Peristiwa Tutur Sastra Lisan: Pantun Dan Peribahasa Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Kajian Sosiolinguistik

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Pertistiwa Tutur

  Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2010: 47).

  Peristiwa tutur atau pertuturan (speech act, speech event) dalam Kamus Lingusitik (Kridalaksana, 2008:191) adalah:

  "(1) perbuatan berbahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; (2) perbuatan menghasilkan bunyi bahasa secara berurutan sehingga menghasilkan ujaran bermakna; (3) seluruh komponen linguistik dan nonlinguistik yang meliputi suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; (4) pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar.” Interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang pasar dan pembeli pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh Dell Hymes (dalam Chaer, 2010: 48-49), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wadhaugh 1990):

  S = Situation P = Participants E = Ends A = Act Sequences K = Key I = Instrumentalities N = Norms G = Genres

  Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan

scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau psikologis pembicaraan.

  Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di aula serbaguna pada saat konser musik berlangsung mengharuskan kita berbicara keras, sedangkan di rumah ibadah seperti mesjid atau gereja kita cenderung berbicara pelan bahkan berbisik-bisik.

  Menurut Coulthard (dalam Pangaribuan, 2008: 125) latar dapat mempengaruhi pilihan ragam bahasa, pada situasi resmi seperti di tempat rapat cenderung menggunakan ragam formal, begitu juga halnya dengan suku Jawa yang menggunakan ragam tinggi pada waktu upacara pernikahan. Sedangkan dalam percakapan yang dilakukan di jalan ataupun di rumah dalam keadaan santai cenderung menggunakan ragam yang lebih mengakrabkan suasana, yaitu ragam informal. Jadi dapat dikatakan bahwa semua peristiwa bahasa itu terjadi dalam ruang dan waktu.

  Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

  pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan jika berbicara terhadap teman-teman sebayanya. Menurut Hymes (dalam Pangaribuan, 2008: 126) paling sedikit ada empat peran yang dapat diperankan oleh partisipan yaitu, pembicara, penyapa, pesapa, pendengar atau pemirsa. Partisipan bisa menjalankan peran yang berbeda sekaligus, seperti pada suatu pembicaraan seorang partisipan berperan sebagai pembicara sekaligus sebagai pendengar.

  Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang

  terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

  Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran

  ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ajaran dalam kuliah umum, percakapan biasa dan dalam pesta berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

  Key, mengacu pada nada, cara dan intonasi suatu pesan disampaikan:

  dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Hymes (dalam Pangaribuan, 2008: 126) menyatakan kunci komunikasi dalam komponen tutur merajut nada tutur seirama dengan sikap dan laku penuturnya. Kunci itu kelihatan dari sikap pembicara dengan teman tuturnya, pilihan ragam, penataan nosi dan fungsi sesuai dengan norma tata krama menurut budaya penuturnya. Orang yang diajak bicara akan tahu kuncinya dengan melihat tanda-tanda khusus seperti kerdipan mata, senyuman, postur, isyarat, aspirasi dan panjang pendeknya bunyi. Orang bisa mengatakan “aku benci kamu” dengan senyuman dan kerdipan mata yang akan berarti sebaliknya.

  Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur

  lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam atau register.

  Norm of Interaction and Interpretation , mengacu pada norma atau aturan

  dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Pangaribuan (2008: 128) meengatakan bahwa ada aturan-aturan yang tidak tertulis namun telah disepakati oleh masyarakat tutur, bila ada yang melanggar maka akan terjadi konflik, kejutan, timbulnya kesan negatif dan sebagainya. Sebagai contohnya anak-anak Jawa diajar untuk tidak membantah bila dimarahi orang tuanya, sebaliknya anak Amerika dibiasakan protes untuk mempertahankan pendiriannya baik terhadap sesama maupun terhadap orang tua, hal ini dianggap mempunyai nilai yang positif bagi orang Amerika, namun untuk bangsa lain mungkin sebaliknya.

  Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

  Komponen tutur yang diajukan Hymes tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan Fishman (dalam Wijana, 2006: 7) yang disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik yaitu who speaks, what language, to whom, when,

  

and what end . Dalam setiap peristiwa interaksi verbal atau proses komunikasi

  selalu terdapat beberapa komponen yang mengambil peranan dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Bell (dalam Chaer, 2004: 7) menyatakan secara tradisional terdapat tiga komponen yang telah lama diakui sebagai komponen utama dari sebuah peristiwa atau situasi komunikasi yaitu: penutur (speaker), lawan tutur

  

(hearer), dan topik pembicaraan. Dengan kata lain dalam setiap proses

  komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa tutur atau peristiwa bahasa (speech event).

2.1.2 Pantun

a. Pengertian Pantun

  Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang dikenal luas dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Effendy (1984: 27) menyimpulkan bahwa dalam pantun, pikiran atau perasaan dilukiskan oleh tiga hal yaitu irama, bunyi dan isi. Ketentuan atau aturan-aturan dalam pantun (dalam Effendy, 1984: 28) adalah sebagai berikut: a.

  Tiap bait terdiri dari empat baris.

  b.

  Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata dan terdiri dari delapan sampai dua belas suku kata.

  c.

  Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a).

  d.

  Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir merupakan isi.

  Meskipun pada umumnya sampiran tidak berhubungan dengan isi, terkadang bentuk sampiran membayangkan isi.

b. Jenis Pantun

  Dari sisi sifat isi, sebuah pantun menurut Navis (1984) dapat dibedakan atas lima jenis pantun, yaitu: pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun duka, dan pantun suka. Sebagian ahli yang lain menambahkannya dengan pantun agama, pantun nasihat, pantun kanak-kanak, pantun orang muda, pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Karmina, pantun berkait dan talibun juga dikategorikan sebagai pantun. Berikut contoh pantun nasihat:

  Pulau Pandan jauh di tengah Di balik pulau Angsa Dua Hancur badan dikandung tanah Budi baik terkenang juga

  (Amir, 2010)

  Kenyataan memperlihatkan bahwa makna baris-baris pantun di atas memang seperti apa adanya. Jika kita berada di Pantai Padang, letak Pulau Pandan memang agak ketengah, yaitu di balik Pulau Angsa Dua. Persoalan budi bukanlah persoalan yang sederhana. Sangatlah sukar membalasnya. Itulah sebabnya hutang budi ini sukar dilupakan sekalipun seseorang telah meninggal dan sudah hancur badannya di dalam kubur.

c. Peran Pantun

  Selain alat pemelihara bahasa, pantun juga berperan sebagai penjaga fungsi kata dan penjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.

2.1.3 Peribahasa

a. Pengertian Peribahasa

  Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu-Zain (1994)). Pada umumnya, kelompok kata atau kalimat dalam peribahasa memiliki struktur susunan yang tetap, dan merupakan kiasan terhadap suatu maksud. Kalimat yang dipakai biasanya mengesankan dan memiliki arti yang luas. Didalam suatu peribahasa terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. Dalam kebudayaan Melayu, peribahasa sering dipakai atau diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain sastra lisan ini merupakan salah satu sarana enkulturasi dalam proses penanaman nilai-nilai adat dari waktu ke waktu.

  Peribahasa merupakan ungkapan yang walaupun tidak langsung namun secara tersirat menyampaikan suatu hal yang dapat dipahami oleh pendengarnya atau pembacanya karena sama-sama hidup dalam ruang lingkup budaya yang sama. Persamaan ruang lingkup budaya yang sama menjadi faktor penting, karena jika tidak maka pembicaraan dengan penggunaan peribahasa tidak akan nyambung. Misalnya, baru-baru ini ada pejabat tinggi kepolisian yang dengan bangga menyebut diri dan institusinya sebagai buaya karena menganggap buaya itu lambang kekuatan dan keperkasaan. Padahal masyarakat sekarang sudah sejak lama menganggap kata buaya itu selalu dalam arti negatif, contohnya saja pada ungkapan buaya darat dan air mata buaya.

  Jadi, pemakaian peribahasa di dalam masyarakat adalah milik bersama yang kalau diucapkan, walaupun hanya sebagian akan dipahami oleh yang mendengar atau membacanya. Contoh lain jangan kura-kura dalam perahu, yang mendengarnya tahu bahwa arti dari peribahasa itu adalah jangan pura-pura tidak

  

tahu. Peribahasa ini meski yang diucapkan hanya sampirannya saja tetapi orang

lain akan tahu apa isinya.

b. Jenis Peribahasa

  Peribahasa dapat berupa pepatah, ungkapan, bidal, perumpamaan, tamsil dan semboyan. Berikut contoh peribahasa:

  Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.

  Artinya setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Sosiolinguistik

  Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetap sebagai masyarakat sosial. Ohoiwutun (2007: 78-80) mengungkapkan bahwa bahasa, pikiran dan kebudayaan merupakan satu rangkaian kesatuan yang bergulir terus dalam satu alur tak terbatas, bahasa juga menjadi bukti keberadaan kebudayaan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Sosiolinguistik berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat dalam situasi bervariasi.

  Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2004: 1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu.

  Trudgill (dalam Sumarsono, 2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala social dan gejala kebudayaan. Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik, dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.

  Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidah- kaidah yang sebagian besar tidak tertulis tapi dipatuhi oleh warga masyarakat.

  Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978: 94). Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984: 2).

  Sosiolinguitik lahir karena ketidakpuasan ahli bahasa terhadap linguistik struktural yang hanya mengkaji bahasa dari segi strukturalnya dengan mengabaikan faktor sosial dalam analisisnya. Menurut Hymes, istilah sosiolinguistik mulai dikenal pada tahun 1960-an. Dekade ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Language in Culture and Society oleh Dell Hymes pada tahun 1966. Pada tahun 1968 Fishman menulis dalam kumpulan karangan yang diberi judul Reading in The Sociology of Language. Pada tahun yang sama Ferguson, Fishman, dan Das Gupta menerbitkan kumpulan makalah yang diberi judul Language Problems of Developing Nations. Chaer (2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejalan sosial dan gejala kebudayaan.

  Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat, bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya untuk saling bertukar pendapat dan berinteraksi.

2.2.2 Teori SPEAKING Dell Hymes

  Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik dengan menerapkan teori Speaking milik Dell Hymes (dalam Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 325), ada 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Bentuk pesan (massage form) 2.

  Isi Pesan (massage content) 3. Latar (setting) 4. Suasana (scene) 5. Penutur (sender) 6. Pengirim (addressor) 7. Pendengar (receiver)

8. Penerima (addresse) 9.

  Maksud - Hasil (purpose - outcome) 10.

  Maksud - Tujuan (purpose - goal) 11. Kunci (key) 12. Saluran (channel) 13. Bentuk tutur (form of speech) 14. Norma Interaksi (norm of interaction) 15. Norma Interpretasi (norm of interpretation) 16. Jenis (genre)

  Berdasarkan komponen di atas, Hymes mengklasifikasikan enam belas komponen itu menjadi delapan komponen besar yang dirangkaikan menjadi akronim

  SPEAKING . Kedelapan komponen itu: S Situation

  • Setting berkenaan

  dengan waktu dan tempat tutur berlangsung.

  • Scene mengacu pada

  situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.

  Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda, Sebagai contoh berbicara dilapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan dalam situasi ramai tentu berbeda dengan berbicara di ruang perpustakaan pada keadaan sunyi. Merujuk pada pihak-pihak Status sosial partisipan sangat yang terlibat dalam menentukan ragam bahasa pertuturan, bisa pembicara yang digunakan, misalnya dan pendengar, penyapa dan anak akan menggunakan

  

P Participants pesapa, atau pengirim dan ragam atau gaya bahasa yang

  penerima. berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan kalau berbicara dengan teman sebayanya.

  Merujuk pada maksud dan Peristiwa tutur yang terjadi di tujuan pertuturan. ruang sidang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan

  E Ends

  yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Mengacu pada bentuk ujaran Bentuk dan isi ujaran dalam dan isi ujaran. kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam

  • Bentuk ujaran pesta berbeda.

  berkenaan dengan kata yang digunakan, bagaimana

  A Act Sequences penggunaannya.

  • Isi ujaran berkenaan

  dengan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

  Mengacu pada nada, cara, Dengan senang hati, dengan dan intonasi suatu pesan serius, dengan singkat, dengan disampaikan. sombong, dengan mengejek

  K Key

  atau dapat ditunjukkan juga dengan gerak tubuh dan isyarat. Mengacu pada jalur bahasa Jalur tulisan, lisan, melalui yang digunakan dan juga telegraf atau telepon, bahasa,

  I Instrumentalities mengacu pada kode ujaran dialek, fragam atau register.

  yang digunakan.

  Mengacu pada norma atau Berhubungan dengan cara aturan dalam berinteraksi berinterupsi, cara bertanya,

  N Norms dan juga mengacu pada dan sebagainya

  penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

  Mengacu pada jenis bentuk Narasi, puisi, pepatah, doa,

  G Genres penyampaian dan sebagainya.

2.2.3 Fungsi Bahasa Menurut Jakobson

  Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah "who speak what language to whom, when and to what

  

end ”. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur,

  pendengar, topik, kode dan amanat pembicaraan menurut Jakobson (dalam Soeparno, 2002: 7-8) adalah sebagai berikut: 1.

   Fungsi Emotif

  Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi untuk membantu manusia mengungkapkan emosi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya.

  Misalnya, rasa sedih, gembira, marah, kesal, kecewa, puas. Tujuan manusia dalam mengungkapkan perasaannya bermacam-macam, antara lain agar terbebas dari semua tekanan emosi dalam hatinya dan mengungkapkan suka duka dengan bahasa agar tekanan jiwanya dapat tersalur. Apabila tidak, tekanan perasaan akan membelenggu jiwa seseorang sehingga secara psikologis keseimbangan jiwanya akan terganggu. Sebagai contoh, ketika anda merasa sedih ditinggalkan seseorang, Anda bercerita kapada teman Anda betapa hancurnya perasaan Anda ditinggalkan begitu saja oleh orang yang Anda cintai.

  2. Fungsi Konatif

  Dilihat dan sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi konatif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara. Sebagai contoh, seorang guru menasihati murid- muridnya agar selalu menjaga kebersihan kelas. Agar nasihatnya didengar, dipahami dan dituruti, tentu guru tersebut harus mengutarakan nasihatnya dengan bahasa yang baik, kalimatnya sederhana, mudah dipahami, dan disertai dengan alasan yang logis. Jadi, fungsi konatif bahasa dalam hal ini akan terwujud. Harap

  

tenang ada ujian, sebaiknya Anda menelepon dulu, Anda tentu mau membantu

kami adalah beberapa contoh kalimat yang berfungsi konatif (Chaer, 2004: 16).

  3. Fungsi Fatik

  Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan seperti apa kabar, bagaimana anak-anak, mau kemana

  

nih , dan sebagainya (Chaer, 2004: 16). Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak gerik tangan, air muka atau kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut jika tidak disertai unsur paralinguistik tidak mempunyai makna.

  4. Fungsi Referensial

  Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Ungkapan- ungkapan seperti Ibu dosen itu cantik sekali atau gedung perpustakaan itu baru

  

dibangun adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial (Chaer,

2004: 16).

  5. Fungsi Metalingual atau Metalinguistik

  Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti masalah politik, ekonomi, pengetahuan atau pertanian (Chaer, 2004:16). Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa.

  6. Fungsi Puitik

  Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi puitik atau imajinatif. Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya (Chaer, 2004: 17).

2.3 Tinjauan Pustaka

  Berdasarkan sumber pustaka terdahulu ada sejumlah sumber yang relevan untuk ditinjau dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah sebagai berikut:

  Dina (2013) dalam artikelnya Analisis Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur di dalam Kelas mengatakan bahwa menggunakan jenis kalimat yang tidak sesuai di kelas akan menimbulkan kesalahpahaman yang artinya tujuan tidak akan tersampaikan dengan baik. Maka sebagai guru khususnya harus bisa memaksimalkan kemampuan bahasa dengan cara menggunakan dan memilih jenis kalimat yang akan diujarkan kepada muridnya di kelas dengan baik agar tidak terjadi hal-hal yang akan merugikan.

  Sulis (2012) dalam analisisnya Peristiwa Tutur dalam Cerpen Batu Betina karya Syarif Hidayatullah menyatakan bahwa pemahaman akan konsep dasar dalam analisis wacana dapat menjadi starting point untuk memahami dan menganalisis wacana. Konteks harus dipahami secara mutual, artinya baik penutur maupun mitra tutur memiliki sharing knowledge terhadap konteks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konteks memegang peranan penting, bahkan menjadi

  ‘juru kunci’ dalam peristiwa komunikasi. Tanpa konteks komunikasi berpotensi untuk gagal.

  Meldawati (2011) dalam Analisis Bentuk Tindak Tutur Berdasarkan Konteks menghasilkan penelitian tentang pentingnya konteks dalam memahami dan menafsirkan wacana. Konteks sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika orang berusaha memperoleh makna yang sesungguhnya dari informasi yang didengar atau dibacanya. Menentukan konteks dalam pemahaman wacana tentu saja dengan memberikan penafsiran terhadap SPEAKING (setting, participant, end, act sequences, key, instrument, norm, and genre ).

  Asrika (2009) dalam skripsinya Gaya Bahasa Tokoh Giselle dalam Film Enchanted Sebuah Analisis Sintaksis dan Sosiolinguistik menyebutkan bahwa teori-teori sosiolinguistik dapat menjelaskan latar belakang seseorang menggunakan gaya bahasa tertentu pada situasi yang dianggap sesuai dengan gaya tersebut.

  Dari hasil penelitian terdahulu terdapat perbedaan dan persamaan dengan penelitian ini. Persamaannya terletak pada kajian dan teori yang sama yaitu kajian sosiolinguistik dengan teori Speaking milik Dell Hymes, sedangkan perbedaannya terdapat pada pembahasan masing-masing topik. Ada yang fokus terhadap konteks, gaya bahasa dan kemampuan berbahasa sedangkan penelitian ini fokus pada peristiwa tutur pantun dan peribahasa.