PELUANG KACANG HIJAU Phaseolus radiatus

PELUANG KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus)
SEBAGAI DIET MANULA
MOHD. HARISUDIN

1

Abstrak
Semakin meningkatnya jumlah angka harapan hidup di Indonesia membawa implikasi
pada meningkatnya biaya perawatan manusia. Umur panjang dipandang sebagai sesuatu
yang menggembirakan bagi manusia, karena saat itulah saatnya menuai hasil dari kerja keras
sebelumnya (saat masih produktif). Kenyataan yang sering terjadi adalah dengan
bertambahnya usia, seseorang tidak selalu linier dengan kebahagiaan. Usia lanjut seringkali
membawa berbagai macam gangguan kesehatan. Umumnya disebabkan kurang berfungsinya
organ tubuh untuk menunjang aktifitas fisik. Kehadiran pangan fungsional yang dimaksudkan
sebagai alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut mendapatkan apresiasi. Namun
demikian, pangan fungsional apa yang akan dipilih masih menjadi pertanyaan mendasar bagi
sebagian besar orang. Kacang hijau (Phaseolus radiatus) yang sudah sejak lama menjadi
bahan baku produk makanan olahan di banyak daerah Indonesia ternyata memiliki potensi
sebagai alternatif yang baik bagi manula. Kacang hijau (Phaseolus radiatus) memiliki berbagai
unsur vitamin (A, thiamin, riboflavin, niasin, piridoksin, biotin, alfa-tokoferol) dan mineral (besi,
belerang, kalsium, mangaan, magnesium). Kelompok vitamin B (B1, B6 dan B12) merupakan

bahan baku untuk memproduksi asetilkolin, yaitu neurotransmitter yang berfungsi dalam fungsi
mengingat. Selain itu, Phaseolus radiatus juga memiliki kandungan zat non-gizi yang sangat
bermanfaat bagi manula, yaitu isoflavon. Isoflavon adalah suatu metabolit sekunder yang
banyak disintesa oleh tanaman.
Kata kunci: kacang hijau; antioksidan; isoflavon

PENDAHULUAN
Gerakan Indonesia sehat 2010 yang dicanangkan oleh Presiden sejak 1999
merupakan suatu strategi perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan
dampak terhadap kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Sujudi, 2004).
Perwujudan Indonesia sehat 2010 difokuskan untuk membentuk sumberdaya
manusia (SDM) yang berkualitas, yang mampu hidup lebih lama, menikmati hidup
sehat, mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan dan hidup sejahtera
dengan tingkat pendapatan yang cukup memadai.
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan sektor kesehatan adalah
meningkatnya angka harapan hidup (AHH) penduduk Indonesia. Adanya peningkatan
AHH ini juga membawa konsekuensi pada semakin banyaknya masalah kesehatan
yang dibawa oleh manusia usia lanjut (Manula) tersebut. Peningkatan jumlah
obesitas dan angka kejadian berbagai penyakit degeneratif seperti jantung koroner,
hipertensi, diabetes mellitus dan kanker telah meningkat seiring meningkatnya AHH

penduduk Indonesia.
Paradigma hidup sehat manusia modern adalah “mencegah lebih baik dari
pada mengobati” menjadi alternatif solusi dari banyaknya permasalahan kesehatan
manula. Hidup sehat tanpa obat membawa implikasi pada perubahan pola hidup
manusianya, seperti perubahan gaya hidup serta pola konsumsi yang mengarah
pada konsumsi makanan yang menyehatkan (mengacu pedoman umum gizi
1

Dosen Jurusan Agrobisnis Fakultas Pertanian UNS.
Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

32

seimbang-PUGS) dengan minimal lemak, melakukan aktivitas fisik, mengurangi
tingkat stress dan hidup secara ikhlas. Akhir tahun 1980-an terjadi paradigma baru
tentang pangan yang terkait dengan kesehatan. Pangan telah diyakini tidak saja
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan (jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh) saja. Sekarang ini,
filosofi orang makan telah mengalami pergeseran, dari sekedar untuk kenyang
berubah kepada harapan untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang

optimal (Astawan, 2003).
Harapan tersebut menuntut bahan pangan yang dikonsumsi tidak lagi
sekadar memenuhi kebutuhan dasar tubuh (yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat
bersifat fungsional. Dari sinilah lahir konsep dasar pangan fungsional (functional
foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Pangan
fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses,
mengandung satu atau lebih komponen, yang berdasar kajian ilmiah dianggap
mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh
(Muchtadi, 2003).
Produk-produk pangan fungsional memiliki prospek menguntungkan dan
mempunyai nilai jual tinggi dan sangat prospektif. Secara umum, sediaan produkproduk pangan fungsional di dunia terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
produk-produk bakery dan snack, kelompok susu, kelompok minuman (Anonim,
a
2004 ). Meskipun konsep pangan fungsional baru muncul dalam dua dekade terakhir,
akan tetapi sesungguhnya sudah banyak jenis makanan tradisional yang memenuhi
persyaratan untuk disebut sebagai pangan fungsional, salah satunya adalah bubur
kacang hijau. Bubur yang berbahan baku utama kacang hijau ini telah menjadi
makanan umum penduduk Indonesia. Di berapa daerah banyak ditemui warung
makan yang menyediakan bubur kacang hijau. Dalam industri makanan minuman,
kacang hijau sudah diproduksi dalam sediaan sari buah yang terkemas dengan tetra

pak, bubur instan untuk ibu hamil, ibu menyusui, bahkan balita.
Selain sebagai sumber lemak, vitamin dan protein, kacang hijau juga
merupakan sumber mineral dan serat pangan (dietary fiber). Kadar serat dalam
kacang-kacangan mempunyai peran yang sangat penting dalam pola makan.
Namun demikian, penelitian mengenai atribut gizi kacang polong pada umumnya
masih relatif sedikit, kecuali kedelai (Afriansyah, 2000). Protein kacang-kacangan
(termasuk kacang hijau) umumnya kaya akan lisin, leusin, dan isoleusin, tapi terbatas
dalam hal kandungan metionin dan sistin. Hal ini menyebabkan kacang-kacangan
sering dikombinasikan dengan serealia. Sebab, serealia kaya akan metionin dan
b
sistin, tapi miskin lisin (Anonim, 2004 )
Berdasarkan data, perdagangan pangan fungsional di pasar Amerika Serikat
pada 1999 mencapai 14,7 US$. Nilainya diprediksi James US$ dalam bukunya, Key
Players in the Global Functional Food Industry meningkat menjadi 15 US$ pada
2002. Di Eropa, perdagangan pangan fungsional yang pada 1997 mencapai 7,5
US$, meningkat menjadi 10,6 US$ pada 2002. Peningkatan tajam juga terjadi di
Jepang, dari 14 US$ menjadi 19,5 US$, pada periode yang sama (Muchtadi, 2003).
Pasar global pangan fungsional tahun 2000 telah mencapai 73 milyar Euro, atau
mengalami peningkatan rata-rata 16% pertahun.


Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

33

MASALAH MANULA
Dalam masalah pangan, dua dasawarsa terakhir Indonesia mengalami
berbagai aspek masalah transisi, antara lain pola konsumsi yang mengarah kepada
transformasi pola makan ala barat, yang berarti konsumsi lemak, garam dan gula
cenderung berlebihan, sedangkan serat dan karbohidrat kompleks cenderung
berkurang. Perubahan tersebut sudah dirasakan berdampak kurang baik, turunan
dari perubahan tersebut berakibat pada prevalensi penyakit degeneratif yang drastis
meningkat, seperti penyakit jantung koroner, ginjal, diabetes mellitus dan kanker
(Karyadi, 1996; Muchtadi, 1999).
Gangguan-gangguan tersebut diantaranya dimulai adanya radikal bebas
dalam tubuh, yaitu sebuah molekul atau atom yang mempunyai elektron tidak
berpasangan pada orbital luarnya (Nabet, 1996). Molekul ini sangat labil dan mudah
membentuk senyawa baru. Dalam keadaan normal-pun, tubuh membentuk radikal
bebas atau bisa disebut prooksidan (Sapari, 1996). Menurut Raharjo (1996), radikal
bebas dapat menyebabkan kerusakan sel, karena dapat menimbulkan kerusakan
pada protein (aktivitas enzim terganggu), asam nukleat (kerusakan DNA, mutasi sel),

dan kerusakan pada lipida (fluiditas membran terganggu). Sebagai akibat itu semua
adalah pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi tidak wajar, bahkan dapat
menyebabkan kematian (Muchtadi, 1999). Pada keadaan normal, dalam tubuh
terdapat keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan, akan tetapi pada
keadaan tertentu keseimbangan dapat terganggu. Akibatnya bisa berlanjut pada
timbulnya berbagai penyakit degeneratif.
KANDUNGAN KACANG HIJAU
Diantara pangan fungsional yang berpotensi untuk dikembangkan di bumi
Indonesia adalah pangan berbahan kacang hijau. Kacang hijau (Phaseolus radiatus)
yang juga biasa disebut mungbean merupakan tanaman yang dapat tumbuh hampir
di semua tempat di Indonesia. Berbagai jenis makanan (olahan) asal kacang hijau
seperti bubur kacang hijau, minuman kacang hijau, kue/penganan tradisional, dan
kecambah kacang hijau telah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
b
(Anonim, 2004 ).
Kacang hijau mengandung berbagai zat gizi dan non-gizi penting yang
diperlukan untuk mencegah sakit, menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh agar
optimal. Diantara zat gizi yang banyak terkandung di dalam kacang hijau adalah
b
vitamin B1 dan B2 (Anonim, 2004 ), berbagai asam amino penting, protein, serat, zat

gizi mikro, mineral dan vitamin B6. Kandungan protein kacang hijau sekitar 24%.
Dalam menu masyarakat sehari-hari, kacang-kacangan merupakan alternatif sumber
protein nabati terbaik. Telah disadari bahwa daya cerna protein kacang-kacangan
tidak setinggi protein hewani. Protein kacang-kacangan (nabati) umumnya memiliki
asam amino pembatas lebih banyak, sehingga pemanfaatannya oleh tubuh tidak
dapat menandingi protein hewani. Protein kacang hijau kaya akan asam amino lisin.
Dalam pola makan sehari-hari, kekurangan dan kelebihan zat gizi tertentu
dapat diantisipasi apabila kita mengkonsumsi makanan yang beragam. Tingginya
kandungan lisin dalam kacang hijau sebenarnya melengkapi kekurangan lisin yang
terdapat dalam beras. Efek komplementer (saling melengkapi) ini menyebabkan
protein dari kombinasi makanan yang serasi dapat dimanfaatkan tubuh secara
maksimal.
34
Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

Lemak
Kandungan lemak dalam kacang hijau adalah 1,3%, dibawah kedelai (18%),
dari data tersebut kacang hijau memiliki kelebihan tidak mudah tengik dibanding
kedelai. Dari kandungan lemak tersebut, 73% nya merupakan asam lemak tak jenuh
dan 27% tersusun atas lemak jenuh. Dengan rendahnya kandungan asam lemak

jenuh tersebut, maka kacang hijau aman dikonsumsi oleh orang yang memiliki
masalah dengan kelebihan berat badan dan pasien penderita penyakit jantung
d
(Anonim, 2004 ).
Vitamin B1
Vitamin B1 (tiamin) mulai dibicarakan sebagai hormon makanan sejak tahun
1911. Pada awalnya vitamin B1 dikenal sebagai anti beri-beri. Selanjutnya dibuktikan
dalam hewan percobaan bahwa vitamin B1 juga bermanfaat untuk membantu proses
pertumbuhan. Eykman seorang dokter Belanda di Indonesia pada tahun 1897
menemukan penyakit beri-beri pada ayam yang diberi beras sosoh. Kejadian beriberi ini dapat dicegah apabila ransum diganti dengan beras merah, barley, atau
kacang-kacangan. Temuan Eykman dan peneliti-peneliti lain di Filipina merupakan
b
sejarah terungkapnya peran penting dari vitamin B1 (Anonim, 2004 ).
Vitamin B1 adalah bagian dari koenzim yang berperan penting dalam
oksidasi karbohidrat untuk diubah menjadi energi. Tanpa kehadiran vitamin B1 tubuh
akan mengalami kesulitan dalam memecah karbohidrat. Vitamin B1 konon juga
dikenal sebagai vitamin semangat. Tanda-tanda pertama orang yang kekurangan
vitamin B1 adalah penurunan kerja syaraf. Kegiatan syaraf terganggu karena
oksidasi karbohidrat terhambat. Penelitian pada sekelompok orang yang
makanannya kurang cukup mengandung vitamin B1 dalam waktu singkat muncul

gejala-gejala mudah tersinggung, tidak mampu memusatkan pikiran, dan kurang
bersemangat. Hal ini mirip dengan tanda-tanda orang stress. Dampak jangka
panjang yang terjadi adalah mudah capai, kurang nafsu makan, berat badan turun,
konstipasi (sulit buang air besar) dan nyeri syaraf (Agung, 2004).
Kebutuhan vitamin B1 seseorang akan meningkat apabila bekerja lebih
banyak menggunakan tenaga (energi). Mereka yang rajin berolahraga berarti juga
memerlukan vitamin B1 lebih banyak. Kandungan vitamin B1 dalam air susu ibu (ASI)
sangat tergantung pada ada tidaknya vitamin tersebut dalam makanan yang
dikonsumsi ibu. Vitamin B1 bersama-sama dengan vitamin B6 dan B12 merupakan
bahan baku untuk memproduksi asetilkolin, yaitu neurotransmitter yang berperan
e
dalam fungsi mengingat (Anonim, 2004 ).
Vitamin B2
Kandungan vitamin B2 (riboflavin) yang cukup tinggi dalam kacang hijau
sangat bermanfaat bagi kesehatan. Vitamin B2 mempunyai fungsi kesehatan yang
lebih beragam. Hewan-hewan percobaan yang kekurangan vitamin B2 mengalami
gangguan pertumbuhan. Sebaliknya hewan yang diberi cukup vitamin B2
menampakkan kegiatan yang aktif, mempunyai kesanggupan mengandung dan
menyusui yang lebih baik, dapat mencapai umur yang lebih panjang, dan
memperlambat kesenilan (pikun).

Pertumbuhan janin tikus percobaan juga lebih baik apabila induknya cukup
mengkonsumsi vitamin B2. Ketika lahir anak-anak tikus tadi mempunyai rangka yang
35
Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

baik (tidak abnormal). Pada manusia kekurangan vitamin B2 memunculkan gejala
seperti bibir dan sudut mulut retak-retak atau kemerahan, dan radang pada kornea
b
mata (Anonim, 2004 ).
Meskipun kebutuhan vitamin B2 manusia rendah, dan dapat hidup tanpa
menunjukkan gejala-gejala defisiensi yang berarti, namun kebanyakan ahli
sependapat bahwa kecukupan vitamin B2 akan menjamin kesehatan yang baik.
Vitamin B2 dapat membantu penyerapan protein di dalam tubuh. Kehadiran vitamin
B2 akan meningkatkan pemanfaatan protein sehingga penyerapannya menjadi lebih
efisien. Ini barangkali menjelaskan mengapa vitamin B2 termasuk komponen penting
b
dalam proses pertumbuhan (Anonim, 2004 ).
Vitamin B2 juga berkemampuan sebagai antioksidan, disamping perannya
sebagai kofaktor dalam reaksi oksido-reduksi, vitamin B2 tampak mempunyai aksi
antioksidan langsung. Hal ini bisa dilihat dengan adanya hidroperoksida lipidik,

secara invitro, vitamin B2 diubah menjadi bentuk teroksidasi (Nabet, 1996).
Isoflavon
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak
disintesa oleh tanaman (Pawiroharsono, 2004). Namun tidak layaknya senyawa
metabolit sekunder yang lain, karena senyawa ini tidak disintesis oleh
mikroorganisme. Dengan demikian, mikroorganisme tidak mempunyai kandungan
senyawa ini. Isoflavon termasuk dalam subkelas dari flavonoid, yakni kelompok besar
antioksidan polifenol yang banyak dijumpai secara alami dalam buah-buahan,
sayuran, kacang-kacangan dan minuman, seperti teh dan minuman anggur, produk
fermentasi buah anggur.
Antioksidan ialah zat pencegah oksigen bergabung dengan zat lain untuk
menimbulkan kerusakan pada sel-sel; antioksidan mampu melindungi tubuh terhadap
timbulnya sel kanker sebab menetralkan radikal bebas (molekul tak stabil), biasanya
mengandung oksigen, hasil proses kimia normal tubuh dan pengaruh lingkungan,
seperti radiasi, asap knalpot, asap rokok (Afriansyah, 2000).
Jenis isoflavon utama yang ditemukan dalam kacang hijau adalah genistein
dan daidzein (Afriansyah, 2000). Isoflavon juga mampu menurunkan kolesterol
darah, baik dikonsumsi bagi pasien yang mengalami gangguan jantung, baik bagi
pembentukan struktur massa tulang dan berbagai masalah yang terkait dengan
pasca menopaus pada wanita (Setchell, 2000). Peran isoflavon mirip dengan
estrogen pada sel-sel manusia, sehingga lazim disebut dengan phytoestrogen
(Schmidl and Labuza, 2000). Pada wanita menjelang menopaus, produksi estrogen
menurun sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan seperti osteoporosis dan
pencegahan kanker. Pada wacana ini, isoflavon bisa dijadikan sebagai substitusi
turunnya produksi estrogen (Pawiroharsono, 2004). Dengan mengkonsumsi 50
mg/hari atau lebih secara klinis memperbaiki siklus mentruasi pada wanita menjelang
menopaus (Cassidy et al., 1994).
Dalam tubuh, menurut Barnes and Kein dalam Pawiroharsono (2004),
isoflavon berfungsi untuk menjamin pertumbuhan secara normal, memelihara
kesehatan orang dewasa (pria dan wanita), hormon ini berfungsi tidak saja pada
urusan reproduksi saja, melainkan juga untuk kesehatan tulang, jantung, dan
mungkin juga otak.
Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

36

Berbagai riset menunjukkan bahwa isoflavon mempunyai peran potensial
dalam mencegah sejumlah penyakit kronis, diantaranya kanker prostat, salah satu
momok besar bagi laki-laki di atas 50 tahun. Insiden kanker prostat klinis di antara
orang kulit putih Amerika Serikat 10-15 kali lebih tinggi daripada insiden pada orang
Jepang, sedangkan insiden kanker prostat laten/tersembunyi secara keseluruhan
hanya sekitar 50% lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada beberapa
populasi, seperti orang Jepang, pertumbuhan tumor prostat lebih lambat, proses awal
kemunculan tumor prostat atau keduanya terjadi lebih lambat dalam kehidupan.
Penundaan munculnya tumor prostat klinis beberapa tahun-pun dapat memiliki
dampak nyata terhadap penurunan kematian akibat kanker prostat. Konsumsi kedelai
dan hasil olahannya diduga dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap
kemungkinan kejadian kematian karena kanker prostat yang rendah pada orang
Jepang (Afriansyah, 2000).
Dalam penelitian yang menggunakan media tikus, isoflavon secara signifikan
mengurangi metastasis sel kanker (melanoma), mekanisme aksinya adalah
menghambat proliferasi sel-sel kanker meskipun dalam kondisi yang tidak
mendukung dengan berbagai perlakuan (Anderson et al., 1999). Selain itu, isoflavon
juga memiliki peran sebagai antiinflammatin agent. Mekanisme isoflavon sebagai
antiinflammasi dapat terjadi melalui efek penghambatan pada jalur metabolisme
asam arakhidonat, pembentukan prostaglandin, pelepasan histamin atau aktivitas
“radical scavenging” suatu molekul. Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlindung
dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel (Loggia et al.,
1986)
Genistein
Jenis isoflavon utama yang ditemukan adalah genistein dan daidzein.
Senyawa isoflavonoid yang mampu menghambat aktivitas senyawa promotor
terbentuknya tumor (Pawiroharsono, 2004). Dari sejumlah senyawa isoflavonoid yang
banyak disebut-sebut berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah genistein, yang
merupakan isoflavon aglikon (bebas). Potensi tersebut antara lain menghambat
perkembangan sel kanker payudara (Lamastiniere et al., 1997), sel kanker liver
(Hendrich et al., 1997). Penghambatan sel kanker oleh senyawa isoflavon ini terjadi
khususnya pada fase promosi (Fujiki et al., 1986).
Penelitian laboratorium pada kasus pasien kanker prostat, genistein mampu
menghambat pertumbuhan sel-sel kanker prostat yang bergantung dan tidak
bergantung pada androgen (senyawa yang mempunyai khasiat seperti hormon lakilaki) di dalam tabung reaksi. Genistein juga dapat menghambat potensi
penjalaran/penyebaran sel-sel (metastasis) kanker prostat yang lepas dari hambatan
pertumbuhan sel (Afriansyah, 2000). Selain itu, genistein dapat menghambat aktivitas
5-alfa-reduktase, yakni enzim pengubah hormon laki-laki testosteron menjadi
dihidrotestosteron (bentuk androgen lebih aktif) yang merangsang pertumbuhan
jaringan prostat, pada sel-sel muda jaringan kulit alat kelamin dan jaringan prostat
yang membesar. Aktivitas 5-alfa-reduktase dijumpai lebih tinggi pada laki-laki kulit
putih dan kulit hitam AS dibandingkan dengan laki-laki Jepang. Sementara riset lain
menunjukkan, sesudah mengkonsumsi susu kedelai selama 1 bulan, konsentrasi
metabolit dihidrotestosteron dalam darah turun secara signifikan. Jadi, konsumsi
kedelai dan hasil olahannya, seperti susu kedelai, dapat mencegah peluang
timbulnya kanker prostat pada laki-laki (Afriansyah, 2000).

Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

37

Rata-rata orang Asia mengkonsumsi genistein kira-kira 50-75 mg tiap hari
lebih kurang setara dengan jumlah yang terdapat dalam tempe sekitar 100 g.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Texas, AS, mengungkapkan bahwa
genistein dan daidzein tetap tinggal dalam tubuh selama 24-36 jam. Dengan
demikian, untuk menjamin agar sel-sel tubuh terus menerus memperoleh pasokan
isoflavon dan terhindar dari kanker prostat, kedelai dan hasil olahannya perlu
dikonsumsi tiap hari (Afriansyah, 2000).
Tauge kacang hijau
Tauge mempunyai kandungan vitamin B dan E lebih banyak dibandingkan
dengan bentuk bijinya. Selama berkecambah, kadar vitamin B meningkat 2,5 sampai
3 kali lipat. Peningkatan vitamin B1 (thiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B6
(piridoksin), biotin juga terjadi selama proses berkecambah. Demikian juga dengan
vitamin E (tocopherol), mengalami peningkatan dari 24-230 mg per 100 gram biji
kering menjadi 117-662 mg per 100 gram kecambah. Proses berkecambah juga
c
meningkatkan kandungan vitamin E (tocopherol) secara nyata (Anonim, 2004 ).
Defisiensi vitamin E pada tikus percobaan menunjukkan terjadinya gangguan
pada reproduksi, seperti keguguran pada betina hamil dan pembengkakan gonad
pada tikus jantan. Vitamin E adalah antioksidan yang sangat penting bagi tubuh,
antara lain untuk menghambat proses penuaan (antiaging). Hingga saat ini tauge
(sumber vitamin E) dipercaya sebagai bahan pangan untuk meningkatkan kesuburan
(antimandul). Hal tersebut sebenarnya terjadi karena vitamin E mampu melindungi
sel-sel telur atau spermatozoa dari berbagai kerusakan akibat oksidasi (radikal
bebas). Oksidasi pada spermatozoa kemungkinan dapat menyebabkan sel tersebut
cacat. Misalnya terjadi abnormalitas pada bagian ekor atau kepala, sehingga
mempengaruhi mobilitasnya (daya gerak) dalam mencapai dan membuahi sel telur.
Akibatnya, sulit terjadi proses kehamilan. Sebaliknya, oksidasi pada sel telur wanita
juga akan berdampak buruk, sehingga proses pembuahan tidak dapat berlangsung
dengan baik.
Antioksidan larut lemak utama ini terdapat pada membran selular dimana
vitamin ini mereduksi radikal bebas lipidik lebih cepat daripada oksigen (Nabet,
1996). Tauge kacang hijau juga mengalami peningkatan jumlah asam folat sampai
umur perkecambahan 36 jam, kemudian menurun setelahnya. Fungsi asam folat
adalah untuk mencegah anemia, diare, serta luka pada lambung dan usus (Anonim,
c
2004 ).
Protein kacang hijau juga meningkat jumlahnya dalam bentuk tauge,
peningkatannya dapat mencapai 119% dibanding kandungan awal pada biji (Anonim,
c
2004 ). Hal ini disebabkan terjadinya sintesis protein selama germinasi. Selama
proses berkecambah, terjadi hidrolisis protein yang menyebabkan kenaikan kadar
asam amino di dalam kecambah.
Menghilangkan Penyebab Perut Kembung
Karena bersifat alkali (basa), tauge juga dapat dijadikan sebagai
antikembung. Kembung terjadi akibat terlalu banyak mengonsumsi kacang-kacangan
yang mengandung oligosakarida. Konsumsi oligosakarida yang berlebih dapat
menyebabkan timbulnya gejala flatulensi, yaitu suatu keadaan menumpuknya gas
dalam lambung. Oligosakarida terdiri dari komponen-komponen verbaskosa,
stakiosa, dan rafinosa. Oligosakarida dari famili rafinosa tidak dapat dicerna karena
38
Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

mukosa usus mamalia tidak mempunyai enzim pencernanya,
c
galaktosidase, sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh (Anonim, 2004 ).

yaitu

alfa-

Bakteri-bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan (terutama pada
bagian usus halus) akan memfermentasi rafinosa menghasilkan berbagai macam
gas, seperti karbondioksida, hidrogen, dan sejumlah kecil metan. Gas-gas
tersebutlah yang menyebabkan flatulensi. Meskipun tidak bersifat toksik, flatulensi
dapat berakibat serius. Peningkatan tekanan gas dalam rektum dapat menyebabkan
tanda-tanda patologis, seperti sakit kepala, pusing, penurunan daya konsentrasi, atau
sedikit perubahan mental dan odema. Flatulensi juga dapat berakibat pada timbulnya
dipepsi dan konstipasi usus serta diare. Beberapa tindakan seperti perendaman
kacang-kacangan dalam air, proses berkecambah, serta fermentasi menjadi berbagai
produk olahan, dapat mencegah timbulnya flatulensi yang disebabkan oleh
oligosakarida. Melalui perkecambahan, kandungan oligosakarida penyebab flatulen,
yaitu rafinosa dan stakhiosa, dapat dikurangi. Dengan demikian, mengonsumsi tauge
c
tidak akan menyebabkan gejala perut kembung (Anonim, 2004 ).
Studi tentang konsumsi kacang-kacangan pada anak menunjukkan bahwa
kacang hijau adalah yang paling rendah dalam hal menimbulkan flatulensi (gas)
dalam perut. Flatulensi disebabkan adanya oligosakarida yang tidak dapat dicerna
dan kemudian difermentasikan oleh bakteri usus. Oligosakarida ini jumlahnya relatif
sedikit dalam kacang hijau. Kacang hijau juga mengandung kalsium (124 miligram
(mg)/100 gram) dan fosfor (326 mg/100 g). Ini berarti kacang hijau bermanfaat untuk
memperkuat kerangka tulang yang sebagian besar tersusun dari kalsium dan fosfor
b
(Anonim, 2004 ).
Liver
Ekstrak kacang hijau diteliti dengan konsentrasi (100, 500 dan 1000 mg/kg
bb) dan silymarin (25 mg/kg bb) diberikan pada liver tikus yang telah di induced
acetaminophen. Hasilnya menunjukkan serum glutamate-oxalate-transaminase
(SGOT) dan serum glutamate pyruvate-transaminase (SGPT) mengalami penirunan.
Hasil tes patologinyapun menunjukkan adanya perbaikan pada semua dosis
dibanding pemberian tunggal silymarin. Dengan demikian kacang hijau berpotensi
sebagai hepatoprotektor (Wu et al.,2001).
Kemampuan Isoflavon dalam menurunkan kadar LDL darah, namun tidak
berpengaruh terhadap turunnya kadar HDL darah, maka isoflavon dianggap secara
langsung berpengaruh pada kesehatan sel-sel liver. Kadar lemak darah (total
kolesterol dan trigliserida dalam VLDLs) pada pasien hiperkolesterol moderat yang
mengkonsumsi isoflavon selama 9 minggu terbukti turun nilainya (Anthony et al.,
1998). Hasil penelitian ini menguatkan studi meta-analysis terhadap populasi besar
pada orang Jepang (laki-laki dan perempuan) yang mengkonsumsi kedelai
(isoflavon) dengan kadar kolesterol darah yang rendah (Nagata, et al., 1998).
Mekanisme lain dari penurunan kolesterol oleh isoflavon diterangkan oleh Sekiya
dalam Pawiroharsono (2004) melalui pengaruhnya dalam meningkatkan katabolisme
sel lemak dalam pembentukan energi, yang berakibat pada turunnya jumlah
kolesterol

Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

39

DAFTAR PUSTAKA
Afriansyah, N. 2000. Tempe Dapat Hambat Kanker Prostat. Kompas, Minggu, 2 April
2000. http://kompas.com/kompas-cetak/0004/02/iptek/temp21.htm.
Agung. 2004. Meningkatkan Produktivitas Kerja dengan Kacang Ijo. Down load
tanggal 31 Agustus 2004. http://www.untag-sby.ac.id/kacang%20ijo.html.
Anderson, J.J.B., M. Anthony, M, Messina, S.C. Garner. 1999. Effect of Phytoestrogens on Tissues. Nur Res Rev; 12; 75-116.
Anonim. 2004b. Manfaat Kacang Hijau untuk Kesehatan. Down load tanggal 31
Agustus 2004. http://www.glorianet.org/keluarga/kesehatan/kesemanf.
html.
c
Anonim. 2004 Mari, Ramai-Ramai Makan Tauge. Down load tanggal 31 Agustus
2004. http://www.glorianet.org/keluarga/kesehatan/kesemari.html.
Anonim. 2004a. Functional Food and Beverages in France. Down load tanggal 12
Agustus
2004.http://www.euromonitor.com/Functional_Food_and_Beverages_in_
France .
d
Anonim. 2004 . Kacang Hijau untuk Kesehatan dan Kecantikan. Down load tanggal
12 Agustus 2004. http://www.anandamarga.or.id/contents.asp?cntn=607.
e
Anonim. 2004 . TIPS: Agar Saraf Tetap Bugar !. Down load tanggal 31 Agustus 2004.
http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles&task=viewarticle&arti
d=69&Itemid=3.
Anthony, M.S., T.B. Clarkson and J.K. Willian. 1998. Effect of Soy Isoflavones on
Atherosclerosis: Potential Mechanisms. Am J Clin Nutr; 68: 1390Sa393S
Astawan, M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal, Kompas 22
Maret 2003
Cassidy, A., S. Bingham, K.D.R. Setchell. 1994. Biological Effects of Isoflavones
Present in Soy Inpremenopausal Woman: Implications for the
Preventation of Breast Cancer. Am. J. Clin. Nutr. 60: 333-340
Fujiki, H., T. Horiuci, K. Yamashita, H. Haki, M. Suganuma, H. Nishino, A. Iwashima,
Y. Hirata, and T. Sugimura. 1986. Inhibition of Tumor Promotion by
Flavonoids. Plant Flavonoids in Biology and Medicine: Biochemical,
Pharmaceutical and Structure Activity Relationship, Alan R. Liss, Inc p:
429-440.
Gabor, M. 1986. Anti-inflammatory and Anti-allergic Properties of Flavonoids. Plant
Flavonoids in Biology and Medicine: Biochemical, Pharmaceutical and
Structure Activity Relationship, Alan R. Liss, Inc p: 471-480
Harisudin, M. 2004. Strategi dan Prospek Kelayakan Pengembangan Produk
Suplemen Makanan dari Bahan Nabati. Disertasi Program Doktor pada
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, Tidak dipublikasikan.
Hendrich, S., Z. Lu, H.J. Wang, E. Hopmans, and P. Murphy. 1996. Soy Isoflavone
Extract Suppresses Fumonisin B1-Promoted Rat Carcinogenesis.
Second International Symposium on the Role of Soybean in Preventing
and Treating Chronic Diseases, September 15-18, 1986. Brussel,
Belgique.

Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

40

Karyadi, D. Pidato Pengarahan pada Seminar Sehari Senyawa Radikal Bebas dan
Sistem Pangan. Kerjasama PSPG-IPB dan Kedutaan Besar Perancis,
Bogor.
Lamastimere, C.A., B.W. Murril, and N.M. Brown. 1996. Genistein Supresses
Chemically-Induced Mammary Cancer. Second International Symposium
on the Role of Soybean in Preventing and Treating Chronic Diseases,
September 15-18, 1996, Brussel, Belgique.
Loggia, R.D., A. Tubaro, P. Dri, C. Zilli, and P. Del Negro. 1986. The Role of
Falvonoids in the Antiinflammatory Activity of Chamolia Recutita. Plant
Flavonoids in Biology and Medicine: Biochemical, Pharmaceutical and
Structure-Activity Relationship. Alan R. Liss, Inc. 77-85
Muchtadi, D. 1999. Radikal Bebas dan Penyakit Kronis. Makalah disampaikan pada
Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan bagi Staf
Pengajar, Bogor, 2-14 Agustus 1999.
Muchtadi, D. 2003. Masyarakat Butuh Pangan yang Meningkatkan Kesehatan,
Pikiran Rakyat 9 Maret 2003
Nabet, F.B. 1996. Zat Gizi Antioksidan Pangan Penangkal Senyawa Radikal dalam
Sistem Biologis. Seminar sehari Senyawa Radikal Bebas dan Sistem
Pangan. Kerjasama PSPG-IPB dan Kedutaan Besar Perancis, Bogor.
Nagata, C., N. Takatsuka, Y. Kurisu, and H. Shimizu. 1998. Decreased Serum Total
Cholesterol Concentration is Associated with High Intake of Soy
Products in Japanese Men and Women. J. Nutr; 128; 209-213
Pawiroharsono, S. 2004. Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk Kesehatan.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/pus-2.htm
Raharjo, S. 1996. Antioksidan dalam Makanan dan Minuman Fungsional, Kursus
Singkat Makanan Fungsional, PAU Pangan dan Gizi-UGM, Yogyakarta
8-9 Juli 1996.
Sapari, F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit. Seminar sehari
Senyawa Radikal Bebas dan Sistem Pangan. Kerjasama PSPG-IPB dan
Kedutaan Besar Perancis, Bogor.
Schmidl, M.K. and T.P. Labuza. 2000. Essentials of Functional Foods, an Aspen
Publication, Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland.
Setchell, K.D.R. 2000. Isoflavon Absorption/Metabolism and Effects of Processing.
Paper on Third International Symposium on the Role of Soy in
Preventing and Treating Chronic Dosease. Omni Shoreham Hotel
Washington, DC USA. Oct 31-Nov 3, 1999.
Sujudi, A. 2004. Misi Pembangunan Kesehatan. Down load tgl 13 Sept 2004.
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3
0
Wu, S.J., J.S. Wang, C.C. Lin, and C.H. Chang. 2001.
Evaluation of
Hepatoprotective Activity of Legumes. Phytomedicine, May 2001, vol. 8,
No 3 pp. 213-219(7)

Se m ina r Na siona l Pa nga n Fungsiona l

41