Ruang publik online sebuah dimensi baru
Ruang publik online: sebuah dimensi baru dalam proses pembuatan kebijakan?
(Studi kasus penggunaan Twitter di Indonesia)
Ujang Fahmi1, Canggih Puspo Wibowo2
Abstrak
Ruang publik memberikan kesempatan kepada publik atau dalam hal ini masyarakat
untuk dapat terlibat dalam pengelolaan sebuah negara. Dalam konteks kebijakan, ruang publik
juga penting agar kebijakan tidaknya hanya bersifat top-down, tapi juga bottom-up. Jika di
masa lampau ruang publik ada di tempat di mana orang bisa berkumpul dan mendiskusikan
masalah politik dan atau kebijakan seperti kafe, atau tempat lain sejenisnya, saat ini ada yang
disebut ruang maya. Ruang ini hadir berkat kemajuan dibidang teknologi internet, yang
kemudian disusul dengan hadirnya berbagasi media sosial. Melalui sosial media ini publik bisa
melakukan apa yang dahulu dilakukan di kafe dan sejenisnya untuk mendiskusikan jalannya
roda pemerintahan. Sementara pembuatan kebijakan publik membutuhkan sarana dan
prasarana, misalnya untuk menyampaikan atau mensosialisasikan kebijakan, mendapat
feedback dari masyarakat, dan juga membutuhkan data. Persinggungan antara proses
pembuatan kebijakan publik dengan kehadiran media sosial inilah yang kemudian akan dibahas
dalam tulisan ini. Dengan mengacu pada siklus kebijakan (policy cycle) peluang pemanfaatan
internat yang dalam hal ini difokuskan pada media sosial Twitter sebagai salah satu ruang
publik online dalam proses pembuatan kebijakan dapat diidentifikasi dan disimpulkan dalam
artikel ini.
Katakunci: ruang publik, ruang publik online, pembuatan kebijakan, media sosial
1. Pendahuluan
Membangun transparansi dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan menjadi salah
satu isu utama yang dihadapi bukan hanya oleh pemerintah Indonesia, tapi juga hampir seluruh
negara di dunia. Di masa lampau partisipasi masyarakat umum atau kemudian disebut publik
dalam proses pembuatan kebijakan tercipta melalui ruang publik. Mengacu pada definisi yang
diberikan Habermas, ruang publik adalah sebuah ruang di antara state dan citizens yang berisi
individu-individu yang saling mendiskusikan isu-isu yang ada dilingkungannya (Habermas,
1991). Lebih jauh lagi, Habermas (1991) mengungkapkan beberapa karakteristik ruang publik,
yaitu: (1) Akses yang mudah terhadap informasi; (2) Tidak ada perlakuan istimewa (privilege)
terhadap peserta diskusi (partisipan); (3) Peserta/partisipan mengemukakan alasan rasional
dalam berdiskusi.
Sistem yang demokratis membutuhkan ruang publik yang sehat (Levasseur & Carlin,
1
Mahasiswa S2 Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada,
ujang.fahmi@mail.ugm.ac.id
2
Mentor di Sagasitas Journal & Research Center, Yogyakarta, cangcappo@gmail.com
1
2001). Di mana salah satu indikasi sehat atau tidaknya ruang publik adalah keterpenuhan tiga
kriteria yang disebutkan sebelumnya. Dalam konteks ini, di era modern di mana dunia sudah
jauh berubah dari apa yang dilukiskan Habermas tentang ruang publik, saat ini muncul internet
yang memfasilitasi media sosial. Media sosial inilah yang kemudian di anggap sebagai salah
satu bentuk ruang publik alternatif dengan karakteristik yang kurang lebih sama, di mana setiap
orang yang ada di dalamnya memiliki hak dan kesempatan yang sama.
Untuk itu pula kemudian banyak pembahasan yang dilakukan oleh akademisi tentang
media sosial yang juga diketahui memiliki pengaruh dalam kehidupan nyata. Pengaruh media
sosial dapat dilihat mulai dari pemanfaatannya untuk kampanye hingga media komunikasi
yang memungkinkan terjadinya revolusi melati di beberapa negara di Afrika Utara. Di sektor
publik, media sosial juga sering digunakan sebagai media komunikasi (Bertot, Jaeger, &
Hansen, 2012), sebagai upaya meningkatkan transparansi (Bertot, Jaeger, & Grimes, 2012),
dan bahkan sudah ada yang menggunakannya untuk membuat keputusan dalam sektor tertentu
(lihat Sideri, Filippopoulou, Rouvalis, Kalloniatis, & Gritzalis, 2017).
Di antara sekian banyak media sosial yang ada saat ini Facebook dan Twitter
merupakan yang paling banyak digunakan sekaligus juga paling banyak dikaji. Hal ini dilatari
oleh adanya opini publik dalam media tersebut. Terkait dengan opini publik, atau Dahlgren
(2012, 2013) mengistilahkannya sebagai public intelectual, Geremia (1978) mengatakan
bahwa hanya pemerintahan yang paranoid saja yang tidak memperlakukan publik sebagai aset
yang berharga dalam pembangunan dan pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menggalakkan penggunaan
sosial media bagi seluruh instansi pemerintah baik pusat dan daerah sebagai wadah komunikasi
antara pemerintah dengan masyarakat (Kurniawan, 2016).
Selagi masih terdapat perdebatan dalam pendefinisian internet sebagai ruang publik,
online public sphere dianggap sebagai sebuah istilah perantara hingga pendefinisian dapat
dilakukan (Dahlgren, 2012). Hal ini kemudian diperkuat dengan fakta bahwa penggunaan
internet dan media sosial terus meningkat di berbagai negara termasuk di Indonesia. Survei
yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap
bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia (132 juta jiwa) kini telah terhubung ke internet
(Widiartanto, 2016). Pengguna media sosial berbanding lurus dengan pertumbuhan pengguna
internet, di mana khusus pengguna Twiter, CEO Twitter Dick Costolo, pada tahun 2015
jumlah pengguna Twitter di Indonesia ada 50 juta (Hasibuan, 2015).
Berdasarkan ulasan dan juga fakta di atas maka artikel ini bertujuan untuk membahas
bagaimana praktik penggunaan media sosial serta kemungkinannya sebagai dimensi baru
2
dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia. Sejauh ini persinggungan antara media sosial
dengan proses pembuatan kebijakan di Indonesia belum banyak dibahas. Padahal, hampir
semua kementerian yang ada sudah memiliki akun media sosial resmi dan sudah terverifikasi.
Untuk itu pula artikel ini juga bertujuan untuk mencari bukti tentang kemungkinan penggunaan
media sosial dalam proses pembuatan kebijakan. Secara spesifik, artikel ini akan mengkaji apa
yang bisa dilakukan dan didapat dari media sosial Twitter dalam siklus pembuatan kebijakan
atau policy cycle.
Pembahasan akan dimulai dengan melakukan observasi pada akun media sosial yang
dimiliki oleh beberapa kementerian dan mengidentifikasi potensi apa saja yang dapat
digunakan dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih akuntabel dan delibratif. Hal ini
dilakukan guna meningkatkan transparansi dan pelibatan masyarakat dalam pembuatan
kebijakan di Indonesia di mana di internet dianggap dapat mendukung untuk melakukannya
(McIvor, McHugh, & Caden, 2002). Bahkan McIvor, dkk (2002) lebih jauh mengatakan bahwa
organisasi sektor publik yang tidak dapat menggunakan teknologi dengan tepat akan terus
memiliki
masalah
dalam
hal
efisiensi,
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat
dan
penganggarannya.
2. Pendekatan penelitian
Secara
metodologis,
artikel
ini
berdasar
pendekatan
interdisiplin
yang
mengombinasikan pendekatan kebijakan publik dan data science. Tujuannya adalah agar
persinggungan antara media sosial dan atau secara spesifik yang dibahas dalam artikel ini
adalah Twitter dengan proses pembuatan kebijakan publik dapat diidentifikasi, di mana pada
umumnya masing-masing teori berjalan sendiri atau terisolasi. Data yang digunakan adalah
data dari Twitter yang diambil berdasarkan beberapa metode sampling di media sosial, yaitu
berdasarkan akun, berdasarkan mention, serta berdasarkan hashtag/tagar dan atau kata tertentu
yang merepresentasikan sebuah kebijakan. Data tersebut kemudian digunakan untuk mencari
peluang pemanfaatannya dalam siklus kebijakan.
3. Kajian Pustaka
3.1 Media Sosial
Media sosial lahir sebagai konsekuensi logis dari perkembangan internet dan khususnya
web 2.0. Namun walaupun demikian tidak satu definisi umum yang dapat diterima oleh semua
kalangan. Media sosial identik dengan platform seperti Facebook dan Twitter. Hal tersebut
tidak sepenuhnya salah namun juga tidak sepenuhnya benar karena di luar dua media sosial
3
tersebut masih ada banyak platform seperti Youtube, Blog, dan lain sebagainya (Costa et al.,
2016b). Misalnya, Kasun Ubayasiri (2006) dalam Chen (2013) mengatakan bahwa platform
Youtube dengan fasilitas kolom komentar dapat menjadi tempat mensosialisasikan dan
berinteraksi sama seperti dua media sosial yang disebut di awal.
Terlepas dari definisinya yang masih banyak diperdebatkan, media sosial memiliki ciri
utama yang juga sering dianggap sebagai definisinya, yaitu sebuah platform yang memfasilitasi
pertukaran informasi antar penggunanya (Kaplan & Haenlein, 2010). Untuk itu pula kemudian
sosial media dianggap menampung opini publik yang dapat dijadikan sebagai objek studi
akademis (Costa et al., 2016a). Studi pada umumnya dilakukan dari sudut pandang ilmu
komunikasi dan teknologi informasi. Namun studi tentang media sosial terus berkembang
termasuk dalam bidang kebijakan publik.
Sebagai contoh, Twitter sebagai platform microblogging memungkinkan penggunanya
untuk membagikan informasi dan juga menganalisis sentimen publik terhadap sebuah produk.
Dalam konteks ini, produk organisasi publik yaitu pelayanan dianggap dapat dikaji dari
kalimat-kalimat yang dituangkan pengguna Twitter yang selanjutnya disebut tweet. Tweet
inilah dianggap sebagai opini publik atau dalam istilah lain juga disebut sebagai public sphere
atau ruang publik (Braun, 2012).
Opini publik ini selanjutnya dikaji secara mendalam dan memunculkan istilah yang
kemudian disebut text mining. Text mining inilah yang kemudian juga akan dilakukan penulis
dalam artikel ini baik sebagai media komunikasi. Di mana pada umumnya organisasi publik
menggunakan media sosial sebagai media komunikasi yang menghubungkannya dengan orang
yang mereka layani. Selain itu media sosial, juga dapat menjadi tempat bagi penerima
kebijakan atau layanan untuk dapat menilai secara langsung kualitas pelayanan yang mereka
dapatkan. Selain itu, secara umum media sosial juga memiliki potensi untuk membuat publik
lebih dapat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
3.2 Policy Cycle dan e-Policy Cycle
Konsep siklus kebijakan atau policy cycle merupakan konsep umum yang
mengilustrasikan proses pembuatan kebijakan publik (Höchtl, Parycek, & Schöllhammer,
2016). Pada umumnya terdapat tujuh tahap utama, di mulai dari agenda setting untuk
mengidentifikasi masalah dan di akhiri dengan evaluasi kebijakan. Masing-masing tahapan
terkait satu sama lain dan saling memengaruhi. Konsep siklus kebijakan dibuat untuk
memudahkan pembuat kebijakan dalam membuat sebuah keputusan publik, di mana dalam
4
kondisi ideal sebuah kebijakan seharusnya merepresentasikan kebutuhan publiknya. Namun
dalam realitas, pembuatan kebijakan merupakan sebuah proses yang sangat kompleks.
Tidak heran jika kemudian konsep siklus kebijakan pun mendapat banyak kritik.
Everett (2003) seperti dikutip oleh Höchtl, et.al (2016) mengatakan bahwa kebijakan terlalu
menekankan pada proses dibanding pada kualitas dan kinerja kebijakan. Untuk itu pula
kemudian Höchtl, et.al (2016) mengenalkan dan mengusulkan untuk melakukan revisi
terhadap siklus kebijakan dan mengaitkannya dengan big data. Menurut Höchtl, et.al (2016)
keberadaan internet dan berbagai media berbasis web 2.0, seperti media sosial di mana publik
dapat secara langsung menyampaikan opininya dapat dimanfaatkan dalam seluruh tahapan
siklus kebijakan. Konsep e-policy cycle seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Perbandingan Policy Cycle dengan e-Policy Cycle
Konsep utama dari e-policy cycle adalah menggunakan data yang bisa dapat dari
internet dari berbagai platform termasuk di media sosial dalam proses pembuatan kebijakan
publik. Perbedaan utamanya adalah penghilangan elemen evaluasi yang umumnya pada siklus
kebijakan konvensional di lakukan di akhir setelah proses lainnya selesai. Namun dalam epolicy cycle, evaluasi dapat dilakukan untuk masing-masing tahap secara terus menerus.
Sehingga selain sebagai media komunikasi media sosial juga dapat menjadi sumber data.
Dalam konteks Indonesia, pemanfaatan media sosial sebenarnya sudah diatur dalam
Peraturan Menteri PAN dan RB No. 83 tahun 2012. Di mana di sana disebutkan bahwa manfaat
media sosial, antara lain, adalah: (1) menyebarluaskan informasi pemerintah agar menjangkau
masyarakat; (2) membangun peran aparatur negara dan masyarakat melalui media sosial; (3)
menyosialisasikan strategi dan tujuan pembangunan di masa depan; 4. membangun interaksi
antara pemerintah dan masyarakat; (5) meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat
5
terhadap kebijakan dan program pemerintah; (6) menggali aspirasi, opini, dan masukan
masyarakat terhadap kebijakan dan program pemerintah (Kemenpan-rb, 2012).
Twtter atau media sosial microblogging pada umumnya menampung banyak hal
termasuk opini penggunanya. Dalam hal ini opini yang berupa teks tersebut merupakan data
tidak terstruktur yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Höchtl, et.al
(2016) secara khusus menggaris bawahi bawah media sosial dapat digunakan untuk melihat
apa yang bicarakan publik, dan apa yang menjadi preferensinya. Dalam konteks ini, setidaknya
data dari Twitter dapat dimanfaatkan dalam tahapan agenda setting, policy discussion dan
policy acceptance (Höchtl et al., 2016). Dalam artikel ini kami akan mengkaji untuk salah satu
di antaranya, yaitu untuk tahap agenda setting.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
Dari 4529 tweet yang diambil dari timeline akun @kemendesa dalam kurun waktu 20
Oktober 2014 sampai 31 Juni 2017 penulis selanjutnya mengekstraknya untuk mengetahui data
apa saja yang ada di dalamnya. Hal pertama yang didapatkan adalah kata apa saja yang paling
muncul dalam tweet yang diposting akun tersebut. Kata-kata tersebut dapat dilihat pada gambar
1 dan 2 di bawah ini. Namun sebelum memunculkan kata tersebut terlebih dahulu dilakukan
cleaning, yaitu menghilangkan kata yang dianggap tidak relevan. Kata yang dihilangkan adalah
kata sambung atau stopwords dan juga beberapa kata lain seperti: tdk, yg, utk, desa, selamat,
pagi, terimakasih dan beberapa kata lainnya.
6
Gambar 2. Kata-kata yang paling sering muncul dalam tweet yang diposting akun
@KemenDesa dari tanggal ... sampai ...
Dari kata-kata tersebut selanjutnya penulis mencoba untuk membangun topik yang
kemungkinan dapat dikembangkan dari setiap tweet yang disampaikan melalui akun tersebut.
Di mana kata desa, menteri, dan dana merupakan beberapa kata yang cukup mendominasi
dengan frekuensi kemunculannya lebih dari 300 kali dalam dokumen yang dijadikan sampel
dengan cara mencari asosiasinya dengan kata lain. Di sini didapat bahwa kata “desa”
berasosiasi dengan kata “dana” dan “pendamping” sebanyak 0.33 dan 0.28. Sedangkan kata
“menteri” berasosiasi sebesar 0.28 dengan “marwan”. Kata “dana” berasosiasi dengan kata
“desa” dan “penggunaan”. Untuk kata pembangunan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Asosiasi kata "pembangunan" dalam timeline akun @KemenDesa
Dengan melakukan pengecekan asosiasi kata tersebut kita dapat mengetahui bahwa
berdasarkan beberapa kata yang paling sering muncul bisa merepresentasikan topik apa yang
dibahas atau disampaikan oleh pihak terkait. Dalam konteks ini akun @KemenDesa banyak
memberikan penjelasan tentang dana desa, dan pendamping desa. Selain itu, menteri
7
kementerian terkait merupakan kata populer dan sering disampaikan melalui Twitter. Terkait
dengan dana desa isu tentang penggunaannya juga sering disampaikan atau menjadi topik yang
disampaikan melalui Twitter. Sedangkan terkait pembangunan, kita juga dapat mengetahui
bahwa kata pembangunan berasosiasi dengan percepatan, dan beberapa kata lainnya yang dapat
dipahami sebagai kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Kata tersebut di
antaranya adalah infrastruktur dan irigasi.
Untuk melihat respons masyarakat atau dalam konteks ini lebih sering disebut sebagai
netizens, selanjutnya kami mencoba untuk membuat kategori tweet yang disampaikan berserta
dengan jumlah retweet, reply, dan favorite. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
120
100
80
60
40
20
0
favorite
reply
Kategori 1
Kategori 3
retweet
Kategori 2
Gambar 3. Persentase respons netizen terhadap tweet @KemenDesa dari 20 Oktober 2014 31 Juni 2017
Secara keseluruhan, terdapat 4529 tweet yang diposting akun @KemenDesa dalam
kurun waktu yang disebutkan di atas. Dari jumlah tweet tersebut kemudian dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tweet kategori 1, di mana di dalamnya berisi foto
kegiatan, tweet kategori 2 yang di dalamnya mengandung tautan berita baik dari website
institusi sendiri maupun berita dari media online lainnya. Tweet kategori 1 mendapat favorite,
reply, dan retweet masing-masing sebanyak 1296, 843, dan 1398 kali. Sedangkan tweet
kategori 2 difavoritkan 834 kali, mendapat balasan 521 kali, dan di retweet 1009 kali. Untuk
tweet yang kami kategorikan sebagai kategori 3 sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi
beberapa kategori, karena di dalamnya ada yang berupa kultwit dan tweet informasi.
8
Dalam jangka waktu yang sama, akun @Kemendesa mendapat sebanyak 9253 tweet
dari netizen yang ditujukan ke akun tersebut dengan cara mereply langsung dan atau
memention akun @DemenDesa. Dari tweet yang ditujukan oleh netizen tersebut beberapa kata
populernya dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
Gambar 4. Wordcloud dari tweet yang memention akun @KemenDesa dari 20 Oktober 2014
sampai 30 Juni 2017
Dari gambar 4 diketahui bahwa kata desa cukup mendominasi, disusul dengan kata
“dana”, “pendamping” dan “mohon”. Kata “mohon” cukup banyak di gunakan umumnya
untuk meminta informasi tentang hal yang berikatan dengan dana, pendamping desa dan
program Kemendesa lainnya seperti dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan data tweet yang
ditujukan kepada akun @KemenDesa tersebut selanjutnya dapat dibangun sebuah topik atau
isu berdasarkan kata-kata yang memiliki keterkaitan atau berasosiasi satu sama lain. Secara
sederhana hal tersebut misalnya dapat menggunakan packages “topicmodels” dalam Rstudio.
Tabel 2. Asosiasi kata "mohon" dalam tweet yang ditujukan pada akun @KemenDesa
Dengan menggunakan alat yang ada, data data dari media sosial dapat dieksplorasi lebih
dalam dan dimanfaatkan sebagai data penunjang pembuat kebijakan. Dalam konteks ini, kita
dapat melihat bahwa pengguna twitter dapat memberikan respons yang terkait isu atau topik
9
yang disampaikan oleh akun @KemenDesa melalui twitter dengan kata populer yang kurang
lebih sama seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Frekuensi lima belas kata yang paling sering digunakan untuk memention akun
@KemenDesa dari 20 Oktober 2014 sampai 30 Juni 2017
4.2 Pembahasan
Media sosial seperti dikatakan oleh Bakshy (2011) membuat semua orang bisa menjadi
influencer. Dalam konteks ini, bahkan pemerintah Indonesia melalui kementerian PAN-RB
memiliki sebuah undang-undang khusus yang difungsikan sebagai pedoman lembaga
pemerintah untuk memanfaatkan media sosial. Secara umum, media sosial memang dapat
digunakan sebagai salah satu media komunikasi dan karena itu pula aktivitas lembaga
pemerintahan yang diposting di media sosial dapat meningkatkan transparansi. Namun
berdasarkan kajian yang kami lakukan, media sosial juga dapat dimanfaatkan dalam proses
pembuatan kebijakan, khususnya ini tahap agenda setting dan sangat mungkin juga untuk tahap
selanjutnya.
10
Hal ini terbukti dengan adanya respons dan juga topik yang dapat diekstrak dari data
yang diambil dari media sosial twitter. Sebagaimana diketahui, dalam sampel data yang
digunakan baik topik yang diambil dari akun @KemenDesa maupun topik yang di ambil dari
tweet sebagai responsnya memiliki kemiripan. Hal ini sejalan dengan tujuan agenda setting di
mana organisasi publik harus mengetahui apa yang dibutuhkan oleh publik sementara di sisi
lain, publik juga mencoba untuk memberikan masukkan terkait dengan apa yang
dibutuhkannya.
Terkait dengan hal tersebut, dari kajian yang dilakukan dapat diketahui bahwa publik
banyak membutuhkan informasi terkait dengan kegiatan atau kebijakan yang dilaksanakan
oleh organisasi publik terkait. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan kata “mohon” yang
berkorelasi dengan kata seperti “info”, “infonya”, “informasi”, “pendamping”, dan “petunjuk”.
Topik seperti itu dapat menjadi salah satu petunjuk bagi sebuah organisasi publik untuk
membuat sebuah kebijakan. Misalnya, terkait dengan pemberian informasi tentang sebuah
kegiatan melalui berbagai media.
Sebagaimana dikatakan oleh Höchtl et al., (2016) bahwa media sosial bisa menjadi
salah satu media alternatif dalam agenda setting, di mana pada umumnya diperankan oleh
media konvensional. Namun kelebihan yang didapat dengan menggunakan data dari media
sosial adalah sifatnya yang terbuka dan bisa menjamin semua orang ikut berpartisipasi. Dalam
konteks ini, walaupun data dari media sosial juga masih memiliki pertanyaan besar terkait
representasinya, tapi setidaknya hal ini bisa menjadi early warning system bagi organisasi
publik yang bisa didapat dari ruang publik online dengan cepat.
4. Simpulan
Tujuan utama artikel ini adalah untuk mengetahui apa yang bisa dilakukan dan di dapat
dari media sosial dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dari kajian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa media sosial twitter dapat dijadikan sebagai salah satu media komunikasi
dua arah. Pertama, publik dapat mengetahui informasi terkait dengan kebijakan organisasi atau
dalam konteks ini kementerian pemilik akun twitter @KemenDesa. Kedua, organisasi publik
bisa mendapat informasi terkait apa yang dibutuhkan oleh publik yang berhubungan dengan
lembaganya. Selain itu, media sosial twitter juga bisa menjadi sumber data yang dapat
dimanfaatkan dalam proses penyusunan agenda kebijakan. Data ini berupa data tidak
terstruktur yang diyakini lebih murah dan mudah untuk didapatkan. Dengan menggunakan
pendekatan yang tepat, data tersebut dapat diubah menjadi data yang berharga dan layak
dipertimbangkan sebagai dimensi baru dalam proses pembuatan kebijakan di masa depan.
11
5. Keterbatasan dan penelitian lanjutan
Penelitian ini hanya menggunakan satu sampel sumber data yaitu twitter dari dan ke
akun @KemenDesa sehingga masih membutuhkan konfirmasi dari data yang bersumber dari
akun lain dan media sosial serta sumber teks online lainnya. Namun walaupun demikian, artikel
ini setidaknya telah menunjukkan apa yang bisa dilakukan dan didapat untuk kasus yang
spesifik dari sebuah organisasi publik. Selain itu juga bisa menjadi masukan bagi organisasi
publik untuk mendapatkan feedback dari masyarakat dalam rangka membuat kebijakan yang
lebih akuntabel dan deliberatif.
Penelitian tentang sentimen publik di media sosial menjadi salah satu penelitian yang
dapat dilakukan di masa depan. Hal ini kemudian juga bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat
penerimaan masyarakat terkait sebuah kebijakan spesifik atau juga terkait dengan kinerja
sebuah organisasi publik tertentu. Penelitian yang lebih mendalam untuk mengeksplorasi data
tidak terstruktur yang bersumber dari media online juga tentu masih harus dilakukan untuk
mengetahui manfaatnya dalam setiap tahap siklus kebijakan yang ada atau digunakan di sebuah
sistem pemerintahan. Pemanfaatan data twitter sendiri bisa dikaji lebih jauh dengan
mengumpulkan data yang di bagikan melalui twitter untuk lebih mendalami tentang apa yang
sebenarnya ingin disampaikan.
Referensi
Bakshy, E., Hofman, J., Mason, W., & Watts, D. (2011). Everyone’s an influencer: quantifying
influence on twitter. Proceedings of the Fourth ACM International Conference on Web
Search
and
Data
Mining
SE
-
WSDM
’11,
65–74.
https://doi.org/doi:
10.1145/1935826.1935845
Bertot, J. C., Jaeger, P. T., & Grimes, J. M. (2012). Promoting transparency and accountability
through ICTs, social media, and collaborative e-government. Transforming Government:
People, Process and Policy, 8(2), 283–308. https://doi.org/doi:10.1108/TG-08-20130026
Bertot, J. C., Jaeger, P. T., & Hansen, D. (2012). The impact of polices on government social
media usage: Issues, challenges, and recommendations. Government Information
Quarterly, 29(1), 30–40. https://doi.org/10.1016/j.giq.2011.04.004
Braun, L. (2012). Social Media and Public Opinion. Univesitat De Valencia. Retrieved from
http://mural.uv.es/lubraun/Social-Media-and-Public-Opinion_LucasBraun_2012.pdf
Chen, P. J. (2013). Social media. In Australian Politics in a Digital Age. Canbera: ANU E
Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctt2jbkkn.11%0AJSTOR
12
Costa, E., Haynes, N., Mcdonald, T., Sinanan, J., Spyer, J., Venkatraman, S., & Wang, X.
(2016a). Academic studies of social media Book. In How the World Changed Social
Media. UCL Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z35.9
Costa, E., Haynes, N., Mcdonald, T., Sinanan, J., Spyer, J., Venkatraman, S., & Wang, X.
(2016b). What is social media? In How the World Changed Social Media (pp. 0–8). UCL
Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z35.8%0AJSTOR
Dahlgren, P. (2012). Public Intellectuals, Online Media, and Public Spheres: Current
Realignments. International Journal of Politics, Culture, and Society, 25(4), 301–318.
https://doi.org/10.1007/s
Dahlgren, P. (2013). The Political Web: Media, Participation and Alternative Democracy.
Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Geremia, R. J. (1978). Public Affairs and Policy Impact. Southern Review of Public
Administration, 2(2), 208–220.
Habermas, J. (1991). The Structural Transformatin of the Public Sphere. Massachusetts: MIT
Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hasibuan, N. (2015). Jumlah Pengguna Twitter di Indonesia Akhirnya Terungkap. Retrieved
July 19, 2017, from http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150326141025-18542076/jumlah-pengguna-twitter-di-indonesia-akhirnya-terungkap/
Höchtl, J., Parycek, P., & Schöllhammer, R. (2016). Big data in the policy cycle: Policy
decision making in the digital era. Journal of Organizational Computing and Electronic
Commerce, 26(1–2), 147–169. https://doi.org/10.1080/10919392.2015.1125187
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). Users of the world, unite! The challenges and
opportunities
of
Social
Media.
Business
Horizons,
53(1),
59–68.
https://doi.org/10.1016/j.bushor.2009.09.003
Kemenpan-rb. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial
Instansi Pemerintah, Pub. L. No. 83 (2012). Indonesia.
Kurniawan, J. (2016). Transformasi Partisipasi Publik dalam Perumusan Kebijakan di Era.
Retrieved July 31, 2017, from http://setkab.go.id/transformasi-partisipasi-publik-dalamperumusan-kebijakan-di-era-reformasi/
Levasseur, D. G., & Carlin, D. B. (2001). Egocentric Argument and the Public Sphere: Citizen
Deliberations on Public Policy and Policymakers. Rhetoric and Public Affairs, 4(3), 407–
431. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41940589
McIvor, R., McHugh, M., & Caden, C. (2002). Internet technologies: supporting transparency
13
in the public sector. International Journal of Public Sector Management, 15(3), 170–187.
https://doi.org/10.1108/09574090910954864
Sideri, M., Filippopoulou, A., Rouvalis, G., Kalloniatis, C., & Gritzalis, S. (2017). Social
Media Use for Decision Making Process in Educational Settings: The Greek Case for
Leadership’s Views and Attitude in Secondary and Tertiary Education. In Proceedings of
the 50th Hawaii International Conference on System Science (HICSS-50).
https://doi.org/http://hdl.handle.net/10125/41503
Widiartanto, Y. H. (2016). 2016, Pengguna Internet di Indonesia Capai 132 Juta. Kompas.com,
1.
Retrieved
from
http://tekno.kompas.com/read/2016/10/24/15064727/2016.pengguna.internet.di.indonesi
a.capai.132.juta
14
(Studi kasus penggunaan Twitter di Indonesia)
Ujang Fahmi1, Canggih Puspo Wibowo2
Abstrak
Ruang publik memberikan kesempatan kepada publik atau dalam hal ini masyarakat
untuk dapat terlibat dalam pengelolaan sebuah negara. Dalam konteks kebijakan, ruang publik
juga penting agar kebijakan tidaknya hanya bersifat top-down, tapi juga bottom-up. Jika di
masa lampau ruang publik ada di tempat di mana orang bisa berkumpul dan mendiskusikan
masalah politik dan atau kebijakan seperti kafe, atau tempat lain sejenisnya, saat ini ada yang
disebut ruang maya. Ruang ini hadir berkat kemajuan dibidang teknologi internet, yang
kemudian disusul dengan hadirnya berbagasi media sosial. Melalui sosial media ini publik bisa
melakukan apa yang dahulu dilakukan di kafe dan sejenisnya untuk mendiskusikan jalannya
roda pemerintahan. Sementara pembuatan kebijakan publik membutuhkan sarana dan
prasarana, misalnya untuk menyampaikan atau mensosialisasikan kebijakan, mendapat
feedback dari masyarakat, dan juga membutuhkan data. Persinggungan antara proses
pembuatan kebijakan publik dengan kehadiran media sosial inilah yang kemudian akan dibahas
dalam tulisan ini. Dengan mengacu pada siklus kebijakan (policy cycle) peluang pemanfaatan
internat yang dalam hal ini difokuskan pada media sosial Twitter sebagai salah satu ruang
publik online dalam proses pembuatan kebijakan dapat diidentifikasi dan disimpulkan dalam
artikel ini.
Katakunci: ruang publik, ruang publik online, pembuatan kebijakan, media sosial
1. Pendahuluan
Membangun transparansi dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan menjadi salah
satu isu utama yang dihadapi bukan hanya oleh pemerintah Indonesia, tapi juga hampir seluruh
negara di dunia. Di masa lampau partisipasi masyarakat umum atau kemudian disebut publik
dalam proses pembuatan kebijakan tercipta melalui ruang publik. Mengacu pada definisi yang
diberikan Habermas, ruang publik adalah sebuah ruang di antara state dan citizens yang berisi
individu-individu yang saling mendiskusikan isu-isu yang ada dilingkungannya (Habermas,
1991). Lebih jauh lagi, Habermas (1991) mengungkapkan beberapa karakteristik ruang publik,
yaitu: (1) Akses yang mudah terhadap informasi; (2) Tidak ada perlakuan istimewa (privilege)
terhadap peserta diskusi (partisipan); (3) Peserta/partisipan mengemukakan alasan rasional
dalam berdiskusi.
Sistem yang demokratis membutuhkan ruang publik yang sehat (Levasseur & Carlin,
1
Mahasiswa S2 Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada,
ujang.fahmi@mail.ugm.ac.id
2
Mentor di Sagasitas Journal & Research Center, Yogyakarta, cangcappo@gmail.com
1
2001). Di mana salah satu indikasi sehat atau tidaknya ruang publik adalah keterpenuhan tiga
kriteria yang disebutkan sebelumnya. Dalam konteks ini, di era modern di mana dunia sudah
jauh berubah dari apa yang dilukiskan Habermas tentang ruang publik, saat ini muncul internet
yang memfasilitasi media sosial. Media sosial inilah yang kemudian di anggap sebagai salah
satu bentuk ruang publik alternatif dengan karakteristik yang kurang lebih sama, di mana setiap
orang yang ada di dalamnya memiliki hak dan kesempatan yang sama.
Untuk itu pula kemudian banyak pembahasan yang dilakukan oleh akademisi tentang
media sosial yang juga diketahui memiliki pengaruh dalam kehidupan nyata. Pengaruh media
sosial dapat dilihat mulai dari pemanfaatannya untuk kampanye hingga media komunikasi
yang memungkinkan terjadinya revolusi melati di beberapa negara di Afrika Utara. Di sektor
publik, media sosial juga sering digunakan sebagai media komunikasi (Bertot, Jaeger, &
Hansen, 2012), sebagai upaya meningkatkan transparansi (Bertot, Jaeger, & Grimes, 2012),
dan bahkan sudah ada yang menggunakannya untuk membuat keputusan dalam sektor tertentu
(lihat Sideri, Filippopoulou, Rouvalis, Kalloniatis, & Gritzalis, 2017).
Di antara sekian banyak media sosial yang ada saat ini Facebook dan Twitter
merupakan yang paling banyak digunakan sekaligus juga paling banyak dikaji. Hal ini dilatari
oleh adanya opini publik dalam media tersebut. Terkait dengan opini publik, atau Dahlgren
(2012, 2013) mengistilahkannya sebagai public intelectual, Geremia (1978) mengatakan
bahwa hanya pemerintahan yang paranoid saja yang tidak memperlakukan publik sebagai aset
yang berharga dalam pembangunan dan pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menggalakkan penggunaan
sosial media bagi seluruh instansi pemerintah baik pusat dan daerah sebagai wadah komunikasi
antara pemerintah dengan masyarakat (Kurniawan, 2016).
Selagi masih terdapat perdebatan dalam pendefinisian internet sebagai ruang publik,
online public sphere dianggap sebagai sebuah istilah perantara hingga pendefinisian dapat
dilakukan (Dahlgren, 2012). Hal ini kemudian diperkuat dengan fakta bahwa penggunaan
internet dan media sosial terus meningkat di berbagai negara termasuk di Indonesia. Survei
yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap
bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia (132 juta jiwa) kini telah terhubung ke internet
(Widiartanto, 2016). Pengguna media sosial berbanding lurus dengan pertumbuhan pengguna
internet, di mana khusus pengguna Twiter, CEO Twitter Dick Costolo, pada tahun 2015
jumlah pengguna Twitter di Indonesia ada 50 juta (Hasibuan, 2015).
Berdasarkan ulasan dan juga fakta di atas maka artikel ini bertujuan untuk membahas
bagaimana praktik penggunaan media sosial serta kemungkinannya sebagai dimensi baru
2
dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia. Sejauh ini persinggungan antara media sosial
dengan proses pembuatan kebijakan di Indonesia belum banyak dibahas. Padahal, hampir
semua kementerian yang ada sudah memiliki akun media sosial resmi dan sudah terverifikasi.
Untuk itu pula artikel ini juga bertujuan untuk mencari bukti tentang kemungkinan penggunaan
media sosial dalam proses pembuatan kebijakan. Secara spesifik, artikel ini akan mengkaji apa
yang bisa dilakukan dan didapat dari media sosial Twitter dalam siklus pembuatan kebijakan
atau policy cycle.
Pembahasan akan dimulai dengan melakukan observasi pada akun media sosial yang
dimiliki oleh beberapa kementerian dan mengidentifikasi potensi apa saja yang dapat
digunakan dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih akuntabel dan delibratif. Hal ini
dilakukan guna meningkatkan transparansi dan pelibatan masyarakat dalam pembuatan
kebijakan di Indonesia di mana di internet dianggap dapat mendukung untuk melakukannya
(McIvor, McHugh, & Caden, 2002). Bahkan McIvor, dkk (2002) lebih jauh mengatakan bahwa
organisasi sektor publik yang tidak dapat menggunakan teknologi dengan tepat akan terus
memiliki
masalah
dalam
hal
efisiensi,
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat
dan
penganggarannya.
2. Pendekatan penelitian
Secara
metodologis,
artikel
ini
berdasar
pendekatan
interdisiplin
yang
mengombinasikan pendekatan kebijakan publik dan data science. Tujuannya adalah agar
persinggungan antara media sosial dan atau secara spesifik yang dibahas dalam artikel ini
adalah Twitter dengan proses pembuatan kebijakan publik dapat diidentifikasi, di mana pada
umumnya masing-masing teori berjalan sendiri atau terisolasi. Data yang digunakan adalah
data dari Twitter yang diambil berdasarkan beberapa metode sampling di media sosial, yaitu
berdasarkan akun, berdasarkan mention, serta berdasarkan hashtag/tagar dan atau kata tertentu
yang merepresentasikan sebuah kebijakan. Data tersebut kemudian digunakan untuk mencari
peluang pemanfaatannya dalam siklus kebijakan.
3. Kajian Pustaka
3.1 Media Sosial
Media sosial lahir sebagai konsekuensi logis dari perkembangan internet dan khususnya
web 2.0. Namun walaupun demikian tidak satu definisi umum yang dapat diterima oleh semua
kalangan. Media sosial identik dengan platform seperti Facebook dan Twitter. Hal tersebut
tidak sepenuhnya salah namun juga tidak sepenuhnya benar karena di luar dua media sosial
3
tersebut masih ada banyak platform seperti Youtube, Blog, dan lain sebagainya (Costa et al.,
2016b). Misalnya, Kasun Ubayasiri (2006) dalam Chen (2013) mengatakan bahwa platform
Youtube dengan fasilitas kolom komentar dapat menjadi tempat mensosialisasikan dan
berinteraksi sama seperti dua media sosial yang disebut di awal.
Terlepas dari definisinya yang masih banyak diperdebatkan, media sosial memiliki ciri
utama yang juga sering dianggap sebagai definisinya, yaitu sebuah platform yang memfasilitasi
pertukaran informasi antar penggunanya (Kaplan & Haenlein, 2010). Untuk itu pula kemudian
sosial media dianggap menampung opini publik yang dapat dijadikan sebagai objek studi
akademis (Costa et al., 2016a). Studi pada umumnya dilakukan dari sudut pandang ilmu
komunikasi dan teknologi informasi. Namun studi tentang media sosial terus berkembang
termasuk dalam bidang kebijakan publik.
Sebagai contoh, Twitter sebagai platform microblogging memungkinkan penggunanya
untuk membagikan informasi dan juga menganalisis sentimen publik terhadap sebuah produk.
Dalam konteks ini, produk organisasi publik yaitu pelayanan dianggap dapat dikaji dari
kalimat-kalimat yang dituangkan pengguna Twitter yang selanjutnya disebut tweet. Tweet
inilah dianggap sebagai opini publik atau dalam istilah lain juga disebut sebagai public sphere
atau ruang publik (Braun, 2012).
Opini publik ini selanjutnya dikaji secara mendalam dan memunculkan istilah yang
kemudian disebut text mining. Text mining inilah yang kemudian juga akan dilakukan penulis
dalam artikel ini baik sebagai media komunikasi. Di mana pada umumnya organisasi publik
menggunakan media sosial sebagai media komunikasi yang menghubungkannya dengan orang
yang mereka layani. Selain itu media sosial, juga dapat menjadi tempat bagi penerima
kebijakan atau layanan untuk dapat menilai secara langsung kualitas pelayanan yang mereka
dapatkan. Selain itu, secara umum media sosial juga memiliki potensi untuk membuat publik
lebih dapat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
3.2 Policy Cycle dan e-Policy Cycle
Konsep siklus kebijakan atau policy cycle merupakan konsep umum yang
mengilustrasikan proses pembuatan kebijakan publik (Höchtl, Parycek, & Schöllhammer,
2016). Pada umumnya terdapat tujuh tahap utama, di mulai dari agenda setting untuk
mengidentifikasi masalah dan di akhiri dengan evaluasi kebijakan. Masing-masing tahapan
terkait satu sama lain dan saling memengaruhi. Konsep siklus kebijakan dibuat untuk
memudahkan pembuat kebijakan dalam membuat sebuah keputusan publik, di mana dalam
4
kondisi ideal sebuah kebijakan seharusnya merepresentasikan kebutuhan publiknya. Namun
dalam realitas, pembuatan kebijakan merupakan sebuah proses yang sangat kompleks.
Tidak heran jika kemudian konsep siklus kebijakan pun mendapat banyak kritik.
Everett (2003) seperti dikutip oleh Höchtl, et.al (2016) mengatakan bahwa kebijakan terlalu
menekankan pada proses dibanding pada kualitas dan kinerja kebijakan. Untuk itu pula
kemudian Höchtl, et.al (2016) mengenalkan dan mengusulkan untuk melakukan revisi
terhadap siklus kebijakan dan mengaitkannya dengan big data. Menurut Höchtl, et.al (2016)
keberadaan internet dan berbagai media berbasis web 2.0, seperti media sosial di mana publik
dapat secara langsung menyampaikan opininya dapat dimanfaatkan dalam seluruh tahapan
siklus kebijakan. Konsep e-policy cycle seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Perbandingan Policy Cycle dengan e-Policy Cycle
Konsep utama dari e-policy cycle adalah menggunakan data yang bisa dapat dari
internet dari berbagai platform termasuk di media sosial dalam proses pembuatan kebijakan
publik. Perbedaan utamanya adalah penghilangan elemen evaluasi yang umumnya pada siklus
kebijakan konvensional di lakukan di akhir setelah proses lainnya selesai. Namun dalam epolicy cycle, evaluasi dapat dilakukan untuk masing-masing tahap secara terus menerus.
Sehingga selain sebagai media komunikasi media sosial juga dapat menjadi sumber data.
Dalam konteks Indonesia, pemanfaatan media sosial sebenarnya sudah diatur dalam
Peraturan Menteri PAN dan RB No. 83 tahun 2012. Di mana di sana disebutkan bahwa manfaat
media sosial, antara lain, adalah: (1) menyebarluaskan informasi pemerintah agar menjangkau
masyarakat; (2) membangun peran aparatur negara dan masyarakat melalui media sosial; (3)
menyosialisasikan strategi dan tujuan pembangunan di masa depan; 4. membangun interaksi
antara pemerintah dan masyarakat; (5) meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat
5
terhadap kebijakan dan program pemerintah; (6) menggali aspirasi, opini, dan masukan
masyarakat terhadap kebijakan dan program pemerintah (Kemenpan-rb, 2012).
Twtter atau media sosial microblogging pada umumnya menampung banyak hal
termasuk opini penggunanya. Dalam hal ini opini yang berupa teks tersebut merupakan data
tidak terstruktur yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Höchtl, et.al
(2016) secara khusus menggaris bawahi bawah media sosial dapat digunakan untuk melihat
apa yang bicarakan publik, dan apa yang menjadi preferensinya. Dalam konteks ini, setidaknya
data dari Twitter dapat dimanfaatkan dalam tahapan agenda setting, policy discussion dan
policy acceptance (Höchtl et al., 2016). Dalam artikel ini kami akan mengkaji untuk salah satu
di antaranya, yaitu untuk tahap agenda setting.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
Dari 4529 tweet yang diambil dari timeline akun @kemendesa dalam kurun waktu 20
Oktober 2014 sampai 31 Juni 2017 penulis selanjutnya mengekstraknya untuk mengetahui data
apa saja yang ada di dalamnya. Hal pertama yang didapatkan adalah kata apa saja yang paling
muncul dalam tweet yang diposting akun tersebut. Kata-kata tersebut dapat dilihat pada gambar
1 dan 2 di bawah ini. Namun sebelum memunculkan kata tersebut terlebih dahulu dilakukan
cleaning, yaitu menghilangkan kata yang dianggap tidak relevan. Kata yang dihilangkan adalah
kata sambung atau stopwords dan juga beberapa kata lain seperti: tdk, yg, utk, desa, selamat,
pagi, terimakasih dan beberapa kata lainnya.
6
Gambar 2. Kata-kata yang paling sering muncul dalam tweet yang diposting akun
@KemenDesa dari tanggal ... sampai ...
Dari kata-kata tersebut selanjutnya penulis mencoba untuk membangun topik yang
kemungkinan dapat dikembangkan dari setiap tweet yang disampaikan melalui akun tersebut.
Di mana kata desa, menteri, dan dana merupakan beberapa kata yang cukup mendominasi
dengan frekuensi kemunculannya lebih dari 300 kali dalam dokumen yang dijadikan sampel
dengan cara mencari asosiasinya dengan kata lain. Di sini didapat bahwa kata “desa”
berasosiasi dengan kata “dana” dan “pendamping” sebanyak 0.33 dan 0.28. Sedangkan kata
“menteri” berasosiasi sebesar 0.28 dengan “marwan”. Kata “dana” berasosiasi dengan kata
“desa” dan “penggunaan”. Untuk kata pembangunan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Asosiasi kata "pembangunan" dalam timeline akun @KemenDesa
Dengan melakukan pengecekan asosiasi kata tersebut kita dapat mengetahui bahwa
berdasarkan beberapa kata yang paling sering muncul bisa merepresentasikan topik apa yang
dibahas atau disampaikan oleh pihak terkait. Dalam konteks ini akun @KemenDesa banyak
memberikan penjelasan tentang dana desa, dan pendamping desa. Selain itu, menteri
7
kementerian terkait merupakan kata populer dan sering disampaikan melalui Twitter. Terkait
dengan dana desa isu tentang penggunaannya juga sering disampaikan atau menjadi topik yang
disampaikan melalui Twitter. Sedangkan terkait pembangunan, kita juga dapat mengetahui
bahwa kata pembangunan berasosiasi dengan percepatan, dan beberapa kata lainnya yang dapat
dipahami sebagai kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Kata tersebut di
antaranya adalah infrastruktur dan irigasi.
Untuk melihat respons masyarakat atau dalam konteks ini lebih sering disebut sebagai
netizens, selanjutnya kami mencoba untuk membuat kategori tweet yang disampaikan berserta
dengan jumlah retweet, reply, dan favorite. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
120
100
80
60
40
20
0
favorite
reply
Kategori 1
Kategori 3
retweet
Kategori 2
Gambar 3. Persentase respons netizen terhadap tweet @KemenDesa dari 20 Oktober 2014 31 Juni 2017
Secara keseluruhan, terdapat 4529 tweet yang diposting akun @KemenDesa dalam
kurun waktu yang disebutkan di atas. Dari jumlah tweet tersebut kemudian dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tweet kategori 1, di mana di dalamnya berisi foto
kegiatan, tweet kategori 2 yang di dalamnya mengandung tautan berita baik dari website
institusi sendiri maupun berita dari media online lainnya. Tweet kategori 1 mendapat favorite,
reply, dan retweet masing-masing sebanyak 1296, 843, dan 1398 kali. Sedangkan tweet
kategori 2 difavoritkan 834 kali, mendapat balasan 521 kali, dan di retweet 1009 kali. Untuk
tweet yang kami kategorikan sebagai kategori 3 sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi
beberapa kategori, karena di dalamnya ada yang berupa kultwit dan tweet informasi.
8
Dalam jangka waktu yang sama, akun @Kemendesa mendapat sebanyak 9253 tweet
dari netizen yang ditujukan ke akun tersebut dengan cara mereply langsung dan atau
memention akun @DemenDesa. Dari tweet yang ditujukan oleh netizen tersebut beberapa kata
populernya dapat dilihat pada gambar 4 berikut.
Gambar 4. Wordcloud dari tweet yang memention akun @KemenDesa dari 20 Oktober 2014
sampai 30 Juni 2017
Dari gambar 4 diketahui bahwa kata desa cukup mendominasi, disusul dengan kata
“dana”, “pendamping” dan “mohon”. Kata “mohon” cukup banyak di gunakan umumnya
untuk meminta informasi tentang hal yang berikatan dengan dana, pendamping desa dan
program Kemendesa lainnya seperti dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan data tweet yang
ditujukan kepada akun @KemenDesa tersebut selanjutnya dapat dibangun sebuah topik atau
isu berdasarkan kata-kata yang memiliki keterkaitan atau berasosiasi satu sama lain. Secara
sederhana hal tersebut misalnya dapat menggunakan packages “topicmodels” dalam Rstudio.
Tabel 2. Asosiasi kata "mohon" dalam tweet yang ditujukan pada akun @KemenDesa
Dengan menggunakan alat yang ada, data data dari media sosial dapat dieksplorasi lebih
dalam dan dimanfaatkan sebagai data penunjang pembuat kebijakan. Dalam konteks ini, kita
dapat melihat bahwa pengguna twitter dapat memberikan respons yang terkait isu atau topik
9
yang disampaikan oleh akun @KemenDesa melalui twitter dengan kata populer yang kurang
lebih sama seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Frekuensi lima belas kata yang paling sering digunakan untuk memention akun
@KemenDesa dari 20 Oktober 2014 sampai 30 Juni 2017
4.2 Pembahasan
Media sosial seperti dikatakan oleh Bakshy (2011) membuat semua orang bisa menjadi
influencer. Dalam konteks ini, bahkan pemerintah Indonesia melalui kementerian PAN-RB
memiliki sebuah undang-undang khusus yang difungsikan sebagai pedoman lembaga
pemerintah untuk memanfaatkan media sosial. Secara umum, media sosial memang dapat
digunakan sebagai salah satu media komunikasi dan karena itu pula aktivitas lembaga
pemerintahan yang diposting di media sosial dapat meningkatkan transparansi. Namun
berdasarkan kajian yang kami lakukan, media sosial juga dapat dimanfaatkan dalam proses
pembuatan kebijakan, khususnya ini tahap agenda setting dan sangat mungkin juga untuk tahap
selanjutnya.
10
Hal ini terbukti dengan adanya respons dan juga topik yang dapat diekstrak dari data
yang diambil dari media sosial twitter. Sebagaimana diketahui, dalam sampel data yang
digunakan baik topik yang diambil dari akun @KemenDesa maupun topik yang di ambil dari
tweet sebagai responsnya memiliki kemiripan. Hal ini sejalan dengan tujuan agenda setting di
mana organisasi publik harus mengetahui apa yang dibutuhkan oleh publik sementara di sisi
lain, publik juga mencoba untuk memberikan masukkan terkait dengan apa yang
dibutuhkannya.
Terkait dengan hal tersebut, dari kajian yang dilakukan dapat diketahui bahwa publik
banyak membutuhkan informasi terkait dengan kegiatan atau kebijakan yang dilaksanakan
oleh organisasi publik terkait. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan kata “mohon” yang
berkorelasi dengan kata seperti “info”, “infonya”, “informasi”, “pendamping”, dan “petunjuk”.
Topik seperti itu dapat menjadi salah satu petunjuk bagi sebuah organisasi publik untuk
membuat sebuah kebijakan. Misalnya, terkait dengan pemberian informasi tentang sebuah
kegiatan melalui berbagai media.
Sebagaimana dikatakan oleh Höchtl et al., (2016) bahwa media sosial bisa menjadi
salah satu media alternatif dalam agenda setting, di mana pada umumnya diperankan oleh
media konvensional. Namun kelebihan yang didapat dengan menggunakan data dari media
sosial adalah sifatnya yang terbuka dan bisa menjamin semua orang ikut berpartisipasi. Dalam
konteks ini, walaupun data dari media sosial juga masih memiliki pertanyaan besar terkait
representasinya, tapi setidaknya hal ini bisa menjadi early warning system bagi organisasi
publik yang bisa didapat dari ruang publik online dengan cepat.
4. Simpulan
Tujuan utama artikel ini adalah untuk mengetahui apa yang bisa dilakukan dan di dapat
dari media sosial dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dari kajian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa media sosial twitter dapat dijadikan sebagai salah satu media komunikasi
dua arah. Pertama, publik dapat mengetahui informasi terkait dengan kebijakan organisasi atau
dalam konteks ini kementerian pemilik akun twitter @KemenDesa. Kedua, organisasi publik
bisa mendapat informasi terkait apa yang dibutuhkan oleh publik yang berhubungan dengan
lembaganya. Selain itu, media sosial twitter juga bisa menjadi sumber data yang dapat
dimanfaatkan dalam proses penyusunan agenda kebijakan. Data ini berupa data tidak
terstruktur yang diyakini lebih murah dan mudah untuk didapatkan. Dengan menggunakan
pendekatan yang tepat, data tersebut dapat diubah menjadi data yang berharga dan layak
dipertimbangkan sebagai dimensi baru dalam proses pembuatan kebijakan di masa depan.
11
5. Keterbatasan dan penelitian lanjutan
Penelitian ini hanya menggunakan satu sampel sumber data yaitu twitter dari dan ke
akun @KemenDesa sehingga masih membutuhkan konfirmasi dari data yang bersumber dari
akun lain dan media sosial serta sumber teks online lainnya. Namun walaupun demikian, artikel
ini setidaknya telah menunjukkan apa yang bisa dilakukan dan didapat untuk kasus yang
spesifik dari sebuah organisasi publik. Selain itu juga bisa menjadi masukan bagi organisasi
publik untuk mendapatkan feedback dari masyarakat dalam rangka membuat kebijakan yang
lebih akuntabel dan deliberatif.
Penelitian tentang sentimen publik di media sosial menjadi salah satu penelitian yang
dapat dilakukan di masa depan. Hal ini kemudian juga bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat
penerimaan masyarakat terkait sebuah kebijakan spesifik atau juga terkait dengan kinerja
sebuah organisasi publik tertentu. Penelitian yang lebih mendalam untuk mengeksplorasi data
tidak terstruktur yang bersumber dari media online juga tentu masih harus dilakukan untuk
mengetahui manfaatnya dalam setiap tahap siklus kebijakan yang ada atau digunakan di sebuah
sistem pemerintahan. Pemanfaatan data twitter sendiri bisa dikaji lebih jauh dengan
mengumpulkan data yang di bagikan melalui twitter untuk lebih mendalami tentang apa yang
sebenarnya ingin disampaikan.
Referensi
Bakshy, E., Hofman, J., Mason, W., & Watts, D. (2011). Everyone’s an influencer: quantifying
influence on twitter. Proceedings of the Fourth ACM International Conference on Web
Search
and
Data
Mining
SE
-
WSDM
’11,
65–74.
https://doi.org/doi:
10.1145/1935826.1935845
Bertot, J. C., Jaeger, P. T., & Grimes, J. M. (2012). Promoting transparency and accountability
through ICTs, social media, and collaborative e-government. Transforming Government:
People, Process and Policy, 8(2), 283–308. https://doi.org/doi:10.1108/TG-08-20130026
Bertot, J. C., Jaeger, P. T., & Hansen, D. (2012). The impact of polices on government social
media usage: Issues, challenges, and recommendations. Government Information
Quarterly, 29(1), 30–40. https://doi.org/10.1016/j.giq.2011.04.004
Braun, L. (2012). Social Media and Public Opinion. Univesitat De Valencia. Retrieved from
http://mural.uv.es/lubraun/Social-Media-and-Public-Opinion_LucasBraun_2012.pdf
Chen, P. J. (2013). Social media. In Australian Politics in a Digital Age. Canbera: ANU E
Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctt2jbkkn.11%0AJSTOR
12
Costa, E., Haynes, N., Mcdonald, T., Sinanan, J., Spyer, J., Venkatraman, S., & Wang, X.
(2016a). Academic studies of social media Book. In How the World Changed Social
Media. UCL Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z35.9
Costa, E., Haynes, N., Mcdonald, T., Sinanan, J., Spyer, J., Venkatraman, S., & Wang, X.
(2016b). What is social media? In How the World Changed Social Media (pp. 0–8). UCL
Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z35.8%0AJSTOR
Dahlgren, P. (2012). Public Intellectuals, Online Media, and Public Spheres: Current
Realignments. International Journal of Politics, Culture, and Society, 25(4), 301–318.
https://doi.org/10.1007/s
Dahlgren, P. (2013). The Political Web: Media, Participation and Alternative Democracy.
Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Geremia, R. J. (1978). Public Affairs and Policy Impact. Southern Review of Public
Administration, 2(2), 208–220.
Habermas, J. (1991). The Structural Transformatin of the Public Sphere. Massachusetts: MIT
Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hasibuan, N. (2015). Jumlah Pengguna Twitter di Indonesia Akhirnya Terungkap. Retrieved
July 19, 2017, from http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150326141025-18542076/jumlah-pengguna-twitter-di-indonesia-akhirnya-terungkap/
Höchtl, J., Parycek, P., & Schöllhammer, R. (2016). Big data in the policy cycle: Policy
decision making in the digital era. Journal of Organizational Computing and Electronic
Commerce, 26(1–2), 147–169. https://doi.org/10.1080/10919392.2015.1125187
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). Users of the world, unite! The challenges and
opportunities
of
Social
Media.
Business
Horizons,
53(1),
59–68.
https://doi.org/10.1016/j.bushor.2009.09.003
Kemenpan-rb. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial
Instansi Pemerintah, Pub. L. No. 83 (2012). Indonesia.
Kurniawan, J. (2016). Transformasi Partisipasi Publik dalam Perumusan Kebijakan di Era.
Retrieved July 31, 2017, from http://setkab.go.id/transformasi-partisipasi-publik-dalamperumusan-kebijakan-di-era-reformasi/
Levasseur, D. G., & Carlin, D. B. (2001). Egocentric Argument and the Public Sphere: Citizen
Deliberations on Public Policy and Policymakers. Rhetoric and Public Affairs, 4(3), 407–
431. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41940589
McIvor, R., McHugh, M., & Caden, C. (2002). Internet technologies: supporting transparency
13
in the public sector. International Journal of Public Sector Management, 15(3), 170–187.
https://doi.org/10.1108/09574090910954864
Sideri, M., Filippopoulou, A., Rouvalis, G., Kalloniatis, C., & Gritzalis, S. (2017). Social
Media Use for Decision Making Process in Educational Settings: The Greek Case for
Leadership’s Views and Attitude in Secondary and Tertiary Education. In Proceedings of
the 50th Hawaii International Conference on System Science (HICSS-50).
https://doi.org/http://hdl.handle.net/10125/41503
Widiartanto, Y. H. (2016). 2016, Pengguna Internet di Indonesia Capai 132 Juta. Kompas.com,
1.
Retrieved
from
http://tekno.kompas.com/read/2016/10/24/15064727/2016.pengguna.internet.di.indonesi
a.capai.132.juta
14