BAB II MEKANISME PERJANJIAN PEMBIAYAAN ISTISHNA MENURUT FIQH DAN PERBANKAN SYARI’AH A. Pengetian Bank Syari’ah - Akad Pembiayaan Istishna Pada PT Bank Rakyat Indonesia Syari’ah Cabang Binjai

BAB II MEKANISME PERJANJIAN PEMBIAYAAN ISTISHNA MENURUT FIQH DAN PERBANKAN SYARI’AH A. Pengetian Bank Syari’ah Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan

  semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang perkembagannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks.

  Perbankan dalam melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat sebagai pemilik dana, menyalurkan dana kepada masyarakat sebagai pengguna dana dan memberikan jasa.

  Bank berasal dari kata Italia " banca" yang artinya " banku" Banku inilah yang dipergunakan oleh bankir Italia untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para

  53

  nasabah, istilah banku secara resmi dan popular menjadi Bank. Rumusan Bank secara yuridis seperti yang tercantum dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa "Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana

  dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak".

  Pengertian sebagaimana diatur Undang-Undang tersebut di atas menegaskan adanya beberapa hal : 53 H.Malayu SP. Hasibuan. Dasar-dasar Perbankkan. Bumi Aksara, 2001, hlm.1

  28 a. Bank adalah suatu badan usaha, bukan perorangan

  b. Kegiatan bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyakat.

  c. Tujuan bank adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, jadi bukan semata-mata mencari keuntungan Sedangkan menurut "Kamus Perbankan", Bank adalah Badan Usaha di bidang keuangan yang menarik uang dan menyalurkannya ke dalam masyarakat terutama dengan memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran

  54

  uang. Namun demikian untuk lebih mempertegas tentang hal-hal yang menyangkut pengertian bank dikutip pula beberapa pendapat para ahli untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud perbankan tersebut :

  1. Pierson (ahli ekonomi dari Belanda) Memberikan suatu definisi "Bank is a company wiet accept credit, but didn’t

  give credit’ yang artinya bank adalah badan usaha yang menerima kredit, tetapi

  55 tidak memberi kredit”

  Teori Pierson ini menyatakan bahwa bank dalam operasionalnya hanya bersifat pasif saja,yaitu hanya menerima titipan uang saja.

  2. G.M. Verrijn Stuart Pengertian bank menurut G.M. Verrijn Stuart yang dikutip Pratama Rahardja adalah “badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-

  54 S.Kertopati Dkk, Kamus Perbankkan, Lembaga Pendidikan Perbankkan Indonesia, Jakarta, 1980, hlm.54 55 H.Malayu SP Hasibuan, Op Cit. hlm.2 alat pembayarannya sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain. atau dengan jalan

  56

  mengeluarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral." Dengan demikian bank adalah badan yang menerima kredit (berupa giro,deposito dan tabungan), memberikan kredit (baik berjangka pendek, menengah maupun panjang) serta memberikan jasa-jasa bank lainnya berupa kiriman uang transfer, wesel, letter of credit, bank garansi, dan sebagainya. Keuntungan dari bank semacam ini adalah dari hasil selisih bunga dan provisi/ komisi atas jasa yang diberikan pihak bank. Jadi bank dalam hal ini telah melakukan operasi pasif dan aktif, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan (Surplus Spending

  Unit /

  SSU) dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana (

  Defisiit Spending Unit / DSU )

  3. Somary Somary adalah seorang bankir yang memberikan definisi yang juga Pratama

  Rahardja "Bank sebagai sebuah badan yang aktif memberikan kredit kepada nasabah,

  57 baik dalam bentuk kredit berjangka pendek, berjangka menengah dan panjang“.

  Dana yang diperlukan dalam pemberian kredit tersebut berasal dari modal yang disisihkan dari anggaran belanja negara untuk bank pemerintah dan modal saham untuk bank swasta. Keuntungan bank semacam ini diperoleh dari selisih bunga dari kredit yang diberikan dengan bunga kredit yang diterima (kredit likuiditas

  pinjaman bank, obligasi dan sertifikat bank). 56 57 Pratama Rahardja, Uang dan Perbankkan, Rineka Cipta.Jakarta, 1990, hlm. 64 Ibid ., hlm 67

  Dari uraian definisi tersebut di atas nampak bahwa bank merupakan suatu badan atau lembaga pemberi atau penyalur kredit kepada pihak yang membutuhkan dengan dana yang berasal dari bank itu sendiri maupun dana masyarakat dengan perantara bank, sehingga dengan demikian betapa pentingnya peran bank sebagai lembaga intermediasi sekaligus berperan dalam mendorong pertumbuhan perekonomian suatu bangsa, hal ini dikarenakan bank adalah : a. Pengumpul dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana.

  b. Tempat menabung yang efektif dan produktif bagi masyarakat

  c. Pelaksana dan memperlancar lalu lintas pembayaran dengan aman praktis dan ekonomis d. Menjamin penyelesaian perdagangan dengan menerbitkan L/C.

  e. Penjamin penyelesaian proyek dengan menerbitkan bank garansi Memasuki ekonomi global muncul suatu kajian issue yang membutuhkan perhatian, seperti yang dinyatakan secara gamblang oleh Naisbitt dalam Global

  Paradox

  yaitu " trend-trend dunia secara luar biasa menuju ke arah kebebasan politik dan pemerintahan sendiri pada satu pihak dan pembentukan aliansi ekonomi pada

  58 pihak lain".

  Dari kajian ini nampak bahwa salah satu titik sentral dari issue yang muncul adalah kepentingan ekonomi dan dimana kepentingan ekonomi secara luas pada 58 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi” Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.24. hakekatnya dapat menentukan berbagai kepentingan yang lain, termasuk didalamnya adalah kesiapan dunia perbankan menyongsong globalisasi ekonomi tersebut.

  Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang paling utama adalah yang melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan.

  Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya lebih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Islam menghadapi permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya.

  Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack

  of funds

  ). Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian.

  Hukum positif yang mengatur lembaga perbankan, terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan lembaga perbankan tersebut. Hal tersebut telah dapat dirasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia, peraturan-peraturan yang ditujukan untuk lembaga perbankan begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah.

  Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai bentuk terapi untuk memulihkan kembali ekonomi nasional adalah dengan dikeluarkan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998. Perubahan-perubahan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dominan berkaitan dengan dua aspek, yaitu : aspek semakin kuatnya kewenangan Bank Indonesia dan aspek akomodasinya sistem perbankan

  59 Islam dalam sistem perbankan nasional. Jadi saat ini tidak hanya mengenal dual banking system

  , tetapi juga lebih mempertegas bahwa keberadaan bank dengan prinsip syariah sejajar dengan bank konvesional dengan sistem bunga.

  Bank syariah secara harfiah dapat diartikan sebagai bank Islam atau bank sesuai syariah atau bank yang operasional sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

  Untuk lebih jelas tentang pengertian bank syariah dijelaskan oleh Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, yaitu “Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yaitu mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada

  60 dalam Alquran dan Hadis”.

  59 Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia , UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 197.

  Terhadap Perbankan Syariah 60 Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan; Teori dan Aplikasi, BPFE- Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm. 593.

  Bank syariah menurut Heri Sudarsono adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta

  61 peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.

  Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah menurut Pasal 1 angka 13 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina).

  Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengertian bank syariah itu tidak jauh berbeda dengan pengertian bank pada umumnya sesuai dengan peraturan kebijakan perbankan yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, namun di antara keduanya memiliki perbedaan yang terletak pada prinsip operasional yang digunakan. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan bank konvensional berdasarkan 61 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia – FE UII, Yogyakarta, 2003, hlm. 27. prinsip bunga. Dengan kata lain bank syariah dalam hubungannya dengan nasabah adalah sebagai mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan pada bank konvensional sebagai kreditur dan debitur.

  Ide dasar sistem perbankan Islam sebenarnya dapat dikemukakan dengan sederhana. Operasi institusi keuangan Islam terutama berdasarkan pada prinsip PLS (porfit-and-loss-sharing-Bagi-untung-dan-rugi). Prinsip bagi hasil ini dalam keuangan Islam sangat dianjurkan dan merupakan solusi yang pantas dan relevan untuk mengatasi masalah alokasi dana yang terbatas, baik yang berupa dana pinjaman atau tabungan dengan maksud supaya pengelolaan dan pembiayaan bisnis secara efektif dapat tercapai. Bank Islam (syariah pen.) tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai.

  Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank Islam (syariah pen.) dan para deposan di satu pihak, dan antara bank para nasabah investasi-sebagai pengelola sumber daya para deposan dalam berbagai usaha

  62 produktif - di pihak lain.

  Bank syariah dengan sistem bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) memiliki konsep yang sangat tepat di tengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Konsep kebersamaan dalam menghadapi risiko dan memperoleh keuntungan, serta adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat 62 Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, Prospek,

  PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 9-10 strategis bagi perkembangan bank syariah di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam (Muslim), tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu, bank syariah dengan sistem bagi basil (profit and loss sharing) lebih mengutamakan stabilitas di atas rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan sistem bunga mempunyai

  63 kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cenderung diskriminatif.

  Diskriminatif yang dimaksudkan disini adalah adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat (rakyat kecil atau ekonomi lemah), dimana pemilik modal yang mempunyai dana besar cenderung akan memperoleh keuntungan yang berlipat dengan bunga tabungan yang ada dan tidak mau tahu atas kerugian yang dialami oleh nasabah yang penting uang tabungan dengan bunganya dapat kembali, sementara masyarakat biasa yang menjadi nasabah (peminjam uang) di bank tetap harus membayar pokok pinjaman ditambah bunga, walaupun usaha mereka mengalami

  64 kerugian akibat dari keadaan yang memaksa (overmacht).

  Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang berkelebihan dana dengan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bank syariah atau bank Islam, berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi 63 M. Sood at.al. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah Dalam Struktur PT.

  Bank Berkaitan Dengan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Produk Fatwa Laporan Penelitian, Kerja Sama Antara Bank Indonesia Dengan Fakultas

  Dewan Syariah Nasional, Hukum Universitas Mataram, 2005, hal. 2. 64 Ibid .

  (intermediary institution),

  yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan

  65 kembali dana-dana tersebut dalam bentuk pembiayaan.

  Perbankan syariah juga merespon permintaan nasabah dalam rangka memajukan perusahaan investasi atau bisnis pengusaha, selama aktivitas perusahaan tersebut tidak dilarang oleh Islam. Pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan mitra bisnisnya antara lain dengan menggunakan prinsip

  mudharabah, musyarakah/syirkah

  dan murabahah yang bertujuan untuk kemajuan, membantu dan mengembangkan pelayanan produk-produknya berdasarkan prinsip- prinsip Islam. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan pembiayaan dengan

  66 mitra bisnisnya menggunakan prinsip bagi hasil (profit sharing).

  Menurut Muhammad ada beberapa ciri utama bank syariah diantaranya:

  a. Beban biaya. Besarnya beban biaya tidak kaku dan dapat dilakukan tawar- menawar dalam batasan-batasan yang wajar. Beban biaya hanya dikenakan sampai batas waktu yang telah disepakati bersama. Dalam suatu kontrak baru untuk menyelesaikannya.

  b. Tidak menggunakan persentase. Pembebanan kewajiban membayar dalam semua kontrak bank syariah selalu dihindarkan penggunaan persentase, karena akan mempunyai potensi untuk melipatgandakan.

  c. Menciptakan rasa kebersamaan. Bank syariah menciptakan suasana kebersamaan antara pemilik modal dengan pengguna dana. Keduanya berusaha untuk menghadapi resiko secara adil, dan rasa kebersamaan ini mampu membuat seorang pengguna dana merasa tenang sehingga dapat mengerjakan proyeknya dengan baik.

  d. Tidak ada keuntungan yang pasti. Pada dasarnya yang dilarang dalam kegiatan muamalah adalah mencantumkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan pada 65 waktu pengikatan kontrak pembiayaan. Sedangkan yang diperkenankan dalam

  Dawam M. Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, (LSAF), Jakarta, 1999, hal. 410. 66 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Cetakan Kedua Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 18 sistem muamalah adalah kontrak yang dilakukan yang hakekatnya merupakan sistem yang didasarkan pada penyertaan dengan sistem bagi hasil.

  e. Jual beli uang yang sama dilarang. Pada dasarnya kegiatan transaksi yang dilarang dalam operasionalisasi bank syariah adalah seolah-olah melakukan jual beli atau sewa-menyewa uang dari bentuk mata uang yang sama dengan memperoleh keuntungan darinya.

  f. Jaminan kebendaan terhadap utang. Pada bank konvensional bahwa jaminan kebendaan terhadap utang dari peminjam merupakan hal yang sangat menentukan dalam persetujuan pemberian pinjaman. Sebaliknya, dalam bank syariah pemberian pembiayaan dalam bentuk talangan dana untuk pembelian barang/aktiva/barang modal tersebut, maka pada dasarnya tidak mengutamakan jaminan kebendaan dari pengguna dana. Sebab barang yang ditalangi pembeliannya oleh bank masih menjadi milik bank sepenuhnya

  67 selama utang peminjam belum lunas.

  Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk- produk yang diberikan bank syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram. Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur

  68 organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. 67 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta 2002, hlm. 99. 68 M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Tazkia Cendekia, Jakarta, 2001, hlm 29.

  Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional pada sistem yang dianut. Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional karena sistem keuangan dan perbankan syariah adalah subsistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Prinsip utama yang dianut oleh bank syariah antara lain larangan bunga dalam berbagai transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah, dan menumbuhkembangkan zakat.

  Dalam menjalankan eksistensinya bank syariah memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional dalam hal komisaris dan direksi, namun unsur utama yang membedakannya adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis

  69 syariah.

  Dewan Pengawas Syariah berada pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah dan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah Nasional merupakan badan otonom Majelis Ulama Indonesia yang secara eks-officio diketuai oleh Ketua Majelis Ulama

  70 Indonesia.

  69 Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. hlm.103. 70 Heri Sudarsono, Op.Cit., hal.34.

  Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk- produk yang diberikan Bank Syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram.

B. Produk Bank Syari’ah

  Pada dasarnya bank syariah sebagai intermediasi tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, yaitu tidak terlepas dari menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Adiwarman A. Karim sebagai berikut:

  Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian dasar, yaitu: a. Produk penyaluran dana (financing);

  b. Produk penghimpunan dana (funding); dan

  71 c. Produk jasa (service).

  Kemudian Adiwarman A. Karim menyebutkan “Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam pengimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan

  72 mudharabah

  ”. Ketiga bentuk dana pihak ketiga tersebut lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

a. Giro

  Giro yang pada bank syariah disebut giro wadiah umumnya tetap sama dengan giro bank konvensional, dimana bank tidak membayar apapun kepada pemegangnya, bahkan tidak mengenakan biaya layanan (service charge). Dana giro 71 Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo Persada,

  Jakarta, 2010, hlm. 107 72 Ibid ., hlm. 107.

  ini boleh dipakai bank syariah dalam operasi bagi hasil (profit sharing). Pembayaran kembali nilai nominal giro dijamin sepenuhnya oleh bank dan dilihat sebagai pinjaman depositor kepada bank.

  Mustafa Abdullah al-Hamsyari menyebutkan “Dalam fiqh muamalah, wadiah

  73 dibagi menjadi dua macam: wadiah yad al-amanah dan wadiah yad al-dhamanah”.

  Akad wadiah yad al-amanah adalah akad titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan (dalam hal ini bank) tidak wajib mengganti jika terjadi kerusakan.

  Biasanya, akad ini diterapkan bank pada titipan murni, seperti safe deposit box. Dalam hal ini, bank hanya bertanggung jawab atas kondisi barang (uang) yang dititipkan. Adapun wadiah yad al-dhamanah adalah titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan bertanggung jawab atas nilai (bukan fisik) dari uang yang dititipkan. Bank syariah menggunakan akad wadiah yad al-dhamanah untuk rekening giro.

b. Tabungan

  Tabungan di bank konvensional berbeda dari giro di mana ada beberapa restriksi seperti berapa dan kapan dapat ditarik. Tabungan biasanya memperoleh hasil pasti (fixed return). Pada bank bebas bunga, tabungan juga mempunyai sifat yang sama, kecuali bahwa penabung tidak memperoleh hasil yang pasti. Menurut para ulama, penabung boleh menerima hasil yang berfluktuasi sesuai dengan hasil yang diperoleh bank, dan setuju untuk berbagi risiko dengan bank. 73 M. Syafi’I Antonio, Op.Cit., hlm. 155.

  Menurut Hasan Abdullah al-Amin, “bank syariah menerapkan dua akad dalam

  74

  tabungan, yaitu wadiah dan mudharabah”. Tabungan yang menerapkan akad

  wadiah

  mengikuti prinsip-prinsip wadiah yad al-dhamanah. Artinya tabungan ini tidak mendapatkan keuntungan karena ia titipan dan dapat diambil sewaktu-waktu dengan menggunakan buku tabungan atau media lain seperti ATM. Akan tetapi bank tidak dilarang jika ingin memberikan semacam bonus/hadiah.

  Tabungan yang menerapkan akad mudarabah mengikuti prinsip-prinsip akad mudarabah. Keuntungan dari dana yang digunakan harus dibagi antara shahib al-

  

maal (dalam hal ini nasabah) dan mudarib (dalam hal ini bank). Adanya tenggang

  waktu antara dana yang diberikan dan pembagian keuntungan, karena untuk melakukan investasi dengan memutarkan dana itu diperlukan waktu yang cukup.

c. Deposito

  Deposito pada bank konvensional menerima jaminan pembayaran kembali atas simpanan pokok dan hasil (bunga) yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada bank dengan sistem bebas bunga, deposito diganti dengan simpanan yang memperoleh bagian dari laba/rugi bank. Oleh karena itu, bank syariah menyebutnya rekening investasi atau simpanan investasi. Rekening-rekening itu dapat mempunyai tanggal jatuh tempo yang berbeda-beda.

  Menurut Mahmud Mohammad Babily bahwa “Bank syariah menerapkan akad

  75 mudharabah 74 untuk deposito”. Seperti dalam tabungan, dalam hal ini nasabah , hlm. 156. 75 Ibid.

  Ibid., hlm. 156.

  (deposan) bertindak sebagai shahib al-maal dan bank selaku mudarib. Penerapan mudarabah terhadap deposito dikarenakan kesesuaian yang terdapat diantara keduanya. Seperti mensyaratkan adanya tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana itu bisa diputarkan.

  Sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 01 April 2000 giro yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang berdasarkan prinsip

  mudharabah

  dan wadiah. Dalam prakteknya bank syariah di Indonesia menerapkan giro wadiah yakni merupakan dana titipan nasabah yang bisa diambil kapan saja (on

  

call ) dan tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian

  (‘athaya) yang bersifat sukarela dari bank syariah (bonus). Sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000 tabungan yang dibenarkan secara syariah adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudarabah dan

  wadiah.

  Dalam prakteknya bank syariah di Indonesia menerapkan tabungan mudarabah, yakni merupakan dana nasabah yang diinvetasikan kepada bank syariah dengan mendapatkan imbal hasil sesuai nisbah yang disepakati pada saat akad pembukaan rekening. Sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN- MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000 deposito yang dibenarkan secara syariah adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudarabah. Dalam prakteknya bank syariah di Indonesia menerapkan deposito mudarabah yakni merupakan dana nasabah yang diinvestasikan kepada bank syariah dengan mendapatkan imbal hasil sesuai nisbah yang disepakati pada saat akad pembukaan rekening. Penjabarannya sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 adalah dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan berdasarkan prinsip wadiah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

  a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana titipan; b. Dana titipan disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal; c. Dana titipan dapat diambil setiap saat;

  d. Tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah; e. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.

  Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro berdasarkan mudarabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahib a1-maal) dan bank bertindak sebagai pengelola dana (mudarib).

  b. Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, ternasuk di dalamnya melakukan akad mudarabah dengan pihak lain.

  c. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah nominalnya. d. Nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.

  e. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening; f. Pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap akhir bulan laporan.

  g. Bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya dan bank tidak diperkenankan mengurangi

  76 nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

  Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan prinsip mudarabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana; b. Dana disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;

  c. Pembagian keuntungan dan pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah; d. Pada akad tabungan berdasarkan mudarabah, nasabah wajib menginvestasikan minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan oleh bank dan tidak dapat 76 ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.

  Hasil Wawancara dengan Bapak Toras Pulungan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011 e. Nasabah tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan;

  f. Bank sebagai mudarib menutup biaya operasional tabungan atau deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya; g. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan; dan h. Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam perundang-

  77 undangan yang berlaku.

  Menurut Dahlan Siamat, “Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar terdapat 4 (empat) kelompok prinsip operasional syariah, yaitu prinsip jual beli (bai’), sewa beli (ijarah wa iqtina), bagi hasil (syirkah) dan pembiayaan

  78 lainnya”.

  Hal yang sama juga dikemukakan Adiwarman A. Karim, sebagai berikut: Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:

  a. Pembiayaan dengan prinsip jual-beli

  b. Pembiayaan dengan prinsip sewa

  c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil

  

79

d. Pembiayaan dengan akad pelengkap.

  Guna memperjelas mengenai masing-masing produk pembiayaan pada bank syari’ah berikut dijelaskan satu persatu masing-masing pembiayaan dimaksud.

  a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli (ba`i) 77 Hasil Wawancara dengan Bapak Toras Pulungan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia

  (BRI) Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011 78 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 192. 79 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 97.

  Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, adalah:

  1) Pembiayaan Murabahah, adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (marjin). Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat

  80 berubah selama berlakunya akad.

  2) Pembiayaan Salam, adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri

80 Dahlan Siamat, Op.Cit., hlm. 192.

  secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah

  81 harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.

  3) Pembiayaan Istishna’. Produk istishna’ menyerupai produk salam, tapi dalam

  istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali

  (termin) pembayaran. Skim Istishna` dalam Bank Syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Dalam pelaksanaannya istishna’ dapat dilakukan melalui dua macam cara, yaitu pihak produsen ditentukan oleh bank, atau pihak produsen ditentukan oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan

  82 di muka dalam akad, berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak.

  b. Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah).

  Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, pada ijarah obyek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah

  muntahhiyah bittamlik

  (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga

  83 sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. 81 ., hlm193 82 Ibid ., hlm. 194. 83 Ibid Ibid ., hlm. 195. c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Syirkah). Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil sebagai berikut: 1) Pembiayaan Musyarakah. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepeneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan atau reputasi (credit

  84

worthiness ) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

  2) Pembiayaan Mudarabah, adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudarib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian dari mudarib. Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib al-maal dalam manajemen proyek. 84 Sebagai orang kepercayaan, mudarib harus bertindak hati-hati dan Ibid ., hlm. 196. bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahib al-maal, diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal. Dalam mudarabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah, modal

  85 berasal dari dua pihak atau lebih.

  d. Pembiayaan dengan akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tetapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Dalam akad pelengkap ini bank diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Akad pelengkap ini terdiri dari: 1) Rahn (gadai). Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: milik nasabah sendiri, jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, dapat dikuasai namun

  

86

tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.

  2) Hawalah (alih hutang-piutang). Tujuan fasilitas hawalah adalah untuk membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan 85 produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan ., hlm. 197. 86 Ibid Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 106.

  piutang. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang.

  87

  3) Qard, adalah pinjaman uang. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam empat hal, adalah: a) Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.

  b) Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, di mana nasabah diberi keleluasan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.

  c) Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.

  d) Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, di mana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank.

  Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

  88

  4) Wakalah (perwakilan). Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan 87 Ibid ., hlm. 105. 88 Ibid ., hlm. 106

  pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan

  89 pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudarabah, atau musyarakah.

  5) Kafalah (garansi bank), dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadiah. Untuk jasa-jasa

  90 ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.

  Selain berbagai produk di atas, bank syariah menjalankan fungsinya sebagai penghubung antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana, bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan kepada nasabah. Jasa perbankan itu antara lain:

  Sharf a.

  Sharf

  adalah transaksi pertukaran antara uang dengan uang. Pengertian pertukaran uang yang dimaksud disini adalah pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau mata

  91 uang lainnya.

  Ijarah b. 89 90 Dahlan Siamat, Op.Cit., hlm. 192. 91 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 107.

  Gemala Dewi, Op.Cit., hal.96. Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit

  box ) dan jasa tata letak laksana administrasi dokumen (custodian). Bank

  92 mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

C. Mekanisme Pembiayaan Istishna Menurut Fiqh

  Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan- kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah, salam dan istishna’.

  Dalam fiqh muamalah, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual- beli, termasuk jenis-jenis jual beli yang dilarang oleh Islam.

  Macam atau jenis jual-beli itu antara lain: 1. Bai’ al mutlaqah, yaitu prtukaran antara barang atau jasa dengan uang.

  Berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk- produk lemabga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.

  2. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang 92 dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan

Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2005, hal.101. sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat mengahsilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.

  3. Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dólar, dol;ar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).

  4. Bai’ al murahabah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual- beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.

  5. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak mmeberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.

  6. Bai’ al muwadha’ah, yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang- barang atau aktiva tetap yang ila bukunya sudah sangat rendah.

  7. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dialakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.

  8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan Bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli melalui pemesanan pembuatan barang, di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagi prinsip model pembiayaan Syariah adalah pembaiyaan berdasarkan prinsip bai’al murahabah, bai’ as salam dan bai’ istisna’. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank syariah dalam beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

  Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 yang dimaksud dengan istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati

  93

  antara pemesan (pembeli, mushtashni’) dan penjual (pembuat, shani’). Pengertian sejalan juga terdapat dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang menyatakan

  istishna’

  sebagai transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran 93 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Istishna’ sesuai dengan kesepakatan. Persyaratan tertentu dimaksud adalah sesuai dengan objek barang yang dipesan seperti apabila yang dipesan rumah atau toko tentunya

  94 berbeda dengan apabila yang dipesan adalah kenderaan bermotor.

  Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah muajjal. Perbedaannya, jual beli murabahah barangnya diserahkan di muka, sedangkan pembayarannya dilakukan secara cicilan, sedangkan pada jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun pembayarannya sama-sama dilaksanakan secara cicilan. Perbedaan antara kedua akad tersebut terletak

  95 pada waktu penyerahan barang.

  Adapun perbedaan istishna’dengan salam adalah dalam hal pembayaran. Pada

  akad istishna’

  pembayaran dilakukan secara cicilan, sedangkan pada akad salam pembayaran dilakukan secara tunai.

  Dasar Hukum Istishna’

  1. Hadis Nabi: ”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR.Tirmizi dari ’Amr bin ’Auf).

  ”Tidak boleh membahayakan diri sediri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah,

  96 daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).

  2. Kaidah Fiqh: 94 Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan

  (ADP) Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011

  95 96 Adiwarman A. Karim, Op.Cit, hlm.126.

  

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Istishna’

  ”Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

  97

  mengharamkannya.”

  3. Pendapat Ulama Menurut Mazhab Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak

  98 (ulama) yang mengingkarinya.

  Ketentuan tentang Istishna’

  Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000 tenang jual beli