349390335 Makalah Pemerataan Dan Kemiskinan
( PEMERATAAN DAN KEMISKINAN )
OLEH :
MUHAMMAD ILHAM AKBAR
A21113541
MAHMUDDIN
A21114025
VIRDAYANTI
A31115021
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Perilaku Biaya. Dalam Penulisan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.
Makassar, 20 februari 2017
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bagi masyarakat awam, pertumbuhan ekonomi tidak terlalu penting. Ini karena bagi
mereka yang terpenting apakah kehidupan sudah beranjak, misalnya, tidak miskinlagi alias lebih
makmur dibandingkan dengan masa sebelumnya.Tidak pernah menjadi risau ketika pertumbuhan
ekonomi yang dicapai itu salah sasaran alias hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. Ini karena
adanya distribusi yang tidak merata. Atau bahkan ada anggapan bahwa ketimpangan perolehan
kekayaan yang bermuara pada kemiskinan hanya dinilai sebagai kondisi sementara. Yang
penting,indikator makro di atas kertas selalu menunjukkan performa bagus.Tetapi pemberantasan
kemiskinan sebenarnya justru merupakan kondisi pentingatau syarat yang harus diadakan guna
menunjang pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana pun, bertambahnya penduduk miskin mendorong taraf hidup yang rendah,
sehinggaakan menurunkan produktivitas mereka yang pada gilirannya ekonomi nasionalmenurun
dan akhirnya mendorong melambatnya pertumbuhan ekonomi.Padahal, kalau strategi ditekankan
pada pemerataan pendapatan dan pengurangan angka kemiskinan, maka taraf hidup masyarakat
secara keseluruhan akanmeningkat, sehingga mendorong permintaan barang primer dan sekunder
yang dapatdihasilkan oleh perekonomian nasional.Ini pada gilirannya menunjang makin
melajunya pertumbuhan ekonomi melaluikenaikan permintaan barang lokal dari hasil produksi
industri lokal, selanjutnyamendorong penciptaan lapangan kerja dan investasi. Bandingkan jika
kenaikan pendapatan hanya terjadi pada si kaya dan yang miskin tetap miskin atau
justru bertambah miskin, maka golongan kaya akan mengonsumsi barang tersier yangumumnya
merupakan barang impor.Jika kesenjangan pendapatan terus berlangsung, maka akan tercipta
disinsentif material dan psikologis yang pada gilirannya menghambat kemajuan ekonomi.
Padahal,sudah pasti pemerintah bersusah payah melakukan serangkaian strategi gunamenyajikan
kemakmuran masyarakat.
Karena itu, strategi pembangunan yang terlalu mengagungkan pertumbuhanekonomi dan
kurang penekanan pemerataan pendapatan dan pengurangan angkakemiskinan perlu dipikir
ulang. Ini karena pemerataan pendapatan adalah suatu alatyang efektif untuk pemberantasan
kemiskinan yang merupakan tujuan utama dari pembangunan ekonomi.
1.2Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1) Maksud dari pemerataan ?
2) Kebijaksanaan pemerataan pendapatan ?
3) Bagaiamana teknik pemerataan pendapatan ?
4) Bagaiamana konsep dari kemiskinan ?
5) cara perhitungan kemiskinan ?
6) apa-apa saja kriteria kemiskinan ?
7) bagaimana perkembangan kemiskinan di indonesia ?
8) apa saja yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan ?
1.3Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui maksud dari pemerataan dan
kemiskinan yang terjadi di dalam suatu daerah maupun negara. Hal ini menyangkut bagaimana
kebijaksaan dalam pemerataan pendapatan , teknik yang digunakan dalam meratakan pendapatan
, konsep serta perhitungan kemiskinan.
BAB II PEMBAHASAN
PEMERATAAN DAN KEMISKINAN
2.1 PEMERATAAN
Distribusi
pendapatan
dapat
berupa
pemerataan
maupun
ketimpangan,
yang
menggambarkan tingkat pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi.
Distribusi dari suatu proses produksi terjadi setelah diperoleh pendapatan dari kegiatan usaha.
Pengukuran masalah pemerataan telah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan ilmuan.
Namun, pendekatan pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan dari
distibusi pendapatan adalah Gini coefficient yang di bantu dengan menggunakan Lorenzt curve.
Sedangkan untuk mengukur tingkat kemiskinan digunakan metode headcount measure dan
property gap. Ukuran yang dipakai dalam menentukan ketidakmerataan baik di tingkat wilayah
maupun rumah tangga adalah gini coefficient dan tingkat kemiskinan. Gini coefficient merpakan
alat ukur atau indikator yang menerangkan distribusi pendapatan aktual, pengeluaranpengeluaran konsumsi atau variabel-variabel lain yang terkait dengan distribusi di mana setiap
orang menerima bagian secara sama atau identik (Bappenas,2002). Menurut Cobwell (1977)
yang dikutip oleh Mitchell (1991) menyatakan bahwa pengukuran ketidakmerataan dapat
menggunakan gini coeficient. Selain itu, tingkat ketimpangan dapat diukur juga melalui personal
income dengan menggunakan Kurva Lorenz, yaitu kurva yang menggambarkan hubungan
kuantitatif antara persentase populasi penerima pendapatan dengan persentase total pendapatan
yang benar-benar diperoleh selama jangka waktu tertentu, biasanya saru tahun.
Gambar 4.1 Kurva Lorenz
Pada gambar tersebut, sumbu horizontal mewakili jumlah populasi penerima pendapatan
dan sumbu vertikal menggambarkan pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase
penduduk (Todaro, 1981). Garis kurva lorenz akan berada di atas garis horizontal, bila kurva
tersebut menjauh dari kurva diagonal maka tingkat ketimapangan akan semakin tinggi. Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu distribusi pendapatan makin merata jika nilai
koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak
merata jika nilai koefisien Gininya makin mendekati satu.
Distribusi pendaptan nasional akan menentukan bagaimana pendaptan nasional yang
tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat,
seperti mengurangi kemsikinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat.
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi
masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan
kemakmuran bagi golongan tetentu saja. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan
dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi lebih
banyak akan memperoleh pendaptan yang lebih banyak juga.
Tabel Patokan Nilai Koefisien Gini
Nilai koefisien
Distibusi Pendapatan
0,5
Tingkat ketimpagan tinggi
Selain penggunaan Koefisien Gini, untuk melihat distribusi pendapatan dapat
menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Menurut teori neoklasik,
perbedaan kepemilikan faktor produksi, lama kelamaan akan hilang atau berkurang melalui suatu
proses penyesuaian otomatis. Bila proses otomatos itu belum mampu menurunkan perbedaan
pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi.
Kedua sistem ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan redistribusi pendapatan.
Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan menungarangi
pendapatan penduduk yang
pendaptannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membentu penduduk yang pendaptannya rendah,
asalkan tidak salah sasaran dalam pemberiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi
menggunakan sistem tarif progresif, oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda
pemerintahan, subsidi dn proyek pembangunan.
Indikator ketimpangan Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia
2.2
KEBIJAKSANAAN PEMERATAAN PENDAPATAN BAGIAN
DARI PENGELOLOAN KEUANGAN NEGARA
Pemerataan pendapatan (redistribusi pendapatan/distribution of income) merupakan
usaha yang dilakukan oleh pemerintah agar pendapatan masyarakat terbagi sementara mungkin
diantara warga masyarakat. Pengertian merata disini tidak berarti bahwa semua warga
masyarakat dibuat pendapatannya sama, tetapi kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk
mmemperoleh pendapatan. Tujuannnya adalah agar tidak terjadi ketimpangan pendapatan dalam
masyarakat sehingga dapat menimbulkan keresahaan dan kecemburuan sosial yang pada
akhirnya dapat mengganggu stabilitas nasional. Ukuran pokok distribusi pendaptan dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. The size distribution of income (The personal distribution of income)
Pengukuran atas dasar ini biasanya dilakukan oleh ahli ekonomi. Cara mengukurnya
adalah masing-masing individu dicatat penghasilan pertahunnya dari sejumlah individu
yang diteliti secara sampling. Penghasilan dinyatakan dalam satuan uang. Kemuddian
dikelompok berdasar dari penghasilan terendah sampai tertinggi. Dari hasil
pengelompokkan tersebutakan diketahui kelompok golongan berpenghasilan rendah
memperoleh berapa persen dari eluruh penghasilan nasional dan kelompok golongan
paling kaya memperoleh berapa persen, selanjutnya dapat diketahui ada ketimpangan
atau tidak.
2. The function distribution of income ( share distribution)
Ukuran ini menjelaskan tentang bagian pendapatan yang diterima oleh setiap faktor
produksi (berapa yang diterima oleh buru (upah), pengusaha (keuntungan), pemilik tanah
(sewa), pemilik modal (bunga/jasa) sesuai dengan funsi masing-masing faktor produksi).
2.3
TEKNIK PEMERATAAN PENDAPATAN
Ada beberapa teknik yang digunakan untuk redistribusi pendapatan, antra lain :
Transfer Uang Tunai (NIT, Demogrant, WRS) :
Transfer uang tunai merupakan pemberian subsidi berupa uang tunai kepada orang yang
termasuk berpenghasilan rendah. Modal transfer tunai dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Model pajak pendapatan nagatif (Negatif Income Tax), maksudnya dalah bahwa
pemerintah memberikan subsidi kepada penduduk yang dianggap tidak mampu.
Persyaratannya adalah bahwa keluarga yang diberi subsidi merupakan keluarga yang
penghasilannya di bawah pas-pasan dan nilai yang disubsidi adalah selisih antara
penhasilan pas-pasan dan penghasilan riil dari keluarga itu Modal NIT menguntungkan
jika penghasilan keluarga yang bersangkutan itu rendah. Semakin besar keluraganya
semakin menguntungkan. Oleh karenanya pemerintah membatasinya miasalnya
maksimum 5 jiwa dalam satu keluarga. Dengan menggunakan angka persentase subsidi
bagi tiap jiwa. Maka mudah untu menetapkan
besarnay subsidi. Formula untuk
pemberian subsidi pada program NIT adalah T = r (YB – Yi)
T
: besar transfer
r
: tingkat pajak marginal, dinyatakan dengan persen (%)
YB
: pendaptan pas-pasan (ditetapkan pemerintah)
Yi
: Pendapatan Keluarga
2. Model demogran, yaitu suatu program subsidi uang tunai dimana semua anggota
kelompok demografi menerima subsidi uang tunai
yang sama, tanpa membedakan
tingkat penghasilan mereka. Kelompok demografi adalah kelompok penduduk yang
pendapatannya barada di bawah penghasilan pas-pasan. Persyaratannya adalah bahwa
batas penghasilan pas-pasan ditetapkan pemerintah, yang subsidi adalah keluarga di
bawah penghasilan pas-pasan dan subsidi dihitung perjiwa dalam bentuk rupiah. Model
ini menguntungkan jika penghasilannya tetap, dan ppemerintah menetapkan besarnya
subsidi perjiwa tinggi. Nasmun sulit menetapkan dengan tepat besarnya subsidi perjiwa
dengan tepat dalam rupiah.
3. Model subsidi upah (Wage Rate Subsidies), yaitu subsidi yang dibeikan kepada buruh
yang bekerja harian dan penghasilannya di bawah upah pas-pasan. Semakin banyak upah
buruh (sepanjang masih di bawah upah pas-pasan, semakin sedikit subsidinya). Namun
subsidi maksimum juga ditetapkan dan upah minimum juga harus di tetapkan oleh
pemerintah.
Transfer Uang dan Barang
Dalam realisasinya, transfer uang tunai sebagaimana yang telah di jelaskan, dapat juga
diberikan sebagian dalam bentuk barang. Hal ini dimaksudakan untuk meminimalisir
penyimpangan masksud pemberian subsidi sesungguhnya.
Program Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja merupakan hal yang sangat didambakan bagi orang yang belum bekerja.
Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja dengan tingkat upah tertentu. Tetapi dalam
kenyataannya program penciptaan tenaga kerja pada sector pemerintah maupun swasta di
Negara berkembang bahkan di Negara maju sekalipun mengalami kesulitan. Di beberapa
Negara maju, mereka yang menganggur mendapat tunjangan atau subsidi.
Gini Ratio Inonesia, Menurut Provinsi Tahun 2011-2016
Provinsi
ACEH
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP. BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
2011 2012
0.33 0.32
0.35 0.33
0.35 0.36
0.36 0.40
0.34 0.34
0.34 0.40
0.36 0.35
0.37 0.36
Gini Rasio
2013 2014
0.34
0.32
0.35
0.32
0.36
0.33
0.37
0.35
0.35
0.33
0.38
0.40
0.39
0.36
0.36
0.35
2015
0.33
0.34
0.34
0.36
0.36
0.36
0.38
0.38
2016
0.33
0.32
0.33
0.35
0.35
0.35
0.36
0.36
0.30
0.29
0.31
0.30
0.28
0.28
0.32
0.44
0.35
0.42
0.36
0.43
0.40
0.43
0.36
0.43
0.35
0.41
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA
BARAT
NUSA TENGGARA
TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN UTARA
SULAWESI UTARA
SULAWESI TENGAH
SULAWESI SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
INDONESIA
2.4
0.41
0.38
0.40
0.37
0.40
0.41
0.41
0.38
0.43
0.36
0.39
0.43
0.41
0.39
0.44
0.36
0.40
0.40
0.41
0.38
0.42
0.37
0.40
0.42
0.41
0.38
0.43
0.42
0.40
0.38
0.41
0.37
0.42
0.40
0.39
0.37
0.36
0.35
0.36
0.38
0.37
0.36
0.36
0.36
0.35
0.36
0.34
0.34
0.40
0.38
0.40
0.39
0.33
0.34
0.34
0.33
0.35
0.35
0.33
0.33
0.37
0.38
0.36
0.36
0.35
0.33
0.38
0.39
0.38
0.41
0.36
0.43
0.40
0.41
0.37
0.42
0.41
0.43
0.35
0.42
0.37
0.42
0.32
0.29
0.37
0.37
0.42
0.32
0.30
0.39
0.36
0.43
0.41
0.40
0.43
0.41
0.40
0.40
0.46
0.34
0.41
0.33
0.40
0.42
0.41
0.44
0.31
0.38
0.34
0.43
0.44
0.41
0.44
0.35
0.37
0.32
0.43
0.44
0.41
0.41
0.35
0.35
0.32
0.44
0.41
0.41
0.42
0.36
0.34
0.28
0.44
0.42
0.41
0.42
0.36
0.35
0.29
0.37
0.39
0.40
KEMISKINAN SUATU KONSEP TEORITIS
Sar A. Levitan, mendefinisikan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayananpelayanan yang di butuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Karena standar
hidup itu berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal.
Menurut
Bradley R. fthiller, kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan
barang-barang dan pealayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
Dan oleh Email Salim, dikatakan bahwa, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Didalam memembahas
kemiskinan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, maka Ajit Ghose dan Keith Griffin,
mengatakan bahwa kemiskinan di negara-negara ini berarti kelaparan, kekurangan gizi,
ditambah pakaian dan perumahan yang kurang memadai, tingkat pendidikan yang rendah,
tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh layanan kesehatan dasar dan lainlain. John Friedmann, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial meliputi : modal yang produktif atau assets,
sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang dipakai untuk kepentingan
bersama partai politik, sindikat koperasi, network atau jaringan sosial untuk memperoleh
pekerjaan, barang-barng dan lain-lain, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan
informasi yang berguna untuk memajukan kehidup
an. Dari pengertian dari para ahli maka dapat diketahui bahwa kemiskinan itu tidak hanya
terikat dengan aspek-aspek material saja tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek
nonmaterial. Seperti yang dikatakan oleh Howard Wriggins et.al bahwa menurut Al-Kitab
dikatakan bahwa tak seseorangpun hidup karena hanya roti saja, maka dengan demikian
kemiskinan absolute juga mempunyai dimensi nonmaterial disampng aspek material ini. Atau
seperti yang disimpulkan oleh Wolf Scott, sebagai berikut :
1. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan sebagai kekurangan pendapatan dalam
bentuk ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmaterial yang diterima oleh
seseorang. Secera luas kemsikinan diberi pengertian meliputi kekurangan atau tidak
memiliki pendidikan, kondisi kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang
dibutuhkan masyarakat.
2. Kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asetaset seperti tanah, rumah, peralatan uang, emas, kredit dan lain-lain.
3. Kemiskinan nonmaterial meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh
pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak.
Definisi kemiskinann sebagai relatif sedikit atau tidak adanya nilai-nilai utama yang berhasil
diakumalasikan oleh si aktor secara sah sehingga kebutuhannya kan nilai-nilai tersebut tidak
terpenuhi secara layak atau memadai. Dengan singkat dpat dikatakan bahwa kemiskinan adlah
adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan akan
nilai tersebut secara layak. Dari definisi ini, ada beberapa hal yang akan dijelaskan lebih lanjut.
1. Nilai-nilai (values): dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang dihargai tinggi oleh
individu dan masyrakat. Penghargaan atau tepatnya perioritas penghargaan akan nilainilai berbeda-beda, ada yang lebih dihargai dan ada yang kurang dihargai pada satu
waktu tertentu dan masyarakat tertentu pula. Nilai-nilai yang lebih dihargai oleh
masyarakat disebut nilai-nilai utama, dan nilai-nilai utma yang kurang dihargai oleh
masyrakat disebut
nilai-nilai sekunder. Ada beberapa macam nilaiyang ada dalam
masyarakat, yakni : power, enlightenment, wealth, well-beright (or health), skill, offecion,
rectitude (involve rightenosness and justice), deference (or respect), security dan librerty.
Nilai-nilai utama ini berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia, yakni sandang,
pangan, papan, keshatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.
2. Kedua, kemiskinan itu multidimensional: karena banyak sekali nilai-nilai yang dibuthkan
atau kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak
aspek. Menurut John Friedman, bila dilihat dari segi public policy maka terdapat dua
aspek kemiskinan, yaitu :
a. Aspek primer terdiiri dari : aset-aset organisasi sosial dan politik, dan
pengetahuan dan keterampilan.
b. Aspek sekunder, terdiri dari : jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan
informasi.
Oleh
Gunnar Adler
Karlsson,
dikatakan
bahwa
dimensi-dimensi
kemiskinan
memanifestasikan dirinya dalam bentuk kekurangan gizi, air dan perumahan yang tidak sehat,
penyakit kronis dan perawatan kesehatan yang tidak baik. Pendidikan dan tenaga kerja juga
harus termasuk dalam pengukuran kemiskinan absolut. Di samping itu kemiskinan absolut juga
mempunyai dimensi non-material, seperti hak kelua masuk ke suatu negara, kebebasan
mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan beragama,
kebebasan bersesrikat dan
berpartisipasi, dan lain-lain. Oleh Bank Dunia di ajukan beberapa aspek kemiskinan yaitu,
Income atau pendaptan yang rendah, kekurangan gizi, keadaan kesehatan yang buruk, dan
pendidikan yang rendah. Selanjutnya, oleh Lukas Hendratta dikatakan bahwa suatu penelitian
dalam masyarakat akan menunjukkan ruwet dan kompleksnya hubungan di berbagai antara
manifestasi kemiskinan yakni, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan gizi, pengangguran,
buta huruf dan produktivitas yang rendah. Dari pembahasan di atas maka terdapat 10 macam
nilai sehingga demikian terdapat 10 dimensi atau aspek kemiskinan, yakni miskin dalm
kekuasaan, harta benda atau harta kekayaan, kesehatan pendidikan dan pengetahuan,
keterampilan atau keahlian, cinta kasih atau afeksi, keadilan, penghargaan atau penghormatan,
keamanan dan kebebasan.
Ketiga, aspek-aspek kemsikinan saling bergubungan : Aspek-aspek kemiskinansaling
berhubungan satu sama lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini
berarti bahwa kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek kemiskinan dapat
mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek-aspek kemiskinan yang lainnya.
Hubungan di antara aspek-aspek kemiskinan ini, oleh Lukas Hendratta disebut dengan istilah the
poverty spiral (spiral kemiskinan), sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini. Sifat saling
berhubungan di antara aspek-aspek kemiskinan adalah bahwa satu aspek atau faktor dapat
mempengaruhi semua aspek atau faktor lainnya baik dalam arti pengaruh yang positif maupun
pengaruh yang negatif. Secara diagramatik, proses saling mempengarhi ini dapat digambarkan
sebagai kekuatan pergerakan yang menjalar pada sebuah spiral. Pembangunan dapat dilihat
sebagai pergerakanyang semakin meluas (upward movement) dari semua unsur-unsur yang ada.
Untuk mencapai hal ini, maka setiap unsur atau aspek harus bergerak dengan suatu kecepatan
tertentu. Jika ada satu atau beberapa unsur yang tidak dapat mengikuti pergerakan upward ini
maka kana mengakibatkan berkurangnya seluruh pergerakan tersebut. Tanpa adanya kecepatan
pergerakan yang memadai hanya akan menimbulkan suatu pergerakan sirkular pada satu aspek
tertent saja. Berkurangnya pergerakan yang lebih lanjut akan menyebabkan pergerakan sirkular
tersebut berhenti sepenuhnya, sehingga terjadilah pergerakan spiral yang semakin sempit
(downward movement).
Lingkaran Setan Kemiskinan
Untuk itu, maka brbagai wujud atau aspek kemiskinan harus di tangani secara serentak
untuk menggerakkan pergerakan spiral yang semakin meluas melalui suatu mekanisme
synergistic. Sebaliknya, untuk melalui suatu proses synergistic negatif, di mana semakin
berkurangnyapergerakan pada satu atau beberapa aspek dapat menyebabkan pergerakan spiral
yang semakin menyempit, dan mempengaruhi pergerakan aspek-aspek lainnya. Implikasinya
pada suatu program pembangunan adalah bahwa kita tidak dapat memperoleh suat perbaikan
yang berarti dan abadi tanpa adanya suatu perbaikan yang dilakukan secara serentak pada
sektor-sektor atau aspek-aspek kemiskinan lainnya.
Keempat, aktor kemiskinan : Diamaksud dengan aktor kemiskinann adalah orang-orang
yang hanya sedikit atau tidak mampu mengakumulasikan nilai-nilai utama sehingga
kebutuhannya akan nilai-nilai tersebut tidak terpenuhi secara layak. Jadi disini jelaslah bahwa
yang miskin itu hanyalah manusia, orang, atau individu, baik secra kelompok atau kolektif
maupun secara individual. Kita sering mendengar perkataan kemiskinan pedesaan, kemiskinan
perkotaan, negara miskin, ini bukanlah berarti bahwa desa, kota atau negara yang mengalami
kemsikinan, melainkan orang-orang atau penduduk di wilayah tersebut, sebagian besarnya
menderita kemiskinan.
Aktor kemiskinan didefinisikan oleh Niels Mulder sebagai berikut : secara kasar kau
miskin dapat didefinisikan sebagai mereka yang tidak sampai pada suatu tingkat kehidupan yang
minimal seperti ditujukan oleh garis kemiskinan yang mengungkapkan taraf minimal untuk bisa
hidup dengan cukup dan wajar. Mereka yang sampai pada patokan itu dipandang sebagai orang
miskin. Aktor krmiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki beberapa
ciri. Menurut Emil Salim orang miskin memiliki ciri-ciri yaitu :
1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup,
modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit seklai sehingga
kemampan memperoleh pendapatan menjadi snagat terbatas.
2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh produksi aset produksi
dengan kekuatan sendiri, pendaptan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan
ataupun modal usaha. Sedangkan syarat tidak terpunuhi untuk memperoleh kredit
perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain sehingga mereka yang perlu
kredit terpaksa berpaling kepada lintah lirat yang biasanya meminta syarat pelunasan
yang berat dan memungut biaya bunga yang tinggi.
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka
tersisa habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Juga
anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang
tua mencari tambahan penghasilanatau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara
turun-temurun terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan.
4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak di antara mereka tidak memiliki
tanah, kalaupun ada maka kevil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau
pekerja kasar diluar pertanian. Karena pertanian bekerja musiman maka
kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka lalu menjadi pekerja
bebas, (self employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga yang
besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis
kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup desa maka banyak diantara mereka
mencoba berusaha di kota (urbanisasi).
5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muada dan tidak
mempunyai keterampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota di banyak negara
sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desan ini.
Apabila di negara maju pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan
kota sebagai penarik bagi masyrakat desa untuk bekerja di kota, maka proses
urbanisasi di negara berkembang tidak disertai proses penyerapan tenaga dalam
perkembangan industri. Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota
negara berkembangan justru menampik penyerapan lebih banyak tenaga kerja,
sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam kantong-kantong
kemelaratan (slumps). Di samping pandangan bahwa yang miskin hanyalah orang
atau manusia maka ada juga yang berpendapat bahwa aktor kemiskinan itu dapat
berupa negara, desa atau kota itu sendiri, bukan penduduknya. Jadi, negara, kota atau
desa tersebut dikatakan miskin kareana kekurangan atau tidak mengandung bahanbahan mineral atau kekakyaan alam lainnya. Hal ini dikenal dengan istilah naturaally
poor atau miskin secara alamiah. Jadi, bisa terjadi bahwa, suatu negara tertentu bila
dilihat dari segi kekayaan alamnya maka akan termasuk dalam negara miskin, tetapi
bila dilihat dari segi tingkat penghidupan penduduknya maka termasuk dalam negara
kaya. Misalnya, Jepang dilihat dari segi kekayaan alaminya, maka ia termasuk dalam
kategori negara miskin, tetapi bila dilihat dari pendaptan perkapita penduduknya
maka ia termasuk dalam negara kaya. Juga Indonesia , bila dilihat dari segi alam
maka termasuk dalam negara kaya, tetapi bila dilihat dari pendapatan perkapita
pendduk maka termasuk dalam negara miskin.
6. Pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai utama secara layak : ini maksudnya sama
dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara layak. Kebutuhan dasar
manusia bermacam-macam antara lain sandang, pangan, papan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Tentunya timbul pertayaan mengenai ukuran
yang layak ini. Pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan, papan, keshatan,
pekerjaan yang layak itu bagaimankah, seberapa besar jumlahnya dan jawaban atas
pertanyaan ini cukup rumit. Tenyata bahwa ukuran yang layak pada suatu aspek tidak
sama dengan aspek lainnya. Misalnya bahan pangan, maka jumlah kalori yang
dibutuhkan secara layak antara negara yang satu dengan negara yang lainnya
berbeda-beda, juga keadaan perumahan yang memadai misalnya diukur dari segi luas
karena per orang maka ukuran yang layak atau memadai ini berbeda-beda di antara
Asia, Afrika atau Amerika Latin. Yang paling sering dilakukan adalah mengukur
kemiskinan dari segi pendapatan perkapita; jumlah pendapatan perkapita yang layak
untuk memenuhi kebutuhan pokok, juga berbeda-beda anatara negara yang satu
dengan negra lainnya, bahkan anatara daerah perkotaan, atau negara pedesaan dalam
suatu negara saja pun berbeda.
7. Gap anatara nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan
nilai tersebut : Besar kecilnya gap ini akan menunjukkan besar kecilnya ataua parah
tidaknya keadaan kemiskinan. Semakin besar gap ini menunjukkan bahwa keadaan
semakin parah, dan semakin kecil gap ini menunjukkan keadaan kemiskinan semakin
berkurang atau semakin membaik. Dan dimana terdapat keseimbangan anatara jumlah
nilai yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan ukuran nilai secara layak,
maka terciptalah kondisi marginal. Dan bilamana terjadi keadaaan yang sebaliknya,
yakni jumlah yang diakumulasikan lebih besar daripada jumalh yang dibutuhkan
secra layak, maka keadaan ini menunjukkan sudah bebas dari belenggu kemiskinan.
2.5
KONSEP
KEMISKINAN
MENURUT
BADAN
PUSAT
STATISTIK
Sementara konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Karena objek kemiskinan adalah manusia sebagai
makhluk sosial maka yang dikatakan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
penegleuaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) menurut
ukuran BPS terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskianan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Nonmakanan (GKNM), sehingga jika hal ini di formulasikan maka GK = GKM +
GKNM. Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untu daerah perkotaan dan
pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan di bawah Garis Kemsikinan, Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakannilai
pengeuaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori perkapita
perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi
kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buhan, minyak dan lemak, dan lainlain). Ke 52 jenis komoditi ini merupakan komoditi-komoditi yang paling banyak di konsumsi
oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total
pengeluaran orang miskin. Garis kemikinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non
makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
2.6
TEKNIK
PEHITUNGAN
GARIS
KEMISKINAN
DAN
UKURAN KEMISKINAN MENURUT BADAN PUSAT STATISTIK
(BPS)
Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang
berada di atas Garis Kemiskinan Sementara, yang merupakan Garis Kemiskinan periode lalu
yang di-inflate dengan inflais umu (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Garis Kemiskian
makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil
dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita
perhari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuan minimum makanan dilakukan dengan
menghitung rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM tersebut
disetarakakn dengan 2.100 kilokalori dengan menghasilkan 2.100 terhadap harga implisit ratarata kalori. Garis kemiskinan non-makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan
minimum dari komoditi-komoditi nonmakanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/subkelompok nonmakanan
dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/subkelompok tersebut terhadap
total pengeluaran komoditi/subkelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi.
Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKD 2004),
yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga perkomoditi
nonmkanan yang lebih rinci dibandingkan data Susenas modul konsumsi. Garis Kemiskinan
merupakan penjumlahandari Garis Kemiskinan Makanan dan Gari Kemiskinan Nonmakanan.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kkemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sedangkan ukuran kemiskinan menurut BPS terdiri dari
3 bagian antara lain
1. Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis
Kemiskinan (GK).
2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) adalah ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis
kemiskinan.
3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P2) adalah ukuran yang memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi
nilai indeks, semakain tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
2.7
KEMISKINAN VERSI BKKBN
Jika angka-angka kemiskinan yang disebut dan dianalisis di atas bersumber pada taksiran
angka kemiskinan makro berdasar penetapan angka kemiskinan tetentu (pengeluaran pangan dan
bukan pangan). Sejak krismon 1997-98 dikenal angka-angka kemiskinan versi BKKBN dengan
menjumlahkan angka keluarga Pra-KS dan KS-I alasan ekonomi. Dengan menggunakan data
BKKBN diperoleh angka keluarga miskin di Jawa Tengah seperti terlihat pada Tabel 2 kolom 3.
Terlihat perbedaan anatara taksiran jumlah penduduk miskin versi BPS yang 26,07% tahun1999
dengan data keluarga miskin versi BKKBN yang mencapai 29,96%. Sementara SAKERTI 3
(Survei aspek Kehidapan Rumah Tangga Indonesia) yang dilakukan pusat Penelitian
Kependudukan UGM bekerja sama dengan Rand Coorporation Santa Monica (Juni-Oktober
2000) melaporkan ttingkat kemiskinan yang menurun di perkotaan Jawa Tengah dari 20,4%
menjadi 14,3% selama peiode 1997-2000 meskipun di pedesaan meningkat dari 13,7% menjadi
17,1%. Penemuan angka-angka kemiskinan dengan menggunakan garis kemiskinan BPS yang
disempurnakan ini merupakan hasil-hasil penelitian ekonomi riil di 13 provinsi dengan
mewawancarai 10.000 kepala keluarga (40.300 individu) sehingga dapat dibandingkan dengan
mikri data BKKBN.
Kriteria keluarga miskin yang dipakai BKKBN pada awalnya memang bukan untuk
mendata keluarga miskin, tetapi tetapi tuga soperasional kantor /lembaga itu yakni program
keluarga berencana dan program keluarga sejahtra. Tetapi dalam perkembangannya, data tersebut
dipakai sebagai pedoman dalam berbagai macam program peningkatan kesejahtraan keluarga
yaitu program Takesra/Kukesra, dan sejak krismon 1997, program JPS OPK beras dan program
JPS lainnya. Dengan demikian besar kemungkinan terjadi kelebihan taksiran.
Taksiran keluerga miskin yang “pesimistis” di daerah diduga ada kaitannya dengan
usulan DAU dan DAK pada pemerintah pusat. Dengan kata lain, data penduduk miskin tersebut
ditetapkan tinggi supaya dana yang masuk ke daerah juga besar. Menurut pejabat di dinas sosial,
memang pertimbangan yang di pakai tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika diadakan
pendataan desa miskin dalam program IDT. Pada awanya sedikit sekali yang mau menegkui
daerah/desanya adalah miskin. Namun sumber di BKKBN tidak sependapat jika angka
kemiskinan yang diterbitkan dikaitkan dengan gulirandana dari pusat. Menurutnya, yang penting
bukanlah mempertentangkan data/kriteria kemiskinan, tetapi bagaimana manfaat data itu bagi
program-program yang akan dilaksanakan. Menurutnya semakin banyak kriteria akan semakin
banyak pula informasi yang didapat, dan karena itu semakin memperkaya wawasan. Namun
daikuinya, bahwa saat ini ada kesan bahwa data yang dikeluarkan BKKBN untuk melaksanakan
program dari pusat, dan data dari dinas-dians di pemda untuk melaksankan program-program
pemerintah daerah.
Selain masalah transparansi yang sering dituduhkan pada penyelenggara programprogram yang dilaksanakan oleh pemrintah, kritik yang banyak dilontarkan dalam program
penanggulangan kemiskinan adalah dalam penentuan target sasaran, yaitu dalam penentuan
penduduk yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan. Data/informasi penduduk miskin
yang tepat dan akurat sangat menentukan tepat tidaknya sasaran dan keberhasilan suatu program.
Baik data dari Badan Pusat Statistik, BKKBN, maupun Dinas Sosial, semuanya memiliki
keebihan dan kelemahannya masing-masing. BPS menyadari bahwa terdapat beberapa
kelemahan data/informasi tentang penduduk miskin yang dihasilakan sejak 1976 hingga 1999,
dan karena itu tidak sepenuhnya dapat dipakai sebagai dasar ketepatan pelaksanaan program
bantuan pada pendudk miskin (BPS, 2000). Baik data tentang penduduk miskin maupun daftar
desa tertinggal pada tahun 1993-1995 bersifat “makro” dan tidak sampai pada nama individu
dalam suat daerah tertentu yang dapat dikatagorikan sebagai penduduk miskin.
2.8
PENDUDUK DAN KEMISKINAN
Ada argumentasi sederhana yang datang dari negara-negara yang sudah maju bahwa
suatu Negara menjadi miskin jika membiarkan penduduknya tumbuh menurut deret ukur.
Penduduk yang tumbuh tak terkendali pasti cepat menurun kemakmurannya karena produksi
pangan tumbuh lambat mengikuti deret hitung. Inilah teori sedih (dismal) dari Thomas Robert
Malthus (1817)yang mengakibatkan ilmu ekonomi disebut ilmu yang memilukan (the dismal
science) oleh Thomas Carlyle (1849). Untuk tidak menyerah begitu saja pada pandangan Carlyle,
Mancur Olson dan Satu Kahkinen menebitkan buku A Not So dismal Science (Oxford, 2000)
yang mengacu pada penelitian mendalam dari bawah yang meskipun mahal dan memakan
banyak energi, dalam jangka panjang jauh lebih murah. Penny dan Masri meskipun laporan
penelitiannya sangat pesimsitik , tokoh tidak meneutup kemungkian terhadap peranan ilmu
pengetahuan dan teknologi khussunya yang dikembangkan masyarakat sendiri dari budaya
setempat. Dalam masyarakat desa Sriharjo, ditemukan praktik-praktik KB (keluarga berencana)
asli berupa mboten kempal (tidak tidur bersama) yang dapat menjarangkan kelahiran anak. Jalan
keluar untuk mengatasi kemsikinan yang disebabkan tekanan penduduk merupakan pertemuan
antara prakarsa asli penduduk dengan program pemerintah. Misalnya untuk data Sriharjo,
intensifikasi pertanian, industrialisasi perdesaan, migrasi, dan keluarga berencana. Dari empat
jalan kelaur atau pemecahan ini, migrasi terutama yang bersifat sementara, rupanya paling
berhasil, yaitu bekerja di luar pertanian atau di luar desa,sehingga dapat membawa pulang uang
untuk belanja keluarga. Belakangan banyak anak-anak muda merantau ke Jakartaatau luar Jawa,
bahkan Malaysia atau Hongkong untuk bekerja mencari uang. Anak-anak muda ini kebanyakan
pulang ke desa (mudik) sekali setahun pada hari Raya Idul Fitri atau mengirimkan uang secara
rutin untuk membantu belanja orang tua atau membantu biaya sekolah adik-adiknya. Demikian
tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh kepadatan/kelebihan
penduduk semata-mata karena : pertama, orang-orang desa sebenarnya cukup sadar untuk tidak
memiliki banyak anak dengan melaksanakan KB; dan kedua, jika ada kesempatan penduduk
desa selalu “meninggalkan desa” untuk mencari pekerjaan di mana saja. Sama sekali tidak benar
jika dikatakan orang-orang desa selalu nrimo (menerima apa adanya), pasrah dan bersifat
mangan ora mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Pertumbuhan
penduduk daerah miskin di DIY seperti Gunung Kidul dan Kulonprogo dewasa ini sudah rendah
sekli dan bahkan minus.
2.9
KRITERIA KEMISKINAN BANK DUNIA
Publikasi Bank Dunia Indonesia Constructing a New Strategy for Proverty Reduction,
Oktober 2001 berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan
(poverty reduction) di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya
memperluasa definisi, fakta-fakta dan tujuan dari program anti kemiskinan. Selain pujian bahwa
sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil spektakuler dalalm mengurangi
jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kiritik bahwa pendekatan yang
diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan terlalu menitik beratkan pada targettarget angka. Garis kemiskinan (poverty line) misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk
memenuhi kebutuhan hidup dalam arti sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan
pendekatan
pembangunan
mengesampingkan
yang
bersifat
atas-bawah
(top-down
approach)
telah
banyak dimensi kemiskinan yang meskipun sulit diukur, tetap sangat
penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara statistik masuk masuk dalam kategori di
bawah garis kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan
menjauhkan dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka-angka dan menjauhkan diri dari target-target matematik tentu juga
tidak mungkin, karena bagaimanapun angka-angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu
menitikberatkan pada pencapaian target-target sattistik juga tidak bijaksana karena terlalu
menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan indikatorindikator pembangunan internasional (international Development Goal indicators) yang disusun
oleh wakil-wakilnyadari komunitas internasional dan indonesia termasuk salah satu anggotanya.
Perluasan target-target penanggulangan kemiskinan seperti yang disarankan oleh Bank Dunia
tersebut lebih terfokus pada kedalaman target-target yang telah ditetapkan selma ini. Pada
dimensii standar kehidupann materil misalnya, proporsi penduduk miskin (1999) adalah 27%,
sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada dimensi sumber daya
manusia dapat juga dikembangkan target-target mislanya angka tamat pendidikan dasar pada
kelompok paling miskin, tingkat kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses
tehadap prasarana, apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun
sanitasi dapat ditingkatkan lima tahun mendatang, dan yang tidak kalah pentingnya apakah
partisapasi
kalangan
penduduk
miskin
dalam
keputusan-keputusan
politik
setempat
mempengaruhi kehidupan mereka dapat ditingkatkan melalui program-program tertentu. Selama
kurun waktu 1975-1995 Indonseia dipuij-puji telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan
terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun 1975
menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama unmur harapan hidup mengalami
peningkatan 47,9 pertahun menjadi 63,7 per tahun, angka kematian bayi perseribu kelahiran bisa
ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95,
dan tingkat partispasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%. Pendekatan yang
dipakai oleh pemerintah selama ini lebih mementingkan target-target angka untuk mencapai
tujuan penanggulangan kemiskinan. Tanpa tujuan yang pasti dan siepakati bersama oleh berbagai
pelaku (stakeholder), maka pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan hanya sekedar
memenuhi target-target yang bersifat sektoral belaka.
2.10
KRITRIA MISKIN PADA ERA OTONOMI DAERAH
Sampai saat ini masih sulit untuk membayangkan bahwa suatu daerah, baik provinsi,
kabupaten, maupun desa, memiliki program penanggulangan kemiskinan yang lebih baik
daripada daerah lain. Mislanya, provinsi A memiliki program penanggulangan kemiskinan yang
jauh lebih baik dengan pencapaian target persen tertentu ketimbang provinsi B. Demikian pula
pemerintah daerah di bawahnya yaitu kabapeten dan desa. Suit pula untu dapat mengukur kinerja
suatu pemerintahan daerah dikaitkan dengan pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan. Salah satu sebabnya adalah selaintidak atau belum adanya kesamaan persepsi dari
dinas-dinas pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah pusat yang masih
sangat besar. Selam ini sulit ditemukakn publikasi dari pemerintah daerah untuk konsumsi
masyarakat umum mengenai permasalahan kinerja pembangunan yang ada di daerah. Berbagai
laporan tebal yang di susun instansi-instansi pemerintah daerah lebih ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan adminstratif dari pusat sebagai laporan kepada atasan, dan bukan untuk masyrakat
daerah sendiri. salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Di sisi lain,
masalah kemiskinan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia juga memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Dengan demikian, garis kemiskinan Sajogyo misalnya mungkin saja tidak
relevan diterapkan di daerah yang makanan pokok penduduknya bukan beras, atau kriteria
menganai luas dan kondisi lantai rumah yang dipakai BKKBN tentu tidak akan relevan
diterapkan di daerah yang rumah penduduknya kebanykan berbentuk rumah panggung atau
perumahan nelayan yyang terapung di pantai. Dengan kata lain keanekaragaman budaya
masyarakat perlu dipertimbangkakn dalam menyusun data kemiskinan suatu daerah.
Paradigma penanggulangan kemiskianan pada era otonomi daerah saat ini adalah bahwa
kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila kaum miskin menjadi aktor
utama dalam peran melawan kemiskinan (HS. Dillon:2001). Untuk memabntu kaum miskin
keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi,
dan program-program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan orang
miskin sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apaapa, melainkan seseorang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya (Mubyarto:2001).
Disadari bahwa pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam
menanggulangi kemiskinan sebagaimana yang pernah dijalankan oleh pemerintah karena yang
dipakai sebagai kriteria dalah target-target sektoral. Sebagaimana yang telah dikemukakan,
masing-masing instansi dalam pemerintahan mempunyai kiteria penentu orang miskin menurut
versinya masing-masingsehingga kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaanbesar. Meskipun
saat ini belum ada titik temu pola otonomi yang disepakati antara pemerintah pusat dan daerah
sehingga masih muncul tuntutan-tuntutan untuk mengkaji ulangUndang-Undang otonomidaerah,
namun desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya telah mulai berjalan. Daerah-daerah dan
desa-desa sudah banyak yang dengan rasa percaya diri tinggi mengeluarkan Perda atau Perdes
semuanya disesuaikan dengan kebutuhan, aspirasi masyarakat setempat, tuntutan-tuntutan, serta
perioritas-perioritas yang ada di lingkungan mereka. Banyak daerah yang sudah mengeuarkan
Perda tentang pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa, dan bahkan sudah melakukan
pemilihan serta melantik anggota-anggotanya. Di beberapa daerah lain, karena bukan menjadi
perioritas atau dianggap tidak diperlukan, ada yang belum memilih anggota BPD termasuk
belum mebuat Perda/Perdesnya. Dalam era otonomi daerah tidak ada lagi penyeragaman, kecuali
untuk bidang-bidang tertentu seperti bidang pendidikan, yang mengharuskan setiap daerah
membuat Perda dan sekaligus melaksanakannya.
Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi
rakyat dalam pengambilan keptusan tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan
yang lebih besar diberikan kepada pemerintah provinsi, kabupaten maupun desa, agar lembagalembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi
daerahnya masing-masing. Asumsi yang mendasrinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih
mengetahui potensi dan spirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan
produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat.
Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah, dan kenyataan bahwa daerah lebih
mengetahui potensi daerahnya masing-masing, diperlukan reorientasi peran baik pemerintah
pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penaggulangan kemiskinan. Program
penaggulangan kemiskinan pada era otonomi harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa
daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus
berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan-pendampingan bagi
program-program penanggulangan kemiskinan.
2.11
PERKEMBANGAN
TINGKAT
KEMISKINAN
DI
INDONESIA, 1996-2010
Perkembangann jumalah dan persentase penduduk miskin pada perode 1996-2010 tampak
berfluktuasi dari tahun ketahun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005.
Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis
ekonomi, yaitu dari 34,01 juta (17,47 persen) pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta (23,43 persen)
pada tahun 1999. Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar
9,57 juta, yaitu 47,97 juta (23,43 persen) pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta (18,20%) pada
tahun 2002. Penuruan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3
juta, yaitu dari 38,40 juta (18,20%) pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta ( 15,97%) pada tahun
2005 akan tetapi pada periode 2005-2006 terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin sebesar
4,20 juta, yaitu dari 35,10 juta pada tahun 2005 menjadi 39,30 juta pada tahun 2006. Akibatnya
persentase jumlah penduduk miskin juga meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%.
Tabel Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Menurut Daerah 1996-2010
Jumlah Penduduk Miskin
(Juta Orang)
Tahun
Kota
Desa
Kota+Desa
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
1996
1996
7,2
9,42
15,3
24,59
22,5
34,01
9,7
13,39
12,3
19,78
11,3
17,47
1998
17,6
31,9
49,5
21,92
25,72
24,2
1999
15,64
32,33
47,97
19,41
26,03
23,43
2000
12,31
26,43
38,74
14,6
22,38
19,14
2001
8,6
29,27
37,87
9,79
24,84
18,41
2002
13,32
25,08
38,39
14,46
21,1
18,2
2003
12,26
25,08
37,34
13,57
20,23
17,42
2004
11,37
24,78
36,15
12,13
20,11
16,66
2005
12,4
22,7
35,1
11,68
19,98
15,97
2006
14,49
24,81
39,3
13,47
21,81
17,75
2007
13,56
23,61
37,17
12,52
20,37
16,58
2008
12,77
22,19
34,96
11,65
18,93
15,42
2009
11,91
20,62
32,53
10,72
17,35
14,15
2010
11,1
19,93
31,02
9,87
16,56
13,33
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 200
OLEH :
MUHAMMAD ILHAM AKBAR
A21113541
MAHMUDDIN
A21114025
VIRDAYANTI
A31115021
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Perilaku Biaya. Dalam Penulisan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.
Makassar, 20 februari 2017
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bagi masyarakat awam, pertumbuhan ekonomi tidak terlalu penting. Ini karena bagi
mereka yang terpenting apakah kehidupan sudah beranjak, misalnya, tidak miskinlagi alias lebih
makmur dibandingkan dengan masa sebelumnya.Tidak pernah menjadi risau ketika pertumbuhan
ekonomi yang dicapai itu salah sasaran alias hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. Ini karena
adanya distribusi yang tidak merata. Atau bahkan ada anggapan bahwa ketimpangan perolehan
kekayaan yang bermuara pada kemiskinan hanya dinilai sebagai kondisi sementara. Yang
penting,indikator makro di atas kertas selalu menunjukkan performa bagus.Tetapi pemberantasan
kemiskinan sebenarnya justru merupakan kondisi pentingatau syarat yang harus diadakan guna
menunjang pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana pun, bertambahnya penduduk miskin mendorong taraf hidup yang rendah,
sehinggaakan menurunkan produktivitas mereka yang pada gilirannya ekonomi nasionalmenurun
dan akhirnya mendorong melambatnya pertumbuhan ekonomi.Padahal, kalau strategi ditekankan
pada pemerataan pendapatan dan pengurangan angka kemiskinan, maka taraf hidup masyarakat
secara keseluruhan akanmeningkat, sehingga mendorong permintaan barang primer dan sekunder
yang dapatdihasilkan oleh perekonomian nasional.Ini pada gilirannya menunjang makin
melajunya pertumbuhan ekonomi melaluikenaikan permintaan barang lokal dari hasil produksi
industri lokal, selanjutnyamendorong penciptaan lapangan kerja dan investasi. Bandingkan jika
kenaikan pendapatan hanya terjadi pada si kaya dan yang miskin tetap miskin atau
justru bertambah miskin, maka golongan kaya akan mengonsumsi barang tersier yangumumnya
merupakan barang impor.Jika kesenjangan pendapatan terus berlangsung, maka akan tercipta
disinsentif material dan psikologis yang pada gilirannya menghambat kemajuan ekonomi.
Padahal,sudah pasti pemerintah bersusah payah melakukan serangkaian strategi gunamenyajikan
kemakmuran masyarakat.
Karena itu, strategi pembangunan yang terlalu mengagungkan pertumbuhanekonomi dan
kurang penekanan pemerataan pendapatan dan pengurangan angkakemiskinan perlu dipikir
ulang. Ini karena pemerataan pendapatan adalah suatu alatyang efektif untuk pemberantasan
kemiskinan yang merupakan tujuan utama dari pembangunan ekonomi.
1.2Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1) Maksud dari pemerataan ?
2) Kebijaksanaan pemerataan pendapatan ?
3) Bagaiamana teknik pemerataan pendapatan ?
4) Bagaiamana konsep dari kemiskinan ?
5) cara perhitungan kemiskinan ?
6) apa-apa saja kriteria kemiskinan ?
7) bagaimana perkembangan kemiskinan di indonesia ?
8) apa saja yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan ?
1.3Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui maksud dari pemerataan dan
kemiskinan yang terjadi di dalam suatu daerah maupun negara. Hal ini menyangkut bagaimana
kebijaksaan dalam pemerataan pendapatan , teknik yang digunakan dalam meratakan pendapatan
, konsep serta perhitungan kemiskinan.
BAB II PEMBAHASAN
PEMERATAAN DAN KEMISKINAN
2.1 PEMERATAAN
Distribusi
pendapatan
dapat
berupa
pemerataan
maupun
ketimpangan,
yang
menggambarkan tingkat pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi.
Distribusi dari suatu proses produksi terjadi setelah diperoleh pendapatan dari kegiatan usaha.
Pengukuran masalah pemerataan telah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan ilmuan.
Namun, pendekatan pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan dari
distibusi pendapatan adalah Gini coefficient yang di bantu dengan menggunakan Lorenzt curve.
Sedangkan untuk mengukur tingkat kemiskinan digunakan metode headcount measure dan
property gap. Ukuran yang dipakai dalam menentukan ketidakmerataan baik di tingkat wilayah
maupun rumah tangga adalah gini coefficient dan tingkat kemiskinan. Gini coefficient merpakan
alat ukur atau indikator yang menerangkan distribusi pendapatan aktual, pengeluaranpengeluaran konsumsi atau variabel-variabel lain yang terkait dengan distribusi di mana setiap
orang menerima bagian secara sama atau identik (Bappenas,2002). Menurut Cobwell (1977)
yang dikutip oleh Mitchell (1991) menyatakan bahwa pengukuran ketidakmerataan dapat
menggunakan gini coeficient. Selain itu, tingkat ketimpangan dapat diukur juga melalui personal
income dengan menggunakan Kurva Lorenz, yaitu kurva yang menggambarkan hubungan
kuantitatif antara persentase populasi penerima pendapatan dengan persentase total pendapatan
yang benar-benar diperoleh selama jangka waktu tertentu, biasanya saru tahun.
Gambar 4.1 Kurva Lorenz
Pada gambar tersebut, sumbu horizontal mewakili jumlah populasi penerima pendapatan
dan sumbu vertikal menggambarkan pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase
penduduk (Todaro, 1981). Garis kurva lorenz akan berada di atas garis horizontal, bila kurva
tersebut menjauh dari kurva diagonal maka tingkat ketimapangan akan semakin tinggi. Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu distribusi pendapatan makin merata jika nilai
koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak
merata jika nilai koefisien Gininya makin mendekati satu.
Distribusi pendaptan nasional akan menentukan bagaimana pendaptan nasional yang
tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat,
seperti mengurangi kemsikinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat.
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi
masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan
kemakmuran bagi golongan tetentu saja. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan
dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi lebih
banyak akan memperoleh pendaptan yang lebih banyak juga.
Tabel Patokan Nilai Koefisien Gini
Nilai koefisien
Distibusi Pendapatan
0,5
Tingkat ketimpagan tinggi
Selain penggunaan Koefisien Gini, untuk melihat distribusi pendapatan dapat
menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Menurut teori neoklasik,
perbedaan kepemilikan faktor produksi, lama kelamaan akan hilang atau berkurang melalui suatu
proses penyesuaian otomatis. Bila proses otomatos itu belum mampu menurunkan perbedaan
pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi.
Kedua sistem ini dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan redistribusi pendapatan.
Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan menungarangi
pendapatan penduduk yang
pendaptannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membentu penduduk yang pendaptannya rendah,
asalkan tidak salah sasaran dalam pemberiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi
menggunakan sistem tarif progresif, oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda
pemerintahan, subsidi dn proyek pembangunan.
Indikator ketimpangan Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia
2.2
KEBIJAKSANAAN PEMERATAAN PENDAPATAN BAGIAN
DARI PENGELOLOAN KEUANGAN NEGARA
Pemerataan pendapatan (redistribusi pendapatan/distribution of income) merupakan
usaha yang dilakukan oleh pemerintah agar pendapatan masyarakat terbagi sementara mungkin
diantara warga masyarakat. Pengertian merata disini tidak berarti bahwa semua warga
masyarakat dibuat pendapatannya sama, tetapi kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk
mmemperoleh pendapatan. Tujuannnya adalah agar tidak terjadi ketimpangan pendapatan dalam
masyarakat sehingga dapat menimbulkan keresahaan dan kecemburuan sosial yang pada
akhirnya dapat mengganggu stabilitas nasional. Ukuran pokok distribusi pendaptan dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. The size distribution of income (The personal distribution of income)
Pengukuran atas dasar ini biasanya dilakukan oleh ahli ekonomi. Cara mengukurnya
adalah masing-masing individu dicatat penghasilan pertahunnya dari sejumlah individu
yang diteliti secara sampling. Penghasilan dinyatakan dalam satuan uang. Kemuddian
dikelompok berdasar dari penghasilan terendah sampai tertinggi. Dari hasil
pengelompokkan tersebutakan diketahui kelompok golongan berpenghasilan rendah
memperoleh berapa persen dari eluruh penghasilan nasional dan kelompok golongan
paling kaya memperoleh berapa persen, selanjutnya dapat diketahui ada ketimpangan
atau tidak.
2. The function distribution of income ( share distribution)
Ukuran ini menjelaskan tentang bagian pendapatan yang diterima oleh setiap faktor
produksi (berapa yang diterima oleh buru (upah), pengusaha (keuntungan), pemilik tanah
(sewa), pemilik modal (bunga/jasa) sesuai dengan funsi masing-masing faktor produksi).
2.3
TEKNIK PEMERATAAN PENDAPATAN
Ada beberapa teknik yang digunakan untuk redistribusi pendapatan, antra lain :
Transfer Uang Tunai (NIT, Demogrant, WRS) :
Transfer uang tunai merupakan pemberian subsidi berupa uang tunai kepada orang yang
termasuk berpenghasilan rendah. Modal transfer tunai dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Model pajak pendapatan nagatif (Negatif Income Tax), maksudnya dalah bahwa
pemerintah memberikan subsidi kepada penduduk yang dianggap tidak mampu.
Persyaratannya adalah bahwa keluarga yang diberi subsidi merupakan keluarga yang
penghasilannya di bawah pas-pasan dan nilai yang disubsidi adalah selisih antara
penhasilan pas-pasan dan penghasilan riil dari keluarga itu Modal NIT menguntungkan
jika penghasilan keluarga yang bersangkutan itu rendah. Semakin besar keluraganya
semakin menguntungkan. Oleh karenanya pemerintah membatasinya miasalnya
maksimum 5 jiwa dalam satu keluarga. Dengan menggunakan angka persentase subsidi
bagi tiap jiwa. Maka mudah untu menetapkan
besarnay subsidi. Formula untuk
pemberian subsidi pada program NIT adalah T = r (YB – Yi)
T
: besar transfer
r
: tingkat pajak marginal, dinyatakan dengan persen (%)
YB
: pendaptan pas-pasan (ditetapkan pemerintah)
Yi
: Pendapatan Keluarga
2. Model demogran, yaitu suatu program subsidi uang tunai dimana semua anggota
kelompok demografi menerima subsidi uang tunai
yang sama, tanpa membedakan
tingkat penghasilan mereka. Kelompok demografi adalah kelompok penduduk yang
pendapatannya barada di bawah penghasilan pas-pasan. Persyaratannya adalah bahwa
batas penghasilan pas-pasan ditetapkan pemerintah, yang subsidi adalah keluarga di
bawah penghasilan pas-pasan dan subsidi dihitung perjiwa dalam bentuk rupiah. Model
ini menguntungkan jika penghasilannya tetap, dan ppemerintah menetapkan besarnya
subsidi perjiwa tinggi. Nasmun sulit menetapkan dengan tepat besarnya subsidi perjiwa
dengan tepat dalam rupiah.
3. Model subsidi upah (Wage Rate Subsidies), yaitu subsidi yang dibeikan kepada buruh
yang bekerja harian dan penghasilannya di bawah upah pas-pasan. Semakin banyak upah
buruh (sepanjang masih di bawah upah pas-pasan, semakin sedikit subsidinya). Namun
subsidi maksimum juga ditetapkan dan upah minimum juga harus di tetapkan oleh
pemerintah.
Transfer Uang dan Barang
Dalam realisasinya, transfer uang tunai sebagaimana yang telah di jelaskan, dapat juga
diberikan sebagian dalam bentuk barang. Hal ini dimaksudakan untuk meminimalisir
penyimpangan masksud pemberian subsidi sesungguhnya.
Program Kesempatan Kerja
Kesempatan kerja merupakan hal yang sangat didambakan bagi orang yang belum bekerja.
Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja dengan tingkat upah tertentu. Tetapi dalam
kenyataannya program penciptaan tenaga kerja pada sector pemerintah maupun swasta di
Negara berkembang bahkan di Negara maju sekalipun mengalami kesulitan. Di beberapa
Negara maju, mereka yang menganggur mendapat tunjangan atau subsidi.
Gini Ratio Inonesia, Menurut Provinsi Tahun 2011-2016
Provinsi
ACEH
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP. BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
2011 2012
0.33 0.32
0.35 0.33
0.35 0.36
0.36 0.40
0.34 0.34
0.34 0.40
0.36 0.35
0.37 0.36
Gini Rasio
2013 2014
0.34
0.32
0.35
0.32
0.36
0.33
0.37
0.35
0.35
0.33
0.38
0.40
0.39
0.36
0.36
0.35
2015
0.33
0.34
0.34
0.36
0.36
0.36
0.38
0.38
2016
0.33
0.32
0.33
0.35
0.35
0.35
0.36
0.36
0.30
0.29
0.31
0.30
0.28
0.28
0.32
0.44
0.35
0.42
0.36
0.43
0.40
0.43
0.36
0.43
0.35
0.41
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA
BARAT
NUSA TENGGARA
TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN UTARA
SULAWESI UTARA
SULAWESI TENGAH
SULAWESI SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
INDONESIA
2.4
0.41
0.38
0.40
0.37
0.40
0.41
0.41
0.38
0.43
0.36
0.39
0.43
0.41
0.39
0.44
0.36
0.40
0.40
0.41
0.38
0.42
0.37
0.40
0.42
0.41
0.38
0.43
0.42
0.40
0.38
0.41
0.37
0.42
0.40
0.39
0.37
0.36
0.35
0.36
0.38
0.37
0.36
0.36
0.36
0.35
0.36
0.34
0.34
0.40
0.38
0.40
0.39
0.33
0.34
0.34
0.33
0.35
0.35
0.33
0.33
0.37
0.38
0.36
0.36
0.35
0.33
0.38
0.39
0.38
0.41
0.36
0.43
0.40
0.41
0.37
0.42
0.41
0.43
0.35
0.42
0.37
0.42
0.32
0.29
0.37
0.37
0.42
0.32
0.30
0.39
0.36
0.43
0.41
0.40
0.43
0.41
0.40
0.40
0.46
0.34
0.41
0.33
0.40
0.42
0.41
0.44
0.31
0.38
0.34
0.43
0.44
0.41
0.44
0.35
0.37
0.32
0.43
0.44
0.41
0.41
0.35
0.35
0.32
0.44
0.41
0.41
0.42
0.36
0.34
0.28
0.44
0.42
0.41
0.42
0.36
0.35
0.29
0.37
0.39
0.40
KEMISKINAN SUATU KONSEP TEORITIS
Sar A. Levitan, mendefinisikan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayananpelayanan yang di butuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Karena standar
hidup itu berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal.
Menurut
Bradley R. fthiller, kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan
barang-barang dan pealayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
Dan oleh Email Salim, dikatakan bahwa, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Didalam memembahas
kemiskinan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, maka Ajit Ghose dan Keith Griffin,
mengatakan bahwa kemiskinan di negara-negara ini berarti kelaparan, kekurangan gizi,
ditambah pakaian dan perumahan yang kurang memadai, tingkat pendidikan yang rendah,
tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh layanan kesehatan dasar dan lainlain. John Friedmann, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial meliputi : modal yang produktif atau assets,
sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang dipakai untuk kepentingan
bersama partai politik, sindikat koperasi, network atau jaringan sosial untuk memperoleh
pekerjaan, barang-barng dan lain-lain, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan
informasi yang berguna untuk memajukan kehidup
an. Dari pengertian dari para ahli maka dapat diketahui bahwa kemiskinan itu tidak hanya
terikat dengan aspek-aspek material saja tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek
nonmaterial. Seperti yang dikatakan oleh Howard Wriggins et.al bahwa menurut Al-Kitab
dikatakan bahwa tak seseorangpun hidup karena hanya roti saja, maka dengan demikian
kemiskinan absolute juga mempunyai dimensi nonmaterial disampng aspek material ini. Atau
seperti yang disimpulkan oleh Wolf Scott, sebagai berikut :
1. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan sebagai kekurangan pendapatan dalam
bentuk ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmaterial yang diterima oleh
seseorang. Secera luas kemsikinan diberi pengertian meliputi kekurangan atau tidak
memiliki pendidikan, kondisi kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang
dibutuhkan masyarakat.
2. Kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asetaset seperti tanah, rumah, peralatan uang, emas, kredit dan lain-lain.
3. Kemiskinan nonmaterial meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh
pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak.
Definisi kemiskinann sebagai relatif sedikit atau tidak adanya nilai-nilai utama yang berhasil
diakumalasikan oleh si aktor secara sah sehingga kebutuhannya kan nilai-nilai tersebut tidak
terpenuhi secara layak atau memadai. Dengan singkat dpat dikatakan bahwa kemiskinan adlah
adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan akan
nilai tersebut secara layak. Dari definisi ini, ada beberapa hal yang akan dijelaskan lebih lanjut.
1. Nilai-nilai (values): dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang dihargai tinggi oleh
individu dan masyrakat. Penghargaan atau tepatnya perioritas penghargaan akan nilainilai berbeda-beda, ada yang lebih dihargai dan ada yang kurang dihargai pada satu
waktu tertentu dan masyarakat tertentu pula. Nilai-nilai yang lebih dihargai oleh
masyarakat disebut nilai-nilai utama, dan nilai-nilai utma yang kurang dihargai oleh
masyrakat disebut
nilai-nilai sekunder. Ada beberapa macam nilaiyang ada dalam
masyarakat, yakni : power, enlightenment, wealth, well-beright (or health), skill, offecion,
rectitude (involve rightenosness and justice), deference (or respect), security dan librerty.
Nilai-nilai utama ini berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia, yakni sandang,
pangan, papan, keshatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.
2. Kedua, kemiskinan itu multidimensional: karena banyak sekali nilai-nilai yang dibuthkan
atau kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak
aspek. Menurut John Friedman, bila dilihat dari segi public policy maka terdapat dua
aspek kemiskinan, yaitu :
a. Aspek primer terdiiri dari : aset-aset organisasi sosial dan politik, dan
pengetahuan dan keterampilan.
b. Aspek sekunder, terdiri dari : jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan
informasi.
Oleh
Gunnar Adler
Karlsson,
dikatakan
bahwa
dimensi-dimensi
kemiskinan
memanifestasikan dirinya dalam bentuk kekurangan gizi, air dan perumahan yang tidak sehat,
penyakit kronis dan perawatan kesehatan yang tidak baik. Pendidikan dan tenaga kerja juga
harus termasuk dalam pengukuran kemiskinan absolut. Di samping itu kemiskinan absolut juga
mempunyai dimensi non-material, seperti hak kelua masuk ke suatu negara, kebebasan
mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan beragama,
kebebasan bersesrikat dan
berpartisipasi, dan lain-lain. Oleh Bank Dunia di ajukan beberapa aspek kemiskinan yaitu,
Income atau pendaptan yang rendah, kekurangan gizi, keadaan kesehatan yang buruk, dan
pendidikan yang rendah. Selanjutnya, oleh Lukas Hendratta dikatakan bahwa suatu penelitian
dalam masyarakat akan menunjukkan ruwet dan kompleksnya hubungan di berbagai antara
manifestasi kemiskinan yakni, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan gizi, pengangguran,
buta huruf dan produktivitas yang rendah. Dari pembahasan di atas maka terdapat 10 macam
nilai sehingga demikian terdapat 10 dimensi atau aspek kemiskinan, yakni miskin dalm
kekuasaan, harta benda atau harta kekayaan, kesehatan pendidikan dan pengetahuan,
keterampilan atau keahlian, cinta kasih atau afeksi, keadilan, penghargaan atau penghormatan,
keamanan dan kebebasan.
Ketiga, aspek-aspek kemsikinan saling bergubungan : Aspek-aspek kemiskinansaling
berhubungan satu sama lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini
berarti bahwa kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek kemiskinan dapat
mempengaruhi kemajuan atau kemunduran pada aspek-aspek kemiskinan yang lainnya.
Hubungan di antara aspek-aspek kemiskinan ini, oleh Lukas Hendratta disebut dengan istilah the
poverty spiral (spiral kemiskinan), sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini. Sifat saling
berhubungan di antara aspek-aspek kemiskinan adalah bahwa satu aspek atau faktor dapat
mempengaruhi semua aspek atau faktor lainnya baik dalam arti pengaruh yang positif maupun
pengaruh yang negatif. Secara diagramatik, proses saling mempengarhi ini dapat digambarkan
sebagai kekuatan pergerakan yang menjalar pada sebuah spiral. Pembangunan dapat dilihat
sebagai pergerakanyang semakin meluas (upward movement) dari semua unsur-unsur yang ada.
Untuk mencapai hal ini, maka setiap unsur atau aspek harus bergerak dengan suatu kecepatan
tertentu. Jika ada satu atau beberapa unsur yang tidak dapat mengikuti pergerakan upward ini
maka kana mengakibatkan berkurangnya seluruh pergerakan tersebut. Tanpa adanya kecepatan
pergerakan yang memadai hanya akan menimbulkan suatu pergerakan sirkular pada satu aspek
tertent saja. Berkurangnya pergerakan yang lebih lanjut akan menyebabkan pergerakan sirkular
tersebut berhenti sepenuhnya, sehingga terjadilah pergerakan spiral yang semakin sempit
(downward movement).
Lingkaran Setan Kemiskinan
Untuk itu, maka brbagai wujud atau aspek kemiskinan harus di tangani secara serentak
untuk menggerakkan pergerakan spiral yang semakin meluas melalui suatu mekanisme
synergistic. Sebaliknya, untuk melalui suatu proses synergistic negatif, di mana semakin
berkurangnyapergerakan pada satu atau beberapa aspek dapat menyebabkan pergerakan spiral
yang semakin menyempit, dan mempengaruhi pergerakan aspek-aspek lainnya. Implikasinya
pada suatu program pembangunan adalah bahwa kita tidak dapat memperoleh suat perbaikan
yang berarti dan abadi tanpa adanya suatu perbaikan yang dilakukan secara serentak pada
sektor-sektor atau aspek-aspek kemiskinan lainnya.
Keempat, aktor kemiskinan : Diamaksud dengan aktor kemiskinann adalah orang-orang
yang hanya sedikit atau tidak mampu mengakumulasikan nilai-nilai utama sehingga
kebutuhannya akan nilai-nilai tersebut tidak terpenuhi secara layak. Jadi disini jelaslah bahwa
yang miskin itu hanyalah manusia, orang, atau individu, baik secra kelompok atau kolektif
maupun secara individual. Kita sering mendengar perkataan kemiskinan pedesaan, kemiskinan
perkotaan, negara miskin, ini bukanlah berarti bahwa desa, kota atau negara yang mengalami
kemsikinan, melainkan orang-orang atau penduduk di wilayah tersebut, sebagian besarnya
menderita kemiskinan.
Aktor kemiskinan didefinisikan oleh Niels Mulder sebagai berikut : secara kasar kau
miskin dapat didefinisikan sebagai mereka yang tidak sampai pada suatu tingkat kehidupan yang
minimal seperti ditujukan oleh garis kemiskinan yang mengungkapkan taraf minimal untuk bisa
hidup dengan cukup dan wajar. Mereka yang sampai pada patokan itu dipandang sebagai orang
miskin. Aktor krmiskinan atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki beberapa
ciri. Menurut Emil Salim orang miskin memiliki ciri-ciri yaitu :
1. Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup,
modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit seklai sehingga
kemampan memperoleh pendapatan menjadi snagat terbatas.
2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh produksi aset produksi
dengan kekuatan sendiri, pendaptan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan
ataupun modal usaha. Sedangkan syarat tidak terpunuhi untuk memperoleh kredit
perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain sehingga mereka yang perlu
kredit terpaksa berpaling kepada lintah lirat yang biasanya meminta syarat pelunasan
yang berat dan memungut biaya bunga yang tinggi.
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka
tersisa habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Juga
anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang
tua mencari tambahan penghasilanatau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara
turun-temurun terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan.
4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak di antara mereka tidak memiliki
tanah, kalaupun ada maka kevil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau
pekerja kasar diluar pertanian. Karena pertanian bekerja musiman maka
kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka lalu menjadi pekerja
bebas, (self employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga yang
besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis
kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup desa maka banyak diantara mereka
mencoba berusaha di kota (urbanisasi).
5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muada dan tidak
mempunyai keterampilan (skill) atau pendidikan, sedangkan kota di banyak negara
sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desan ini.
Apabila di negara maju pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan
kota sebagai penarik bagi masyrakat desa untuk bekerja di kota, maka proses
urbanisasi di negara berkembang tidak disertai proses penyerapan tenaga dalam
perkembangan industri. Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota
negara berkembangan justru menampik penyerapan lebih banyak tenaga kerja,
sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam kantong-kantong
kemelaratan (slumps). Di samping pandangan bahwa yang miskin hanyalah orang
atau manusia maka ada juga yang berpendapat bahwa aktor kemiskinan itu dapat
berupa negara, desa atau kota itu sendiri, bukan penduduknya. Jadi, negara, kota atau
desa tersebut dikatakan miskin kareana kekurangan atau tidak mengandung bahanbahan mineral atau kekakyaan alam lainnya. Hal ini dikenal dengan istilah naturaally
poor atau miskin secara alamiah. Jadi, bisa terjadi bahwa, suatu negara tertentu bila
dilihat dari segi kekayaan alamnya maka akan termasuk dalam negara miskin, tetapi
bila dilihat dari segi tingkat penghidupan penduduknya maka termasuk dalam negara
kaya. Misalnya, Jepang dilihat dari segi kekayaan alaminya, maka ia termasuk dalam
kategori negara miskin, tetapi bila dilihat dari pendaptan perkapita penduduknya
maka ia termasuk dalam negara kaya. Juga Indonesia , bila dilihat dari segi alam
maka termasuk dalam negara kaya, tetapi bila dilihat dari pendapatan perkapita
pendduk maka termasuk dalam negara miskin.
6. Pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai utama secara layak : ini maksudnya sama
dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara layak. Kebutuhan dasar
manusia bermacam-macam antara lain sandang, pangan, papan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Tentunya timbul pertayaan mengenai ukuran
yang layak ini. Pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan, papan, keshatan,
pekerjaan yang layak itu bagaimankah, seberapa besar jumlahnya dan jawaban atas
pertanyaan ini cukup rumit. Tenyata bahwa ukuran yang layak pada suatu aspek tidak
sama dengan aspek lainnya. Misalnya bahan pangan, maka jumlah kalori yang
dibutuhkan secara layak antara negara yang satu dengan negara yang lainnya
berbeda-beda, juga keadaan perumahan yang memadai misalnya diukur dari segi luas
karena per orang maka ukuran yang layak atau memadai ini berbeda-beda di antara
Asia, Afrika atau Amerika Latin. Yang paling sering dilakukan adalah mengukur
kemiskinan dari segi pendapatan perkapita; jumlah pendapatan perkapita yang layak
untuk memenuhi kebutuhan pokok, juga berbeda-beda anatara negara yang satu
dengan negra lainnya, bahkan anatara daerah perkotaan, atau negara pedesaan dalam
suatu negara saja pun berbeda.
7. Gap anatara nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan
nilai tersebut : Besar kecilnya gap ini akan menunjukkan besar kecilnya ataua parah
tidaknya keadaan kemiskinan. Semakin besar gap ini menunjukkan bahwa keadaan
semakin parah, dan semakin kecil gap ini menunjukkan keadaan kemiskinan semakin
berkurang atau semakin membaik. Dan dimana terdapat keseimbangan anatara jumlah
nilai yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan ukuran nilai secara layak,
maka terciptalah kondisi marginal. Dan bilamana terjadi keadaaan yang sebaliknya,
yakni jumlah yang diakumulasikan lebih besar daripada jumalh yang dibutuhkan
secra layak, maka keadaan ini menunjukkan sudah bebas dari belenggu kemiskinan.
2.5
KONSEP
KEMISKINAN
MENURUT
BADAN
PUSAT
STATISTIK
Sementara konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Karena objek kemiskinan adalah manusia sebagai
makhluk sosial maka yang dikatakan penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
penegleuaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) menurut
ukuran BPS terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskianan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Nonmakanan (GKNM), sehingga jika hal ini di formulasikan maka GK = GKM +
GKNM. Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untu daerah perkotaan dan
pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan di bawah Garis Kemsikinan, Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakannilai
pengeuaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori perkapita
perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi
kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buhan, minyak dan lemak, dan lainlain). Ke 52 jenis komoditi ini merupakan komoditi-komoditi yang paling banyak di konsumsi
oleh orang miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total
pengeluaran orang miskin. Garis kemikinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non
makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
2.6
TEKNIK
PEHITUNGAN
GARIS
KEMISKINAN
DAN
UKURAN KEMISKINAN MENURUT BADAN PUSAT STATISTIK
(BPS)
Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang
berada di atas Garis Kemiskinan Sementara, yang merupakan Garis Kemiskinan periode lalu
yang di-inflate dengan inflais umu (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Garis Kemiskian
makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil
dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita
perhari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuan minimum makanan dilakukan dengan
menghitung rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM tersebut
disetarakakn dengan 2.100 kilokalori dengan menghasilkan 2.100 terhadap harga implisit ratarata kalori. Garis kemiskinan non-makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan
minimum dari komoditi-komoditi nonmakanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/subkelompok nonmakanan
dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/subkelompok tersebut terhadap
total pengeluaran komoditi/subkelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi.
Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKD 2004),
yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga perkomoditi
nonmkanan yang lebih rinci dibandingkan data Susenas modul konsumsi. Garis Kemiskinan
merupakan penjumlahandari Garis Kemiskinan Makanan dan Gari Kemiskinan Nonmakanan.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kkemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sedangkan ukuran kemiskinan menurut BPS terdiri dari
3 bagian antara lain
1. Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis
Kemiskinan (GK).
2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) adalah ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis
kemiskinan.
3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P2) adalah ukuran yang memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi
nilai indeks, semakain tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
2.7
KEMISKINAN VERSI BKKBN
Jika angka-angka kemiskinan yang disebut dan dianalisis di atas bersumber pada taksiran
angka kemiskinan makro berdasar penetapan angka kemiskinan tetentu (pengeluaran pangan dan
bukan pangan). Sejak krismon 1997-98 dikenal angka-angka kemiskinan versi BKKBN dengan
menjumlahkan angka keluarga Pra-KS dan KS-I alasan ekonomi. Dengan menggunakan data
BKKBN diperoleh angka keluarga miskin di Jawa Tengah seperti terlihat pada Tabel 2 kolom 3.
Terlihat perbedaan anatara taksiran jumlah penduduk miskin versi BPS yang 26,07% tahun1999
dengan data keluarga miskin versi BKKBN yang mencapai 29,96%. Sementara SAKERTI 3
(Survei aspek Kehidapan Rumah Tangga Indonesia) yang dilakukan pusat Penelitian
Kependudukan UGM bekerja sama dengan Rand Coorporation Santa Monica (Juni-Oktober
2000) melaporkan ttingkat kemiskinan yang menurun di perkotaan Jawa Tengah dari 20,4%
menjadi 14,3% selama peiode 1997-2000 meskipun di pedesaan meningkat dari 13,7% menjadi
17,1%. Penemuan angka-angka kemiskinan dengan menggunakan garis kemiskinan BPS yang
disempurnakan ini merupakan hasil-hasil penelitian ekonomi riil di 13 provinsi dengan
mewawancarai 10.000 kepala keluarga (40.300 individu) sehingga dapat dibandingkan dengan
mikri data BKKBN.
Kriteria keluarga miskin yang dipakai BKKBN pada awalnya memang bukan untuk
mendata keluarga miskin, tetapi tetapi tuga soperasional kantor /lembaga itu yakni program
keluarga berencana dan program keluarga sejahtra. Tetapi dalam perkembangannya, data tersebut
dipakai sebagai pedoman dalam berbagai macam program peningkatan kesejahtraan keluarga
yaitu program Takesra/Kukesra, dan sejak krismon 1997, program JPS OPK beras dan program
JPS lainnya. Dengan demikian besar kemungkinan terjadi kelebihan taksiran.
Taksiran keluerga miskin yang “pesimistis” di daerah diduga ada kaitannya dengan
usulan DAU dan DAK pada pemerintah pusat. Dengan kata lain, data penduduk miskin tersebut
ditetapkan tinggi supaya dana yang masuk ke daerah juga besar. Menurut pejabat di dinas sosial,
memang pertimbangan yang di pakai tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika diadakan
pendataan desa miskin dalam program IDT. Pada awanya sedikit sekali yang mau menegkui
daerah/desanya adalah miskin. Namun sumber di BKKBN tidak sependapat jika angka
kemiskinan yang diterbitkan dikaitkan dengan gulirandana dari pusat. Menurutnya, yang penting
bukanlah mempertentangkan data/kriteria kemiskinan, tetapi bagaimana manfaat data itu bagi
program-program yang akan dilaksanakan. Menurutnya semakin banyak kriteria akan semakin
banyak pula informasi yang didapat, dan karena itu semakin memperkaya wawasan. Namun
daikuinya, bahwa saat ini ada kesan bahwa data yang dikeluarkan BKKBN untuk melaksanakan
program dari pusat, dan data dari dinas-dians di pemda untuk melaksankan program-program
pemerintah daerah.
Selain masalah transparansi yang sering dituduhkan pada penyelenggara programprogram yang dilaksanakan oleh pemrintah, kritik yang banyak dilontarkan dalam program
penanggulangan kemiskinan adalah dalam penentuan target sasaran, yaitu dalam penentuan
penduduk yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan. Data/informasi penduduk miskin
yang tepat dan akurat sangat menentukan tepat tidaknya sasaran dan keberhasilan suatu program.
Baik data dari Badan Pusat Statistik, BKKBN, maupun Dinas Sosial, semuanya memiliki
keebihan dan kelemahannya masing-masing. BPS menyadari bahwa terdapat beberapa
kelemahan data/informasi tentang penduduk miskin yang dihasilakan sejak 1976 hingga 1999,
dan karena itu tidak sepenuhnya dapat dipakai sebagai dasar ketepatan pelaksanaan program
bantuan pada pendudk miskin (BPS, 2000). Baik data tentang penduduk miskin maupun daftar
desa tertinggal pada tahun 1993-1995 bersifat “makro” dan tidak sampai pada nama individu
dalam suat daerah tertentu yang dapat dikatagorikan sebagai penduduk miskin.
2.8
PENDUDUK DAN KEMISKINAN
Ada argumentasi sederhana yang datang dari negara-negara yang sudah maju bahwa
suatu Negara menjadi miskin jika membiarkan penduduknya tumbuh menurut deret ukur.
Penduduk yang tumbuh tak terkendali pasti cepat menurun kemakmurannya karena produksi
pangan tumbuh lambat mengikuti deret hitung. Inilah teori sedih (dismal) dari Thomas Robert
Malthus (1817)yang mengakibatkan ilmu ekonomi disebut ilmu yang memilukan (the dismal
science) oleh Thomas Carlyle (1849). Untuk tidak menyerah begitu saja pada pandangan Carlyle,
Mancur Olson dan Satu Kahkinen menebitkan buku A Not So dismal Science (Oxford, 2000)
yang mengacu pada penelitian mendalam dari bawah yang meskipun mahal dan memakan
banyak energi, dalam jangka panjang jauh lebih murah. Penny dan Masri meskipun laporan
penelitiannya sangat pesimsitik , tokoh tidak meneutup kemungkian terhadap peranan ilmu
pengetahuan dan teknologi khussunya yang dikembangkan masyarakat sendiri dari budaya
setempat. Dalam masyarakat desa Sriharjo, ditemukan praktik-praktik KB (keluarga berencana)
asli berupa mboten kempal (tidak tidur bersama) yang dapat menjarangkan kelahiran anak. Jalan
keluar untuk mengatasi kemsikinan yang disebabkan tekanan penduduk merupakan pertemuan
antara prakarsa asli penduduk dengan program pemerintah. Misalnya untuk data Sriharjo,
intensifikasi pertanian, industrialisasi perdesaan, migrasi, dan keluarga berencana. Dari empat
jalan kelaur atau pemecahan ini, migrasi terutama yang bersifat sementara, rupanya paling
berhasil, yaitu bekerja di luar pertanian atau di luar desa,sehingga dapat membawa pulang uang
untuk belanja keluarga. Belakangan banyak anak-anak muda merantau ke Jakartaatau luar Jawa,
bahkan Malaysia atau Hongkong untuk bekerja mencari uang. Anak-anak muda ini kebanyakan
pulang ke desa (mudik) sekali setahun pada hari Raya Idul Fitri atau mengirimkan uang secara
rutin untuk membantu belanja orang tua atau membantu biaya sekolah adik-adiknya. Demikian
tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh kepadatan/kelebihan
penduduk semata-mata karena : pertama, orang-orang desa sebenarnya cukup sadar untuk tidak
memiliki banyak anak dengan melaksanakan KB; dan kedua, jika ada kesempatan penduduk
desa selalu “meninggalkan desa” untuk mencari pekerjaan di mana saja. Sama sekali tidak benar
jika dikatakan orang-orang desa selalu nrimo (menerima apa adanya), pasrah dan bersifat
mangan ora mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Pertumbuhan
penduduk daerah miskin di DIY seperti Gunung Kidul dan Kulonprogo dewasa ini sudah rendah
sekli dan bahkan minus.
2.9
KRITERIA KEMISKINAN BANK DUNIA
Publikasi Bank Dunia Indonesia Constructing a New Strategy for Proverty Reduction,
Oktober 2001 berisi pembahasan komprehensif tentang agenda penanggulangan kemiskinan
(poverty reduction) di Indonesia. Salah satu tema yang dikemukakan adalah perlunya
memperluasa definisi, fakta-fakta dan tujuan dari program anti kemiskinan. Selain pujian bahwa
sampai dengan krisis 1997-98 Indonesia mampu mencapai hasil spektakuler dalalm mengurangi
jumlah penduduk miskin, Bank Dunia juga memberikan kiritik bahwa pendekatan yang
diterapkan Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan terlalu menitik beratkan pada targettarget angka. Garis kemiskinan (poverty line) misalnya, ditekankan pada pengeluaran untuk
memenuhi kebutuhan hidup dalam arti sangat sempit. Target angka dikombinasikan dengan
pendekatan
pembangunan
mengesampingkan
yang
bersifat
atas-bawah
(top-down
approach)
telah
banyak dimensi kemiskinan yang meskipun sulit diukur, tetap sangat
penting. Dengan hanya melihat mereka yang secara statistik masuk masuk dalam kategori di
bawah garis kemiskinan, pendekatan ini menyempitkan ruang lingkup kemiskinan dan
menjauhkan dari realitas penduduk miskin yang lebih dinamis.
Mengabaikan angka-angka dan menjauhkan diri dari target-target matematik tentu juga
tidak mungkin, karena bagaimanapun angka-angka tetap diperlukan. Di lain pihak, terlalu
menitikberatkan pada pencapaian target-target sattistik juga tidak bijaksana karena terlalu
menyederhanakan masalah. Bank Dunia kemudian merekomendasikan penggunaan indikatorindikator pembangunan internasional (international Development Goal indicators) yang disusun
oleh wakil-wakilnyadari komunitas internasional dan indonesia termasuk salah satu anggotanya.
Perluasan target-target penanggulangan kemiskinan seperti yang disarankan oleh Bank Dunia
tersebut lebih terfokus pada kedalaman target-target yang telah ditetapkan selma ini. Pada
dimensii standar kehidupann materil misalnya, proporsi penduduk miskin (1999) adalah 27%,
sehingga kemungkinan target pada tahun 2004 adalah sebesar 13,5%. Pada dimensi sumber daya
manusia dapat juga dikembangkan target-target mislanya angka tamat pendidikan dasar pada
kelompok paling miskin, tingkat kematian bayi maupun tingkat kesehatan. Demikian pula akses
tehadap prasarana, apakah akses kelompok paling miskin terhadap sumber daya air maupun
sanitasi dapat ditingkatkan lima tahun mendatang, dan yang tidak kalah pentingnya apakah
partisapasi
kalangan
penduduk
miskin
dalam
keputusan-keputusan
politik
setempat
mempengaruhi kehidupan mereka dapat ditingkatkan melalui program-program tertentu. Selama
kurun waktu 1975-1995 Indonseia dipuij-puji telah berhasil dalam mengurangi kemiskinan
terutama diukur melalui penurunan jumlah penduduk miskin dari 64,3% pada tahun 1975
menjadi hanya 11,4% pada tahun 1995. Pada tahun yang sama unmur harapan hidup mengalami
peningkatan 47,9 pertahun menjadi 63,7 per tahun, angka kematian bayi perseribu kelahiran bisa
ditekan dari 118 menjadi 51, tingkat partisipasi sekolah dasar meningkat dari 75,6 menjadi 95,
dan tingkat partispasi sekolah menengah juga meningkat dari 13 menjadi 55%. Pendekatan yang
dipakai oleh pemerintah selama ini lebih mementingkan target-target angka untuk mencapai
tujuan penanggulangan kemiskinan. Tanpa tujuan yang pasti dan siepakati bersama oleh berbagai
pelaku (stakeholder), maka pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan hanya sekedar
memenuhi target-target yang bersifat sektoral belaka.
2.10
KRITRIA MISKIN PADA ERA OTONOMI DAERAH
Sampai saat ini masih sulit untuk membayangkan bahwa suatu daerah, baik provinsi,
kabupaten, maupun desa, memiliki program penanggulangan kemiskinan yang lebih baik
daripada daerah lain. Mislanya, provinsi A memiliki program penanggulangan kemiskinan yang
jauh lebih baik dengan pencapaian target persen tertentu ketimbang provinsi B. Demikian pula
pemerintah daerah di bawahnya yaitu kabapeten dan desa. Suit pula untu dapat mengukur kinerja
suatu pemerintahan daerah dikaitkan dengan pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan. Salah satu sebabnya adalah selaintidak atau belum adanya kesamaan persepsi dari
dinas-dinas pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah pusat yang masih
sangat besar. Selam ini sulit ditemukakn publikasi dari pemerintah daerah untuk konsumsi
masyarakat umum mengenai permasalahan kinerja pembangunan yang ada di daerah. Berbagai
laporan tebal yang di susun instansi-instansi pemerintah daerah lebih ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan adminstratif dari pusat sebagai laporan kepada atasan, dan bukan untuk masyrakat
daerah sendiri. salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Di sisi lain,
masalah kemiskinan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia juga memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Dengan demikian, garis kemiskinan Sajogyo misalnya mungkin saja tidak
relevan diterapkan di daerah yang makanan pokok penduduknya bukan beras, atau kriteria
menganai luas dan kondisi lantai rumah yang dipakai BKKBN tentu tidak akan relevan
diterapkan di daerah yang rumah penduduknya kebanykan berbentuk rumah panggung atau
perumahan nelayan yyang terapung di pantai. Dengan kata lain keanekaragaman budaya
masyarakat perlu dipertimbangkakn dalam menyusun data kemiskinan suatu daerah.
Paradigma penanggulangan kemiskianan pada era otonomi daerah saat ini adalah bahwa
kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila kaum miskin menjadi aktor
utama dalam peran melawan kemiskinan (HS. Dillon:2001). Untuk memabntu kaum miskin
keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi,
dan program-program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan orang
miskin sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apaapa, melainkan seseorang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya (Mubyarto:2001).
Disadari bahwa pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam
menanggulangi kemiskinan sebagaimana yang pernah dijalankan oleh pemerintah karena yang
dipakai sebagai kriteria dalah target-target sektoral. Sebagaimana yang telah dikemukakan,
masing-masing instansi dalam pemerintahan mempunyai kiteria penentu orang miskin menurut
versinya masing-masingsehingga kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaanbesar. Meskipun
saat ini belum ada titik temu pola otonomi yang disepakati antara pemerintah pusat dan daerah
sehingga masih muncul tuntutan-tuntutan untuk mengkaji ulangUndang-Undang otonomidaerah,
namun desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya telah mulai berjalan. Daerah-daerah dan
desa-desa sudah banyak yang dengan rasa percaya diri tinggi mengeluarkan Perda atau Perdes
semuanya disesuaikan dengan kebutuhan, aspirasi masyarakat setempat, tuntutan-tuntutan, serta
perioritas-perioritas yang ada di lingkungan mereka. Banyak daerah yang sudah mengeuarkan
Perda tentang pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa, dan bahkan sudah melakukan
pemilihan serta melantik anggota-anggotanya. Di beberapa daerah lain, karena bukan menjadi
perioritas atau dianggap tidak diperlukan, ada yang belum memilih anggota BPD termasuk
belum mebuat Perda/Perdesnya. Dalam era otonomi daerah tidak ada lagi penyeragaman, kecuali
untuk bidang-bidang tertentu seperti bidang pendidikan, yang mengharuskan setiap daerah
membuat Perda dan sekaligus melaksanakannya.
Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi
rakyat dalam pengambilan keptusan tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan
yang lebih besar diberikan kepada pemerintah provinsi, kabupaten maupun desa, agar lembagalembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi
daerahnya masing-masing. Asumsi yang mendasrinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih
mengetahui potensi dan spirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan
produk kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat.
Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah, dan kenyataan bahwa daerah lebih
mengetahui potensi daerahnya masing-masing, diperlukan reorientasi peran baik pemerintah
pusat, daerah, maupun desa dalam program-program penaggulangan kemiskinan. Program
penaggulangan kemiskinan pada era otonomi harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa
daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus
berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pandangan dan pendampingan-pendampingan bagi
program-program penanggulangan kemiskinan.
2.11
PERKEMBANGAN
TINGKAT
KEMISKINAN
DI
INDONESIA, 1996-2010
Perkembangann jumalah dan persentase penduduk miskin pada perode 1996-2010 tampak
berfluktuasi dari tahun ketahun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005.
Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis
ekonomi, yaitu dari 34,01 juta (17,47 persen) pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta (23,43 persen)
pada tahun 1999. Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar
9,57 juta, yaitu 47,97 juta (23,43 persen) pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta (18,20%) pada
tahun 2002. Penuruan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3
juta, yaitu dari 38,40 juta (18,20%) pada tahun 2002 menjadi 35,10 juta ( 15,97%) pada tahun
2005 akan tetapi pada periode 2005-2006 terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin sebesar
4,20 juta, yaitu dari 35,10 juta pada tahun 2005 menjadi 39,30 juta pada tahun 2006. Akibatnya
persentase jumlah penduduk miskin juga meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%.
Tabel Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Menurut Daerah 1996-2010
Jumlah Penduduk Miskin
(Juta Orang)
Tahun
Kota
Desa
Kota+Desa
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
1996
1996
7,2
9,42
15,3
24,59
22,5
34,01
9,7
13,39
12,3
19,78
11,3
17,47
1998
17,6
31,9
49,5
21,92
25,72
24,2
1999
15,64
32,33
47,97
19,41
26,03
23,43
2000
12,31
26,43
38,74
14,6
22,38
19,14
2001
8,6
29,27
37,87
9,79
24,84
18,41
2002
13,32
25,08
38,39
14,46
21,1
18,2
2003
12,26
25,08
37,34
13,57
20,23
17,42
2004
11,37
24,78
36,15
12,13
20,11
16,66
2005
12,4
22,7
35,1
11,68
19,98
15,97
2006
14,49
24,81
39,3
13,47
21,81
17,75
2007
13,56
23,61
37,17
12,52
20,37
16,58
2008
12,77
22,19
34,96
11,65
18,93
15,42
2009
11,91
20,62
32,53
10,72
17,35
14,15
2010
11,1
19,93
31,02
9,87
16,56
13,33
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 200