris di Mesopotamia (kini Irak), Nil di Mesir, Indus di
India, Chiang Jiang di Cina. Kota-kota dan pusat pemukiman di berbagai
bagian dunia umumnya tumbuh di sekitar sumber air, aliran atau muara
sungai-sungai yang berhulu di gunung, pegunungan atau dataran tinggi.
Sungai dan gunung seolah tak terpisahkan.
Empat gunung menjulang tinggi di kawasan barat Pulau Jawa (Salak,
Halimun, Pangrango, Gede) sudah berabad-abad menjadi bagian dari
ekologi, budaya, kehidupan sosial ekonomi manusia yang menghuni kawasan
ini. Kawasan gunung-gunung yang menjadi sumber puluhan sungai di Jawa
bagian barat ini juga menyimpan banyak bukti sejarah dari masa abad-abad
permulaan tarikh Masehi. Pusat-pusat pemerintahan dan perdagangan sudah
tumbuh di kawasan ini belasan abad silam, ketika sebagian besar penghuni
Nusantara masih menjalani kehidupan sangat sederhana.
Kawasan empat gunung Salak, Halimun, Pangrango, Gede adalah kawasan
sangat luas, mulai dari puncak-puncak gunung, lereng gunung, kaki gunung,
DAS berbagai sungai yang mengalir turun dari lereng-lereng gunung, berlikuliku menuju Pantai Utara Jawa atau pantai Samudera Hindia. Jutaan orang
hidup dari berkah ekologis gunung-gunung itu. Udara sejuk dan segar, tanah

yang subur berkat humus hutan dan abu vulkanis, air yang melimpah,
menggairahkan spirit hidup penghuni kawasan empat gunung ini. Manusia
kawasan empat gunung merespon alam.-- gunung, hutan, sungai, cuaca dan
iklim, flora fauna -- dengan berbagai daya cipta akal dan budi manusia. Air
dari gunung menghidupkan sawah, kebun dan kolam ikan. Padi, enau,
bambu, aneka tanaman buah dan palawija merangsang munculnya ritus
tanam, panen, pesta rakyat. Menghidupkan aktivitas budaya, sosial , religi
dan kegiatan ekonomi.
SEJARAH PANJANG
Kawasan empat gunung indah Salak, Halimun, Pangrango, Gede memiliki
sejarah yang panjang. Bahkan kawasan ini pantas dijuluki cradle-nya
kebudayaan Sunda. Karena kawasan ini adalah pusat kerajaan Sunda,
pecahan dari kerajaan Tarumanagara yang berjaya di wilayah barat Pulau
Jawa abad ke-4 sampai abad ke-7.

1

Bukti-bukti sejarah menunjukkan kawasan ini sudah menjadi pusat
pemukiman dan pusat pemerintahan belasan abad silam, ketika sebagian
besar wilayah negeri kepulauan ini masih diliputi hutan belantara, dihuni

kelompok-kelompok masyarakat sederhana yang belum memiliki sistem
pemerintahan yang rapi dan lengkap.
Di Bogor ditemukan prasasti Ciareteun berbentuk batu besar di sungai
Ciareteun, Ciampea Bogor. Prasasti itu menampilkan telapak raja
Tarumanagara (Kerajaan Taruma), Purnawarman (tahun 358-669 M). Prasasti
dengan ukiran sepasang telapak kaki itu dilengkapi tulisan dalam bahasa
Sansekerta menggunakan huruf Palawa, yang bila diterjemahkan berbunyi :
Inilah telapak kaki yang mulia Sang Purnawarman, Raja Negeri Taruma yang
gagah berani, yang menguasai dunia, sebagai telapak Dewa Wisnu”.
Beberapa prasasti lain di kawasan 4 gunung menunjukkan kehadiran
kerajaan Sunda, pecahan dari kerajaan Taruma. Prasasti Pasir Muara di Bogor
menampilkan nama kerajaan Sunda. Sedangkan prasasti di sungai Cicatih,
Cibadak, Sukabumi tidak menampilkan nama kerajaan Sunda tetapi hanya
berisi larangan menangkap ikan di sungai Cicatih dari penguasa kawasan itu.
Prasasti yang jauh lebih muda adalah prasasti Batutulis, Lawang Gintung,
terletak di desa Batutulis, pinggir kota Bogor, dibuat oleh Prabu Surawisesa
tahun 1533 (1455 Saka) untuk menghormati ayahandanya, Sri Baduga
Maharaja atau Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir, yang memerintah dari
1482 -1521.
Tome Pires, penjelajah Portugis, bangsa kulit putih yang paling awal tiba di

Nusantara, pada tahun 1513 mencatat dayo (dayeuh) atau kota Sunda
terletak dua hari perjalanan menyusuri sungai dari muara Ciliwung di
pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa yang kemudian jadi Jayakarta, Batavia dan
akhirnya Jakarta). Dayeuh atau dayo (menurut sebutan penduduk Sunda
Kalapa kala itu) adalah ibukota kerajaaan Sunda yang terletak di Bogor
sekarang.
Kawasan ini ternyata memiliki sejarah yang panjang dan masa silam yang
jaya. Tapi kini kini makna sejarahnya sebagai pusat kerajaan Sunda seolah
terlupakan, tertelan oleh urusan kegiatan ekonomi dan hiruk pikuk mobilitas
masyarakat.
ALAM YANG KAYA
Kawasan 4 gunung ini memiliki udara yang sejuk, alam yang subur dan
indah, kaya aneka flora-fauna. Dari lereng-lereng gunung berhulu puluhan
sungai yang bermuara di Teluk Jakarta,pantai utara Jawa Barat dan Samudera
Hindia di sebelah selatan.. Mungkin karena alasan-alasan ini pendiri kerajaankerajaan kuno Tarumanagara dan Sunda memilih kawasan ini sebagai pusat
pemerintahan.
Sisa-sisa keindahan dan kekayaan alam masih tampak di abad 21 ini walau
sebagaian besar sudah berubah, digerogoti manusia. Dua taman nasional
Gede Pangrango dan Halimun - Salak memiliki kekayaan flora dan fauna yang


2

luar biasa. Tapi kawasan konservasi alam makin terkepung manusia.
Vila, hotel,
resor dan pemukiman penduduk (termasuk kompleks perumahan
modern/real estate) merambah sampai ke lereng-lereng gunung. Manusia
terus menggerogoti habitat aneka flora dan fauna dan juga lahan-lahan
pertanian sekitar kaki dan lereng gunung.
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango hanya seluas 15.196 ha. Taman
Nasional Gunung Halimun Salak yang diresmikan tahun 2003, merupakan
perluasan TN Gunung Halimen yang semula 40.000 ha digabung dengan
Gunung Salak menjadi 113.357 ha.
Taman-taman nasional ini merupakan habitat owa (Hylobates moloch),
macan kumbang (Pantera pardus melas), anjing utan (Cuan alpines
javanicus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), cica matahari (Crocias
albonotatus), poksai kuda (Garrulax rafifrons), puluhan jenis anggrek alam,
pohon-pohon besar seperti rasamala ( Altinga exelsa) pohon jumuju
(Dacrycarpus imbircatus) dan aneka jenis ular, katak, kupu-kupu, kumbang
dan serangga lainnya.
Kawasan 4 gunung memang menarik karena memiliki dua kebun raya

dengan koleksi flora yang sangat kaya, Kebun Raya Bogor dan Cibodas.
Curug Cilember, Telaga Warna, Situgunung, perkebunan-perkebunan teh
menjadi tujuan wisata pencinta alam. Di kawasan ini terdapat sejumlah bumi
perkemahan antara lain Citiis, Sukamantri di lereng Gunung Salak, Curug
Cilember di Cisarua, Cibodas di lereng Gunung Gede, Situgunung di lereng
Gunung Pangrango dan bumi perkemahan Cikaniki
di lereng Gunung
Halimun. Puncak dan lereng-lereng Gede Pangrango, Salak, Halimun jadi
arena trekking pencinta alam. Tapi kerap dalam sehari ribuan pendaki
sekaligus
memasuki kawasan taman-taman nasional ini. Ekowisata
(ecotourism), wisata berbasis lingkungan malah
menjadi kegiatan
mengganggu lingkungan hidup, bahkan ikut merusak alam.
Kawasan Bogor, Cianjur, Sukabumi (dengan empat gunung besar yang
menjulang indah – di samping sejumlah gunung kecil dan bukit ) merupakan
kawasan wisata warga Jakarta dan sekitarnya, yang sudah berkembang sejak
zaman kolonial Belanda. Pengunjung dari berbagai daerah juga kerap datang
menikmati kawasan wisata yang sering muncul dalam pemberitaan media
terutama pada masa liburan. Banyak orang kaya membangun vila atau

rumah peristirahatan. Bahkan dengan akses jalan raya yang memudahkan
mobilitas, banyak pula warga Jakarta besar memilih kawasan ini sebagai
tempat tinggal.
Kawasan ini menyuplai berbagai kebutuhan penduduk Jakarta dan sekitarnya.
Di Bogor dan Sukabumi terdapat sentra-sentra pisang dan pepaya, Ikan mas,
mujair, gurame, lele, patin dari Bogor dan Sukabumi. Aneka sayuran, bunga
dan tanaman hias dari Cipanas.
Dengan kehadiran jalan toll Jakarta - Bandung, banyak pula warga Jakarta
dan sekitarnya yang memilih berlibur atau berakhir pekan di Bandung,
berbelanja pakaian jadi factory outlet, jajan aneka kreasi kuliner, atau
menikmati hawa sejuk Lembang dan Ciwidey. Walaupun begitu, kawasan

3

Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) masih tetap menjadi salah satu tujuan
akhir pekan atau liburan warga Jakarta dan sekitarnya.
Kawasan Puncak, Bogor, Cianjur (jalur pegunungan sejuk mulai dari
Megamendung, Cisarua, sampai Cipanas ) terus berkembang dari hari ke
hari. Kawasan ini semakin dipadati hotel, vila, bungalow, rumah-rumah
peristirahatan keluarga dan resor-resor wisata bahkan juga pemukiman

orang-orang kaya dari Jakarta dan sekitarnya. Lahan sawah, kebun, dan
daerah resapan air jadi vila,hotel, lapangan golf dan pemukiman modern atau
pemakaman mewah.
Bogor sendiri memiliki Kebun Raya yang memang merupakan tujuan wisata,
di samping aneka hidangan yang sering jadi buah bibir bagi penggemar
wisata kuliner. Cianjur memiliki Taman Bunga Nusantara, Kebun Raya
Cibodas, Istana Cipanas. Sukabumi memiliki beberapa kawasan wisata
seperti Lido, Selabintana, Situgunung, Pelabuhan Ratu dan Ujunggenteng di
tepi pantai Samudera Hindia.
Bagi yang menyukai kegiatan outdoor, berwisata ke curug Cilember, tempat
penangkaran kupu-kupu, mendaki gunung Gede Pangrango, gunung Salak,
berkemah di kawasan Kebun Raya Cibodas atau Situgunung, trekking Gunung
Halimun, arung jeram di sungai Citarik dan Cisadane atau berselancar dan
mancing di perairan Pelabuhan Ratu. Bagi yang menginginkan suasana
santai, memanjakan diri dengan perawatan fisik dan mental, di kawasan ini
sudah berkembang spa yang diawali dengan Javana Spa belasan tahun lalu
di lereng Gunung Halimun. Kini terdapat puluhan hotel dan resor yang
memberikan layanan spa, semadi, yoga.
Puncak atau juga disebut Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) merupakan
daerah wisata akhir pekan dan

liburan langganan warga Jakarta dan
sekitarnya.
Apa tujuan ke Puncak? Beristirahat bersama keluarga, menghirup udara
sejuk, mengikuti lokakarya, seminar atau pelatihan. Mengunjungi Taman
Safari Indonesia, Taman Bunga Nusantara, penangkaran kupu-kupu dan bumi
perkemahan Curug Cilember, jalan-jalan di perkebunan teh, bermain golf di
Rancamaya atau Lido, mampir istirahat dan bersantap di berbagai restoran
dan rumah makan kawasan Puncak, atau berbelanja barang tiruan merkmerk terkenal di Jalan Raya Tajur, Bogor.
Pada hari-hari biasa (hari kerja) kawasan Puncak dikunjungi (dan dilewati)
sekitar 30.000 mobil. Pada akhir pekan dan hari-hari libur arus kendaraan
bermotor ke atau melewati Puncak bisa mencapai lebih dari 80.000 per hari.
Terjadi kemacetan parah yang merepotkan polisi lalulintas.
Pada hari-hari kerja kawasan Puncak dikunjungi sekitar 10 000 sampai 15.000
orang. Pada akhir pekan dan hari libur melonjak sampai 40.000. Taman Safari
Indonesia saja setiap tahun dikunjungi sekitar 1,6 juta orang. Pada hari kerja
sekitar 4000 orang, pada akhir pekan bisa mencapai 20.000 orang, bahkan
banyak lebih lagi pada hari-hari libur panjang..
Jumlah hotel, vila, resor di kawasan Puncak sekitar 2.200 (walaupun konon
hampir separohnya tanpa IMB). Jumlah restoran atau rumah makan sekitar


4

900 terdiri dari rumah makan khas Sunda, restoran Padang, restoran fastfood
waralaba asing, warung sate sampai tenda pinggir jalan.

5

PERMASALAHAN
Dilihat dari kegiatan berbagai vila, hotel dan misi berbagai resor di kawasan
4 gunung, yang berkisar dari sekadar menerima tamu menginap,
berkonferensi atau lokakarya, atau sekadar bersantai, tampaknya tidak
banyak yang peduli pada pemberdayaan masyarakat, pengembangan dan
pelestarian budaya serta pelestarian alam.
Berbagai resor, vila, hotel, resor, restoran di kawasan 4 gunung umumnya
dimiliki orang-orang kota besar dari Jakarta dan sekitarnya. Hanya sejumlah
kecil saja vila, hotel, restoran dan warung makan yang dimiliki penduduk
setempat.
Warga sekitar kawasan itu umumnya menjadi pegawai hotel, penjaga villa,
satpam, tukang ojek, tukang parkir, tukang kebun, sebagian lagi menjadi
wanita penghibur. Sebagian lain hidup dari sawah, ladang, kebun sayur dan

buah. Sebagian lagi membuka warung tenda, kiosk rokok, berdagang buah,
sayur ,bunga, tanaman hias atau cenderamata. Banyak warga yang turuntemurun menghuni kawasan ini sudah menjual tanah, sawah dan kebun
warisan dari leluhur mereka untuk mendapatkan uang banyak secara instant.
Kepemilikan tanah oleh petani di kawasan subur dan indah ini sudah tak beda
dengan rata-rata petani Indonesia, tak lebih dari 0,6 ha.
Sebagai kawasan wisata warga kota besar, bagi kawasan 4 gunung indah
(Salak, Halimun, Pangrango, Gede) uang seolah menjadi ukuran segalanya.
Pemilik hotel, resor, villa, restoran dengan berbagai cara dan tawaran
kesenangan berusaha mengeruk kantong pengunjung, meraih untung
sebanyak-banyaknya. Mereka yang datang berwisata juga bersedia
membayar untuk apa saja yang bisa disajikan asal memberi kesenangan dan
kepuasan.
Mereka yang datang berwisata atau berlokakarya di kawasan wisata sejuk
4 gunung ingin makan enak, menghibur diri dengan karaoke, pesta dansa,
musik rock atau dangdut, atau melepas keletihan di spa, atau malah
mengumbar nafsu
dengan pekerja seks dan sebagainya. Dan kemudian
pulang dengan kenangan makan enak, tidur enak, bermain enak dan
seterusnya yang serba enak.
Apa yang tersisa yang bisa memperkaya batin, mencerahkan akal budi?

Entahlah! Padahal kawasan yang pernah menjadi pusat kerajaan Sunda
selama berabad-abad bisa dibilang merupakan cradle (buaian) kebudayaan
Sunda.
Untuk menyebut beberapa saja dari unsur budaya kekayaan kawasan ini
antara lain: Bogor memiliki juru pantun buhun Sunda, yakni kesenian
bercerita dalam pantun Sunda diiringi kecapi. Cianjur terkenal dengan
tembang cianjuran dibawakan juru tembang (mamaos) diiringi kecapi indung,
kecapi rincik dan suling. Di Ciptagelar, Cisolok, Sukabumi ada pesta rakyat
saren taun. Tentu semua kekayaan budaya ini hendaknya tidak dilihat
sebagai sekadar komoditi pariwisata, tetapi unsur dari suatu kebudayaan,
hasil pengembangan akal budi manusia Sunda di kawasan 4 gunung.

6

Bagaimana unsur-unsur budaya ini yang cenderung didegradasi sekadar
sebagai komoditi pariwisata? Kabarnya di Bogor sudah hampir tak ditemukan
orang yang bisa menjadi juru pantun buhun Sunda. Di Cianjur, tembang
cianjuran yang terkenal itu juga sudah mulai dilupakan orang. Dan di
Ciptagelar, saren taun oleh orang kota cenderung dilihat sebagai sekadar
atraksi pariwisata. Padahal ada berbagai nilai budaya, falsafah, atau kearifan
lokal (local wisdom) yang mengambarkan kualitas kesadaran manusia
sebagai bagian dari alam.
Mungkin ada baiknya para budayawan dan pemikir masalah kemasyarakatan
dari kawasan 4 gunung sekali-sekali berkumpul mendiskusikan makna
kebudayaan Sunda dalam kehidupan masyarakat kawasan wisata yang
berkembang pesat ini. Juga memikirkan bagaimana memberdayakan
masyarakat kawasan 4 gunung agar tidak terpinggirkan oleh arus kegiatan
ekonomi yang lebih banyak memberi keuntungan kepada pemilik uang, para
investor atau kapitalis.
Sebagai langkah awal, perlu dirangsang
munculnya kesadaran bahwa
kawasan 4 gunung ini memang memiliki potensi istimewa tetapi juga
menyimpan banyak permasalahan. Dari aspek ekonomi, sosial, budaya,
kawasan wisata atau kawasan yang sedang berkembang sering melahirkan
masalah-masalah baru bagi masyarakatnya..
Dari diskusi-diskusi diharapkan muncul gagasan atau kesepakatan
membentuk semacam lembaga yang mungkin bisa diberi nama Himpunan
Masyarakat Pembangunan Berkelanjutan Kawasan 4 Gunung Saha Pang
Gede, misalnya.
Berbagai gagasan baru mungkin akan muncul dari tukar pikiran dan diskusidiskusi awal. Semuanya diharapkan dapat menjadi dasar atau bingkai bagi
upaya-upaya menuju pembangunan berkelanjutan yang mengembangkan
kebudayaan Sunda, memberdayakan masyarakat kawasan dan melestarikan
alam. Ya, membangun manusia kawasan 4 gunung Salak,Halimun, Gede
Pangrangoe yang cerdas, sejahtera, bermartabat, punya jatidiri. Semoga.(Yop
Pandie)

7