KAJIAN EMISI CO 2 DARI PEMBAKARAN BATUBA
KAJIAN EMISI CO 2 DARI PEMBAKARAN BATUBARA DI INDONESIA
Oleh : Herni Khaerunisa Miftahul Huda Retno Damayanti Adhi Wibowo Harry Tetra Antono Komarudin Dedy Yaskuri M. Lutfi Endang Suryati Marsen Alimano Nurhadi Nia Rosnia H. Lasmaria Sibarani Iis Hayati Supriatna Mujahidin
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
2009
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA PROGRAM PENERAPAN TEKNOLOGI PENAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telpon : (022)6030483 –5 Faksimili : (022)6003373 e-mail : [email protected] http://www.tekmira.esdm.go.id
KATA PENGANTAR
Perubahan iklim (Climate Change) kaitannya dengan pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir semakin menjadi perhatian dunia internasional sehingga rutin dibahas pemantauan dan penanganannya. Penyumbang terbesar terhadap meningkatnya suhu adalah gas karbondioksida. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang
menghasilkan CO 2 . Puslitbang tekMIRA sebagai instansi di bawah Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral ikut aktif memberikan masukan dalam kebijakan energi terutama berkaitan dengan pemanfaatan batubara. Salah satunya adalah dengan memberikan data dasar efisiensi pemanfaatan batubara di industri pengguna batubara.
Evaluasi performa efisiensi pembakaran batubara di industri pengguna batubara dan mencari teknologi tepat guna merupakan wujud dari upaya pengurangan CO 2 . Informasi perhitungan efisiensi yang tepat akan menjadi masukan untuk industri pengguna batubara terutama industri menengah untuk lebih meningkatkan efisiensi pembakaran sehingga dapat lebih hemat energi.
Bandung, Desember 2009 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
DR. Bukin Daulay, M.Sc. NIP. 19510605 197803 1 001
SARI
Saat ini sumber daya batubara adalah sekitar 104 milyar ton yang tersebar di seluruh Nusantara. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan energi maka batubara sebagai sumber energi alternatif pemanfaatannya semakin meningkat. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang mengandung
hidrokarbon. Hidrokarbon ini jika dibakar sempurna akan menghasilkan gas CO 2 , salah satu gas rumah kaca. Karbondioksida di atmosfir dapat berkurang secara alami karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis, namun aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
Maksud kegiatan Kajian Emisi CO 2 dari Pembakaran Batubara ini adalah melihat sejauhmana tingkat efisiensi pembakaran batubara di Indonesia kaitannya dengan emisi CO 2 . Adapun t ujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah mendapatkan data tentang efisiensi pembakaran batubara dan tingkat keefektifan peralatan pada berbagai industri pengguna batubara, mengetahui
tingkat CO 2 dari pembakaran batubara, dan m emperoleh rancangan awal alat pengurang dan suatu adsorben CO 2 .
Selama kegiatan, telah dilaksanakan pengambilan data primer dan sekunder, pra- perancangan alat dan pembuatan adsorben pengurang CO 2 . Data primer dan sekunder dilakukan di 7 PLTU batubara (pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan), 25 perusahaan di sekitar Kabupaten Bandung, dan 2 pabrik semen (PT. Indocement Cirebon dan PT. Semen Padang). Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dievaluasi serta dijadikan masukan
dalam perhitungan efisiensi dan prediksi emisi CO 2 . Perhitungan efisiensi mengacu pada neraca massa dan energi, sedangkan prediksi emisi CO 2 mengikuti metode dalam IPCC. Perancangan alat dibuat dengan teknologi fluidisasi sedangkan pembuatan adsorben dengan pengaktifan zeolit menggunakan asam dan larutan monoetanolamin dalam metanol.
Hasil kegiatan diperoleh hal-hal berikut, yaitu: dari 7 PLTU yang ditinjau diketahui ada 2 teknologi pembakaran batubara yang diterapkan, yakni Pulverized Coal
Combustion dan Circulating Fluidized Bed Combustion. Pengurangan emisi CO 2 melalui penerapan teknologi yang lebih efisien pada PLTU batubara mempunyai potensi sangat besar. Nilai efisiensi di 7 PLTU diperoleh antara 27 - 36 %. Adapun nilai efisiensi boiler di industri tekstil antara 78-91 % dengan teknologi pembakaran diterapkan adalah chain grate dan fluidized bed. Sedangkan penerapan CDM di industri semen belum ada yang sesuai dengan Benchmarking Approach dan berdasarkan konsumsi batubara domestik maka p ada tahun 2025 diprediksikan total konsumsi batubara akan mencapai 270,5 juta ton dengan total emisi dapai mencapai 900-an
juta ton. Hasil studi pendahuluan pengurangan CO 2 skala laboratorium diperoleh pra- rancangan alat dan adsorben zeolit yang telah siap untuk diujicobakan pada kegiatan lanjutan di tahun 2010.
BAB IV METODOLOGI
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN …… ............................................................
5.1 Kajian Teknologi Pemanfaatan Batubara di Indonesia Saat
ini. ….
5.1.1 Efisiensi Peralatan/Efisiensi Energi Pemanfaatan Batubara ………
5.1.2 Prediksi CO 2 Secara Umum di Indonesia ………… 45
5.2 Persiapan Design Alat Pengurang dan Adsorben Gas CO 2 ……. 48
BAB VI PENUTUP………………………………………………………………………..
BAB VI KENDALA DAN TINDAK LANJUT…………………………………..………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………….…………………….……………………..
57 LAMPIRAN 1 Perhitungan Neraca Massa........................................................
60 LAMPIRAN 2 Tabel Hasil Analisis dan Pengolahan Data……..………………….….
71 LAMPIRAN 3 Gambar Rancangan Alat Fluidisasi..............................................
77 LAMPIRAN 4 Foto Kegiatan …………………….…………………………………….
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1
4 Tabel 1.2
Daftar Lokasi Kegiatan di Pembangkit Listrik
4 Tabel 2.1
Daftar Lokasi Kegiatan di Industri Tekstil
16 Tabel 2.2
Keuntungan dan Kerugian Boiler Berdasarkan Pembakaran
24 Tabel 2.3
Pengurangan CO ₂ Melalui Peningkatan Efisiensi
28 Tabel 5.1
Nilai Kinerja Pembandingan untuk Produksi Semen
37 Tabel 5.2
Data Umum PLTU Batubara
37 Tabel 5.3
Data PLTU-B Hasil Evaluasi
Prediksi Emisi Co 2 Berdasarkan Konsumsi Batubara Pada PLTU
Tabel 5.4 Data Efisiensi di Beberapa Perusahaan Tekstil Kabupaten
42 Bandung Tabel 5.5
44 Tabel 5.6
Prediksi Emisi CO 2 di Beberapa Perusahaan Tekstil
45 Tabel 5.7
Hasil Evaluasi CDM di Pabrik Semen
46 Tabel 5.8
Konsumsi Domestik Batubara (ton)
50 Zeolit Tabel 5.9
Hasil Analisis Luas Permukaan dan Volume serta Ukuran Pori
50 Tabel 5.10
Analisis Kandungan Amin pada MEA
52
Luas Permukaan Zeolit Aktivasi MEA Variasi Waktu Pengadukan
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1
6 Gambar 1.2
Peta Lokasi Kegiatan di PLTU Batubara
7 Gambar 1.3
Peta Lokasi Kegiatan di Industri Tekstil Kabupaten Bandung
8 Gambar 2.1
Peta Lokasi Kegiatan di Industri Semen
9 Gambar 2.2
Proses Efek Rumah Kaca
11 Gambar 2.3
Proses Pelarutan CO2 dan Gas-Gas Atmosfer di Air
16 Gambar 2.4
Tipe Boiler Berdasarkan Metode Pembakaran
18 Gambar 2.5
Tipe Boiler FBC
19 Gambar 2.6
Diagram Neraca Energi Boiler
20 Gambar 2.7
Kehilangan pada Boiler yang Berbahan Bakar Batubara
21 Gambar 2.8
Skema PLTU Berbahan Bakar Batubara
24 Gambar 2.9
Penempatan Teknologi Pembakaran Batubara Jenis Lignit
26 Gambar 2.10
Diagram Pohon Untuk Beberapa Jenis Produk Tekstil
27 Gambar 5.1
Proses Produksi Semen
38 Gambar 5.2
Grafik Hubungan Kapasitas PLTU dengan Efisiensi Total
38 Gambar 5.3
Grafik Hubungan Nilai Kalor dengan Efisiensi PLTU-B
43 Gambar 5.4
Grafik Hubungan Kapasitas Boiler dengan Efisiensi Boiler
43 Gambar 5.5
Grafik Hubungan Nilai Kalor dengan Efisiensi Boiler
47 Gambar 5.6
Emisi CO 2 dari Pembakaran Batubara
47 Berdasarkan BaU Gambar 5.7
Prediksi Emisi CO2 dari Pembakaran Batubara sampai 2025
Grafik Analisis XRD Zeolit Asli dan Zeolit Aktivasi Variasi
49 Konsentrasi Asam Gambar 5.8 Grafik Analisis XRD Zeolit Aktivasi MEA 51
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim yang akan berdampak buruk pada kelangsungan kehidupan di bumi sudah menampakkan tanda-tandanya. Suhu rata-rata dunia telah meningkat, pada kurun waktu 1995-2006 (12 tahun) sebelas tahun di antaranya mempunyai suhu paling panas dibandingkan suhu rata-rata dunia sejak 1850. Akibat kenaikan suhu tersebut, ketinggian air
laut meningkat rata-rata 1,8 mm per tahun sejak tahun 1961( www.cml.ui.ac.id › Home RDM › Semester 2007_GASAL ) .
Meningkatnya suhu rata-rata bumi disebabkan oleh meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfir. Gas rumah kaca adalah gas yang berfungsi sebagai selimut, tanpa gas rumah kaca
suhu bumi akan sangat dingin (sekitar -18 o
C) sebaliknya terlalu banyak gas rumah kaca bumi akan semakin panas (Wikipedia, 2009). Yang termasuk gas rumah kaca antara lain adalah uap air, CO 2 , metan dan nitrous oksida. Gas karbon dioksida adalah gas yang paling mempengaruhi pemanasan global.
Pemerintah telah menetapkan batubara sebagai energi alternatif pengganti minyak bumi dan gas alam seperti tertuang dalam Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional karena sumber daya batubara yang cukup melimpah. Saat ini sumber daya
batubara adalah sekitar 104 milyar ton yang tersebar di seluruh Nusantara, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera (Badan Geologi, 2009). Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan energi maka pemanfaatan batubara sebagai sumber energi alternatif diperkirakan juga akan semakin meningkat. Saat ini pemakai batubara terbesar adalah sektor pembangkit listrik, dimana PLTU berbahan batubara mulai banyak dibangun di hampir seluruh Indonesia.
Dengan meningkatnya pemakaian batubara sebagai bahan bakar maka akan memberikan dampak pada lingkungan terutama kualitas udara di sekitarnya. Hal ini dikarenakan batubara termasuk bahan bakar fosil yang mengandung hidrokarbon. Hidrokarbon ini jika dibakar
sempurna akan menghasilkan gas CO 2 yang merupakan salah satu gas rumah kaca. Karbondioksida di atmosfir dapat berkurang secara alami karena terserap oleh lautan dan sempurna akan menghasilkan gas CO 2 yang merupakan salah satu gas rumah kaca. Karbondioksida di atmosfir dapat berkurang secara alami karena terserap oleh lautan dan
Saat ini teknologi pembakaran batubara di PLTU di Indonesia rata-rata memiliki efisiensi 33-
36 % (Buana, 2009). Untuk menurunkan CO 2 yang sangat efektif adalah dengan meningkatkan efisiensi pembakaran menjadi sekitar 40 %. ( http://www.iea.org/textbase/nppdf/free/2005/ciab.pdf ). Teknologi-teknologi untuk peningkatan efisiensi pembakaran sudah tersedia. Namun, jika PLTU batubara yang ada harus mengimplementasikan teknologi tersebut maka akan membutuhkan investasi yang sangat mahal.
Untuk mengurangi jumlah CO 2 yang dihasilkan dari pemanfaatan batubara, dalam jangka pendek harus dilakukan upaya-upaya pencegahan penurunan efisiensi dan dalam jangka panjang perlu dilakukan penggantian teknologi dengan bantuan pendanaan melalui CDM (Clean Development Mechanism). Penurunan efisiensi suatu peralatan bisa terjadi bila usia PLTU telah cukup tua atau tidak ada perawatan (maintenance) yang memadai. Penurunan efisiensi juga dapat terjadi bila kualitas batubara yang dipakai tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang ada.
Puslitbang tekMIRA merupakan bagian dari institusi pemerintah yang salah satunya melakukan dalam kajian pemanfaatan energi kaitannya dalam pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar. Pada tahun anggaran 2009, Kelompok Kegiatan Lingkungan Pertambangan
akan melakukan kegiatan Kajian Emisi CO 2 dari Pembakaran Batubara sebagai implementasi dari misi Puslitbang tekMIRA di atas
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Kegiatan akan mencakup hal sebagai berikut :
1) Kajian teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia saat ini. Kajian ini meliputi : - Identifikasi teknologi pemanfaatan batubara yang dipakai pada beberapa industri Indonesia (antara lain pembangkit listrik, semen, dan lain-lain).
- Perhitungan tingkat efisiensi peralatan /efisiensi energi pemanfaatan batubara.
- Prediksi emisi CO 2 dari pemakaian energi fosil di Indonesia sampai tahun 2025 (berdasarkan prediksi pemakaian energi fossil yang dibuat oleh ESDM)
2) Prospek pengembangannya ke depan berkaitan dengan pengurangan CO 2 yang berupa studi pendahuluan pengurangan CO 2 dari pembakaran batubara skala laboratorium tahap persiapan desain alat dan adsorben.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan Kajian Emisi CO 2 dari Pembakaran Batubara ini adalah melihat sejauhmana tingkat efisiensi pembakaran batubara di Indonesia kaitannya dengan emisi CO 2 . Dari ruang lingkup yang disebut atas, maka tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:
1) Mendapatkan data tentang efisiensi pembakaran batubara pada berbagai industri pengguna batubara dan memperoleh tingkat keefektifan peralatan yang digunakan
berdasarkan jenis batubara yang dipakai serta mengetahui tingkat CO 2 dari pembakaran batubara.
2) Memperoleh rancangan awal alat pengurang dan suatu adsorben CO 2 .
1.4. Sasaran Kegiatan
Sasaran kegiatan adalah
1) Diketahuinya tingkat efisiensi peralatan yang digunakan dalam pembakaran batubara dan tingkat emisi CO 2 yang dihasilkan batubara berdasarkan data konsumsi batubara di Indonesia.
2) Diperolehnya suatu model alat pengurang dan adsorben gas CO 2 .
1.5. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan terbagi atas sektor pengguna batubara, yaitu pembangkit listrik, industri tekstil dan industri semen. Selama kegiatan berlangsung dilakukan pengambilan data primer dan sekunder kecuali industri semen hanya mengumpulkan data sekunder mengingat adanya keterbatasan waktu. Pengambilan data primer berupa pengambilan contoh batubara, abu batubara dan gas buang serta pengukuran beberapa parameter kondisi operasional.
Adapun data sekunder yang dikumpulkan berupa data proses yang berkaitan dengan perhitungan efisiensi dan teknologi pembakaran batubara.
Pembangkit Listrik yang menjadi lokasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.1. Untuk industri tekstil dilakukan di daerah Kabupaten Bandung dan nama perusahaan disajikan dalam Tabel
1.2. Adapun industri semen yang dikunjungi adalah PT. Indocement Tunggal Prakarsa pabrik Palimanan Cirebon dan PT. Semen Padang Sumatra Barat. Peta lokasi kegiatan masing- masing dicantumkan pada Gambar 1.1, Gambar 1.2, dan Gambar 1.3.
Analisis beberapa parameter emisi gas buang dan persiapan desain alat dan adsorben CO 2 dilakukan di laboratorium Teknologi Lingkungan Puslitbang tekMIRA.
Tabel 1.1 Daftar Lokasi Kegiatan di Pembangkit Listrik
No. PLTU BATUBARA PER
UNIT
TERPASANG
TAHUN (TON)
1 Tanjung Jati B
2 2 X 660 MW
2 Paiton Unit 1 & 2
2 2 X 400 MW
3 PLTU Labuhan Angin
5 Bukit Asam
4 4 X 65 MW
6 Tarahan Unit 3-4
2 2 X 100 MW
750.000 Sumber : PLN Pusat Jakarta, 2009
7 Asam Asam
2 2 X 65 MW
Tabel 1.2 Daftar Lokasi Kegiatan di Industri Tekstil
NO NAMA PABRIK
NO
NAMA PABRIK
1 Dactex
16 Bima Jaya
18 Sinar Sari
4 BSTM
19 Cemara Agung
5 Sinar Majalaya
20 Budi Agung
22 Naga Sakti
8 Nagamas
23 Sinar Baru
9 Daliatex
24 Tastex
10 Panca Agung
25 Delimatex
11 Badjatex
12 Dhanar Mas
13 BCP
14 RCP
15 Himalaya
Gambar 1.1 Peta Lokasi Kegiatan di PLTU Batubara
Gambar 1.2 Peta Lokasi Kegiatan di Industri Tekstil Kabupaten Bandung
Gambar 1.3 Peta Lokasi Kegiatan di Industri Semen
2. TINJAUAN PUSTAKA
Karbon dioksida merupakan salah satu komponen atmosfir yang memiliki beberapa peranan penting kaitannya dengan lingkungan. Karbon dioksida termasuk gas rumah kaca yang menerangkap panas radiasi sinar merah di atmosfir, berperan dalam pelapukan batuan, sumber karbon bagi tanaman, dan karbon dioksida ini tersimpan dalam biomassa, bahan organik dalam sedimen juga batuan karbonat seperti kapur.
2.1. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca (Wikipedia Indonesia, 2009).
2.1.1 Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet.
Sumber : http://www.columbia.edu/~vjd1/carbon.htm
Gambar 2.1 Proses Efek Rumah Kaca
Mekanisme terjadinya efek rumah kaca adalah sebagai berikut (gambar 2.1). Bumi secara konstan menerima energi, kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses radioaktif (Holum, 1998:237). Sinar tampak dan sinar ultraviolet yang dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar tersebut sebagian dipantulkan oleh atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di permukaan bumi sebagian radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada yang diserap oleh permukaan bumi dan menghangatkannya. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO 2 ) dan gas- gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO 2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya (Wikipedia Indonesia,
2.1.2. Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan). Karbon dioksida merupakan salah satu komponen atmosfir yang memiliki beberapa peranan penting kaitannya dengan lingkungan. Karbon dioksida termasuk gas rumah kaca yang menerangkap panas radiasi sinar merah di atmosfir, berperan dalam pelapukan batuan,
Atmosfir
Air
Hasil pelapukan
Pelapukan kimia
Batua
Sumber : http://www.columbia.edu/~vjd1/carbon.htm Gambar 2.2 Proses Pelarutan CO 2 dan Gas-Gas Atmosfer di Air
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Karbon dioksida dan gas-gas atmosfer lainnya larut dalam air permukaan. Gas-gas terlarut dalam kesetimbangan dengan gas di atmosfer. Karbon dioksida bereaksi dengan air dalam larutan membentuk asam lemah, asam karbonat (Gambar 2.2). Asam karbonat diurai menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen dan air bereaksi dengan kebanyakan mineral (silikat dan karbonat) dan mengubahnya. Hasil pelapukan umumnya lempung (kelompok mineral silikat) dan ion mudah larut seperti kalsium, besi, natrium, dan kalium. Ion bikarbonat juga tetap berada dalam larutan; merupakan sisa dari asam karbonat yang digunakan untuk melapukkan bebatuan.
Meskipun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, namun aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
2.1.3. Pengendalian Pemanasan Global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan/mengasingkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca (Wikipedia Indonesia, Indonesia).
1) Carbon Sequestration
Sebelum gas karbon dioksida (CO 2 ) hasil dari pembangkit listrik dan sumber-sumber titik lain diasingkan (sequestration), CO 2 harus ditangkap dalam kondisi relatif murni. Di Amerika, CO 2 hasil produk samping dari proses-proses industri seperti produksi amonia sintetis, produksi H 2 , dan kalsinasi kapur telah secara rutin diasingkan. Teknologi penangkapan yang ada, biayanya tidak efektif bila dipertimbangkan dalam konteks pengasingan CO 2 dari pembangkit listrik. Gas buang dari pembangkit listrik batubara mengandung CO 2 10-12 % volum, sementara gas buang dari pabrik siklus gabungan gas alam hanya mengandung 3-6 %CO 2 . Untuk pengasingan CO 2 yang efektif, maka CO 2 dari gas buang ini harus dipisah dan dipekatkan (dikonsentrasikan) terlebih dahulu. Baru-baru ini, pengambilan CO 2 dari gas buang dilakukan dengan menggunakan penyerap amin dan pendingin kriogenik. Adanya penambahan teknologi pengurangan emisi karbon ini tentunya akan meningkatkan pula biaya listrik, tergantung tipe proses. Secara umum, biaya estimasi penangkapan karbon ini hamper ¾ dari total keseluruhan
sistem (penangkapan, penyimpanan, transportasi dan pengasingan CO 2 ). Identifikasi pemilihan untuk pemisahan dan penangkapan CO 2 yang paling mungkin, meliputi: - Penyerapan/absorption (secara kimia dan fisika)
- Adsorpsi (secara fisika dan kimia) - Distilasi suhu rendah (Low-temperature distillation) - Pemisahan gas dengan membrane (Gas separation membranes) - Mineralisasi dan biomineralisasi
Kesempatan untuk pengurangan biaya secara signifikan masih terbuka dengan beberapa inovasi riset yang dikhususkan pada ‘CO 2 captured dan separation technologies ’. Contoh kegiatan program ini adalah : Penelitian mengenai perbaikan revolusioner dalam teknologi pemisahan dan menangkap
CO 2 o Pengembangan material baru (mis: absorben fisika/kimia, carbon fiber molecular
sieve , membran polimer) o Unit proses micro-channel dengan kinetika cepat
o Proses pemisahan dan pembentukan hidrat CO 2
o Pendekatan pembakaran oksigen yang disempurnakan (http://www.fossil.energy.gov/programs/sequestration/capture/index.html)
2) Mengurangi Produksi Gas Rumah Kaca
Menurut sebuah artikel dalam situs http://www.kamase.org/?p=932 ,m eningkatnya tingkat emisi karbon di dunia menyebakan kadar CO 2 di atmosfer tidak stabil. Oleh karena itu, negara-negara maju yang tergabung dalam Annex1 berkomitmen untuk mengurangi emisi CO 2 sehingga tercetuslah Protokol Kyoto pada tahun 1997. Dengan adanya Protokol Kyoto tersebut diharapkan mampu mengurangi efek dari Gas Rumah Kaca (GRK) di dunia. Selain itu Protokol Kyoto diharapkan dapat meningkatkan kesadaran negara-negara di dunia terutama negara maju untuk mengurangi emisi karbon di dunia.
Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu dari tiga mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto yang dirancang untuk membantu negara industri/Annex1 untuk memenuhi komitmennya mengurangi efek GRK dan membantu negara berkembang dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. CDM adalah satu-satunya mekanisme fleksibel yang melibatkan negara berkembang. Berdasarkan Protokol Kyoto, negara berkembang tidak
Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6 tahun 1994. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto berarti membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investor. Mengembangkan proyek CDM, akan bermanfaat dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, akan diperlukan persiapan di berbagai aspek mulai dari kebijakan dan regulasi, keuangan dan aspek teknis dalam implementasi CDM.
2.2 Pemanfaatan Batubara di Industri
Sebagian besar pemanfaatan batubara adalah untuk sektor industri dan pembangkit listrik, baik pembangkit listrik milik PT. PLN maupun non PLN, sedangkan sisanya dibuat briket batubara untuk dipergunakan pada sektor rumah tangga (BPPT, 2009).
Batubara pada sektor industri dapat dipergunakan secara langsung sebagai bahan bakar tungku (furnace), maupun secara tidak langsung sebagai bahan bakar boiler, namun sebagian besar atau sekitar 70 % batubara dipergunakan sebagai bahan bakar tungku. Industri semen merupakan konsumen batubara yang utama diikuti oleh industri kertas, makanan, tekstil, logam dasar, dan pupuk (BPPT, 2009). Dalam bab ini yang akan diuraikan adalah pemanfaatan batubara di pembangkit listrik tenaga uap, industri tekstil, dan industri semen.
2.2.1 Batubara Sebagai Bahan Bakar Boiler
Boiler adalah bejana tertutup dimana panas pembakaran dialirkan ke air sampai terbentuk air panas atau steam. Air panas atau steam pada tekanan tertentu kemudian digunakan untuk mengalirkan panas ke suatu proses. Air adalah media yang berguna dan murah untuk
2.2.1.1 Pemanfaatan Steam
Energi kalor yang dibangkitkan dalam sistem boiler memiliki nilai tekanan, temperatur, dan laju aliran yang menentukan pemanfaatan steam yang akan digunakan. Berdasarkan ketiga hal tersebut sistem boiler mengenal keadaan tekanan-temperatur rendah (low pressure/ LP), dan tekanan-temperatur tinggi (high pressure/HP). Dengan perbedaan itu, maka steam yang keluar dari sistem boiler dapat dimanfaatkan untuk:
- suatu proses dimana steam tersebut digunakan untuk memanaskan cairan dan menjalankan suatu mesin (commercial and industrial boilers), atau - membangkitkan energi listrik dengan merubah energi kalor menjadi energi mekanik kemudian memutar generator sehingga menghasilkan energi listrik (power boilers), dan - menggabungkan kedua sistem boiler tersebut (LP dan HP). Sistem boiler keadaan tekanan-temperatur tinggi untuk membangkitkan energi listrik, kemudian sisa steam dari turbin dengan keadaan tekanan-temperatur rendah dapat dimanfaatkan ke dalam
heat recovery boiler . ( http://febriantara.wordpress.com/2008/10/24/klasifikasi-boiler/ )
2.2.1.2 Sistem Boiler
Sistem boiler terdiri dari sistem air umpan, sistem steam, dan sistem bahan bakar. Komponen-komponen dari boiler yang mendukung terciptanya steam adalah sebagai berikut:
- Furnace Komponen ini merupakan tempat pembakaran bahan bakar. Beberapa bagian dari furnace di antaranya: refractory, ruang perapian, burner, exhaust for flue gas, charge and discharge door . - Steam Drum
15
Komponen ini merupakan tempat penampungan air panas dan pembangkitan steam. Steam masih bersifat jenuh (saturated steam). - Superheater Komponen ini merupakan tempat pengeringan steam dan siap dikirim melalui main steam pipe dan siap untuk menggerakkan turbin uap atau menjalankan proses industri. - Air Heater Komponen ini merupakan ruangan pemanas yang digunakan untuk memanaskan udara luar yang diserap untuk meminimalisasi udara yang lembab yang akan masuk ke dalam tungku pembakaran. - Economizer Komponen ini merupakan ruangan pemanas yang digunakan untuk memanaskan air dari air yang terkondensasi dari sistem sebelumnya maupun air umpan baru. - Safety valve Komponen ini merupakan saluran buang steam jika terjadi keadaan dimana tekanan steam melebihi kemampuan boiler menahan tekanan steam. - Blowdown valve Komponen ini merupakan saluran yang berfungsi membuang endapan yang berada di dalam pipa steam.
2.2.1.3 Cara Pembakaran Bahan Bakar Batubara
Pada dasarnya metode pembakaran terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 2.3 di bawah ini menampilkan jenis – jenis boiler yang digunakan untuk masing – masing metode pembakaran (Imam, 2009). Adapun keuntungan dan kerugian masing-masing metode disajikan pada tabel 2.1.
batubara
batubar a
a. Stoker Boiler
b. PCC Boiler
c. FBC Boiler
sumber : Idemitsu Kosan Co., Ltd; Imam, 2009
Gambar 2.3 Tipe Boiler Berdasarkan Metode Pembakaran
Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian Boiler Berdasarkan Pembakaran
No Tipe Boiler
Kelebihan
Kelemahan
1 Stoker Konstruksinya relatif sederhana. - Limbah yang diproduksi pembakaran Combustion
lebih banyak - Panas yang dihasilkan kurang merata jika tidak ada komponen pendukung - Effisiensi relatif rendah
2 Pulverized - Efisiensi relatif tinggi Konstruksinya rumit dan membutuhkan - Proses pembakaran lebih merata
dana investasi yang mahal pada tungku pembakaran 3 Fluidized Bed -
Efisiensi relatif tinggi Konstruksinya rumit dan membutuhkan - Suhu pembakaran tidak mencapai
dana investasi yang mahal suhu 1000 o
C sehingga tidak
menimbulkan NOx
Sumber : http:// febriantara .wordpress.com/2008/10/24/klasifikasi-boiler/
- Pembakaran Lapisan Tetap (Fixed Bed Combustion) Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum sekitar 30 mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Bahan bakar dimasukkan ke dalam ruang pembakaran melalui ban berjalan (conveyor) ataupun manual. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk
- Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC) Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan
metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub critical steam , kemudian super critical steam, serta ultra super critical steam (USC). Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74 μm), kemudian bersama – sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture content ). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash (bottom ash) sebanyak 15% dan sisanya berupa abu terbang (fly ash).
- Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC) Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25 mm. Tidak seperti pembakaran menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat
18
pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses pembakaran. Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak. Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 2.4. Dapat dikatakan bahwa Bubbling
FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan pengembangannya. Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
Bubling FBC
Circulating FBC
Gelemb ung udara
Partikel 19
Udara
Udara
Sumber : Coal Science Handbook, 2005; Imam, 2009
Gambar 2.4 Tipe Boiler FBC
2.2.1.4 Kinerja Boiler
Sumber : ( http://www.energyefficiencyasia.org/ )
Gambar 2.5 Diagram Neraca Energi Boiler
Parameter kinerja boiler, antara lain efisiensi dan rasio penguapan berkurang terhadap waktu. Penurunan ini dapat disebabkan buruknya pembakaran kotornya permukaan penukar panas serta buruknya operasi dan pemeliharaan. Bahkan, boiler yang baru sekalipun jika kualitas bahan bakar dan kualitas air tidak sesuai dapat mengakibatkan buruknya kinerja boiler.
Neraca panas dapat membantu mengidentifikasi kehilangan panas yang dapat atau tidak dapat dihindari. Uji efisiensi boiler dapat membantu dalam menemukan penyimpangan efisiensi boiler dari efisiensi terbaik dan target area permasalahan untuk tindakan perbaikan. Proses pembakaran dalam boiler dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir energi (Gambar 2.5). Diagram ini menggambarkan tentang bagaimana energi masuk dari bahan bakar diubah menjadi aliran energi dengan berbagai kegunaan dan menjadi aliran kehilangan panas dan energi. Panah tebal menunjukkan jumlah energi yang dikandung dalam aliran masing-masing.
Sumber : ( http://www.energyefficiencyasia.org/ )
Gambar 2.6 Kehilangan pada Boiler yang Berbahan Bakar Batubara
Kehilangan energi dapat dibagi ke dalam kehilangan yang tidak atau dapat dihindarkan (Gambar 2.6). Tujuan dari produksi bersih dan/atau pengkajian energi harus mengurangi kehilangan panas yang dapat dihindari, yaitu dengan meningkatkan efisiensi energi. Kehilangan panas yang dapat dihindari atau dikurangi adalah sebagai berikut: Kehilangan gas cerobong:
- Udara berlebih (diturunkan hingga ke nilai minimum yang tergantung dari teknologi burner, operasi (kontrol), dan pemeliharaan). - Suhu gas cerobong (diturunkan dengan mengoptimalkan perawatan (pembersihan), beban; burner yang lebih baik dan teknologi boiler).
Kehilangan karena bahan bakar yang tidak terbakar dalam cerobong dan abu (mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan; teknologi burner yang lebih baik). Kehilangan dari blowdown (pengolahan air umpan segar, daur ulang kondensat) Kehilangan kondensat (manfaatkan sebanyak mungkin kondensat) Kehilangan konveksi dan radiasi (dikurangi dengan isolasi boiler yang lebih baik)
2.2.1.5 Pengguna Batubara
Pengguna batubara paling besar untuk boiler adalah pembangkit listrik (PLTU). Adapun salah satu contoh di industri yaitu industri tekstil.
1) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap yang memiliki tekanan dan temperatur tinggi, yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan memutar generator (konversi energi panas menjadi energi mekanik). Perubahan energi panas menjadi mekanikal dan energi listrik ini melalui suatu siklus konversi energi (Siklus Rankine) yang sangat bergantung pada jumlah panas, pola suhu, dan suhu lingkungan atau suhu penerima panas yang tersedia (dalam hal ini boiler). Gambar 2.7 menunjukkan alur proses di PLTU batubara.
Batubara
Cerobong
Kolam Sistem pembuangan abu
Sistem pengolahan air
Sistem kondensor dan pendingin
Sumber : www.canadiancleanpowercoalition.com Keterangan gambar:
1. Batubara ; sebagai bahan bakar utama Pembangkit 2. Pulverizer ; untuk menghaluskan batubara hingga menyerupai butir-butir beras 3. Boiler ; 4. Cerobong, pengendap 5. Turbin 6. Sistem kondensor dan pendingin 7. Sistem pengolahan air 8. Sistem pembuangan abu 9. Substasiun/ transformer
Gambar 2.7 Skema PLTU Berbahan Bakar Batubara Formatted: Space After: 0 pt, Line spacing: single
Komponen-komponen terpenting pada sebuah PLTU adalah boiler, turbin uap dan generator. Siklus Rankine terkadang diaplikasikan sebagai siklus Carnot, terutama dalam menghitung efisiensi. Sebuah mesin nyata (real) yang beroperasi dalam suatu siklus pada temperatur TH (temperature high) and TC (temperature cold) tidak mungkin melebihi efisiensi mesin Carnot (Wikipedia Indonesia, 2009). Persamaan efisiensi Carnot dituliskan berikut ini:
Uap memasuki turbin pada temperatur 565 o
C (batas ketahanan stainless steel) dan
kondenser bertemperatur sekitar 30 o
C. Hal ini memberikan efisiensi Carnot secara teoritis
sebesar 63 %, namun kenyataannya efisiensi pada pembangkit listrik tenaga batubara sebesar 42 % (Wikipedia Indonesia, 2009).
Dengan demikian, agar efisiensi menjadi setinggi mungkin pada sebuah PLTU, maka perbandingan T2/T1 harus sekecil mungkin. Tetapi, meningkatkan efisiensi akan sangat sulit, karena suhu lingkungan adalah fakta, sedangkan menaikkan suhu uap akan terbentur pada daya tahan materialnya. Sehingga dalam siklus energi, sangat penting memperhatikan faktor jenis sumber energi yang dipakai untuk proses pembakaran, siklus uap, mesin yang digunakan (misalnya boiler uap), serta medium penerima panas dengan suhu terendah (kondensor) (Murti, tanpa tahun). Untuk itu, kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan.
Pengaruh Teknologi Pembakaran Terhadap Efisiensi dan Emisi CO 2 Dari segi lingkungan, jumlah emisi CO 2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya. Perbandingan batubara, minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba, diketahui bahwa kenaikan
efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO 2 sebesar 2,5 %. Dengan demikian, efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion technology) merupakan bagian utama upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya (Imam, 2009).
Saat ini, teknologi pembakaran batubara (lihat Bab 2.2.1/Cara Pembakaran Bahan Batubara) mengalami perkembangan terutama akibat pengaruh faktor tekanan udara pembakaran. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadi Advanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC). Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%. Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya menghasilkan system pembangkitan yang disebut dengan Integrated Coal Gasification Combined Cycle (IGCC) (Imam, 2009).
Dalam laporan Coal Industry Advisory Board yang ditulis tahun 2005 berjudul Reducing Greenhouse Gas Emissions mengenai The Potensial of Coal, disebutkan bahwa pengurangan
emisi CO 2 melalui penerapan teknologi yang lebih efisien pada pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara (PLTU batubara) mempunyai potensi sangat besar. PLTU- batubara modern saat ini mampu mencapai tingkat efisiensi lebih dari 40% atau mempunyai tingkat efisiensi 30% lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi PLTU-batubara yang
Berikut adalah contoh-contoh PLTU-batubara modern di dunia. Di Jerman terdapat PLTU lignit berkapasitas 965 MW menggunakan turbin dengan uap superkritis (supercritical steam ). PLTU ini beroperasi pada tahun 2003 di Niederaußem / Rheinland dan mempunyai efisiensi lebih dari 43%. Di Australia terdapat PLTU batubara (‘Millmerran’ black coal power station ) berkapasitas 860 MW dengan efisiensi sekitar 40%. Di Jepang terdapat PLTU batubara (Tachibanawan-2 black coal power station) berkapasitas 1,050 MW dan memiliki efisiensi sekitar 42%.
Efisiensi PLTU baik berbahan bakar lignit (LG) atau Hard coal (HG) diprediksi akan terus mengalami peningkatan (Gambar 2.8) dengan diterapkannya teknologi pengeringan batubara dan digunakannya turbin dengan suhu uap air lebih tinggi pada beberapa tahun ke depan.
Saat ini terdapat sekitar 1000 GW PLTU-batubara d di seluruh dunia. Hampir dua pertiga dari PLTU tersebut telah berumur lebih dari 20 tahun dan memiliki efisiensi rata-rata sekitar 29%.
Pembangkit listrik ini mengeluarkan CO 2 sebesar 3,9 milyar ton per tahun. Jika diasumsikan PLTU tua ini akan memiliki ‘usia’ sampai 40 tahun, dan akan dilakukan
penggantian dengan pembangkit listrik modern (ultra-supercritical/USC plant) yang memiliki efisiensi sekitar 45% ketika mencapai usia 40 tahun tersebut, maka total emisi gas rumah
kaca (GHG) berkapasitas 1000 GW akan berkurang sebesar 1,4 milyar ton CO 2 per tahun, atau terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca (GHG) sebesar 36%. Bila jumlah emisi CO 2 dari sektor energi sebesar 23,4 miliar ton, seperti dilaporkan oleh IEA tahun 2002, maka ini berarti penggantian PLTU lama dengan PLTU baru berefisiensi tinggi akan mengurangi
jumlah CO 2 dari sektor energi sekitar 6%. Ini berarti terjadi pengurangan emisi CO 2 melebihi target Protokol Kyoto sebesar 5%. Ini adalah kontribusi pengurangan CO 2 yang sangat penting, meskipun harus diakui bahwa pengurangan CO 2 yang lebih besar masih diperlukan.
Tingkat teknologi
Efisiens i
Aliran secara komersial
Sumber : CIAB, 2005
Gambar 2.8 Penempatan Teknologi Pembakaran Batubara Jenis Lignit
Di beberapa negara berkembang, efisiensi PLTU-batubara jauh lebih rendah dibandingkan di negara-negara OECD. Seperti yang tercantum dalam World Energy Outlook 2004, rata-rata efisiensi batubara pada tahun 2002 di OECD adalah sebesar 36%, lebih besar dibandingkan efisiensi di negara berkembang, yaitu sekitar 30%. Ini berarti bahwa satu unit listrik yang dihasilkan di negara-negara berkembang menghasilkan karbon dioksida 20% lebih banyak dibandingkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik Negara-negara OECD.
Tabel 2.2 Pengurangan CO 2 melalui Peningkatan Efisiensi
Russia Total
Kapasitas Batubara
TWh/tahun
Efisiensi Rata-Rata
Emisi CO2 Rata-Rata
Ton CO2/MWh
Emisi CO2 (Efisiensi = 30%)
Ton CO2/MWh
Pengurangan Emisi CO2
ton/tahun
Sumber : CIAB, 2005 Keterangan : Potensi Pembangkitan Listrik Berbahan Bakar Batubara di China, India dan
Rusia 26
Yang diperhitungkan sebesar 40% dari Kapasitas Pembangkit Listrik Global Berbahan Bakar Batubara
Peningkatan efisiensi PLTU batubara di China, India dan Rusia walaupun hanya beberapa persen (seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.2), akan mengurangi emisi CO 2 sebesar 283 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan sepertiga dari total emisi CO 2 di Jerman.
Dalam jangka panjang, setelah tahun 2020, efisiensi teknologi pembakaran batubara dapat mencapai hingga 50%. Pembangkit listrik modern dengan efisiensi 50% ini, berarti dapat
mengurangi emisi CO 2 sebesar 28% dibandingkan dengan efisiensi pembangkit listrik dalam keadaan normal, yaitu sekitar 36%. Penggantian pembangkit listrik yang lebih tua dengan pembangkit listrik baru (modern) juga akan menghasilkan berbagai manfaat tambahan, yaitu di antaranya efisiensi penggunaan
batubara yang lebih besar, pengurangan polutan konvensional seperti emisi SO 2 , NOx dan partikulat serta pengurangan biaya untuk menerapkan kontrol emisi udara yang mungkin akan diwajibkan di masa mendatang. PLTU baru juga dapat di desain untuk dikombinasikan dengan Carbon Capture and Storage apabila secara teknologi dan ekonomi memungkinkan.
1) Industri Tekstil
Pengertian industri tekstil adalah industri yang memproduksi atau mengolah bahan mentah, bahan baku dan atau bahan setengah jadi menjadi produk tekstil yang bernilai tinggi. Industri tekstil di Indonesia menghasilkan berbagai macam produk, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Proses pembuatannya dilakukan secara konvensional maupun secara modern ( http://one.indoskripsi.com/node/4177 ). Diagram proses dasar untuk berbagai jenis produk tekstil dapat dilihat pada gambar 2.8.
Menurut Sakti A. Siregar (2005: 86), proses pembuatan tekstil dibedakan menjadi dua, proses kering dan basah.
1) Proses kering. 27
Proses kering meliputi pemintalan benang (yarn) pada spinning mill, pelilitan benang pada kumparan (gulungan), penenunan pada weaving mill, knitting (pekerjaan rajutan).
2) Proses basah Proses produksi tekstil dengan proses basah meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pencucian. Pencucian adalah proses pengeluaran kotoran-kotoran industri dan anorganik yang dapat mengganggu proses-proses selanjutnya. Pencucian dilakukan dengan menggunakan bahan pencuci yang dilarutkan ke dalam air, misalnya surfaktan. b. Pemrosesan (Processing) Dalam industri tekstil, processing adalah pemberian bahan pelapis pada permukaan produk-produk tekstil atau pemindahan bahan-bahan dari serat (fiber) secara kimia.
BAHAN PEMBUATAN
KEGUNAAN
PEMBUANGA
Pemintalan Insenerasi
Katun Perajutan
Wol Penenunan
Pengkomposan Viskos Pra-perlakuan
Pencucian
Poliester Pencelupan
Poliamida TPA/Landfill (dry-cleaning) Pencapan Elastan
Penatu kimia
Penyelesaian Kancing Reuse
Penambahan
Sumber : EDIPTEX, 2007 28
Gambar 2.9 Diagram Pohon Untuk Beberapa Jenis Produk Tekstil
Batubara di dalam industri tekstil dipakai sebagai bahan bakar boiler untuk menghasilkan uap panas (steam) yang digunakan untuk memanaskan cairan dan menjalankan suatu mesin dalam tahapan proses terutama pada tahap :
- Pemasakan (caustic scouring). Proses pemasakan untuk memindahkan kotoran. Proses ini dibantu dengan penambahan surfaktan. Pemasakan untuk memindahkan kotoran memberikan hasil yang lebih baik daripada pencucian dengan air dingin. - Pemutihan (bleaching). Proses ini dilakukan dengan menggunakan larutan peroksida atau khlorin dikombinasikan dengan sodium silikat dan soda kaustik. - pencelupan/pewarnaan (Dyeing), merupakan proses pemberian warna. - Pencucian, terutama pada pencucian dengan bahan kimia (dry cleaning). - Pencetakan. Proses di mana catatan-catatan berwarna diletakkan pada kain menggunakan roller atau mesin pencetak dengan screen. Warna-warna dilekatkan dengan menggunakan proses penguapan atau cara pengolahan yang lain
2.2.2 Batubara Sebagai Bahan Bakar Tungku
Industri terbesar yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar tungku adalah industri semen. Semen dihasilkan dengan membakar campuran bahan baku terutama dari batu kapur dan tanah liat dalam suatu tanur putar (rotary kiln) pada temperatur di atas 1450 o
C. Proses ini membentuk klinker yang dengan gipsum dan bahan-bahan lain digiling halus menjadi semen. Kemudian semen dikemas dan diangkut untuk dijual, atau diangkut dalam ukuran besar. Langkah-langkah utama dalam produksi semen diilustrasikan dalam gambar 2.4.
Bahan baku