Hubungan Paparan Partikel Debu dan Karakteristik Individu dengan Kapasitas Paru pada Pekerja di Gudang Pelabuhan Belawan

(1)

HUBUNGAN PAPARAN PARTIKEL DEBU DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KAPASITAS PARU PADA PEKERJA

DI GUDANG PELABUHAN BELAWAN

TESIS

Oleh

JUNI BONARDO HAMONANGAN TAMBUNAN 117032168/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN PAPARAN PARTIKEL DEBU DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KAPASITAS PARU PADA PEKERJA

DI GUDANG PELABUHAN BELAWAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

JUNI BONARDO HAMONANGAN TAMBUNAN 117032168/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

iii

Judul Tesis : HUBUNGAN PAPARAN PARTIKEL DEBU DAN

KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KAPASITAS PARU PADA PEKERJA DI GUDANG PELABUHAN BELAWAN Nama Mahasiswa : Juni Bonardo Hamonangan Tambunan Nomor Induk Mahasiwa : 117032168

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H)

Anggota

(Ir. Indra Chahaya, M.Si)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya, M.Si

2. Ir. Evi Naria, M.Kes 3. dr. Taufik Ashar, M.K.M


(5)

v

PERNYATAAN

HUBUNGAN PAPARAN PARTIKEL DEBU DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KAPASITAS PARU PADA PEKERJA

DI GUDANG PELABUHAN BELAWAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

Juni Bonardo Hamonangan Tambunan


(6)

ABSTRAK

Pencemaran udara menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, baik di dalam maupun diluar ruangan, yang dapat merubah kualitas udara. Kesehatan masyarakat di pelabuhan dapat terganggu oleh debu yang berasal dari proses pembongkaran, penyimpanan, penyusunan dan pengangkutan barang yang masuk atau keluar dari gudang Pelabuhan Belawan seperti : tepung, jagung, beras, pasir keramik, debu jalan dan menyebabkan gangguan saluran pernapasan dan kapasitas paru.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan kapasitas paru pada pekerja di gudang Pelabuhan Belawan. Metode penelitian analitik observasional dengan disain cross sectional. Populasi sebanyak 129 orang dan sampel 60 orang dengan teknik random sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner serta pengukuran langsung. Analisis dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi square dan fisher’s exact dan multivariat dengan uji regresi logistik ganda.

Hasil uji chi square menunjukkan variabel yang berhubungan dengan gangguan kapasitas paru yaitu kadar partikel debu (p=0,008), masa kerja (p=0,007), umur (p=0,037) dan penggunaan masker (p=0,023). Hasil uji Regresi Logistik Ganda variabel yang paling dominan berhubungan dengan kapasitas paru adalah masa kerja.

Pekerja yang mengalami gangguan kapasitas paru rata-rata berada pada tempat kerja yang kadar partikel debunya diatas NAB, mempunyai masa kerja yang lama, berumur diatas 30 tahun, mempunyai kebiasaan merokok dan tidak menggunakan masker ketika sedang bekerja.

Disarankan kepada para pekerja agar menggunakan masker dan tidak merokok ketika bekerja, Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan agar rutin melakukan pemeriksaan kapasitas paru dan mengukur kadar partikel debu serta Asosiasi Pekerja di Pelabuhan Belawan menyediakan masker yang memenuhi syarat kesehatan dan membuat rotasi tempat bekerja secara berkala.

Kata Kunci : Partikel Debu, Kapasitas Paru, Gudang Pelabuhan Belawan


(7)

ii

ABSTRACT

Air pollution, either inside or outside the room, that can change air quality is the main problem of environmental health in the world. Community health in the sea port can be disrupted by the dust from the process of unloading, storage, preparation and transportation of goods such as flour, corn, rice and ceramic sands as well as road dust that can result in respiratory tract and lung capacity disorders.

The purpose of this observational analytical study with cross-sectional design was to analyze the relationship between dust particles and individual characteristics and lung capacity in the employees working in the warehouse of the Port of Belawan. The population of this study was 129 employees and 60 of them were selected to be the samples through random sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interview and direct measurement. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with chi square and fiher’s exact and multivariate analysis with multiple logistic regression tests.

The result of Chi-square test showed that the variables related to lung capacity disorder were the dust particle level (p = 0.008), length of service (p = 0.007), age (p = 0.037) and wearing mask (p = 0.023). The result of multiple logistic regression tests showed that length of service was the most dominantly related to lung capacity disorder.

In average, the employees experiencing lung capacity disorder are those who worked in the work places with dust particle level above the NAB, had longer length of service, were over 30 years old, had smoking habit, and did not wear masks while working.

The employees are suggested to wear masks and not to smoke while working. The management of Port Health Quarantine Class I Medan is suggested to routinly check the lung capacity and measure the dust particle level and the Worker Association in the Port of Belawan should provide the health-qualified masks and periodically make work place rotation.

Keywords: Dust particle, Lung Capacity, Warehouse, Port of Belawan


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang memberikan Berkat dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Hubungan Paparan Partikel Debu dan Karakteristik Individu dengan Kapasitas Paru pada Pekerja di Gudang Pelabuhan Belawan”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari dalam menyusun tesis ini banyak mendapat dukungan, bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis sehingga penulisan tesis ini selesai.


(9)

iv

5. Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang dengan sabar dan tulus ikhlas telah banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga selesainya penulisan tesis ini.

6. Ir. Evi Naria, M.Kes dan dr. Taufik Ashar, M.K.M selaku komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran-saran dan masukan sehingga dapat lebih meningkatkan kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Seluruh Dosen Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

8. dr. H. Syahril Aritonang, MHA dan dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes selaku Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk Tugas Belajar kepada penulis sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan serta izin untuk melakukan penelitian di lingkungan wilayah kerja Pelabuhan Belawan.

9. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri. 10.Tim Survey Bidang Pengendalian Resiko Lingkungan KKP Kelas I Medan yang

penuh keikhlasan membantu penulis dalam mengumpulkan data, serta Erwin Sinaga dan Linda Sirait, untuk semua doa, dukungan dan bantuannya.


(10)

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta, Ayahanda Alm. Mandahara Tambunan dan Ibunda Alm. Olopan Sirait yang telah memberikan dukungan baik moril dan do’a restu semasa hidupnya sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.

Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada Isteri tercinta Martini Sirait dan anakku tersayang Nathaneila Fitri Eunike Tambunan dan Nathan Favian Eliel Tambunan yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan turut memberikan doa serta rasa cinta yang dalam, setia menunggu, karena kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan dan banyak memberikan motivasi serta dukungan moral maupun moril kepada penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2013 Penulis

Juni Bonardo H Tambunan 117032168/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Juni Bonardo Hamonangan Tambunan, lahir pada tanggal 07 Juni 1978 di Medan, anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan ayahanda Alm. Mandahara Tambunan dan ibunda Alm. Olopan Sirait.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri No.060909 Medan, selesai tahun 1991, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Medan, selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Parulian 1 Medan, selesai tahun 1997, D-III Akademi Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Depkes RI di Medan, selesai tahun 2001 dan S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2007.

Penulis saat ini bekerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan, Kementerian Kesehatan RI tahun 2004 sampai dengan sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2011.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Hipotesis ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pencemaran Udara ... 8

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara ... 8

2.1.2. Sumber Pencemaran Udara ... 9

2.1.3. Parameter dan Jenis Pencemaran Udara ... 9

2.2. Partikel Debu ... 11

2.2.1. Pengertian, Jenis dan Sifat Debu ... 11

2.2.2. Nilai Ambang Batas Debu ... 14

2.2.3. Mekanisme Pengendapan Partikel Debu di Paru-Paru .. 15

2.3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan... ... 16

2.3.1. Anatomi Sistem Pernapasan ... 16

2.3.2. Fisiologi Sistem Pernapasan ... 18

2.4. Dampak Pencemaran Debu terhadap Kesehatan ... 20

2.5. Gangguan Kapasitas Fungsi Paru ... 23

2.6. Volume, Kapasitas dan Pemeriksaan Kapasitas Paru ... 27

2.6.1. Volume Paru. ... 27

2.6.2. Kapasitas Paru ... 27

2.6.3. Pemeriksaan Kapasitas Paru ... 29

2.7. Faktor Resiko Pekerja terhadap Gangguan Kapasitas Paru ... 31

2.8. Landasan Teori... 37


(13)

viii

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis Penelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.3. Populasi dan Sampel ... 42

3.3.1. Populasi ... 42

3.3.2. Sampel ... 42

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 45

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.5.1. Variabel Penelitian ... 46

3.5.2. Definisi Operasional ... 46

3.6. Metode Pengukuran ... 48

3.7. Metode Analisis Data ... 51

3.7.1. Analisis Univariat ... 51

3.7.2. Analisis Bivariat ... 51

3.7.3. Analisis Multivariat ... 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 52

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 52

4.2. Analisis Univariat ... 54

4.2.1. Kadar Partikel Debu... 54

4.2.2. Masa Kerja ... 55

4.2.3. Umur ... 56

4.2.4. Indeks Massa Tubuh ... 57

4.2.5. Kebiasaan Merokok ... 58

4.2.6. Penggunaan Masker ... 59

4.2.7. Ventilasi ... 60

4.2.8. Suhu ... 61

4.2.9. Kelembaban ... 62

4.2.10. Kapasitas Paru ... 63

4.3. Analisis Bivariat ... 64

4.3.1. Hubungan Kadar Partikel Debu dengan Kapasitas Paru 64 4.3.2. Hubungan Masa Kerja dengan Kapasitas Paru ... 65

4.3.3. Hubungan Umur dengan kapasitas Paru ... 66

4.3.4. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan kapasitas Paru 67 4.3.5. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Paru 68 4.3.6. Hubungan Penggunaan Masker dengan Kapasitas Paru 69 4.3.7. Hubungan Ventilasi dengan Kapasitas Paru ... 70

4.3.8. Hubungan Suhu Udara dengan Kapasitas Paru ... 70

4.3.9. Hubungan Kelembaban Udara dengan Kapasitas Paru 71 4.4. Analisis Multivariat ... 72

BAB 5. PEMBAHASAN ... 75


(14)

5.2. Kadar Partikel Debu dengan Kapasitas Paru ... 76

5.3. Masa Kerja dengan Kapasitas Paru ... 77

5.4. Umur dengan Kapasitas Paru ... 78

5.5. Indeks Massa Tubuh dengan Kapasitas Paru... 79

5.6. Kebiasaan merokok dengan Kapasitas Paru ... 80

5.7. Penggunaan masker dengan Kapasitas Paru ... 81

5.8. Ventilasi dengan Kapasitas Paru ... 82

5.9. Suhu Udara dengan Kapasitas Paru ... 82

5.10. Kelembaban Udara dengan Kapasitas Paru ... 83

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN ... 90


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Ambang Batas Indeks Massa Tubuh ... .... 33 3.1 Distribusi Populasi Berdasarkan Tempat Kerja... 42 4.1 Distribusi Frekuensi Pengukuran Kadar Partikel Debu Berdasarkan

Titik Tempat Bekerja Responden di Gudang 201, 202 dan 203

Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 54 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Masa Kerja Responden di Gudang

201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 55 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden di Gudang 201,

202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 56 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 57 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 58 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penggunaan Masker Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 59 4.7 Distribusi Frekuensi Pengukuran Luas Ventilasi Berdasarkan Tempat

Bekerja Responden di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan

Tahun 2013 ... .... 60 4.8 Distribusi Frekuensi Pengukuran Suhu Udara Berdasarkan Titik

Tempat Bekerja Responden di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan

Belawan Tahun 2013 ... .... 61 4.9 Distribusi Frekuensi Pengukuran Kelembaban Udara Berdasarkan

Titik Tempat Bekerja Responden di Gudang 201, 202 dan 203

Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 62 4.10 Hasil Pengukuran Kapasitas Paru Responden di Gudang 201, 202

dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013 ... .... 63


(16)

4.11 Hubungan Kadar Partikel Debu dengan Kapasitas Paru Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 64 4.12 Hubungan Masa Kerja dengan Kapasitas Paru Responden di Gudang

201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 65 4.13 Hubungan Umur dengan Kapasitas Paru Responden di Gudang 201,

202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 66 4.14 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kapasitas Paru Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 67 4.15 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kapasitas Paru Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 68 4.16 Hubungan Penggunaan Masker dengan Kapasitas Paru Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 69 4.17 Hubungan Suhu Udara dengan Kapasitas Paru Responden di Gudang

201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 70 4.18 Hubungan Kelembaban Udara dengan Kapasitas Paru Responden

di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... ... .... 71 4.19 Seleksi Variabel yang Berhubungan dengan Gangguan Kapasitas Paru


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Anatomi Sistem Pernapasan Manusia ... 16

2.2 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul Penyakit)... 39

2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... ... 40


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden... 90

2. Kuesioner Penelitian ... 91

3. Hasil Pengukuran Kapasitas Paru pada Pekerja di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... 94

4. Hasil Pengukuran Kadar Partikel Debu Berdasarkan Titik Tempat Bekerja di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013.... 96

5. Hasil Pengukuran Suhu Udara Berdasarkan Titik Tempat Bekerja di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... 97

6. Hasil Pengukuran Kelembaban Udara Berdasarkan Titik Tempat Bekerja di Gudang 201, 202 dan 203 Pelabuhan Belawan Tahun 2013... 98

7. Master Data Penelitian ... . 99

8. Analisis Univariat ... . 101

9. Analisis Bivariat ... . 104

10. Analisis Multivariat... . 114

11. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... . 117

12. Surat Izin Penelitian dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan ... . 118

13. Surat Telah Selesai Melaksanakan Penelitian dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan ... . 119


(19)

ABSTRAK

Pencemaran udara menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, baik di dalam maupun diluar ruangan, yang dapat merubah kualitas udara. Kesehatan masyarakat di pelabuhan dapat terganggu oleh debu yang berasal dari proses pembongkaran, penyimpanan, penyusunan dan pengangkutan barang yang masuk atau keluar dari gudang Pelabuhan Belawan seperti : tepung, jagung, beras, pasir keramik, debu jalan dan menyebabkan gangguan saluran pernapasan dan kapasitas paru.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan kapasitas paru pada pekerja di gudang Pelabuhan Belawan. Metode penelitian analitik observasional dengan disain cross sectional. Populasi sebanyak 129 orang dan sampel 60 orang dengan teknik random sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner serta pengukuran langsung. Analisis dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi square dan fisher’s exact dan multivariat dengan uji regresi logistik ganda.

Hasil uji chi square menunjukkan variabel yang berhubungan dengan gangguan kapasitas paru yaitu kadar partikel debu (p=0,008), masa kerja (p=0,007), umur (p=0,037) dan penggunaan masker (p=0,023). Hasil uji Regresi Logistik Ganda variabel yang paling dominan berhubungan dengan kapasitas paru adalah masa kerja.

Pekerja yang mengalami gangguan kapasitas paru rata-rata berada pada tempat kerja yang kadar partikel debunya diatas NAB, mempunyai masa kerja yang lama, berumur diatas 30 tahun, mempunyai kebiasaan merokok dan tidak menggunakan masker ketika sedang bekerja.

Disarankan kepada para pekerja agar menggunakan masker dan tidak merokok ketika bekerja, Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan agar rutin melakukan pemeriksaan kapasitas paru dan mengukur kadar partikel debu serta Asosiasi Pekerja di Pelabuhan Belawan menyediakan masker yang memenuhi syarat kesehatan dan membuat rotasi tempat bekerja secara berkala.

Kata Kunci : Partikel Debu, Kapasitas Paru, Gudang Pelabuhan Belawan


(20)

ABSTRACT

Air pollution, either inside or outside the room, that can change air quality is the main problem of environmental health in the world. Community health in the sea port can be disrupted by the dust from the process of unloading, storage, preparation and transportation of goods such as flour, corn, rice and ceramic sands as well as road dust that can result in respiratory tract and lung capacity disorders.

The purpose of this observational analytical study with cross-sectional design was to analyze the relationship between dust particles and individual characteristics and lung capacity in the employees working in the warehouse of the Port of Belawan. The population of this study was 129 employees and 60 of them were selected to be the samples through random sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interview and direct measurement. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with chi square and fiher’s exact and multivariate analysis with multiple logistic regression tests.

The result of Chi-square test showed that the variables related to lung capacity disorder were the dust particle level (p = 0.008), length of service (p = 0.007), age (p = 0.037) and wearing mask (p = 0.023). The result of multiple logistic regression tests showed that length of service was the most dominantly related to lung capacity disorder.

In average, the employees experiencing lung capacity disorder are those who worked in the work places with dust particle level above the NAB, had longer length of service, were over 30 years old, had smoking habit, and did not wear masks while working.

The employees are suggested to wear masks and not to smoke while working. The management of Port Health Quarantine Class I Medan is suggested to routinly check the lung capacity and measure the dust particle level and the Worker Association in the Port of Belawan should provide the health-qualified masks and periodically make work place rotation.

Keywords: Dust particle, Lung Capacity, Warehouse, Port of Belawan


(21)

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada saat sekarang ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, khususnya di Negara-negara berkembang, baik pencemaran udara di dalam ruangan maupun pencemaran udara ambien di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan (WHO, 1997). Di banyak kota terutama yang urbanisasinya tumbuh pesat di negara-negara sedang berkembang, pencemaran telah merusak sistem pernapasan manusia terutama para perokok dan mereka yang menderita penyakit-penyakit kronis saluran pernapasan. Salah satu aktivitas yang menyebabkan pencemaran udara yaitu debu di udara yang dihasilkan dari aktifitas bongkar muat barang yang terjadi di gudang Pelabuhan Belawan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta berbagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi . Pelabuhan sekaligus juga bisa menjadi pintu gerbang terjadinya suatu penyebaran penyakit.


(22)

Pelabuhan Belawan memiliki area kerja sekitar 12.072,33 hektar yang terdiri dari Pelabuhan Pangkalan Belawan Lama, Pangkalan Ujung Baru, Pangkalan Citra, Terminal Peti Kemas Konvensional Gabion dan terminal Penumpang di Pangkalan Ujung Baru. Pelabuhan ini memiliki lima dermaga. Pelabuhan Belawan merupakan salah satu dari empat pelabuhan terbesar di Indonesia yang beroperasi selama 24 jam penuh yang siap untuk tempat kapal bersandar. Di samping waktu operasionalnya yang seharian penuh, juga dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat barang atau penyimpanan barang seperti gudang. Perpindahan barang dilakukan dengan tenaga mesin maupun dengan tenaga manusia.

Pencemaran udara dan ancaman penyakit merupakan suatu dampak negatif dari aktifitas-aktifitas yang terjadi pada suatu pelabuhan yang dapat menimbulkan kerugian besar baik pada sektor ekonomi, perdagangan dan sosial budaya yang bisa berdampak besar kepada suatu daerah atau Negara.

Masalah kesehatan adalah masalah yang sangat kompleks yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar kesehatan itu sendiri (Notoatmodjo, 2007). Kesehatan masyarakat di lingkungan pelabuhan dapat terganggu melalui berbagai sumber, salah satu sumber yang cukup signifikan adalah pencemaran udara oleh debu yang berasal dari proses pembongkaran, penyimpanan, penyusunan, dan pengangkutan barang-barang yang masuk ataupun keluar dari gudang pelabuhan yang berasal dari barang-barang seperti tepung , jagung, beras, pasir untuk bahan baku keramik, bahan baku untuk pupuk, bahan baku untuk pembuatan pakan ternak, besi


(23)

tua dan juga debu dari jalan raya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan saluran pernapasan atau gangguan kapasitas paru para pekerja di Pelabuhan Belawan khususnya pekerja di gudang Pelabuhan Belawan, ditambah dengan sanitasi gudang yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi yang tidak cukup dan juga prilaku para pekerja yang tidak menerapkan hidup bersih dan sehat yaitu merokok serta tidak menggunakan alat pelindung diri (masker) ketika sedang bekerja.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada Bab XII mengenai kesehatan kerja pasal 164 menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan meliputi pekerja-pekerja pada sektor formal dan nonformal. Untuk melindungi para pekerja tersebut pemerintah membuat nilai ambang batas untuk debu total sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per/13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara lingkungan Kerja untuk konsentrasi kadar debu total adalah sebesar 3 mg/m3.

Pencemaran udara oleh debu tersebut dapat merusak sistem pernapasan akibat orang yang terpapar debu tersebut pada konsentrasi maupun ukuran partikel debu yang berbeda-beda. Efek utama terhadap orang-orang yang terpapar debu yang bekerja di gudang pelabuhan tersebut berupa gangguan kapasitas paru baik yang bersifat akut maupun kronis. Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. peradangan ini dapat menyebabkan


(24)

penyumbatan jalan nafas sehingga dapat menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan paru (Mukono, 2008). Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap ialah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas paru.

Data dari Inggris British, Columbia dan Kanada menyebutkan bahwa 26-52% pekerja mengalami penyakit paru akibat kerja. Di Amerika Serikat terdapat 400.000 -3 juta pekerja menderita akibat penyakit paru. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pope (2003) yang menyjmpulkan bahwa paparan partikel debu secara kronis mempunyai hubungan dengan menurunnya fungsi paru. Schwartz (1993) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa jika terpapar debu total selama 11 tahun akan mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi paru. Di Indonesia penyakit gangguan paru yang diakibatkan paparan debu diperkirakan cukup banyak, meskipun data-data yang ada masih sangat kurang.

Pengukuran kadar debu total udara ambien di gudang Pelabuhan Belawan yang dilaksanakan oleh petugas Bidang Pengendalian Risiko Lingkungan Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan di gudang Pelabuhan Belawan hasilnya masih di atas Nilai Ambang Batas yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per/13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja kadar debu total adalah sebesar 3 mg/m3. Data yang di dapat dari hasil pengukuran kadar debu total di


(25)

gudang 201 sebesar 13 mg/m3, gudang 202 sebesar 10 mg/m3 dan gudang 203 sebesar 11 mg/m3.

Data penyakit saluran pernapasan yang didapat dari Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan yang diambil dari beberapa sarana kesehatan seperti Klinik, praktek Dokter dan Puskesmas yang ada di sekitar Pelabuhan Belawan sepanjang tahun 2012 menunjukkan bahwa penyakit saluran pernafasan merupakan penyakit nomor satu tertinggi di sekitar Pelabuhan Belawan. Data penyakit saluran pernapasan yaitu pada bulan Januari 2537 kasus, Pebruari 3028 kasus, Maret 2407 kasus, April 2267 kasus, Mei 2023 Kasus, Juni 1629 kasus, Juli 1344 kasus, Agustus 2152 kasus, September 1824 kasus, Oktober 1715 kasus, Nopember 1200 kasus dan Desember sebanyak 1468 kasus.

Tingginya kasus penyakit saluran pernapasan tersebut disebabkan beberapa faktor yang salah satunya adalah akibat paparan partikel debu dari aktivitas bongkar muat barang-barang yang datang/masuk maupun yang akan dikirim/keluar dari dan ke Pelabuhan Belawan.

Hal ini disebabkan karena para pekerja di gudang Pelabuhan Belawan tersebut secara terus menerus kontak dengan paparan partikel debu di tempat kerjanya selama 8 jam sehari atau 40 jam dalam satu minggu. Selain paparan partikel debu yang tinggi di lingkungan kerja juga dipengaruhi oleh karakteristik individu dari para pekerja itu sendiri seperti masa kerja, umur, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok, penggunaan masker dan sanitasi gudang yang tidak memenuhi syarat kesehatan


(26)

seperti ventilasi yang tidak cukup yang juga dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit gangguan saluran pernapasan dan gangguan kapasitas paru.

Berdasarkan permasalahan yang di uraikan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di gudang Pelabuhan Belawan tentang ”Hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan kapasitas paru pada pekerja di gudang Pelabuhan Belawan ”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah masih tingginya hasil pemeriksaan angka kadar debu di udara ambien di gudang 201, 202 dan gudang 203 yang melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per/13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja di gudang Pelabuhan Belawan dan tingginya angka kasus penyakit saluran pernapasan yang ada terdapat di beberapa sarana pelayanan kesehatan di sekitar Pelabuhan Belawan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan paparan partikel debu dan karakteristik individu dengan gangguan kapasitas paru pada pekerja di gudang Pelabuhan Belawan.


(27)

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara paparan partikel debu dan karakteristik individu (masa kerja, umur, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok dan penggunaan masker) serta ventilasi, suhu dan kelembaban udara dengan gangguan kapasitas paru pada pekerja di gudang Pelabuhan Belawan.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi tentang efek paparan partikel debu terhadap gangguan kapasitas paru kepada para pekerja dan instansi terkait seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan, Syahbandar Pelabuhan Belawan dan Asosiasi pekerja yang ada di Pelabuhan Belawan.

b. Sebagai informasi kepada instansi terkait seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan, Syahbandar Pelabuhan Belawan dan Asosiasi pekerja di Pelabuhan Belawan dalam menentukan program dan kebijakan untuk mencegah risiko penyakit akibat pencemaran udara oleh debu dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan para pekerja.

c. Pengendalian dini terhadap pencemaran udara oleh debu untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan para pekerja di gudang Pelabuhan Belawan.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara

Salah satu jenis pencemaran lingkungan hidup adalah pencemaran udara. Menurut Fardiaz (1992), udara di alam yang kita hirup tidak pernah ditemukan benar-benar bersih tanpa polutan sama sekali tetapi selalu mengandung partikel-partikel asing yang jika konsentrasinya terlalu tinggi ataupun melewati nilai ambang batas yang ditentukan akan dapat menyebabkan kualitas udara menurun atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Hal tersebut diatas dapat kita lihat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang menyatakan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Menurut Mukono (2005) yang mengutip pendapat dari Chambers, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau dapat diukur dan dihitung) serta dapat memberikan efek terhadap manusia, binatang, vegetasi dan material.


(29)

2.1.2. Sumber Pencemaran Udara

Wardhana (2001) menyebutkan sumber pencemaran udara dengan istilah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal terjadi secara alamiah sedangkan faktor eksternal merupakan pencemaran udara akibat ulah manusia.

1. Faktor internal/sumber alamiah

Udara dapat tercemar akibat kejadian-kejadian alam yang kadang tidak terduga sebelumnya seperti : debu yang diterbangkan oleh angin, debu akibat letusan gunung berapi, pembusukan sampah, keluarnya gas beracun akibat gempa bumi. 2. Faktor eksternal/akibat kegiatan manusia

Aktivitas kegiatan manusia pada dasarnya selalu mempunyai dampak lingkungan dan kesehatan (Rahman, 2005). Beraneka ragamnya kegiatan-kegiatan manusia disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : perkembangan kebudayaan, perkembangan teknologi serta didukung oleh pola konsumsi yang berlebihan. Beberapa aktivitas manusia yang dapat menimbulkan pencemaran udara antara lain : kegiatan industri, aktivitas bongkar muat barang-barang di gudang Pelabuhan Belawan, lalu lintas, pertambangan, pembakaran sampah, termasuk juga kegiatan-kegiatan di rumah tangga.

2.1.3. Parameter dan Jenis Pencemaran Udara

Beberapa parameter pencemaran udara berdasarkan baku mutu udara ambien yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang


(30)

Pengendalian Pencemaran Udara ada 13 parameter pencemaran udara yang dibagi menjadi 2 kategori letak kawasan yaitu :

1. Parameter untuk umum ( 9 parameter)

SO2, CO2, NO2, Oз, HC, PM10 / PM2,5, Debu, Pb, Dustfall 2. Parameter khusus untuk daerah / kawasan industri kimia dasar

Total fluorida, Fluor indeks, Khlorine dan Khlorine dioksida, Sulfat indeks Ada beberapa jenis pencemaran udara menurut Sunu (2001) yaitu : 1. Berdasarkan bentuk

a. Gas, adalah uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair karena dipanaskan atau menguap sendiri. Contohnya: CO2, CO, SO2, NO2.

b. Partikel, adalah suatu bentuk pencemaran udara yang berasal dari zat-zat kecil yang terdispersi ke udara, baik berupa padatan, cairan, maupun padatan dan cairan secara bersama-sama. Contohnya: debu, asap dan kabut.

2. Berdasarkan tempat

a. Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) disebut juga udara tidak bebas yang terjadi berkaitan dengan kegiatan di tempat kerja, di rumah, pabrik, bioskop, sekolah, rumah sakit, hotel, perkantoran, dan bangunan lainnya. b. Pencemaran udara luar ruang (outdoor air pollution) yakni pencemaran udara

yang terjadi di luar yang disebut juga udara bebas sebagaimana lazimnya di kawasan perkotaan yang disebabkan karena asap asap dari kendaraan bermotor maupun industri-industri (Achmadi, 2008).


(31)

3. Berdasarkan gangguan atau efeknya terhadap kesehatan

a. Irritansia adalah zat pencemar yang dapat menimbulkan iritasi jaringan tubuh, seperti SO2, Ozon, dan Nitrogen Oksida.

b. Aspeksia adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepas Karbon Dioksida. Gas penyebabnya seperti CO, H2S, NHз, dan CH4. c. Anestesia adalah zat yang mempunyai efek membius dan biasanya merupakan

pencemaran udara dalam ruang. Contohnya : Alkohol.

d. Toksis adalah zat pencemar yang menyebabkan keracunan. Zat penyebabnya seperti Timbal, Cadmium, Fluor, dan Insektisida.

4. Berdasarkan susunan kimia

a. Anorganik adalah zat pencemar yang tidak mengandung karbon seperti asbestos, ammonia, asam sulfat, dan lain-lain.

b. Organik adalah zat pencemar yang mengandung karbon seperti pestisida, herbisida, beberapa jenis alkohol dan lain-lain.

5. Berdasarkan asalnya

a. Primer adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan langsung ke udara yang menyebabkan konsentrasinya meningkat dan membahayakan. Contohnya: CO2. b. Sekunder adalah senyawa kimia berbahaya yang timbul dari hasil reaksi

antara zat polutan primer dengan komponen alamiah. Contohnya: Peroxy Acetil Nitrat (PAN) (Mukono, 2006).


(32)

2.2. Partikel Debu

2.2.1. Pengertian, Jenis, dan Sifat Debu

Partikel adalah pencemar udara yang berbentuk padatan dan droplet cairan yang terdapat dalam jumlah yang tinggi di udara. Sifat fisik partikel yang penting adalah ukurannya yang berkisar antara diameter 0,0002 mikron sampai sekitar 500 mikron (Fardiaz, 1992).

Debu adalah partikel zat padat dengan ukuran 0,1 hingga 100 mikron yang disebabkan oleh kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dan peledakan dari bahan-bahan organik maupun anorganik seperti batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat yang dihasilkan oleh manusia atau alam (Sumaʼmur, 1998). Debu adalah salah satu komponen yang dapat menurunkan kualitas udara. Partikel-partikel yang berukuran 1-3 mikron akan ditempatkan langsung di permukaan jaringan dalam paru-paru (Antaruddin, 2002).

Menurut Pudjiastuti, Rendra dan Santoso (1998) debu yang terdiri atas partikel-partikel dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

1. Dust

Dust adalah partikel padat yang dapat dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan yang terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai dengan yang besar. Debu yang berbahaya adalah debu dengan ukuran yang bisa terhirup sampai ke dalam sistem


(33)

pernapasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat dihirup sampai ke dalam paru-paru.

2. Fumes

Fumes adalah partikel padat yang terbentuk dari proses evaporasi atau kondensasi pemanasan berbagai jenis logam, misalnya menghirup uap logam yang kemudian berkondensasi menjadi partikel metal fumes misalnya logam cadmium dan timbal. 3. Smoke

Smoke atau uap adalah partikel padat yang merupakan hasil dari proses pembakaran bahan organik yang tidak sempurna, distilasi atau reaksi kimia yang berukuran sekitar 0,5 mikron sedangkan partikel cair disebut dengan mist atau fog (awan) adalah partikel cair dari reaksi kimia yang dihasilkan melalui proses kondensasi uap air atau automizing.

Adapun sifat-sifat debu menurut Fardiaz (1992) adalah: 1. Mengendap

Debu cenderung mengendap karena gaya tarik bumi, namun karena ukurannya yang relatif kecil berada di udara debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

2. Permukaan cenderung selalu bersih

Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya yang selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi sangat penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.


(34)

Debu bersifat menggumpal karena disebabkan permukaan debu yang selalu basah debu menempel antara satu dengan yang lainnya dan membentuk gumpalan.

4. Listrik statis (elektrostatis)

Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lainnya yang berlawanan. Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

5. Opsis

Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya yang dapat memancarkan sinar yang terlebih dapat terlihat pada kamar gelap.

2.2.2. Nilai Ambang Batas Debu

Aktivitas bongkar muat barang-barang di gudang Pelabuhan Belawan khususnya gudang 201, 202 dan 203 dengan menggunakan bahan-bahan ataupun peralatan-peralatan kerja yang dapat mengakibatkan dampak negatif terutama bagi para pekerja seperti gangguan kesehatan, gangguan keselamatan, gangguan kenyamanan kerja serta gangguan pencemaran lingkungan tempat bekerja yang disebabkan paparan partikel debu dari aktivitas bongkar muat tersebut. Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara perlu digunakan nilai ambang batas yang ditetapkan sebagai batas maksimum baku mutu udara (Mukono, 2002).

Nilai Ambang Batas debu adalah standar konsentrasi kadar debu yang dianjurkan di lingkungan tempat kerja agar para pekerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam


(35)

sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan Nilai Ambang Batas ini adalah sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan tempat kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan. Untuk kadar partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per/ 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja untuk Konsentrasi Kadar Debu Total di Udara Lingkungan Kerja adalah sebesar 3 mg/m3.

2.2.3. Mekanisme Pengendapan Partikel Debu di Paru-Paru

Mekanisme pengendapan partikel debu ke dalam sistem pernapasan manusia di dalam paru-paru berlangsung dengan berbagai cara antara lain (Pope, 2003) : 1. Inertia/kelembaman

Dengan adanya inertia / kelembaman debu yang bergerak, maka partikel debu yang bermassa bergerak tetap lurus dan tidak mengikuti aliran udara yang membelok ketika memasuki saluran pernapasan manusia yang tidak lurus. Akibatnya partikel debu yang besar tidak akan membelok mengikuti aliran udara, namun mengendap pada tempat yang berlekuk pada saluran pernapasan sedangkan partikel debu yang kecil masuk ke dalam saluran pernapasan yang lebih dalam. 2. Sedimentasi

Mekanisme sedimentasi terhadap debu terjadi khususnya dalam bronchi dan bronchioli. Karena kecepatan arus udara sangat kurang (kurang dari satu cm/detik)


(36)

pada bronchi dan bronchioli, maka partikel mengendap karena mengalami gaya berat pada saluran pernapasan.

3. Gerakan Brown

Mekanisme gerakan Brown terjadi pada partikel yang berukuran kurang dari 0,1 mikron. Partikel tersebut akan mengendap pada permukaan alveoli melalui gerakan udara.

4. Electrostatic

Hal ini terjadi karena saluran pernapasan dilapisi mukus, yang merupakan konduktor yamg baik secara elektrostatic.

5. Interseption

Terjadi pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran partikel untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan. Partikel >5 mikron akan tertahan di hidung dan jalan napas bagian atas, 3-5 mikron tertahan di bagian tengah jalan napas dan 1-3 mikron akan menempel di alveoli (Pujiastuti, 2002). Tidak semua partikel mengalami pengendapan di dalam paru-paru manusia. Pengendapan debu di paru juga dipengaruhi karakteristik debu dan orang tersebut. 2.3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

2.3.1. Anatomi Sistem Pernafasan

Anatomi sistem pernafasan manusia pada umumnya di bagi dua bagian yaitu anatomi sistem pernafasan bagian atas dan anatomi sistem pernafasan bagian bawah. Anatomi sistem pernafasan manusia seperti gambar dibawah ini :


(37)

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernafasan Manusia Anatomi sistem pernafasan manusia terdiri dari (Guyton, 2001) :

a. Hidung

Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut dalam lubang hidung, sedangkan yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika mencapai pharing, dikatakan hampir ”bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh. b. Pharing

Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan saluran penghubung ke saluran pernafasan dan pencernaan. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda asing yang masuk ke hidung dan pharing.


(38)

c. Laring

Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Jika benda asing masuk melewati glotis, maka dengan adanya refleks batuk akan membantu mengeluarkan benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah. d. Trachea

Terletak di bagian depan esophagus, mulai bagian bawah krikoid kartilago laring dan setinggi vertebra thorakal. Trachea bercabang menjadi bronchus kanan dan kiri. Percabangannya disebut karina yang terdiri dari 6 – 10 cincin kartilago. e. Bronkhus

Cabang utama bronkhus kanan dan kiri bercabang menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen brokus. Cabang ini diteruskan sampai cabang terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus yang dikelilingi otot polos. f. Bronchiolus

Diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli. alveolus dan alveolus terminal, merupakan struktur akhir paru.

g. Paru-paru

Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total seluas lapangan tenis (Mukono, 2008). Alveolus dibatasi zat lipoprotein disebut


(39)

surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan dan resistensi saat inspirasi dan mencegah kolapsnya alveolus waktu respirasi. Pembentukan surfaktan tergantung faktor pendewasaan sel alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah ke dinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor yang sangat penting dan berperan sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada. 2.3.2. Fisiologi Sistem Pernafasan

Rahajoe dkk, (1994) menyatakan fungsi utama paru adalah sebagai alat pernafasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari alveolus keluar tubuh (ekspirasi). Sistem respirasi memiliki kemampuan untuk merespon dengan cepat kebutuhan tubuh dan berperan penting memperbaiki dan mempertahankan homeostatis di dalam jaringan. Fisiologi sistem pernapasan tidak hanya mendukung fungsi utamanya tetapi juga fungsi lain dalam mempertahankan integritas tubuh juga membantu mempertahankan asam-basa tubuh, metabolisme senyawa tertentu, menyaring bahan yang tidak diinginkan, mencegah dan menurunkan infeksi dan berperan sebagai reservoir darah (Francis, 2011). Pernafasan berarti pengangkutan oksigen ke sel dan CO2 dari sel kembali ke atmosfer. Proses ini menurut Guyton (2001) dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:

a. Pertukaran udara paru berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli. Alveoli yang mengembang tidak dapat mengempis penuh karena adanya udara sisa yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Disebut volume residu, volume ini penting karena menyediakan O2 untuk menghasilkan darah. b. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.


(40)

c. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel. d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Menurut Rahajoe dkk (1994), dari aspek fisiologi pernapasan ada dua yaitu: a. Pernapasan luar (eksternal respiration) yang berlangsung di paru-paru, aktivitas

utamanya adalah pertukaran udara.

b. Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.

Sebagai organ pernafasan, dalam melakukan tugasnya, paru-paru dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2, sistem saraf pusat berperan sebagai pengendali irama dan pola pernapasan.

2.4. Dampak Pencemaran Debu terhadap Kesehatan

Debu merupakan salah satu polutan yang mengganggu kenikmatan kerja. Debu menimbulkan dampak terhadap kesehatan, ekosistem maupun iklim. Gangguan kesehatan dari debu mengakibatkan gangguan saluran pernapasan. Debu disebut partikel yang melayang di udara (dengan ukuran 1- sampai 500 mikron).

Partikel debu berada di udara dalam waktu relatif lama dalam keadaan melayang, masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Membahayakan bagi kesehatan manusia juga mengganggu daya tembus pandangan mata dan mengadakan reaksi kimia sehingga komposisi debu menjadi partikel yang rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda.


(41)

Menurut Fardiaz (1992), partikel debu berbahaya bagi pernapasan karena : 1. Karakterisitik fisik dan kimia yang kemungkinan mengandung zat yang beracun

dan berbahaya.

2. Partikel debu bersifat inert (tidak bereaksi) tetapi jika mengendap di saluran pernapasan dapat menghambat proses pembersihan terhadap zat yang beracun dan berbahaya yang masuk ke dalam sistem pernapasan.

3. Partikel dapat mengabsorbsi molekul gas yang beracun dan berbahaya yang kemungkinan ikut masuk ke dalam saluran pernapasan.

Menurut WHO (1994) ukuran partikel debu yang membahayakan adalah berukuran 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa ukuran partikel debu yang sangat membahayakan bagi kesehatan manusia berkisar antara 0,1-10 mikron.

Pengendalian pencemaran udara berhubungan dengan kesehatan masyarakat yang dilakukan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa pencemaran udara terhadap manusia mempengaruhi sistem pernapasan, karena kita menghirup dan menghembuskan udara sekitar 10m3 per hari. Saat bernapas terjadi translokasi pencemar udara terhirup masuk ke Alveoli. Pencemaran udara dapat mengakibatkan peradangan paru dan jika terus menerus dapat menimbulkan gangguan kapasitas paru. Bahan pencemar udara menyebabkan kelainan pada saluran pernapasan jika dihirup dari udara adalah partikel debu. Dampak debu yang terhirup tergantung ukuran partikel debu, konsentrasi dan komposisi kimianya. Semakin kecil partikel


(42)

debu semakin jauh masuk ke saluran pernapasan. Partikel yang mengendap di Alveoli akan menyerang jaringan paru-paru dan menimbulkan penyakit Pneumoconiosis.

Lingkungan kerja yang sering penuh oleh partikel-partikel debu sering menyebabkan gangguan sistem pernapasan ataupun dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan penglihatan, gangguan kapasitas paru bahkan dapat menyebabkan keracunan umum (Sumaʼmur, 1998). Partikel-partikel debu juga dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis bila terinhalasi selama bekerja dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Bila Alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitas dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun (Depkes RI, 2004).

Pekerja terpapar partikel debu, dianjurkan memeriksakan kapasitas parunya setiap tahun. Gangguan kapasitas paru dan saluran pernapasan akibat partikel debu dipengaruhi oleh debu juga faktor individu orang tersebut berupa pertahanan tubuh. Menurut Faridawati (2003) kerusakan saluran pernapasan yang disebabkan oleh paparan partikel-partikel debu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Jenis debu

Partikel yang berbahaya untuk paru adalah debu organik dan debu inorganik. organik : mikrobakteri, fosil, sedangkan inorganik : silika bebas, metal, debu inert. Debu inorganik dalam waktu lama mengakibatkan gangguan kapasitas paru. 2. Ukuran debu


(43)

Efek negatif pada kesehatan tergantung dari ukuran debu. Partikel debu yang besar tersaring di hidung dan yang kecil masuk sampai parenkim. Debu dengan diameter 0,5-2,5 mikron mengendap di Alveoli dan mengakibatkan pneumokomiosis.

3. Komposisi kimia debu

a. Inert dust yaitu efek kesehatan yang berdampak sangat sedikit atau tidak ada sama sekali dan tidak menyebabkan reaksi fibrosis pada paru-paru.

b. Profliferate dust

Efek kesehatan yang terjadi adalah fibrosis pada paru-paru sehingga terjadi pengerasan pada alveoli (Depkes RI, 1993).

4. Konsentrasi debu

Di tempat dengan pencemaran udara tinggi biasanya jumlah partikel meningkat. Semakin tinggi konsentrasi debu maka dampak kesehatannya semakin parah.

5. Lama paparan

Kapasitas paru menurun akibat paparan partikel debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak dengan partikel-partikel debu dengan waktu yang cukup lama. Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kejadian gangguan kapasitas paru.

6. Pertahanan tubuh

Paru dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan lingkungan baik berupa pencemaran udara, rokok, obat-obatan, udara dingin dan faktor-faktor non spesifik lainnya.


(44)

Sistem pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain.

Berdasarkan lama partikel debu tersuspensi di udara dan rentang ukurannya partikel debu dibedakan dalam dua golongan yaitu (Whardana, 2001) :

1. Deposite Particulate Matter (DPM) yaitu partikel debu yang berada sementara di udara dan segera mengendap akibat gaya gravitasi bumi.

2. Suspended Particulate Matter (SPM) yaitu debu yang tetap melayang di udara dan tidak mudah mengendap. Debu ini terdiri dari berbagai senyawa organik dan anorganik terbesar di udara dengan diameter debu mulai dari <1 mikron sampai dengan 500 mikron.

2.5. Gangguan Kapasitas Fungsi Paru

Selain menilai kondisi organ paru, diagnosis penyakit paru perlu pula menentukan kondisi kapasitas dan fungsionalnya. Dengan mengetahui kapasitas paru, maka beberapa tindakan medis yang akan dilakukan pada penderita tersebut dapat diramalkan keberhasilannya, disamping itu progresivitas penyakitnya dapat diketahui. Pemeriksaan faal paru saat ini dikategorikan sebagai pemeriksaan rutin.

1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun

Pencemaran udara ambien oleh debu dapat mengakibatkan terjadinya radang paru dan jika terus menerus mengakibatkan kelainan faal paru obstruktif atau penyakit paru obstruktif menahun. Penyakit paru obstruktif menahun merupakan istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan


(45)

ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Mukono, 2008). Penyakit paru yang jelas secara anatomi memberikan tanda kesulitan pernapasan yang mirip yaitu terbatasnya jalan udara yang kronis, terutama bertambahnya resistensi terhadap jalan udara saat ekspirasi. Gangguan ini adalah bronkitis kronis, bronkiolitis dan asma bronkiale, ditandai dengan pembesaran rongga-rongga udara dibagian distal dari bronkioli terminalis dan kerusakan pada septa alveoli.

Penyakit asma biasanya ditandai dengan serangan obstruksi spasmodik jalan udara, tetapi kadang-kadang menyebabkan penyempitan jalan udara yang terus-menerus pada keadaan seperti asmatis bronkitis kronik. Keadaan klinik penyakit dari kedua saluran udara yang besar maupun yang kecil berperan dalam terjadinya PPOM. Perlu ditekankan kembali bahwa bronkitis sendiri untuk beberapa saat dapat tanpa menyebabkan disfungsi ventilasi, tetapi dapat menyebabkan batuk prominem dan dahak yang produktif, bila terjadi sesak nafas hipoksemia dan hiperkapnea. Oksigenisasi tidak adekuat dari darah dapat menimbulkan sianosis.

Perjalanan klinis dari penderita PPOM terbentang mulai dari apa yang dikenal sebagai pink puffers sampai blue bloaters. Tanda klinis utama dari pink puffers (berkaitan dengan emfisema panlobular primer) adalah timbulnya disponea tanpa disertai batuk dengan pembentukan sputum yang berarti. Biasanya disponea mulai timbul diusia 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada ujung ekstrim lain dari PPOM didapati penderita blue bloaters (bronkitis tanpa bukti-bukti emfisema obstruktif yang jelas), penderita penyakit ini disertai dengan batuk produktif dan


(46)

berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi. Akan tetapi, akhirnya timbul gejala disponea pada waktu penderita melakukan kegiatan fisik.

Perjalanan PPOM ditandai dengan ”batuk merokok” atau ”batuk pada pagi hari” disertai pembentukan sedikit sputum mukoid, infeksi saluran pernapasan berlangsung lebih lama. Akhirnya serangan bronkitis akut makin sering timbul, terutama pada musim dingin, dan kemampuan kerja penderita berkurang, sehingga pada waktu mencapai usia 50-60-an penderita mungkin harus berhenti bekerja.

2. Emfisema

Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal yaitu adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis distal (Djojodibroto, 2012). Jenis-jenis emfisema yaitu :

a. Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal (bronkioli respiratorik), namun bila progresif, dilatasi dan destruktif dari dinding distal alveoli juga akan terjadi. Secara khas perubahan akan lebih sering dan lebih berat dibagian atas daripada dibagian zona bawah lobus, bentuk emfisema ini adalah penyakit yang paling dominan pada perokok.

b. Emfisema panlobular (panasinar) yaitu terjadi pelebaran alveoli yang progresif, serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli dan alveoli. Bila proses menjadi difus, biasanya lebih jelas tandanya pada lobus bawah, bentuk emfisema


(47)

ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun perokok dapat menyebabkan bentuk dari emfisema ini, namun hubungan tersebut tidak sesering pada emfisema sentilobuler.

c. Emfisema paraseptal atau sub pleura, biasanya terbatas pada zona sub pleura dan sepanjang septa interlobaris, yang ditandai dengan keterlibatan asinus distal, alveoli dan kadang-kadang duktus alveoli. Bentuk ini sering menimbulkan gelembung bula yang besar langsung di bawah pleura, dan juga dapat menimbulkan pneumotoraks pada dewasa muda (Yunus, 2006).

3. Penyakit paru interstisial (restriktif)

Penyakit paru interstisial dimulai dengan proses peradangan interstisial terutama sel imunokompeten yang aktif dan kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyebab kerusakan. Paling ditakutkan dari penyakit ini adalah penebalan fibrosis dinding alveolar yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi pernafasan dan mengacaukan arsitektur paru-paru. Menyebabkan pembuluh darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga udara dan paru berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas mengalami gangguan. Dengan demikian penyakit paru interstisial/restriktif merupakan penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas paru.


(48)

2.6. Volume, Kapasitas dan Pemeriksaan Kapasitas Paru 2.6.1. Volume Paru

Volume paru berubah saat pernapasan berlangsung. Saat inspirasi mengembang dan ekspirasi akan mengempis. Keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan tanpa disadari (WHO,1993). Parameter volume paru adalah :

a. Volume tidal (Tidal Volume=TV), adalah volume paru yang normal dihirup dan dihembuskan setiap tarikan napas. Nilai rata-ratanya orang dewasa sekitar 500 ml. b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume=IRV), volume udara

yang dihirup sesudah inspirasi biasa, Nilai rata-rata orang dewasa sekitar 3000 ml. c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV), adalah volume

udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru setelah ekspirasi biasa, Nilai rata-ratanya pada orang dewasa adalah sekitar 1000-1200 ml.

d. Volume Residu (Residual Volume = RV), adalah udara yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Nilai normalnya adalah sekitar 1000 ml.

2.6.2. Kapasitas Paru

Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan kedalam tubuh atau paru-paru secara maksimal. Jumlah oksigen yang masuk ditentukan oleh kembang kempisnya sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti oksigen yang diperoleh semakin banyak. Kapasitas paru laki-laki lebih besar daripada wanita. Berdasarkan umur dan tinggi badan dapat ditaksir besar kapasitas parunya.


(49)

Nilai normal faal paru sangat bervariasi nilainya, tergantung pada ukuran tubuh (tinggi dan berat badan), umur serta jenis kelamin (Djojodibroto, 2012).

Penelitian Alsagaff dan Mangunnegoro (1993) yang mendapat rekomendasi American Thoracic Society (ATS) didapatkan rumus nilai normal faal paru yang disesuaikan dengan umur, ukuran tubuh serta jenis kelamin bagi orang Indonesia. FVC=-5,44018+0,06114 x U+0,04849 x TB+1,62398 xC-0,07768x(CxU)+0,4105 FEV1=-4,10074+0,04864xU+0,03674x TB+1,4969 x C-0,07433x(CxU)+0,39138 Keterangan : U=Umur, Umur ≥ 21 tahun, C = 1, Umur < 21 tahun, C = 0

TB = Tinggi Badan, dalam satuan cm

Dalam menguraikan peristiwa pada siklus paru, diperlukan penyatuan dua atau lebih volume paru, yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi paru adalah : a. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity=IC) yaitu udara yang masuk paru setelah

inspirasi maksimal atau volume cadangan ditambah volume tidal (IC=IRV+TV). b. Kapasitas Vital (Vital Capacity=VC), adalah volume udara yang dapat dikeluarkan

melalui ekspirasi maksimal setelah sebelumnya inspirasi maksimal (4000 ml) atau jumlah udara maksimum yang berpindah pada satu tarikan napas. Besarnya sama dengan volume inspirasi cadangan ditambah volume tidal (VC=IRV+ERV+TV). c. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capasity = TLC), adalah jumlah total udara yang

berada dalam paru pada akhir inspirasi maksimum. Besarnya sama dengan jumlah kapasitas vital ditambah volume residu (TLC=VC+RV atau TLC=IC+ERV+RV).


(50)

d. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capasity=FRC), adalah jumlah udara di dalam paru setelah ekspirasi normal. Besarnya sama dengan jumlah volume ekspirasi cadangan ditambah volume sisa (FRC=ERV+RV).

2.6.3. Pemeriksaan Kapasitas Paru

Salah satu cara pemantauan kesehatan tenaga kerja yang terpapar faktor berbahaya di udara ambien di lingkungan kerja yang berwujud inhalasi partikel debu, bahan kimia atau benda asing adalah dengan pemeriksaan kapasitas paru. Pemeriksaan kapasitas paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja untuk mengetahui fungsi parunya yaitu dengan menggunakan alat yang disebut spirometer, karena pertimbangan biaya yang murah, ringan, praktis dibawa kemana-mana, akurasinya tinggi, cukup sensitif, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi yang handal. Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua volume paru kecuali kapasitas paru yang mengandung kompenen volume residu.

Pemeriksaan sprirometri adalah suatu teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi/faal paru, dimana seseorang diminta untuk meniup sekuat-kuatnya melalui suatu alat yang dihubungkan dengan spirometer yang secara otomatis akan menghitung kekuatan, kecepatan dan volume udara yang dikeluarkan sehingga dapat diketahui kondisi faal paru dari orang tersebut.

Gangguan fungsional ventilasi paru digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu : a. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara yang ditandai


(51)

b. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan pada VC, RV dan TLC.

Dari berbagai pemeriksaan kapasitas fungsi/faal paru, yang paling sering dilakukan adalah :

1. Vital Capasity (VC) adalah volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah inspirasi maksimal. Berdasarkan cara pengukurannya : VC dimana subjek tidak perlu melakukan aktifitas pernapasan dengan kekuatan penuh dan Forced Vital Capasity dimana subjek melakukan aktifitas pernapasan dengan kekuatan maksimal. Berdasarkan fase yang diukur : VC inspirasi, hanya diukur pada fase inspirasi dan VC ekspirasi diukur hanya pada fase ekspirasi (Guyton, 2001). Orang normal tidak ada perbedaan FVC dan VC, sedang pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan. VC merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding toraks. VC menurun merupakan kekakuan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan Vital Capacity.

2. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) yaitu besarnya volume udara yang dikeluarkan satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama orang normal antara 4-5 detik, detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC. Obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume detik pertama tersebut. Bila FEV1/FVC kurang dari 75% berarti abnormal. Pada penyakit obstruktif seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan


(52)

FEV1 yang lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV1/FEV kurang dari 75%.

3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) adalah aliran udara maksimal yang dihasilkan sejumlah volume tertentu. PEFR menggambarkan keadaan saluran pernapasan, PEFR berarti ada hambatan aliran udara pada saluran pernapasan.

2.7. Faktor-Faktor Resiko Pekerja terhadap Gangguan Kapasitas Paru

Banyak faktor yang mempengaruhi penyakit saluran pernafasan dan gangguan kapasitas paru pekerja di gudang Pelabuhan Belawan. Faktor yang mempengaruhi gangguan kapasitas paru adalah kadar debu, masa kerja, umur, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok, penggunaan masker, ventilasi, suhu dan kelembaban.

1. Kadar partikel debu di dalam ruangan

Peningkatan kadar partikel debu di dalam gudang Pelabuhan Belawan selain berasal dari sumber polutan dalam ruangan juga berasal dari luar ruangan. Faktor penyebab terjadinya pencemaran udara atau tingginya partikel debu di udara ambien disebabkan oleh debu dari aktivitas bongkar muat barang dari proses penerimaan dari kapal, penyimpanan dan penyusunan serta penyerahan barang/pemindahan dari gudang ke truk pengangkut demikian juga sebaliknya dari truk pengangkut, kemudian disimpan, disusun lalu dimuat ke kapal pengangkut. Barang yang masuk/datang dari kapal maupun barang yang akan dikirim dibongkar, diangkut dan disusun menurut jenisnya. Proses pembongkaran, pemuatan dan penyusunan barang dari dan ke dalam gudang inilah pekerja terpapar oleh partikel debu yang beterbangan di dalam gudang.


(53)

2. Masa kerja

Semakin lama seseorang bekerja di tempat kerja yang berdebu, maka kemungkinan partikel debu untuk menumpuk dan menimbun di dalam paru-paru akan semakin besar sebagai akibat dari menghirup debu tersebut sehari-hari ketika sedang bekerja. Debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru-paru tersebut dapat memicu gangguan kesehatan pada paru-paru tersebut. Masa bekerja selama bertahun-tahun dapat memperparah kondisi kesehatan saluran pernapasan pekerja tersebut karena frekuensi yang sering terpapar oleh partikel debu setiap harinya (Sumaʼmur, 1998). Pekerja yang berada dilingkungan kerja dengan kadar partikel debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko terkena penyakit paru obstruktif.

Masa kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpapar oleh partikel debu. Semakin lama terpapar partikel debu maka semakin besar risiko terjadinya gangguan kapasitas fungsi paru. Pekerja di lingkungan kerja dengan kadar partikel debu yang tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penyakit paru obstruktif pada pekerja di lingkungan berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).

3. Umur

Faal paru pada tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh usia tenaga kerja itu sendiri. Seiring pertambahan umur, kapasitas paru-paru akan menurun. Kapasitas paru-paru orang berumur > 30 tahun rata-rata adalah 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada mereka yang berusia > 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan


(54)

saluran pernafasan. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian Lestari (2001) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kelainan faal paru tenaga kerja. Semakin tua seseorang, semakin banyak alveoli yang rusak selain itu daya tahan tubuh yang rendah dan paparan partikel debu setiap hari akan mempengaruhi untuk menyebabkan gangguan kapasitas fungsi paru pada orang dengan umur yang sudah tua (Nelson dkk, 2005).

4. Indeks massa tubuh

Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan seseorang menurun, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroba. Infeksi saluran pernapasan, apabila terjadi berulang dan disertai batuk berdahak, akan menyebabkan bronkhitis kronis. Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT).

Memantau berat badan seseorang dapat digunakan indeks massa tubuh, akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk (Depkes, 2000). Penggunaan IMT hanya untuk dewasa berumur 18 tahun keatas dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil dan olahragawan.

Batas ambang IMT ditentukan merujuk ketentuan FAO atau WHO. Kesehatan berdasar kecukupan gizi dapat ditentukan dengan IMT atau Body Mass Index/BMI. Menurut WHO batas ambang IMT ditetapkan seperti tabel dibawah ini :


(55)

Tabel 2.1 Ambang Batas IMT

Category BMI Risk of Morbidities

Underweight < 18.5

Normal 18.5 – 24.9 Average

Overwieght 25.0 – 29.9 Increased

Obese I 30.0 – 34.9 Moderate

Obese II 35.0 – 39.9 Severe

Obese III ≥ 40 Very Severe

Sumber, World Health Organization, 2003

Untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : ( Berat Badan )

Indeks massa tubuh =

( Tinggi Badan )2 5. Kebiasaan merokok

Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung bahan toksik dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya sebanyak 1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak merokok terhadap kesehatan paru-paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru. Pada jaringan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya.

Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok terutama sigaret dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru.


(56)

Para pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok dapat mempunyai risiko atau pemicu timbulnya keluhan subyektif saluran pernafasan dan gangguan kapasitas paru pada tenaga kerja (Giano, 1995). Sementara Lubis (1991) menyatakan para pekerja yang perokok merupakan salah satu faktor risiko penyebab penyakit saluran pernafasan. Raharjoe dkk (1994) mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan kapasitas paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Yunus (2006) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu para pekerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut. Beberapa penelitian tentang bahaya merokok terhadap kesehatan dan gangguan fungsi paru dikemukakan oleh Mangesha dan Bakele (1998) terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dan gangguan saluran pernafasan.

6. Penggunaan masker

Masker digunakan untuk melindungi para pekerja di gudang Pelabuhan Belawan dari partikel debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Tanpa menggunakan alat pelindung seperti masker paparan partikel debu akan menimbulkan bahaya kesehatan bagi para pekerja. Penggunaan masker oleh pekerja yang udaranya banyak mengandung partikel debu, merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu ke dalam saluran pernafasan.


(57)

Dengan menggunakan masker yang memiliki penyaring yang memenuhi syarat kesehatan (jenis M95), diharapkan para pekerja akan terlindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan saluran pernafasan akibat terpapar udara yang kadar debunya sangat tinggi di lingkungan tempat kerjanya.

Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja akan terhindar dari terjadinya gangguan pernapasan. Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker merupakan cara ”aman” bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan.

7. Ventilasi

Ventilasi berfungsi untuk pertukaran udara di dalam ruangan gudang untuk memelihara dan menciptakan udara di dalam suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan atau kenyamanan pekerja. Disamping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar suatu kontaminan di udara seperti partikel debu di tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Jika tidak ada sistem pertukaran udara, kontaminan yang ada akan bergerak perlahan di dalam ruangan tempat kerja, sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar sumber dan di daerah sekitar pernapasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi.


(58)

Petukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan peralatan mekanik. Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi ruangan panas. Dengan kondisi panas, udara akan memuai dan naik lalu keluar melalui vena di atap. Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar yang masuk melalui lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan. Pertukaran udara secara mekanik dilakukan dengan cara memasang sistem pengeluaran udara (exhaust system) dan pemasukan udara (supply system) dengan menggunakan fan. Exhaust system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta kontaminan yang ada sekitar tempat lingkungan kerja. Supply system dipasang untuk memasukkan udara ke dalam ruangan gudang yang ada di Pelabuhan Belawan, umumnya digunakan untuk menurunkan tingkat konsentrasi kontaminan yang berasal dari partikel debu didalam lingkungan kerja akibat adanya proses bonbgkar muat barang-barang (Notoatmodjo, 2007).

8. Suhu

Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara di dalam ruangan gudang Pelabuhan Belawan adalah Suhu. Suhu atau keadaan temperatur di gudang Pelabuhan Belawan dikatakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18 0C – 30 0C. Suhu udara yang tinggi akan mempercepat reaksi penyebaran suatu bahan pencemar seperti partikel debu di dalam gudang, sedangkan suhu udara yang rendah akan menyebabkan keadaan menjadi lembab (Mukono, 2008) .


(59)

9. Kelembaban

Kelembaban udara adalah persentase jumlah kandungan uap air di udara di gudang Pelabuhan Belawan. Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi kadar pencemar di udara (Suryanto, 2003). Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi, karena apabila ventilasi tidak cukup di gudang Pelabuhan Belawan akan menyebabkan suhu udara dalam ruangan akan rendah sehingga kelembaban udara di dalam ruangan akan tinggi karena terjadinya proses penguapan.

2.8. Landasan Teori

Mengacu dari tinjauan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi kapasitas paru, dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan landasan teori dari Achmadi (2011) tentang paradigma kesehatan lingkungan dengan teori simpul kejadian penyakit. Dalam teori simpul kejadian penyakit tersebut, proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni sebagai berikut :

Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit, yaitu risk agent berupa adanya bahan pencemar di lingkungan tempat kerja yang berasal dari partikel debu akibat aktivitas dari proses bongkar muat barang di gudang Pelabuhan Belawan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau melalui media perantara.


(60)

Simpul 2 disebut sebagai komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit, yaitu udara lingkungan tempat kerja di gudang Pelabuhan Belawan yang telah tercemar dengan partikel debu (risk agent).

Simpul 3 disebut sebagai perilaku pemajanan (Behavioral Exposure), yaitu jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit ( agen penyakit ). Dalam penelitian ini adalah kadar partikel debu di gudang Pelabuhan Belawan yang terhirup oleh para pekerja selama bertahun-tahun bekerja di tempat kerja yang berdebu serta ketika sedang bekerja tidak menggunakan masker dan prilaku merokok ketika sedang bekerja.

Simpul 4 disebut sebagai kejadian suatu penyakit, yaitu hubungan interaktif antara para pekerja di gudang Pelabuhan Belawan dengan lingkungan tempat bekerja yang memiliki potensi yang membahayakan gangguan kesehatan, yang akan dinilai kapasitas parunya apakah masih normal atau telah mengalami gangguan.

Proses kejadian penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul tersebut di atas yakni simpul 1 sebagai sumber penyakit, simpul 2 sebagai media transmisi penyakit, simpul 3 sebagai prilaku pemajanan dan simpul 4 sebagai kejadian penyakit dapat digambarkan kedalam suatu model atau teori simpul penyakit sebagai berikut :


(61)

Gambar 2.2 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul Penyakit)

Manajemen Penyakit

Sumber Penyakit

Media Transmisi Penyakit

Prilaku Pemajanan

Dampak

Partikel debu akibat aktivitas bongkar muat barang di gudang Pelabuhan Belawan

Pencemaran udara oleh debu yang terhirup oleh para pekerja di gudang

Pelabuhan Belawan

Saluran pernafasan yang terpapar oleh partikel debu

Gangguan kapasitas paru


(62)

2.9. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Kapasitas Paru Pekerja di Gudang Pelabuhan Belawan Kadar Partikel Debu

Karakteristik Individu

1.Masa kerja

2.Umur

3.Indeks massa tubuh 4.Kebiasaan merokok 5.Penggunaan masker 6.Ventilasi

7.Suhu 8.Kelembaban


(63)

43

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional yaitu untuk mengetahui hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis, dengan menggunakan desain cross sectional, dimana variabel bebas dan variabel terikat yang terdapat pada obyek penelitian diukur, diamati, diperiksa dan dikumpulkan dalam satu saat atau suatu periode tertentu. Penelitian ini dilakukan tanpa mengikuti proses perjalanan penyakit sehingga seolah-olah merupakan suatu penampang melintang (Budiarto, 2002).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di gudang yang ada di Pelabuhan Belawan yaitu gudang 201, 202 dan 203 dimana gudang-gudang tersebut masih aktif dan sering digunakan untuk proses bongkar muat barang-barang yang masuk / datang ataupun yang keluar dari gudang di Pelabuhan Belawan. Gudang 201 berisi barang-barang seperti bahan baku untuk pembuatan pupuk,pakan ternak dan keramik, semen curah, bungkil, dll. Gudang 202 berisi barang-barang seperti besi-besi tua dan peralatan-peralatan yang terbuat dari besi sedangkan gudang 203 berisi tepung terigu, jagung dan beras.

Adapun waktu penelitian mulai dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei tahun 2013.


(64)

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang bekerja di gudang 201, 202 dan gudang 203 yang berjumlah 129 orang, masing-masing gudang 43 orang pekerja yaitu : 4 orang petugas gudang, 4 orang sekuriti gudang, 5 orang penyewa gudang dan 30 orang pekerja bongkar muat di gudang yang tersebar pada beberapa titik tempat kerja seperti tabel dibawah ini.

Tabel 3.1 Distribusi Populasi Berdasarkan Tempat Bekerja

Titik Tempat Bekerja Jumlah Pekerja

1 Di depan pintu gudang yang menghadap ke

laut sebelah Utara 15

2 Di depan pintu gudang yang menghadap ke

laut sebelah Selatan 15

3 Di depan pintu gudang yang menghadap

ke jalan raya sebelah Utara 15

4 Di depan pintu gudang yang menghadap ke

jalan raya sebelah Selatan 15

5 Di tengah gudang 30

6 Di dalam ruangan petugas gudang 24

7 Di dalam ruangan penyewa gudang 15

Total Pekerja 129 3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan diambil. Besar sampel minimal di dalam penelitian ini ditentukan menurut rumus (Lemeshow, dkk, 1997) sebagai berikut :


(65)

n =

d2 (N-1) + (Z1-α/2)2 p q (1,96)2 x 0,5 x 0,5 x 129

n =

(0,1)2 (129-1) + (1,96)2 x 0,5 x 0,5 n = 55,29 dibulatkan menjadi 60 sampel Keterangan :

P = Perkiraan proporsi subyek, jika tidak diketahui dianggap 50% = 0.5 q = 1-p = 0,5

d = Tingkat presisi yang diinginkan adalah sebesar 10% = 0,1 Z = Nilai standar pada tingkat kepercayaan sebesar 95 % = 1,96 n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

N = Banyaknya populasi adalah 129 orang pekerja

Berdasarkan perhitungan rumus diatas maka diperoleh besar sampel minimal sebanyak 60 orang responden yaitu para pekerja di gudang Pelabuhan Belawan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Stratified Sampling artinya pengambilan sampel dengan memberikan pembatasan tertentu sehingga dapat diperoleh nilai yang jelas berbeda. Stratifikasi dilakukan berdasarkan perbedaan titik tempat bekerja dan sampel dipilih secara proporsional berdasarkan jumlah masing-masing populasi pada setiap titik tempat kerja yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Setelah proporsi jumlah sampel pada setiap titik tempat kerja diketahui, selanjutnya dilakukan teknik Random Sampling untuk memilih sampel yang mewakili tempat kerja (Dahlan, 2010).


(66)

Titik pengukuran kadar debu di udara ambien di gudang Pelabuhan Belawan dan pengambilan sampel pekerja berdasarkan titik tempat bekerja dilakukan seperti yang terlihat pada gambar sebagai berikut :

Gambar 3.1 Titik Pengukuran Kadar Debu dan Jumlah Sampel di Gudang Gudang 201, 202 dan 203 di Pelabuhan Belawan mempunyai kesamaan baik dari luas bangunan maupun bentuk fisik bangunan ketiga gudang tersebut. Antara gudang 201, 202 dan 203 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Titik pengambilan sampel debu di udara ambien di dalam gudang Pelabuhan Belawan sebanyak 21 titik yang terbagi dalam 7 titik di masing masing gudang yaitu :

Titik 1 di depan pintu gudang yang menghadap ke laut sebelah Utara Titik 2 di depan pintu gudang yang menghadap ke laut sebelah Selatan


(67)

Titik 3 di depan pintu gudang yang menghadap ke jalan raya sebelah Utara Titik 4 di depan pintu gudang yang menghadap ke jalan raya sebelah Selatan Titik 5 di tengah gudang

Titik 6 di dalam ruangan petugas gudang

Titik 7 di dalam ruangan penyewa gudang Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bersedia menjadi responden dalam penelitian (ada persetujuan tertulis). 2. Lama bekerja ≥ 1 tahun.

3. Pria usia 19-56 tahun.

4. Pada saat penelitian tidak sedang menderita penyakit saluran pernapasan. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Saat penelitian menderita penyakit saluran pernapasan seperti : bronchitis, radang paru-paru, asma, alergi, TBC

2. Menolak berpartisipasi dalam penelitian

3.4. Metode Pengumpulan Data

a. Data primer

Data primer yaitu data yang dikumpulkan melalui pengukuran langsung di lapangan kadar debu, suhu, kelembaban, tinggi badan, berat badan, kapasitas paru dan wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada para pekerja di gudang Pelabuhan Belawan untuk mengetahui data-data karakteristiknya seperti : masa kerja, umur, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok dan penggunaan masker.


(1)

(2)

(3)

(4)

124

Gambar 1. Salah Satu Gudang di Pelabuhan Belawan yang Berisi Pupuk

Gambar 2. Para Pekerja yang sedang Bekerja Bongkar Muat Barang di Gudang Pelabuhan Belawan


(5)

125

Gambar 3. Petugas Memberi Penjelasan Tentang Cara Pemakaian Alat Pengukur Kapasitas Paru Yaitu Spirometer

Gambar 4. Pemeriksaan Kapasitas Paru Responden di Gudang Pelabuhan Belawan dengan Menggunakan Spirometer


(6)

126

Gambar 5. Pengukuran Suhu dan Kelembaban dengan Alat Lutron LM 8000

Gambar 6. Wawancara dengan Kuesioner pada Responden di Gudang Pelabuhan Belawan


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

2 10 133

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las di Kelurahan Cirendeu, Tahun 2014

3 31 145

PENGARUH PAPARAN DEBU KAPAS TERHADAP KAPASITAS FUNGSI PARU PEKERJA DI PERUSAHAAN KASUR KAPUK X SUKOHARJO

5 18 73

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN KADAR DEBU KACA DENGAN PENURUNAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA Hubungan Antara Lama Paparan Kadar Debu Kaca Dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Di Bagian Produksi Kaca CV. Family Glass Sukoharjo.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN KADAR DEBU KACA DENGAN PENURUNAN KAPASITAS FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA DI Hubungan Antara Lama Paparan Kadar Debu Kaca Dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Di Bagian Produksi Kaca CV. Family Glass Sukoha

0 1 14

HUBUNGAN LAMA PAPARANPEMAKAIAN Hubungan lama paparan debu kayu dan kedisiplinan pemakaian masker dengan penurunan kapasitas fungsi paru pada pekerja mebel ud. mita furniture kalinyamatan jepara.

0 3 16

HUBUNGAN LAMA PAPARAN DEBU KAYU DAN KEDISIPLINAN PEMAKAIAN MASKER DENGAN PENURUNAN KAPASITAS Hubungan lama paparan debu kayu dan kedisiplinan pemakaian masker dengan penurunan kapasitas fungsi paru pada pekerja mebel ud. mita furniture kalinyamatan jepara

0 2 11

Hubungan Paparan Debu dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bagian Produksi Kawasan Industri Peleburan Logam Pesarean Tegal.

0 0 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara 2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara - Hubungan Paparan Partikel Debu dan Karakteristik Individu dengan Kapasitas Paru pada Pekerja di Gudang Pelabuhan Belawan

0 0 35

BAB 1 PENDAHULUAN - Hubungan Paparan Partikel Debu dan Karakteristik Individu dengan Kapasitas Paru pada Pekerja di Gudang Pelabuhan Belawan

0 0 7