Analisis Yuridis Peraturan Bank Indonesia NO.13/09/2011 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah Dan Unit Usaha Syari’ah (UUS)

(1)

ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA

NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN

BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)

TESIS

Oleh

SRI MURTINI 097005108/ HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA

NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN

BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI MURTINI 097005108/ HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Judul Tesis :ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)

Nama Mahasiswa : Sri Murtini Nomor Pokok : 097005108 Program Studi : ILMU HUKUM

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Utary maharani Barus, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 20 Januari 2012

PANITIA PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Bank Syariah dan unit syariah sebagai lembaga intermediasi, dalam operasionalnya salah satu tugas pokoknya adalah memberikan pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak pihak yang merupakan deficit unit. Pembiayaan bukanlah tanpa masalah dan tanpa resiko.Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah menunjukkan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syariah dan unit usaha syariah merupakan hal yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariaah.Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah menurut PBI No 13/9/PBI/2011 serta prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam strukturisasi pembiayaan perbankan syariah dan unit usaha syariah menurut ketentuan PBI No :13/09/PBI/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Penelitian ini mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bank syariah dan unit usaha syariah. Penelitian ini bersifat dekriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin.

Ada 4 faktor yang membuat Bank Indonesia mengeluarka kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usah syariah yakni:untuk menjaga kelangsungan usaha,untuk menjaga kualitas pembiayaan,untuk mendukung pertumbuhan industry perbankan syariah secara optimal,untuk meminimalisasi resiko kerugian. Adapun bentuk restrukturisasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah:Penjadualan kembali(Rescheduling),persyaratan kembali(Reconditioning), dan penataan kembali (Restructuring). Kebijakan restrukturisasi oleh Bank Indonesia berpedoman kepada beberapa prinsip yakni prinsip umum restrukturisasi pembiayaan: Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Prinsip demokrasi ekonomi, Prinsip kepercayaan (Fiduciarya Principle) ,prinsip kerahasiaan (Confidential Principle) dan Prinsip good coorperate governance, selain itu juga dianut prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi bank syariah dan unit usaha syariah yaitu:prinsip keadilan dan keseimbangan,prinsip kemashalatan dan prinsip tidak mengandung gharar, maysir dan riba.Dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah diharapkan agar konsekwan menerapkan sarana prinsip-prinsip syariah

Kata kunci: -Restrukturisasi,pembiayaan -bank syariah,unit usaha syariah


(6)

ABSTRACT

Islamic banks and Islamic unit in as intermediation agencies, its operational is providing financing that is anyway the granting of facilities provision of funds to meet the needs of the parties which is deficit unit. Financing is not without issues and without risk. An overview of the financing conditions in the troubled Islamic banks shows that restructuring in terms of financing on Islamic banks and Islamic business unit is urgent and should be immediately implemented.. As for the issue raised in this research are: what factors are causing the Indonesia Bank restructuring policy for issuing Islamic bank financing and business units. How to shape the restructuring of the financing for Islamic banks according to PBI No. 13/10/PBI/2011 as well as the principles are contained in the structuring of financing Islamic banking and Islamic business units according to the provisions of the PBI No: 13/10/PBI/2011.

The methods used in this research is a research method or also called juridical normative legal research library. This study refers to the norm of law that there are in the legislation that governs Islamic banks and Islamic business unit. This research is the descriptive research give you an idea of a State as clearly as possible.

There are four factors that make the Bank Indonesia issued a policy of restructuring financing for Islamic banks and units have : in order to maintain continuity of business, to maintain quality, financing to support the growth of Islamic banking industry optimally, to minimize the risk of loss. As for the form of restructuring that is determined by the Bank Indonesia is: Rescheduling, Reconditioning, and Restructuring. The policy of restructuring by Bank Indonesia based upon a number of principles: the principle of a general restructuring of financing: the principle of prudence (Prudential Principle), the principles of economic democracy, the principle of trust (Fiduciary Principle), the principle of confidentiality (Confidential Principle) and the principle of good governance, in addition to coorperate also embraced the principles of Islamic and the restructuring of the Islamic and business units, namely: the principle of Islamic and justice, the principle of benefit and balance principle of not containing gharar, gambling and usury

Keywords : - restructuring , financing


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT, karena Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat terbatas

Adapun tesis ini berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK

INDONESIA NO.13/09/PBI/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI

PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH”,(UUS) yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai macam, Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat pada pembimbing: Prof.Dr.H.Bismar Nasution,SH,M.H., Prof.Dr.Sunarmi,SH,M.Hum., Dr.Utari Maharani Barus,SH,M.Hum., dimana ditengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan


(8)

bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesian studi ini, kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc (CTM), Sp.A (K)

2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof.Dr.Runtung, SH.M.Hum., atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Fakultas Huku USU

3. Prof.Dr.Suhaidi, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Komisi Penguji

4. Mahmul Siregar,SH,M.Hum., sebagai Komisi Penguji

Kepada orang tua penulis, Alm.Haji Muhammad Kosim, Alm. Hajjah Siti Poni, tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain mohon ridho Allah atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada penulis, semoga Allah mencurahkan kasih sayangNya kepada kedua orang tua penulis

Kepada suami tercinta Abul Khair SH,MHum yang telah mencurahkan perhatian dan kesabaran atas penelitian dan penulisan tesis dan kepada anak-anak penulis M.Farqi Khair, Octi Fadillah Khair, Astri Khairisa, M.Haikal Khair yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan semangat dan kesabaran kepada penulis sehingga selesai penulisan tesis ini


(9)

Kepada Kakak dan adik-adik penulis terutama Komis Simanjuntak atas kesabaran dan pengertian serta memberikan doa dan semangat kepada penulis. Kepada rekan di sekolah Pasca Sarjana Bu Wina, M.Ikhsan,Emil,Pak Made,Pak Suhadi,Pak M.Butar-butar,Pak Viktor,Pak Bostang,Pak Ikhwan,Pak Faisal,

Pak Yorris,Pak Parada,Pak saptono,yang begitu semangatnya mengikuti pelajaran Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal, dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus seandainya dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan disana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun unutuk menyempurnakan penulisan tesis ini

Medan, Januari 2012 Penulis

Sri Murtini


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sri Murtini

Tempat/ Tanggal Lahir: P. Besar, 10 Nopember 1961 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : SD Swasta Kartini Medan Tamat Tahun 1973

SMP Swasta Jenderal Sudirman Medan Tamat Tahun 1976 SMA Negeri VI Medan Tamat Tahun 1980

Strata 1 (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1987

Strata 2 (S2) Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Tamat tahun 2012)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAR HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 13

C. Tujuan Penelitian... 13

D. Manfaat Penelitian... 14

E.Keaslian Penelitian... 14

F.Kerangka Teori dan Konsep... 15

G. Metode Penelitian... 27

BAB II :KEBIJAKAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANKSYARIAH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)... 30

A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentra.. . 30

B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah... 35

C. Faktor-Faktor Bank Indoensia Mengeluarkan Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS). 42 BAB III : POLA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS) BERDASARKAN KETETUAN PBI NO 13/9/PBI/2011... 56


(12)

A. Restrukturisasi Pembiayaan dan Pengaturannya... 56 B. Pola Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah dan

Unit Usaha Syarian (UUS)... 66

BAB IV : PRINSIP-PRINSIP DALAM RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI PERBANKAN SYARIA’H DAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS) MENURUT KETENTUAN PBI No.13/9/PBI/2011 ... ... 70 A.Prinsip Umum Restrukturisasi Pembiayaan pada Perbankan Syariah.... 70 B.Prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi pem,biayaan perbankan... 82 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan... 91 B.Saran ... 92 DAFTAR PUSTAKA... 94


(13)

ABSTRAK

Bank Syariah dan unit syariah sebagai lembaga intermediasi, dalam operasionalnya salah satu tugas pokoknya adalah memberikan pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak pihak yang merupakan deficit unit. Pembiayaan bukanlah tanpa masalah dan tanpa resiko.Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah menunjukkan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syariah dan unit usaha syariah merupakan hal yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariaah.Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah menurut PBI No 13/9/PBI/2011 serta prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam strukturisasi pembiayaan perbankan syariah dan unit usaha syariah menurut ketentuan PBI No :13/09/PBI/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Penelitian ini mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bank syariah dan unit usaha syariah. Penelitian ini bersifat dekriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin.

Ada 4 faktor yang membuat Bank Indonesia mengeluarka kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usah syariah yakni:untuk menjaga kelangsungan usaha,untuk menjaga kualitas pembiayaan,untuk mendukung pertumbuhan industry perbankan syariah secara optimal,untuk meminimalisasi resiko kerugian. Adapun bentuk restrukturisasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah:Penjadualan kembali(Rescheduling),persyaratan kembali(Reconditioning), dan penataan kembali (Restructuring). Kebijakan restrukturisasi oleh Bank Indonesia berpedoman kepada beberapa prinsip yakni prinsip umum restrukturisasi pembiayaan: Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Prinsip demokrasi ekonomi, Prinsip kepercayaan (Fiduciarya Principle) ,prinsip kerahasiaan (Confidential Principle) dan Prinsip good coorperate governance, selain itu juga dianut prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi bank syariah dan unit usaha syariah yaitu:prinsip keadilan dan keseimbangan,prinsip kemashalatan dan prinsip tidak mengandung gharar, maysir dan riba.Dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah diharapkan agar konsekwan menerapkan sarana prinsip-prinsip syariah

Kata kunci: -Restrukturisasi,pembiayaan -bank syariah,unit usaha syariah


(14)

ABSTRACT

Islamic banks and Islamic unit in as intermediation agencies, its operational is providing financing that is anyway the granting of facilities provision of funds to meet the needs of the parties which is deficit unit. Financing is not without issues and without risk. An overview of the financing conditions in the troubled Islamic banks shows that restructuring in terms of financing on Islamic banks and Islamic business unit is urgent and should be immediately implemented.. As for the issue raised in this research are: what factors are causing the Indonesia Bank restructuring policy for issuing Islamic bank financing and business units. How to shape the restructuring of the financing for Islamic banks according to PBI No. 13/10/PBI/2011 as well as the principles are contained in the structuring of financing Islamic banking and Islamic business units according to the provisions of the PBI No: 13/10/PBI/2011.

The methods used in this research is a research method or also called juridical normative legal research library. This study refers to the norm of law that there are in the legislation that governs Islamic banks and Islamic business unit. This research is the descriptive research give you an idea of a State as clearly as possible.

There are four factors that make the Bank Indonesia issued a policy of restructuring financing for Islamic banks and units have : in order to maintain continuity of business, to maintain quality, financing to support the growth of Islamic banking industry optimally, to minimize the risk of loss. As for the form of restructuring that is determined by the Bank Indonesia is: Rescheduling, Reconditioning, and Restructuring. The policy of restructuring by Bank Indonesia based upon a number of principles: the principle of a general restructuring of financing: the principle of prudence (Prudential Principle), the principles of economic democracy, the principle of trust (Fiduciary Principle), the principle of confidentiality (Confidential Principle) and the principle of good governance, in addition to coorperate also embraced the principles of Islamic and the restructuring of the Islamic and business units, namely: the principle of Islamic and justice, the principle of benefit and balance principle of not containing gharar, gambling and usury

Keywords : - restructuring , financing


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.1

Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan

1

Choir, Arah Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia,diakses


(16)

landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah. Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat perundang-undangan tersebut diberlakukan. Apalagi setelah keluarnya UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dimana undang-undang ini dikeluarkan guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap perbankan syari’ah. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah, prinsip kesehatan bank bagi bank syariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri.2

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Untuk itu perbankan syari’ah dalam menyalurkan pembiayaannya harus berlandaskan kepada dua prinsip pembiayaan syariah yang mendasar. Pertama, Prinsip Keadilan, pembiayaan saling menguntungkan baik pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan dana. Kedua, Prinsip Kepercayaan, merupakan landasan dalam menentukan persetujuan


(17)

pembiayaan maupun dalam menghitung margin keuntungan maupun bagi hasil yang menyertai pembiayaan tersebut.3

Untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut agar dapat berjalan jauh dari prasangka, manipulasi, korupsi dan kolusi maka dibutuhkan informasi yang memadai. Informasi ini menjadi data pendukung yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang proposional. Jenis informasi yang dimaksud antara lain: pertama, informasi data nasabah. Kedua, informasi data penjualan/pembelian/penyewaan riil. Ketiga, proyeksi laporan keuangan. Keempat, akad pembiayaan.4

Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: produk penyaluran dana (financing), produk penghimpun dana (funding) dan produk jasa (service).5

3

Pengenalan Pola Pembiayaan Syari’ah,

Dari ketiga jenis produk ini, produk penyaluran dana (financing) yang berkaitan erat dengan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syari’ah. Dalam menyalurkan dananya kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syari’ah terbagi ke dalam 4 (empat) kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yakni: Pertama, pembiayaan dengan prinsip jual beli. Kedua, pembiayaan dengan

Desember 2010. 4

Ibid.

5

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2003), h.85.


(18)

prinsip sewa. Ketiga, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Keempat, pembiayaan dengan aqad pelengkap.6

Dari berbagai jenis aqad pembiayaan bank syari’ah, di lain pihak sejak tahun 2003 komposisi pembiayaan bank syari’ah didominasi skim murabahah.

7

Namun demikian, selama periode krisis ekonomi di Indonesia beberapa tahun yang lalu bank syariah masih dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dengan lembaga perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing loans) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingkat pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga dan pada akhirnya dapat menyediakan dana investasi dengan biaya modal yang relatif lebih rendah kepada masyarakat. Pengalaman historis tersebut telah memberikan harapan kepada masyarakat akan hadirnya sistem perbankan syariah sebagai alternatif sistem perbankan yang selain memenuhi harapan masyarakat dalam Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia lebih menyukai pembiayaan konsumtif, dibandingkan pembiayaan produktif.

6

Ibid.

7

Murabahah adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli dengan cicilan. Pada murabahah, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tersebut dengan menambah suatu mark-up atau keuntungan Ini disebut juga dengan cost-plus profit.Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h.64.


(19)

aspek syariah juga dapat memberikan manfaat yang luas dalam kegiatan perekonomian.8

Perkembangan bisnis bank syariah di Indonesia menujukkan pertumbuhan yang cukup baik sejauh ini. Salah satu faktornya disebabkan oleh dukungan permintaan “Islamic product” yang solid dari mayoritas penduduk muslim di Indonesia. Secara umum, analisis menujukkan bahwa return on equity (ROE) bank syariah berpotensi mencapai kisaran 38-41%. Nilai ROE tersebut hampir dua kali kinerja ROE yang dicatatkan bank konvensional. Temuan tesebut memberikan harapan besar bagi pelaku bank syariah di Indonesia sekaligus diprediksi akan menciptakan persaingan sengit pada lahan keuangan syariah itu sendiri dalam beberapa tahun ke depan. Aset bank syariah meningkat sangat pesat sebesar 40% pada tahun 2009 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, namun total aset tersebut masih sangat kecil dibanding dengan total aset perbankan Indonesia yaitu hanya 2,5% dari $270 milyar. Kenyataan tersebut menujukkan bahwa peluang bank syariah masih cukup besar dan tumbuhnya potensi bisnis yang kuat (strong potential for growth).9

8 Choir,

Op.Cit.

Menurut proyeksi Bank Indonesia, pertumbuhan aset perbankan syariah di 2010 paling pesimis bisa

9

Perdana Wahyu Santosa, Momentum Pertumbuhan Bank Syariah,

dalam rangka mengejar pertumbuhan aset berdasarkan RBB selama tahun 2010 rata-rata bank syariah akan tumbuh minimal 20% pertahun dan dalam mengejar pertumbuhan tersebut strategi bisnis bank-bank syariah pada tahun 2010 secara umum lebih mengarah pada penyaluran pembiayaan untuk segmen usaha konsumer dan mikro, yang dinilai memiliki resiko relatif rendah dan dapat memberikan imbalan hasil yang lebih tinggi.


(20)

tumbuh 26% dan paling optimis bisa tumbuh hingga 81%. Jika skenario optimis tercapai, nilai aset perbankan syariah di 2010 akan mencapai Rp.124 trilliun.10

Sedangkan berdasarkan data statistik perbankan syari Oktober 2011, total aset perbankan syariah sebesar Rp 125,5 triliun, naik dari 2010 yang hanya sekitar Rp 97,5 triliun. Adapun besar pangsa pasarnya terhadap perbankan nasional sudah mencapai 3,68 persen, naik sekitar 0,5 persen sepanjang 2011. Persentase pertumbuhan ini sudah perlahan-lahan mendekati angka lima persen. Sementara, dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan masing-masing mencapai Rp 101,7 triliun dan Rp 96,9 triliun dengan tingkat financing to deposit rasio (FDR) sekitar 94 persen.11

Di Indonesia saat ini terdapat 255 bank umum dan 2.262 BPR dengan jumlah volume usaha sebesar Rp 1.005 trilyun, dana masyarakat Rp.679 trilyun dan penyaluran kredit Rp.277 trilyun. Dari total volume usaha perbankan nasional itu, terdapat dua bank umum syariah, satu bank umum yang membuka kantor Syariah, serta 84 BPR Syariah, dengan total volume usaha sebesar Rp. 1,2 trilyun. Kiprah jaringan perbankan syariah di Indonesia diakui masih belum menggembirakan. Diakui memang ada beberapa kendala yang dihadapi perbankan syariah untuk berkompetisi dengan perbankan konvensional. Beberapa kendala itu diantaranya, terbatasnya kantor bank syariah, dan masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap kegiatan bank syariah. Bila

10

Ibid.

11

Ali Rama, Proyeksi Perbankan Syari’ah 2012,


(21)

dibandingkan dengan perkembangan perbankan syariah di negara-negara lain, seperti kawasan Timur Tengah, dan Malaysia, maka perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan.12

Jika melihat dari segi pertumbuhan jumlah perbankan syari’ah selama tahun 2010, jumlah Bank Umum Syari’ah (BUS) dan bertambah menjadi 5 (lima) dengan diterbitkannya ijin usaha 5 BUS yaitu; PT. Bank Victoria Syariah, PT.BCA Syariah, PT. Bank Jabar Banten Syariah, PT.Bank BNI Syariah, dan PT. Bank Maybank Syariah Indonesia. Dari 5 (lima) ijin BUS baru tersebut 3 (tiga) diantaranya adalah ijin konversi (perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah) dan 2 (dua) lainnya adalah ijin BUS hasil

spin-off (pemisahan). Dengan disetujuinya spin-off Unit Usaha Syariah (UUS) pada beberapa bank maka jumlah Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) di tahun 2010adalah 11 Bank Umum Syariah (BUS) dan 23 Unit Usaha Syariah (UUS).

13

Sedangkan dari 2010 ke 2011, tidak terjadi penambahan jumlah Bank Umum Syariah (BUS), begitu pula dengan Unit Usaha Syariah (UUS), Yang mengalami peningkatan hanya jumlah Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang mencapai 153 bertambah tiga dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, dari segi

12

Choir., Loc.Cit.

13

Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, Direktorat Perbankan Syariah,


(22)

perluasan jaringan kantor cukup tinggi, mecapai 1.354, 301 dan 362 untuk masing-masing BUS, UUS, dan BPRS.14

Pengembangan perbankan syariah nasional pada dasarnya merupakan bagian dari program restrukturisasi perbankan nasional. Sedikitnya ada empat hal yang menjadi tujuan pengembangan perbankan yang berdasarkan prinsip Islam tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Kedua, terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku bisnis yang berdasarkan nilai-nilai moral, yang pada gilirannya akan meningkatkan market disciplines dan pelayanan bagi masyarakat. Ketiga, mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia. Karena pengembangan bank syariah sebagai alternatif dari bank konvensional akan memberikan penyebaran risiko keuangan yang lebih baik. Keempat, mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi kegiatan spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan ditujukan pada usaha-usaha yang berlandaskan nilai-nilai moral.15

Pertumbuhan pembiayaan yang tinggi di tengah pasar perbankan syariah yang sedang berkembang di Indonesia sekarang ini merupakan hal yang didambakan. Akan tetapi, pertumbuhan pembiayaan yang tinggi bukan

14

Ali rama, Op.Cit., hal.3 15 Outlook Perbankan Syariah,


(23)

segalanya. Hal terpenting adalah pembiayaan dengan portfolio sehat dan tumbuh sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena semangat tinggi dalam pertumbuhan, seringkali setelah pembiayaan diberikan bukan peningkatan pendapatan yang diperoleh. Hal yang muncul, justru permasalahan pembiayaan.16

Seiring pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pembiayaan bermasalah pada perbankan syari’ah juga melonjak tajam. Hal ini disebabkan setidaknya karena dua hal; Pertama, kemampuan debitur mengembalikan pinjaman menurun karena krisis global yang menyebabkan penghasilan mereka juga berkurang. Kedua, perbankan syariah cenderung berhati-hati dan menahan pembiayaannya sehingga rasio Non Performing Financing (NPF) naik.17

Kondisi ini bisa dilihat dari data Bank Indonesia tentang Pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/-NPF) perbankan syariah. Pada Januari 2010 pembiayaan bermasalah kembali meningkat sekitar 35 basis poin menjadi 4,36% dari akhir tahun lalu 4,01%, Bahkan secara tahunan melonjak dari sebelumnya 1,4% akibat kualitas pembiayaan modal kerja di usaha kecil menengah menurun. Peningkatan pembiayaan bermasalah itu, paling tinggi terjadi pada modal kerja yang meningkat menjadi Rp. 1,1 triliun naik dalam sebulan mencapai Rp. 201 miliar dari posisi sebelumnya Rp. 899 miliar.

16

Burhanuddin Siregar, Pengaruh Produk Sektor Usaha, Segmentasi dan Plafond Pembiayaan Terhadap Penciptaan Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

Desember 2010. 17

Arthur Gideon, Lampu Kuning NPF Bermasalah Bank Syariah,


(24)

Demikian juga dengan pembiayaan investasi mengalami kenaikan pembiayaan nonlancar menjadi Rp. 572 miliar dari bulan sebelumnya Rp. 574 miliar, termasuk kualitas pembiayaan untuk konsumsi juga menujukkan kenaikan pembiayaan bermasalah sebesar Rp. 2 miliar menjadi Rp. 475 miliar. Berdasarkan sektor usaha, kenaikan pembiayaan bermasalah terjadi di sektor usaha kecil menengah dari Rp 1,61 triliun menjadi 1,74 triliun, sedangkan non

UKM juga naik dari Rp. 271 miliar menjadi Rp. 312 miliar. Direktur Bisnis BRI Syariah Ari Purwandono mengatakan peningkatan pembiayaan bermasalah

dipengaruhi berbagai faktor di antaranya pada awal tahun dipicu oleh rendahnya kucuran pembiayaan baru sehingga pembagi terhadap NPF menjadi lebih rendah.18

Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syari’ah di Indonesia menunjukan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syari’ah di Indonesia merupakan hal mendesak dan harus segera dilaksanakan. Restrukturisasi ini juga bertujuan untuk menjamin kegiatan operasional perbankan yang sehat dan tersedianya fasilitas jasa perbankan yang merupakan hal yang sangat penting sebagai wadah untuk memobilisasi dana, menciptakan infrastruktur hukum dan standar pengawasan perbankan, menciptakan dan mempertahankan sistem perbankan yang sehat dan untuk menyelesaikan masalah

18

Pembiayaan UKM Naikkan NPF Perbankan Syari’ah, Harian Bisnis Indonesia, tanggal 05 Maret 2010


(25)

bank yang lemah dan insolven, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada perbankan.19

Untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi pada perbankan syariah, maka diperlukan beberapa ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan perbankan syariah, ataupun penyempurnaan atas ketentuan yang sudah ada sebelumnya oleh Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia. Penyempurnaan ketentuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap perbankan syariah tidak hanya bertujuan untuk mengakomodir perkembangan yang ada, seperti pembiayaan bermasalah yang semakin meningkat, namun juga untuk tujuan harmonisasi dengan ketentuan perbankan konvensional. Seperti peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia mengenai restrukturisasi pembiayaan yang tentunya tetap memperhatikan kesesuaian dengan prinsip syariah, serta mempertimbangkan assessment yang dilakukan dalam rangka Financial Sector Assessment Program (FSAP) terhadap peraturan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tanggal 8 Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang diberlakukan sejak tanggal 8 Februari 2011. Peraturan Bank Indonesia (PBI) itu sendiri dilakukan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan kualitas

19

Sunarsip dan Suyono Salamun, Analisis atas Deregulasi Krisis dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia (Pendekatan Teori Polizatto dan William E.Alexander), Jurnal Keuangan Publik Vo.1/No.1, september 2003, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, departemen Keuangan RI.


(26)

pembiayaan serta meminimalisasi risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dimana salah satu upayanya dapat dengan melakukan Restrukturisasi Pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar. Ketentuan ini mengatur hal-hal berupa: pertama, kualitas pembiayaan yang dapat dilakukan restrukturisasi. Kedua, intensitas berapa kali restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan dan penetapan kualitas pembiayaan apabila melebih jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan sesuai ketentuan. Ketiga, bank wajib menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Keempat, Laporan restrukturisasi pembiayaan bagi BPRS. 20

Berdasarkan uraian di atas, maka kajian mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ah berdasarkan PBI No.13/09/PBI/2011 yang merupakan penyempurnaan dari PBI No.10/18/PBI/2008 menjadi penting untuk dikaji, karena melihat bagaimana kebijakan restrukturisasai tersebut akan memberikan jalan keluar atau solusi bagi perbankan syari’ah di Indonesia dari tingginya tingkat pembiayaan bermasalah yang sedang dihadapinya seiring perkembangan pesat perbankan syari’ah di Indonesia saat ini.

20


(27)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengajukan permasalahan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ah.

2. Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syariah berdasarkan ketentuan PBI No.13/9/PBI/2011.

3. Prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam restrukturisasi pembiayaan perbankan syari’ah dan unit usaha syari’ah menurut ketentuan PBI No 13/9/PBI/2011.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah berdasarkan ketentuan PBI No. 13/9/PBI/2011.


(28)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis prinsip-prinsip yang terkandung dalam restrukturisasi perbankan syari’ah menurut ketentuan PBI No.13/9/PBI/2011.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai di atas, maka diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin di bidang Ilmu hukum, khususnya Hukum Perbankan Syari’ah.

2. Manfaat Praktis :

Diharapkan dapat memberi manfaat bagi policy maker dalam menentukankebijakan yang berkaitan dengan perbankan, khususnya bank yang mendasarkan pada prinsip Syariah.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis PBI No.13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah dan Usaha Unit Syari’ah ” ini adalah asli, karena belum ada tesis-tesis terdahulu yang menulis tentang hal yang sama di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(29)

F. Terangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.21

Dalam tesis yang membahas restrukturisasi kebijakan pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ah ini digunakan teori restrukturisasi sebagai

grand theory, atau disebut juga dengan teori sebagai pisau analisis. Restrukturisasi merupakan tindakan berani dengan melakukan pengorbanan. Harapannya, nilai perusahaan secara fundamental membaik.22

Dalam era persaingan yang semakin ketat, setiap kali sebuah perusahaan harus mengevaluasi kinerjanya, serta melakukan serangkaian perbaikan, agar tetap tumbuh dan dapat bersaing. Perbaikan ini akan dilaksanakan secara terus menerus, sehingga kinerja perusahaan makin baik dan dapat terus unggul dalam persaingan, atau minimal tetap dapat bertahan. Salah satu strategi untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan adalah dengan cara

21 M.Solly Lubis,

Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), h.80. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa teori yang dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.

22

Bramantyo Djohganputro, Restrukturisasi Bukan Sekedar Make Up,

diakses tanggal 09 Desember 2010. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa Restrukturisasi perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan.


(30)

restrukturisasi. Jika mendengar istilah atau kata restrukturisasi, maka seolah-olah membicarakan perusahaan yang sedang menurun. Hal ini disebabkan oleh definisi restrukturisasi itu sendiri, yang antara lain restrukturisasi sering disebut sebagai downsizing atau delayering, melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja, unit kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam struktur oganisasi perusahaan. Pengurangan skala perusahaan ini diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas.23

Strategi restrukturisasi digunakan untuk mencari jalan keluar bagi perusahaan yang tidak berkembang, sakit atau adanya ancaman bagi organisasi, atau industri diambang pintu perubahan yang signifikan. Pemilik umumnya melakukan perubahan dalam tim unit manajemen, perubahan strategi, atau masuknya teknologi baru dalam perusahaan. Selanjutnya sering diikuti oleh akuisisi untuk membangun bagian yang kritis, menjual bagian yang tidak perlu, guna mengurangi biaya akuisisi secara efektif. Hasilnya adalah perusahaan yang kuat, atau merupakan transformasi industri. Strategi restrukturisasi memerlukan tim manajemen yang mempunyai wawasan untuk melihat ke depan, kapan perusahaan berada pada titik undervalued atau industri pada posisi yang matang untuk transformasi. Wawasan yang sama diperlukan untuk

23

Martin Jhon D, David F.Scoot Jr.,et.al, Basic Financial Management: Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, terjemahan Munandar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.226.


(31)

melakukan turn around pada unit usaha, bahkan pada bisnis yang tidak familiar.24

Restrukturisasi ini dalam hukum perusahaan bertujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Perusahaan melakukan pembenahan supaya segera lepas dari krisis melalui berbagai aspek. Perbaikan-perbaikan tersebut menyangkut berbagai aspek perusahaan, mulai dari perbaikan portofolio perusahaan, perbaikan permodalan, perampingan manajemen, perbaikan sistem pengelolaan perusahaan, sampai perbaikan sumber daya manusia. Dengan demikian, restrukturisasi perusahaan merupakan kepentingan semua pihak. Bukan saja pihak manajemen, namun juga merupakan kepentingan komisaris yang mewakili kepentingan pemegang saham. Restrukturisasi juga merupakan kepentingan karyawan secara keseluruhan karena tindakan restrukturisasi akan berdampak pada semua karyawan.

25

Kebutuhan akan restrukturisasi ini juga diperlukan dalam dunia perbankan. Salah satu penyebab dilakukannya restrukturisasi dalam perbankan disebabkan pembiayaan atau kredit yang disalurkan bank kepada nasabahnya mengalami masalah.26

24 Henry Mintzberg and James Brian Quinn,

The Strategy Process, Concepts, Contects, Cases,

dalam Strategi Untuk Memperbaiki dan Memaksimalkan Kinerja Perusahaan,dalam

25

Edratna, Restrukturisasi Perusahaan, Penting Dilakukan dalam Keadaan Ekonomi Apapun,

26

Pembiayaan atau kredit bermasalah dalam perbankan dapat dikategorikan menjadi Pembiayaan yang tidak lancar, Pembiayaan dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang


(32)

Restrukturisasi hutang perlu dilakukan untuk mengatasi kredit yang bermasalah yang sedang dialami oleh perusahaan, baik perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, maupun perusahaan dagang. Kredit yang bermasalah ini mempunyai dampak yang sangat luas terhadap seluruh aspek perekonomian. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari adanya kredit macet ini, pemerintah Indonesia memberikan atau memprioritaskan untuk melakukan restrukturisasi hutang pada perbankan diumpamakan sebagai jantungnya perekonomian Indonesia, yang dimana apabila perbankan tersebut sehat maka perekonomian negara pun juga mengarah ke arah yang positif dan akan berdampak ke semua sektor perekonomian.27

Restrukturisasi ini juga penting untuk dilakukan pada pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ahnya yang mengalami masalah. Dalam upaya untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit

dijanjikan, Pembiayaan yang tidak menepati jadwal angsura \Pembiayaan yang memiliki potensi merugikan BMT, Pembiayaan yang memiliki potensi menunggak dalam satu waktu tertentu, dalam

Pembiayaan Bermasalah, Pencegahan dan Penanganan, ASBISINDO Jawa Barat,

27

Restrukturisasi Utang; Alasan, Proses dan Model,

sdm.blogspot.com/2009/05/restrukturisasi-hutang-alasan-proses.html, diakses tanggal 13 Desember 2010.


(33)

Usaha Syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar.28

Hal ini berkaitan erat dengan penyelamatan kredit melalui jalur non-hukum. Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui:29

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tindakan rescheduling dapat diberikan kepada debitur yang masih menunjukkan itikad baik untuk melunasi kewajibannya. Tindakan ini dilakukan karena terjadi kelebihan pembiayaan terhadap obyek kredit (over finance).

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank. Tindakan reconditioning dapat diberikan kepada debitur yang masih memiliki itikad baik untuk melunasi kewajibannya, yang berdasarkan pembuktian

28

Konsideran PBI No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah.

29

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasala, Solusi Hukum (Legal Action) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h.118-121.


(34)

secara kuantitatif merupakan alternatif yang terbaik. Tindakan ini juga dilakukan karena debitur mengalami kekurangan modal kerja.

3. Penataan Kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.

Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah (non- performing loan) agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga dengan baik. Meskipun demikian, program restrukturisasi dan penghapusan kredit macet harus dilaksanakan secara benar sesuai aturan hukum yang berlaku agar tidak sampai menimbulkan moral hazard yang dapat merugikan pihak bank, debitor, dan masyarakat. Di masa kini, restrukturisasi dan penghapusan kredit macet secara umum telah diatur secara jelas dalam UU Perbankan (UU 10/1998), Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2005), dan dalam pedoman perkreditan di masing-masing bank. Penghapusan (write-off) terhadap kredit macet adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko penyaluran kredit perbankan.30

30

Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007), h.5.

Sejalan dengan penyelamatan kredit yang menggunakan jalur non hukum, maka Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan menyatakan bahwa


(35)

kepailitan tidak semata-mata bermuara kepada kemungkinan atau kemudahan pemailitan debitur yang tidak membayar hutang. Undang-undang kepailitan harus memberikan alternatif muara yang lain, yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar hutang-hutangnya tetapi masih memiliki prospek usaha yang baik serta pengurusnya beritikad baik dan kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi hutang-hutangnya, merestrukturisai hutang-hutang-hutangnya, dan menyehatkan perusahaannya. Restrukturisasi hutang dan perusahaan (debt and corporate restructuring, atau

corporate reorganization, atau corporate rehabilitation) akan memungkinkan perusahaan debitur kembali berada dalam keadaan mampu membayar hutang-hutangnya.31

Sedangkan teori pendukung atau dikenal dengan teori sebagai wacana, pada penelitian ini menggunakan Teori tentang Kesehatan Bank, Teori Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts dan Teori Pengawasan bank.

Penilaian kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan oleh pemerintah melalui Bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan

31

Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: PT.Pustaka Utama Grafiti, 2009), h.48.


(36)

membuat laporan baik yang bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai seluruh aktivitasnya dalam suatu periode tertentu. Dari laporan ini dipelajari dan dianalisis, sehingga dapat diketahui kondisi suatu bank. Dalam ketentuan Surat Edaran BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum maka predikat Tingkat Kesehatan Bank dibagi dalam empat peringkat, yaitu :

Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 1 (PK-1) atau Peringkat Komposit 2 (PK-2), ”Cukup Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 3 (PK-3), “Kurang Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 4 (PK-4), dan “Tidak Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 5 (PK-5).

Penilaian tingkat kesehatan bank secara kuantitatif dilakukan terhadap 5 (lima) faktor, yaitu faktor Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal dengan istilah Analisis CAMEL. CAMEL merupakan aspek yang paling banyak berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank dan merupakan tolak ukur yang menjadi obyek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh regulator bank.32

Sedangkan Teori Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts

adalah mengindentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko


(37)

yang ada dari pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts, seperti

murabahah, ijarah, ijarah muntahia bit tamlik, salam dan istishna.33

Risio-risiko perbankan pada umumnya dibandingkan dengan bank syariah, mengacu pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 antara lain sebagai berikut :

34

1. Risiko Kredit (credit risk).

Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya.

2. Risiko Pasar

Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

3. Risiko Likuiditas

Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan. Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah

33

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi II, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h.241.Selanjutnya dikatakan bahwa penilaian risiko ini mencakup dua aspek, yaitu Default Risk (risiko kebangkrutan), yakni risiko yang terjadi pada First Way Out dan aspek

Recovery Risk (risiko jaminan), yakni risiko yang terjadi pada Second Way Out. 34

Rasul Karim, Manajemen Risiko Pada Perbankan Syari’ah,

http;//katakarim.blogspot,com/2010/03/manajement-resiko-pada-perbankan.html., diakses tanggal 12 Desember 2010.


(38)

membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

Ada tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank, yakni; analisis pembiayaan yang keliru, creative accounting, dan karakter nasabah. Risiko yang ditimbulkan dari kelemahan analisis yang dilakukan bank ini memberikan dampak terjadinya pembiayaan bermasalah.35

Kesemua teori ini juga tidak terlepas dari teori pengawasan bank yang mengemukakan bahwa sistem pengawasan bank yang semata-mata untuk mewujudkan dan menjaga sistem perbankan yang sehat akan tercapai apabila otoritas pengawas dapat dengan mudah melakukan pengawasan secara efektif serta semua bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. Hal ini dimungkinkan apabila bank yang diawasi sedikit atau diupayakan menjadi sangat minimal, dan semua kegiatan bank sampai pada hal yang paling teknis diatur melalui seperangkat aturan yang ketat dan ruang gerak usaha bank dibatasi melalui berbagai aturan yang bersifat larangan.

Teori ini berkaitan erat dengan teori kesehatan bank dan restrukturisasi.

36

35

Adiwarman Karim,Op.Cit., h.251. 36

Hasanuddin Rahman, Pendekatan Teknis dan Filosofis Legal Audit Operasional Perbankan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), h.221-222.


(39)

2. Konsepsi

Dalam penelitian hukum pentingnya kerangka konsepsional ditujukan untuk memberikan beberapa konsep atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Adapun istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.37

Kebijakan adalah sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu.38

Pembiayaan adalah Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa; transaksi bagi hasil dalam bentuk

mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk

37

Pasal 1 angka 7 PBI No.10/18/PBI/200B tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

38

Said Zainal Arifin, Kebijakan Publik, Edisi Revisi,(Jakarta: Penerbit Yayasan Pancur Siwah, 2004), h.3.


(40)

mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan

ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.39

Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.40

Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.41

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.42

Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang pelaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.43

Risiko Likuiditas adala

dapat membayar kewajibannya yang jatuh tempo secara tunai. Meskipun pihak tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi kewajibannya, tapi

39

Pasal 1 angka 25 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 40

Pasal 1 angka 7 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 41

Pasal 1 angka 8 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 42

Pasal 1 angka 9 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 43 Pasal 1 angka 10 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.


(41)

ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka pihak tersebut dikatakan tidak likuid.44

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.45

Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Paling tidak ada tiga ciri dari penelitian deskriptif yaitu: pertama, penelitian deskriptif berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu. Kedua, menguraikan satu variabel saja, jika ada beberapa variabel yang akan diuraikan dilakukan satu persatu. Ketiga, variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan (treatment) terhadap variabel.46

45

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1994), h.14.

46 Ronny Kountur,


(42)

2. Sumber Data

Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif maka data yang dipergunakan adalah data sekunder, yang bersumber pada:

a. Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum atau perundang-undangan yang berkaitan erat dengan penelitian ini, seperti UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia, UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan PBI No.13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah serta ketentuan pelaksana berupa Surat Edaran Bank Indonesia yang terkait dengan restrukturisasi pembiayaan.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah lainnya di bidang hukum dan sebainya.

c. Bahan Hukum Tertier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedi hukum, dan lain-lain, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.


(43)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research).

4. Analisa Data

Setelah seluruh data yang diperlukan untuk penelitian ini dikumpulkan, selanjutnya data dianalisa secara kualitatif. Artinya data yang diperoleh dianailisis secara menyeluruh, mendalam dan komprehensif (holistic).


(44)

BAB II

KEBIJAKAN BANK INDONESIA

TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS)

A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

Ruang lingkup kebijakan pengaturan pengaturan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia (BI) menurut undang-undang yang pelaksanaannya tertuang dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), pada dasarnya mencakup empat aspek, yakni : pertama, perizinan, meliputi ijin prinsip dan ijin usaha. Kedua, pengaturan dan ketentuan perbankan, meliputi ijin bank, kelembagaan bank, kegiatan usaha bank, kegiatan bank dengan prinsip syariah, merger-konsolidasi-akuisisi, sistem informasi antar bank, tata cara pengawasan bank, sistem pelaporan bank ke BI, penyertaan bank, pencabutan usaha-likuidasi-pembubaran bentuk hukum bank, dan lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan. Ketiga,aspek pengawasan, meliputi pengawasan secara tidak langsung (on site supervision maupun keduanya). Keempat, aspek pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan, berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.47

Berbagai aturan yang dibuat tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan dan memelihara kesehatan bank48

47

Marsuki, Landscape Kebanksentralan Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana media, 2010), hal.104-105.

, baik secara individu maupun perbankan sebagai suatu sistem.

48

Suatu bank dikatakan sehat apabila secara makro dapat memberi pelayanan bagi masyarakat dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi. Oleh karena bank terebut harus dapat menjaga dan


(45)

1. Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Perbankan di Indonesia

Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan bahwa: “Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 8 Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia juga menyatakan bahwa:

“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:

(1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran (3) Mengatur dan mengawasi bank

Adapun fungsi pembinaan yang dimanatkan undang-undang kepada Bank Indonesia maknanya adalah merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek-aspek; kelembagaan bank, kepemilikan bank, kepengurusan bank, kegiatan usaha bank, pelaporan bank, reta lainnya berhubungan dengan kegiatan operasional bank.49

Sedangkan fungsi pengawasan adalah meliputi pengawasan tidak langsung, yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian

memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran sistem pembayaran, serta dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Demikian juga harus sehat secara mikro, sebagai suatu entitas bisnis. Untuk itu berarti bank harus mempunyai modal yang cukup; mampu menajga kualitas assetnya; mampu mengelola dengan baik dan mengoperasikannya berdasarkan prinsip kehati-hatian; mampu menghasilkan keuntungan untuk mempertahankan usahanya; mampu memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi segala kewajibannya, serta senantiasa dapat memnuhi segala ketentuan dan aturan yang ditetapkan.

49

Rachmadi usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia, 2003), hal. 122.


(46)

analisis dan evaluasi laporan bank; dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.50

Jadi undang-undang perbankan membedakan secara jelas yang dimaksud dengan fungsi pembinaan dan fungsi pengawasan, dimana fungsi pembinaan menitikberatkan pada “regulation”, sedangkan fungsi pengawasan menitikberatkan pada “supervision”.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 29 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dijelaskan pula tujuan dari pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia tersebut, yaitu:

Pertama, kedua fungsi itu harus dilakukan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral, mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, karenanya keadaan suatu bank perlu dipantau oleh Bank Indonesia.

Kedua, tujuannya agar kesehatan bank tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tetap terpelihara, sebab kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat.

Ketiga, sejalan dengan itu Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk,

50


(47)

nasihat-nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Keempat, di pihak lain bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan internal dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pembina, Bank Indonesia (BI) berperan sebagai institusi atau regulator sistemik. Ada tiga alasan BI berperan sebagai regulator sistemik. yang mengawasi kesehatan dan stabilitas keseluruhan sistem keuangan semakin mengemuka. Tiga alasan tersebut, pertama, bank sentral memiliki hubungan jual-beli sehari-hari dengan palaku pasar sebagai bagian dari fungsi utamanya mengimplementasikan kebijakan moneter. Sehingga tidak ada lembaga lain yang memiliki pengetahuan dan akses sejenis ke aliran utama sistem keuangan. Kedua, tanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas ekonomi makro sangat sejalan dengan peran untuk menjamin stabilitas keuangan. Sejarah menunjukkan berbagai krisis ekonomi dunia selalu berhubungan dengan krisis keuangan, sehingga bank sentral secara alami memang harus mempertimbangkan intetaksi antara sektor keuangan daan kebijakan moneter dalam melaksanakan tugansnya. Ketiga, fungsi lender of last resort memang ada di bank sentral. Dengan fungsi itu, bank sentral dapat menggunakan neracanya untuk menyedaikan pendanaan darurat jangka pendek di masa krisis.Sebagai regulator sistemik


(48)

bank sentral akan mampu memperoleh informasi lapangan langsung dari lembaga-lembaga keuangan yang diawasi . Informasi ini butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat apakah suatu lembaga keuangan perlu di selamatkan.51

2. Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of The Last Resort”

Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, BI telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort

(LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis) mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap mensyaratkan solvensi dan agunan. 52

51

Darmin Nasution, Ada Tiga Alasan bank Indonesia Sebagai Regulator Sistemik, Info bank, 23 januari 2010.

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah


(49)

dengan Undang-undang No 3 Tahun 2004 .53

B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah

Sebagai peraturan pelaksanaan fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan FPD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sejalan dengan tugas pokok dan peran Bank Indonesia serta arahan umum kebijakan di bidang perbankan pada awal tahun 2010, pelaksanaan kebijakan di bidang perbankan syariah selain mengacu pada kebijakan umum di bidang perbankan juga memperhatikan arahan dan kebijakan khusus terkait dengan perbankan syariah yang merupakan sub sektor perbankan yang masih perlu di dorong agar dapat tumbuh lebih cepat dimana peran dan kontribusinya diharapkan dalam mencapai sasaran kebijakan di bidang perbankan dan kebijakan Bank Indonesia secara umum dapat lebih besar.

Secara umum Bank Indonesia telah menetapkan sejumlah arah kebijakan di bidang perbankan dengan pendekatan insentif dan disinsentif. Hal ini antara lain mencakup peningkatan ketahanan sistem perbankan yang perlu ditempuh melalui penguatan pengaturan, pemantapan sistem pengawasa bank, penataan kembali

53

Sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pengendalian moneter, Bank Indonesia juga mempunyai fungsi lender of the last resort, yang memungkinkan Bank Indonesia membantu kesulitan pendanaan jangka pendek yang dihadapi bank. Lebih lanjut lihat Pasal 11 UU No.03 tahun 2004 tentang Bank Indonesia.


(50)

tingkat kompetisi di Industri perbankan Indonesia, serta pendalaman pasar keuangan. Selanjutnya, untuk meningkatkan peranan perbankan syariah terhadap perekonomian nasional dan penguatan ketahanannya sejumlah kegiatan yang merupakan implementasi arah kebijakan tahun 2010 di bidang perbankan syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia, khususnya Direktorat Perbankan Syariah dengan mencakup berbagai kegiatan dalam bidang penelitian, pengaturan dan pengembangan, perijinan, dan pengawasan perbankan syariah. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan sebagai satu kesatuan dalam upaya mengembangkan perbankan syariah yang efisien, prudent dan sejalan dengan prinsip syariah.54

1. Penelitian dalam Rangka Regulasi dan Pengembangan Produk

Sebagai pemegang otoritas pengawas bank-bank di Indonesia, Bank Indonesia secara intensif sejak tahun 2002 hingga sekarang terus melakukan regulasi terhadap aktivitas perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 2007-2008, Bank Indonesia mencanangkan program akselerasi pengembangan dan pertumbuhannya. Dalam jangka pendek, hingga akhir 2008 Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kuantitatif aset perbankan syariah yang cukup besar, yaitu dapat mencapai minimal 5% dari seluruh aset perbankan nasional. Untuk itulah akselerasi pertumbuhan tersebut perlu didukung oleh suatu kebijakan akselerasi yang tepat yang tidak hanya melibatkan Bank

54

Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011,


(51)

Indonesia dan pemerintah saja, tetapi juga komponen masyarakat lainnya seperti lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi sebagai penyedia sumber daya insani.55

Melihat pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia, Bank Indonesia telah pula merumuskan paradigma kebijakan yang akan ditempuh. Adapun paradigma kebijakan tersebut yaitu:56

Pertama, market driven, di mana bank Indonesia bersama stakeholder yang lain akan melakukan public education kepada masyarakat untuk mendukung proses positioning. Hal ini terjadi karena industri perbankan syariah tiumbuh seagai realisasi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan keuangan dan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.

Kedua, yaitu fair treatment, yang artinya pengembangan kerangka ketentuan maupun upaya bagi penyempurnaan infrastruktur industri dilakukan berdasarkan konsep perlakuan yang sama, yang mengakomodasi ciri-ciri operasional khusus perbankan syariah, serta penyusunan program pengembangan yang disesuaikan dengan tahapan pertumbuhan industri.

Ketiga, gradual and sustainnable approach, yaitu program pengembangan perankan dapat dipandang sebagai suatu upaya transformasi suatu industri yang dilakukan menurut fokus dan prioritas dalam suatu tahapan yang terstruktur dan berkesinambungan.

55

Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah, Teori, kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hal.59.

56


(52)

Keempat, yaitu comply to shariah principles, yang artinya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah yang merupakan suatu argumen utama keberadaan industri perbankan syariah. Adapun implementasi kepatuhan terhadap prinsip syariah merupakan upaya untuk menginkorporasi nilai-nilai syariah, baik dalam skema transaksi keuangan sampai kepada implementasinya dalam mengelola usaha yang tercermin dalam corporate governance industri perbankan syariah yang baik.

Selanjutnya, sejalan dengan paradigma kebijakan perbankan syariah kegiatan pengaturan pada tahun 2010 masih merupakan kelanjutan dari penyusunan dan penyempurnaan ketentuan yan telah menjadi amanat UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Beberapa ketentuan yang telah disusun pada taun 2010 merupakan petunjuk pelaksanaan dari pengaturan perbankan syariah yang telah disusun pada tahun 2009 yaitu Peraturan BI mengenai Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah serta Peraturan BI mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Selain itu, terdapat beberapa ketentuan yang akan dikeluarkan untuk mengakomodasi perkembangan yang terjadi sesuai dengan kondisi perbankan syariah, antara lain berupa ketentuan-ketentuan yang telah berlaku yaitu ketentuan mengenai restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah, dan kualitas aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dan ketentuan baru bagi perbankan syariah yaitu Peraturan


(53)

Bank Indonesia mengenai Manajemen Risiko bagi Bank Umum dan Unit Usaha Syariah.

Adapun beberapa ketentuan yang telah diterbitkan dalam rangka petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank indonesia sebelumnya antara lain adalah: 57

a. Surat Edaran BI No.12/6/DPbs tanggal 28 maret 2010 perihal Uji Kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

b. Surat Edaran BI No.12/13/DPbs tanggal 30 April 2010 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum Syariah dan unit Usaha Syariah.

c. Penyempurnaan atas Ketentuan mengenai Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

d. Ketentuan mengenai Kualitas Aktiva bagi Bak Umum Syariah dan unit Usaha Syariah serta Kualitas bagi Bank Pembiayaan rakyat Syariah. e. Menyusun Ketentuan mengenai manajemen resiko bagi Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Disamping mengeluarkan ketentuan-ketentuan di atas, Bank Indonesia juga melakukan penyusunan ketentuan dalam rangka petunjuk pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku bagi Perbankan Syariah pada periode

57


(54)

mendatang yang akan tetap berpedoman pada Undang-undang Perbankan Syariah dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain regulasi terhadap perbankan syariah, Bank Indonesia juga mempunyai tanggung jawab dalam mendukung upaya inovasi produk yang dapat meningkatkan daya saing perbankan syariah baik secara domestik, regional maupun kompetisi global di era pasar bebas dengan antisipasi berbagai peluang dan tantangannya ke depan, Bank Indonesia pada tahun 2010 telah melakukan kajian pemetaan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan identifikasi kebutuhan pasar perbankan syariah.58

2. Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Perbankan Syariah

Kondisi keuangan yang sehat serta kepatuhan dalam melaksanakan prinsip syariah merupakan dua aspek yang harus diusahakan dalam waktu yang sama. Dalam pelaksanaannya, dibutuhkan suatu mekanisme yang jelas untuk mengatur wewenang dan tugas pengawasan serta konsep pengaturan kedua aspek yang berbeda tersebut.59

Pengembangan perbankan syariah yang tengah diupayakan saat ini perlu diikuti dengan langkah-langkah pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa perbankan syariah telah tumbuh dan berkembang secara sehat, memperhatikan prinsip kehati-hatian, menerapkan tata kelola perusahaa yang

58

Outlook Perbankan Syariah, Loc..Cit., hal.3. 59 Zainuddin Ali,


(55)

baik, memiliki manajemen rsiko yang efektif, dan memenuhi prinsip-prinsip syariah secara konsisten. Terkait hal tersebut, Bank Indonesia dengan berdasarkan kepada kerangka kerja pengawasan berdasarkan resiko, telah melaksanakan pengawasan secara langsung (on-site) maupun tidak langsung (off-site)60 dengan fokus pada aktivitas fungsional yang memiliki risiko tinggi.61

Peran pengawasan bank Indonesia terhadap perbankan syariah sebagaimana diatur di dalam Pasal 50 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Di dalam Pasal 50 dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan bank syariah dan unit usaha syariah dilakukan oleh Bank Indonesia.”

Lebih lanjut dinyatakan pada Pasal 52 ayat (3) huruf a UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah bahwa:

“Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang:

a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank;

b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan

c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.”

60

Pengawasan tidak langsung (off-site) adalah bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank. Sedangkan pengawasan langsung (on-site) atau lapangan adalah bentuk pemeriksaan lapangan yang diikuti dengan tindakan-tindakan perbaikan, pemeriksaan ini

dilakukan sedikitnya satu tahun sekali.

61ZainudinAli


(56)

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No.21 tahun 2008 yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah maka jelaslah bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai kewenangan untuk pembinaan dalam arti mengawasi bank syariah. Pembinaan yang dilakukan Bank Indonesia, antara lain, mengenai aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank Syariah dan UUS. Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (off-site supervision) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung (on-site supervision) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank yang bersangkutan.62

C. Faktor-faktor Bank Indonesia Mengeluarkan Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS).

Keberlangsungan usaha suatu bank yang didominasi oleh aktivitas Pembiayaan, dipengaruhi oleh kualitas Pembiayaan yang merupakan sumber utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Pengelolaan bank yang optimal dalam aktivitas pembiayaan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi. Pengelolaan tersebut antara lain dilakukan melalui Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar namun


(1)

______(III)., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

______(IV)., Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, 1988.

Hardiman, F. Budi., dkk., Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi Jakarta: Imparsial, 2005.

Jones, Robert., Internet Forensics United State of America: O’Reilly Publishing, 2005.

Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Loqman, Loebby., Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbit, 1995.

Makarim, Edmom., Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Mertokusumo, Sudikno., Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1988.

Makarao, Muhammad Taufik., dan Suhasril., Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Moeljatno., Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Acra Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat, Jakarta: Djambatan, 2005.

Poernomo, Bambang., Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta: Liberty, tanpa tahun.

______Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.


(2)

Prakoso, Djoko., Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Prodjohamidjojo, Martiman., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001.

Prodjodikoro, Wirjono., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003.

Prints, Darwan., Hukum Acara Pidana Dalam Praktik Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Record, Jeffrey., “Bounding The Global War On Terrorism,” Journal, Strategic

Studies Institute, December 2003.

Remmelink, Jan., Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003.

Samudera, Teguh., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992.

Sholehuddin, M., Tindak Pidana Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo, Persada, 1997. Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni Ahaem Petehaem, 1989.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Supomo, R., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.


(3)

Sutedi, Adrian., Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008. Sriyanto, I., dan Desiree Zuraida, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk

Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001.

Wahid, Abdul., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004. Wahid, Abdul., dan Muhammad Labib., Kejahatan Mayantara (Cybercrime),

Bandung: PT. Rafika Aditama, 2005.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Washil, Nashr Farid., Nazhoriyah ad Da’wa wa al-Istbat fii al-Fiqhi al-Islamiyyi

ma’a al-Muqoronati bi al-Qoonunniyyi al- Wad’iyyi, Kairo: Daaru Asy Syuruq, 2002.

Wilkinson, Paul., Terrorism and the Liberal State London: The Macmillan Press Ltd., 1977.

Yudowidagdo, Hendrastanto., Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.

Zahab, Balihan., Prosedur Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Cyber Crime, Bangka Belitung, Universitas Langlangbuana Bandung, 2009.

Zakariah, Ahmad., Kode Sumber Wibe Site Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209.

Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT), LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).


(4)

Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 15, LN. No. 30 Tahun 2002, TLN No., Pasal 35.

C. Makalah, dan Jurnal

Bastian, Angga., dkk., “Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian”, Makalah disampaikan pada Mata Kuliah Hukum Pembuktian, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2006.

Khan, Ali., “A Legal Theory of International Terrorism,” Journal Connecticut Law Review, 1982.

Nasution, Bismar., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

Suprobowati, Gayatri Dyah., “Efektifitas Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Khususnya Mengenai Pengaturan Transfer Dana Melalui Media Elektronik Pada Bank”, Artikel, Yustisia, Edisi Nomor 69 September-Desember 2006.

T. Nasrullah, ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007.

D. Internet

http://en.wikipedia.org/, “European Convention on Human Rights”, diakses terakhir tanggal 18 Desember 2009.

http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/cca1995115/, diakses terakhir tanggal 10 Juni 2010.

http://www.hudzaifah.org/PNphpBB2-viewtopic-t-117.phtml, “Pelaku Bom Bali 1 Okt Adalah JI”, diakses terakhir tanggal 7 Desember 2009.


(5)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5954/data-elektronik-sebagai-alat-bukti-masih-dipertanyakan, diakses terakhir tanggal 7 Juni 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Website, “Retrieved from”, diakses terakhir tanggal 23 Desember 2009.

http://staff.blog.ui.ac.id/abdul.salam/2008/07/01/alat-bukti-elektronik-di-indonesia/, tanggal 12 Oktober 2009.

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORT AL, diakses terakhir tanggal 12 Juni 2010. .

http://roysanjaya.blogspot.com/2008_09_15_archive.html”, oleh: Roy Sanjaya and Partners, diakases terakhir tanggal 18 Desember 2009. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/15/opini/tero30.htm, diakses 12 Juli

2010.

http://www.britannica.com/eb/article-9071797/terrorism, diakses 12 Juli 2010. http://myweb.wvnet.edu/~jelkins/crimlaw/basic/mpc.html, diakses terakhir tanggal 11

Juli 2010.

http://en.wikipedia.org/wiki/Definition_of_terrorism, diakses terakhir tanggal 12 Juli 2010.

http://bebas.vlsm.org/v17/com/ictwatch/paper/paper022.htm, diakses terakhir tanggal 12 Januari 2010, oleh: Rapin Mudiardjo., “Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan”, Penulis adalah Legal Director ICT Watch dan pengacara. Dapat juga dihubungi melalui e-mail rapin@ictwatch.com.

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10302&coid=3&caid=31&gid=3, diakses terakhir tanggal 12 Juli 2010.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/rekaman-perkara-korupsi-2, diakses terakhir tanggal 12 Juli 2010.

http://www.kpk.go.id, “Rekaman Perkara Korupsi”, Artikel Bebas, oleh: Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad), diakses terakhir tanggal 18 Juni 2010.


(6)

http://www.okezone.com/Pembuat%20Situs%20Anshar%20Divonis%203%20Tahun, diakses terakhir tanggal 20 Juni 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki/Elektronik, diakses terakhir tanggal 21 Januari 2010.

http://www.pcmedia.co.id/detail.asp?Id=165&Cid=23&Eid=6, diakses terakhir tanggal 21 Januari 2010.

http://www.korantempo.com/news/2004/10/27/nasional/18.html>, diakses 24 Juni 2010.

http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/10/tgl/26/time/1605 28/idnews/230900/idkanal/10, diakses 24 Juni 2010.