Peristiwa Tutur Sastra Lisan: Pantun Dan Peribahasa Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka Kajian Sosiolinguistik

(1)

i

PERISTIWA TUTUR SASTRA LISAN: PANTUN DAN PERIBAHASA DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

KARYA HAMKA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

SKRIPSI

OLEH:

INDRIYANA OCTAVIA 100701058

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

i

PERISTIWA TUTUR SASTRA LISAN: PANTUN DAN PERIBAHASA DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

KARYA HAMKA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

Oleh :

INDRIYANA OCTAVIA 100701058

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Salliyanti, M.Hum. Drs. Asrul Siregar, M.Hum. NIP 19590212 198303 2 002 NIP 19590502 198601 1 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

ii

PERISTIWA TUTUR SASTRA LISAN: PANTUN DAN PERIBAHASA DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

KARYA HAMKA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK OLEH:

INDRIYANA OCTAVIA ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peristiwa tutur sastra lisan dan menganalisis makna pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. Penelitian ini menggunakan teori Speaking milik Dell Hymes dan teori Fungsi Bahasa milik Jakobson kajian sosiolinguistik. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah cetakan ke-26 tahun 2002. Pengumpulan data menggunakan metode simak (observasi) dengan teknik simak bebas libat cakap karena peneliti tidak terlibat langsung dalam percakapan. Proses pengumpulan data menggunakan alat yang disebut dengan kartu data. Pengkajian data menggunakan metode padan dengan teknik identifikasi menggunakan teori Speaking milik Dell Hymes dan fungsi bahasa milik Jakobson. Hasil dari penelitian ini adalah teori Speaking milik Dell Hymes menyimpulkan bahwa suatu peristiwa tutur harus memiliki komponen (a) setting (b) participants (c) ends (d) act sequences (e) key (f) instrumentalities (g) norms dan (h) genres. Pada peristiwa tutur yang berobjek pantun dan peribahasa ditemukan beberapa kekosongan komponen participants disebabkan karena pantun dan peribahasa tersebut tidak diucapkan langsung oleh tokoh novel melainkan hanya sebagai pelengkap konteks. Beberapa data juga tak luput dari nihilnya komponen keys dan norms yang saling berkaitan. Dari tiga puluh satu data, sembilan data tidak mengandung komponen keys dan norms secara bersamaan, lima data tidak memiliki komponen setting, dan tiga data tidak mempunyai komponen participants. Fungsi bahasa menurut Jakobson terdiri atas (a) fungsi emotif (b) fungsi konatif (c) fungsi fatik (d) fungsi referensial (e) fungsi metalingual dan (f) fungsi puitik. Diantara keenam fungsi tersebut, fungsi yang paling banyak terdapat pada pantun dan peribahasa dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah fungsi referensial ditunjukkan dengan ditemukannya empat belas data dari tiga puluh satu data, disusul dengan fungsi konatif berjumlah sembilan, fungsi emotif berjumlah lima dan fungsi puitik hanya tiga. Fungsi fatik dan metalingual tidak muncul sama sekali. Suatu pantun atau peribahasa bisa saja mengandung dua atau lebih fungsi bahasa, tetapi hanya yang mendominasi yang akan mewakili fungsi-fungsi tersebut. Makna pantun dan peribahasa pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck secara keseluruhan masih terkait dengan budaya Minangkabau seperti peribahasa yang mengatur pembagian harta warisan, peribahasa meminang perempuan dan peribahasa dalam bermusyawarah menentukan keputusan. Pantun yang ditemui pada novel ini adalah pantun yang bersifat menganjurkan, melarang dan memperingati.


(4)

iii PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peristiwa Tutur Sastra Lisan: Pantun dan Peribahasa dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Karya Hamka Kajian Sosiolinguistik”. Shalawat dan salam penulis sampaikan ke junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta kepada Wakil Dekan I, Wakil Dekan II dan Wakil Dekan III.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, atas kepercayaan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi.

3. Drs. Harris Sutan Lubis, M.S.P., selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis selama masa perkuliahan hingga proses skripsi.


(5)

iv

4. Dra. Salliyanti, M. Hum., selaku pembimbing skripsi I, atas arahan, anjuran serta didikan selama proses penyusunan skripsi. Terima kasih telah meluangkan banyak waktu dalam membimbing penulis.

5. Drs. Asrul Siregar, M. Hum., selaku pembimbing skripsi II atas segala bimbingan, nasihat dan semangat dalam proses penyusunan skripsi.

6. Dra. Mascahaya, M. Hum., selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan pengarahan dalam proses perkuliahan.

7. ... Bapa k dan Ibu staf pengajar dan administrasi Departemen Sastra Indonesia yang telah membekali penulis dengan ilmu beraneka ragam serta etika berkehidupan yang sangat bermanfaat.

8. Kedua orang tua penulis yaitu Ibunda Nurbaiti dan Ayahanda Iswandi atas segala kasih sayang dan pengertian yang diberikan selama proses penyusunan skripsi. Panjang umur ya Ma, Pa, biar bisa menikmati kesuksesan kakak. Aamiin.

9. Ketiga adik penulis yaitu Agus Rahmat Widodo, Mutya Widyatiningrum dan Putri Ramadhani, atas canda tawa demi menghibur penulis selama mengerjakan skripsi.

10.Keluarga besar Ali Umar termasuk Uwak, Kong, Bunda, Tante, Om, dan Ibuk yang senantiasa membantu dan mendoakan penulis agar bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu.


(6)

v

11.Sepupu-sepupu kece Chairunnisa, Qistina Nisfuza, Fitri Handayani dan Nanang Ridho Pratomo yang tiada henti mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsi.

12.Sahabat-sahabat Eightminusone Rafika Diaz, Yola Adhysta, Cassia Divina, Dian Puspitasari, Ade Nur Fatimah dan Sofiah Novitasari, terima kasih telah memotivasi saat malas dan menemani saat rajin, kalian adalah amunisi terbaik penulis untuk maju.

13.Rekan-rekan sejawat Sastra Indonesia stambuk 2010 Indah Fazriani, Elfiyani, Venessa Orchita, Siti Fatima, Sri Purwanti, Indira Ginanti, Evi Marlina, Ade Syaputra, Ricky Pratama, Yasir Ichwan dan Agus Tianda, atas seluruh canda tawa membahana dan caci maki menggelegar yang kita cipta selama masa perkuliahan hingga skripsi selesai. Sampai jumpa di reuni –kita bawa pasangan dan saling menceritakan kesuksesan masing-masing.

14.Seluruh Keluarga Besar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, terima kasih penulis ucapkan atas kebersamaan yang kita jalin selama ini.

15.Haji Abdul Malik Karim Amrullah, terima kasih telah menciptakan roman terindah dengan segala masalah kompleksnya sehingga penulis tertarik menjadikan novel tersebut sebagai subjek penelitian.

16.Semua pihak yang telah membantu, mempermudah, dan mendorong penulis agar bisa menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.


(7)

vi

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, maka dari itu dengan lapang dada penulis menerima saran dan kritik membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat serta dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

Medan, April 2015


(8)

vii DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ...iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah... 6

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.2.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA...8

2.1 Konsep ... 8

2.1.1 Peristiwa Tutur ... 8

2.1.2 Pantun ... 12

2.1.3 Peribahasa ... 14

2.2 Landasan Teori ... 16


(9)

viii

2.2.2 Teori Speaking Dell Hymes ... 18

2.2.3 Fungsi Bahasa Menurut Kajian Sosiolinguistik ... 22

2.3 Tinjauan Pustaka ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Sumber Data ... 27

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 27

3.3 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 28

3.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 32

BAB IV PEMBAHASAN ... 33

4.1 Fungsi Peristiwa Tutur Sastra Lisan: Pantun dan Peribahasa ... 33

4.1.1 Fungsi Peristiwa Tutur Pantun ... 33

4.1.2 Fungsi Peristiwa Tutur Peribahasa ... 38

4.2 Makna Sastra Lisan: Pantun dan Peribahasa ... 61

4.2.1 Makna Pantun ... 61

4.2.2 Makna Peribahasa ... 63

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1 Simpulan ... 69

5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... ix LAMPIRAN ...


(10)

ii

PERISTIWA TUTUR SASTRA LISAN: PANTUN DAN PERIBAHASA DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

KARYA HAMKA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK OLEH:

INDRIYANA OCTAVIA ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peristiwa tutur sastra lisan dan menganalisis makna pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. Penelitian ini menggunakan teori Speaking milik Dell Hymes dan teori Fungsi Bahasa milik Jakobson kajian sosiolinguistik. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah cetakan ke-26 tahun 2002. Pengumpulan data menggunakan metode simak (observasi) dengan teknik simak bebas libat cakap karena peneliti tidak terlibat langsung dalam percakapan. Proses pengumpulan data menggunakan alat yang disebut dengan kartu data. Pengkajian data menggunakan metode padan dengan teknik identifikasi menggunakan teori Speaking milik Dell Hymes dan fungsi bahasa milik Jakobson. Hasil dari penelitian ini adalah teori Speaking milik Dell Hymes menyimpulkan bahwa suatu peristiwa tutur harus memiliki komponen (a) setting (b) participants (c) ends (d) act sequences (e) key (f) instrumentalities (g) norms dan (h) genres. Pada peristiwa tutur yang berobjek pantun dan peribahasa ditemukan beberapa kekosongan komponen participants disebabkan karena pantun dan peribahasa tersebut tidak diucapkan langsung oleh tokoh novel melainkan hanya sebagai pelengkap konteks. Beberapa data juga tak luput dari nihilnya komponen keys dan norms yang saling berkaitan. Dari tiga puluh satu data, sembilan data tidak mengandung komponen keys dan norms secara bersamaan, lima data tidak memiliki komponen setting, dan tiga data tidak mempunyai komponen participants. Fungsi bahasa menurut Jakobson terdiri atas (a) fungsi emotif (b) fungsi konatif (c) fungsi fatik (d) fungsi referensial (e) fungsi metalingual dan (f) fungsi puitik. Diantara keenam fungsi tersebut, fungsi yang paling banyak terdapat pada pantun dan peribahasa dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah fungsi referensial ditunjukkan dengan ditemukannya empat belas data dari tiga puluh satu data, disusul dengan fungsi konatif berjumlah sembilan, fungsi emotif berjumlah lima dan fungsi puitik hanya tiga. Fungsi fatik dan metalingual tidak muncul sama sekali. Suatu pantun atau peribahasa bisa saja mengandung dua atau lebih fungsi bahasa, tetapi hanya yang mendominasi yang akan mewakili fungsi-fungsi tersebut. Makna pantun dan peribahasa pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck secara keseluruhan masih terkait dengan budaya Minangkabau seperti peribahasa yang mengatur pembagian harta warisan, peribahasa meminang perempuan dan peribahasa dalam bermusyawarah menentukan keputusan. Pantun yang ditemui pada novel ini adalah pantun yang bersifat menganjurkan, melarang dan memperingati.


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pantun dan peribahasa adalah dua dari sekian banyak wujud prosa lama. Penggunaan pantun dan peribahasa masih sering ditemukan dalam acara-acara tertentu dan masih bertahan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang semakin modern. Pantun dan peribahasa berisi berbagai hal, baik mengenai kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan maupun manusia dengan dirinya sendiri. Mereka yang gemar berpantun dan berperibahasa dapat dikatakan memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dalam berpikir dan mengolah kata. Minangkabau merupakan salah satu suku yang sangat lekat dengan pantun dan peribahasa. Zaman dahulu masyarakat Minangkabau khususnya mereka yang tinggal di Sumatera Barat terbiasa menggunakan pantun dan peribahasa dalam kehidupan sehari-hari. Pada zaman modern ini, pantun dan peribahasa masih digunakan dalam adat upacara perkawinan Minangkabau yaitu manjapuik marapulai (menjemput mempelai laki-laki untuk dibawa ke rumah mempelai perempuan) yang membuktikan masih hidupnya budaya pantun dan peribahasa di tengah masyarakat Minangkabau.

Navis (1984) menyatakan Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak


(12)

2

cabang rumpun bahasa Austronesia yaitu Melayu-Polinesia yang sub kelompoknya termasuk bahasa Malagasi (Madagaskar), Melayu (Malaysia), Indonesia, Formosa dan Filipina (Ohoiwutun, 2007: 30). Ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat Minangkabau merupakan bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah dan lebih memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar karena dianggap lebih universal. Berlatar belakang budaya Minangkabau dan berbahasa Melayu, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengandung banyak pantun dan peribahasa yang patut untuk dikaji.

Pantun dan peribahasa merupakan bagian dari sastra lisan. Sastra lisan bukanlah sesuatu yang baru. Sebelum dikenal sebagai sastra lisan dahulu para sastrawan lebih suka menyebutnya sebagai sastra lama, sastra tradisional ataupun sastra klasik dan sastra rakyat. Sastra lisan disampaikan secara lisan oleh seniman lisan baik melalui mulut ke mulut, dalam pertemuan atau bisa juga didendangkan menggunakan instrumen-instrumen musik. Sastra lisan dapat berupa pantun, mantra, syair, gurindam, peribahasa dan hikayat. Lord (1976: 3) menuliskan hasil penelitiannya bersama Parry bahwa sastra lisan adalah sastra yang dipelajari, digubah dan disebarkan secara lisan (dalam Adriyetti, 2013: 76). Walaupun sastra lisan identik dengan sastra yang dilisankan, ada juga sastra lisan yang sudah dituliskan tetapi tidak menghilangkan identitas sebagai sastra lisan itu sendiri, misalnya pada lariknya, rumus tulisannya dan lain sebagainya. Adriyetti (2013: 78) menyimpulkan ciri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut:


(13)

3

1. Ia ada atau wujud dalam pertunjukkan, dalam banyak kasus, diiringi dengan instrumen bunyi-bunyian, bahkan tarian.

2. Unsur hiburan dan pendidikan dominan di dalamnya.

3. Menggunakan bahasa setempat, bahasa daerah, paling tidak dialek daerah. 4. Menggunakan puitika masyarakat bahasa itu.

Tiap-tiap sastra lisan baik berupa pantun maupun peribahasa selalu mengandung peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2004: 47). Dapat dikatakan bahwa dalam setiap proses komunikasi pasti terjadi juga peristiwa tutur atau peristiwa bahasa.

Dalam mengkaji peristiwa tutur pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck digunakanlah suatu pendekatan yang membahas bahasa dengan konteks sosialnya yaitu pendekatan sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah ilmu tata bahasa yang digunakan di dalam interaksi sosial; cabang linguistik tentang hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial (KBBI, 2008: 1332). Kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial (dalam Pateda, 1987: 2). Istilah sosiolinguistik ini muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver C. Currie yang merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah


(14)

4

mengenai manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan linguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang menjadikan bahasa sebagai objek kajian. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa melainkan dilihat dan didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia (Chaer, 2004: 3). Fishman (dalam Chaer 2004: 5) mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif. Jadi sosiolinguistik berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, latar pembicaraan.

Penelitian ini menggunakan teori Hymes yang membedakan antara peristiwa tutur dan tindak tutur. Hymes berpendapat bahwa peristiwa tutur (speech event) terjadi dalam sebuah konteks non-verbal. Hymes lebih lanjut membahas peristiwa tutur dan menunjukkan bahwa berbagai komponen harus disertakan dalam deskripsi etnografis komprehensif tindak tutur. Klasifikasi yang ia usulkan dikenal sebagai SPEAKING, setiap huruf dalam akronim tersebut adalah singkatan untuk komponen komunikasi yang berbeda yaitu,

1. Setting (waktu dan tempat)

2 . Participant (pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan) 3. Ends (tujuan)

4. Act (bentuk dan isi ujaran)

5. Key (nada dan cara penyampaian pesan)


(15)

5

7. Norms of Interaction and Interpretation (norma/aturan dalam berinteraksi)

8. Genre (bentuk penyampaian).

Berikut contoh peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck:

Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!

Peribahasa tersebut berdasarkan konteks sosial budaya menggambarkan bahwa kaum lelaki Minangkabau sangat tinggi marwah dan martabatnya sehingga pantang bagi mereka menikahi janda atau bekas suami orang.

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah novel bergenre roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Hamka pertama kali dicetak pada tahun 1939 dan sudah dicetak ulang 27 kali hingga tahun 2003 yang diterbitkan oleh PT Bulan Bintang. Novel ini bercerita mengenai peliknya kehidupan Zainuddin dalam menggapai cinta sejatinya. Kesucian cinta mereka terhalang oleh adat istiadat masyarakat Minangkabau yang tidak mengizinkan pernikahan dengan yang tidak jelas sukunya, tidak beradat dan tidak jelas asal usulnya begitupun penghasilannya. Novel ini menjadi buku bacaan wajib pada era 60-an di Indonesia juga Malaysia dan kini telah difilmkan oleh RAM SORAYA dengan judul yang sama Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Film ini menjadi film terlaris dengan jumlah penonton terbanyak pada tahun 2013. Kesuksesan film ini tidak terlepas dengan konten novelnya yang juga punya daya pikat tersendiri.

Adat istiadat Minangkabau dengan segala pantun dan peribahasanya dalam menganjurkan, melarang, dan mengumpamakan suatu peristiwa pada novel


(16)

6

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjadi topik menarik untuk ditelusuri dan dikaji lebih dalam lagi. Begitu juga dengan makna-makna yang terkandung dalam pantun dan peribahasa tersebut sebagai bukti kayanya khazanah sastra lisan Indonesia.

1.2 Ru mus an Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Apakah fungsi peristiwa tutur sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka? 2. Bagaimanakah makna sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat

pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka?

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini menganalisis fungsi serta makna peristiwa tutur pantun dan peribahasa yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan fungsi peristiwa tutur sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.


(17)

7

2. Menganalisis makna sastra lisan: pantun dan peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini: 1.4.2.1 Manfaat Teoretis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian sosiolinguistik yang pernah diteliti dan memperluas khazanah pengetahuan mengenai peristiwa tutur pantun dan peribahasa dari segi sosiolinguistik.

1.4.2.2 Manfaat Praktis:

1. Menambah pengetahuan mengenai fungsi dan makna pantun atau peribahasa sebagai sastra lisan.

2. Dapat dimanfaatkan oleh lawan tutur dalam memahami makna yang terkandung pada pantun dan peribahasa yang diucapkan penutur.

3. Sebagai referensi mahasiswa dan masyarakat umum mengenai kajian sosiolinguistik terhadap pantun dan peribahasa.


(18)

8 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep

2.1.1 Pertistiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2010: 47).

Peristiwa tutur atau pertuturan (speech act, speech event) dalam Kamus Lingusitik (Kridalaksana, 2008:191) adalah:

"(1) perbuatan berbahasa yang dimungkinkan oleh dan diwujudkan sesuai dengan kaidah-kaidah pemakaian unsur-unsur bahasa; (2) perbuatan menghasilkan bunyi bahasa secara berurutan sehingga menghasilkan ujaran bermakna; (3) seluruh komponen linguistik dan nonlinguistik yang meliputi suatu perbuatan bahasa yang utuh, yang menyangkut partisipan, bentuk penyampaian amanat, topik, dan konteks amanat itu; (4) pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar.”

Interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang pasar dan pembeli pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh Dell Hymes (dalam Chaer, 2010: 48-49), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya


(19)

9

dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah (diangkat dari Wadhaugh 1990):

S = Situation P = Participants E = Ends

A = Act Sequences K = Key

I = Instrumentalities N = Norms

G = Genres

Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di aula serbaguna pada saat konser musik berlangsung mengharuskan kita berbicara keras, sedangkan di rumah ibadah seperti mesjid atau gereja kita cenderung berbicara pelan bahkan berbisik-bisik. Menurut Coulthard (dalam Pangaribuan, 2008: 125) latar dapat mempengaruhi pilihan ragam bahasa, pada situasi resmi seperti di tempat rapat cenderung menggunakan ragam formal, begitu juga halnya dengan suku Jawa yang menggunakan ragam tinggi pada waktu upacara pernikahan. Sedangkan dalam percakapan yang dilakukan di jalan ataupun di rumah dalam keadaan santai cenderung menggunakan ragam yang lebih mengakrabkan suasana, yaitu ragam


(20)

10

informal. Jadi dapat dikatakan bahwa semua peristiwa bahasa itu terjadi dalam ruang dan waktu.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan jika berbicara terhadap teman-teman sebayanya. Menurut Hymes (dalam Pangaribuan, 2008: 126) paling sedikit ada empat peran yang dapat diperankan oleh partisipan yaitu, pembicara, penyapa, pesapa, pendengar atau pemirsa. Partisipan bisa menjalankan peran yang berbeda sekaligus, seperti pada suatu pembicaraan seorang partisipan berperan sebagai pembicara sekaligus sebagai pendengar.

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan


(21)

11

hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ajaran dalam kuliah umum, percakapan biasa dan dalam pesta berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

Key, mengacu pada nada, cara dan intonasi suatu pesan disampaikan:

dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Hymes (dalam Pangaribuan, 2008: 126) menyatakan kunci komunikasi dalam komponen tutur merajut nada tutur seirama dengan sikap dan laku penuturnya. Kunci itu kelihatan dari sikap pembicara dengan teman tuturnya, pilihan ragam, penataan nosi dan fungsi sesuai dengan norma tata krama menurut budaya penuturnya. Orang yang diajak bicara akan tahu kuncinya dengan melihat tanda-tanda khusus seperti kerdipan mata, senyuman, postur, isyarat, aspirasi dan panjang pendeknya bunyi. Orang bisa mengatakan “aku benci kamu” dengan senyuman dan kerdipan mata yang akan berarti sebaliknya.

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam atau register.

Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Pangaribuan (2008: 128) meengatakan bahwa ada aturan-aturan yang tidak tertulis namun telah disepakati oleh masyarakat tutur, bila ada yang melanggar maka akan terjadi konflik, kejutan, timbulnya kesan


(22)

12

negatif dan sebagainya. Sebagai contohnya anak-anak Jawa diajar untuk tidak membantah bila dimarahi orang tuanya, sebaliknya anak Amerika dibiasakan protes untuk mempertahankan pendiriannya baik terhadap sesama maupun terhadap orang tua, hal ini dianggap mempunyai nilai yang positif bagi orang Amerika, namun untuk bangsa lain mungkin sebaliknya.

Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,

pepatah, doa, dan sebagainya.

Komponen tutur yang diajukan Hymes tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan Fishman (dalam Wijana, 2006: 7) yang disebut sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik yaitu who speaks, what language, to whom, when, and what end. Dalam setiap peristiwa interaksi verbal atau proses komunikasi selalu terdapat beberapa komponen yang mengambil peranan dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Bell (dalam Chaer, 2004: 7) menyatakan secara tradisional terdapat tiga komponen yang telah lama diakui sebagai komponen utama dari sebuah peristiwa atau situasi komunikasi yaitu: penutur (speaker), lawan tutur

(hearer), dan topik pembicaraan. Dengan kata lain dalam setiap proses

komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa tutur atau peristiwa bahasa (speech event).

2.1.2 Pantun

a. Pengertian Pantun

Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang dikenal luas dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai


(23)

13

parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Effendy (1984: 27) menyimpulkan bahwa dalam pantun, pikiran atau perasaan dilukiskan oleh tiga hal yaitu irama, bunyi dan isi. Ketentuan atau aturan-aturan dalam pantun (dalam Effendy, 1984: 28) adalah sebagai berikut:

a. Tiap bait terdiri dari empat baris.

b. Tiap baris terdiri dari empat atau lima kata dan terdiri dari delapan sampai dua belas suku kata.

c. Sajaknya bersilih dua-dua: a-b-a-b (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). d. Dua baris pertama tanpa isi disebut sampiran, dua baris terakhir

merupakan isi.

Meskipun pada umumnya sampiran tidak berhubungan dengan isi, terkadang bentuk sampiran membayangkan isi.

b. Jenis Pantun

Dari sisi sifat isi, sebuah pantun menurut Navis (1984) dapat dibedakan atas lima jenis pantun, yaitu: pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun duka, dan pantun suka. Sebagian ahli yang lain menambahkannya dengan pantun agama, pantun nasihat, pantun kanak-kanak, pantun orang muda, pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Karmina, pantun berkait dan talibun juga dikategorikan sebagai pantun. Berikut contoh pantun nasihat:

Pulau Pandan jauh di tengah Di balik pulau Angsa Dua Hancur badan dikandung tanah Budi baik terkenang juga (Amir, 2010)


(24)

14

Kenyataan memperlihatkan bahwa makna baris-baris pantun di atas memang seperti apa adanya. Jika kita berada di Pantai Padang, letak Pulau Pandan memang agak ketengah, yaitu di balik Pulau Angsa Dua. Persoalan budi bukanlah persoalan yang sederhana. Sangatlah sukar membalasnya. Itulah sebabnya hutang budi ini sukar dilupakan sekalipun seseorang telah meninggal dan sudah hancur badannya di dalam kubur.

c. Peran Pantun

Selain alat pemelihara bahasa, pantun juga berperan sebagai penjaga fungsi kata dan penjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain dengan kata. Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. 2.1.3 Peribahasa

a. Pengertian Peribahasa

Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu-Zain (1994)). Pada umumnya, kelompok kata atau kalimat dalam peribahasa memiliki struktur susunan yang tetap, dan merupakan kiasan terhadap


(25)

15

suatu maksud. Kalimat yang dipakai biasanya mengesankan dan memiliki arti yang luas. Didalam suatu peribahasa terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. Dalam kebudayaan Melayu, peribahasa sering dipakai atau diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain sastra lisan ini merupakan salah satu sarana enkulturasi dalam proses penanaman nilai-nilai adat dari waktu ke waktu.

Peribahasa merupakan ungkapan yang walaupun tidak langsung namun secara tersirat menyampaikan suatu hal yang dapat dipahami oleh pendengarnya atau pembacanya karena sama-sama hidup dalam ruang lingkup budaya yang sama. Persamaan ruang lingkup budaya yang sama menjadi faktor penting, karena jika tidak maka pembicaraan dengan penggunaan peribahasa tidak akan nyambung. Misalnya, baru-baru ini ada pejabat tinggi kepolisian yang dengan bangga menyebut diri dan institusinya sebagai buaya karena menganggap buaya itu lambang kekuatan dan keperkasaan. Padahal masyarakat sekarang sudah sejak lama menganggap kata buaya itu selalu dalam arti negatif, contohnya saja pada ungkapan buaya darat dan air mata buaya.

Jadi, pemakaian peribahasa di dalam masyarakat adalah milik bersama yang kalau diucapkan, walaupun hanya sebagian akan dipahami oleh yang mendengar atau membacanya. Contoh lain jangan kura-kura dalam perahu, yang mendengarnya tahu bahwa arti dari peribahasa itu adalah jangan pura-pura tidak tahu. Peribahasa ini meski yang diucapkan hanya sampirannya saja tetapi orang lain akan tahu apa isinya.


(26)

16 b. Jenis Peribahasa

Peribahasa dapat berupa pepatah, ungkapan, bidal, perumpamaan, tamsil dan semboyan. Berikut contoh peribahasa:

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.

Artinya setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetap sebagai masyarakat sosial. Ohoiwutun (2007: 78-80) mengungkapkan bahwa bahasa, pikiran dan kebudayaan merupakan satu rangkaian kesatuan yang bergulir terus dalam satu alur tak terbatas, bahasa juga menjadi bukti keberadaan kebudayaan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. Sosiolinguistik berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat dalam situasi bervariasi.

Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (Sumarsono, 2004: 1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat


(27)

17

disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu.

Trudgill (dalam Sumarsono, 2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala social dan gejala kebudayaan. Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik, dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.

Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidah-kaidah yang sebagian besar tidak tertulis tapi dipatuhi oleh warga masyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1978: 94). Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik (Nababan, 1984: 2).

Sosiolinguitik lahir karena ketidakpuasan ahli bahasa terhadap linguistik struktural yang hanya mengkaji bahasa dari segi strukturalnya dengan mengabaikan faktor sosial dalam analisisnya. Menurut Hymes, istilah sosiolinguistik mulai dikenal pada tahun 1960-an. Dekade ini ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Language in Culture and Society oleh Dell Hymes pada tahun 1966. Pada tahun 1968 Fishman menulis dalam kumpulan karangan


(28)

18

yang diberi judul Reading in The Sociology of Language. Pada tahun yang sama Ferguson, Fishman, dan Das Gupta menerbitkan kumpulan makalah yang diberi judul Language Problems of Developing Nations. Chaer (2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejalan sosial dan gejala kebudayaan.

Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat, bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya untuk saling bertukar pendapat dan berinteraksi.

2.2.2 Teori SPEAKING Dell Hymes

Penelitian ini merupakan kajian sosiolinguistik dengan menerapkan teori Speaking milik Dell Hymes (dalam Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 325), ada 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Bentuk pesan (massage form) 2. Isi Pesan (massage content) 3. Latar (setting)

4. Suasana (scene) 5. Penutur (sender) 6. Pengirim (addressor) 7. Pendengar (receiver)


(29)

19 8. Penerima (addresse)

9. Maksud - Hasil (purpose - outcome) 10.Maksud - Tujuan (purpose - goal) 11.Kunci (key)

12.Saluran (channel)

13.Bentuk tutur (form of speech)

14.Norma Interaksi (norm of interaction) 15.Norma Interpretasi (norm of interpretation) 16.Jenis (genre)

Berdasarkan komponen di atas, Hymes mengklasifikasikan enam belas komponen itu menjadi delapan komponen besar yang dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu:

S Situation

Setting berkenaan

dengan waktu dan tempat tutur berlangsung.

Scene mengacu pada

situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis

pembicaraan.

Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda, Sebagai contoh berbicara dilapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan dalam situasi ramai tentu berbeda dengan berbicara di ruang perpustakaan pada keadaan sunyi.


(30)

20

P Participants

Merujuk pada pihak-pihak yang terlibat dalam

pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima.

Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan, misalnya anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya dibandingkan kalau berbicara dengan teman sebayanya.

E Ends

Merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

Peristiwa tutur yang terjadi di ruang sidang pengadilan bermaksud untuk

menyelesaikan suatu kasus perkara; namun para

partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.


(31)

21

A Act Sequences

Mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.

• Bentuk ujaran berkenaan dengan kata yang digunakan, bagaimana

penggunaannya.

• Isi ujaran berkenaan dengan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

Bentuk dan isi ujaran dalam kuliah umum, dalam

percakapan biasa, dan dalam pesta berbeda.

K Key

Mengacu pada nada, cara, dan intonasi suatu pesan disampaikan.

Dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek atau dapat ditunjukkan juga dengan gerak tubuh dan isyarat.

I Instrumentalities

Mengacu pada jalur bahasa yang digunakan dan juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan.

Jalur tulisan, lisan, melalui telegraf atau telepon, bahasa, dialek, fragam atau register.


(32)

22

N Norms

Mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan juga mengacu pada penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

Berhubungan dengan cara berinterupsi, cara bertanya, dan sebagainya

G Genres

Mengacu pada jenis bentuk penyampaian

Narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.2.3 Fungsi Bahasa Menurut Jakobson

Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah "who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode dan amanat pembicaraan menurut Jakobson (dalam Soeparno, 2002: 7-8) adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Emotif

Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi untuk membantu manusia mengungkapkan emosi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Misalnya, rasa sedih, gembira, marah, kesal, kecewa, puas. Tujuan manusia dalam mengungkapkan perasaannya bermacam-macam, antara lain agar terbebas dari semua tekanan emosi dalam hatinya dan mengungkapkan suka duka dengan


(33)

23

bahasa agar tekanan jiwanya dapat tersalur. Apabila tidak, tekanan perasaan akan membelenggu jiwa seseorang sehingga secara psikologis keseimbangan jiwanya akan terganggu. Sebagai contoh, ketika anda merasa sedih ditinggalkan seseorang, Anda bercerita kapada teman Anda betapa hancurnya perasaan Anda ditinggalkan begitu saja oleh orang yang Anda cintai.

2. Fungsi Konatif

Dilihat dan sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi konatif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara. Sebagai contoh, seorang guru menasihati murid-muridnya agar selalu menjaga kebersihan kelas. Agar nasihatnya didengar, dipahami dan dituruti, tentu guru tersebut harus mengutarakan nasihatnya dengan bahasa yang baik, kalimatnya sederhana, mudah dipahami, dan disertai dengan alasan yang logis. Jadi, fungsi konatif bahasa dalam hal ini akan terwujud. Harap tenang ada ujian, sebaiknya Anda menelepon dulu, Anda tentu mau membantu kami adalah beberapa contoh kalimat yang berfungsi konatif (Chaer, 2004: 16).

3. Fungsi Fatik

Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan seperti apa kabar, bagaimana anak-anak, mau kemana nih, dan sebagainya (Chaer, 2004: 16). Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini


(34)

24

tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak gerik tangan, air muka atau kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut jika tidak disertai unsur paralinguistik tidak mempunyai makna.

4. Fungsi Referensial

Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Ungkapan-ungkapan seperti Ibu dosen itu cantik sekali atau gedung perpustakaan itu baru dibangun adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial (Chaer, 2004: 16).

5. Fungsi Metalingual atau Metalinguistik

Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik. Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti masalah politik, ekonomi, pengetahuan atau pertanian (Chaer, 2004:16). Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa.


(35)

25

Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi puitik atau imajinatif. Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya (Chaer, 2004: 17).

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan sumber pustaka terdahulu ada sejumlah sumber yang relevan untuk ditinjau dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah sebagai berikut:

Dina (2013) dalam artikelnya Analisis Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur di dalam Kelas mengatakan bahwa menggunakan jenis kalimat yang tidak sesuai di kelas akan menimbulkan kesalahpahaman yang artinya tujuan tidak akan tersampaikan dengan baik. Maka sebagai guru khususnya harus bisa memaksimalkan kemampuan bahasa dengan cara menggunakan dan memilih jenis kalimat yang akan diujarkan kepada muridnya di kelas dengan baik agar tidak terjadi hal-hal yang akan merugikan.

Sulis (2012) dalam analisisnya Peristiwa Tutur dalam Cerpen Batu Betina karya Syarif Hidayatullah menyatakan bahwa pemahaman akan konsep dasar dalam analisis wacana dapat menjadi starting point untuk memahami dan menganalisis wacana. Konteks harus dipahami secara mutual, artinya baik penutur maupun mitra tutur memiliki sharing knowledge terhadap konteks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konteks memegang peranan penting, bahkan menjadi


(36)

26

‘juru kunci’ dalam peristiwa komunikasi. Tanpa konteks komunikasi berpotensi untuk gagal.

Meldawati (2011) dalam Analisis Bentuk Tindak Tutur Berdasarkan Konteks menghasilkan penelitian tentang pentingnya konteks dalam memahami dan menafsirkan wacana. Konteks sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika orang berusaha memperoleh makna yang sesungguhnya dari informasi yang didengar atau dibacanya. Menentukan konteks dalam pemahaman wacana tentu saja dengan memberikan penafsiran terhadap SPEAKING (setting, participant, end, act sequences, key, instrument, norm, and genre).

Asrika (2009) dalam skripsinya Gaya Bahasa Tokoh Giselle dalam Film Enchanted Sebuah Analisis Sintaksis dan Sosiolinguistik menyebutkan bahwa teori-teori sosiolinguistik dapat menjelaskan latar belakang seseorang menggunakan gaya bahasa tertentu pada situasi yang dianggap sesuai dengan gaya tersebut.

Dari hasil penelitian terdahulu terdapat perbedaan dan persamaan dengan penelitian ini. Persamaannya terletak pada kajian dan teori yang sama yaitu kajian sosiolinguistik dengan teori Speaking milik Dell Hymes, sedangkan perbedaannya terdapat pada pembahasan masing-masing topik. Ada yang fokus terhadap konteks, gaya bahasa dan kemampuan berbahasa sedangkan penelitian ini fokus pada peristiwa tutur pantun dan peribahasa.


(37)

27 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini adalah novel bergenre roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Hamka dengan judul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel ini pertama kali dicetak pada tahun 1939 dan sudah dicetak ulang 27 kali hingga tahun 2003 yang diterbitkan oleh PT Bulan Bintang. Peneliti menggunakan cetakan yang ke-26 tahun 2002 dengan tebal 224 halaman, panjang 21 cm, bersampul biru, berbahasa Melayu dengan latar budaya Minangkabau. Pantun dan peribahasa yang peneliti gunakan berasal dari keseluruhan isi novel yaitu halaman 1 sampai dengan halaman 213. 3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data penelitian ini adalah data primer dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang mengacu pada data kemudian teori. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena data penelitian berupa bentuk-bentuk verbal bahasa yaitu berupa tuturan yang diperoleh dari percakapan baik lisan maupun tulisan. Data primer terdiri atas data verbal dan data nonverbal. Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 9 Agustus 2014 sampai dengan 10 November 2014.

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode simak (observasi) dengan cara mengumpulkan peribahasa-peribahasa dan pantun-pantun yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, para pemakai peribahasa dan pantun itu, teks-teks lain yang menyertai peribahasa dan pantun tersebut dan unsur-unsur nonverbal yang melatarinya seperti aspek sosial dan


(38)

28

budaya. Metode simak merupakan cara pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Metode simak ini menggunakan bahan teks sebagai acuan maka penelitian ini disebut penelitian kepustakaan (library research). Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik simak bebas libat cakap karena peneliti tidak terlibat langsung dalam percakapan.

Proses pengumpulan data menggunakan alat yang disebut dengan kartu data. Secara lengkap kartu data dapat dilihat sebagai berikut:

No. Tuturan Pantun Fungsi Pantun Makna Pantun

No. Tuturan Peribahasa Fungsi Peribahasa Makna Peribahasa

Keterangan:

Kartu data dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian pertama berisi nomor data, kedua berisi tuturan berupa pantun maupun peribahasa yang terjadi di dalam percakapan baik lisan maupun tulisan, kolom ketiga berisi makna pantun dan peribahasa itu sendiri, sedangkan kolom ketiga berisi tentang fungsi pantun dan peribahasa dalam masyarakat.

3.3 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi, yaitu dengan mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial budaya masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji perbedaan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa


(39)

29

sebagaimana seharusnya (preskriptif/normatif). Maka dari itu data-data linguistik harus bersifat alamiah (naturally occuring language) tidak boleh dibuat-buat (contrived) karena bidang sosiolinguistik meneliti bahasa sebagaimana adanya.

Dalam mengkaji data, peneliti menggunakan metode padan. Metode ini berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa dengan cara menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui makna dan peran pantun atau peribahasa tersebut pada masyarakat dulu maupun sekarang. Adapun teknik yang digunakan yaitu teknik identifikasi menggunakan teori SPEAKING milik Dell Hymes. Teknik tersebut dilakukan dengan cara menetapkan unsur-unsur yang melatarbelakangi suatu tuturan pantun atau peribahasa baik berupa waktu, penutur dan petutur, tujuan, isi dsb. Kegiatan analisis data dilakukan dalam tiga tahap, yaitu transkripsi data, klasifikasi data, dan analisis data.

Berikut contoh pantun yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck:

Kalau tidak ranggas di Tanjung Cumanak ampaian kain

Kalau tidak emas dikandung Dunsanak jadi orang lain (Hamka, 2002: 8)

Pantun di atas mengandung pengertian bahwa jika seseorang merantau ke kota lain hendaklah membawa hasil ketika pulang ke kampung halaman, jika tidak maka bisa saja ia tidak dianggap bahkan dicemooh oleh masyarakat kampungnya. Hal tersebut berkorelasi dengan adat Minangkabau yang sangat terkenal dengan


(40)

30

budaya merantau. Bagi masyarakat Minangkabau, pantang pulang sebelum berhasil karena akan menanggung malu baik di keluarga maupun masyarakat sekitar.

Ditilik dari teori Speaking milik Dell Hymes, pantun di atas memiliki komponen berikut:

Konteks tuturan:

Pendekar Sutan yang merupakan ayah Zainuddin menceritakan alasannya tak kembali ke tanah kelahirannya, Minangkabau selain disebabkan karena Ibunya telah meninggal juga karena ia tak memiliki pekerjaan begitu dibebaskan dari penjara.

S Setting -

P Participants Pendekar Sutan

E Ends Pantun tersebut bermaksud untuk menyampaikan kekalutan yang dialami Pendekar Sutan karena takut tidak dianggap oleh saudara-saudaranya jika pulang ke kampung disebabkan karena ia tak punya penghasilan.

A Act Sequences kalimat pantun yang baik

K Key -

I Instrumentalities menggunakan tulisan

N Norms -

G Genres berbentuk pantun

Dari segi fungsi bahasa menurut Jakobson, pantun di atas berfungsi referensial karena membicarakan perihal yang akan terjadi jika kembali ke kampung halaman tanpa penghasilan maka penutur akan mengalami malu dan tak dianggap oleh saudara-saudaranya.


(41)

31

Contoh peribahasa yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck:

Selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua. (Hamka. 2002: 128)

Peribahasa di atas dapat dikorelasikan dengan roda kehidupan yang mengalami pasang dan surut. Ibarat hujan lebat, suatu cobaan berat dalam hidup pasti akan reda pada masanya jika diselesaikan dan dimusyawarahkan bersama-sama.

Jika dikaji dengan teori speaking milik Dell Hymes, peribahasa di atas memiliki komponen berikut:

Konteks tuturan:

Hayati sedang menulis balasan surat untuk Zainuddin. Hayati meminta agar Zainuddin melupakan hal-hal yang berkenaan dengan mereka berdua. Hayati juga meminta maaf atas keputusannya menikahi Aziz. Bagi Hayati segala sakit hati yang mereka berdua rasakan akan sembuh dengan sendirinya, seperti hujan lebat yang suatu saat akan teduh.

S Setting Hayati membalas surat Zainuddin. P Participants Hayati dan Zainuddin.

E Ends Hayati meminta Zainuddin agar melupakannya dan membiarkan luka hati tersebut sembuh dengan sendirinya.

A Act Sequences Hayati mengibaratkan masalah tersebut sebagai hujan yang akan teduh pada waktunya.

K Key Hayati menulis surat tersebut dengan perasaan sedih dan kecewa.

I Instrumentalities melalui tulisan dalam sebuah surat

N Norms surat ini dibuatnya sebagai balasan akhir akan surat-surat Zainuddin.


(42)

32

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi

referensial karena membahas topik mengenai Hayati yang beranggapan bahwa

permasalahan hatinya dengan Zainuddin akan sembuh pada waktunya. 3.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode formal. Metode informal tampak pada penggunaan kalimat-kalimat perumpamaan penjelas sedangkan metode formal menggunakan tanda, gambar dan diagram untuk menerangkan contoh data (Sudaryanto, 1993:144).


(43)

33 BAB IV PEMBAHASAN

4.1Fungsi Peristiwa Tutur Sastra Lisan: Pantun dan Peribahasa 4.1.1 Fungsi Peristiwa Tutur Pantun

Bukit putus, Rimba Keluang direndam jagung dihangusi Hukum putus badan terbuang terkenang kampung kutangisi (TKVW, 2002: 5)

Konteks tuturan:

Zainuddin termenung di tepi jendela rumahnya yang menghadap ke tepi pantai kala senja datang. Ia mengenang perkataan ayahnya mengenai kampung halamannya yang ternyata bukan Makassar melainkan Minangkabau. Ayahnya juga kerap melantunkan pantun-pantun yang dinyanyikan dengan nyanyian serantih yang kini ia hafal.

S Setting Senja hari di rumah Zainuddin di Makassar P Participants Zainuddin

E Ends pantun tersebut sebagai pengingat akan kampung halaman para perantau

A Act Sequences Baik

K Key -

I Instrumentalities melalui nyanyian serantih yang dihafalkan Zainuddin

N Norms -


(44)

34

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, pantun tersebut mengandung fungsi

referensial karena pantun tersebut menceritakan tentang perantau yang

merindukan kampung halamannya.

Batang kapas nan rimbun daun urat terentang masuk padi Jika lepas laut Ketahun merantau panjang hanya lagi (TKVW, 2002: 5)

Konteks tuturan:

Zainuddin termenung di tepi jendela rumahnya yang menghadap ke tepi pantai kala senja datang. Ia mengenang perkataan ayahnya mengenai kampung halamannya yang ternyata bukan Makassar melainkan Minangkabau. Ayahnya juga kerap melantunkan pantun-pantun yang dinyanyikan dengan nyanyian serantih yang kini ia hafal.

S Setting Senja hari di rumah Zainuddin di Makassar P Participants Zainuddin

E Ends pantun tersebut menceritakan pengalaman para perantau yang tak bisa kembali pulang sebelum berhasil

A Act Sequences Bagus

K Key -

I Instrumentalities melalui nyanyian serantih yang dihafalkan Zainuddin


(45)

35

G Genres berbentuk pantun

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, pantun tersebut mengandung fungsi referensial karena pantun tersebut menceritakan tentang nasib para perantau yang hanya bisa merantau dan merantau lebih jauh lagi karena belum memperoleh penghasilan untuk dibawa ke kampung.

Kalau tidak ranggas di Tanjung cumanak ampaian kain

Kalau tidak emas dikandung dunsanak jadi rang lain (TKVW, 2002: 8) Konteks tuturan:

Pendekar Sutan yang merupakan ayah Zainuddin menceritakan alasannya tak kembali ke tanah kelahirannya, Minangkabau selain disebabkan karena Ibunya telah meninggal juga karena ia tak memiliki pekerjaan begitu dibebaskan dari penjara.

S Setting -

P Participants Pendekar Sutan

E Ends pantun tersebut bermaksud untuk menyampaikan kekalutan yang dialami Pendekar Sutan karena takut tidak dianggap oleh saudara-saudaranya jika pulang ke kampung disebabkan karena ia tak punya penghasilan.

A Act Sequences kalimat pantun yang baik


(46)

36

I Instrumentalities menggunakan tulisan

N Norms -

G Genres berbentuk pantun

Dari segi fungsi bahasa menurut Jakobson, pantun di atas berfungsi referensial karena membicarakan perihal yang akan terjadi jika kembali ke kampung halaman tanpa penghasilan maka penutur akan mengalami malu dan tak dianggap oleh saudara-saudaranya.

Pulau Pandan jauh di tengah di balik Pulau Angsa Dua Hancur adik dikandung tanah rupa adik terkenang jua (TKVW, 2002: 14) Konteks tuturan:

Pendekar Sutan bercerita kepada Mak Base tentang dua hal yang dapat mengobati hati. Pertama, membaca Al-Quran tengah malam. Kedua, membuaikan Zainuddin dengan nyanyian negeri Padang berisi pantun yang mengingatkannya pada almarhumah Habibah, Ibu Zainuddin.

S Setting Malam hari

P Participants ayah Zainuddin (Pendekar Sutan) dengan pengasuh Zainuddin (Mak Base)

E Ends sepeninggalan manusia adalah wajah dan

perilaku yang terngiang dan teringat sehingga baiknya kita saling berbuat kebaikan terhadap sesama adalah tujuan pantun diatas.


(47)

37

K Key Pendekar Sutan menyanyi dengan tenang namun sedikit iba.

I Instrumentalities melalui percakapan lisan antara Pendekar Sutan dan Mak Base

N Norms Pendekar Sutan setiap menyebut pantun itu selalu teringat akan mendiang Habibah (ibu Zainuddin)

G Genres berbentuk pantun

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, pantun tersebut mengandung fungsi referensial karena pantun diatas menceritakan tentang keadaan ketika ditinggal orang yang dikasihi, sedangkan sampiran pantun tersebut menyatakan tentang letak pulau Pandan yang memang benar dibalik pulau Angsa Dua.

Ombak putih-putih Ombak datang dari laut Kipas lenso putih

Tanah Mengkasar sudah jauh (TKVW, 2002: 19)

Konteks tuturan:

Pukul lima sore di pelabuhan, kapal akan berlayar menuju Padang. Suasana mendadak haru tatkala Zainuddin berpamitan kepada Mak Base yang sedari tadi menangis. Zainuddin pun meyakinkan Mak Base bahwa semuanya akan baik-baik saja karena niatnya ke Padang juga baik. Sepeninggalan kapal yang ditumpangi Zainuddin, Mak Base masih berdiri di tepi pelabuhan sambil mengibaskan sapu tangan putih ke arah kapal Zainuddin yang terus menjauh. S Setting Pukul lima sore di pelabuhan


(48)

38

P Participants Zainuddin dan Mak Base

E Ends pantun tersebut identik dengan perpisahan para perantau dengan keluarganya. Makassar sudah jauh bagi yang merantau ditandai dengan adanya lenso (sapu tangan) putih yang dikibarkan orang-orang di pelabuhan.

A Act Sequences dengan baik dan sopan

K Key -

I Instrumentalities melalui tulisan

N Norms -

G Genres berbentuk pantun

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, pantun tersebut mengandung fungsi referensial karena menyatakan tanah Makassar yang sudah jauh ditinggal oleh para perantau.

4.1.2 Fungsi Peristiwa Tutur Peribahasa

Nan sehasta, nan sejengkal, dan setampok sebuah jari. (TKVW, 2002: 6) Konteks tuturan:

Terjadi perselisihan antara Pendekar Sutan dengan Datuk Mantari Labih. Hal tersebut disebabkan oleh harta. Pendekar Sutan meminta izin untuk menggadai guna biaya berumah tangga, tetapi dihalangi oleh ninik mamaknya termasuk Datuk Mantari Labih. Pihak perempuan juga tidak setuju, karena seharusnya harta pusaka tersebut jatuh ke tangan mereka sesuai dengan adat Minangkabau.

S Setting -


(49)

39

E Ends Semua keputusan harus mendapat persetujuan dari musyawarah mufakat.

A Act Sequences peribahasa ini menjadi hukum adat di Minangkabau

K Key -

I Instrumentalities melalui tulisan

N Norms -

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi puitik karena menggunakan kata-kata perumpamaan dalam menyampaikan makna peribahasa itu sendiri.

Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang. (TKVW, 2002: 18)

Konteks tuturan:

Sore hari di pelabuhan Makassar, Mak Base berat melepas kepergian Zainuddin ke Padang. Dengan mengucapkan pepatah orang Makassar, Zainuddin berusaha meyakinkan Mak Base bahwa anak laki-laki memang ditakdirkan untuk berjuang dalam hidup dan tak boleh putus asa.

S Setting sore hari di pelabuhan Makassar P Participants Zainuddin dan Mak Base

E Ends Jangan pantang menyerah sebelum mencoba. A Act Sequences merupakan pepatah orang Makassar

K Key diucapkan Zainuddin dengan lantang dan tegas I Instrumentalities melalui lisan


(50)

40

Mak Base ragu melepaskannya berangkat ke Padang

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi konatif karena peribahasa tersebut memotivasi pembaca agar selalu bekerja keras dan pantang menyerah dalam hidup.

Sirih nan secabik, pinang nan segetap. (TKVW, 2002: 94) Konteks tuturan:

Di rumah keluarga besar Khadijah, telah terdapat kesepakatan meminang Hayati untuk Aziz, abang Khadijah. Maka diutuslah seseorang yang bijak untuk menyampaikan maksud baik ini.

S Setting di rumah keluarga besar Aziz dan Khadijah P Participants Seluruh keluarga besar Aziz dan Khadijah E Ends sirih sebagai tanda hendak meminang. A Act Sequences membawa sedikit sirih sebagai syarat untuk

meminang dalam adat Minangkabau

K Key -

I Instrumentalities diwariskan turun-temurun

N Norms -

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi puitik karena peribahasanya bersifat imajinatif dengan pesan yang mengatur tata cara peminangan dalam budaya Minangkabau.


(51)

41

Mengebat tidak erat, memancung tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas tunggul, lecah lekat di kaki. (TKVW, 2002: 101)

Konteks tuturan:

Ninik mamak berkumpul di rumah gadang untuk bermusyawarah mengenai peminangan Hayati. Kaum semanda, yakni suami-suami dari kemenakan-kemenakan tidak diperkenankan mengikuti mufakat, mereka hanya diberi tahu keputusan akhir. Bagi masyarakat Minangkabau, kaum semanda tidak termasuk dalam suku mereka sehingga tidak dapat menentukan atau memutuskan suatu perkara, walaupun anak mereka sendiri yang akan dipertunangkan.

S Setting di rumah gadang

P Participants Ninik mamak

E Ends peribahasa tersebut menunjukkan bahwa dalam adat Minangkabau, kaum semanda tidak ikut andil dalam mufakat karena dianggap ‘diluar’ suku Minangkabau.

A Act Sequences Menggunakan kata yang sedikit sarkasme dengan topik kedudukan kaum semanda bagi kaum Minangkabau.

K Key Ninik mamak menyampaikan dengan intonasi

datar dan tenang. I Instrumentalities Melalui lisan

N Norms Berhubungan dengan cara menjelaskan makna kaum semanda bagi kaum Minangkabau.

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi konatif karena peribahasanya mengatur tingkah laku kaum semanda dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau.


(52)

42

Hereng dengan gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak lapuk dihujan, nan tidak lekang dipanas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa. (TKVW, 2002: 102) Konteks tuturan:

Seluruh keluarga besar Hayati mengadakan mufakat untuk memutuskan pinangan Aziz atau Zainuddin yang akan diterima. Datuk Garang membuka percakapan dengan menguraikan hal-hal apa saja yang harus dipertimbangkan untuk menerima pinangan, hal ini disebabkan karena kaum Minangkabau terkenal dengan adat istiadat yang kental dan kekal.

S Setting di rumah gadang milik keluarga besar Hayati P Participants Datuk Garang

E Ends peribahasa tersebut bertujuan untuk

menunjukkan adat istiadat yang kekal tak berubah masa demi masa

A Act Sequences Minangkabau terkenal dengan adatnya yang kokoh dan pantang dilanggar.

K Key Datuk Garang menyampaikan dengan serius,

tegas dan lugas.

I Instrumentalities diwariskan turun-temurun baik lisan maupun tulisan.

N Norms peribahasa tersebut digunakan sebagai landasan permusyawaratan dalam menentukan keputusan peminangan perempuan di keluarga Minangkabau.

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi

konatif karena secara langsung memerintahkan masyarakat Minangkabau untuk


(53)

43

Pinang di bawah sirih di atas. (TKVW, 2002: 102) Konteks tuturan:

Datuk Garang mengutarakan bahwa pinangan Aziz telah memenuhi syarat dan ketentuan. Mulai dari asal usulnya, sukunya, hartanya dan ternyata Aziz termasuk orang terpandang di Padang Panjang.

S Setting rumah gadang

P Participants Datuk Garang

E Ends menandakan peminangan yang sah dan disetujui A Act Sequences Bentuk ujaran yang baik dan pas dengan isi

ujaran mengenai tata cara peminangan yang telah diwariskan turun-temurun

K Key melalui lisan

I Instrumentalities sebagai penanda lamaran.

N Norms peribahasa tersebut digunakan sebagai bentuk umum peminangan dalam adat Minangkabau. G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi

konatif karena mengatur tata cara pertunangan yang sah dalam budaya

Minangkabau.

Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, sama berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari. (TKVW, 2002: 103)

Konteks tuturan:

Setelah dibicarakan panjang lebar, seluruh peserta musyawarah hampir sepakat menerima Aziz daripada Zainuddin, karena setelah ditilik latar belakang kehidupannya ternyata ditemukan keserasian antara Aziz dan Hayati yang dilambangkan dengan pepatah tersebut.


(54)

44

S Setting Saat musyawarah di rumah gadang P Participants -

E Ends peribahasa diatas menyatakan keselarasan, kesetaraan, keseimbangan antara satu dengan lainnya. Peran peribahasa pada konteks tersebut adalah menerima pinangan Aziz kepada Hayati karena keduanya sama-sama berbangsa dan bersuku yang setara atau setingkat.

A Act Sequences penggunaan kata-kata perbandingan seperti ruas dengan buku, janggut dengan dagu, bulan dengan matahari memperkuat kedudukan yang satu dengan yang lain.

K Key -

I Instrumentalities sebagai penanda kecocokan.

N Norms -

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi referensial yaitu membicarakan objek berupa keserasian dan keselarasan antara Hayati dan Aziz.

Mengubah cupak nan usali. (TKVW, 2002: 103) Konteks tuturan:

Mak Tengah Limah bersitegang dengan Datuk Garang. Mak Tengah Limah mengetahui bahwa cinta Hayati hanya untuk Zainuddin, sedangkan hampir seluruh ninik mamak lebih memilih menjodohkan Hayati dengan Aziz. Datuk Garang akhirnya berkata, “Lebih baik dia mati, senang kita, daripada dia memberi malu ninik mamak, merusak adat dan lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa


(55)

45

guna dia hidup kalau akan mencorengkan arang di kening dan menggoreskan malu di muka kita?”

S Setting saat musyawarah mufakat di rumah gadang. P Participants Datuk Garang dan Mak Tengah Limah

E Ends tujuan dari peribahasa tersebut adalah untuk memperingati untuk tidak melanggar adat yang sudah ada sejak dahulu kala dan diwarisi turun-temurun.

A Act Sequences menggunakan kata “usali” yang berarti usang atau tua menyatakan adat yang sudah tua dan usang tetapi masih kuat berlaku.

K Key datuk Garang mengucapkannya dengan penuh

amarah dan nada serta intonasi yang tinggi. I Instrumentalities diucapkan secara lisan.

N Norms sebagai bentuk bantahan perkataan Limah G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi

emotif karena partisipan menunjukkan kemarahannya saat menyampaikan

peribahasa tersebut.

Sudah ke laut, sudah ke darat, bukan saja sembarang orang. Kalau memang demikian bertemu dalam penglihatan, patut dibalas kita balas, patut dibalik kita balik. (TKVW, 2002: 105)

Konteks tuturan:

Mak Tengah Limah mengkhawatirkan jika Hayati dipelet oleh Zainuddin karena setiap hari Hayati hanya memikirkan pemuda itu. Datuk Garang merasa tertantang. Beliau berjanji akan membalas perbuatan Zainuddin jika memang terbukti ia telah mengguna-guna Hayati.


(56)

46

S Setting saat musyawarah mufakat di rumah gadang. P Participants Datuk Garang dan Mak Tengah Limah E Ends peribahasa ini berisi tentang balas dendam A Act Sequences penggunaan kata “patut” menandakan

kesiapsiagaan partisipan untuk membalas perbuatan yang tidak baik.

K Key datuk Garang mengucapkannya dengan nada

tinggi dan menantang. I Instrumentalities diucapkan secara lisan.

N Norms sebagai jawaban atas pertanyaan Limah G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi

emotif karena partisipan menunjukkan egonya saat menyampaikan peribahasa

tersebut.

Yang mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari yang akan elok. (TKVW, 2002: 105)

Konteks tuturan:

Datuk Garang memanggil Hayati untuk menyampaikan hasil akhir musyawarah mufakat dengan seluruh keluarga besar. Beliau menyatakan bahwa mereka telah rela berlama-lama duduk, mempertimbangkan baik dan buruk kedua pinangan, hingga akhirnya sepakat menerima Aziz.

S Setting saat musyawarah mufakat di rumah gadang. P Participants Datuk Garang dan Hayati

E Ends peribahasa ini menjelaskan tentang peran ninik mamak dalam masyarakat Minangkabau,


(57)

47

menilai, menimbang baik buruk dan memutuskan siapa yang berhak menjadi pendamping Hayati.

A Act Sequences menggunakan metafora yang dominan yaitu antara baik dan buruk, hina dan mulia.

K Key datuk Garang melontarkan peribahasa tersebut dengan penuh hati-hati dan berwibawa.

I Instrumentalities diucapkan secara lisan.

N Norms sebagai pembuka pembicaraan kepada Hayati atas keputusan yang diambil oleh ninik mamaknya.

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi referensial karena membicarakan mengenai hasil musyawarah yang dilakukan oleh ninik mamak dan pemangku adat lainnya.

Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya. (TKVW, 2002: 108)

Konteks tuturan:

Zainuddin membaca surat dari Datuk Garang yang berisi keputusan diterima atau tidaknya pinangan atas Hayati. Ternyata lamaran Zainuddin tidak dapat dikabulkan.

S Setting Zainuddin membuka surat dari Datuk Garang. P Participants Datuk Garang dan Zainuddin.

E Ends peribahasa diatas menunjukkan adanya

ketidaksepakatan diantara mereka yang bermusyawarah.

A Act Sequences penggunaan kalimat yang sopan dan baik.

K Key datuk Garang menulis peribahasa tersebut

sebagai balasan atas pinangan Zainuddin kepada Hayati


(58)

48 I Instrumentalities secara tertulis.

N Norms sebagai jawaban penolakan atas pinangan Zainuddin kepada Hayati.

G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi referensial karena membicarakan mengenai hasil musyawarah yang dilakukan oleh ninik mamak dan pemangku adat lainnya.

Kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan. (TKVW, 2002: 108) Konteks tuturan:

Zainuddin masih membaca surat Datuk Garang tentang penolakan pinangannya kepada Hayati dengan alasan banyak yang tidak sepakat jika Hayati dijodohkan dengannya lantaran ia tidak memenuhi syarat yang berlaku.

S Setting Zainuddin membuka surat dari Datuk Garang. P Participants Datuk Garang dan Zainuddin.

E Ends peribahasa diatas menyatakan bahwa ada pro dan kontra terhadap pinangan Zainuddin sehingga penolakan dianggap lebih baik daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menurut ninik mamak Hayati.

A Act Sequences penggunaan kalimat yang sopan dan baik.

K Key datuk Garang menulis peribahasa tersebut

sebagai penolakan atas pinangan Zainuddin kepada Hayati

I Instrumentalities secara tertulis.

N Norms sebagai penolakan atas pinangan Zainuddin kepada Hayati.


(59)

49

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi

referensial karena membicarakan mengenai penolakan pinangan Zainuddin

kepada Hayati.

Tiba tampak muka, berjalan tampak punggung. (TKVW, 2002: 109) Konteks tuturan:

Perasaan Zainuddin campur aduk ketika tahu lamarannya ditolak. Ia juga heran mengapa ia tidak diterima padahal ia telah meminta baik-baik kepada keluarga Hayati, bukan melalui jalur pelet atau guna-guna.

S Setting Zainuddin membaca surat Datuk Garang P Participants Zainuddin

E Ends peribahasa tersebut membicarakan tentang adab sopan santun dalam kehidupan, datang dan pulang dengan berpamitan, begitu juga jika hendak meminang perempuan.

A Act Sequences penggunaan analogi yang baik.

K Key dengan pilu Zainuddin mengumpat dalam hati I Instrumentalities secara lisan dalam benak Zainuddin.

N Norms sebagai bentuk adab yang baik. G Genres berbentuk peribahasa

Dari sisi fungsi bahasa menurut Jakobson, peribahasa tersebut mengandung fungsi referensial karena membicarakan mengenai kesantunan dalam bermasyarakat termasuk meminang perempuan.


(1)

68

Makna peribahasa di atas adalah sesuatu yang tak diduga dan tak disangka.

Berenang di dalam mas, bersayap uang kertas. (TKVW, 2002: 188) Makna peribahasa di atas adalah hidup kaya raya.

Tak lapuk dihujan, tak lekang dipanas. (TKVW, 2002: 188) Makna peribahasa di atas adalah adat istiadat yang kekal abadi.

Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa. (TKVW, 2002: 189)


(2)

69 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Penelitian ini menghasilkan dua simpulan yang merupakan jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut merupakan simpulan dari penelitian ini:

1. Teori Speaking milik Dell Hymes menyimpulkan bahwa suatu peristiwa tutur harus memiliki komponen (a) setting (b) participants (c) ends (d) act sequences (e) key (f) instrumentalities (g) norms (h) genres. Pada peristiwa tutur yang berobjek pantun dan peribahasa ditemukan beberapa kekosongan komponen participants disebabkan karena pantun dan peribahasa tersebut tidak diucapkan langsung oleh tokoh novel melainkan hanya sebagai pelengkap konteks. Beberapa data juga tak luput dari nihilnya komponen keys dan norms yang saling berkaitan. Dari tiga puluh satu data, sembilan data tidak mengandung komponen keys dan norms secara bersamaan, lima data tidak memiliki komponen setting, dan tiga data tidak mempunyai komponen participants. Fungsi bahasa menurut Jakobson terdiri atas (a) fungsi emotif (b) fungsi konatif (c) fungsi fatik (d) fungsi referensial (e) fungsi metalingual dan (f) fungsi puitik. Diantara keenam fungsi tersebut, fungsi yang paling banyak terdapat pada pantun dan peribahasa dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah fungsi referensial ditunjukkan dengan ditemukannya empat belas data dari


(3)

70

tiga puluh satu data, disusul dengan fungsi konatif berjumlah sembilan, fungsi emotif berjumlah lima dan fungsi puitik hanya tiga. Fungsi fatik dan metalingual tidak muncul sama sekali. Suatu pantun atau peribahasa bisa saja mengandung dua atau lebih fungsi bahasa, tetapi hanya yang mendominasi yang akan mewakili fungsi-fungsi tersebut.

2. Makna pantun dan peribahasa pada novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck secara keseluruhan masih terkait dengan budaya Minangkabau seperti peribahasa yang mengatur pembagian harta warisan, peribahasa meminang perempuan dan peribahasa dalam bermusyawarah menentukan keputusan. Pantun yang ditemui pada novel ini adalah pantun yang bersifat menganjurkan, melarang dan memperingati.

Dapat diamati bahwa bahasa, makna, pemakaian, struktur tuturan atau genrenya serta pilihan-pilihan fungsi bahasa cenderung diatur norma-norma sosiokultural yang berjalan dan berlaku dalam kelompok etnis pemakai bahasa itu.

5.2 Saran

Penelitian dengan pantun dan peribahasa sebagai objek kajian masih minim, padahal pantun dan peribahasa merupakan salah satu karya budaya masyarakat Indonesia yang harus dilestarikan dan terus dikembangkan baik dari segi pragmatik, makna semantik, kajian semiotik maupun sejarah latar belakang pantun dan peribahasa itu tercipta. Peneliti berharap penelitian tentang peristiwa tutur terus ditingkatkan. Peristiwa tutur sastra lisan dengan objek pantun dan peribahasa kajian sosiolinguistik penting dikembangkan karena pemaknaan dan


(4)

71

penginterpretasian pantun dan peribahasa tersebut sangat bergantung pada korelasi dan asosiasi dari konteks sosial dimana partisipan berada. Dengan kata lain, suatu peristiwa tutur yang mengandung pantun dan peribahasa akan dimengerti oleh mereka yang mengetahui konteks situasi dan kondisi yang terjadi.


(5)

72

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi. Arifin, Zainal. 2006. Kamus Bahasa Melayu 2100 Kata. Medan: Mitra.

Aslinda dan Leni Safyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.

Asrika. 2009. “Gaya Bahasa Tokoh Giselle dalam Film Enchanted Sebuah Analisis Sintaksis dan Sosiolinguistik”. Skripsi S I pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Jakarta.

Bakar, Jamil. 1981. Sastra Lisan Minangkabau: Pepatah dan Pantun. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa.

Badudu, J. S. Dan Sutan Mohammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaniago, Nur Arifin dan Bagas Pratama. 2001. 3700 Peribahasa Indonesia Dilengkapi dengan Kosa Kata Lengkap. Bandung: Pustaka Setia.

Dina. 2013. Analisis Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur di dalam Kelas. Blog diakses pada 6 September 2014 pukul 20:46 WIB dari

Effendy, M. Roeslan. 1984. Selayang Pandang Kesusastraan Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu.


(6)

73

Hamka. 2002. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (cet. ke-26). Jakarta: Bulan Bintang.

Ikram, Achadiati. 1985. Kamus Melayu Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Isman, Jakob. 1983. Kedudukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Minang di Sumatera Barat. Jakarta: Pusat Bahasa.

Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (cet. ke-22). Jakarta: Djambatan.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia. Kuswanto, dkk. 1987. 1160 Peribahasa Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu.

Meldawati. 2011. Analisis Bentuk Tindak Tutur Berdasarkan Konteks. Blog diakses pada 12 Oktober 2014 jam 16:23 WIB dari

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia.

Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti.

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.

Pangaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Pateda, Mansyur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Penelitian Bahasa. Yogyakarta: