BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik - Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indeks Glikemik

  Pada tahun 1981, David Jenkins, seorang Profesor Gizi di Universitas Toronto, Kanada mengembangkan konsep indeks glikemik (IG). Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan klasifikasi numerik dari makanan sumber karbohidrat yang diasumsikan bahwa data tersebut akan berguna dalam situasi dimana toleransi glukosa terganggu (Jenkins, dkk., 1981). Konsep indeks glikemik adalah perpanjangan dari hipotesis serat dari Burkitt dan Trowell yang menyatakan bahwa makanan yang mengandung serat akan lebih lambat diserap oleh usus, sehingga makanan tersebut memiliki manfaat metabolik dalam kaitannya dengan diabetes dan pengurangan resiko penyakit jantung koroner (Burkitt dan Trowell, 1977 dalam Jenkins, dkk., 2002).

  Menurut FAO (1998), Indeks glikemik didefinisikan sebagai luas area di bawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang dinyatakan sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang diambil dari subjek yang sama. Pada awalnya, pangan karbohidrat yang digunakan sebagai pangan standar untuk mengukur IG adalah glukosa murni dengan IG sebesar 100, tetapi saat ini pangan standar yang sering digunakan adalah roti putih (Jenkins, dkk. 2002).

  Menurut Cummings dan Stephen (2007) dalam Simila (2012), indeks glikemik adalah klasifikasi fisiologis makanan yang mengandung karbohidrat yang didasarkan pada sejauh mana makanan tersebut meningkatkan konsentrasi glukosa darah setelah

  7 makan (postprandial) dibandingkan dengan karbohidrat acuan dengan jumlah yang setara.

  Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, memiliki indeks glikemik tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat, kandungan indeks glikemiknya rendah. Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Ludwig (2000), Makanan dengan indeks glikemik rendah akan lebih lama menunda rasa lapar dibandingkan dengan makanan dengan indeks glikemik tinggi. Sehingga indeks glikemik dapat membantu orang yang sedang menjalani program penurunan berat badan dengan memilih makanan yang indeks glikemiknya rendah.

  Indeks glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dengan mengetahui IG pangan, penderita diabetes dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan sehingga glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan.

  Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

  Secara tradisional karbohidrat telah dikategorikan berdasarkan struktur utama yang ada didalamnya menjadi karbohidrat sederhana yaitu karbohidrat yang mengandung sebagian besar mono-atau disakarida dan karbohidrat kompleks yang mengandung polisakarida atau pati. Karena kategorisasi ini, telah terjadi salah asumsi dimana diasumsikan bahwa semua karbohidrat sederhana akan memiliki respon glukosa yang cepat dalam tubuh manusia dengan demikian tidak cocok untuk penderita diabetes dan orang dengan gangguan insulin, sementara karbohidrat kompleks yang diyakini memiliki respon glukosa yang lebih kecil dalam darah (Gibson, 2010).

  Pada kenyataannya, banyak pangan berkarbohidrat (roti, kentang, dan beras) dicerna dan diserap sangat cepat sehingga dengan cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Selain itu, pangan bergula tinggi (permen dan es krim) dalam jumlah sedang tidak meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama proses pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi, sebaliknya pangan yang indeks glikemiknya rendah, karbohidrat yang terkandung dalam pangan tersebut akan dipecah dengan lambat sehingga pelepasan glukosa ke dalam darah berjalan lambat (Rimbawan dan Siagian, 2004).

  Efek metabolisme berhubungan dengan tingkat penyerapan glukosa di usus kecil. Tingkat penurunan penyerapan glukosa setelah mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat yang ber-IG rendah akan mengurangi kenaikan postprandial hormon di usus (misalnya, incretins) dan insulin. Penyerapan karbohidrat secara berkepanjangan akan mempertahankan penekanan asam lemak bebas (FFA) dan respon counterregulatory, sehingga pada saat yang sama konsentrasi glukosa darah rendah, begitu sebaliknya (Jenkins, dkk., 2002).

  Menurut Jenny Miller dalam Waspadji (2003), nilai indeks glikemik dikatagorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70. Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Pengolahan Pangan Sumber Karbohidrat Peneliti Jenis Produk Olahan Indeks Glikemik Tahun

  Waspadji et al Singkong Rebus 94,46 2003 Ningrum Sponge Cake Sukun 57,9 2011 Hasan et al Oyek Singkong 40 2011 Utami Umbi Suweg Kukus 36 2008 Utami Umbi Garut Kukus 32 2008 Lukitaningsih Umbi gayong 20,8 2012 Lukitaningsih Umbi Porang 20,6 2012 Lukitaningsih Umbi Walur 16,9 2012 Universitas of Sidney Talas (Colocasia esculenta) 54 - Universitas of Sidney Talas Belitung (Santhosoma sagittifolium) Rebus

  • Septiyani Tiwul Instan Tinggi Protein 94,7 2012 Rahkmawati et al Sukun Rebus

  50

  85 2011 Rahkmawati et al Cookies Sukun 80 2011

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan

  Jenis pangan yang sama dapat memiliki IG yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengujian yang dilakukan dan juga karakter fisik dan kimia dari makanan. Dua makanan yang sama mungkin memiliki bahan yang berbeda atau mungkin telah diproses dengan metode yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah karbohidrat dan nilai IG-nya. Dua merek yang berbeda dari jenis yang sama dari makanan, seperti kue polos, mungkin rasanya terlihat hampir sama, tapi perbedaan jenis tepung yang digunakan, kadar air, dan waktu memasak dapat mengakibatkan perbedaan derajat pati gelatinisasi dan akibatnya nilai IG-nya berbeda. Perbedaan dalam metode pengujian meliputi penggunaan berbagai jenis sampel darah (kapiler atau vena), periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian-bagian yang berbeda dari makanan (50 g dari total bukan dari karbohidrat yang tersedia) (Foster-Powell, dkk., 2002).

  Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan yang satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya oemotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti- gizi pangan.

a. Proses Pengolahan

  Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran, dan rasa yang lebih enak. Menurut Waspadji et al. (2003), perbedaan cara memasak dan mengolah bahan makanan akan menyebabkan respon glukosa yang berbeda. Proses pengilingan menyebabkan struktur pangan menjadi lebih halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini memaksa pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh Karena itu, kadar glukosa darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Osman, dkk., 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).

  Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabakan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan. Ukuran partikel juga mempangaruhi indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004).

b. Kadar Amilosa dan Amilopektin Terdapat dua bentuk pati di dalam pangan yaitu amilosa dan amilopektin.

  Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang yang terdiri atas 250- 350 unit glukosa dengan ikatan alfa-1,4 glukosa (Meyer, 1976 dalam Gardjito, dkk., 2013).

  Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki IG tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi, dan mudah dicerna. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti 2008).

  c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan

  Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikmik pangan tersebut. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun strukturnya.

  Sukrosa memiliki IG 65, hal ini dikarenakan disakarida terdiri dari satu glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap dan masuk ke dalam hati. Di dalam hati, kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa. Oeh karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murrni sangat kecil (IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya mengkonsumsi setengah glukosa (Rusilanti, 2008).

  d. Kadar Serat Pangan Keberadaan serat pangan memberikan pengaruh pada kadar gula darah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah lebih rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004).

  Menurut Chandalia et al. (2000) dalam Julia (2006), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut dapat menurunkan kolesterol plasma, dan meningkatkan kontrol glikemik. Serat pangan dapat meningkatkan control glikemik dengan menurunkan atau menunda penyerapan karbohidrat.

  Lamanya proses penyerapan mengakibatkan respon glukosa darah menjadi rendah.

  e. Kadar Lemak dan Protein Pangan

  Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah. Walaupun demikian, kita tetap memerlukan makanan berkadar lemak rendah. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana (Rimbawan dan Siagian, 2004).

  f. Kadar Anti-Gizi Pangan

  Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat yang berpotensi menyebabkan efek merugikan terhadap status gizi disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada biji-bijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).

2.1.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan

  Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan dalam pengukuran IG, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subjek, dan perhitungan IAUC (Simila, 2012).

  Menurut FAO (1998), pengambilan sampel darah yang direkomendasikan untuk mengukur IG adalah pengambilan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan darah pada pembuluh darah kapiler lebih mudah untuk didapatkan, selain itu kenaikan glukosa darah di plasma vena lebih besar dari darah kapiler.

  Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti putih atau glukosa murni (FAO, 1998). Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subjek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subjek.

  Dalam pengukuran indeks glikemik, porsi makanan yang diuji harus mengandung 50g karbohidrat (FAO, 1998). Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50g karbohidrat dalam pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut.

  Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan dan Siagiaan (2004), luas daerah dibawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respon glukosa darah secara benar.

  Menurut Monro dan Shaw (2008), pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

  IAUC food Wt Glucose

  IG = x x 100%

  IAUC glucose Wt Available Carbohydrate Dimana dengan

  ℎ = 50 50 = 1 demikian,

  IAUC food

  IG = x 100%

  IAUCglucose Keterangan:

  IG : Indeks Glikemik

  IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji

  IAUC glucose :Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan) Wt : Berat (gr)

  Menurut Miller, dkk (1996) dalam Rimabawan dan Siagian (2004), prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut: a.

  Pangan tunggal yang akan dientukan indeks glikemiknya (mengandung 50 gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjaani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya).

  b.

  Selama dua jam pasca-pemberian (atau tiga jam bila relawan menderita diabetes), sampel darah sebanyak 50 µL

  • finger-prick capillary blood samples method – diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua
yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent.

  c.

  Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50gr glukosa murni atau white bread) diberikan kepada relawan.

  Hal ini dilakukan sebanyak dua kali (dilakukan pada hari lain, minimal tiga hari setelah perlakuan pertama) untuk mengurangi efek keragaman respon gula darah dari hari ke hari.

  d.

  Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y).

  e.

  Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.

2.2 Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium)

  Talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) berasal dari wilayah tropika Amerika Timur. Talas belitung bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan di Indonesia dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik ditanam liar maupun dibudidayakan. Saat ini kimpul telah dibudidayakan di daerah-daerah di Indonesia diantaranya, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur (Marinih, 2005 dalam Rafika dkk., 2012). Walaupun telah dibudidayakan secara teratur oleh para petani namun pembudidayaannya juga terbilang masih sangat sedikit. Pembudidayaan tanaman ini pada umumnya diusahakan petani di pekarangan sekitar rumah dan di kebun-kebun.

  Talas belitung termasuk family Araceae, merupakan tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang buahnya berbiji tertutup (Angiospermae), berkeping satu (Monocotylae). Family Araceae lainnya adalah santé (Alacasia sp.) dan talas Bogor (Colocasia sp.). Menurut Animal Feed Resources Information System (2005) dalam Kartika (2006) taksonomi kimpul adalah sebagai berikut :

  Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbunga) Sub divisio : Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup) Kelas : Monocotylae (tumbuhan berbiji tunggal) Ordo : Arales Familia : Araceae Genus : Xanthosoma Spesies : Xanthosoma sagittifolium

  Tujuan pokok bertanam talas belitung adalah untuk menghasilkan umbi sebagai sumber karbohidrat non-beras, disamping fungsi lainnya sebagai bahan sayuran. Di daerah pedesaan, talas belitung belum umum dibudidayakan seperti halnya singkong. Talas belitung dapat ditanam di lahan kosong di pedesaan dan sebagai tanaman sela palawija di kebun serta ditanam di sawah saat musim kemarau. Talas belitung atau impul (Xanthosoma sagittifolium) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan talas (Colocasia esculenta), memiliki daun yang lebih runcing dan bagian tangkai daun berhubungan dengan helai daun pada titik di tepi daun dekat belahan tersebut. Bagian yang dimanfaatkan dari kimpul ini adalah umbi anakan yang tumbuh disekitar umbi induk (Kartika, 2006).

  Talas belitung merupakan tanaman tahunan, tidak berkayu, terdiri dari akar, pelepah daun, daun, bunga, dan umbi. Tinggi tanaman dapat mencapai dua meter, tangkai daun tegak, tumbuh dari tunah yang berasal dari umbi yang merupakan batang dari bawah tanah. Bentuk umbi talas belitung silinder sampai agak bulat, terdapat internode atau ruas dengan beberapa bakal tunas. Jumlah umbi anakan dapat mencapai 10 buah atau lebih. Panjang umbi sekitar 12-25 cm dan diameter 12-15 cm. Umbi yang dihasilkan biasanya mempunyai berat 300-1000 gram. Irisan melintang pada umbi memperlihatkan bahwa strukturnya terdiri dari kulit, korteks, pembuluh floem, dan xylem. Kulit umbi mempunyai ketebalan sekitar 0.1 cm. pada pembuluh floem dan xylem terdapat butir-butir pati (Muchtadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).

Gambar 2.1 Umbi Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium)

  Talas belitung dapat tumbuh baik di daerah tropika basah bersuhu optimum 21 dan 27 C dengan curah hujan tahunan 1400 mm per tahun. Derajat keasaman yang paling baik untuk tanaman ini berkisar antara 5,5

  • – 6,5. Pemanenan talas belitung dilakukan setelah 0-12 bulan penanaman ketika daun telah kering dan bewarna kuning. Umbi yang telah dipanen dapat disimpan selama lebih dari 6 bulan jika disimpan di tempat yang kering, sejuk dan berventilasi baik (Octavianty, 2009).
Umbi talas belitung berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat umbi kimpul hampir sama dengan singkong, dan lebih baik dari kandungan karbohidrat ubi jalar, kentang, maupun talas. Nilai kalori untuk konversi ke dalam 100 gram nasi sama dengan 200 gram kimpul. Kecuali kandungan vitamin C-nya yang rendah. Selain itu, kimpul juga mengandung kalium, fospor dan zat besi. Komposisi kimia dari umbi talas belitung mentah, umbi rebus dan umbi kukus dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung per 100 g Bahan

  21

  0.3

  

0.4

  0.4

  0.4 Kalsium (mg) -

  

26

  21

  21 Phospor (mg) -

  

26

  48 Fe (mg)

  1.2

  1

  

1.4

  0.9

  0.9 Vitamin C (mg)

  10

  

2

  1

  1.0 BDD (%)

  80 85 100 100 Sumber : Gardjito, dkk., 2013

  1.1 Lemak (gr)

  

1

  Komposisi Kimia Umbi Mentah Platt (1975)

  31

  

Umbi Mentah

Slamet (1980)

  Umbi Rebus Slamet (1980)

  Umbi Kukus Anonim (1990)

  Energi (kal) 133 145 145 145 Air (gr)

  65

  

63.1

  63

  63.1 Karbohidrat (gr)

  

34.2

  1.2 Abu (gr) -

  34.2

  34.2 Serat kasar (gr)

  01

  

1.5

  1

  1.0 Protein (gr)

  2

  

1.2

  1.2

  Komposisi kimia umbi talas belitung bergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas belitung mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Umbi talas belitung seringkali menimbulkan rasa gatal, sensasi terbakar, dan iritasi pada kulit, mulut, tenggorokan, serta saluran cerna pada saat dikonsumsi. Talas mengandung asam oksalat yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam saluran pencernaan, yaitu dengan pembentukan kalisum yang tidak larut dalam air (Indrasti, 2004).

  Kalsium oksalat yang terdapat dalam kimpul berbentuk kristal yang menyerupai jarum (Gardjito, 2013). Selain kalsium oksalat, talas juga mengandung asam oksalat yang diduga dapat mengganggu penyerapan kalsium. Asam oksalat bersifat larut dalam air, sementara kalsium oksalat tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam kuat. Oksalat tidak tersebar secara merata didalam umbi talas.

  Menurut Koswara dalam modulnya mengenai teknologi pengolahan umbi- umbian, rasa gatal pada saat mengkonsumsi talas disebabkan oleh tusukan jarum- jarum kristal kalsium oksalat yang terbungkus dalam suatu kapsul transparan berisi cairan yang berbeda diantara sel-sel umbi tersebut. Kapsul-kapsul ini disebut

  

raphides. Raphid-raphid ini tertancap pada dinding pemisah antara dua vakuola pada

  jaringan umbi dan ujung-ujungnya berada pada vakuola tersebut. Jika bagian umbi dikupas atau dipotong-potong, maka vakuola yang berisi air karena perbedaan tegangan pada kedua vakuola itu menyebabkan dinding kapsul pecah. Akibatnya kristal kalsium oksalat tersumbat ke permukaan dan menusuk ke bagian kulit.

  Tusukan-tusukan inilah yang menyebabkan timbulnya rasa gatal pada mulut, tenggorokan, atau kulit tangan.

  Metode fisik yang paling umum dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa gatal yang terjadi akibat kandungan kalsium oksalat pada talas yaitu dengan pemanasan. Kalsium oksalat bersifat labil terhadap panas. Pemanasan dilakukan melalui perebusan dan pengukusan (Muchtiadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).

  Umbi talas belitung umumnya dimakan dalam bentuk makanan yang diolah secara sederhana, tanpa teknologi yang sulit seperti digoreng, direbus, dikukus, dibuat getuk, keripik, perkedel, dan lain-lain. Di Negara-negara tropis Afrika, kimpul atau talas belitung diolah menjadi makanan yang disebut Fufu. Orang-orang malanesia yang suka memakan umbi talas belitung ternyata mempunyai gigi yang kuat. Umbi talas belitung mempunyai sifat basa sehingga dapat melindungi gigi (Lingga, 1989 diacu dalam Gardjito, 2013). Sedangkan nenurut Nurcahya (2013), talas bisa diolah atau dibuat panganan sebagai pengganti nasi bagi penderita diabetes, karena talas mengandung serat dan protein yang cukup tinggi yang bisa menurunkan kadar glukosa darah.

2.3 Tepung Talas Belitung

  Salah satu produk talas belitung yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri pangan adalah tepung talas belitung. Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan yang dilakukan dengan memperkecil ukuran bahan dengan cara penggilingan. Tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah sehingga daya awetnya tinggi. Proses penggilingan bahan disebabkan oleh bahan yang ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Tepung mekanis pada proses penggilingan diikuti dengan permukaan bahan dan energi yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk dihancurkan.

  Tepung kimpul merupakan produk olahan dari umbi kimpul yang mengalami proses pengeringan, penghalusan, dan pengayakan. Tepung kimpul mengandung karbohidrat, protein, lemak yang baik. Menurut Prihatiningrum (2012) dalam Rafika, dkk. (2012), tepung kimpul mengandung senyawa saponin dan apabila mengalami pemanasan akan menyebabkan warna coklat, proses ini terjadi pada bahan pangan yang mengandung karbohidrat di mana senyawa karsinogen yang terbentuk di dalam bahan pangan selama proses pemasakan pada suhu di atas 120˚C.

  Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan tepung talas. Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses pembuatan tepung talas diawali dengan pengupasan dan pencucian umbi segar selama 5 menit. Kemudian dilakukan pengirisan yang ditujukan untuk memperbesar luas permukaan dari talas pada saat dikeringkan.

  Kemudian talas direndam dalam larutan garam dapur 30% selama 30 menit kemudian cuci kembali. Tujuannya untuk mengurangi kadar kalsium oksalat pada talas yang dapat menyebabkan rasa gatal pada saat mengonsumsinya (Revitriani, dkk., 2013).

  Pengeringan talas dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari, pengeringan menggunakan oven, spay drier, drum drier, dan lain-lain. Metode pengeringan yang dipakai mempengaruhi mutu tepung yang dihasilkan (Indrasti, 2004). Pengeringan kimpul dengan alat pengering dapat dilakukan selama 8 jam dengan suhu 40ºC sampai mudah dipatahkan/dihancurkan.

  Secara umum, pengeringan dengan menggunakan alat pengering lebih baik daripada menggunakan sinar matahari. Kelebihannya antara lain suhu pengeringan dan laju alir udara panas yang dapat dikontrol, kebersihan yang lebih terjaga, dan pemanasan terjadi secara merata. Setelah umbi talas belitung kering, kemudian dilakukan penggilingan untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil, kemudaian dilakukan pengayakan untuk mendapatkan hasil tepung yang lembut

  Sifat kimia tepung talas belitung sangat dipengaruhi oleh umbi talas belitung segar dan kondisi selama proses pembuatan tepung. Komposisi kimia tepung talas belitung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Tepung Talas Belitung dalam 100 gram Bahan Koposisi Kimia Jumlah %bb %bk

  Air 9,2 10,16 Abu 1,94 2,13 Protein 4,43 4,88 Lemak 0,84 0,92 Karbohidrat 83,57 92,06 Energi (kkal) 359,56 -

  Sumber : Indrasty (2004)

2.4 Cookies Tepung Talas Belitung

  Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah, dan apabila dipatahkan penampang bertekstur kurang padat (BSN, 1992). Syarat mutu Cookies tercantum pada tabel berikut ini.

Tabel 2.4 Syarat Mutu Cookies menurut SNI No. 01-2973-1992 Kriteria Uji Klasifikasi

  Kalori (Kak/100 gram) Minimum 400 Air (%) Maksimum 5 Protein (%) Minimum 9 Lemak (%) Minimum 9,5 Karbohidrat (%) Minimum 70 Abu (%) Maksimum 1,5 Serat kasar (%) Maksimum 0,5 Logam berbahaya Negative Bau dan rasa Normal tidak tengik Warna Normal

   Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 1992

  Cookies talas belitung adalah cookies yang dibuat dengan memanfatkan tepung

  talas belitung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indrasti (2004), kandungan gizi cookies tepung talas belitung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.5 Komposisi Gizi Cookies dengan Penambahan Berbagai Variasi Tepung Talas Belitung Jumlah Cookies Cookies Cookies Cookies Komposisi Penambahan Penambahan Penambahan Penambahan Gizi Tepung Talas Tepung Talas Tepung Talas Tepung Talas Belitung 20% Belitung 40% Belitung 60% Belitung 80%

  Air 2,07 2,20 2,99 3,09 Abu 2,87 3,26 3,25 3,39 Protein 7,42 6,99 5,98 5,22 Lemak 23,42 24,14 24,99 23,84 Karbohidrat 66,41 65,51 65,81 67,46 Energi 495,03 496,88 497,02 490,66

  Sumber : Indrasti (2004)

  Secara umum, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies yaitu

  bahan pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan pengikat atau pembentuk adonan yang kompak adalah tepung, susu, putih telur dan air. Sedangkan bahan pelembut terdiri

dari gula, kuning telur, shortening dan bahan pengembang. Dalam adonan tepung

  berfungsi membentuk tekstur, mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya (Matz, 1978 dalam Saputra, 2008). secara merata, serta berperan membentuk cita rasa Bermacam macam tepung dapat digunakan dalam pembuatan cookies ini.

  Tepung terigu lunak (8-10% protein) sangat tepat untuk menghasilkan kue kering yang bermutu tinggi. Tepung ini relatif lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi, sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan dalam Saputra, 2008). lebih sedikit cairan (Shafer dan Zabik, 1978

  Penggunaan tepung terigu dalam pembuatan cookies dapat dicampur dengan tepung lain. Dalam hal ini, tepung yang digunakan yaitu tepung terigu 60%, tepung talas belitung 40%. Cookies dengan kandungan 40% tepung talas belitung tidak berbeda nyata dengan cookies yang beredaran dipasaran, yang berarti masih dapat diterima dengan baik oleh konsumen (indrasti, 2004).

  Lemak biasa digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberi flavor (Matz, 1978 dalam saputra 2008). Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat, serta untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyabar rata pada adonan (Indrasti,2004).

  Untuk membangkitkan rasa lezat dan efek manis bahan-bahan lain yang digunakan untuk membuat biskuit yaitu gula dan garam. bila terlalu banyak gula adonan menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras dan akan terlalu manis. Sedangkan penambahan garam pada sebagian besar formula biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk Kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz, 1978 dalam Saputra, 2008).

  Pembuatan biskuit, membutuhkan air dan baking powder. Baking powder digunakan sebagai pengembang adonan sedangkan air berfungsi memungkinkan terjadinya gluten, mengontrol kepadatan adonan, mengontrol suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung, membasahi dan mengembangkan pati, dan dapat mempertahankan rasa lezat kue lebih lama (Matz, 1978 dalam Saputra 2008).

  Menurut Whiteley (1971) dalam saputra (2008), ada dua metode dasar pencampuran adonan cookies, yaitu metode krim (creaming method) dan metode all-

  

in . Pada metode krim semua bahan tidak dicampur secara langsung, melainkan

  dicampur terlebih dahulu, berturut-turut lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan essens, kemudian ditambahkan susu, diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Sedangkan metode pembuatan cookies dengan metode all-in yaitu semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 220°C selama 12- 15 menit (Sultan, 1983 dalam Saputra, 2008).

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

  Cookies dengan penambahan 40%

  tepung talas belitung (Xanthosoma

  sagittifolium )

  Tepung talas belitung (Xanthosoma sagittifolium)

  • Lemak, Protein, Serat kasar dan Karbohidrat- amilosa)

  Kandungan Gizi (Air, Abu,

  • Gambar 2.2 Kerangka Konsep

  Nilai Indeks Glikemik

  Berdasarkan kerangka konsep diatas, tepung talas belitung akan diolah menjadi

cookies dengan penambahan 40% tepung talas belitung (xantosoma sagittifolium).

  

Cookies tepung talas belitung yang akan diukur IG-nya terlebih dahulu dianalisis

  profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan kandungan karbohidrat serta kadar amilosanya. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya, relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan cookies talas belitung yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan acuan.