Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan: Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

Bab IV Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

4. Pengantar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, istilah “pandangan” diartikan sebagai hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dan

sebagainya). 1 Istilah “pandangan” dipilih atau digunakan oleh penulis dengan beberapa pertimbangan. Pertama, penulis ingin mengetahui bagaimana masyarakat

sendiri melihat atau memperhatikan praktek bertani yang dilakukan saat ini. Kedua, dengan menggunakan pandangan masyarakat, penulis tidak terjebak dalam pemahaman yang subjektif. Melalui tulisan ini akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa pandangan masyarakat dapat benar tetapi dapat juga salah. Kajian ekoteologi dapat membantu penulis dalam menganalisa temuan di lapangan dan juga teori yang penulis digunakan di dalam bab II.

Bab IV ini merupakan kajian ekoteologi terhadap pandangan masyarakat desa Kotabes tentang pengaruh revolusi hijau dalam bertani, faktok-faktor penyebab terjadinya perubahan pola bertani dan bagaimana tinjauan ekoteologi terkait dengan pandangan tersebut. Hasil temuan di lapangan menunjukkan beberapa hal dan sejalan dengan rumusan serta tujuan masalah, yakni praktik-praktik bertani yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kotabes yang berubah akibat masuknya revolusi hijau dan

tinjauan ekoteologi terhadap perubahan praktik-praktik bertani yang dimaksud. Ada

1 https://kbbi.web.id/pandang , diunduh pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl. 21.46WIB 1 https://kbbi.web.id/pandang , diunduh pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl. 21.46WIB

4.1 Bertani Ramah Lingkungan sebagai Alternatif

Bertani yang ramah lingkungan adalah proses bertani yang tetap menjaga keutuhan ciptaan dalam hal ini tanah dan makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Ketika revolusi hijau masuk yang terjadi adalah lingkungan menjadi rusak (lingkungan bertani khususnya), agenda revolusi hijau seperti penemuan bibit unggul, pembuatan obat pembasmi hama dan penggunaan bahan-bahan kimia nampaknya merusak dan menghancurkan ekosistem serta menghancurkan keseimbangan

lingkungan. 2 Teknologi dan pengetahuan modern sebenarnya tidak salah, sebaliknya membantu masyarakat tani, yang salah adalah ketika teknologi dan pengetahuan

modern tidak diikuti dengan kesadaran moral akan pentingnya semua ciptaan bagi kehidupan manusia. Pada akhirnya memang benar bahwa manusia tidak mungkin lagi

2 J. Mardimin, Petani Versus Globalisasi (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 25 2 J. Mardimin, Petani Versus Globalisasi (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 25

Teknologi dan pengetahuan kemudian menjadi sumber petaka ketika tidak dimanfaatkan dengan bertanggungjawab. Hal inilah yang dikritik oleh seorang teolog bernama Lynn White dalam tulisannya yang terkenal, yakni the historical roots of our ecological bahwa menurut White akar dari krisis lingkungan sebenarnya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, mandat Allah kepada manusia sebagai penguasa alam semesta yang disalahgunakan. Kedua, teknologi dan pengetahuan yang berasal

dari Barat. 3 Namun demikian, tulisan White ini juga perlu dikritik bahwa teknologi dan pengetahuan dari Barat tidak semuanya salah, sekali lagi yang salah adalah ketika tidak ada etika dan kesadaran dari manusia untuk menjaga dan memelihara lingkungan. Gerakan revolusi hijau bukan semata-mata dianggap sebagai program pertanian yang meningkatkan kesejahteraan petani, melainkan merusak ideologi masyarakat yang dulunya sangat mencintai dan menganggap alam sebagai bagian dari hidupnya.

Sejak zaman dahulu, masyarakat tani di Amarasi sebenarnya sudah menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan atau istilah lainnya adalah pertanian organik, namun entah mengapa hal tersebut dilupakan dan ditinggalkan. Masyarakat tani tradisional di Amarasi memanfaatkan kotoran hewan dan daun-daun kering sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanaman. Di satu sisi, sistem pertanian organik atau pertanian yang pro lingkungan dan keutuhan ciptaan nampaknya memberikan

3 Lihat dalam Bab II 3 Lihat dalam Bab II

1. Menghapus Ketergantungan Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan bibit unggul, nampaknya sudah menjadi hal yang biasa. Para petani akan merasa sangat bangga ketika berhasil membeli obat pembasmi hama dengan kualitas yang bagus. Petani akan bangga ketika pemasukan lebih banyak dan pengeluaran sedikit. Petani akan bangga ketika hasil panen melimpah ataupun ketika mereka berhasil memanen hasil duluan dan menjualnya. Hasil temuan penulis di lapangan bahwa sebagian masyarakat tani Kotabes-Amarasi memang bergantung dengan pupuk kimia, pestisida dan bibit unggul. Namun demikian, ada beberapa yang tidak bergantung sebab sebagian masyarakat masih percaya bahwa tanpa pupuk kimia dan pestisida pun masih ada kehidupan yang lebih baik. Penulis mengakui bahwa kaum perempuan adalah orang- orang yang masih peduli dengan lingkungan. Keajaiban dari pupuk kimia dan pestisida nampaknya mengubah mindset para petani di desa (ini juga terjadi dalam masyarakat tani di desa Kotabes). Pola pikir dan pola perilaku mereka menjadi tidak rasional lagi artinya masyarakat tani menggantungkan hidup sepenuhnya pada pupuk kimia dan pestisida. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat tani yang tradisional terlahir sebagai petani-petani yang ramah lingkungan.

4 J. Mardimin, …. 63

Hal ini dapat terjadi karena tiga hal, yakni: pertama, para petani dengan mudah dapat memperoleh bibit unggul yang dijual toko-toko, seperti bibit sayur, buah dan kacang-kacangan yang dijual dalam bungkusan alumunium foil. Biasanya proses ini terjadi dari mulut ke mulut ketika ada petani lain yang sudah membeli dan menunjukkan hasil yang baik maka tanpa dikomando petani lainpun akan mengikutinya. Kedua, produksi bibit unggul lokal yang mulai hilang dan sudah tidak lagi dibudidayakan oleh masyarakat maupun para pemerhati tanaman, mengakibatkan masyarakat hanya bergantung pada bibit unggul yang dijual di toko-toko. Hal inilah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani di desa Kotabes. Hasil wawancara penulis menunjukkan bahwa tanaman lokal seperti tomat dan jenis jagung ataupun buah-buahan yang sering ditanam dan dibudidaya sekarang sudah tidak ada lagi. Alasan yang dikemukakan, yakni tanaman atau bibit lokal rentan terhadap penyakit serta juga kondisi saat ini tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan bibit lokal. Ketiga, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia, bibit unggul dan pestisida ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana cara-cara mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian serta bagaimana cara- cara mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam hal ini. Teknologi lokal yang dulunya dilakukan oleh leluhur zaman dulu telah hilang bahkan tidak dipedulikan lagi, akibat keserakahan dan kecongkakan ilmu pengetahuan manusia yang semakin maju. 5

5 J. Mardimin, …. 64

2. Merehabilitasi Lingkungan Gerakan revolusi hijau nampaknya telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang begitu besar. Lahan pertanian menjadi rusak oleh karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia yang secara terus menerus. Lahan pertanian menjadi jenuh dan beracun. Tanah menjadi tidak sehat dan tidak memberikan efek yang baik untuk meningkatkan produksi yang lebih tinggi. Kriteria kerusakan lingkungan yang mencakup ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk

dapat tetap melestarikan fungsinya. 6

Hal itu sudah terbukti bahwa penggunaan bahan-bahan kimia telah membuat tanah kehilangan kemampuannya untuk mengikat unsur hara dan air, tanah akan keras dan tingkat kegemburannya semakin menurun. Ketika hal tersebut terjadi, maka tanah dengan sendirinya akan menghambat perkembangan akar tanaman. Selain itu, pupuk kimia juga akan mematikan entitas alam yang menjadi penjaga kesimbangan

alam akan mengalami kepunahan. 7 Pertanian organik pada akhirnya menawarkan cara produksi pangan yang ramah lingkungan, menawarkan budaya tani yang lebih

mencintai kehidupan, memberikan jaminan akan perlindungan dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara keseluruhan. 8

6 http://www.unhas.ac.id/pplh/wpcontent/uploads/2012/12/UU_2009_32PPLH_1.pdf http://e- journal.uajy.ac.id/2999/3/2TA12223.pdf , diunduh pada Rabu, 13 Desember 2017, Pkl. 07.04WIB

7 J. Mardimin, …. 65 8 J. Mardimin, …. 65

3. Menghasilkan Makanan Sehat yang Bebas Residu kimia (bahan kimia) Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya revolusi hijau mengubah mindset masyarakat tani mengenai untung dan rugi dalam bertani bahwa keuntungan dihitung dari hasil jual panen yang lebih banyak dari pengeluaran biaya produksi. Masyarakat tani tidak lagi mempedulikan, apakah ada pengaruh dari perilaku bertani yang sekarang ini merusak lingkungan ataukah sebaliknya tidak. Dengan adanya pertanian organik, cara-cara bertani yang merusak ekologi setidaknya dapat dikoreksi terutama mematahkan mindset para petani bahwa keuntungan melimpah dengan menghancurkan ekosistem lingkungan adalah sesuatu yang melanggar kodrat ciptaan. Oleh karenanya pertanian organik dianggap sebagai obat penawar yang dapat membantu masyarakat khususnya para petani agar mulai memikirkan kegiatan bertani

yang ramah lingkungan. 9 Sekalipun secara kualitas dan kuantitas hasil dari bertani organik tidak sebagus hasil pertanian pupuk kimia, karena kebanyakan sayur ataupun

buah-buahan banyak yang berlubang ataupun tidak sebagus, sehingga membuat masyarakat memperhitungkan untung dan ruginya.

Namun demikian, hasil dari bertani organik secara fisik berlubang ataupun tidak sebagus hasil pupuk kimia, sayuran ataupun buah-buahan lebih sehat untuk dikonsumsi. Selain keuntungan finansial seperti menghasilkan bahan makanan sehat untuk dikonsumsi, keuntungan lainnya yang diberikan dari pertanian organik, yakni kelestarian alam tetap terjaga, keberlanjutan alam tetap akan dapat dinikmati oleh

9 J. Mardimin, …. 67 9 J. Mardimin, …. 67

membuat mereka masih tidak mau meninggalkan perilaku bertani. Mereka kawatir hasil pertaniannya tidak laku, sementara mereka sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar.

4. Menjamin Keadilan dan Keselarasan Kehidupan Gerakan revolusi hijau telah berhasil mengubah cara, gaya dan prinsip hidup masyarakat tani menjadi masyarakat yang sangat mendukung kapitalis yang lambat laun akan menggeser eksistensinya sendiri. Prinsip revolusi hijau sebenarnya bukanlah prinsip keadilan, melainkan kontra keadilan. Revolusi hijau menciptakan dan melanggengkan ketergantungan bagi petani yang tinggal desa. Gerakan pertanian organik sebenarnya hadir untuk memutuskan rantai setan yang selama ini dialami oleh masyarakat tani di desa, yang begitu bergantung dengan benih unggul, pupuk kimia, dan pestisida. Dalam perspektif keutuhan ciptaan, pertanian organik menjanjikan terjadinya kesetaraan antara manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya.

Dari keempat keuntungan bertani organik atau yang ramah lingkungan yang ditawarkan ini, menurut hemat penulis nampaknya agak sukar diterapkan dalam masyarakat tani desa Kotabes. Hal ini dikarenakan ada masyarakat yang berpikir bahwa pertanian organik tidak membawa keuntungan, tetapi kerugian. Di samping itu, pertanian organik juga membutuhkan kerja keras dan usaha serta bantuan dari pihak lain, seperti pemerintah dan penyuluh-penyuluh pertanian.

10 J. Mardimin, …. 68

4.2 Kesadaran Ekologi

Hasil temuan penulis di lapangan bahwa pendidikan ikut serta mempengaruhi pola pikir ataupun perilaku masyarakat dalam bertani. Di satu pihak, sebagian masyarakat mengakui bahwa ada ketergantungan yang begitu besar terhadap pemakaian bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida, tetapi di lain pihak ada masyarakat khususnya kaum perempuan yang masih terus bekerja dengan teknik tradisional. Sejauh ini penulis masih menduga bahwa semakin tinggi pengetahuan maupun pendidikan seseorang mempengaruhi pola dan perilakunya terhadap bagaimana cara dia memperlakukan lingkungannya. Tampaknya kaum perempuan

dibanding kaum laki-laki lebih peka dalam memperlakukan alam. 11 Kegiatan bertani yang dilakukan oleh kaum perempuan dapat menjadi contoh bagi masyarakat tani

lainnya agar tidak saja bertani demi kebutuhan hidup atau untuk mendapatkan keuntungan namun juga yang mempedulikan lingkungan sebagai bagian dari dirinya. Pertanyaannya mengapa perempuan masih begitu peduli dengan lingkungan hidupnya, ketika banyak pihak lain melupakan dan malah merusak?

Dalam buku Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, ada satu tulisan yang berjudul panggilan berhati ibu bagi semua yang dikaji dari ekofeminisme. 12 Tulisan

ini dengan jelas menegaskan bahwa manusia sebagai citra Allah atau yang diciptakan seturut dan segambar dengan Allah, manusia pada akhirnya harus memiliki hati yang

11 Ada kemungkinan bahwa dugaan penulis salah, namun ini adalah temuan penulis di lapangan. Akan tetapi, tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorangpun tidak menutup kemungkinan

berbanding terbalik dengan perilaku dn pola pikirnya. Namun demikian, hal ini kembali kepada kesadaran individu itu sendiri terhadap lingkungannya.

12 M. Henrika, Panggilan Berhati Ibu bagi Semua: Kajian Ekofeminis dalam Buku Menyapa Bumi Menyembah Nyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius,

mampu meluapkan kasih Allah bagi sesamanya (tidak terkecuali bagi ciptaan lain, selain manusia). Manusia dituntut agar memiliki hati layaknya seorang ibu yang mencintai dan memelihara alam sebagai anaknya. Hati seorang ibu dipilih karena menceritakan tentang relasi yang hidup antara Tuhan dengan ciptaan-Nya; ibu dengan anaknya; manusia dengan lingkungannya yang digambarkan sebagai berikut:

 Allah sebagai pencipta, penguasa dan pemberi kehidupan, tetapi juga memberikan kebebasan kepada manusia.  Ibu sebagai yang melahirkan manusia baru di bumi, bertanggungjawab atas anak yang dilahirkan, tetapi bukan sebagai penguasa dan

penindas.  Manusia sebagai citra Allah, yang diberi kuasa atas semua ciptaan

yang lain bukan untuk menghancurkan, tetapi mengalirkan kasih yang

telah diterimanya. 13

Ikatan yang terjalin antara Allah dan ciptaan-Nya, ibarat ikatan antara seorang ibu dan anak yang begitu dikasihinya. Allah begitu mengasihi ciptaan-Nya, tidak terkecuali, Allah tidak hanya mengasihi manusia tetapi semua yang Dia ciptakan mendapat kasih dan berkat yang sama. Keistimewaan manusia sebagai yang ditulis dalam Kejadian 1:26-28 menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, dan juga mendapatkan mandat untuk berkuasa atas alam semesta.

13 M. Henrika, Panggilan Berhati Ibu bagi Semua: Kajian Ekofeminis , … 104

4.3 Empat Pandangan tentang Perilaku Masyarakat terhadap Alam atau Lingkungan

Hasil penelitian dan temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Amarasi menganut empat pola perilaku dan pikir terhadap alam atau lingkungan yang mempengaruhi tindakan masyarakat dalam memperlakukan lingkungan khususnya dalam bidang pertanian, yakni:

 Antroposentris Manusia memandang dirinya sebagai pusat alam semesta, sebagai pusat dan tolok ukur bagi semua kebijakannya dalam penataan seluruh alam semesta. Manusialah yang diberikan mandat untuk memberikan nama kepada semua ciptaan yang ada. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa alam hanya semata menjadi objek untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk menguasai alam, tetapi bukan mengeksploitasi dan mendominasi dalam hal yang buruk. Kata “menguasai” sebenarnya adalah memahami, mengenali secara mendalam dan karenanya memanfaatkan untuk kehidupan yang lebih baik, bukan sebaliknya menyebarkan kematian. 14 Ciptaan yang sebenarnya setara kedudukannya

berubah menjadi objek-subjek karena paham antroposentrisme. Krisis lingkungan sebenarnya muncul dari sikap dan cara pandang antroposentris. Sikap antroposentris yang kemudian diikuti dengan teknologi dan pengetahuan modern yang tidak bertanggungjawab, menjadi satu paket yang pada akhirnya memperparah kehidupan di alam semesta. Panggilan berhati ibu sebenarnya mau menyadarkan manusia bahwa hubungan manusia dan alam seharusnya mengikuti pola hubungan ibu dan anak yang

14 M. Henrika, . . . 123 14 M. Henrika, . . . 123

lakukan adalah bertindak sesuka hatinya dan hal ini masih terjadi dalam masyarakat tani desa Kotabes.

Di desa Kotabes ada beberapa masyarakat yang masih menganut paham bahwa semua ciptaan yang ada di dunia diciptakan untuk dirinya, hal ini membuat masyarakat tani berasumsi bahwa, dia bebas untuk melakukan apa saja terhadap lingkungan. Bahkan ada masyarakat tani yang berpendapat kalau tanah yang Tuhan ciptakan adalah tempat mencari makan dan minum sehingga tidak menjadi persoalan

ketika tanah diolah sedemikian rupa sesuai dengan keinginan masyarakat. 16 Hal tersebut tidak salah, tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika tanah tidak

diperlakukan dengan baik dan penuh tanggungjawab. Dampak dari pandangan antroposentris adalah beberapa masyarakat tani di desa Kotabes, tetap melakukan kegiatan bertani yang tidak ramah lingkungan.

 Biosentris Pandangan biosentris berpendapat bahwa bukan hanya manusia saja yang

bernilai dan memiliki citra yang serupa dengan Allah, tetapi alam juga mempunyai nilai yang sama yang setara dengan manusia. Pandangan ini menegaskan bahwa semua makhluk memiliki nilai pada dirinya sendiri sehingga pantas untuk diperhitungkan. Hubungan yang didasarkan antara manusia dan alam dan seluruh

15 M. Henrika, . . . 124 -125 16 Wawancara Ibu Sarah Maniyeni pada Jumat, 23 Juni 2017 Pkl. 15.00WITA 15 M. Henrika, . . . 124 -125 16 Wawancara Ibu Sarah Maniyeni pada Jumat, 23 Juni 2017 Pkl. 15.00WITA

pandangan ini bagi masyarakat tani di desa Kotabes, dipahami secara lain bahwa bagi masyarakat hewan pengganggu harus dibasmi atau dicegah sehingga tidak menggangu tanaman. Hal ini terlihat dengan beberapa masyarakat yang mencampur air dengan pupuk kimia atau zat beracun dan ditaruh di dalam kebun yang ketika diminum oleh hewan akan mengalami keracunan dan mati dengan sendirinya. Paham ini bagi masyarakat dipahami dari sisi yang lain, bahwa setiap hewan pengganggu

harus dibasmi agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. 18 Paham biosentris yang semestinya menganggap semua makhluk hidup adalah satu kesatuan menjadi

kebalikannya yakni makhluk yang harusnya di jaga dan diperhatikan hanyalah manusia.

 Ekosentrisme Jika dalam pandangan antroposentris yang berpusat hanya pada manusia dan

biosentris yang berpusat pada semua makhluk hidup selain manusia, maka ekosentrisme memusatkan perhatiannya pada komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak hidup (tanah, air, udara). Karena secara ekologis, semua makhluk hidup dan benda abiotik selalu berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan.

17 M. Henrika, . . . 126 18 Wawancara Wasti Nubatonis, pada Jumat, 23 Juni 2017 pukul 17.00WITA

Deep Ecology merupakan satu satu versi teori ekosenris yang dikembangkan oleh Arne Naess seorang filsuf Norwegia, yang mulai mengembangkan prinsip-prinsip dasariah deep ecology pada tahun 1970-an, mengingat bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta. Naess merasa frustasi karena kegagalan yang dialami oleh para ekolog dan ilmuwan dalam menemukan akar-akar terdalam dari krisis lingkungan hidup. 19 Bagi Naess ada tiga prinsip dasar deep ecology, yakni pertama, semua

kehidupan insani pada dasarnya memiliki nilai dalam dirinya sehingga ini membuat manusia tidak boleh dengan sesuka hati merampas nilai yang ada tersebut. Kedua, pada dekade-dekade terakhir ini terjadi ledakan populasi dunia dan kepedulian manusia pada jenis-jenis kehidupan perlahan mulai hilang. Ketiga, untuk mencapai keseimbangan yang sehat, perubahan-perubahan signifikan perlu dilakukan baik dalam struktur ekonomi, ideologis, dan lain sebagainya.

Deep Ecology menuntut suatu etika yang berpusat pada makhluk hidup secara menyeluruh dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Prinsip moral yang dikembangkan oleh deep ecology sebenarnya adalah menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology melihat permasalahan lingkungan dalam relasional dan berusaha untuk mencari dan melihat akar permasalahan secara komplit dan komprehensif untuk selanjutnya diatasi secara mendalam. Dalam deep ecology disadari sesungguhnya bahwa krisis lingkungan disebabkan oleh faktor yang paling fundamental, yakni cara pandang dalam diri

19 A. Naess: “Intuition, Intrinsic Value and Deep Ecology”. Dalam The Ecologist. Vol.14,no.5-6, (1984): 201-202 19 A. Naess: “Intuition, Intrinsic Value and Deep Ecology”. Dalam The Ecologist. Vol.14,no.5-6, (1984): 201-202

ecology hadir dan berupaya untuk menata kembali konsep mengenai relasi kosmologi dan kosmogini. 21 Temuan penulis di lapangan bahwa masyarakat tani yang ada di desa Kotabes belum paham betul akan bahaya dari cara bertani yang dilakukan. Lingkungan hanya dipahami masyarakat sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidup dengan cara bercocok tanam tanpa peduli bahwa praktik bertani akibat masuknya revolusi hijau mengancam ekosistem pertanian. Deep ecology sebagaimana yang Naess ungkapkan nampaknya akan menjadi wacana semata ketika tidak diikuti dengan kesadaran dan rasa memiliki bahwa ekosistem juga bagian dari kehidupan manusia itu sendiri. Hasil temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa, kesadaran akan cara bertani yang aman terhadap lingkungan masih sangat kurang, akibatnya masyarakat memandang ekosistem hanya sebagai tempat bagi dirinya.

Makhluk lain bukan menjadi prioritas dan agenda manusia dalam hidupnya. 22

 Ekofeminisme Perjuangan utama kaum feminis adalah meyakinkan manusia modern bahwa ada

beragam cara pandang, cara berpikir, dan cara berada. Bahwa ada sebuah entitas berbeda dan beragam dalam hidup ini. Dunia bukan hanya dunia laki-laki, tetapi juga

20 M. Henrika, . . . 127 21 Kosmologi yakni ilmu tentang asal usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari dan jagat raya atau dengan kata lain ilmu tentang alam semesta sedangkan kosmogini yakni teori tentang asal mula terjadinya benda langit dan alam semesta.

22 Hal ini penulis temukan ketika melakukan observasi langsung, hujan yang jarang turun juga menjadi salah satu faktor terjadinya gagal panen. Ketika itu terjadi maka jalan satu-satunya yang

dilakukan oleh masyarakat tani adalah memesan air tanki dengan harga berkisar rp.150..000- 175.000/5.000Ltr.

dunia perempuan. Feminisme hadir untuk menggugat cara pandang, bahkan nilai yang umum diterima berlaku menyangkut perubahan revolusioner atas sistem yang ekonomi dan politik yang meminggirkan dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme merupakan sebuah gerakan yang ingin mendobrak pandangan antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia daripada alam semesta seperti juga pandangan biosentrisme dan ekosentrisme. Kontribusi utama ekofeminisme sebenarnya adalah membantu banyak pihak dalam memahami akar permasalahan krisis lingkungan yang berakar pada dominasi manusia. Setiap upaya untuk menyelamatkan alam semesta tidak akan berhasil ketika tidak diikuti dengan upaya menghapus cara pandang patriakhi dalam masyarakat modern saat ini. Adanya kesetaraan dalam semua makhluk ekologis, maka ekofeminisme menawarkan kasih sayang, harmoni, cinta, tanggungjawab dan saling percaya antara satu dengan lainnya. 23 Hasil temuan penulis di lapangan menunjukkan

bahwa sebagian masyarakat terkhusus kaum perempuan, masih menunjukkan sikap peduli terhadap lingkungan. ini jelas terlihat dengan proses bertani yang ramah akan tanah dan tanaman. Sikap seperti ini harusnya ditularkan kepada semua masyarakat, tidak saja kaum perempuan yang melakukannya. Namun demikian, hal ini sepertinya sulit dilakukan mengingat kepelbagaian pola dan perilaku masyarakat.

Ada banyak tafsiran terhadap perikop ini yang memunculkan kerakusan manusia atas alam semesta, pengerusakan dan pengeksploitasian yang dilakukan manusia karena alam dan segala ciptaan diberikan untuk diusahakan demi dan untuk

23 M. Henrika, . . . 127-129 23 M. Henrika, . . . 127-129

Pertanian organik atau yang ramah lingkungan nampaknya menjadi pilihan berhati ibu kalau mau dilihat dari perspektif ekofeminisme dengan beberapa prinsip yang ditekankan, yakni menghapus ketergantungan, merehabilitasi atau mengembalikan kelestarian lingkungan, meraih keuntungan, dan menjamin keadilan dalam bidang pertanian saat ini. Revolusi hijau nampaknya harus gulung tikar sebab pengaruh yang ditimbulkan tidak sebaik kampanye yang dilakukan semenjak gerakan tersebut dilakukan. Semua pihak harus ikut bertanggungjawab dan ikut memperbaiki, baik masyarakat itu sendiri, pemerintah maupun gereja sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ibarat batu tungku di mana ketiganya harus “duduk” secara baik agar tidak terjadi ketimpangan. Kesadaran harus diikuti dengan sikap yang bertanggungjawab yang juga mampu menjadi virus yang baik orang lain. Kaum perempuan tani di desa Kotabes memiliki hati ibu yang peduli dengan lingkungannya Di saat banyak pihak mulai beralih pada pertanian modern yang merusak lingkungan, perempuan masih mempertahankan kebiasaan bertani tradisional dengan nilai-nilai Pertanian organik atau yang ramah lingkungan nampaknya menjadi pilihan berhati ibu kalau mau dilihat dari perspektif ekofeminisme dengan beberapa prinsip yang ditekankan, yakni menghapus ketergantungan, merehabilitasi atau mengembalikan kelestarian lingkungan, meraih keuntungan, dan menjamin keadilan dalam bidang pertanian saat ini. Revolusi hijau nampaknya harus gulung tikar sebab pengaruh yang ditimbulkan tidak sebaik kampanye yang dilakukan semenjak gerakan tersebut dilakukan. Semua pihak harus ikut bertanggungjawab dan ikut memperbaiki, baik masyarakat itu sendiri, pemerintah maupun gereja sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ibarat batu tungku di mana ketiganya harus “duduk” secara baik agar tidak terjadi ketimpangan. Kesadaran harus diikuti dengan sikap yang bertanggungjawab yang juga mampu menjadi virus yang baik orang lain. Kaum perempuan tani di desa Kotabes memiliki hati ibu yang peduli dengan lingkungannya Di saat banyak pihak mulai beralih pada pertanian modern yang merusak lingkungan, perempuan masih mempertahankan kebiasaan bertani tradisional dengan nilai-nilai

Masyarakat tani di desa Kotabes sebenarnya mengalami dilema antara menyetujui revolusi hijau dan yang tidak sama sekali. Namun demikian, data lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pro dengan revolusi hijau. 24 Di bagian

awal, penulis sudah banyak menjelaskan bahwa pandangan masyarakat tani di desa Kotabes juga dipengaruhi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan. Ada masyarakat yang menganggap biasa saja dengan sistem bertani yang ia lakukan karena tuntutan kebutuhan hidup dan ekonomi. Masyarakat tentunya menyadari juga bahwa masuknya teknologi dan pengetahuan modern memudahkan masyarakat dalam menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, hasil wawancara dengan narasumber menyatakan bahwa dengan adanya traktor membantu masyarakat dalam mengolah tanah agar lebih cepat dan efisien. Selain traktor, beberapa kemudahan yang ditawarkan oleh revolusi hijau antara lain, Pertama, adanya obat pengering rumput. Kedua, benih atau bibit yang dijual di toko-toko. Ketiga, pupuk kimia.

Sejalan dengan itu juga bahwa peradaban manusia yang terus berkembang, manusia yang ingin hidup lebih baik namun melupakan beberapa hal ataupun tradisi yang sebenarnya masih sangat diperlukan pada masa sekarang. Ritual bertanam misalnya sudah tidak dilakukan dengan alasan bahwa hasil panen atau buah pertama akan dibawa ke gereja sebagai bentuk persembahan. Ritual tanam digantikan dengan

24 Perlu disadari juga bahwa pada satu sisi masyarakat sendiri kurang paham dengan kata revolusi namun karena penulis berusaha untuk mencari agenda-agenda revolusi hijau seperti

penggunaan bibit unggul, pupuk kimia dan pembasmi kimia maka setidaknya ada informasi-informasi yang dapat penulis peroleh.

doa yang dilakukan oleh Pendeta ketika masyarakat tani hendak membuka ladang untuk bertanam. Masuknya agama dalam hal ini Kekristenan, secara perlahan mengubah pola pikir yang ada dan mengakibatkan masyarakat menganggap ritual tanam dan panen adalah sesuatu yang salah serta tidak boleh dilakukan lagi.

Kehidupan bertani yang tradisional yang masih dekat dengan alam kemudian perlahan mulai berubah menjadi kehidupan bertani yang lebih modern, dengan beberapa catatan penting bahwa kebutuhan hidup semakin banyak, harga barang semakin mahal dan sudah tidak ada lagi keuntungan ketika masih mau bertani secara tradisional. Pola perilaku dan pengetahuan masyarakat tani perlahan mulai dipengaruhi oleh gerakan revolusi hijau dengan segala kemudahan yang tidak disadari dengan cepat oleh masyarakat desa Kotabes. Pengaruh yang ditimbulkan tidak saja terhadap manusia, makhluk hidup lain tetapi juga terhadap ekosistem. Masuknya revolusi hijau mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat tani di desa Kotabes dan juga dampak dari pandangan masyarakat yang antroponsentris, biosentris, ekosentris dan ekofeminis, mempengaruhi masyarakat tani yang berhubungan dengan bentuk-bentuk perubahan pola bertani. Di bawah ini penulis membuatnya dalam empat poin penting yakni:

1) Penggunaan alat-alat pertanian yang lebih modern dan tidak ramah lingkungan.

Moderniasai dapat dipahami sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas atau aspek-aspek dalam bidang kehidupan manusia. 25 Segi

25 J. W. Schoorl, Modernisasi (Jakarta: Gramedia, 1980), 4 25 J. W. Schoorl, Modernisasi (Jakarta: Gramedia, 1980), 4

Ada penghargaan yang positif terhadap perubahan, khususnya dalam bidang- bidang kehidupan tertentu seperti ekonomi dan ilmu pengetahuan. Ada semacam rasa optimisme yang didasarkan pada pengertian kemajuan, pengertian evolusi. Kegiatan ekonomi sangat dihargai. Bekerja dipandang sebagai sesuatu yang baik, yang mutlak. Sistem kepercayaan dan pandangan dunia berubah sifatnya menjadi lebih universal, di mana masyarakat dunia secara keseluruhan mendapat tempat dan arti. Bersamaan dengan hal itu terjadi sebuah sekularisasi . . . . agama dan pandangan hidup berkurang

kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain. 26

Sikap-sikap modern adalah ciri-ciri manusia baru atau manusia modern yang terdiri dari beberapa sikap yakni: pertama, efisiensi. Kedua, kerajinan. Ketiga, keteraturan. Keempat, ketepatan waktu. Kelima, penghematan. Keenam, kejujuran yang teliti (yang meningkatkan efisiensi dalam segala hubungan sosial dan ekonomi dlam jangka panjang). Ketujuh, rasionalitas dalam memutuskan tindakan (pembebasan dari kepercayaan pada adat statis, dari kecenderungan untuk memihak pada kelompok tertentu dan memandang bulu, dari tahyul dan prasangka). Kedelapan, kesediaan untuk berubah (membuat percobaan,

26 J. W. Schoorl, Modernisasi, . . . 3 26 J. W. Schoorl, Modernisasi, . . . 3

Harus diketahui bersama bahwa modernisasi memerlukan manusia atau orang-orang yang mengerti bahwa perubahan adalah sebuah unsur yang normal dalam kehidupan manusia, juga bahwa lewat perubahan-perubahan yang terjadi manusia diharapkan untuk mengambil nilai yang dianggap penting. Manusia modern percaya bahwa ilmu pengetahuan serta teknik dan metode ilmiah memudahkan dan bahkan memungkinkan masyarakat untuk mempergunakan

alam dan memperbaiki kehidupan. 28 Kenyataannya sekarang teknologi dan ilmu pengetahuan disalahgunakan oleh manusia-manusia modern yang memiliki

kepentingan tertentu, dampaknya tidak saja bagi kehidupan manusia tetapi kehidupan lingkungan. Teknologi yang awalnya membantu masyarakat khususnya alat pertanian, perlahan mulai menjadi tidak ramah lingkungan. Perubahan ini yang jelas dialami oleh masyarakat tani di desa Kotabes.

2) Kearifan lokal masyarakat yang mulai digantikan dengan pengetahuan modern.

Karena modernisasi memerlukan manusia yang rasional dan pragmatis, maka semua program pembangunan harus berdasarkan pada kepercayaan bahwa dengan

27 Gunnar Myrdal Basis XVI, No. 3, 77 28 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1989), 144-145 Mulia, 1989), 144-145

Filipina, menjelaskan bahwa gambaran manusia tradisional orang Filipina umumnya berlaku juga bagi orang di Asia. Nacpill memberikan tiga sikap manusia tradisional yang bertentangan dengan pikiran manusia modern, yakni pertama, pikiran orang Filipina berdasarkan pada sikap menyembah dan mengagumi, bukan keinginan untuk mengerti. Lingkungan alam dianggap penuh dengan kuasa-kuasa gaib yang dipengaruhi oleh roh-roh, dewa-dewa dan nenek moyang. Bagi orang Filipina yang juga mewakili orang Asia menganggap bahwa alam tidak dapat diuraikan dan dikuasai oleh cara ilmiah. Kedua, baik orang Filipina dan Asia sama-sama menyukai keselarasan dan persatuan dengan alam, manusia bersatu dengan alam sehingga keduanya dianggap saling membutuhkan. Ketiga, pengertian orang Filipina dan Asia biasanya berdasarkan pada mitos,

bukan konsep ilmiah. 30 Nilai-nilai Asia tradisional lebih mengutamakan kestabilan daripada perubahan, bagi orang Asia waktu dianggap berjalan sesuai dengan peredaran musim-musim tanam dan musim-musim panen yang berselang- seling. Kearifan lokal masyarakat khususnya di desa Kotabes perlahan mulai ditinggalkan dengan alasan tidak mampu lagi menjawab persoalan kebutuhan hidup manusia. Salah satunya pengetahuan tentang obat tradisional untuk menjaga tanaman dan membasmi hama serta penyakit tanaman.

29 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 145 30 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 145

Kearifan lokal pada akhirnya harus tetap dijaga oleh masyarakat, meskipun tidak lagi mampu menandingi pengetahuan modern, tetapi paling kurang kearifan lokal yang tetap dijaga dan dipelihara dapat menjadi penyeimbang bagi kehidupan alam. Sikap manusia dalam memandang alam juga berbeda. Manusia tradisional lebih pasif sebab dianggap bersatu dengan alam yang keramat dan harus hidup selaras dengan alam sedangkan manusia modern lebih aktif dalam memandang alam, manusia harus berusaha untuk mengerti hukum-hukum alam dan menaklukkannya Manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan alam sebagai objek, alam tidak dimaknai secara keramat sehingga alam dengan hukum- hukumnya harus diselidiki dan dimengerti. 31

Masyarakat desa Kotabes sendiri sejak dahulu kala memiliki kearifan lokal sebut saja pemahaman mereka tentang adanya dewa penguasa dan penjaga alam semesta. Semua yang masyarakat lakukan tidak boleh menganggangu alam semesta, bekerja sesuai dengan ritme yang telah ditentukan oleh alam. Kepercayaan akan terjadinya bencana ketika memanfaatkan alam dengan tidak bertanggungjawab. 32 Hal inilah yang seharusnya dimaknai oleh teologi dalam hal

ini Kekristenan, bagaimana melihat kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat kemudian menggabungkan dengan ajaran-ajaran teologi (gereja) sehingga masyarakat mampu memperlakukan alam dengan penuh kasih dan bertanggungjawab, sehingga dogma gereja tidak hanya terkungkung dalam mimbar-mimbar gereja semata.

31 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 153 32 Lihat Bab III Hal 76-77

3) Orientasi bertani yang hanya semata demi uang sehingga berusaha mencari alternatif dan kemudahan-kemudahan

Manusia sebagai makhluk yang bekerja seperti yang dikatakan oleh Marx, terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kegiatan bekerja itu

terkadang merusak ciptaan yang lainnya, salah satunya tanah. 33 Bagaimana mungkin kebutuhan manusia menjadi terpenuhi dengan baik, tetapi

lingkungannya menjadi rusak dan kelaparan. Fritjof Capra mengungkapkan bahwa sebuah masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang tidak saja maju dan sejahtera dalam bidang ekonomi, tetapi juga masyarakat yang sekaligus secara ekologis ramah dan harmonis dengan alam sebagai sebuah sistem

kehidupan yang autopoesis disipatif. 34 Ilmu ekonomi dan ekologi seharusnya saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan satu sama lain. 35 Masuknya

revolusi hijau ternyata meniadakan hal tersebut, nilai ekonomi semata dipandang lebih menguntungkan dan mendatangkan banyak keberuntungan sehingga tidak ada masalah ketika mengesampingkan alam sebagai bagian dari manusia itu sendiri. Dalam masyarakat desa Kotabes hal ini benar-benar terjadi bahwa masyarakat memisahkan diri dari alam bahkan menganggap alam hanya sebagai objek untuk dikelola demi dan untuk kebutuhan hidup tanpa ada tindakan

33 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Bantul: Kreasi Wacana, 2016), 46-47

34 Autopoesis disipatif, yaitu menyerap energi dan makanan dari luar, mengolahnya lalu mengeluarkan sisa proses metabolisme sebagai limbah, yang akan diserap oleh sistem kehidupan

lainnya yang juga akan berproses secara sama, dalam interaksi saling terkait dan menunjang kehidupan satu sama lain di unduh dari http://www.menlh.go.id/melek-ekologis/ , pada Kamis, 28 September 2017. Pkl. 23.10WIB

35 Frijof Capra, Bioregionalisme: menyatunya ekonomi dan ekologi dalam jurnal Etika Sosial, Respons, Vol. 17, No. 1, Juli 2012.

mengembalikan kelestarian alam. Orientasi bertani yang dilakukan oleh masyarakat tani di desa Kotabes, bukan semata demi memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mulai beralih menjadi nilai ekonomi. Masyarakat tidak lagi peduli apakah kegiatan bertani yang dilakukan tetap melestarikan lingkungan atau sebaliknya tidak. Karena orang tradisional pada awalnya hanya bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia akan berhenti ketika ia sudah cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berbeda dengan orang yang mencari keuntungan di mana ia akan bekerja supaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar. 36

4) Revolusi hijau berdampak pada rusaknya tanah dan hilangnya tanaman- tanaman lokal

Dalam pandangan orang Timor atau atoinmeto, tanah dalam bahasa Dawan dikenal dalam dua kata, yakni afu dan nain/naijan. Kata afu berhubungan dengan afa yang artinya lemak, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Orang yang sejahtera adalah mereka yang memiliki tanah dan merawat serta memelihara tanahnya, sedangkan konsep lainnya, yakni naijan yang mempunyai akar kata yang dekat dengan kata nai yang artinya leluhur dan nai yang artinya periuk serta nain yang artinya kerabat. Dalam pandangan orang Meto tanah, leluhur, periuk, dan kerabat saling berhubungan erat satu sama lainnya. Tanah sebagai nai atau periuk dipahami oleh masyarakat Meto sebagai sebagai tempat di mana masyarakat mencari makanan untuk dibagi kepada semua anggota keluarga. Di atas tanah tumbuh berbagai jenis tanaman, tak ada satupun makanan manusia

36 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 157 36 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 157

tanah sudah tidak lagi menjadi satu kesatuan sehingga masyarakat dengan gampang menggunakan kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Tanah sebagai periuk kehidupan, beralih fungsi menjadi tanah sebagai lahan ekonomi. Periuk kehidupan terpenuhi akan tetapi tidak menguntungkan bagi tanah maupun makhluk hidup lainnya. Tanah sudah memelihara manusia, namun demikian hubungan timbal balik dari manusia memelihara tanah nampaknya tinggal cerita semata.

Teknologi dan pengetahuan modern telah mengubah paradigma berpikir masyarakat dan membuat masyarakat melupakan kearifan lokal yang mereka miliki. Hal ini pula yang dikemukakan oleh Vandana Shiva, dalam tulisannya yang berjudul Ecological Balance in an Era of Globalization 38 mengkritik bahwa

masuknya globalisasi mengubah sistem tatanan yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Ia menggunakan masyarakat India sebagai contoh konkirt bagaimana globalisasi menarik kearifan lokal masyarakat yang menjaga dan melestarikan

37 Mery L. Y. Kolimon, Teologi Ramah Tanah di Timor Barat dalam Jurnal Oase STT INTIM (Teologi Tanah: Perpektif Kristen terhadap Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia), 25-26

38 Frank J. Lechner and John Boli (ed), The Globalization Reader Second Edition (Blackwell Publishing, 2003), 422 38 Frank J. Lechner and John Boli (ed), The Globalization Reader Second Edition (Blackwell Publishing, 2003), 422

Bagi Shiva perlu adanya keseimbangan ekologi di era globalisasi saat ini. Tidak adanya keseimbangan menyebabkan masyarakat India sebagai negara dunia ketiga dijadikan tempat sampah yang meracuni dan merusak alam serta lingkungan. 39 Globalisasi secara tidak langsung menciptakan masalah baru yang

berujung pada kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin berkembang membuat masyarakat menjadi semakin ingin hidup instan, tidak mau susah-susah ataupun berkeringat. Pada akhirnya hal tersebut akan membuat manusia merusak ciptaan lainnya. Berkaca dari peristiwa di India, mengenai globalisasi yang merusak lingkungan (pembuangan sampah, polusi udara) Shiva mencoba untuk tetap terus mempertahankan kearifan lokal, menjaga keseimbangan lingkungan di era globalisasi, menolak penggunaan bahan kimia pada tanaman sebagai bentuk penolakan mereka akan masuknya arus globalisasi yang berdampak buruk.

Hal inilah yang seharusnya menjadi contoh bagi komunitas di setiap daerah, di Desa Kotabes pemikiran untuk membentuk sebuah komunitas yang peduli terhadap lingkungan khususnya dalam pertanian belum dipikirkan, mengingat sumber daya manusia yang masih memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah kemudian yang juga menjadi pergumulan bersama bahwa bagaimana terus

39 Retnowati, Agama dan Globalisasi: Refleksi Teori-teori Globalisasi dan Relevansinya Terhadap Persoalan-persoalan Sosial, Gereja dan Masyarakat (Salatiga: Fakultas Teologi, 2015), 61

menjaga lingkungan alam, menjaga sumber pangan, menjaga keanekaragaman hayati yang mulai rusak di tengah-tengah era globalisasi yang terus masuk dalam kehidupan masyarakat. Filosofi ini pada akhirnya, ingin mengingatkan manusia bahwa dia berasal dari alam, manusia bukan tuan atas alam, tetapi saudaranya. Hubungan manusia Timor dengan tanah bukanlah hubungan hirarkis-dominatif, tetapi sebuah hubungan mutual-equalis. Tanah memelihara kehidupan manusia, begitupun sebaliknya manusia memelihara tanah. Oleh karena sama-sama berasal dari tanah, manusia seharusnya tidak merusak tanah dengan penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang tidak bertanggungjawab dan merugikan ciptaan yang lain. Manusia bersama dengan alam harus menjadi rekan kerja. Pertanian yang ramah lingkungan harusnya tetap dijaga dan lebih ditingkatkan kembali. Selain sebagai makhluk sosial, manusia sebenarnya adalah makhluk ekologis. Manusia tidak saja membutuhkan orang lain, tetapi juga membutuhkan alam sebagai bagian dari hidupnya. Manusia tidak dapat menjadi manusia tanpa lingkungan hidup, tidak dapat hidup tanpa air, udara, tanah, dan makhluk hidup lainnya. Kalaupun demikian manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa interaksi dan saling mempengaruhi, saling terkait dengan sesama makhluk hidup lainnya. 40 Penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan berdampak

pada menurunnya kualitas tanah, unsur hara yang terkandung di dalam tanah pada akhirnya tidak dapat memberikan kesuburan bagi tanaman. Hal ini membuat tanah harus terus disiram dan tetap basah.

40 Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup (Jogjakarta: Kanisius, 2014), 90

4.4 Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

Tinjauan ekoteologi yang penulis gunakan untuk mengkaji persoalan revolusi hijau terhadap bertani yang ramah lingkungan bukanlah semata-mata mau menegaskan bahwa tinjauan ekoteologi adalah yang paling tepat dan menjadi alternatif paling ampuh dalam menangani masalah ini, tetapi tinjauan ekoteologi setidaknya dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang membantu masyarakat tani secara umum tentang bagaimana kembali membina relasi atau hubungan yang baik dengan alam semesta sebagai bagian dari dirinya. Dalam bab II, penulis sudah sangat jelas memberikan beberapa konsep tentang ekoteologi baik secara umum maupun secara khusus yang berasal dari pikiran beberapa ahli seperti Lynn White, Sallie McFague, Denis Edwards, Aldo Leopold, John B. Cobb, Simone Morandin i dan Leonardo Boff. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan para ekoteolog bermula dari keprihatinan tentang krisis ekologi atau lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini.

Program revolusi hijau dianggap sebagai masa depan untuk menjaga ketahanan pangan penduduk dunia. Namun demikian masa kejayaan itu mulai tidak lagi mendapatkan respon ketika program revolusi hijau ternyata menyimpan banyak rahasia, sebut saja pengetahuan dan politik. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada awalnya program revolusi hijau ini membawa kesuksesan ketika diterapkan pada satu daerah di India, di mana benar-benar mengalami revolusi hijau dalam produksi gandum, juga sumber lain menyebutkan bahwa ini bukan hal yang pertama Program revolusi hijau dianggap sebagai masa depan untuk menjaga ketahanan pangan penduduk dunia. Namun demikian masa kejayaan itu mulai tidak lagi mendapatkan respon ketika program revolusi hijau ternyata menyimpan banyak rahasia, sebut saja pengetahuan dan politik. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada awalnya program revolusi hijau ini membawa kesuksesan ketika diterapkan pada satu daerah di India, di mana benar-benar mengalami revolusi hijau dalam produksi gandum, juga sumber lain menyebutkan bahwa ini bukan hal yang pertama

mengalami kekurangan pangan dan masih mengimpor puluhan juta ton beras ataupun gandum dari negara lainnnya. Dengan keadaan yang demikian, muncullah pemikiran untuk mengubah sistem pertanian tradisional. Oleh karena itu, teknologi baru harus ditemukan melalui sebuah penelitian. Beberapa negara yang sudah lebih dulu maju, seperti Meksiko, Taiwan dan Sudan, sudah sejak lama meninggalkan pola pertanian tradisional karena dianggap tidak lagi dapat memenuhi kenaikan permintaan pangan akibat pertambahan penduduk yang pesat dan kenaikan pendapatan industri. 42

Dokumen yang terkait

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Siswa Kelas 4 SD Negeri Ledok 06 Salatiga Semest

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Siswa Kelas 4 SD Negeri Ledok 06 Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014

0 0 73

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 50