2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Di Kabupaten Toba Samosir

TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Optimalisasi

  Optimalisasi berasal dari kata dasar optimal yang berarti yang terbaik. Jadi optimalisasi adalah proses pencapaian suatu pekerjaan dengan hasil dan keuntungan yang besar tanpa harus mengurangi mutu dan kualitas dari suatu pekerjaan.

  Pengertian optimalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah optimalisasi berasal dari kata optimal yang berarti terbaik, tertinggi jadi optimalisasi adalah suatu proses meninggikan atau meningkatkan. Pengertian Optimalisasi menurut wikipedia adalah proses untuk mencapai hasil yang ideal atau optimasi (nilai efektif yang dapat dicapai). Optimalisasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk mengoptimalkan sesuatu hal yang ada ataupun merancang atau membuat sesuatu secara optimal.

  2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan karyawannya dan bertindak adil terhadap berbagai pihak yang terkait dengan aktivitasnya, serta dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk membiayai dan secara langsung atau tidak langsung melakukan program-program yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat sebagai pemangku kepentingan utama perusahaan yang dikelola (Siagian dan Suriadi, 2012).

  Berdasarkan defenisi yang dirumuskan secara sederhana tersebut, maka pelaku usaha harus memiliki niat atau komitmen yang kuat untuk menyisihkan sebagian dari hasil usaha atau keuntungan perusahaannya. Lebih dari itu, pelaku usaha tidak cukup hanya memiliki niat dan kemauan menyisihkan sebagian dari hasl usaha atau keuntungan perusahaannya, tetapi juga harus bertanggung jawab dalam menjamin perumusan dan implementasi berbagai program pemberdayaan masyarakat yang secaara nyata dapat meningkatnkan kesejahteraan masyarakat.

  Mallen Baker mengartikan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu hal bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pengelolaan terhadap proses ekonominya dalam rangka menghasilkan suatu dampak positif secara menyeluruh bagi masyarakat (Mallen Baker, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:10).

  Pandangan lain tentang defenisi tanggung jawab sosial perusahaan dikemukakan oleh Bank Dunia yang mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu persetujuan atau komitmen perususahaan agar bermanfaat bagi pembangunan ekonomi berkesinambungan, bekerja dengan para perwakilan dan perwakilan mereka, masyarakat setempat dan masyarakat dalam ukuran luas, untuk meningkatkan kualitas hidup dengan demikian eksistensi perusahaan tersebut akan dalam Siagian dan Suriadi, 2012:12:10).

2.2.2 Manfaat dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan disadari makin penting karena mampu memberikan jawaban atas setiap permasalahan yang dihadapi perusahaan dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar. Awalnya pemahaman bahwa CSR mampu mendongkrak popularitas kini bergeser seiring dengan berjalannya waktu.

  Pemahaman konsep pengembangan berkelanjutan menjadi bahasan utama dewasa ini jika membahas CSR. Dalam hal ini, perusahaan hanyalah menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan memperhatikan keberlanjutan, selebihnya masyarakat yang menilai komitmen perusahaan higga citra yang baik menjadi bonus bagi perusahaan.

  Suhandri (dalam Untung, 2008:6) mengemukakan pelaksanaan CSR memberikan manfaat bagi perusahaan adalah sebagai berikut:

  1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi atau citra merek perusahaan.

  2. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.

  3. Mereduksi resiko demi kepentingan positif perusahaan.

  4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha.

  5. Membuka peluang pasar yang luas.

  6. Mereduksi biaya misalnya dengan pembuangan limbah.

  7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.

  8. Memperbaiki hubungan dengan regulator.

  9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.

  10. Peluang mendapatkan penghargaan.

  Pelaksanaan CSR memang tidak semata memberikan manfaat kepada Pelaksanaan CSR dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup sehingga tercapai kesejahteraan. Hal ini akan mengimbangi kemajuan yang dialami oleh perusahaan di lingkungan sekitar sehingga secara tidak langsung kesuksesan dan kemajuan perusahaan dapat terus dibina secara berkelanjutan.

2.2.3 Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Kehadiran perusahaan dipastikan melahirkan cost yang harus ditanggung masyarakat sebagai akibat dari berbagai bentuk pencemaran yang ditimbulkan aktivitas ekonomi perusahaan sebagaimana telah dikemukakan. Oleh karena itu, cost tersebut harus diimbangi dengan benefit bagi masyakat setempat. Adapun benefit bagi masyarakat diupayakan dengan cara menetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan sebagian dari keuntungan yang diperoleh yang akan digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan masyarakat setempat sehingga kesejahteraan perusahaan, khususnya pemilik perusahaan juga diikuti oleh kesejahteraan masyarakat setempat.

  Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan meliputi:

  1. Bersedia menyisihkan sejumlah uang, misalnya 1 % dari keuntungan perusahan untuk kepentingan masyarakat setempat.

  2. Uang tersebut diperuntukkan sebagai pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat setempat.

  3. Program pemberdayaan masyarakat setempat yang dilakukan dijamin dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. bukan sekedar kesediaan menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal yang sangat substansial adalah penggunaan dana yang disediakan secara efektif harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang berkualitas, tepat dan berkesinambungan (Siagian, 2012: 180-181).

2.2.4 Dasar Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Pada awalnya tanggung jawab sosial perusahaan hanya dianggap sebagai tanggung jawab etis, yang berarti cenderung bersifat sukarela dan tidak bersifat mengikat. Keadaan seperti ini mengakibatkan perusahaan tersebut dalam wujud belas kasihan atau kedermawanan sosial. Segelintir perusahaan bersedia menyisihkan keuntungannya dan diserahkan kepada masyarakat dalam bentuk kasihan atau kedermawanan sosial, bukan kewajiban. Kecenderungan ini ternyata secara umum tidak menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat setempat.

  Upaya meningkatkan efektivitas tanggung jawab sosial perusahaan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat antara lan ditempuh degan mengubah kesan dan sifat tanggung jawab sosial perusahaan itu dari sebelumnya bersifat etis atau sebagai etika (etika atau etika perusahaan) menjadi tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat wajib atau sebagai hukum.

  Khususnya di Indonesia, menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan dari masa ke masa telah diatur oleh perundang-undangan, antara lain:

1. Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana

  Keputusan Menteri BUMN No 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Bina 2.

  Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Dalam Pasal 74 disebutkan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2) tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dilanggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007.

  4. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Dalam pasal 15 (b) dinyatakan bahwa “Setiap penanam modal bekewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.

  5. Peraturan CSR bagi perusahaan pengelola Minyak dan Gas (Migas), diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001. Dalam pasal 13 ayat 3 (p) disebutkan: Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: (p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”.

  6. Undang-undang Nomor 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, Undang-undang ini tidak membahas secara khusus peran dan fungsi perusahaan dalam menangani fakir miskin, melainkan terdapat klausul dalam pasal 36 ayat 1 “Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin, meliputi: dana yang 7.

  Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 tahun 2012 tentang forum tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial. b Dalam pasal 6 disebutkan ; (1) Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha mempunyai tugas membangun kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat dalam mendukung keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. (2) Penyelengaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memprioritaskan pada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: (a) kemiskinan, (b) ketelantaran, (c) kecacatan, (d) keterpencilan, (e) ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, (f) korban bencana dan/atau, (g) korban tindak kekerasan, ekspoitasi dan diskriminasi.

  Dalam Bab IV Pasal 19 mengenai Program Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha disebutkan; tanggung jawab sosial dunia usaha dilaksanakan dengan memprioritaskan program yang meliputi: (a) peningkatan/perbaikan penghasilan

  

(income generation) bagi keluarga miskin, (b) pemberdayaan sosial (social

empowerment) bagi keluarga bermasalah sosial psikologis dan keluarga

  bermasalah sosial ekonomis, (c) pelatihan keterampilan kerja (vocational

  

training) bagi remaja putus sekolah, bagi wanita rawan sosial ekonomi, dan lain-

  lain, (d) kajian dan pengembangan model program tanggung jawab sosial dunia usaha, (e) perbaikan rumah tidak layak huni, (f) rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat (difabel), (g) rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna sosial, (h) rehabilitasi sosial terhadap anak nakal, (i) perlindungan sosial bagi anak terlantar, (j) home care bagi lanjut usia, (k) pemberdayaan komunitas adat terpencil, (l) penanganan korban bencana dan bencana sosial, dan (m) perlindungan sosial

2.2.5 Model Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Dalam kajiannya tentang model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, Wibisono (2007) mengemukakan model dalam bentuk kerjasama yang melibatkan tiga pihak, yang secara singkat dinamakan dengan model tiga pihak. Adapun ketiga pihak tersebut adalah perusahaan-masyarakat-pemerintah. Melibatkan tiga pihak dalam bentuk kerjasama dalam proses pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan dapat memaksimalkan kepuasaan bagi perusahaan dan masyarakat.

  Hal yang sangat penting dipahami adalah antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah dalam konteks implementasi tanggung jawab sosial perusahaan dihubungkan garis kepentingan timbale balik. Setidaknya ada tiga bentuk kepentingan yang melibatkan tiga pihak tersebut dalam suatu kerjasama, yaitu:

  1. Secara konstitusional perusahaan adalah mitra pemerintah dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam, sebagaimana diatut dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehubungan dengan praktek bisnisnya dalam mengelola sumber daya alam, maka perusahaan tergantung pada pemerintah, khususnya dalam rangka memperoleh izin usaha.

  2. Perusahaan merupakan institusi yang senantiasa memberikan dukungan kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan kewajiban lainnya sehingga pemerintah memiliki biaya operasional dalam melakukan pengelolaan pemerintahan dan pembangunan nasional. Artinya, sumber utama pemerintahan dan pembangunan nasional. Artinya, sumber utama penerimaan negara adalah pajak, dan sumber utama pajak adalah para pelaku usaha atau badan-badan

  3. Kenyamanan aktivitas ekonomi bagi perusahaan sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat setempat terhadap perusahaan. Kondisi seperti ini semakin pekat di era demokrasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia. Selanjutnya perilaku masyarakat setempat terhadap perusahaan dipengaruhi pula oleh perilaku perusahaan dalam memberikan manfaat bagi keejahteraan masyarakat setempat.

  Dengan dukungan Bank Dunia, Tom Fox, Halina Ward dan Bruce Howard pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan di negara-negara berkembang yang memfokuskan diri pada peran yang dilakukan pemerintah. Hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua poros yang mungkin dilakukan pihak pemerintah sehubungan dengan praktek ekonomi dan implementasi tanggung jawab sosial perusahaan yaitu:

  Poros Pertama, meliputi: 1. Pembagian wewenang

  Peran pemerintah di sini beruapaya penyusunan standar minimum kinerja perusahaan yang diatur dalam peranturan perundang-undangan.

  2. Memberikan kemudahan Peran pemerintah dalam hal ini adalah penciptaan kondisi yang mendukung, bahkan dorongan bagi perusahaan yang mengimplementasikan program tanggung jawab sosial secara efektif agar menjadi pendorong atas perbaikan kehidupan sosial dan lingkungan.

  3. Kemitraan atau kerjasama Pihak pemerintah berperan sebagai unsure yang ikut terlibat dan menjadi 4.

  Dukungan Pihak pemerintah harus memberikan dukungan politik, dukungan kebijakan, atau dukungan lainnya kepada perusahaan maupun masyarakat.

  Poros kedua adalah: 1. Menetapkan dan menjamin pencaipaian standar minimum.

  2. Kebijakan umum yang berkenaan dengan peran ekonomi.

  3. Pengelolaan perusahaan melalui hukum.

  4. Penanaman modal yang mendukung dan bertanggung jawab.

  5. Belas kasihan dan pengembangan masyarakat.

  6. Penglibatan dan keterwakilan pemangku kepentingan.

  7. Produksi dan konsumsi yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan.

  8. Sertifikasi yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan, pemenhan tanggung jawab yang bernilai keagungan dan sistem manajemen.

  9. Keterbukaan dan pelaporan yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan.

  10. Proses yang melibatkan banyak pihak dalam rangka merumuskan pedoman dan menjadikan hal itu sebagai seseuatu yang diikuti di masa mendatang.

  Dalam upaya mencapai efektivitas implementasi tanggung jawab sosial perusahaan, Saidi dan Abidin mengemukakan sedikitnya ada empat model atau pola yang secara umum dapat dilaksanakan di Indonesia yaitu: 1.

  Model Keterlibatan Langsung Perusahaan sendiri yang secara langsung mengimplementasikan program tanggung jawab sosial perusahaannya, tanpa keterlibatan pihak lain.

  2. Model Yayasan atau Organisasi Sosial Perusahaan Perusahaan sendiri mendirikan yayasan atau organisasi sosial. Yayasan atau jawab sosial perusahaan yang dananya bersumber dari perusahaan.

  3. Model Mendukung atau Bergabung dalam Konsorsium Sejumlah perusahaan bekerjasama mendirikan organisasi Selanjutnya organisasi sosial inilah yang secara langsung bertanggung jawab dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan.

  Sehubungan dengan uraian di atas, ada satu pertanyaan kunci berkaitan dengan adanya beberapa alternatif model yang adanya beberapa alternatif model yang ada. Model manakah yang terbaik di antara model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang ada? Meskipun jawaban atas pertanyaan ini sangat penting, namun kita tidak akan menemukan jawaban itu dalam khasanah teoritis. Setidaknya ada dua alasan dari argumentasi seperti ini, yakni:

  1. Model yang tebaik untuk diterapkan adalah model yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Sementara masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam, baik ditinjau dari aspek budaya, wawasan dan pendidikan, keterampilan, sosial ekonomi, maupun kohesi sosialnya. Semua merupakan variabel pengaruh terhadap model implementasi program tanggung jawab sosial.

2. Penerapan suatu model implementasi program tanggung jawab sosial menuntut berbagai konsekwensi logis yang justru menjadi prasyarat implementasi tersebut.

2.2.6 Konsep-konsep Terkait

2.2.6.1 Pengelolaan Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)

  Konsep Good Corporate Governance antara lain menegaskan bahawa dapat melakukan aktivitas ekonominya, perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan hukum, tetapi segala aktivitas ekonomnya harus pula didasarkan pada perusahaan yang juga sering dinamakan pada etika bisnis. Konsep etika bisnis perusahaan oleh banyak pihak diperjuangkan sebagai suatu panduan perilaku bagi pelaku usaha (Siagian dan Suriadi, 2012: 51).

  Gagasan perlunya penerapan Good Corporate Governance diilhami oleh kajian tentang dampak dari sepak terjang para pelaku usaha yang sesungguhnya muncul sebagai jawaban terhadap persaingan yang semakin ketat dalam dunia usaha. Harus diakui bahwa persaingan di antara perusahaan-perusahaan semakin ketat. Oleh karena itu, seluruh elemen dari suatu perusahaan harus dikerahkan dan diarahkan untuk mendukung perusahaan dalam rangka pencapaian keuntungan sebesar-besarnya demi kebaikan perusahaan itu sendiri.

  Terdapat lima prinsip pengelolaan perusahaan yang baik yang oleh para pelaku usaha dapat dijadikan sebagai acuan, yaitu:

  1. Prinsip Keterbukaan (Transparency) Prinsip ini menuntut keterbukaan atas informasi. Dalam kaitan ini, maka seluruh perusahaan dituntut memiliki kerelaan dan kemampuan, memberikan informasi yang lengkap, benar atau akurat dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan.

  2. Prinsip Akuntabilitas (Accountability) Prinsip ini menuntut perwujudan atas kejelasan berkenaan dengan fungsi, susunan, sistem, dan tanggung jawab tiap-tiap bagian yang ada dalam suatu perusahaan. Melalui implementasi asas ini akan mampu diwujudkan kejelasan fungsi, hak, kewajiban, dan kekuasaan serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan eksekutif perusahaan. Prinsip Pertanggungjawaban (Responsibility)

  Prinsip ini menegaskan bahwa perusahaan harus memiliki kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang sah atau berlaku sah, seperti kepatuhan atas hukum yang perpajakan, hukum yang berkenaan dengan hubungan antara pelaku-pelaku industri dan para pekerjanya, hukum berkenaan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, hukum yang berkenaan dengan perlindungan terhadap lingkungan, hukum yang berkenaan dengan pemeliharaan hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara pelaku- pelaku usaha dan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian implementasi prinsip ini akan menyadarkan para pelaku usaha bahwa dalam tiap-tiap operasional perusahaannya, mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham atau pemilik perusahaan, tetapi juga memiliki tanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan.

  4. Prinsip Kemandirian (Independency) Prinsip ini menegaskan perlunya pengelolaan perusahan secara professional tanpa adanya benturan-benturan kepentingan ataupun tekanan dan campur tangan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan berbagai hukum yang sah. Dengan demikian profesionalisasi pengelolaan perusahaan merupakan harga mati, dan berbagai variable yang menghalanginya harus dihindarkan.

  5. Prinsip Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness) Prinsip ini menuntut, bahwa dalam semua aktivitas ekonominya perusahaan harus menghormati nilai-nilai keadilan, kepatuhan atau kewajaran dalam memenuhi hak setiap pemangku kepentingan dengan segala kepentingan masing- masing (Hasmadillah dalam Siagian dan Suriadi, 2012:54).

  Konsep pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan sebagai pembangunan yang memiliki kemampuan dalam menjamin kebersinambungan pembangunan. Hal mana dilakukan dengan cara berikhtiar memenuhi keperluan masa sekarang tanpa membahayakan peluang generasi yang akan datang dalam memenuhi berbagai keperluan hidupnya nanti. Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian terhadap kepentingan masa sekarang dan kepentingan masa mendatang.

  Para pelaku industri di negara-negara maju dan di negara-negara sedang membangun dengan bebas melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Praktek ini berlangsung dalam jangka waktu yang berkepanjangan. Sedangkan negara-negara miskin tidak mempunyai pilihan lain.

  Mereka dipaksa menjual sumber daya alam mereka dalam jumlah yang sangat besar dalam rangka membayar hutang kepada bangsa-bangsa lain. Dampak eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber daya ala mini justru mengakibatkan penurunan secara tajam daya dukung alam terhadap kehidupan manusia.

  Akibat yang muncul selanjutnya adalah pemanasan global, kepunahan berbagai spesies tumbuhan dan satwa, penurunan kualitas tanah dan makin berkurangnya hamparan hutan, meluasnya wabah penyakit, masalah kekeringan yang seterusna mengakibatkan masalah kelaparan,banjir dan lain-lain. Semua keadaan buruk yang terjadi adalah wujud daripada penolakan alam terhadap tindakan merusak yang dilakukan manusia (World Business Council Development, 2000).

  Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan Konferensi khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and

  

Development/UNCED ). Konferensi ini lebih dikenal dengan Konferensi Tingkat

  Suriadi, 2012). Konferensi ini mengangkat slogan “berpikir mendunia, bertindak sesuai keadaam setempat”. Slogan ini berupaya menggambarkan perlunya bertindak bijaksana terhadap lingkungan. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Bumi ini berupaya menyadarkan perlunya menumbuhkan semangat kebersamaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh benturan antara kelompok- kelompok pelaku pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan kelompok pelaku pembangunan yang memperhatikan lingkungan.

  Hasil utama implementasi Konferensi Tingkat Tinggi Bumi antara lain adalah berupaya kesepakatan para pemimpin negara-negara di dunia ini untuk menyetujui berbagai rancangan besar yang berkaitan dengan pembangunan berkesinambungan yang didasarkan atas pemeliharaan lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial yang dimasukkan dalam tiga dokumen yang secara wajib berlaku atau mengikat dan tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat.

  Adapun tiga persetujuan tersebut meliputi: 1. Persetujuan Perserikatan Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. Konferensi ini bertujuan melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika, semua makhluk hidup, habitat dan sistem lingkungan dan menjamin pendayagunaan berbagai sumber daya hayati secara berkesinambungan demi menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil.

2. Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kerangka Kerja Perubahan

  Iklim Global. Persetujuan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepekatan gas rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat yang dapat mencegak campur tangan manusia yang berbahaya yang berkaitan dengan iklim.

  3. Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penyelesaian Masalah terhadap masalah rusaknya tanah. Penurunan kualitas tanah ini telah mengurangi secara signifikan daya dukung suatu kawasan bagi kehidupan manusia yang mendiaminya (Soejachmoen, dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

  Selanjutnya tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat merangkum dua kesepakatan, yaitu:

  1. Pendeklarasian Rio berkenaan dengan asas yang menekankan antara lingkungan dan pembangunan. Asas tersebut dapat dilaksanakan secara umum dalam rangka menjamin pemeliharaan lingkungan dan pembangunan yang bertanggung jawab.

  2. Dasar-dasar kebenaran pengelolaan hutan, yaitu pernyataan yang mengikat tentang dasar-dasar kebenaran bagi satu persetujuan dunia tentang pengelolaan, pelestarian, dan pembangunan berkesinambungan dari semua jenis hutan. Dasar- dasar ini menegaskan bahwa hutan adalah suatu unsure penting dalam pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, pemeliharaan keragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai (Soejachmoen, dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

  3. Agenda 21 yang merupakan rancangan lengkap tentang program pembangunan berkesinambungan saat memasuki abad ke-21. Dalam Agenda 21 disebutkan, bahwa selain pemerintah bangsa-bangsa di duna, badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional lainnya, maka seluruh lapisan masyarakat perlu memahami konsep pembangunan berkesinambungan.

  Ditegaskan pula, bahwa terdapat Sembilan kelompok utama yang diharapkan terlibat dalam program ini, yaitu organisasi non pemerintah (NGO/LSM), pemuda, pekerja, petani dan nelayan, pemerintah lokal, pelaku usaha,

2.2.6.3 Millenium Development Goals (MDGs)

  Millenium Development Goals terjadi karena adanya kesamaan kemauan dan perhatian terhadap kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dari berbagai negara, terutama negara-negara mskin dan sedang berkembang antara lain terwujud dengan kehadiran Pernyataan Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu Millenium Development Goals, yang disepakati 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Konferensi Tingkat Tinggi Millennium (Millenium Summit) pada September tahun 2000.

  Terdapat delapan tujuan yang dirangkum dalam Millenium Development Goals yang harus dicapai sebelum tahun 2015, yaitu: 1.

  Menghapuskan tinkat kemiskinan dan kelaparan yang parah.

  2. Pencapaian Sekolah Dasar secara umum.

  3. Membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

  4. Mengurangi tingkat kematian anak.

  5. Meningkatkan kesehatan ibu.

  6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit serius lainnya.

  7. Menjamin kesinambungan pembangunan lingkungan.

  8. Mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan.

  Kaitan Millenium Development Goals dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:

  1. Sebagai negara yang memiliki keterbatasan finasisal dan selama ini masih memerlukan dukungan dana dari lembaga-lembaga keuangan inetrbasional, maka perusahaan-perusahaan harus dimnafaatkan sebagai sumber keuangan alternatif, perusahaan.

  2. Millenium Development Goals sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia, bahwa seluruh makhluk hidup berada atau hdup dalam planet yang sama. Oleh karena itu, tidak satu pun dari kelompok makhluk bumi ini yang hidup sendiri atau terpisah dari makhluk lain. Pelaku usaha sebagai salah satu elemen dalam planet yang sama senantiasa mempengaruhi dan dipengaruhi ti ndakan kecil ataupun yang dilakukan oleh elemen manapun juga.

  MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai focus utama pembangunan, memiliki tengat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan pada konsensus dan kemitraan global sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

  Manfaat dari MDGs tidak semata-mata untuk mengukur target dan menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan millenium diindikatorkan pelaksanaannya (Siagian dan Suriadi, 2012).

2.2.6.4 Tiga Garis Dasar (Triple Bottom Line)

  Upaya membatasi meluasnya sikap egosentris dari para pelaku usaha secara tajam datang dari John Elkington. Melalui bukunya berjudul Cannibaks with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, Elkington (1997) mengenalkan konsep tiga garis dasar (Triple Bottom Line). Dalam bukunya tersebut Elkington mencoba menyadarkan para pelaku usaha, bahwa jika para pelaku ingin aktivitas ekonomi perusahaannya berkesinambungan dan berjalan baik, maka para melainkan harus menjadikan tiga focus sebagai orientasi aktivitas ekonomi, yang boleh Elkington dinamakan dengan konsep “3P”.

  Cakupan yang harus menjadi pusat perhatian para pelaku usaha adalah selain mengejar keuntungan perusahaan (Profit), pihak pelaku usaha juga harus memperhatikan dan terlibat secara sungguh-sungguh dalam upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (People), serta turut berperan aktif dalam menjamin pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Planet).

  Suatu perusahaan tidak boleh lagi diperhadapkan dengan unsur tanggung jawab yang berpihak pada suatu garis dasar saja, yaitu berupa aspek ekonomi yang senantiasa hanya diukur berdasarkan keadaan keuangan sebagi gambaran dari tingkat danbesarnya keuntungan perusahaan. Bagaimanapun perusahaan senantiasa dihadapkan pada tanggung jawab yang berpihak pada tiga garis dasar yang mana dua garis petanggungjawaban lainnya adalah memperhatikan aspek sosial, khususnya kesejahteraan masyarakt lokal dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan sebagi umpan balik dari eksploitasi sumber daya alam (Elkington, dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

  Meningkatkan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi memang sangatlah penting. Namun demikian, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan pemeliharaan lingkungan. Dalam kaitan inilah sangat sesuai dan diperlukan implementasi konsep tiga dasar atau “3P” yang dikembangkan Elkington.

  Dengan demikian, para pelaku usaha harus menyadari bahwa jantung hati aktivitas ekonomi mereka bukan hanya keuntungan, melainkan juga masyarakat dengan segala keperluannya dan lingkungan dengan segala keperluannya juga.

2.3.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

  Pemberdayaan masyakarat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai (Siagian, 2012:165).

  Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat member peranan kepada individu sebagai objek tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan secara umum (Setiana, 2005:6).

  Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses pengupayaan masyarakt yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang meartabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan (Bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152).

  Dalam tulisan yang berjudul Community Development and Postmodernism of

  

Resistance , Mary Lane (dalam Pease dan Fook, 2002) mengemukakan bahwa

  pengembangan hubungan, mendorong masyarakat adalah suatu seni yang melakukan aktivitasnya melalui pengembangan hubungan, masyarakat untuk bertemu, membentuk jaringan kerja dan mengemukakan kepentingan, keinginan, dan harapan mereka melalui bentuk pengukapan yang kreatif.

  Dari defenisi yang dikemukakan Mary Lane, masyarakat diletakkan sebagai subjek dan objek. Dalam proses implementasi pemeberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi dan pendekaan intervensi sosial, maka masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan mengutamakan pengembangan kapasitas internal masyarakat, sehingga pogram tersebut benar-benar dari, oleh, dan untuk masyarakat.

  Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari ikhtiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas, dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan ang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasar, menguntungkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153).

  Pemikiran Smith tersebut secara keseluruhan sesuai dengan asas-asas dan kaidah-kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial, baik yang utama maupun pendukung senantiasa meletakkan manusia, baik secara pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu mereka berubah.

  Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisikan peluang dan masyarakat bersikap tanggap. Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk mencapai keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi diatnggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154).

2.3.2 Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat

  Pemberdayaan masyarakat dengan berbagai aktivitas yang mengikutinya tidak menempatkan masyarakat sebagai penerima program dan bantuan, lalu dicemooh dan disindir karena dikatakan mempunyai mental subsidi dan terlalu tergantung kepada belas kasihan pihak berkuasa. Sebaliknya konsep pemberdayaan masyarakat justru menempatkan masyakarat secara sentral, dan kepentingan masyarakat senantiasa menjadi variabel utama dalam proses penyusunan unit-unit aktivitas yang akan dilaksanakan.

  Ginanjar Kartasasmita mengemukakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pengembangan masyarakat dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development). Menurutnya, pemberdayaan masyarakat adalah suatu aktivitas memampukan dan memandirikan masyarakat, dengan demikian masyarakat akan meningkat derajatnya (Kartasasmita, dalam Siagian dan Suriadi, 2012; 158).

  Ada dua hal utama dari defenisi yang dikembangkan Kartasasmita. Pertama, pemberdayaan masyarakat bertumpu pada masyarakat. Hal ini berarti bahwa fokus pemerintah, daam arti alat pencitraan bagi pemerintah. Kedua, indikato keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan kemampuan masyarakat dalam memenuhi keperluan hidupnya sehingga mampu hidup secara mandiri. Dengan demikian yang paling utama adalah kapasitas masyarakat dalam mensejahterakan diri sendiri.

  Suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memeperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menetukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne, dalam Adi, 2003:54).

  Dalam proses implemntasi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial, seorang pekerja sosial harus menetapkan berbagai prinsip, seperti (Ismawan dalam Siagian dan Suriadi, 2012:54) : 1.

  Pemahaman atas masyarakat secara mendalam sebagai kelompok sasar. Untuk itu, data yang bekaitan dengan masyarakat sebagai kelompok sasar merupakan model awal bagi pekerja sosial dalam menjalankan perannya.

2. Belajar dari kisah efektifitas program pemberdayaan masayarakat sebelumnya.

  Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat perlu dukungan keberhasilan yang pernah dicapai. Oleh karena itu, adopsi metode dan asas-asas dari program pemberdayaan masyarakat yang nyata telah berhasil diterapkan perlu dilakukan.

  3. Belajar dari kegagalan melaksanakan program pemberdayaan masyarakatyang pernah dilakukan. Harus diakui bahwa implementasi program pemberdayaan masyarakat tidak serta merta mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, pekerja pemebrdayaan masyarakar sebelumnya, baik oleh diri sendiri maupun oleh pihak lain.

  4. Melibatkan seluruh anggota masyarat dengan semua pengetahuan dan kemampuan mereka. Masyarakat adalag pihak yang paling tahu akan kebutuhan dan masalah sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan kemampuan mereka harus digali dan dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.

  5. Memberi tanggapan yang senantiasa lentur sesuai dengan keadaan dan masalah yang ada. Pekerja sosial harus mampu menerima bagaimanapn kondisi masyarakat. Bahkan harus belajar dari kondisi yang ada.

2.3.3 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat

  Prinsip-prinsip yang sebaiknya dalam pemberdayaan masyarakat (berdasarkan acuan dari ACSD, 2004) : 1.

  Kerja sama, bertanggung jawab, mengetengahkan aktivitas komunitas yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Mobilisasi individu-individu untuk tujuan saling tolong-menolong, memecahkan masalah, integrasi sosial dan tindakan sosial.

  2. Pada tingkat paling bawah, partisipasi harus ditingkatkan dan mengedepankan demokrasi ideal dan partisipatori dalam kaitannya dengan sifat apatis, frustasi dan perasaan-perasaan yang sering muncul berupa ketidakmampuan dan tekanan akibat kekuatan struktural.

  Sebanyak mungkin ada kemungkinan dan kesesuaian, community development harus mempercayakan dan bersandar pada kapasitas dan inisiatif dari kelompok relevan dan komunitas lokal untuk mengidentifikasi masalah-masalah, merencanakan dan melaksanakan pelatihan tentang tindakan. Dalam hal ini tujuannya adalah mengarah pada kepercayaan diri dalam kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi dan mengurangi ketergantungan kepada negara, lembaga dan intervensi profesional.

  4. Sumber daya komunitas (manusia, teknik, dan finansial) dan kemungkinan sumber daya dari luar komunitas (dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah, lembaga-lembaga dan kelompok finansial) harus dimobilisasikan dan kemungkinan untuk diseimbangakn dalam bentuk kesinambungan pembangunan.

  5. Kebersamaan komunitas harus dipromosikan dalam bentuk dua tipe hubungan yaitu: (1) hubungan sosial dalam keberadaan kelompok dipisahkan melalui kelas sosial atau perbedaan yang signifikan dalam status ekonomi, suku, bangsa, identitas ras, agama, gender, usia, lamanya tinggal atau karakteristik lainnya yang mungkin menyebabkan peningkatan atau membuka konflik, (2) hubungan struktural antara pranata-pranata tersebut.

  6. Aktivitas-aktivitas seperti meningkatkan perasaan solidaritas di antara kelompok marginal dengan mengaitkan perkembangan dalam sektor-sektor dan kelas sosial untuk mencari kesempatan ekonomi, sosial, dan alternatif politik (Ambadar, 2008:44).

2.4 Komunitas Adat Terpencil

2.4.1 Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT)

  kehidupan sangat memprihatinkan. Mereka mendiami tempat-tempat yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti di pedalaman, pantai, rawa-rawa dan pulau- pulau terpencil. Selain dari mereka ada yang menjalani kedidupan secara nomaden yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu pulau ke pulau lain dan bahkan dari satu perairan ke perairan lain. Mereka itu oleh Departemen Sosial diperkenalkan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT).

  Sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, yang dimaksud dengan komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat dengan sosial budaya yang bersifat lokal yang kurang atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi maupun politik (Kementerian Sosial RI, 2014).

  Dengan pengertian tersebut maka komunitas ini dipahami sebagai komunitas yang memiliki budaya atau adat tertentu yang berbeda atau unik. Komunitas ini biasanya adalah komunitas lokal asli yang memiliki berbagai kelebihan yang harus dipertahankan seperti kerjasama masyarakat, budaya, serta keguyuban interaksi sosialnya. Akan tetapi karena situasi dan kondisi tertentu, komunitas ini kurang terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik.

  KAT merupakan istilah yang baru diperkenalkan pada tahun 1999 oleh pemerintah (Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial RI) untuk menggantikan istilah masyarakat terasing atau suku terasing yang selama 30 tahun tahun digunakan dalam pelaksanaan pembangunan nasional maupun daerah dimana masyarakat terasing didefenisikan sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat tinggal atau berkelana di tempat-tempat yang secara gegrafis terpencil dan terisolasi dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan

  Istilah terasing dalam defenisi yang dimaksud yaitu sebagai satu kondisi kehidupan yang lamban berubahnya disebabkan letaknya yang terpencil (terisolasi) dari kehidupan dan penghidupan masyarakat luar yang lebih maju sehingga kurang terjadi interaksi yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka ke arah perubahan dan kemajuan.

  Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebagi bagian dari masyarakat Indonesia yang merupakan lapisan paling bawah dalam struktur masyarakat. Secara geografis bertempat tinggal di daerah terisolisir dan sulit dijangkau. Pranata sosial yang berkembang dalam komunitas adat terpencil pada umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka sehari-hari masih didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan (Departemen Sosial RI, 2003).

  Komunitas Adat Terpencil (KAT) pada umumnya merupakan kelompok masyarakt yang termarginalisasi dan belum terpenuhi hal-haknya baik dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Marginalisasi terhadap komunitas adat terpencil muncul sebagai akibat dari melemahnya posisi tawar (bargaining position) mereka dalam menghadapi persolan yang dihadapinya.

  Komunitas Adat Terpencil (KAT) sering kali menjadi korban dari konflik kepentingan ekonomi wilayah dimana eksloitasi sumber daya alam oleh pendatang yang memiliki kekuatan ekonomi besar di wilayah pedalaman menjadikan hak-hak ulayat masyarakat atas tanah mereka hilang, lunturnya sistem budaya kearifan lokal dan rusaknya lingkungan tempat mereka hidup. Selain itu, rendahnya aksesibilitas wilayah tempat tinggal komunitas adat terpencil menyebabkan sulitnya mereka menjangkau fasilitas layanan publik yang disediakan pemerintah.

  Komunitas adat terpencil mempunyai kriteria atau ciri-ciri sebagai berikut: a. Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.

  Komunitas adat terpencil umumnya hidup dalam kelompok kecil dengan tingkat komunikasi yang terbatas dengan pihak luar. Disamping itu, kelompok komunitas adat terpencil.

  b.

  Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.

  Pranata sosial yang ada dan perkembangan dalam komunitas adat terpencil pada umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka sehari- hari didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan.

  Pranata sosial yang ada tersebut meliputi antara lain pranata ekonomi, pranata kesehatan, pranata hukum, pranata agama, pranata kepercayaan, pranata politik, pranata pendidikan, pranata ilmu pengetahuan, pranata ruang waktu, pranata hubungan sosial, pranata kekerabatan, pranata sistem organisasi sosial.

  c.

  Pada umumnya terpencil secara geografis dan sulit dijangkau.

  Secara geografis, komunitas adat terpencil umumnya berada di daerah pedalaman, hutan, pegunungan, perbukitan, laut, daerah pantai yang sulit dijangkau. Kesulitan ini diperkuat oleh terbatasnya sarana dan prasarana transportasi, baik ke atau dari kampung komunitas adat terpencil. Kondisi ini mempengearuhi dan menghambat upaya pemerintah dan pihak luar dalam memberikan pelayanan pembangunan secara efektif dan terpadu.

  d.

  Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten.

  Aktivitas kegiatan ekonomi warga komunitas adat terpencil sehari-hari hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri (kebutuhan sehari-hari).

  e.

  Peralatan teknologinya sederhana. kebutuhan hidupnya sehari-hari baik dalam kegiatan pertanian, berburu maupun kegiatan lainnya, komunitas adat terpencil masih menggunakan peralatan yang sederhana yang diwariskan secara turun-temurun.

  f.

  Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi.

  Kehidupan komunitas adat terpencil sangat menggantungkan kehidupan kesehariannya baik itu fisik, mental dan spiritual pada lingkungan alam seperti umumnya aktivitas keseharian warga berorientasi pada kondisi alam seperti umumnya aktivitas keseharian warga berorientasi pada kondisi alam atau berbagai kejadian dan gejala alam.

  g.

  Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.

  Sebagaimana konsekuensi logis dari keterpencilan, berbagai akses pelayanan sosial ekonomi dan politik yang tersedia di lokasi atau sekitar lokasi tidak ada atau sangat terbatas sehingga menyebabkan sulitnya waga komunitas adat terpencil untuk memperolehnya dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya (Kementerian Sosial RI, 2014).

  Komunitas Adat Terpencil (KAT) mendiami lokasi yang terpencil secara geografis serta sulit dijangkau. Ditinjau dari segi habitatnya, komunitas adat terpencil yang bermukim dapat dikelompokkan menjadi: a.

  Komunitas adat yang tertinggal di dataran tinggi dan/atau daerah pegunungan.

  b.

  Komunitas adat yang tertinggal di daerah dataran rendah dan/atau daerah rawa.

  c.

  Komunitas adat yang tertinggal di daerah pedalaman dan/atau daerah perbatasan.

  d.

  Komunitas adat tertinggal di atas perahu dan/atau daerah pinggir pantai Keberadaan komunitas adat terpencil pada masa yang akan datang tidak terbatas dilihat pada lingkungan habitatnya seperti di dataran tinggi, dataran rendah/rawa-rawa, pedalaman/pegunungan dan berada di pesisir pantai atau pulau- pulau terluar. Akan tetapi perlu dilihat pula pada dimensi lain seperti letak atau posisi geografisnya yaitu komunitas adat terpencil yang berada di wilayah pemekaran daerah baik provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa yang di wilayah industri, wilayah konflik dan kerusuhan serta wilayah perbatasan antarnegara. Pertimbangan lainnya adalah masih ditemukannya warga komunitas adat terpencil yang masih hidup berpindah-pindah, terpencar, terpencil dan terisolisir sehingga sulit dijangkau.

  Kementerian Sosial RI juga memberikan tiga kategori KAT berdasarkan mobiltas yaitu: a.

  Kategori I (Kelana) Warga KAT ini biasanya hidup dengan cara berburu dan meramu dari berbagai potensi sumberdaya alam setempat. Pemberdayaan KAT pada kategori I ini dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.

  b.