Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada T

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 1

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat
Nasional dan Internasional
Pendahuluan
Berakhirnya Perang Dunia II adalah suatu titik tonggak awal yang penting
bagi perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) baik di tingkat nasional maupun
internasional. Hal ini, antara lain, ditandai dengan didirikannya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945, serta dihasilkannya Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada
tahun 1948.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua hal tersebut memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap perlindungan HAM di tingkat nasional maupun
internasional. Pada tingkat nasional, negara-negara di dunia banyak mengadopsi
ketentuan-ketentuan mengenai HAM yang diatur dalam UDHR ke dalam
peraturan perundang-undangannya. Sementara, dengan adanya PBB kemudian
dikembangkan mekanisme penegakkan hukum HAM secara internasional di
bawah sistem PBB.
Perkembangan penting lainnya adalah, diakuinya individu sebagai subyek
dalam hukum internasional. Sebagai subyek dalam hukum internasional, individu
memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum internasional. HAM dari

setiap individu dewasa ini telah diatur dan dijamin dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, pada prinsipnya, negara harus menghormati HAM sesuai dengan
norma-norma hukum internasional yang berlaku.
Dengan diakuinya kedudukan individu sebagai subyek dalam hukum
internasional, maka negara tidak dapat lagi menyatakan bahwa pelanggaran HAM
adalah semata-mata menjadi urusan domestik negara. Karena, HAM sekarang ini
merupakan hak hukum (legal rights) yang telah diakui dan dijamin oleh hukum
internasional. Hukum internasional telah mengatur bahwa HAM harus ditegakkan
melalui instrumen hukum.

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 2

Penegakan Hukum HAM Pada Tingkat Nasional
Preambule Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
perlindungan terhadap HAM harus dilaksanakan melalui sarana hukum, hal ini
dinyatakan sebagai berikut :
“Whereas it is essential,...that human rights should be protected by the rule
of law,...”
Hal tersebut dapat diartikan bahwa di tingkat nasional, masalah
perlindungan HAM harus diatur lebih lanjut melalui sarana hukum. Negara harus

mengatur HAM dalam peraturan perundang-undangan dengan upaya legislasi
nasional (legislative measures). Melalui sarana hukum diharapkan aspek kepastian
hukum terhadap perlindungan HAM akan lebih terjamin.
Dalam pasal 2 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa,
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Oleh karena itu, eksistensi HAM telah mendapat pengakuan secara hukum
oleh negara Indonesia. Pengingkaran terhadap HAM akan berakibat pada
pelanggaran hukum. Hal ini dikarenakan HAM adalah hak hukum yang
pemenuhannya menjadi tanggung jawab dari negara.
Sebagai anggota PBB, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati
(to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi HAM (to protect). Indonesia
memiliki kewajiban secara hukum untuk mewujudkan ketiga hal tersebut. Hal
tersebut bisa dilakukan dalam bentuk pembuatan, perubahan, pemuatan pasalpasal tertentu, atau pencabutan peraturan perundang-undangan.
Pada aspek penghormatan adalah kebijakan yang mengharuskan Indonesia
untuk tidak mengambil langkah-langkah yang akan mengakibatkan individu atau

kelompok gagal meraih atau memenuhi hak-haknya. Sementara pemenuhan
adalah Indonesia harus mengambil tindakan legislatif, administratif, anggaran,
yudisial atau langkah-langkah lain untuk memastikan terealisasinya pemenuhan

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 3

hak-hak. Sedangkan perlindungan adalah bagaimana Indonesia melakukan
kebijakan guna mencegah dan menanggulangi dilakukannya pelanggaran sengaja
atau pembiaran.1 Hal ini, antara lain, telah dinyatakan dalam Undang Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.2
Dewasa ini, penegakan hukum HAM di Indonesia telah didukung pula oleh
berbagai peraturan perundang-undangan. Landasan konstitusional mengenai
pengakuan terhadap HAM di Indonesia juga telah diatur dalam UUD 1945.
Sebagai sumber hukum tertinggi negara Indonesia, UUD 1945 telah secara
eksplisit mengatur HAM di dalam Bab X A dari Pasal 28A sampai dengan Pasal
28J.
Mengenai penegakan hukum HAM di Indonesia, secara kelembagaan ada
dua institusi yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan HAM. Kedua institusi ini
dikatakan sangat penting, terutama jika kita kaitkan dengan masalah pelanggaran

berat HAM.
Komnas HAM didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Selanjutnya disebut Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM) dengan tujuan
untuk membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM
serta meningkatkan perlindungan.3 Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Komnas
HAM melakukan sejumlah kegiatan yang pada intinya meliputi tiga hal, yaitu:
penyebarluasan wawasan HAM kepada masyarakat Indonesia dan internasional;
pengkajian berbagai instrumen HAM PBB dalam rangka aksesi/ratifikasi;
1 Suparman Marzuki, Politik Hukum HAM di Indonesia, Makalah disampaikan pada Pelatihan
HAM Dasar, Dosen Hukum HAM se-Indonesia, Surabaya, 10-13 Oktober 2011, hlm. 1
2 Pada bagian konsiderans menimbang, huruf d Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dinyatakan: “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan BangsaBangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang
telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”
3 Pasal 4 Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM, mengatur bahwa: “Komisi Nasional bertujuan:
a. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b. meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna

mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.”

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 4

pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan HAM.4 Dalam perkembangan
selanjutnya, eksistensi Komnas HAM kemudian lebih diperkuat dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disebut UU 39/1999 tentang HAM).5 Bahkan, berdasarkan Undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disebut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM), Komnas HAM
memiliki kewenangan sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran berat HAM.6
Pengadilan HAM dibentuk sebagai amanat UU 39/1999 tentang HAM untuk
mengadili pelanggaran berat HAM.7 Kemudian, sebagai tindak lanjut dari
ketentuan tersebut, dibuatlah undang-undang tersendiri sebagai dasar hukum
Pengadilan HAM, yaitu UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
Peradilan Umum dan memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran berat HAM.8 Adapun pelanggaran berat yang
dimaksud


hanya

meliputi

kejahatan

genosida

dan

kejahatan

terhadap

kemanusiaan.9
Undang-Undang Pengadilan HAM menentukan bahwauntuk kasus-kasus
pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini
akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad-hoc atas usulan DPR
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pengadilan ini juga


4 Pasal 5 Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM, mengatur bahwa: “Untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Komisi Nasional melakukan kegiatan sebagai berikut: a.
menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai asasi manusia baik kepada
masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat Internasional; b. mengkaji berbagai instrumen
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran
mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasinya; c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan
hak asasi manusia serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan
pemerintahan Negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia; d. mengadakan kerjasama
regional dan internasional dalam rangka mengajukan dan melindungi asasi manusia.”
5 Dalam UU 39/1999 tentang HAM, masalah Komnas HAM diatur dalam Bab VII, Pasal 75 s.d
Pasal 99.
6 Lihat Pasal 18 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM
7 UU 39/1999 tentang HAM menggunakan istilah “Pelanggaran HAM yang Berat (UU 26/2000
tentang Pengadilan HAM juga menggunakan istilah yang sama) dan masalah Pengadilan HAM
diatur dalam Pasal 104.
8 Lihat Pasal 4 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM
9 Lihat Pasal 7 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 5


berada di lingkungan Peradilan Umum.10 Berdasarkan Keppres No. 53 tahun 2001
dan Keppres No. 96 tahun 2001, dua Pengadilan HAM ad hoc telah dibentuk
untuk menyelesaikan kasus Tanjung Priok yang terjadi pada tahun 1984 dan kasus
Pelanggaran HAM di Timor Timur yang terjadi pada tahun 1999.
Penegakan Hukum HAM Melalui Penerapan Prinsip Yurisdiksi Universal
Dalam praktiknya, penegakkan hukum HAM di tingkat nasional juga dapat
dilakukan melalui pengadilan nasional atas dasar prinsip yurisdiksi universal
(universal Jurisdiction principle). Menurut H. Victor Conde,11 berdasarkan prinsip
ini pengadilan nasional setiap negara memiliki kewenangan untuk melaksanakan
yurisdiksinya untuk mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan internasional
tertentu seperti genosida, kejahatan perang, dan penyiksaan. Hal ini didasari atas
alasan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut dianggap menyangkut umat manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap negara berhak untuk mengadili dan
menghukum para pelaku kejahatan internasional tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan kejahatan internasional adalah kejahatan
terhadap seluruh umat manusia atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah
delicti juris gentium. Perompakan (piracy), penyiksaan, dan kejahatan terhadap
10 Lihat Pasal 43 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Berkaitan dengan pasal tersebut, pada
tanggal 21 Februari 2008 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara
No. 18/PUU-V/2007 tentang permohonan Judician Review terhadap UU 26/2000, khususnya Pasal

43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) yang diajukan oleh Eurico Gutteres, terpidana kasus
pelanggaran berat HAM di Timor-Timur. Putusan MK tersebut telah menghilangkan kewenangan
DPR dalam menentukan ada atau tidaknya pelanggaran berat HAM sebagai syarat dibentuknya
Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 tentang
Pengadilan HAM dan sebaliknya, DPR hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan kepada
presiden untuk dibentuknya suatu Pengadilan HAM ad hoc. Putusan ini sekaligus pula telah
mencabut kewenangan DPR untuk turut campur dalam penyelidikan dan penyidikan mengenai ada
tidaknya pelanggaran berat HAM. DPR juga tidak dapat lagi menentukan locus delicti dan tempus
delicti dalam perkara pelanggaran HAM. Bahkan, DPR juga tidak dapat menduga-duga ada atau
tidaknya pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut, karena
melalui putusannya, MK telah menghilangkan kata “dugaan” yang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum seperti yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 tentang
Pengadilan HAM.
11 H. Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska:
University of Nebraska Press, 1999, hlm. 155. Menurutnya, yurisdiksi universal adalah: “A term
describing the domestic (national) legal power (competence) of Court in every state in the World
to exercise Jurisdiction to prosecute an alleged perpetrator of certain international Crime. Some
international, such as genocide, war Crime, and Torture, allow universal Jurisdiction af all states
because these Crime are considered to be Committee against the whole human race. Therefore
every state has the right to prosecute and punish those who commit these International Crime...”.


Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 6

kemanusiaan adalah beberapa contoh dari kejahatan internasional.12 Berdasarkan
prinsip

aut

dedere

aut

punire

(aut

judicare),

hukum


internasional

mengembangkan sistem yurisdiksi universal yang dimaksudkan untuk mencegah
adanya tempat berlindung bagi pelaku kejahatan internasional (no safe haven
principle). Menurut sistem ini, apabila pelaku berada di wilayah yurisdiksi suatu
negara, maka negara tersebut harus mengadili dan menghukum pelaku
berdasarkan hukum pidananya atau mengekstradisikan ke negara lain yang
memiliki yurisdiksi dan hendak melaksanakan yurisdiksinya.13
Penerapan yurisdiksi universal ini dapat didasarkan pada: tempat kejadian,
kebangsaan pelaku, kebangsaan korban, dan tempat pelaku berada. Pasal 7
Konvensi Anti Penyiksaan secara tegas mewajibkan negara peserta untuk
menuntut pelaku penyiksaan. Apabila negara tersebut tidak dapat atau tidak
berkemampuan untuk mengadili, maka harus di ekstradisikan ke negara peserta
perjanjian yang lain untuk diadili.14
Pengadilan Inggris, yaitu House of Lord pernah menerapkan prinsip
yurisdiksi universal ini terhadap Jenderal Pinochet. Pada 24 Maret 1999 House of
Lord memutuskan bahwa Jenderal Pinochet sebagai mantan kepala negara tidak
berhak untuk mendapatkan kekebalan dalam proses ekstradisi sehubungan dengan
konspirasi atas tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan setelah 8 Desember
1988.

12 Ibid., hlm. 72.
13 Rudi M. Rizki, Catatan mengenai Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM,
dalam Mieke Komar Kantaatmadja dan Etty R. Agoes (ed.), Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik
dan Negarawan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 68. Menurut H. Victor Conde, prinsip aut dedere
aut punire (aut judicare) yang terjemahan bahasa Inggris either hand over or adjudicate adalah
suatu prinsip dalam hukum pidana internasional yang berkaitan dengan penyerahan/ekstradisi para
tersangka/buronan yang melakukan kejahatan internasional. Prinsip ini menyatakan bahwa ketika
seseorang adalah tersangka yang dituduh melakukan kejahatan-kejahatan internasional tertentu di
dalam suatu negara dan orang tersebut ditemukan di negara yang lain, maka negara yang
menemukan berkewajiban secara hukum (under a legal obligation) baik untuk menangkap dan
menghukum si tersangka atau harus menangkap dan menyerahkan/mengekstradisikan si tersangka
kepada otoritas tertentu yang memintanya, yang memiliki yurisdiksi untuk menuntutnya.
Kewajiban ini diatur dalam beberapa perjanjian internasional seperti Konvensi menentang
Penyiksaan, Konvensi Jenewa (Konvesi ke-4, pasal 146). Dalam bahasa Inggris, istilah tersebut
sering juga disebut dengan prinsip “adili atau ekstradisikan”. Lihat H. Victor Conde, A Handbook
of International Human Rights Terminology., Op. Cit., hlm. 10-11.
14 Ibid.

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 7

Penegakan Hukum HAM Pada Tingkat Internasional
Di tingkat internasional, masalah penegakan hukum HAM tidak dapat
dilepaskan dari PBB. PBB memiliki peran sentral maupun kontribusi yang sangat
penting bagi perlindungan dan penghormatan terhadap HAM di dunia. Menurut
Thomas Buergenthal,15 hal tersebut secara historis terlihat dari upaya-upaya yang
telah dilakukan oleh PBB berkaitan dengan perkembangan hukum HAM
internasional modern seperti: dalam pembentukan norma (the normative
foundation), pada tahap pertama ini proses dimulai dengan berlakunya Piagam
PBB dan berlanjut pada paling tidak hingga disahkannya Universal Declaration
of Human Rights tahun 1948 dan dua kovenan (ICCPR dan CESCR) tahun 1966;
pada tahap kedua, pembentukan kelembagaan (institution building), pada tahap ini
evolusi hukum HAM internasional dimulai pada akhir tahun 1960-an dan
berlanjut hingga 15-20 tahun berikutnya. Periode ini bisa disebut sebagai the era
of institusional building. Selama kurun waktu ini, terdapat perkembangan di
dalam kerangka PBB; tahap ketiga, implementasi dan pasca era perang dingin
(the post cold war world), pada tahap ini institusi-institusi yang diciptakan pada
tahap kedua tidak berfungsi secara penuh hingga pertengahan sampai akhir tahun
1980-an, ketika institusi tersebut mulai memfokuskan diri pada tindakan-tindakan
yang efektif untuk menjamin ketaatan negara terhadap kewajiban-kewajiban
internasionalnya. Proses ini masih senantiasa berlanjut sampai sekarang.
Sistem penegakan hukum HAM di bawah PBB dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu: yang didasarkan pada perjanjian internasional (treaty based) dan yang
didasarkan pada kewenangan Dewan Keamanan (Security Council) PBB.
Sistem Treaty based adalah mekanisme yang diatur dalam suatu instrumen
hukum HAM internasional tertentu yang merupakan perjanjian internasional
(Treaty) dalam kerangka PBB. Dewasa ini terdapat instrumen hukum HAM
internasional dan di masing-masing instrumen terdapat suatu komite yang
mengawasi implementasi hak-hak yang terkait oleh negara-negara pihak dari
perjanjian (State Parties) tersebut.
15 Thomas Buergenthal, International Human Rights in an Historical Perspective, dalam Janusz
Symonides, (ed.), Human Rights: Concept and Standards, Burlington, USA: Ashgate Publishing
Company and UNESCO, 2000, hlm. 10-16.

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 8

Negara-negara

pihak

dari

perjanjian

memiliki

kewajiban

untuk

menyampaikan laporan tahunan secara reguler kepada komite dari masing-masing
treaty yang terkait, yang di dalamnya dijelaskan mengenai langkah-langkah yang
telah dilakukan, kemajuan yang telah dicapai dan masalah-masalah yang ditemui
dalam pemenuhan hak-hak sebagaimana yang telah ditentukan oleh treaty yang
terkait.
Menurut Piagam PBB, salah satu tujuan utama dari PBB adalah untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka PBB melakukan upaya-upaya untuk menangani berbagai kasus
pelanggaran terhadap HAM yang dinilai dapat mengganggu perdamaian dan
keamanan nasional. Peran untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional dilakukan oleh Dewan Keamanan sebagai salah satu organ
utamanya. Berdasarkan wewenangnya, hal itu, antara lain, dilakukan melalui
pembentukan pengadilan yang khusus dibentuk dalam rangka menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM secara hukum.
Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan
kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional,
antara lain, seperti : genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh di
biarkan atau bebas tanpa hukuman (impunity) dan terhadap kasusnya harus
diselesaikan secara hukum melalui forum pengadilan. Karena, kejahatankejahatan tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang
berkategori jus cogens atau preemptory norm.16
Terkait dengan PBB, dewasa ini terdapat bentuk pengadilan internasional
sebagai sarana penyelesaian secara hukum atas kejahatan internasional. Hal
tersebut, antara lain, dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas
Negara

Yugoslavia

(International

Criminal

Tribunal

for

the

Former

Yugoslavia/ICTY) tahun 1993, Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda
16 Menurut Pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, yang dimaksud
dengan jus cogens adalah suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional
negara-negara secara keseluruhan yang tidak boleh dilakukan penundaan/pelanggaran
terhadapnya,, dan norma ini hanya dapat diubah oleh norma jus cogens yang baru yang memiliki
sifat yang sama.

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 9

(International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) tahun 1994 dan Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998. Sarana
penyelesaian lainnya yang dibentuk atas peran dari PBB adalah Pengadilan
Campuran (Hybrid Tribunal).
Dasar hukum pembentukan ICTY dan ICTR adalah berdasarkan Resolusi
Dewan Keamanan PBB (DK PBB). DK PBB bertindak atas dasar Bab VII Piagam
PBB karena adanya ancaman yang nyata terhadap perdamaian dan keamanan
internasional.17 Kedua pengadilan ini bersifat ad hoc. DK PBB mengambil alih
masalah yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia karena negara ini dianggap tidak
mau (unwilling) untuk menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan yang terjadi di
negara tersebut. Sedangkan dalam masalah Rwanda, karena negara ini dianggap
tidak mampu (unable) untuk menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan yang
terjadi di negara tersebut. ICTY dan ICTR memiliki mandat hingga tahun 2010.
ICTY dan ICTR dibentuk dalam kaitannya dengan tanggung jawab
individu/orang perorangan dan bukan tanggung jawab negara. Oleh karena itu,
baik ICTY18 maupun ICTR19 menerapkan prinsip tanggung jawab pidana secara
individual (individual criminal responsibility principle) terhadap para pelaku
kejahatan berdasarkan yurisdiksinya.
Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
merupakan institusi yudisial yang dibentuk dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran HAM. Berbeda dengan ICTY dan ICTR, ICC merupakan pengadilan
yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian
internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (The Rome Statute of The International
Criminal Court) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002
setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).
ICC hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling serius yang
menjadi keprihatinan masyarakat internasional (the most serious Crime of
international concerns) yang meliputi: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
17 Bab VII Piagam PBB mengatur bahwa Dewan Keamanan PBB berwenang untuk mengambil
suatu tindakan apabila terjadi: pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace), ancaman
terhadap perdamaian (threat to peace) atau tindakan agresi (act of aggression).
18 Lihat Pasal 7 Statuta ICTY.
19 Lihat pasal 2, 3, dan 4 Statuta ICTR

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 10

kejahatan perang dan kejahatan agresi.20 Syarat utama bagi diterapkannya
yurisdiksi ICC yaitu dalam hal: kejahatan yang dilakukan terjadi di dalam wilayah
negara peserta Statuta Roma atau kewarganegaraan si pelaku adalah negara yang
menjadi peserta Statuta Roma.21
Dalam hubungan antara ICC dan DK PBB terdapat trigger mechanisms, ini
dapat mengaktifkan yurisdiksi dari ICC.22 Menurut Pasal 13 Statuta Roma, ICC
dapat menggunakan yurisdiksinya dalam hal telah diberikannya kewenangan
kepada penuntut (prosecutor) melalui: DK PBB yang bertindak di bawah
kewenangan Bab VII Piagam PBB; negara peserta Statuta Roma; atau atas
inisiatif si penuntut sendiri (proprio motu) berdasarkan informasi yang diterima
dari sumber-sumber tertentu.23
Saat ini dikenal juga adanya pengadilan campuran yang telah dibentuk di
empat negara. Pengadilan ini pada dasarnya merupakann pengadilan nasional
yang telah di internasionalisasi (internationalized domestic tribunal). Kata
“campuran” atau hybrid mengacu pada perpaduan antara unsur lokal dan
internasional yang terdapat di dalamnya, seperti : personilnya, sistem hukum yang
diterapkan, dana operasionalnya, dan sebagainya. Pengadilan campuran biasanya
dibentuk berdasarkan suatu perjanjian bilateral antara suatu negara dengan PBB.

Penutup
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
1. Berakhirnya Perang Dunia II, didirikannya PBB, dan dihasilkannya
sejumlah instrumen HAM internasional, serta diakuinya individu sebagai

20 Lihat Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma
21 Lihat Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma
22 Antonio Cassese, International Criminal Law, New York: Oxford University Press, 2003, hlm.
733.
23 H. Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology., Op. Cit., hlm. 152

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 11

subjek

hukum

internasional

merupakan

hal-hal

penting

yang

mempengaruhi perkembangabn HAM di dunia.
2. Hukum internasional mengharuskan bahwa HAM harus dilindungi
melalui sarana hukum.
3. Dalam kaitan dengan penegakan hukum HAM, secara yuridis-normatif
dan institusional, pada saat ini di Indonesia telah terdapat sarana untuk
melindungi, menjamin, dan memenuhi HAM.
4. Penegakan hukum HAM di tingkat nasional dapat juga dilakukan dengan
cara menerapkan prinsip yurisdiksi universal pada pengadilan nasional
suatu negara.
5. Penegakan hukum HAM di tingkat internasional dalam sistem di bawah
PBB dilakukan dengan cara: melalui perjanjian internasional dalam
kerangka PBB (United Nations Treaty Based); membentuk pengadilan
pidana ad hoc berdasarkan resolusi DK PBB; serta dengan pembentukan
pengadilan campuran.
6. ICC juga merupakan sarana penegakan hukum HAM yang didasarkan
pada treaty yaitu Statuta Roma 1998, Walaupun ICC adalah sistem yang
otonom, namun memiliki keterkaitan dengan PBB khususnya dengan DK
PBB dalam hal penggunaan mekanisme pemicu (trigger mechanisms).

DAFTAR PUSTAKA

Cassese, Antonio, International Criminal Law, New York: Oxford University
Press, 2003.

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat Nasional dan Internasional | 12

Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology,
Nebraska: University of Nebraska Press, 1999.
Donnely, Jack, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and
London: Cornell University Press, 2003.
Janusz Symonides, (ed.), Human Rights: Concept and Standards, Burlington,
USA: Ashgate Publishing Company and UNESCO, 2000
Marzuki, Suparman, Politik Hukum HAM di Indonesia, Makalah disampaikan
pada Pelatihan HAM Dasar, Dosen Hukum HAM se-Indonesia, Surabaya,
10-13 Oktober 2011.
Mieke Komar Kantaatmadja dan Etty R. Agoes (ed.), Mochtar Kusumaatmadja:
Pendidik dan Negarawan, Bandung: Alumni, 1999.
Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM, Makalah disampaikan pada Penataran Hukum
Humaniter dan HAM bagi Perwira Hukum TNI-AD, Tahun Ajaran 2008,
Kerjasama antara TNI-AD dengan International Committee of the Red
Cross (ICRC), tanggal 26 Maret 2008 di Direktorat Hukum TNI-AD
(Ditkumad), Jakarta.
Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali Pers,
2015.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65