BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara 2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara - Hubungan Paparan Partikel Debu dan Karakteristik Individu dengan Kapasitas Paru pada Pekerja di Gudang Pelabuhan Belawan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara Salah satu jenis pencemaran lingkungan hidup adalah pencemaran udara.

  Menurut Fardiaz (1992), udara di alam yang kita hirup tidak pernah ditemukan benar- benar bersih tanpa polutan sama sekali tetapi selalu mengandung partikel-partikel asing yang jika konsentrasinya terlalu tinggi ataupun melewati nilai ambang batas yang ditentukan akan dapat menyebabkan kualitas udara menurun atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Hal tersebut diatas dapat kita lihat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang menyatakan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

  Menurut Mukono (2005) yang mengutip pendapat dari Chambers, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau dapat diukur dan dihitung) serta dapat memberikan efek terhadap manusia, binatang, vegetasi dan material.

  8

  2.1.2. Sumber Pencemaran Udara Wardhana (2001) menyebutkan sumber pencemaran udara dengan istilah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal terjadi secara alamiah sedangkan faktor eksternal merupakan pencemaran udara akibat ulah manusia.

  1. Faktor internal/sumber alamiah Udara dapat tercemar akibat kejadian-kejadian alam yang kadang tidak terduga sebelumnya seperti : debu yang diterbangkan oleh angin, debu akibat letusan gunung berapi, pembusukan sampah, keluarnya gas beracun akibat gempa bumi.

  2. Faktor eksternal/akibat kegiatan manusia Aktivitas kegiatan manusia pada dasarnya selalu mempunyai dampak lingkungan dan kesehatan (Rahman, 2005). Beraneka ragamnya kegiatan-kegiatan manusia disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : perkembangan kebudayaan, perkembangan teknologi serta didukung oleh pola konsumsi yang berlebihan.

  Beberapa aktivitas manusia yang dapat menimbulkan pencemaran udara antara lain : kegiatan industri, aktivitas bongkar muat barang-barang di gudang Pelabuhan Belawan, lalu lintas, pertambangan, pembakaran sampah, termasuk juga kegiatan-kegiatan di rumah tangga.

  Beberapa parameter pencemaran udara berdasarkan baku mutu udara ambien yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

  9

2.1.3. Parameter dan Jenis Pencemaran Udara

  Pengendalian Pencemaran Udara ada 13 parameter pencemaran udara yang dibagi menjadi 2 kategori letak kawasan yaitu :

1. Parameter untuk umum ( 9 parameter)

  SO

  2 , CO 2 , NO

  2

  , Oз, HC, PM10 / PM2,5, Debu, Pb, Dustfall 2. Parameter khusus untuk daerah / kawasan industri kimia dasar

  Total fluorida, Fluor indeks, Khlorine dan Khlorine dioksida, Sulfat indeks Ada beberapa jenis pencemaran udara menurut Sunu (2001) yaitu :

  1. Berdasarkan bentuk

  a. Gas, adalah uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair karena dipanaskan atau menguap sendiri. Contohnya: CO

  2 , CO, SO 2 , NO 2 .

  b. Partikel, adalah suatu bentuk pencemaran udara yang berasal dari zat-zat kecil yang terdispersi ke udara, baik berupa padatan, cairan, maupun padatan dan cairan secara bersama-sama. Contohnya: debu, asap dan kabut.

  2. Berdasarkan tempat

  a. Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) disebut juga udara tidak bebas yang terjadi berkaitan dengan kegiatan di tempat kerja, di rumah, pabrik, bioskop, sekolah, rumah sakit, hotel, perkantoran, dan bangunan lainnya.

  b. Pencemaran udara luar ruang (outdoor air pollution) yakni pencemaran udara yang terjadi di luar yang disebut juga udara bebas sebagaimana lazimnya di kawasan perkotaan yang disebabkan karena asap asap dari kendaraan bermotor maupun industri-industri (Achmadi, 2008).

  3. Berdasarkan gangguan atau efeknya terhadap kesehatan

  a. Irritansia adalah zat pencemar yang dapat menimbulkan iritasi jaringan tubuh, seperti SO

  2 , Ozon, dan Nitrogen Oksida.

  b. Aspeksia adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepas Karbon Dioksida. Gas penyebabnya seperti CO, H

  2 S, NH 4 .

  з, dan CH

  c. Anestesia adalah zat yang mempunyai efek membius dan biasanya merupakan pencemaran udara dalam ruang. Contohnya : Alkohol.

  d. Toksis adalah zat pencemar yang menyebabkan keracunan. Zat penyebabnya seperti Timbal, Cadmium, Fluor, dan Insektisida.

  4. Berdasarkan susunan kimia

  a. Anorganik adalah zat pencemar yang tidak mengandung karbon seperti asbestos, ammonia, asam sulfat, dan lain-lain.

  b. Organik adalah zat pencemar yang mengandung karbon seperti pestisida, herbisida, beberapa jenis alkohol dan lain-lain.

  5. Berdasarkan asalnya

  a. Primer adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan langsung ke udara yang menyebabkan konsentrasinya meningkat dan membahayakan. Contohnya: CO

  2.

  b. Sekunder adalah senyawa kimia berbahaya yang timbul dari hasil reaksi antara zat polutan primer dengan komponen alamiah. Contohnya: Peroxy Acetil

  Nitrat (PAN) (Mukono, 2006).

2.2. Partikel Debu

2.2.1. Pengertian, Jenis, dan Sifat Debu

  Partikel adalah pencemar udara yang berbentuk padatan dan droplet cairan yang terdapat dalam jumlah yang tinggi di udara. Sifat fisik partikel yang penting adalah ukurannya yang berkisar antara diameter 0,0002 mikron sampai sekitar 500 mikron (Fardiaz, 1992).

  Debu adalah partikel zat padat dengan ukuran 0,1 hingga 100 mikron yang disebabkan oleh kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dan peledakan dari bahan-bahan organik maupun anorganik seperti batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat yang dihasilkan oleh manusia atau alam (Suma

  ʼmur, 1998). Debu adalah salah satu komponen yang dapat menurunkan kualitas udara. Partikel-partikel yang berukuran 1-3 mikron akan ditempatkan langsung di permukaan jaringan dalam paru-paru (Antaruddin, 2002).

  Menurut Pudjiastuti, Rendra dan Santoso (1998) debu yang terdiri atas partikel-partikel dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

1. Dust

  

Dust adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan

  merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan yang terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai dengan yang besar. Debu yang berbahaya adalah debu dengan ukuran yang bisa terhirup sampai ke dalam sistem pernapasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat dihirup sampai ke dalam paru-paru.

2. Fumes

  

Fumes adalah partikel padat yang terbentuk dari proses evaporasi atau kondensasi

  pemanasan berbagai jenis logam, misalnya menghirup uap logam yang kemudian berkondensasi menjadi partikel metal fumes misalnya logam cadmium dan timbal.

  3. Smoke Smoke atau uap adalah partikel padat yang merupakan hasil dari proses

  pembakaran bahan organik yang tidak sempurna, distilasi atau reaksi kimia yang berukuran sekitar 0,5 mikron sedangkan partikel cair disebut dengan mist atau fog (awan) adalah partikel cair dari reaksi kimia yang dihasilkan melalui proses kondensasi uap air atau automizing.

  Adapun sifat-sifat debu menurut Fardiaz (1992) adalah: 1. Mengendap

  Debu cenderung mengendap karena gaya tarik bumi, namun karena ukurannya yang relatif kecil berada di udara debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

  2. Permukaan cenderung selalu bersih Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya yang selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi sangat penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.

  3. Menggumpal

  Debu bersifat menggumpal karena disebabkan permukaan debu yang selalu basah debu menempel antara satu dengan yang lainnya dan membentuk gumpalan.

  4. Listrik statis (elektrostatis) Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lainnya yang berlawanan.

  Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

  5. Opsis Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya yang dapat memancarkan sinar yang terlebih dapat terlihat pada kamar gelap.

2.2.2. Nilai Ambang Batas Debu

  Aktivitas bongkar muat barang-barang di gudang Pelabuhan Belawan khususnya gudang 201, 202 dan 203 dengan menggunakan bahan-bahan ataupun peralatan-peralatan kerja yang dapat mengakibatkan dampak negatif terutama bagi para pekerja seperti gangguan kesehatan, gangguan keselamatan, gangguan kenyamanan kerja serta gangguan pencemaran lingkungan tempat bekerja yang disebabkan paparan partikel debu dari aktivitas bongkar muat tersebut. Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara perlu digunakan nilai ambang batas yang ditetapkan sebagai batas maksimum baku mutu udara (Mukono, 2002).

  Nilai Ambang Batas debu adalah standar konsentrasi kadar debu yang dianjurkan di lingkungan tempat kerja agar para pekerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan Nilai Ambang Batas ini adalah sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan tempat kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Untuk kadar partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per/ 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja untuk Konsentrasi Kadar

  3 Debu Total di Udara Lingkungan Kerja adalah sebesar 3 mg/m .

2.2.3. Mekanisme Pengendapan Partikel Debu di Paru-Paru

  Mekanisme pengendapan partikel debu ke dalam sistem pernapasan manusia di dalam paru-paru berlangsung dengan berbagai cara antara lain (Pope, 2003) :

  1. Inertia/kelembaman Dengan adanya inertia / kelembaman debu yang bergerak, maka partikel debu yang bermassa bergerak tetap lurus dan tidak mengikuti aliran udara yang membelok ketika memasuki saluran pernapasan manusia yang tidak lurus. Akibatnya partikel debu yang besar tidak akan membelok mengikuti aliran udara, namun mengendap pada tempat yang berlekuk pada saluran pernapasan sedangkan partikel debu yang kecil masuk ke dalam saluran pernapasan yang lebih dalam.

  2. Sedimentasi Mekanisme sedimentasi terhadap debu terjadi khususnya dalam bronchi dan

  

bronchioli . Karena kecepatan arus udara sangat kurang (kurang dari satu cm/detik) pada bronchi dan bronchioli, maka partikel mengendap karena mengalami gaya berat pada saluran pernapasan.

  3. Gerakan Brown Mekanisme gerakan Brown terjadi pada partikel yang berukuran kurang dari 0,1 mikron. Partikel tersebut akan mengendap pada permukaan alveoli melalui gerakan udara.

  4. Electrostatic Hal ini terjadi karena saluran pernapasan dilapisi mukus, yang merupakan konduktor yamg baik secara elektrostatic.

  5. Interseption Terjadi pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran partikel untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan. Partikel >5 mikron akan tertahan di hidung dan jalan napas bagian atas, 3-5 mikron tertahan di bagian tengah jalan napas dan 1-3 mikron akan menempel di alveoli (Pujiastuti, 2002).

  Tidak semua partikel mengalami pengendapan di dalam paru-paru manusia. Pengendapan debu di paru juga dipengaruhi karakteristik debu dan orang tersebut.

2.3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

2.3.1. Anatomi Sistem Pernafasan

  Anatomi sistem pernafasan manusia pada umumnya di bagi dua bagian yaitu anatomi sistem pernafasan bagian atas dan anatomi sistem pernafasan bagian bawah.

  Anatomi sistem pernafasan manusia seperti gambar dibawah ini :

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernafasan Manusia

  Anatomi sistem pernafasan manusia terdiri dari (Guyton, 2001) :

  a. Hidung Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut dalam lubang hidung, sedangkan yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika mencapai pharing, dikatakan hampir ”bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh.

  b. Pharing

  

Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi tiga

  bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan saluran penghubung ke saluran pernafasan dan pencernaan. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda asing yang masuk ke hidung dan pharing. c. Laring

  

Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan

epiglotis . Glotis merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.

  Jika benda asing masuk melewati glotis, maka dengan adanya refleks batuk akan membantu mengeluarkan benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah.

  d. Trachea Terletak di bagian depan esophagus, mulai bagian bawah krikoid kartilago laring dan setinggi vertebra thorakal. Trachea bercabang menjadi bronchus kanan dan kiri. Percabangannya disebut karina yang terdiri dari 6 – 10 cincin kartilago.

  e. Bronkhus Cabang utama bronkhus kanan dan kiri bercabang menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen brokus. Cabang ini diteruskan sampai cabang terkecil

  

bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus yang dikelilingi otot polos.

  f. Bronchiolus Diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli. alveolus dan alveolus terminal, merupakan struktur akhir paru.

  g. Paru-paru Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total seluas lapangan tenis (Mukono, 2008). Alveolus dibatasi zat lipoprotein disebut surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan dan resistensi saat inspirasi dan mencegah kolapsnya alveolus waktu respirasi. Pembentukan surfaktan tergantung faktor pendewasaan sel alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah ke dinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor yang sangat penting dan berperan sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada.

2.3.2. Fisiologi Sistem Pernafasan

  Rahajoe dkk, (1994) menyatakan fungsi utama paru adalah sebagai alat pernafasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari alveolus keluar tubuh (ekspirasi). Sistem respirasi memiliki kemampuan untuk merespon dengan cepat kebutuhan tubuh dan berperan penting memperbaiki dan mempertahankan homeostatis di dalam jaringan. Fisiologi sistem pernapasan tidak hanya mendukung fungsi utamanya tetapi juga fungsi lain dalam mempertahankan integritas tubuh juga membantu mempertahankan asam-basa tubuh, metabolisme senyawa tertentu, menyaring bahan yang tidak diinginkan, mencegah dan menurunkan infeksi dan berperan sebagai reservoir darah (Francis, 2011). Pernafasan berarti pengangkutan oksigen ke sel dan CO

  2 dari sel kembali ke

  atmosfer. Proses ini menurut Guyton (2001) dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu: a. Pertukaran udara paru berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.

  Alveoli yang mengembang tidak dapat mengempis penuh karena adanya udara sisa yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Disebut volume residu, volume ini penting karena menyediakan O 2 untuk menghasilkan darah.

  b. Difusi O

  2 dan CO 2 antara alveoli dan darah. c. Pengangkutan O dan CO dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel.

  2

  2 d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

  Menurut Rahajoe dkk (1994), dari aspek fisiologi pernapasan ada dua yaitu: a. Pernapasan luar (eksternal respiration) yang berlangsung di paru-paru, aktivitas utamanya adalah pertukaran udara.

  b.

  Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.

  Sebagai organ pernafasan, dalam melakukan tugasnya, paru-paru dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru juga dipakai sebagai media transportasi O

  2 dan CO 2 , sistem saraf pusat berperan sebagai pengendali irama dan pola pernapasan.

2.4. Dampak Pencemaran Debu terhadap Kesehatan Debu merupakan salah satu polutan yang mengganggu kenikmatan kerja.

  Debu menimbulkan dampak terhadap kesehatan, ekosistem maupun iklim. Gangguan kesehatan dari debu mengakibatkan gangguan saluran pernapasan. Debu disebut partikel yang melayang di udara (dengan ukuran 1- sampai 500 mikron).

  Partikel debu berada di udara dalam waktu relatif lama dalam keadaan melayang, masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Membahayakan bagi kesehatan manusia juga mengganggu daya tembus pandangan mata dan mengadakan reaksi kimia sehingga komposisi debu menjadi partikel yang rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda.

  

Menurut Fardiaz (1992), partikel debu berbahaya bagi pernapasan karena :

1.

  Karakterisitik fisik dan kimia yang kemungkinan mengandung zat yang beracun dan berbahaya.

  2. Partikel debu bersifat inert (tidak bereaksi) tetapi jika mengendap di saluran pernapasan dapat menghambat proses pembersihan terhadap zat yang beracun dan berbahaya yang masuk ke dalam sistem pernapasan.

3. Partikel dapat mengabsorbsi molekul gas yang beracun dan berbahaya yang kemungkinan ikut masuk ke dalam saluran pernapasan.

  Menurut WHO (1994) ukuran partikel debu yang membahayakan adalah berukuran 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa ukuran partikel debu yang sangat membahayakan bagi kesehatan manusia berkisar antara 0,1-10 mikron.

  Pengendalian pencemaran udara berhubungan dengan kesehatan masyarakat yang dilakukan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa pencemaran udara terhadap manusia mempengaruhi sistem pernapasan, karena kita menghirup dan

  3

  menghembuskan udara sekitar 10m per hari. Saat bernapas terjadi translokasi pencemar udara terhirup masuk ke Alveoli. Pencemaran udara dapat mengakibatkan peradangan paru dan jika terus menerus dapat menimbulkan gangguan kapasitas paru.

  Bahan pencemar udara menyebabkan kelainan pada saluran pernapasan jika dihirup dari udara adalah partikel debu. Dampak debu yang terhirup tergantung ukuran partikel debu, konsentrasi dan komposisi kimianya. Semakin kecil partikel debu semakin jauh masuk ke saluran pernapasan. Partikel yang mengendap di Alveoli akan menyerang jaringan paru-paru dan menimbulkan penyakit Pneumoconiosis.

  Lingkungan kerja yang sering penuh oleh partikel-partikel debu sering menyebabkan gangguan sistem pernapasan ataupun dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan kapasitas paru bahkan dapat menyebabkan keracunan umum (Suma

  ʼmur, 1998). Partikel-partikel debu juga dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis bila terinhalasi selama bekerja dan terus- menerus dalam jangka waktu yang lama. Bila Alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitas dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun (Depkes RI, 2004).

  Pekerja terpapar partikel debu, dianjurkan memeriksakan kapasitas parunya setiap tahun. Gangguan kapasitas paru dan saluran pernapasan akibat partikel debu dipengaruhi oleh debu juga faktor individu orang tersebut berupa pertahanan tubuh. Menurut Faridawati (2003) kerusakan saluran pernapasan yang disebabkan oleh paparan partikel-partikel debu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

  1. Jenis debu Partikel yang berbahaya untuk paru adalah debu organik dan debu inorganik. organik : mikrobakteri, fosil, sedangkan inorganik : silika bebas, metal, debu inert. Debu inorganik dalam waktu lama mengakibatkan gangguan kapasitas paru.

  2. Ukuran debu

  Efek negatif pada kesehatan tergantung dari ukuran debu. Partikel debu yang besar tersaring di hidung dan yang kecil masuk sampai parenkim. Debu dengan diameter 0,5-2,5 mikron mengendap di Alveoli dan mengakibatkan pneumokomiosis.

  3. Komposisi kimia debu a.

  Inert dust yaitu efek kesehatan yang berdampak sangat sedikit atau tidak ada sama sekali dan tidak menyebabkan reaksi fibrosis pada paru-paru.

  b.

   Profliferate dust

  Efek kesehatan yang terjadi adalah fibrosis pada paru-paru sehingga terjadi pengerasan pada alveoli (Depkes RI, 1993).

  4. Konsentrasi debu

Di tempat dengan pencemaran udara tinggi biasanya jumlah partikel meningkat. Semakin

tinggi konsentrasi debu maka dampak kesehatannya semakin parah.

  5. Lama paparan Kapasitas paru menurun akibat paparan partikel debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak dengan partikel-partikel debu dengan waktu yang cukup lama. Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kejadian gangguan kapasitas paru.

6. Pertahanan tubuh

  Paru dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan lingkungan baik berupa pencemaran udara, rokok, obat-obatan, udara dingin dan faktor-faktor non spesifik lainnya.

  Sistem pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain.

  Berdasarkan lama partikel debu tersuspensi di udara dan rentang ukurannya partikel debu dibedakan dalam dua golongan yaitu (Whardana, 2001) :

1. Deposite Particulate Matter (DPM) yaitu partikel debu yang berada sementara di udara dan segera mengendap akibat gaya gravitasi bumi.

  2. Suspended Particulate Matter (SPM) yaitu debu yang tetap melayang di udara dan tidak mudah mengendap. Debu ini terdiri dari berbagai senyawa organik dan anorganik terbesar di udara dengan diameter debu mulai dari <1 mikron sampai dengan 500 mikron.

2.5. Gangguan Kapasitas Fungsi Paru

  Selain menilai kondisi organ paru, diagnosis penyakit paru perlu pula menentukan kondisi kapasitas dan fungsionalnya. Dengan mengetahui kapasitas paru, maka beberapa tindakan medis yang akan dilakukan pada penderita tersebut dapat diramalkan keberhasilannya, disamping itu progresivitas penyakitnya dapat diketahui.

  Pemeriksaan faal paru saat ini dikategorikan sebagai pemeriksaan rutin.

  1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun Pencemaran udara ambien oleh debu dapat mengakibatkan terjadinya radang paru dan jika terus menerus mengakibatkan kelainan faal paru obstruktif atau penyakit paru obstruktif menahun. Penyakit paru obstruktif menahun merupakan istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Mukono, 2008). Penyakit paru yang jelas secara anatomi memberikan tanda kesulitan pernapasan yang mirip yaitu terbatasnya jalan udara yang kronis, terutama bertambahnya resistensi terhadap jalan udara saat ekspirasi. Gangguan ini adalah bronkitis kronis,

  

bronkiolitis dan asma bronkiale, ditandai dengan pembesaran rongga-rongga udara

dibagian distal dari bronkioli terminalis dan kerusakan pada septa alveoli.

  Penyakit asma biasanya ditandai dengan serangan obstruksi spasmodik jalan udara, tetapi kadang-kadang menyebabkan penyempitan jalan udara yang terus- menerus pada keadaan seperti asmatis bronkitis kronik. Keadaan klinik penyakit dari kedua saluran udara yang besar maupun yang kecil berperan dalam terjadinya PPOM.

  Perlu ditekankan kembali bahwa bronkitis sendiri untuk beberapa saat dapat tanpa menyebabkan disfungsi ventilasi, tetapi dapat menyebabkan batuk prominem dan dahak yang produktif, bila terjadi sesak nafas hipoksemia dan hiperkapnea. Oksigenisasi tidak adekuat dari darah dapat menimbulkan sianosis.

  Perjalanan klinis dari penderita PPOM terbentang mulai dari apa yang dikenal sebagai pink puffers sampai blue bloaters. Tanda klinis utama dari pink puffers (berkaitan dengan emfisema panlobular primer) adalah timbulnya disponea tanpa disertai batuk dengan pembentukan sputum yang berarti. Biasanya disponea mulai timbul diusia 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada ujung ekstrim lain dari PPOM didapati penderita blue bloaters (bronkitis tanpa bukti-bukti emfisema

  

obstruktif yang jelas), penderita penyakit ini disertai dengan batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi. Akan tetapi, akhirnya timbul gejala

  disponea pada waktu penderita melakukan kegiatan fisik.

  Perjalanan PPOM ditandai dengan ”batuk merokok” atau ”batuk pada pagi hari” disertai pembentukan sedikit sputum mukoid, infeksi saluran pernapasan berlangsung lebih lama. Akhirnya serangan bronkitis akut makin sering timbul, terutama pada musim dingin, dan kemampuan kerja penderita berkurang, sehingga pada waktu mencapai usia 50-60-an penderita mungkin harus berhenti bekerja.

  2. Emfisema Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal yaitu adanya pelebaran rongga

  udara pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus

  terminalis distal (Djojodibroto, 2012). Jenis-jenis emfisema yaitu : a.

  Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal (bronkioli respiratorik), namun bila progresif, dilatasi dan destruktif dari dinding distal alveoli juga akan terjadi. Secara khas perubahan akan lebih sering dan lebih berat dibagian atas daripada dibagian zona bawah lobus, bentuk emfisema ini adalah penyakit yang paling dominan pada perokok.

  b.

  Emfisema panlobular (panasinar) yaitu terjadi pelebaran alveoli yang progresif, serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli dan alveoli. Bila proses menjadi difus, biasanya lebih jelas tandanya pada lobus bawah, bentuk emfisema ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun perokok dapat menyebabkan bentuk dari emfisema ini, namun hubungan tersebut tidak sesering pada emfisema

  sentilobuler .

  c.

  Emfisema paraseptal atau sub pleura, biasanya terbatas pada zona sub pleura dan sepanjang septa interlobaris, yang ditandai dengan keterlibatan asinus distal, alveoli dan kadang-kadang duktus alveoli. Bentuk ini sering menimbulkan gelembung bula yang besar langsung di bawah pleura, dan juga dapat menimbulkan pneumotoraks pada dewasa muda (Yunus, 2006).

  3. Penyakit paru interstisial (restriktif) Penyakit paru interstisial dimulai dengan proses peradangan interstisial terutama sel imunokompeten yang aktif dan kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyebab kerusakan. Paling ditakutkan dari penyakit ini adalah penebalan fibrosis dinding alveolar yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi pernafasan dan mengacaukan arsitektur paru-paru. Menyebabkan pembuluh darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga udara dan paru berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas mengalami gangguan.

  Dengan demikian penyakit paru interstisial/restriktif merupakan penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas paru.

2.6. Volume, Kapasitas dan Pemeriksaan Kapasitas Paru

  2.6.1. Volume Paru

  Volume paru berubah saat pernapasan berlangsung. Saat inspirasi mengembang dan ekspirasi akan mengempis. Keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan tanpa disadari (WHO,1993). Parameter volume paru adalah :

  a. Volume tidal (Tidal Volume=TV), adalah volume paru yang normal dihirup dan dihembuskan setiap tarikan napas. Nilai rata-ratanya orang dewasa sekitar 500 ml.

  b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume=IRV), volume udara yang dihirup sesudah inspirasi biasa, Nilai rata-rata orang dewasa sekitar 3000 ml.

  c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV), adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru setelah ekspirasi biasa, Nilai rata- ratanya pada orang dewasa adalah sekitar 1000-1200 ml.

  d. Volume Residu (Residual Volume = RV), adalah udara yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Nilai normalnya adalah sekitar 1000 ml.

  2.6.2. Kapasitas Paru

  Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan kedalam tubuh atau paru-paru secara maksimal. Jumlah oksigen yang masuk ditentukan oleh kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti oksigen yang diperoleh semakin banyak. Kapasitas paru laki-laki lebih besar daripada wanita. Berdasarkan umur dan tinggi badan dapat ditaksir besar kapasitas parunya. Nilai normal faal paru sangat bervariasi nilainya, tergantung pada ukuran tubuh (tinggi dan berat badan), umur serta jenis kelamin (Djojodibroto, 2012).

  Penelitian Alsagaff dan Mangunnegoro (1993) yang mendapat rekomendasi

  

American Thoracic Society (ATS) didapatkan rumus nilai normal faal paru yang

disesuaikan dengan umur, ukuran tubuh serta jenis kelamin bagi orang Indonesia.

  FVC=-5,44018+0,06114 x U+0,04849 x TB+1,62398 xC-0,07768x(CxU)+0,4105 FEV1=-4,10074+0,04864xU+0,03674x TB+1,4969 x C-0,07433x(CxU)+0,39138 Keterangan : U=Umur, Umur

  ≥ 21 tahun, C = 1, Umur < 21 tahun, C = 0 TB = Tinggi Badan, dalam satuan cm

  Dalam menguraikan peristiwa pada siklus paru, diperlukan penyatuan dua atau lebih volume paru, yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru adalah : a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity=IC) yaitu udara yang masuk paru setelah inspirasi maksimal atau volume cadangan ditambah volume tidal (IC=IRV+TV).

  b. Kapasitas Vital (Vital Capacity=VC), adalah volume udara yang dapat dikeluarkan melalui ekspirasi maksimal setelah sebelumnya inspirasi maksimal (4000 ml) atau jumlah udara maksimum yang berpindah pada satu tarikan napas. Besarnya sama dengan volume inspirasi cadangan ditambah volume tidal (VC=IRV+ERV+TV).

  c. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capasity = TLC), adalah jumlah total udara yang berada dalam paru pada akhir inspirasi maksimum. Besarnya sama dengan jumlah kapasitas vital ditambah volume residu (TLC=VC+RV atau TLC=IC+ERV+RV). d. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capasity=FRC), adalah jumlah udara di dalam paru setelah ekspirasi normal. Besarnya sama dengan jumlah volume ekspirasi cadangan ditambah volume sisa (FRC=ERV+RV).

2.6.3. Pemeriksaan Kapasitas Paru

  Salah satu cara pemantauan kesehatan tenaga kerja yang terpapar faktor berbahaya di udara ambien di lingkungan kerja yang berwujud inhalasi partikel debu, bahan kimia atau benda asing adalah dengan pemeriksaan kapasitas paru. Pemeriksaan kapasitas paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja untuk mengetahui fungsi parunya yaitu dengan menggunakan alat yang disebut spirometer, karena pertimbangan biaya yang murah, ringan, praktis dibawa kemana-mana, akurasinya tinggi, cukup sensitif, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi yang handal. Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua volume paru kecuali kapasitas paru yang mengandung kompenen volume residu.

  Pemeriksaan sprirometri adalah suatu teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi/faal paru, dimana seseorang diminta untuk meniup sekuat-kuatnya melalui suatu alat yang dihubungkan dengan spirometer yang secara otomatis akan menghitung kekuatan, kecepatan dan volume udara yang dikeluarkan sehingga dapat diketahui kondisi faal paru dari orang tersebut.

  Gangguan fungsional ventilasi paru digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu :

  a. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara yang ditandai dengan penurunan VC dan FVC/FEV1. b. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan pada VC, RV dan TLC.

  Dari berbagai pemeriksaan kapasitas fungsi/faal paru, yang paling sering dilakukan adalah :

  1. Vital Capasity (VC) adalah volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah inspirasi maksimal. Berdasarkan cara pengukurannya : VC dimana subjek tidak perlu melakukan aktifitas pernapasan dengan kekuatan penuh dan Forced

  

Vital Capasity dimana subjek melakukan aktifitas pernapasan dengan kekuatan

  maksimal. Berdasarkan fase yang diukur : VC inspirasi, hanya diukur pada fase inspirasi dan VC ekspirasi diukur hanya pada fase ekspirasi (Guyton, 2001).

  Orang normal tidak ada perbedaan FVC dan VC, sedang pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan. VC merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding toraks. VC menurun merupakan kekakuan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan Vital Capacity.

  2. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) yaitu besarnya volume udara yang dikeluarkan satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama orang normal antara 4-5 detik, detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC. Obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume detik pertama tersebut. Bila FEV1/FVC kurang dari 75% berarti abnormal. Pada penyakit obstruktif seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan

  

FEV1 yang lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin

normal) sehingga rasio FEV1/FEV kurang dari 75%.

  3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) adalah aliran udara maksimal yang dihasilkan sejumlah volume tertentu. PEFR menggambarkan keadaan saluran pernapasan,

  PEFR berarti ada hambatan aliran udara pada saluran pernapasan.

2.7. Faktor-Faktor Resiko Pekerja terhadap Gangguan Kapasitas Paru

  Banyak faktor yang mempengaruhi penyakit saluran pernafasan dan gangguan

kapasitas paru pekerja di gudang Pelabuhan Belawan. Faktor yang mempengaruhi gangguan

kapasitas paru adalah kadar debu, masa kerja, umur, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok,

penggunaan masker, ventilasi, suhu dan kelembaban.

  1. Kadar partikel debu di dalam ruangan Peningkatan kadar partikel debu di dalam gudang Pelabuhan Belawan selain berasal

dari sumber polutan dalam ruangan juga berasal dari luar ruangan. Faktor penyebab

terjadinya pencemaran udara atau tingginya partikel debu di udara ambien disebabkan oleh

debu dari aktivitas bongkar muat barang dari proses penerimaan dari kapal, penyimpanan dan

penyusunan serta penyerahan barang/pemindahan dari gudang ke truk pengangkut demikian

juga sebaliknya dari truk pengangkut, kemudian disimpan, disusun lalu dimuat ke kapal

pengangkut. Barang yang masuk/datang dari kapal maupun barang yang akan dikirim

dibongkar, diangkut dan disusun menurut jenisnya. Proses pembongkaran, pemuatan dan

penyusunan barang dari dan ke dalam gudang inilah pekerja terpapar oleh partikel debu yang

beterbangan di dalam gudang.

  2. Masa kerja Semakin lama seseorang bekerja di tempat kerja yang berdebu, maka kemungkinan

partikel debu untuk menumpuk dan menimbun di dalam paru-paru akan semakin besar

sebagai akibat dari menghirup debu tersebut sehari-hari ketika sedang bekerja. Debu yang

menumpuk dan menimbun di dalam paru-paru tersebut dapat memicu gangguan kesehatan

pada paru-paru tersebut. Masa bekerja selama bertahun-tahun dapat memperparah kondisi

kesehatan saluran pernapasan pekerja tersebut karena frekuensi yang sering terpapar oleh

partikel debu setiap harinya (Suma

  ʼmur, 1998). Pekerja yang berada dilingkungan kerja

dengan kadar partikel debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko terkena penyakit paru

obstruktif.

  Masa kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpapar oleh partikel debu. Semakin lama terpapar partikel debu maka semakin besar risiko terjadinya gangguan kapasitas fungsi paru. Pekerja di lingkungan kerja dengan kadar partikel debu yang tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru.

  Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penyakit paru obstruktif pada pekerja di lingkungan berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).

3. Umur

  Faal paru pada tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh usia tenaga kerja itu sendiri. Seiring pertambahan umur, kapasitas paru-paru akan menurun. Kapasitas paru-paru orang berumur > 30 tahun rata-rata adalah 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada mereka yang berusia > 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernafasan. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian Lestari (2001) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kelainan faal paru tenaga kerja. Semakin tua seseorang, semakin banyak alveoli yang rusak selain itu daya tahan tubuh yang rendah dan paparan partikel debu setiap hari akan mempengaruhi untuk menyebabkan gangguan kapasitas fungsi paru pada orang dengan umur yang sudah tua (Nelson dkk, 2005).

4. Indeks massa tubuh

  Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan seseorang menurun, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroba. Infeksi saluran pernapasan, apabila terjadi berulang dan disertai batuk berdahak, akan menyebabkan bronkhitis kronis. Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT).

  Memantau berat badan seseorang dapat digunakan indeks massa tubuh, akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk (Depkes, 2000). Penggunaan IMT hanya untuk dewasa berumur 18 tahun keatas dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil dan olahragawan.

  Batas ambang IMT ditentukan merujuk ketentuan FAO atau WHO. Kesehatan berdasar kecukupan gizi dapat ditentukan dengan IMT atau Body Mass Index/BMI.

  Menurut WHO batas ambang IMT ditetapkan seperti tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Ambang Batas IMT Category BMI Risk of Morbidities

  Underweight < 18.5 Normal 18.5 – 24.9 Average

  Overwieght 25.0 – 29.9 Increased Obese I 30.0 – 34.9 Moderate

  Obese II 35.0 – 39.9 Severe Obese III Very Severe

  ≥ 40 Sumber, World Health Organization, 2003 Untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

  ( Berat Badan ) Indeks massa tubuh =

  2

  ( Tinggi Badan )

  5. Kebiasaan merokok Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung bahan toksik dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya sebanyak 1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak merokok terhadap kesehatan paru-paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru. Pada jaringan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya.

  Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok terutama sigaret dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru.

  Para pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok dapat mempunyai risiko atau pemicu timbulnya keluhan subyektif saluran pernafasan dan gangguan kapasitas paru pada tenaga kerja (Giano, 1995). Sementara Lubis (1991) menyatakan para pekerja yang perokok merupakan salah satu faktor risiko penyebab penyakit saluran pernafasan. Raharjoe dkk (1994) mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan kapasitas paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Yunus (2006) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu para pekerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut. Beberapa penelitian tentang bahaya merokok terhadap kesehatan dan gangguan fungsi paru dikemukakan oleh Mangesha dan Bakele (1998) terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dan gangguan saluran pernafasan.

  6. Penggunaan masker Masker digunakan untuk melindungi para pekerja di gudang Pelabuhan

  Belawan dari partikel debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Tanpa menggunakan alat pelindung seperti masker paparan partikel debu akan menimbulkan bahaya kesehatan bagi para pekerja. Penggunaan masker oleh pekerja yang udaranya banyak mengandung partikel debu, merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan.

  Dengan menggunakan masker yang memiliki penyaring yang memenuhi syarat kesehatan (jenis M95), diharapkan para pekerja akan terlindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan saluran pernafasan akibat terpapar udara yang kadar debunya sangat tinggi di lingkungan tempat kerjanya.

  Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja akan terhindar dari terjadinya gangguan pernapasan. Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker merupakan cara ”aman” bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan.

7. Ventilasi

  Ventilasi berfungsi untuk pertukaran udara di dalam ruangan gudang untuk memelihara dan menciptakan udara di dalam suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan atau kenyamanan pekerja. Disamping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar suatu kontaminan di udara seperti partikel debu di tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Jika tidak ada sistem pertukaran udara, kontaminan yang ada akan bergerak perlahan di dalam ruangan tempat kerja, sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar sumber dan di daerah sekitar pernapasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi.

  Petukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan peralatan mekanik. Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi ruangan panas. Dengan kondisi panas, udara akan memuai dan naik lalu keluar melalui vena di atap. Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar yang masuk melalui lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan. Pertukaran udara secara mekanik dilakukan dengan cara memasang sistem pengeluaran udara (exhaust system) dan pemasukan udara (supply system) dengan menggunakan fan. Exhaust system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta kontaminan yang ada sekitar tempat lingkungan kerja. Supply system dipasang untuk memasukkan udara ke dalam ruangan gudang yang ada di Pelabuhan Belawan, umumnya digunakan untuk menurunkan tingkat konsentrasi kontaminan yang berasal dari partikel debu didalam lingkungan kerja akibat adanya proses bonbgkar muat barang-barang (Notoatmodjo, 2007).

  8. Suhu Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara di dalam ruangan gudang

Pelabuhan Belawan adalah Suhu. Suhu atau keadaan temperatur di gudang Pelabuhan

Belawan dikatakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18 C – 30

  C. Suhu udara

yang tinggi akan mempercepat reaksi penyebaran suatu bahan pencemar seperti partikel debu

di dalam gudang, sedangkan suhu udara yang rendah akan menyebabkan keadaan menjadi

lembab (Mukono, 2008) .

  9. Kelembaban Kelembaban udara adalah persentase jumlah kandungan uap air di udara di gudang

Pelabuhan Belawan. Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi kadar pencemar di

udara (Suryanto, 2003). Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi, karena apabila ventilasi

tidak cukup di gudang Pelabuhan Belawan akan menyebabkan suhu udara dalam ruangan

akan rendah sehingga kelembaban udara di dalam ruangan akan tinggi karena terjadinya

proses penguapan.