2. IDENTITAS SOSIAL BAGI MASYARAKAT KARO DIASPORA 2.1. Pendahuluan. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta
2. IDENTITAS SOSIAL BAGI MASYARAKAT KARO DIASPORA 2.1. Pendahuluan.
Dalam bab ini penulis akan membahas teori identitas dan bagaimana proses pembentukan suatu identitas yang terjadi dalam masyarakat Karo diaspora di Yogyakarta. Menurut penulis, Teori identitas dapat membantu rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial di Yogyakarta terkhusus di jemaat GBKP Yogyakarta. Teori yang dimaksud ialah teori yang dikemukakan oleh Lee Freese dan Peter J. Burke serta akan dimasukkan beberapa teori identitas dari Peter J.Burke dan Jan Stets dari buku identity of theory.
Mereka mengembangkan teori tentang interaksi sosial dan hubungan aktor/person sebagai agen pembentuk identitas dalam suatu masyarakat. Di tambah lagi teori ini akan mengemukakan bagaimana proses pembentukan identitas yang ditandai dengan situasi sosial yang terhubung dengan konteks identitas (baca= dalam hal ini budaya Karo). Kemudian tidak hanya itu, teori ini akan mempertegas tentang sistem interaksi sosial yang didalamnya terdapat tanda, gerakan, simbol dan pikiran. Keempat hal tersebut yang diusung oleh Lee Freese dan Peter J. Burke sebagai sistem interaksi simbolik.
Teori yang dimaskud diatas ialah Person, Identity and Social Interaction. Penambahan tentang teori ini ialah bagi Freese dan Burke jalur untuk menghubungkan seseorang dengan suatu masyarakat ialah adanya sumber interaksi dan sistem sosial yang diatur dalam suatu tatanan bermasyarakat. Kemudian alasan penulis memilih teori ini dalam melihat peran rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial bagi masyarakat Karo diaspora terkhususnya Jemaat GBKP Yogyakarta ialah dikarenakan teori ini memiliki sistem interaksi simbolik yang di dalamnya ada peran individu sebagai pembentuk suatu identitas. Sistem interaksi simbolik itu tersebut diyakini akan mampu mengkaji bagaimana interaksi simultan yang dilakukan oleh rakut si telu dalam masyarakat Karo. Secara singkat rakut si telu ialah suatu sistem sosial dalam masyarakat suku Karo yang didalamnya terdapat kelompok-kelompok sosial seperti Kalimbubu,
Senina/Sembuyak, Anak Beru . Kelompok ini tersebut nantinya akan membentuk suatu sistem
interaksi dan sistem sosial yang dapat ditemui dalam suatu peradatan suku Karo dan kehidupan masyarakat Karo pada umumnya. Proses pembentukan identitas dalam rakut si telu ditentukan dalam peran dari tiap-tiap kelompok sosial yang terdapat di rakut si telu.
2.2. Definisi Identitas Sosial
Identitas yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu. Identitas itu kemudian menjadi suatu ciri khas yang ada di dalam diri manusia. Biasanya identitas selalu identikkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang melekat pada diri manusia. Seperti pekerjaan, agama, etnis, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penentuan sikap dan tindakan tiap individu ketika ingin melakukan interaksi dengan orang lain.Menurut Richard Jenskin dalam buku
“ social identity” cetakan ketiga bahwa identitas merupakan suatu hal yang berkaitan dengan perilaku seseorang.
Sehingga seseorang melakukan sesuatu berdasarkan identitas apa yang sedang melekat
1
dalam dirinya pada suatu konteks tertentu. Kemudian ditambahkan lagi bahwa identitas berkaitan dengan bagaimana pembagian/klasifikasi diri manusia yang dimana manusia diklasifikasikan sesuai dengan identitas yang melekat. Klasifikasi semacam ini kemudian bersifat hirarkis dan sesuai dengan interaksi sosial idividu tersebut. Misalnya satu individu diklasifikasikan sesuai dengan konteksnya dan individu selanjutnya diklasifikasikan dengan
2 konteksnya lainnya juga.
Hal ini berarti identitas dapat ditentukan melalui konteks yang mengikutinya. Richard Jenskin melihat identitas dalam suatu pengidentifikasian sosial berdasarkan hirarkis dan interaksi sosial suatu individu. Dengan melakukan pengindentifikasian berdasarkan pola interaksi, identitas akan muncul dalam diri seseorang. Berarti ada keterkaitan antara perilaku dan konteks sosial yang mengikutinya. Kemudian identitas juga tidak terlepaskan dengan motif berperilaku seseorang untuk melakukan sesuatu. Kemungkinan saja identitas bisa ditemukan atas kerterhubungan motif perilaku dengan sejauh mana pola interaksi yang sudah dibangun dari tiap- tiap individu.
Berarti Identitas adalah kemampuan manusia untuk mengenali tentang siapa dirinya dan diri orang lain atau kemampuan orang lain mengenali diri saya. Hal ini berarti ada suatu kemampuan dalam hal mengenal dan mengetahui dirinya dan orang lain. Hal ini yang inilah yang Richard Jenskin katakan sebagai pengindentifikasian ataupun klasifikasi diri manusia.
Sehingga dalam hal ini Jenskin mengatakan bahwa identitas sosial adalah identifikasi manusia, yang mana selalu berkaitan dengan apa keberadaan seseorang dengan orang lain beserta dengan situasi lingkungan sekitarnya. Ini menandakan bahwa identitas adalah proses menggali pemaknaan akan diri sendiri dan orang lain.
Menurut Tajfel bahwa identitas sosial berkaitan juga dengan relasi di dalam kelompok yang disebutnya sebagai kategori sosial. Kategori sosial nantinya akan berusaha menemukan siapa diri seseorang dan orang lain sebenarnya sehingga identitas tersebut muncul sebagai dasar seseorang melakukan sesuatu. Menurutnya kategori sosial ialah bagian yang tidak terputus dari dunia sosial ke dalam kelas kategori yang berbeda. Dan disusul identifikasi sosial yang dapat merujuk pada proses menemukan diri sendiri, atau orang lain. Kemudian di dalam sistem
3 kategorisasi sosial juga digunakan untuk mendefinisikan diri seseorang dan orang lain.
Hal ini menjadi tanda bahwa identitas semakin diperjelas dengan adanya kategori dan identifikasi sebagai instrument untuk membuktikan suatu kehadiran identitas di dalam diri seseorang. Kategori dan identifikasi sebagai konsep-konsep penting untuk mengekplorasi identitas tersebut. Sebab kedua hal tersebut sama-sama memiliki upaya untuk menemukan bahkan menelaah suatu kategori apa-apa saja yang dimiliki tiap-tiap individu..
Tajfel juga menambahkan bahwa kategori sosial akan digunakan terutama dalam hal menunjukkan struktur cara berfikir dalam persepsi diri seseorang dan persepsi orang lain. Selain itu digunakan untuk menunjukkan proses di mana seorang individu yang menginternalisasi beberapa bentuk kategorisasi sosial sehingga menjadi komponen konsep diri bagi dirinya.
Kemudian Tajfel menyadari bahwa seberapa banyak proses pengidentifikasian yang berlangsung dan digunakan untuk mendefinisikan diri seseorang atau orang lain akan maka hal tersebut
4
menggambarkan identitas sosial individu tersebut. Dalam hal ini Tajfel menekankan peranan persepsi di dalam mengkonsepkan diri.
Bagi Tajfel bahwa individu ternyata sudah memiliki konsep dirinya sendiri di dalam pikirannya. Sehingga hal tersebut membentuk suatu kategori-kategori diri yang dimiliki oleh individu. Sehingga dibutuhkan suatu redefinisi kembali tentang konsep diri melalui proses 3 pengidentifikasian diri. Pengenalan akan diri sendiri dan orang lain inilah yang dimaksudkan Henry Tajfel, Social Identity and intergroup relations (Cambridge University Press. 1982),17-18. oleh Tajfel sebagai pengetahuan individu yang dimana terdapat nilai-nilai emosional, nilai-nilai tindakan diri untuk mempengaruhi proses pembentukan identitas. Dengan kata lain kategori sosial mendefinisikan seseorang secara sistematis ke dalam proses pengidentifikasian.
Berdasarkan kedua pendapat di atas. Jenskin dan Tajfel berusaha untuk mendekati identitas sosial individu dan kelompok berdasarkan relasi-relasi sosial individu dengan konteks sosialnya. Dan ditambah dengan proses klasifikasi dan kategori sosial yang harus dilakukan oleh individu untuk menemukan identitas yang melekat dalam dirinya. Secara khusus Jenskin lebih mengarah kepada proses individu mengenali diri dengan upaya-upaya yang berlandaskan tindakan sebagai kunci utama di dalam proses pembentukan identitas. Lebih mengarah kepada individu sebagai aktor sosial di dalam melakukan identifikasi dirinya dan orang lain. Sedangkan Tajfel melakukan proses pembentukan identitas dengan cara menentukan perspepsi diri akan dirinya dan orang lain dengan kata lain pengetahuan individu diutamakan sebagai dasar untuk mengetahui dan menelaah identitas, kemudian disusul kategori sosial sebagai proses mengidentifikasi diri dan orang lain.
2.3. Pendekatan Interaksi simbolis.
Lee Freeze dan Peter J. Burke mengemukakan suatu pendekatan interaksi simbolis. Pendekatan ini meliputi tanda, simbol, sumber interaksi,gerakan/respon dan Konsep Diri. Kelima hal ini saling berhubungan dalam mencapai pembentukan identitas. Selain itu kelima hal ini menurut Freeze dan Burke merupakan unsur sosial yang paling terutama dalam menentukan sistem dan struktur sosial di dalam suatu masyarakat. Sistem dan Struktur yang dimaksud ialah hasil negoisasi dan kategori sosial yang dihasilkan melalui apa yang ditampilkan dari kelima unsur tersebut.
2.3.1 Tanda.
Freeze dan Burke mengatakan bahwa seluruh alam semesta mungkin sepenuhnya terdiri dari tanda-tanda, dan bahwa tidak ada yang tidak bisa berfungsi sebagai tanda. Baginya, tanda- tanda itu terhubung ke dalam beberapa objek dan ke pikiran, tindakan, atau pengalaman interpersonal. Bagi mereka yang terpenting ialah individu memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang tanda dan gejala sosial yang manusia temui di alam sekitarnya. Kemudian tanda tersebut menjadi objek langsung yang diterima oleh manusia sebagai gejala awal dalam menanggapi situasi yang sedang terjadi. Selain itu tanda-tanda menyampaikan makna kepada manusia dengan cara menyediakan gejala-gejala awal.
Gejala itu semacam pengetahuan dan pengalaman dasar tentang dirinya dan orang lain Pengetahuan dan pengalaman dasar itu menjadi tanda awal terjadinya proses pengidentifikasian
5
identitas sosial. Kemudian Peter J. Burke dan Jan E. Stets menambahkan pemahaman tentang tanda. Mereka menjelaskan bahwa tanda adalah konsep yang lebih umum dari pada simbol.
Simbol yang dimaksud ini ialah makna khusus yang berasal dari budaya yang dapat dirasakan oleh setiap orang. Sehingga makna ini menjadi suatu respon bagi orang yang memaknai tanda
6
tersebut sehingga hal ini disebut sebagai pengalaman langsung. Oleh sebab itu berarti tanda memungkinkan individu-individu untuk merasakan langsung makna tersebut. Tanda berarti memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung bagi tiap individu di dalam proses mereka menentukan identitasnya.
Kedua pemahaman di atas sama-sama memaknai tanda sebagai suatu objek individu 5 untuk merasakan pengalaman langsung. Fresse dan Burke lebih memaknai tanda sebagai gejala
Lee Fresse,Peter J. Burke, Person ,” Identity And Social Interaction”:USA Department of Sociology, Washington
State University di dalam menemukan pengalaman langsung, sedangkan Burke dan Stets lebih menambahkan bahwa tanda adalah konsep umum dari simbol. Ini berarti tanda tidak hanya sekedar memberikan makna saja, melainkan ada unsur simbol yang lebih memperkaya tentang penampilan makna yang diberikan oleh tanda.
2.3.2. Sumber Informasi/data.
Sumber informasi merupakan proses daripada entitas. Sumber itu sendiri kemudian hadir dikarenakan adanya sistem interaksi. Maksudnya ialah efek dari sistem interaksi itu melahirkan sumber. Sumber ini kemudian membentuk proses interaksi dari setiap sistem sosial berdasarkan pengetahuan atau informasi yang dimiliki . Sehingga hal ini memungkinkan dimiliki entitas apapun. Berdasarkan keterangan di atas berarti sumber menilai sejauh mana proses transfer yang berfungsi untuk mempertahankan interaksi. Manusia akan secara sadar untuk memiliki pengetahuan dan pengalaman langsung dikarenakan informasi atau data yang diberikan oleh sumber informasi tersebut.
Berarti dapat dikatakan bahwa sumber ini berfungsi untuk mempertahankan pengetahuan ataupun informasi yang sudah ada dari sistem-sistem interaksi. Sebab sistem interaksi akan menghasilkan banyak informasi dan pengetahuan dari berbagai interaksi yang sudah dihasilkan sehingga diperlukan suatu pertahanan diri bagi pengetahuan dan informasi yang sudah ada.
Sumber Informasi dihasilkan melalui lingkungan ataupun situasi sosial yang sedang terjadi. Informasi didapatkan melalui interaksi intensif yang dilakukan oleh seseorang dengan orang
7 lain.
Burke dan Stets dalam bukunya identity of theory mengemukakan setidaknya ada tiga pendekatan untuk memahami sumber informasi ini. Pertama sumber informasi merupakan suatu proses. Sumber informasi memberikan dukungan kepada individu untuk tetap bisa berinteraksi dengan yang lain kemudian informasi bukan hanya sekedar bersifat entitas saja melainkan informasi harus mampu dicerna, diamati dan dianalisa dan kemudian bisa dimanfaatkan sebagai
8
alat validitas yang nyata dan ini dikendalikan oleh individu. Tetapi tidak semua apa yang dicerna, diamati dan dianalisa merupakan sesuatu yang dapat mempertahankan seseorang dapat melakukan interaksinya, tetapi yang harus dicermati ialah informasi hanya berusaha untuk mendukung individu untuk tetap berinteraksi di dalam sistem dan struktur sosial yang ada.
Kemudian Burke dan Stets menambahkan tentang informasi sebagai pendukung individu berinteraksi. Pada dasarnya individu selalu berinteraksi dan berproses di dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu dibutuhkan suatu kekuatan yang memadai di dalam menjalaknkan proses interaksi tersebut. kekuatan ini dinamakan informasi yang valid tentang apa dan yang sedang terjadi di lingkungan sekitarnya. Sebab selama berinteraksi individu pasti mendapatkan segala pengetahuan, pemahaman bahkan informasi tambahan. Oleh sebab itu apapun yang dimiliki oleh individu yang berasal dari proses interaksinya. Sumber informasi yang memang sudah ada di
9
dalam diri individu tetap memberikan dukungan. Kemudian yang ketiga ialah sumber informasi sebagai pendukung proses interaksi.
Pada tataran ini Burke dan Stets mempertegas bahwa sumber informasi sebenarnya mendukung setiap individu yang melakukan interaksi meski pada dasarnya tiap-tiap individu 8 memiliki entitas yang berbeda dalam melaksanakan interaksinya. Peran informasi ini ialah untuk mendukung setiap interaksi yang terjadi dan tidak terlepas membentuk individu yang agar tetap berada dalam tatanan interaksi sosial sehingga terjalin interaksi antar individu dengan
10
kelompok. Pada bagian ini Burke dan Stets lebih sistematis di dalam menjalankan sumber informasi dibandingkan Freese dan Burke. Sistematisnya terdapat pada tiga pendekatan yang dikemukakan di dalam buku identity of theory. Ketiga hal itu dijadikan sebagai fondasi untuk melihat sumber informasi dijadikan sebagai alat pendukung bagi individu dan interaksi.
Sehingga penulis lebih tertarik kepada keterangan yang disajikan Burke dan Stets.
2.3.3. Simbol.
Simbol berkaitan dengan tanda-tanda, biasanya dilihat dari situasi dimana tanda tersebut disimpulkan oleh individu yang merasakan simbol tersebut. Sehingga simbol dan tanda sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja, mereka memiliki jalinan sosial antara tanda simbol. Dimana tanda merupakan konsep umum dari simbol. Makna tanda akan memiliki implikasi terhadap identitas seseorang. Terutama berimplikasi kepada interaksi interpersonal individu.
Kemudian akan terlihat peran dari sumber informasi yang ditunjukkan melalui kehadiran tanda atau gejala yang ada di lingkungan individu tersebut. ini menandakan bahwa simbol sangat menentukan kehadiran tanda dan makna sebagai upaya untuk mengidentifikasi identitas
11 individu. .
Simbol dihasilkan dari sumber informasi yang menjadi pusat interaksi. Di dalam sumber informasi tersebut terdapat tanda dan makna yang akan ditransfer untuk mempertahankan individu dari beberapa proses interaksi dan beberapa sistem sosial yang ada. Potensi semacam ini 10 berupaya untuk mentransfer objek pengalaman langsung yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Potensi ini membuat pengalaman refleksi bagi individu, dikarenakan simbol sebagai suatu hal
12
abstraktif tetapi memberikan efek yang faktual bagi individu yang memaknainya. Oleh sebab itu informasi yang ada menunjukkan posisi individu di dalam proses berinteraksinya. Hal ini tidak terlepaskan dari pengalaman dan pengetahuan individu yang dihasilkan oleh simbol-simbol yang diciptakan di dalam struktur sosial. Simbol ini memberi peluang bagi individu untuk mengidentifikasi dirinya dan identitas yang melekat. Sehingga pengalaman yang mendasari Individu untuk menghubungkan simbol dan objek pengetahuan tersebut (informasi).
2.3.4. Pikiran dan Diri
Kemampuan mengenali diri memungkinkan pikiran / diri seseorang untuk berpikir tentang tindakan yang berasal dari dirinya sendiri. Tindakannya itu juga berasal dari situasi lingkungan ada di dalam dirinya. Keadaan lingkungannya menentukan pikiran dan tindakan yang akan dipikirkan dan dilakukan. Artinya individu akan melakukan segala sesuatunya berdasarkan apa yang dipikirkan oleh pikirannya. Kemudian seseorang tidak hanya bertindak atas diri mereka sendiri untuk mencapai tujuannya tetapi seseorang membutuhkan orang lain untuk mencapai
13 tujuannya dan seseorang bertujuan juga untuk mencapai tujuan orang lain bersama-sama.
Oleh sebab itu persepsi dan tindakan terjalin dan terkait melalui pikiran yang telah berkembang secara sosial dan merespon tidak hanya ke lingkungan sekitar, tapi juga hubungan antara seseorang dengan lingkungannya, dan seseorang menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan keinginan manusia. Hubungan antara persepsi dan tindakan atau perilaku ini sangat penting bagi teori identitas, seperti juga pemahaman bahwa perilaku selalu berasal dari 12 pikiran diri sehingga berupaya mencapai tujuan.
Gagasan "
I” dan "Me" membawa perhatian terhadap hubungan antara persepsi dan
tindakan yang dipandu oleh pikiran. "I" adalah aspek agen-aktor dari diri sendiri yang memulai tindakan untuk membawa konsekuensi atau niat yang diinginkan. "I" adalah perseptif-pengamat aspek diri yang melihat aksi, melihat lingkungan, melihat hubungan antara keduanya, dan memandu aktivitas "Me" yang brtujuan untuk mencapai tujuan akhir. Berarti "I" bukan hanya persepsi individu, namun mengandung pengetahuan sosial tentang komunitas atau budaya
14 dimana individu tersebut hidup.
Dengan kata lain bahwa konsep “I” berpusat pada bagaimana persepsi dan pikiran menjadi satu bagian yang utuh. Sehingga konsep ini artikan sebagai kumpulan-kumpulan informasi yang tentang individu. Informasi tersebut didapati dari lingkungan, tindakan yang dilakukan oleh individu tersebut. Sehingga konsep ini menjadi pengatur diri individu untuk melakukan segala tindakannya sehingga tujuan yang ingin dicapai berdasarkan dengan persepsi dan pikiran.
Selain itu ada konsep "Me" berasal dari individu yang memiliki peran. "Me" itu yang mewujudkan makna, pemahaman, dan pengalaman individu. Sebagai tambahan,"Me" adalah individu yang mengetahui kebutuhan diri dan kebutuhan selama berada di lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa "I" dan "Me" adalah fase dari diri. "Me" memulai tindakan yang kemudian berada di bawah arahan, kontrol, dan bimbingan dari "I." Ini seharusnya dipahami sebagai serangkaian langkah. "Me" terus bertindak, dan "I" terus menerus merasakan dan membimbing agar keduanya membawa serta menjaga hubungan orang tersebut ke lingkungan dan orang lain dalam situasi tersebut.
14
Berdasarkan gagasan di atas dapat dipahami bahwa pikiran dan tindakan saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan akhir. Konsep “I” dan “Me” memberikan penekanan kepada kemampuan individu untuk tetap konsisten menjadi aktor atau individu yang tetap menjalankan tujuan akhir berdasarkan kemampuan pikirannya untuk mengamati, mencerna dan menyimpan informasi yang sudah dikumpulkan dan kemampuan untuk melihat situasi dan lingkungan untuk melaksanakan segala persespsi yang sudah ada di dalam pencapaian tujuan individu tersebut.
2.3.5. Gerakan/Respon
Gerakan atau respon terhadap merupakan stimulus terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungan sekitar. Respon tersebut dapat diamati oleh perilaku dan behavior (sikap atau tingkah laku). Respon itu berasal dari gerak tubuh sebagai unit yang penting dalam komunikasi dan interaksi. Dengan kata lain bisa dikatakan isyarat dan isyarat tersebut adalah bagian awal dari respon tersebut. Namun seiring waktu respon juga mengandung makna dan implikasi dari tindakan yang utuh. Itu berarti respon berarti langkah awal individu untuk melihat dan merasakan simbol-simbol yang hadir sebagai pengetahuan individu. Kemudian tindakan yang utuh tersebut memiliki tujuan, niat dan hasil. Oleh sebab itu di dalam isyarat tersebut nantinya akan terorganisir antara tujuan, niat dan hasil. Bagi Inidvidu untuk bekerja sama dalam relasi, harus ada proses di mana setiap individu yang bertindak menentukan tindakan dari niat yang sudah dipersiapkan sehingga tiap-tiap individu harus memahami tindakan dan perilaku mereka sendiri sesuai niat, tujuan dan hasil yang ingin mereka capai.
Orang tidak menanggapi aktivitas orang lain. Sebaliknya, mereka menanggapi niat orang lain seperti terwakili dalam gerak tubuh. Hal ini dilakukan melalui pengambilan peran, yaitu menempatkan diri pada posisi yang lain untuk memahami niatnya. Komunikasi dan interaksi menjadi pembicaraan gerak tubuh antar individu untuk saling berbagi dan mengkoordinasikan makna dan harapan. Setiap individu menggunakan isyarat (simbol) untuk menunjukkan ke lain makna dan niat diri. Dengan melakukan itu, individu juga menunjukkan makna dan niat itu pada
17 diri sendiri sangat penting.
Secara bersamaan masalah yang dihadapi individu adalah pertemuan antarmuka di antara keduanya. Dimana ketika pertemuan tatap muka tersebut terjadi gerak tubuh, isyarat dan respon yang mana mewakili apa yang ada di dalam pikiran dan tindakan yang mau dilakukan. Karena itu tanda dan informasi menjadi bagian yang penting di dalam proses interaksi yang menghasilkan gerakan atau respon tersebut. Sehingga tanda-tanda yang ada dianggap sebagai bentuk dari rangsangan dan respon yang ada.
2.4. Definisi Peran atau Agen.
Agen adalah aktor, dalam bahasa sosiologis, agen telah dirujuk sebagai"individu", "aktor", dan "orang
”.Secara umum, istilah "individu," "aktor," "pribadi", dan "lainnya" merujuk pada individu manusia. Dalam penjelasan Burke dan Stets bahwa agen adalah entitas yang bertindak dan agen yang memiliki berbagai sifat dan sifat ini membantu kita memahami
18
berbagai jenis tindakan yang mungkin mereka lakukan. Berdasarkan penjelasan di atas agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran sebagai orang bertindak atau yang memiliki aksi diri dalam ruang interaksi dan menciptakan pola interaksi sebagai sarana untuk 17 bertindak.
Agen berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan peran. Peran sering dikaitkan dengan bagaimana berhubungan orang lain dan semacam tingkah laku dari seseorang. Tetapi agen juga berbicara tentang hubungan, perilaku. Tetapi dalam tataran struktural peran dikaitkan semacam upaya macam apa yang dapat dilakukan. Tetapi agen lebih kepada tindakan yang diawali dengan perilaku sosial kepada lingkungannya. Sehingga agen dan peran ini memiliki hubungan secara praktikal.
Kemudian agen dikaitkan sebagai identitas. Sebab agen memiliki beberapa kumpulan identitas untuk bertindak. Identitas dan agen ini membentuk suatu ruang interaksi dan sistem sosial bersama di dalam lingkungannya. Sehingga di dalamnya terjadi semacam transaksi dikarenakan ada pertukaran ide dan tindakan antara identitas yang sudah ada di diri manusia dan
19 agen/individu yang pada sifatnya adalah orang yang memiliki peran.
Peran dengan agen/individu secara praksis tidaklah bisa dipisahkan karena kedua entitas ini memiliki keberadaanya yang unik dan berjalan bersama. Peran yang bisa dikaitkan dengan pola tingkah laku atau semacam perilaku yang ada dalam diri manusia dan berkembang menjadi suatu aksi diri dalam kehidupan manusia sehingga peran menjadi suatu hal yang bersifat praksis.
Ditambah lagi mengenai agen, yang dikategorikan sebagai individu yang melakukan tindakan dan membentuk ruang interaksinya bagi orang lain. sehingga dari pembentukan ruang interaksi tersebut identitas-identitas akan bermunculan sebagai efek dari tindakan-tindakan yang sudah dilaksanakan. Ini berarti agen lebih mengarah kepada hasil akhir yaitu mencapai tujuan tertentu sedangkan peran ialah upaya-upaya yang dilakukan oleh agen/individu yang kali ini berada dalam tataran tindakan atau praksis.
2.5. Proses Pembentukan Identitas
Jika makna atau tanda diorganisasikan dan disimpan ke dalam kumpulan identitas, maka diharapkan agar individu bersikap proaktif dan reaktif. Selain itu signifikansi identitas untuk interaksi interpersonal ialah individu yang menggunakan identitas yang relevan dan standar sebagai rujukan untuk menyortir makna yang tersedia dari lingkungan sekitar mereka, dan mereka harus memiliki beberapa dorongan untuk mengaturnya, dan mengubahnya menjadi hasil dari yang ingin dicapai. Dalam hal ini dorongan itu berasal dari tanda, simbol, respon dan konsep diri yang tercipta. Keempat hal itu menjadi ukuran dalam pembentukan identitas yang
20 sebelumnya udah dijelaskan di atas mengenai pendekatan interaksi simbolik.
Model ini menggambarkan bagaimana seseorang mengukur identitas yang relevan dengan situasi yang sudah ada yang dijadikan sebagai standart untuk menemukan identitas bahkan kumpulan identitas. Model ini menggambarkan bagaimana sebuah identitas standar itu bisa berubah karena adanya interaksi situasional. Hal ini mengasumsikan bahwa individu membandingkan standar identitas yang relevan dengan makna yang terjadi di suatu lingkungan. Dengan demikian model ini menggambarkan bagaimana cara mengintegrasikan makna dari lingkungan (situasional) melalui suatu individu dan kembali lagi melibatkan individu tersebut secara terus menerus dan dinamis dan prosesnya melibatkan individu dan situasi.
Model ini tidak menganggap seseorang itu bertindak untuk mengembalikan identitas melalui keseimbangan dan proses yang dinamis, tetapi sebagai usaha percobaan atau pencocokan antara identitas pribadi terhadap interaksi situasional yang terjadi. Individu kemudian memproses informasi yang ada dan situasi interaksi yang mengikutinya. Model ini juga mengukur standar identitas mereka dengan menetapkan bahwa informasi yang aktual atau yang diharapkan mengalir masuk ke dalam situasi lingkungan yang ada sehingga membuat proses interaksi menjadi lebih baik. Dan apapun itu identitas berhubungan atau membandingkan makna simbol
21 atau tanda.
Model 1. Proses Pembentukan Identitas.
Gambar 1 menunjukkan model proses pembentukan identitas seperti yang telah dikembangkan di dalam menghadapi interaksi simbolis. Pada sisi input (kiri) gambar tersebut adalah berbagai penilaian tercermin tumbuh dari situasi interaktif (diberi label "aliran kinerja simbol" pada gambar). Kemudian persepsi penilaian atau makna di kirim ke komparator ( tempat prose perbandingan antara dua unsur kemudian menghasilkan hasil), dimana mereka dibandingkan dengan makna yang terkandung di dalam standar identitas dan sejauh makna yang dirasakan tidak sesuai dengan makna yang terkandung dalam standar tindakan yang diambil
22 pada output (kanan) sisi gambar.
Tindakan-tindakan ini terwujud dalam situasi yang ditafsirkan sendiri dan dalam hal ini nilai/makna mereka bermakna dan berkontribusi dalam interaksi simbolis yang sedang berlangsung. Kemudian tindakan tersebut berfungsi mengubah kinerja simbol dalam situasi, sehingga mengubah penilaian yang tercermin dan persepsi mereka sehingga bisa membawa persepsi yang baru. Persepsi identitas ini adalah proses persepsi, yang tindakan yang terus menerus disesuaikan oleh interaksi simbolis dimana tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk membawa persepsi yang selaras dengan standar identitas. Dengan demikian tindakan bukan hanya fungsi makna standar identitas, atau persepsi (makna) dari situasi, melainkan merupakan
23 fungsi dari hubungan antara standart identitas dan persepsi.
Karena setiap situasi interaksi mewakili pertemuan beberapa simbol dan tidak selalu sama untuk semua individu, tindakan dan reaksi terus menerus oleh individu di dalam situasi interaksi interpersonal mereka. Proses pembentukan identitas ini ialah fondasi untuk mendefinisikan dan membuat keputusan diantaranya seperti negosiasi, renegosiasi, penentuan posisi, untuk menjelaskan, untuk mengatur ulang status dan hubungan peran, dan untuk identifikasi diri dan orang lain. Semua ini bisa ditafsirkan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mengatasi ketegangan yang melekat pada sumber informasi dan interaksi simbolik yang ada dan individu yang berinteraksi akan mengalami pengalaman atau interpretasi yang berbeda karena
24 akan mengalami transfer informasi yang ada.
Di dalam buku
“identity of theory” yang dikembangkan Burke dan Stets model di atas di 22 namakan sistem kontrol pembentukan identitas. Dimana input memberikan informasi kepada 23 Frese and Burke, “ Person,Identity”, 17-18.
suatu sistem yang dinamakan sistem interaksi dan output menjadi seimbang dikarenakan informasi yang positif yang didapatkan dari input. Konsistensi terjadi ketika terjadi informasi yang seimbang yang diberikan dari input ke output. Hal ini semacam ada negoisasi ketika berada di sistem interaksi. Dimana sistem interaksi mengelola informasi dengan tepat sehingga
25
informasi yang dihasilkan menjadi actual. Di dalam penjelasan Burke dan Stets standar identitas sudah ada di dalam diri individu. Pada dasarnya sistem ini mengharapkan adanya upaya umpan balik informasi yang diberikan antara input dan output. Hal ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan yang ada antara informasi dan sistem interaksi yang ada. Kemudian individu sebagai aktor sosial berfungsi untuk menjaga kestabilan lingkungan dari gangguan. Gangguan itu biasanya berasal hal-hal yang tidak diatur dan dikontrol oleh input ataupu output dan inilah yang biasanya disebut dengan gangguan.
Burke dan Stets juga menekankan dalam sistem kontrol identitas tentang persepsi individu. Persepsi yang dimaksud yaitu tiap-tiap individu berupaya untuk tetap menjalankan apa yang sudah menjadi niat dan tujuannya. Sehingga individu secara praktiknya mempertahankan posisi dirinya untuk suatu tujuan yang ingin dicapai. Inilah yang Burke dan Stets sebut sebagai
26 persepsi.
Kemudian persepsi dibandingkan di dalam komparator. Di dalam komparator persepsi dibandingkan dengan standar identitas yang dimiliki individu. Artinya ingin melihat apa yang menjadi perbedaan antara kedua hal ini. Agar di dalam output diketahui perubahan apa yang terjadi secara simultan. Secara faktual berarti individu akan mengubah standar identitasnya ketika mengalami gangguan sehingga tujuan yang sudah terencana bisa tercapai.
25
Kemudian sistem kontrol semacam ini mengarah kepada pendekatan interaksi simbolik dimana makna dan identitas berfungsi untuk tetap menjaga apa yang sudah dipersepsikan oleh individu. Hal ini tidak jauh beda dengan apa yang sudah gagasan tentang
“I” dan “Me”. Dimana
individu bertindak di dalam suatu situasi sehingga menghasilkan suatu makna identitas. Makna identitas ini pula tak terlepas dari peran persepsi yang ada di dalam diri Individu yang mana
27 menuntut mereka untuk selalu bertindak sesuai tujuannya /self-acting (aksi diri).
Berdasarkan kedua pendekatan di atas mengenai proses pembentukan identitas yang dijelaskan dalam kedua buku tersebut. Freese dan Burke mengutamakan pendekatan interaksi simbolik dimana tanda, simbol, sumber informasi dan respon menjadi kekuatan yang bersama di dalam proses pembentukan identitas. Freese dan Burke secara sistematis melihat identitas merupakan suatu pola mengidentifikasi seseorang dan orang lain dengan pendekatan yang paling dekat dengan kehidupan manusia seperti makna, simbol diri dan identitas yang sudah ada.
Perbedaan dari Burke dan Stets. Burke dan Stets menambahkan bahwa identitas adalah tujuan dari tindakan yang dilakukan. Sistem kontrol identitas yang mereka usung ingin menjelaskan bahwa identitas tidak hanya melalui pendekatan interaksi simbolis saja melainkan terjadi ketika aksi diri dilihat dari persepsi yang timbul sebagai wacana awal untuk menentukan identitas.
Persepsi sangat menentukan penentuan identitas seseorang. Sehingga persepsi sangat berhubungan dengan identitas yang sudah ada di dalam diri individu. Tetapi kedua buku ini tetap mencerminkan proses pembentukan identitas yang sistematis/struktural dan dinamis.
2.6. Situasi dan Sistem Sebagai Sumber Interaksi.
Konsep "situasi" sosial (atau apa yang kadang kita sebut sebagai situasi interaksi interpersonal) dengan sendirinya tidak cukup memadai untuk memberikan konteks untuk menganalisis secara signifikan orang-orang dalam interaksi interpersonalnya. Interaksi interpersonal yang ada bersifat mandiri, juga tidak berulang, interaksi diatur oleh norma yang diakui di dalam masyarakat. Semua individu dalam segala situasi interaksi, membawa serta pengalaman pribadinya sehingga menimbulkan kumpulan identitas yang unik, dan norma budaya membantu dalam berinteraksi. Apalagi situasi interaksi interpersonal sangat kompleks, karena menggabungkan beberapa lapisan realitas sosial, realitas sosial itu seperti situasi yang sedang terjadi, kumpulan identitas yang sudah dimiliki dan simbol diri yang melekat dalam diri
28 individu.
Oleh sebab itu situasi interaksi terwujud dengan berkumpulnya berbagai macam individu, masing-masing memiliki tanda dan simbol sehingga menghasilkan output yang beraneka ragam. Hal semacam ini menimbulkan perilaku yang secara simbolis bermakna dan cukup banyak informasi yang dapat dihasilkan. Jika masing-masing memiliki tanda dan simbol maka dari itu data atau informasi yang ada akan dimasukan ke dalam output dan mungkin saja akan berbeda ditafsirkan oleh individu. Di karenakan individu memiliki dan mengamati tanda dan simbol yang berbeda.
Konsep simbol dan keadaan situasi interaksi interpersonal yang terbuka dapat membuat identitas di identifikasi. Agar situasi interaksi ini menjadi terbuka kita membutuhkan sebuah sistem Interaksi. Tiap individu bagaimanapun juga melampaui situasi ke dalam sistem sosial yang menghubungkan mereka dengan 'sistem sosial. Oleh sebab itu individu, sistem sosial bersifat transituasional. Sebab sebuah situasi sosial tertentu, bersifat multi sistemik. Karena seseorang memiliki peran yang berbeda sehingga situasi sosial bersifat multi sistemik (sistem
29
sosial terbentuk sesuai dengan keadaan individu).Interaksi situasional memberikan konteks simbolis interaksi. Artinya makna dan tanda memberi pengaruh kepada sistem interaksi yang dimana di dalamnya terdapat simbol diri seseorang untuk menghasilkan identitas. Simbol interaksi itu terwujud dalam pengetahuan dan pengalaman indvidu selama mereka mengalami interaksi. Hal semacam ini dinamakan pengalaman reflektif individu yang di simbolisasikan ke dalam persepsi dan niat.Jika pengalaman seseorang berisi kumpulan identitas, mereka perlu diatur sedemikian rupa sehingga
30 individu dapat melakukannya untuk mengukur hubungan mereka dalam sistem interaksi.
Hal ini berarti membawa individu untuk menciptakan sistem sosial yang menyediakan ruang interaksi yang dimana seseorang bisa berhubungan dengan orang lain. Artinya, mereka memiliki hubungan yang simbolis secara struktur dan sistem sosial. Sehingga ruang interaksi dipahami sebagai sistem penukaran informasi dan makna antara indiviu dengan orang lain sehingga menghasilkan suatu pengalaman bagi suatu individu atau disebut sebagai pengalaman reflektif.
Burke dan Stets menambahkan tentang konsep interaksi. Interaksi ialah bertemunya dua perspektif dengan individu yang memiliki identitas yang berbeda dalam masyarakat. Simbol, tanda dan bahasa menjadi alat kunci untuk melihat tindakan atau aksi sosial dari seseorang. Individu akan menggunakan simbol, tanda, bahasa dan persepsi untuk terlibat di dalam interaksi
31
simbolik. Hal ini berarti menandakan bahwa manusia selalu berusaha untuk terlibat dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ini dilakukan sebagai upaya mempertahankan eksistensi mereka. 29 Sebab dengan mereka turut terlibat, mereka akan bisa mengetahui serta mengalami proses 30 Freese and Burke, “Person,Identity”, 19-20.
identitas. Berarti hal ini menunjukkan bahwa tindakan sosial ataupun aksi diri kita bisa menunjukkan identitas apa yang kita miliki sebagai standart untuk melakukan sesuatu bagi kehidupan sosial.