BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu - Analisis Pengaruh Kemampuan Individu dan Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja dengan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Pada Pegawai kependidikan Politeknik Negeri Lhokseumawe

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

  dan Kemampuan Emosional terhadap Kinerja Auditor melalui Kepuasan Kerja sebagai Variabel intervening. Penelitian ini mengunakan sampel 76 orang dengan menggunakan metode analisi jalur (path analysis) regresi berganda, menunjukan bahwa kamampuan intelektual dan kemampuan emosional berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja.

  Yunanda (2008), penelitiannya yang berjudul Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja dan kinerja karyawan Perum Jasa Tirta I Malang, dengan jumlah sampel 50 orang menggunkan metode analisi jalur (path analysis) regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa Lingkungan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.

  Setiawan et. al (2010), penelitianya yang berjudul Pengaruh Karakteristik Individu dan Faktor-Faktor Pekerjaan Terhadap Motivasi (Studi Pada Karyawan CV. Bintang Timur Semarang), dengan menggunakan analisis jalur regresi linier berganda dengan jumlah sampel 50 orang didapat bahwa, karakteristik individu dengan indicator, kebutuhan individual, kemampuan dan kompentensi, pengetahuan tentang pekerjaan dan emosi, suasana hati, perasaan keyakinan dan nilai-nilai. Hasil penelitian menunjukan kemampuan dan kompetensi berpengaruh signifikan terhadap motivasi. Faktor-faktor pekerjaan dengan indikator : lingkungan pekerjaan antara lain: lingkungan fisik dan non fisik hasil penelitian menunjukan lingkungan fisik dan non fisik berpengaruh signifikan terhadap motivasi.

  Badjuri (2009), Pengaruh Komitmen Organisasional dan Profesional Terhadap Kepuasan Kerja Auditor dengan Motivasi sebagai Variable Intervening, bahwa terdapat pengaruh langsung yang signifikan motivasi sebagai intervening terhadap kepuasan kerja, pengaruh tidak langsung motivasi sebagai variable intervening terhadap kepuasan positif dan signifikan, namun pengaruh langsung komitmen organisasional terhadap kepuasan lebih besar dari pada pengaruh tidak langsung komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja melalui motivasi.

  Dapat disimpulkan bahwa pengaruh langsung komitmen organisasional terhadap kepuasan adalah pengaruh sebenarnya.

  Aprilia (2009) judul penelitan Analisis Kompensasi dan Motivasi sebagai Variabel Intervening Dalam Pengaruhnya Terhadap Kepuasan kerja Pada PT Argo Pantes, Tbk. Dengan sampel penelitian sejumlah 70 orang, Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas, uji reliabilitas, analisis nilai rata-rata, dan analisis jalur (path analysis). Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa kompensasi dapat berpengaruh secara langsung terhadap kepuasan kerja dan dapat juga berpengaruh tidak langsung yaitu dari kompensasi ke motivasi (sebagai variabel intervening) lalu ke kepuasan kerja, namun koefisien pengaruh langsung lebih besar daripada koefisien pengaruh tidak langsung jadi pengaruh yang sebenarnya antara pengaruh dari kompensasi terhadap kepuasan kerja adalah pengaruh langsung.

  Firman et al (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Prestasi Kerja Staf Perusahaan Konstruksi dengan metode SEM, responden sebanyak 127 orang (staf perusahaan konstruksi) dengan variabel-variabel berupa karakteristik individu, kemampuan individu, motivasi, berpengaruh secara langsung terhadap prestasi kerja staf. Karakteristik individu ini memberikan pengaruhnya terhadap prestasi kerja melalui peningkatan kemampuan individu serta pemberian motivasi kerja yang kemudian menuju pada kepuasan kerja staf perusahaan konstruksi.

  Hunjra et al. (2010) dalam studinya yang berjudul Factors Effecting Job

  

Satisfaction Of Employees In Pakistani Banking Sector, dengan responden

  sebanyak 450 orang yang bekerja pada industri perbankan di Rawalpindi- Islamabad-Lahore, melalui statistic regresi, korelasi dan uji T, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara lingkungan kerja dan kepuasan kerja, job autonomy dan perilaku kepemimpinan.

  Ahmed et al. (2010) melakukan studi yang berjudul Effects of Motivational

  

Factors on Employees Job Satisfaction a Case Study of University of the Punjab,

Pakistan, dengan jumlah responden sebanyak 400 orang staf non-akademik serta

  menggunakan peralatan statistik berupa Structural Equation Modelling atau SEM (Factor analysis, path analysis dan regressi), dapat dijelaskan hasilnya bahwa perilaku karyawan yang didasarkan dari motivasi yang bersangkutan dalam bekerja, ternyata memainkan peran penting dalam meningkatkan kepuasan karyawan .

2.2 Landasan Teoritis

2.2.1 Kemampuan Individu

  Kemampuan secara umum dapat diartikan sebagai kompetensi. Kemampuan

akan mendasari kemampuan kerja di perusahaan yang akhirnya kemampuan

dengan puas tidaknya seseorang akan pekerjaannya. Robbins (2006) menjabarkan

  mengenai kemampuan individu Kemampuan (ability) adalah kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu. Sedangkan Gibson (2002), mendefinisikan kemampuan sebagai potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan maupun tugas-tugas sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Jadi, hasil suatu pekerjaan akan ditentukan oleh . kemampuan yang dimiliki seorang pegawai Robbins (2006), kemampuan keseluruhan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua faktor yaitu antara lain : kemampuan intelektual (IQ) dan kemampuan fisik.

2.2.1.1 Kemampuan Intelektual (IQ)

  Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mental. Tes IQ misalnya, dirancang untuk memastikan kemampuan intelektual umum seseorang. Pekerjaan membebankan tuntutan- tuntutan berbeda kepada pelaku untuk menggunakan kemampuan intelektual. Pada dasawarsa terakhir ini, makna intelgensia berkembang dan dipahami menjadi lebih baik ketika diuraikan menjadi empat sub bagian; kognitif, social, emosi dan budaya.

  Metode multi intelgensia tersebut dirasakan akan lebih komprehensif dalam pembahasan kemampuan intelektual. Menurut Robbins (2006) ada 7 dimensi yang membentuk kemampuan intelektual :

  1. Kecerdasan numeric adalah kemempuan berhitung dengan cepat dan tepat 2.

  Pemahaman verbal yaitu kemampuan memahami apa yang dibaca atau didengar Kecepatan perceptual yaitu kemampuan mengenal kemiripan dan perbedaan visual dengan cepat dan tepat

  4. Penalaran induktif kemampuan mengenal suatu urutan logis dalam satu masalah dan pemecahaanya

  5. Penalaran deduktif yaitu kemampuan menggunakan logika dan menilai implikasi dari suatu argumen

  6. Visualisasi ruang yaitu kemampuan membayangkan bagaimana suatu obyek akan tampak seandainya posisi dalam ruang diubah

  7. Ingatan adalah berupa kemampuan menahan dan mengenang pengalaman masa lalu.

2.2.1.2 Kemampuan Fisik

  Kemampuan fisik adalah kemampuan menjalankan tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik-karakteristik serupa. Setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda. Individu yang sehat dan kuat berpeluang menyelesaikan tugas dan kewajiban dengan baik. Terdapat sembilan kemampuan fisik dasar (Robbins, 2006) yaitu terdiri dari: faktor-faktor kekuatan (dinamik, otot bawah, statis dan eksposif), faktor-faktor fleksibilitas (jangkauan dan dinamik), serta faktor-faktor lain (koordinasi tubuh, keseimbangan, dan stamina).

2.2.1.3 Kemamapuan Emosional (EQ)

  Kemampuan tidak hanya meliputi kemampun intelektual (IQ) namun juga

meliputi kemampuan kecerdasan emosional. Robbins (2006), menyatakan bahwa

  I

baik dengan mengurai menjadi : kognitif,social, emosi dan budaya. Lebih lanjut

Robbins (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan

untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengelola emosi.

  Kemampuan emosi atau emotional int e lligence (EQ) menunjukkan potensi

untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima

unsurnya: kesadaran diri , motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam

membina hubungan dengan orang lain . Kemampuan emosi menunjukkan berapa

banyak potensi itu telah diterjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja

(Goleman 2006).

  Cooper dan Sawaf (2003) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara yang tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini meliputi atasan, rekan kerja, bawahan dan juga pelanggan. Covey (2005) mengartikan kecerdasan

  

emosional sebagai kemampuan seseorang untuk memantau perasaan dan emosi, baik

pada diri sendiri maupun pada orang lain. Selanjutnya Covey menyebutkan ada lima

komponen utama kecerdasan emosional yang telah umum diterima yaitu: 1.

  Kesadaran diri, yakni kemampuan untuk merefleksikan kehidupan diri sendiri, menumbuhkan pengetahuan mengenai diri sendiri, dan mengunakan pengetahuan tersebut untuk memperbaiki diri, serta untuk mengatasi kelemahan.

  2. Motivasi pribadi, yakni yang berkaitan dengan apa yang menjadi pemicu semangat seseorang, visi, nilai-nilai, tujuan, harapan, hasrat, dan gairah yang menjadi prioritas-prioritas mereka.

  3. Pengaturan diri atau kemampuan untuk mengelola diri sendiri agar mampu mencapai visi dan nilai-nilai pribadi.

  4. Empati, kemampuan untuk memahami cara orang lain melihat dan merasakan berbagai hal.

  5. Kemampuan sosial dan komunikasi, yakni yang berkaitan dengan bagaimana cara mengatasi perbedaan, memecahkan masalah, menghasilkan solusi-solusi kreatif, dan berinteraksi secara optimal untuk mengejar tujuan-tujuan bersama.

  Goleman (2006) menyatakan terdapat lima dimensi atau komponen kecerdasan emosional (EQ) yang keseluruhannya diturunkan menjadi dua puluh lima kompetensi. Kelima dimensi atau komponen tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pengenalan diri (Self awareness), artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih disukai, dan intuisi. Kompetensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri.

  2. Pengendalian diri (self regulation), artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri. Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan negatif, menjaga norma kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan, dan terbuka terhadap ide- ide serta informasi baru.

  3. Motivasi (motivation), artinya dorongan yang membimbing atau membantu peraihan sasaran atau tujuan. Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.

  4. Empati (empathy), yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan

  

others, developing others, customer service , menciptakan kesempatan-

  kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.

  5. Keterampilan sosial (social skills), artinya kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki oleh orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building.

  EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan, ketekunan dan menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain. Ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju tingkat prestasi yang lebih baik.

2.2.2 Lingkungan Kerja

  Prestasi kerja dan kepuasan kerja Faktor lain yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja adalah lingkungan kerja. Menurut Rivai (2005) lingkungan kerja merupakan elemen-elemen organisasi sebagai sistem sosial yang mempunyai berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan prestasi organisasi . Lingkungan kerja meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Lingkungan fisik seperti kebisingan, tata ruang dan peralatan. Sedangkan yang mencakup lingkungan sosial budaya meliputi status, sistem administrasi, hubungan sosial, kebijakan dan kepemimpinan.

  Nitisemito (2001) menjelaskan pengertian lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang berada di sekitar pekerja yang dapat mempengaruhi individu dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Lebih lanjut bahwa keberadaannya dalam lingkungan kerja terkait perwarnaan, kebersihaan, pertukaran udara, penerangan, music, keamanan dan kebisingan. Bangunan tempat melakukan aktivitas bagi karyawan dalam hal ini juga merupakan variabel yang mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan. Bangunan tempat usaha dapat dikategorikan sebagai lingkungan kerja karyawan secara fisik dengan mengingat bahwa setiap hari kerja karyawan yang bersangkutan memang berada dalam lingkup bangunan tempat bekerja.

  Triguno (2003) mendefinisikan lingkungan kerja adalah sarana dan prasaranan yang ada di tempat karyawan bekerja dan dapat mempengaruhi motivasi karyawan di dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Hal yang sama juga diutarakan oleh Siagian (2004), bahwa lingkungan kerja memerlukan adanya sarana dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan merupakan kondisi kerja yang kondusif. Faktor lain di dalam lingkungan kerja dalam perusahaan yang juga tidak boleh diabaikan adalah karyawan ini juga ikut menentukan tingkat produktivitas kerja dari para karyawan (Ahyari, 2000)

  Lingkungan yang sehat merupakan lingkungan yang harus memenuhi beberapa unsur lingkungan sehat sebagaimana dikemukakan oleh Budiharjo (2002) antara lain; kebersihan, kerapian, kesehatan dan keamanan. Kebersihan merupakan salah satu unsur lingkungan yang sehat dengan alasan bahwa lingkungan yang bersih merupakan suatu lingkungan yang terbebas dari berbagai hal yang dapat menyebabkan terjangkitnya suatu penyakit. Kerapian merupakan salah satu unsur lingkungan yang sehat dengan alasan bahwa kerapian menyangkut kondisi yang dapat diindera dengan indera penglihatan, sedang indera penglihatan memang terkait erat dengan kerja otak sehingga secara otomatis juga mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kejadian stress kerja karyawan. Demikian halnya dengan kesehatan, untuk mampu memberikan unsur-unsur kesehatan dalam suatu lingkungan yang dimaksud harus memperhatikan beberapa unsur yang mampu mencerminkan kesehatan itu sendiri. Keamanan juga mempunyai kaitan yang erat dengan lingkungan yang sehat dengan pemahaman bahwa lingkungan yang aman akan mampu menciptakan suatu kondisi yang tenang.

2.2.2.1 Lingkungan Kerja Fisik

  Lingkungan kerja, menurut Wursanto (2009) dibedakan menjadi dua macam, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menyangkut segi fisik, dan kondisi lingkungan kerja yang menyangkut segi psikis”. Kondisi lingkungan kerja yang lingkungan kerja. Sedangkan lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan kerja yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, seperti warna, bau, suara, dan rasa.

  Menurut Sedarmayanti (2007), lingkungan kerja fisik adalah semua yang terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendapat serupa juga diutarakan oleh Sudarmanto (2009), bahwa lingkungan kerja fisik adalah tempat kerja pegawai melakukan aktifitasnya. Menurut Sedarmayanti (2007), lingkungan kerja fisik dapat dibagi 2 (dua) katagori, yakni:

  1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya).

  2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, geteran mekanis, bau tidak sedap, warna dan lain-lain.

  Melalui uraian definisi, maka ruang lingkup lingkungan kerja fisik meliputi fasilitas parkir di luar gedung perusahaan, lokasi dan rancangan gedung sampai jumlah cahaya dan suara yang menimpa meja kerja atau ruang kerja seorang tenaga kerja. Hal yang sama diutarakan oleh Nitisemito (2001), bahwa indikator lingkungan kerja meliputi :

  1. Pewarnaan, masalah pewarnaan ini bukan hanya dinding saja tetapi sangat luas sehingga dapat juga pewarnaan mesin, peralatan, bahkan seragam yang

  2. Kebersihan, secara umum tempat kerja yang bersih akan menimbulkan rasa senang dan akan mempengaruhi perasaan dan perilaku orang dalam bekerja.

  3. Penerangan, bukanlah terbatas pada penerangan listrik tetapi juga penerangan matahari. Dalam melaksanakan tugasnya seringkali karyawan membutuhkan penerangan yang cukup, apalagi jika pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian.

  4. Pertukaran udara, yang cukup terutama dalam ruang kerja sangat diperlukan apalagi jika dalam ruangan tersebut penuh dengan karyawan. Pertukaran udara yang cukup akan menyebabkan kesegaran fisik dari para karyawan. Sebaliknya, pertukaran udara yang kurang akan dapat menimbulkan rasa pengap sehingga terjadi kelelahan dari para karyawan, sehingga motivasi karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya menjadi turun.

  5. Musik, berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang. Apabila musik yang didengarkan menyenangkan dan menimbulkan suasana gembira akan mengurangi kelelahan dalam bekerja. Musik yang diperdengarkan adalah yang disukai banyak orang pada ruangan kerja dan iramanya cukup.

  6. Kebisingan, merupakan gangguan terhadap seseorang dimana kebisingan dapat menganggu konsentrasi pekerjaan sehingga bisa timbul kesalahan. Bagi pekerjaan tertentu yang memerlukan konsentrasi maka kebisingan merupakan gangguan yang harus diperhatikan, misalnya suara mesin yang gaduh, suara kendaraan bermotor, dan sebagainya.

  7. Jaminan terhadap keamanan, yang dimaksud adalah keamanan terhadap milik menjaganya, perusahaan perlu memperkerjakan tenaga khusus untuk hal tersebut, seperti satpam/penjaga.

  Pendapat yang relatif berbeda dan simple, disampaikan oleh Robbins (2006), bahwa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik yaitu : 1. Suhu, yaitu suatu variabel dimana terdapat perbedaan individual yang besar.

  Dengan demikian untuk memaksimalkan produktivitas, adalah penting bahwa pegawai bekerja di suatu lingkungan dimana suhu diatur sedemikian rupa sehingga berada diantara rentang kerja yang dapat diterima setiap individu.

  2. Kebisingan, Bukti dari telaah-telaah tentang suara menunjukkan bahwa suara- suara yang konstan atau dapat diramalkan pada umumnya tidak menyebabkan penurunan prestasi kerja sebaliknya efek dari suara-suara yang tidak dapat diramalkan memberikan pengaruh negatif dan mengganggu konsentrasi pegawai.

  3. Penerangan, Bekerja pada ruangan yang gelap dan samara-samar akan menyebabkan ketegangan pada mata. Intensitas cahaya yang tepat dapat membantu pegawai dalam mempelancar aktivitas kerjanya. Tingkat yang tepat dari intensitas cahaya juga tergantung pada usia pegawai. Pencapaian prestasi kerja pada tingkat penerangan yang lebih tinggi adalah lebih besar untuk pegawai yang lebih tua dibanding yang lebih muda.

  4. Mutu Udara, merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan bahwa jika menghirup udara yang tercemar membawa efek yang merugikan pada pegawai. Udara yang tercemar di lingkungan kerja dapat menyebabkan sakit kepala, mata perih, kelelahan, lekas marah, dan depresi.

  Selain pendapat diatas, komponen lingkungan kerja fisik juga diawali dari ruang kerja yang bersangkutan. Robbins (2006) juga menjelaskan bahwa komponen rancangan ruang kerja meliputi : 1. Ukuran ruang kerja, ruang kerja sangat mempengaruhi kinerja karyawan.

  Ruang kerja yang sempit akan membuat pegawai sulit bergerak untuk melakukan aktivitasnya. Ruang kerja karyawan pada dasarnya tidak hanya digunakan untuk karyawan itu sendiri maupun rekan kerja satu ruang, namun juga akan dimanfaatkan oleh pihak lain yang datang untuk melakukan kordinasi atau sebagai partner dan mitra kerja. Oleh karena itu, ruang kerja harus proporsional dengan peran karyawan dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Sebagai contoh, karyawan yang berada pada departemen humas akan lebih banyak membutuhkan space dibandingkan dengan karyawan yang bekerja sebagai tenaga operator server.

  2. Pengaturan ruang kerja, jika ruang kerja merujuk pada besarnya ruangan per karyawan, maka pengaturan ruang kerja akan berkorelasi antara jarak orang dan fasilitas. Pengaturan ruang kerja itu penting karena sangat mempengaruhi interaksi social. Dalam berbagai riset, lebih memungkinkan berinteraksi dengan invidu-individu yang dekat secara fisik. Lokasi ruang kerja pada dasarnya tiap orang atau departemen akan berbeda. Semakin banyak orang atau departemen tersebut berinteraksi dengan pihak interen dan eksteren dekat dengan para mitranya.

  3. Privasi, sebagian merupakan fungsi dari besarnya ruang per orang dan pengaturan ruang itu. Namun privasi juga dipengaruhi oleh dinding, partisi dan sekatan-sekatan fisik lainnya. Salah satu trend rancangan ruang kerja yang paling tersebar luas di tahun-tahun terakhir adalah menghapuskan setahap demi setahap kantor-kanto yang tertutup dan menggantikannya dengan rancangan kantor yang memiliki sedikit, kalau ada, dinding atau pintu. Ruang tertutup akan membatasi interaksi. Namun disisi lain, ruang privasi sangat dibutuhkan bagi perusahaan yang memperkejakan karyawan yang menuntut konsentrasi tinggi dan cenderung terpish dari yang lain.

2.2.2.2 Lingkungan Kerja Non Fisik

  Faktor lain di dalam lingkungan kerja perusahaan yang juga tidak boleh diabaikan adalah hubungan karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan tersebut. Hubungan karyawan ini juga ikut menentukan tingkat produktivitas kerja dari para karyawan (Ahyari, 2000). Hubungan antara karyawan termasuk kedalam lingkungan kerja non fisik.

  Sedarmayanti (2007), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”. Wursanto (2009) menyebutnya sebagai lingkungan kerja psikis yang didefinisikan

  Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa lingkungan kerja non fisik disebut juga lingkungan kerja psikis, yaitu keadaan di sekitar tempat kerja yang bersifat non fisik. Lingkungan kerja semacam ini tidak dapat ditangkap secara langsung dengan pancaindera manusia, namun dapat dirasakan keberadaannya. Jadi, lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan kerja yang hanya dapat dirasakan oleh perasaan. As’ad (2001) berpendapat bahwa lingkungan non fisik merupakan suasana lingkungan kerja yang tercipta dari hubungan antara karyawan dengan lingkungan fisik pekerjaan yang dihadapi karyawan.

  Berdasarkan pendapat dan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa lingkungan kerja non fisik adalah lingkungan kerja yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera manusia. Akan tetapi, lingkungan kerja non fisik ini dapat dirasakan oleh para pekerja melalui hubungan-hubungan sesama pekerja maupun dengan atasan. Lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan kerja yang tidak dapat terdeteksi oleh panca indera manusia, namun dapat dirasakan. Beberapa macam lingkungan kerja yang bersifat non fisik menurut Wursanto (2009) disebutkan yaitu:

  1. Perasaan aman pegawai, merupakan rasa aman dari berbagai bahaya yang dapat mengancam keadaan diri pegawai, yang mungkin timbul pada saat menjalankan tugasnya. Bahkan rasa aman tersebut juga melingkupi dari pemutusan hubungan kerja yang dapat mengancam penghidupan diri dan keluarganya serta rasa aman dari bentuk intimidasi ataupun tuduhan dari adanya kecurigaan antar pegawai. atau organisasi maupun terhadap pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Loyalitas ini terdiri dari dua macam, yaitu loyalitas yang bersifat vertikal dan horizontal. Loyalitas yang bersifat vertikal yaitu loyalitas antara bawahan dengan atasan atau sebaliknya antara atasan dengan bawahan. Loyalitas ini dapat terbentuk dengan berbagai cara, antara lain : melakukan kunjungan atau silaturahmi ke rumah pegawai oleh pimpinan atau sebaliknya, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan seperti arisan. Selain itu, keikutsertaan pimpinan untuk membantu kesulitan pegawai dalam berbagai masalah yang dihadapi pegawai. Bahkan membela kepentingan pegawai selama masih dalam koridor hukum yang berlaku, termasuk melindungi bawahan dari berbagai bentuk ancaman. Sementara itu, loyalitas bawahan dengan atasan dapat dibentuk dengan kegiatan seperti open house, memberi kesempatan kepada bawahan untuk bersilaturahmi kepada pimpinan, terutama pada waktu-waktu tertentu seperti hari besar keagamaan seperti lebaran, hari natal atau lainnya. Loyalitas yang bersifat horisontal merupakan loyalitas antar bawahan atau antar pimpinan. Loyalitas horisontal ini dapat diwujudkan dengan kegiatan seperti kunjung mengunjungi sesama pegawai, bertamasya bersama, atau kegiatan lainnya.

  3. Kepuasan pegawai, merupakan perasaan puas yang muncul dalam diri pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Perasaan puas ini meliputi kepuasan karena kebutuhan social dan psikologisnya berjalan dengan baik dan terpenuhi. yang hanya dapat dirasakan oleh pegawai. Karena itu, lingkungan kerja yang dapat memberikan perasaan-perasaan aman dan puas dapat mempengaruhi perilaku pegawai ke arah yang positif sebagaimana yang diharapkan oleh organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Wursanto (2009) bahwa “tugas pimpinan organisasi adalah menciptakan suasana kerja yang harmonis dengan menciptakan human relations sebaik-baiknya”. Karena itulah, maka pimpinan menjadi faktor yang dapat menciptakan lingkungan kerja non fisik dalam lingkup organisasi.

  Usaha menciptakan lingkungan kerja non fisik menjadi tanggung jawab pimpinan yang dapat diciptakan dengan menciptakan human relations yang sebaik- baiknya. Karena itulah maka untuk menciptakan lingkungan kerja non fisik tersebut, dapat diusahakan dengan menciptakan human relations yang baik. Selain itu, pimpinan juga dapat menyediakan pelayanan kepada pegawai sehingga pegawai merasa aman dan nyaman di dalam organisasi karena kebutuhan psikologisnya dapat terpenuhi.

  Human Relations dapat diartikan dengan hubungan antar manusia dalam

  sebuah organisasi, karena pegawai secara individu merupakan manusia. Gibson (2002) berpendapat dalam arti luas ialah interaksi antara seseorang dengan orang lain dalam segala situasi dan dalam sebuah bidang kehidupan atau Interpersonal

  

communication untuk membuat orang lain mengerti dan menaruh simpati”.

  Selanjutnya Handoko (2001) berpendapat bahwa interpersonal communication adalah interaksi tatap muka antar dua orang atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima interaksi antara satu anggota atau lebih anggota organisasi, dimana aktivitas tersebut diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi.

  Selain human relation, pemberian dan peningkatan fasilitas pelayanan bagi karyawan yang bersifat suplementer dimaksudkan agar karyawan tenteram dalam bekerja. Program pelayanan ini merupakan bentuk program pemeliharaan karyawan. Pemeliharaan merupakan suatu langkah perusahaan dalam mempertahankan karyawan agar tetap bekerja dengan baik dan produktif, dengan cara memperhatikan kondisi fisik, mental dan sikap karyawannya, agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Pelayanan karyawan ini merupakan salah satu faktor untuk pembentukan lingkungan kerja karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan, terutama lingkungan kerja non fisik. Dengan pelayanan karyawan (oleh perusahaan) yang baik maka para karyawan akan memperoleh kepuasan dalam menyelesaikan pekerjaannya.

  Hakikat karyawan adalah manusia yang ingin dihargai. Dengan disediakannya kebutuhan karyawan oleh kantor, karyawan tersebut akan merasa diperhatikan kepentingannya. Sebagai imbalan dari apa yang diberikan, karyawan akan semakin bersemangat kerja. Hanya saja jangan berlebihan karena hal ini akan mengakibatkan karyawan akan menjadi manja dan jika kurang akan menimbulkan rasa tidak puas.

  Rivai (2005) berpendapat bahwa pemeliharaan karyawan dilakukan dengan tujuan baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan itu sendiri. Bagi perusahaan, produktivitas kerjanya, mendisiplinkan diri, memperkecil tingkat absensi, menumbuhkan loyalitas, mengurangi konflik dan menciptakan suasana yang harmonis serta mengefektifkan proses pengadaan karyawan. Sedangkan tujuan bagi karyawan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dan keluarganya; memberikan ketenangan, keamanan, sreta menjaga kesehatan karyawan; memperbaiki kondisi fisik, mental, dan sikap karyawan.

  Pelayanan atau pemeliharaan karyawan yang kurang pada tempatnya akan mengakibatkan berbagai macam kerugian dari perusahaan yang bersangkutan.

  Pelayanan untuk para karyawan perusahaan yang diberikan lebih dari semestinya oleh perusahaan juga akan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap para karyawan tersebut. Selanjutnya untuk melihat baik buruknya fasilitas pelayanan karyawan akan dilihat dari pelayanan kantin, pelayanan kesehatan dan pelayanan kamar mandi/WC. Sedangkan pelayanan secara non fisik yaitu disediakannya kesempatan untuk menyampaikan pendapat atau ide, maupun kesempatan untuk mengungkapkan permasalahan yang sedang dihadapi pegawai.

  Kajian tentang lingkungan kerja non fisik sebagaimana diuraikan di atas bertujuan untuk membentuk sikap pegawai. Sikap yang diharapkan tentunya adalah sikap positif yang mendukung terhadap pelaksanaan kerja yang dapat menjamin pencapaian tujuan organisasi. Sehubungan dengan masalah pembentukan sikap, Wursanto (2009) mengemukakan bahwa unsur penting dalam pembentukan sikap dan perilaku, yaitu adalah sebagai berikut :

  1. Pengawasan yang dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan sistem 2. Suasana kerja yang memberikan dorongan/semangat kerja yang tinggi.

  3. Sistem pemberian imbalan (gaji maupun insentif lain) yang menarik.

  4. Perlakuan dengan baik, manusiawi, tidak disamakan dengan robot atau mesin, kesempatan untuk mengembangkan karier semaksimal mungkin sesuai dengan batas kemampuan masing-masing anggota.

  5. Ada rasa aman dari para anggota, baik di dalam dinas maupun di luar dinas.

  6. Hubungan berlangsung secara serasi, lebih bersifat informal, penuh kekeluargaan.

  7. Para anggota mendapat perlakuan secara adil dan objektif.

  Pendapat lain dikemukakan oleh Rivai (2005) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan internal karyawan atau sumber daya manusia meliputi serikat kerja, sistem informasi, karakter/budaya organisasi, dan konflik-konflik internal. Pendapat tersebut jika disimak cenderung mengarah ke lingkungan kerja non fisik. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja non fisik.

  Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, maka untuk dapat mengetahui lingkungan kerja non fisik dapat dilihat dari pelaksanaan pengawasan, suasana kerja (konflik-konflik), sistem pemberian imbalan, perlakuan, perasaan aman

  (serikat kerja), hubungan antar individu (sistem informasi), dan perlakuan adil dan objektif. Beberapa hal tersebut kemudian digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan lingkungan kerja non fisik.

  Pada prinsipnya individu karyawan termotivasi untuk melaksanakan tugas- tugasnya tergantung dari kuatnya motif yang mempengaruhinya. Karyawan adalah manusia dan mahluk yang mempunyai kebutuhan dalam (innerneeds) yang banyak sekali. Kebutuhan-kebutuhan ini membangkitkan motif yang mendasari aktivitas individu. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan.

  Pentingnya motivasi karena menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Menurut Terry dan Rue dalam Suharto dan Budi Cahyono (2005) mengatakan bahwa motivasi adalah “…getting a person to exert a high degree of

  

effort…” yang artinya adalah “motivasi membuat seseorang untuk bekerja lebih

  berprestasi”. Nugroho (2003), menyebutkan bahwa motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan- kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Dapat juga diartikan sebagai pemberi daya penggerak yang menciptakan kegairahan seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan.

  Menurut Luthans, dkk (dikutip Rivai, 2005), sumber motivasi berasal dari

dalam diri (intrinsic). Motivasi muncul karena adanya kebutuhan dari dalam diri

seseorang yang harus terpenuhi.

2.2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi

  Menurut Robbins (2006) teori motivasi hierarki kebutuhan yang diungkapkan

Abraham Maslow mengatakan bahwa didalam diri semua manusia bersemayam lima

jenjang kebutuhan yaitu sebagai berikut.

  1. Psikologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan) dan kebutuhan jasmani lain.

  2. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional 3.

   Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki diterima baik, dan persahabatan 4. Penghargaan, antara lain mencakup factor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi dan prestasi, serta factor penghormatan dari luar seperti minsalnya status, pengakuan dan perhatian 5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi seseorang/sesuatu sesuai ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapain potenasi, dan pemenuhan kebutuhan diri. Apabila berbagai macam kebutuhan itu dapat terpenuhi maka akan

menstimulasi seseorang untuk berprestasi lebih baik. Oleh karena itu, motivasi utama

seseorang bekerja di perusahaan adalah untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan

tersebut. Memberikan motivasi kepada pegawai oleh pimpinannya merupakan proses kegiatan pemberian motivasi kerja, sehingga pegawai tersebut berkemampuan untuk pelaksanaan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab.

  Tanggung jawab adalah kewajiban bawahan untuk melaksanakan tugas sebaik mungkin yang diberikan oleh atasan, dan inti dari tanggung jawab adalah kewajiban tidaklah begitu sukar, namun dalam praktiknya pemberian motivasi jauh lebih rumit, menurutnya kerumitan itu disebabkan oleh:

1. Kebutuhan yang tidak sama pada setiap pegawai, dan berubah sepanjang waktu.

  Disamping itu perbedaan kebutuhan pada setiap taraf sangat mempersulit tindakan motivasi para manajer. Dimana sebagian besar para manajer yang ambisius, dan sangat termotivasi untuk memperoleh kepuasan dan status, sangat sukar untuk memahami bahwa tidak semua pegawai mempunyai kemampuan dan semangat seperti yang dia miliki, sehingga manajer tersebut menerapkan teori coba-coba untuk menggerakkan bawahannya.

  

2. Feeling dan emotions yaitu perasaan dan emosi. Seseorang manajer tidak

memahami sikap dan kelakuan pegawainya, sehingga tidak ada pengertian terhadap tabiat dari perasaan, keharusan, dan emosi. Menurut Hook (2006) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi

teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas ( motivation

factor ) yang disebut juga dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas

yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong untuk berprestasi yang

bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrisik) antara lain:

1. Prestasi yang diraih ( achievement) 2.

  Pengakuan orang lain (recognition)

  3. Tanggung jawab ( responsibility) 4.

  Peluang untuk maju (advancement) 5. Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self) 6. Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth) Sedangkan factor pemeliharaan (maintenance factor) disebut juga hygiene

factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk

memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan

kesehatan. Faktor itu disebut dissatisfier ( sumber ketidakpuasan ) yang merupakan

tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah dikualifikasikan kedalam faktor

ekstrinsik, antarlain:

  1. Kompensasi 2.

  Keamanan dan keselamatan kerja 3. Kondisi kerja 4. status 5. Prosedur perusahaan 6. Mutu dari supervise teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, dengan atasan dan dengan bawahan.

  Parijuwana (2006), menjelaskan bahwa seorang karyawan yang merasa keinginan, kebutuhan dan hasratnya terpenuhi (kepuasan), maka karyawan tersebut baru akan memiliki motivasi untuk bekerja dan motivasi tersebut dapat menciptakan kegairahan seseorang bekerja sama agar mereka mau bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya dan upaya untuk mencapai kepuasan. Seseorang akan merasa puas dengan apa yang dia kerjakan apabila yang menjadi motivasi kerja orang itu terpenuhi.

2.2.4 Kepuasan Kerja

  Menurut Rivai (2005), kepuasan kerja pada dasarnya bersifat individual. Setiap

individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai

yang berlaku dalam dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai

dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut.

  

Dengan kata lain, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas

perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Hal

yang hampir sama juga dikemukakan oleh Kotler (2002) dimana kepuasan kerja

diartikan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah

membandingkan antara persepsi/kerjanya terhadap kinerja suatu produk dan harapan-

harapannya.

  Kepuasan kerja pada dasarnya merujuk pada seberapa besar seorang pegawai menyukai pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan sikap umum pekerja tentang pekerjaan yang dilakukannya, karena pada umumnya apabila orang membahas tentang sikap pegawai, yang dimaksud adalah kepuasaan kerja (Robbins, 2006). Pekerjaan merupakan bagian yang penting dalam kehidupan seseorang, sehingga kepusan kerja juga mempengaruhi kehidupan seseorang. Oleh karena itu kepuasan kerja adalah bagian kepuasaan hidup.

  Handoko (2001), mengemukakan bahwa kepuasan kerja penting karena hal itu dapat menciptakan keadaan positif dalam lingkungan kerja perusahaan. Bagi mereka, kepuasan kerja dapat menimbulkan peningkatan kebahagian hidup, sedangkan bagi perusahaan kepuasan kerja dapat meningkatkan produktivitas sehingga akan tercapai apa yang menjadi sasaran suatu perusahaan.

  Gibson (2002), kepuasan kerja muncul apabila karyawan merasa telah

mendapatkan imbalan yang cukup memadai. Kepuasan kerja tergantung pada hasil

instrinsik, ekstrinsik, dan persepsi karyawan terhadap pekerjaannya, sehingga kepuasan

kerja adalah tingkat dimana seorang karyawan merasa positif atau negatif tentang

berbagai segi dari pekerjaan, tempat kerja dan hubungan dengan teman kerja.

  Adapun salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya ialah dengan membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori kesenjangan). Kepuasan kerja dapat dirumuskan sebagai respons umum pekerja berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi atau perusahaan mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi ditempatnya bekerja. Kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dengan kenyataan yang ditemui dan didapatkannya dari tempatnya bekerja.

  Kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkannya di tempat bekerja. Persepsi pekerja mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan. Dalam persepsi ini juga dilibatkan situasi kerja pekerja yang bersangkkutan yang meliputi interaksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan, dan kesempatan promosi. Selain itu di dalam persepsi ini juga tercakup kesesuaian dengan antara kemampuan dan keinginan pekerja dengan kondisi organisasi tempat mereka bekerja yang meliputi jenis pekerjaan, minat, bakat, penghasilan, dan insentif.

  Seorang karyawan yang merasa keinginan, kebutuhan dan hasratnya terpenuhi (kepuasan), maka karyawan tersebut baru akan memiliki motivasi untuk sama agar mereka mau bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya dan upaya untuk mencapai kepuasan. Seseorang akan merasa puas dengan apa yang dia kerjakan apabila yang menjadi motivasi kerja orang itu terpenuhi.

  Sedangkan Robbins (2006) menjabarkan bahwa seorang pekerja yang bahagia

adalah seorang pekerja yang produktif. Menurutnya, kepuasan kerja memiliki

hubungan yang negatif dengan kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan. Dengan

demikian kepuasan kerja karyawan sangat penting bagi organisasi, karena : a) ada bukti

yang jelas bahwa karyawan yang tidak puas lebih sering mengabaikan pekerjaannya

dan lebih besar kemungkinannya untuk mengundurkan diri b) pekerjaan yang

terpuaskan memiliki manfaat kesehatan yang lebih baik dan usia yang lebih panjang c)

Kepuasan kerja karyawan dibawa pada kinerja organisasi dan ke dalam kehidupan

karyawan di luar pekerjaan.

2.2.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

  Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja adalah faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor yang berhubungan dengan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, faktor yang berhubungan dengan teman sekerja, faktor yang berhubungan dengan pengawasan, faktor yang berhubungan dengan promosi jabatan/pengembangan karir dan faktor yang berhubungan dengan gaji. Faktor-faktor tersebut merupakan item instrumen Job Describsion Index yang digunakan banyak peneliti dalam mengkaji kepuasan kerja (Jewell dan Siegal dalam Juliandi, 2003).

  Luthans (2006) menyatakan lima dimensi kepuasan kerja yaitu : menarik, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. (2) Gaji, sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi.

  (3) Kesempatan Promosi, kesempatan untuk maju dalam organisasi. (4) Pengawasan, kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan prilaku.

  (5) Rekan Kerja, tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.

  Robbins (2006) menyatakan bahwa dimensi-dimensi yang mempengaruhi kepuasan antaralain: (1)

  Pekerjaan itu sendiri, Pekerjaan yang secara mental menantang, orang lebih menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk menggunakan keterampilan dan kemampaun mereka dan menawarkan keberagaman tugas.

  (2) Imabalan yang setimpal, karyawan mengharapkan system pembayaran dan kebijaksanaan promosi yang mereka anggap adil, tidak bermakna ganda dan sesuai dengan harapan mereka

  (3) Kondisi kerja yang mendukung, karyawan lebih menyukai kondisi fisik kerja yang tidak berbahaya atau nyaman.

  (4) Mitra kerja yang mendukung, orang lebih sering mengundurkan diri dari satu pekerjaan lebih dari sekedar masalah uang atau pencapaian yang nyata. Bagi

2.3 Kerangka Konseptual

  Sejalan dengan berbagai kajian teori dan referensi seperti yang disebutkan sebelumnya, maka penelitian akan memiliki kerangka konseptual atau jalur analisis, sebagai berikut :

  Gomes (2003), menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi yang sifatnya individual adalah kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, sikap dan kemampuan-kemampuan individu.

  Robbins (2006) menyatakan model motivasi intrinsic Ken Thomas mengemukakan bahwa empat komponen-komponen yang dapat mempengaruhi motivasi intrinsic pada diri seseorang yaitu adanya pilihan, kompetensi, penuh arti dan kemajuan. Lebih lanjut Thomas menyatakan bahwa keempat komponen motivasi intrinsic ini berhubungan erat dengan kepuasan kerja.

  Hasibuan, (2007), mengartikan motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai

  Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Bodur (2002), Matthews kepuasan.

  

(2006), Borzaga (2006) bahwa motivasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan

kerja

  Robbins (2006) kemampuan individu secara langsung mempengaruhi kepuasan kerja pegawai melalui kesesuaian kemampuan dengan pekerjaan.

  

Abraham (2000) menemukan bukti bahwa kemampuan emosional menjelaskan

varians yang signifikan dalam kepuasan kerja dan komitmen organisasi.

  Triguno (2003) mendefinisikan lingkungan kerja adalah sarana dan prasaranan yang ada di tempat karyawan bekerja dan dapat mempengaruhi karyawan di dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

3 66 189

Analisis Pengaruh Kemampuan Individu dan Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan Kerja dengan Motivasi Sebagai Variabel Intervening Pada Pegawai kependidikan Politeknik Negeri Lhokseumawe

2 101 146

Pengaruh Motivasi Dan Pengembangan Karir Terhadap Loyalitas Kerja Karyawan Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Hotel Inna Dharma Deli Medan

25 363 153

Analisis Pengaruh Disiplin Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Dosen Politeknik Negeri Medan

4 76 119

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu - BAB II

0 2 18

Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 2 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Analisis Pengaruh Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Dosen Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Politeknik Negeri Medan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Anggaran - Pengaruh Partisipasi Anggaran Melalui Motivasi Kerja Sebagai Variabel Intervening Terhadap Kinerja Manajerial Pada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Di Sumatera Utara

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pengaruh Sumber Daya Manusia, Prasarana dan Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Pegawai Kopertis Wilayah – I Medan

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Penelitian Terdahulu - Pengaruh Bauran Pemasarah terhadap Loyalitas Melalui Kepuasan Mahasiswa Politeknik Mandiri Bina Prestasi

0 0 46