Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Di Kabupaten Toba Samosir

(1)

OPTIMALISASI PERAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM PERCEPATAN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT

TERPENCIL DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Diajukan Oleh:

NEYSA RASENTA MUNTHE 110902086

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Toba Samosir”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Berkat bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, Penulis diperlayakkan menjadi mahasiswa yang berintegritas dan senantiasa merasakan semangat yang berkobar.

Penulis menyadari perjuangan kedua orang dalam kebutuhan baik materil maupun moril selama mengecap pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU), untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Ruden Munthe dan Horasni Hasiholan Purba yang selalu berjuang dalam menjaga, memberikan kasih sayang, semangat, nasehat, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan adek penulis Raymond Munthe dan Roy Rotama Munthe selalu memberikan dorongan dan semangat.

Penulis juga menyadari bahwa banyak sekali bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yakni Bapak Prof. Drs. Bahadruddin, M.Si beserta jajarannya.


(3)

2. Dosen pembimbing penulis Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si

3. Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yakni Ibu Hairani Siregar, S.Sos, MSP.

4. Seluruh staff Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU yakni Kak Juraidah, Kak Debby, Bang Ria yang telah membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya pendidikan penulis.

5. Bapak Kastro Sitanggang yang meluangkan waktu untuk memberi arahan, bimbingan, dan ilmu dengan sabar selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Bapak Rekson Panjiatan selaku Kepala Desa Meranti Barat Kecamatan Silaen,

Bapak Robinson Siagian selaku Pendamping KAT Desa Meranti Barat, Bapak Marnaek Parhusip selaku Sekretaris Dinas Sosial Tobasa, Bapak Jasmin Parhusip dan Ibu Rosmalina Sinaga di divisi CSR PT. Toba Pulp Lestari, dan Bapak Budianto Situmorang dan Rafles Sinaga di divisi CSR PT. Aquafarm Nusantara yang memberikan banyak kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian.

7. Tulang Elis Silalahi yang turut membantu penulis dalam melakukan penelitian ke PT. Toba Pulp Lestari.

8. Mario Vanricho Nainggolan yang selalu memberikan semangat dan motivasi dalam melakukan penelitian dan pengerjaan skripsi ini.

9. Stephanie Dwiyanti Siahaan, sahabat yang selalu memberikan semangat dan sama-sama berjuang untuk penyelesaian skripsi ini.

10.Partner PKL 2 di Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, Partner penelitian ke Tobasa dan teman satu doping, Tika Siamajuntak yang sama-sama berjuang dari praktikum II hingga penelitian ke Desa Meranti Barat, Balige, Porsea dan Parapat.


(4)

11.Devon Theos, Noni, Tika, Agusman, dan Riasapta. Selalu semangat dan saling mendoakan ya.

12.Sahabat lama, Desi, Santa, Nissi dan Nona yang selalu saling memberikan semangat dan dukungan.

13.Untuk teman satu doping lainnya Katrina, Debora, Denisa, Rachel dan Elvin. Tetap semangat ya demi satu gelar.

14.Sepupu terkasihku Francius Munthe dan Juwita Fiolanda Girsang yang selalu memberikan semangat.

15.Keluarga besar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial stambuk 2011 dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ABSTRAK

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 15

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 15

1.4 Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Optimalisasi………. ... 17

2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 17

2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 17

2.2.2 Manfaat dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 18

2.2.3 Ruang Lingkup Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 19

2.2.4 Dasar Hukum Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ... 21

2.2.5 Model Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan .. 23

2.2.6 Konsep-konsep Terkait ... 27

2.2.6.1 Pengelolaan Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) ... 27

2.2.6.2 Pembangunan Berkelanjutan ... 29

2.2.6.3 Millenium Development Goals (MDGs) ... 32


(6)

2.3 Pemberdayaan Masyarakat ... 35

2.3.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat ... 35

2.3.2 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ... 38

2.3.3 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat ... 40

2.4 Komunitas Adat Terpencil ... 41

2.4.1 Pengertian Komunitas Adat Terpencil ... 41

2.4.2 Kriteria dan Habitat Komunitas Adat Terpencil... 43

2.4.3 Permasalahan Komunitas Adat Terpencil ... 46

2.4.4 Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Komunitas Adat Terpencil ... 48

2.5 Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil ... 50

2.5.1 Ruang Lingkup Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil ... 50

2.5.2 Dasar Hukum Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil ... ` 55

2.5.3 Tahap Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil ... 58

2.5.4 Sasaran Program Kegiatan Pemberdayan Komunitas Adat Terpencil ... 59

2.5.5 Lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Sumatera Utara……. ... 62

2.6 Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara ... 63

2.7 Kerangka Pemikiran ... 64

2.8 Definisi Konsep dan Definisi Operasional ... 68

2.8.1 Definisi Konsep ... 68


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian... ... 70

3.2 Lokasi Penelitian ... 70

3.3 Informan………. ... 71

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 71

3.5 Teknik Analisis Data ... 72

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi Kabupaten Toba Samosir ... 73

4.1.1 Letak Geografis, Batas, dan Luas Wilayah ... 73

4.1.2 Topografi dan Iklim ... 74

4.1.3 Sarana dan Prasarana ... 75

4.1.4 Sumber Daya Manusia... 78

4.2 Lokasi Desa Meranti Barat Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir… ... 78

4.2.1 Kondisi Geografis dan Demografis ... 78

4.2.2 Keadaan Umum Jalur perhubungan/Transportasi ... 80

4.2.3 Kehidupan Sosial Budaya dan Lingkungan... 81

4.2.3.1 Pranata Ekonomi ... 81

4.2.3.2 Pranata Politik ... 82

4.2.3.3 Pranata Kelembagaan Adat ... 83

4.2.3.4 Pranata Kepemilikan dan Sistem Penguasaan Wilayah ... 84

4.2.3.5 Pranata Agama, Religi, dan Kepercayaan ... 85

4.2.3.6 Pranata Mata Pencaharian dan Teknologi ... 86


(8)

BAB V ANALISIS DATA

5.1 Pengantar…..…. ... 89

5.2 Hasil Temuan…. ... 90

5.2.1 Informan 1 ... 90

5.2.2 Informan 2 ... 95

5.2.3 Informan 3 ... 96

5.2.4 Informan 4 ... 98

5.2.5 Informan 5 ... 102

5.2.6 Informan 6 ... 105

5.2.7 Informan 7 ... 105

5.3 Hasil Analisis Data ... 105

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan……...,,, ... 119

6.2 Saran…………... ... 121


(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Neysa Rasenta Munthe

NIM : 110902086

ABSTRAK

Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Toba Samosir

Komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat yang memiliki sosial budaya bersifat lokal dan terpencar yang kurang atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik. Adapun dibahas pada penelitian ini adalah ada tidaknya perusahaan yang memberikan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dalam pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir memiliki kendala anggaran yang relatif kecil sehingga membutuhkan dana CSR. Maka dalam penelitian ini akan dipaparkan bagaimana mengoptimalisasikan peran tanggung jawab sosial perusahaan dalam percepatan pemberdayaan komunitas adat terpencil yang ada di Kabupaten Toba Samosir.

Tipe penelitian ini tergolong deskriptif yang bertujuan menggambarkan perlunya peran tanggung jawab sosial perusahaan dalam percepatan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah 7 orang dari pihak Desa Meranti Barat Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir, pihak Dinas Sosial Kabupaten Toba Samosir, dan pihak dari divisi CSR PT. Toba Pulp Lestari dan divisi CSR PT. Aquafarm Nusantara. Sementara itu, teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang ada di Kabupaten Toba Samosir yang menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan kurang mengetahui tentang istilah komunitas adat terpencil dan belum ada yang memberikan dana CSR perusahaan kepada warga komunitas adat terpencil. Selain itu, perusahaan dan pemerintah belum ada melakukan kerjasama terkait dengan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Dalam hal ini pemerintah dan perusahan dapat melakukan kerjasama baru sesuai dengan Permensos RI dengan menggunakan dana CSR dalam sumber pembiayaan pemberdayaan komunitas adat terpencil yang ada di Kabupaten Toba Samosir.

Kata kunci: optimalisasi, tanggung jawab sosial perusahaan, pemberdayaan komunitas adat terpencil


(10)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : Neysa Rasenta Munthe NIM : 110902086

ABSTRACT

Optimizing the Role of Corporate Social Responsibility in Accelerating Remote Indigenous Community Empowerment in Toba Samosir

Remote indigenous communities are groups of people who have local socio-cultural nature and less dispersed or have not been involved in a network of social services, economic, and political. As discussed in this study is whether there is a company that provides funds CSR (Corporate Social Responsibility) in a remote indigenous community empowerment in Toba Samosir in accordance with the Regulation of the Minister of Social Affairs No. 13 of 2012 on Corporate Social Responsibility Forum in the Implementation of Social Welfare. Empowerment remote indigenous communities in Toba Samosir has a relatively small budget constraints that require CSR funds. So in this study will be presented how to optimize the role of corporate social responsibility in a remote indigenous community empowerment acceleration in Toba Samosir.

Type is classified as a descriptive study that aims to describe the need for the role of corporate social responsibility in a remote indigenous community empowerment acceleration. The number of informants in this study were 7 people from the village of West Meranti Silaen District of Toba Samosir, the Social Service Toba Samosir, and the CSR division PT. Toba Pulp Lestari and CSR division of PT. Aquafarm Nusantara. Meanwhile, the techniques of data analysis in this study using qualitative methods.

The results of data analysis concluded that the major companies in Toba Samosir who run corporate social responsibility are not informed about the terms of remote indigenous communities and no one has provided funds to the citizens CSR remote indigenous communities. In addition, the company and the government there has been no cooperation related to the empowerment of remote indigenous communities. In this case the government and the company can perform a new partnership in accordance with Permensos RI using CSR funds in financing sources empowerment remote indigenous communities in Toba Samosir.

Keywords: optimization, corporate social responsibility, empowerment of remote indigenous communities


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Neysa Rasenta Munthe

NIM : 110902086

ABSTRAK

Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Toba Samosir

Komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat yang memiliki sosial budaya bersifat lokal dan terpencar yang kurang atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik. Adapun dibahas pada penelitian ini adalah ada tidaknya perusahaan yang memberikan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dalam pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir memiliki kendala anggaran yang relatif kecil sehingga membutuhkan dana CSR. Maka dalam penelitian ini akan dipaparkan bagaimana mengoptimalisasikan peran tanggung jawab sosial perusahaan dalam percepatan pemberdayaan komunitas adat terpencil yang ada di Kabupaten Toba Samosir.

Tipe penelitian ini tergolong deskriptif yang bertujuan menggambarkan perlunya peran tanggung jawab sosial perusahaan dalam percepatan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah 7 orang dari pihak Desa Meranti Barat Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir, pihak Dinas Sosial Kabupaten Toba Samosir, dan pihak dari divisi CSR PT. Toba Pulp Lestari dan divisi CSR PT. Aquafarm Nusantara. Sementara itu, teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang ada di Kabupaten Toba Samosir yang menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan kurang mengetahui tentang istilah komunitas adat terpencil dan belum ada yang memberikan dana CSR perusahaan kepada warga komunitas adat terpencil. Selain itu, perusahaan dan pemerintah belum ada melakukan kerjasama terkait dengan pemberdayaan komunitas adat terpencil. Dalam hal ini pemerintah dan perusahan dapat melakukan kerjasama baru sesuai dengan Permensos RI dengan menggunakan dana CSR dalam sumber pembiayaan pemberdayaan komunitas adat terpencil yang ada di Kabupaten Toba Samosir.

Kata kunci: optimalisasi, tanggung jawab sosial perusahaan, pemberdayaan komunitas adat terpencil


(12)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : Neysa Rasenta Munthe NIM : 110902086

ABSTRACT

Optimizing the Role of Corporate Social Responsibility in Accelerating Remote Indigenous Community Empowerment in Toba Samosir

Remote indigenous communities are groups of people who have local socio-cultural nature and less dispersed or have not been involved in a network of social services, economic, and political. As discussed in this study is whether there is a company that provides funds CSR (Corporate Social Responsibility) in a remote indigenous community empowerment in Toba Samosir in accordance with the Regulation of the Minister of Social Affairs No. 13 of 2012 on Corporate Social Responsibility Forum in the Implementation of Social Welfare. Empowerment remote indigenous communities in Toba Samosir has a relatively small budget constraints that require CSR funds. So in this study will be presented how to optimize the role of corporate social responsibility in a remote indigenous community empowerment acceleration in Toba Samosir.

Type is classified as a descriptive study that aims to describe the need for the role of corporate social responsibility in a remote indigenous community empowerment acceleration. The number of informants in this study were 7 people from the village of West Meranti Silaen District of Toba Samosir, the Social Service Toba Samosir, and the CSR division PT. Toba Pulp Lestari and CSR division of PT. Aquafarm Nusantara. Meanwhile, the techniques of data analysis in this study using qualitative methods.

The results of data analysis concluded that the major companies in Toba Samosir who run corporate social responsibility are not informed about the terms of remote indigenous communities and no one has provided funds to the citizens CSR remote indigenous communities. In addition, the company and the government there has been no cooperation related to the empowerment of remote indigenous communities. In this case the government and the company can perform a new partnership in accordance with Permensos RI using CSR funds in financing sources empowerment remote indigenous communities in Toba Samosir.

Keywords: optimization, corporate social responsibility, empowerment of remote indigenous communities


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia saat ini wajib menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan di berbagai bidang, seperti sosial, pendidikan, kesehatan serta bidang-bidang lain dalam rangka membantu dan mensejahterakan masyarakat. Latar belakang dilakukannya kegiatan ini karena sering kali perusahaan mengabaikan hak-hak masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup yang kurang baik. Melalui progam tanggung jawab sosial perusahaan ini terjalin hubungan antara perusahaan dengan masyarakat.

Perusahaan di Indonesia yang ikut melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan ialah PT. Toba Pulp Lestari dan PT. Aquafarm Nusantara. PT. Toba Pulp Lestari menjalankan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang menitikberatkan pada keberlanjutan lingkungan hidup. Hal ini diwujudkan dengan implementasi CSR yang tidak hanya menyediakan bantuan secara fisik, namun juga meningkatkan skill dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Bemula dari persiapan pendirinya sehingga dalam proses produksi PT. Inti Indorayon Utama sering mendapat protes dan berlawanan dari masyarakat karena kehadiran perusahaan ini mengakibatkan timbulnya pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran suara yang menimbulkan berbagai penyakit. Melihat kondisi di dekitar kilang industri PT. Inti Indorayon Utama yang makin buruk, maka negara memutuskan memenuhi kebutuhan tuntutan masyarakat untuk menutup kegiatan operasional PT. Indorayon Utama sejak 13 Maret 1999.


(14)

Sejak diberhentikannya kegiatan kilang industri PT. Inti Indorayon Utama pihak manajemen dengan sabar melakukan pendekatan terhadap masyarakat sekitar, khususnya tokoh-tokoh masyarakat. Dalam hal ini pihak manajemen mengemukan janjinya yaitu memperkenalkan tekonologi ramah lingkungan dan melakukan program pemberdayaan masyarakat atau community development sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan.

Selain itu, perusahaan juga memperkenalkan “paradigma baru” dalam aktivitas lembaga yang menjadikan masyakarat sekitar mulai mau menerima pengoperasian kembali perusahaan tersebut. Dengan “paradigama baru” maka pada tahun 2003 PT. Toba Pulp Lestari. Adapun paradigma baru PT. Toba Pulp Lestari tersebut berupa: (1) penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, (2) pengelolaan smber daya hutan yang berkelanjutan, (3) pelaksanaan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) yaitu mengutamakan masyarakat sekitar sebagai pekerja dan menduduki jabatan yang ada, melakukan pembagain bisnis dengan masyarakat sekitar dan menyisihkan dana kontribusi untuk community development sebesar 1% net sales per tahun, (4) menerima lembaga independen untuk mengawal pelaksanaan paradigma baru tersebut.

PT. Aquafarm Nusantara bergerak di bidang pengembangan dan ekspor ikan tilapia atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan nila (Oreochromis niloticus), PT Aquafarm Nusantara (Aquafarm) hadir di Indonesia sejak 1988. Dengan berkantor pusat di Klaten, perusahaan asal Swiss ini memulai kegiatan pembenihan ikan (hatchery) di Klaten dan Sleman. Sedangkan untuk proses pembesaran ikan (growout) dilakukan di Waduk Gajahmungkur Wonogiri, Waduk Wadaslintang Wonosobo, dan Waduk Kedung Ombo. Untuk kegiatan pengolahan ikan dilakukan di Semarang.


(15)

Pada tahun 1998, Aquafarm melebarkan sayap usahanya ke Sumatera Utara, dengan memilih Danau Toba sebagai pusat kegiatan pembesaran ikan yang dilakukan di lima lokasi terpisah di tiga kabupaten (Kabupaten Simalungun, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Toba Samosir). Kegiatan pembenihan ikan, pengolahan, dan pabrik pakan dilakukan di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

Di samping itu, PT. Aquafarm Nusantara di Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir mendukung peningkatan perekonomian masyarakat petani, menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) kepada petani. Bantuan yang diberikan dalam bentuk 30.000 ekor bibit ikan dan 84 unit tong sampah kepada sejumlah kelompok tani. Bibit yang disalurkan dari 30.000 ekor tersebut, ada 1.000 ekor untuk warga Porsea, Laguboti, Parmaksian, Bonatua Lunasi dan Ajibata. Selain itu juga, PT. Aquafarm Nusantara menyerahkan bantuan tong sampah 84 unit dan 30 diantaranya untuk warga Porsea.

Bibit ikan nila tersebut diserhakan kepada Manager PT. Aquafarm Nusantara, Bambang Kuntoro Setiyo diwakili Pimpinan CSR, Budianto Situmorang langsung kepada Ketua Kelompok Tani Cinta Damai Kelurahan Patene III Porsea, Mangara Simbolon sedangkan tong sampah diserahkan kepada warga Kelurahan Patane III yang bermukim di pingir jalan raya umban Datu sekitar Pusat Kota Porsea.

Pada tahun 2013, PT. Aquafarm Nusantara memiliki 16 item sasaran penyaluran CSR dengan kualifikasi ekonomi, sosial dan lingkungan. 16 item tersebut adalah sumbagan dana tunai, restocking, guru, honor, sumbangan drum sampah dan goni plastik, reboisasi, sumbangan ikan segar, ikan asin dan ikan mati, sarana umum, kompos padat, pupuk cair, kapal aquaclean, donor darah, pelatihan atau training dan tim selam. Dana untuk semua sasaran yang telah disebutkan di atas bersumber dari CSR seperti bibit ikan nila dan drum sampah.


(16)

Agar pelaksanaan CSR semakin hari semakin membaik, pemerintah turut mengatur melalui beberapa peraturan yang terus direvisi. Dasar hukum pelaksanaan CSR ini tertuang dalam UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang menyebutkan dalam Pasal 74 ayat 1 bahwa “PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan bagi masyarakat setempat dan lingkungan adalah kewajiban perusahaan yang diperuntukkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang pelaksanaan nya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Menunjukkan keseriusan, pemerintah turut menambah sanksi kepada perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosialnya yang tertuang dalam ayat 3 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban dikenai hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Siagian dan Suriadi, 2010: 29).

Perkembangan perseroan terbatas dimulai sejak Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1848. Aturan tersebut membuktikan bahwa perseroan terbatas di Indonesia sudah sejak lama dikenal. Pada tahun 1995 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pada era reformasi, kemudian disahkan dan diundangkan UU No. 40 tahun 2007 dimana adanya pengaturan hal-hal baru dalam undang-undang, seperti : Tanggung Jawab Sosial (CSR), perubahan modal perseroan, penegasan tentang tanggung jawab pengurus perseroan. Lahirnya UU No. 40 tahun 2007 sekaligus mencabut pemberlakuan UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Agus, 2011).


(17)

Kehadiran perseroan terbatas di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kini perusahaan yang melakukan aktivitasncya di Indonesia semakin bertambah banyak. Hal ini merupakan pengaruh dari kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas-fasilitas tertentu kepada perusahaan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Penanaman modal di Indonesia oleh suatu perusahaan pada dasarnya merupakan suatu hal yang penting bagi perekonomian Indonesia. Kehadiran perusahaan ini juga telah memberikan sumbangan bagi pembangunan nasional Indonesia, khususnya pada pengelolaan sumber potensial kekayaan alam menjadi kegiatan produksi yang dapat menghasilkan keuntungan, membuka lapangan usaha serta meningkatkan kegiatan ekonomi modern. Terjadinya alih teknologi dan tersedianya lapangan pekerjaan yang dimungkinkan oleh perusahaan.

Kehadiran perusahaan pada suatu daerah akan membawa angin segar bagi perkembangan daerah tersebut. Harapan akan peningkatan taraf hidup menjadi harapan penduduk sebagai dampak kehadiran perusahaan. Baik terkena dampaknya secara langsung maupun tidak langsung sehingga peran perusahaan dirasa memiliki peranan yang cukup tinggi terhadap perkembangan daerah dalam segi ekonomi dan sosial.

Keberadaan perusahaan menimbulkan banyak manfaat namun bersamaan dengan itu kerusakan lingkungan juga semakin meningkat. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan yang terbukti membuang sekitar 2,6 miliar ton limbah ke lahan, sungai bahkan laut Indonesia. Ketegangan, konflik dan kekerasan hingga pembunuhan terkait dengan perusahaan-perusahaan terjadi secara merata seperti


(18)

yang terjadi di tambang Freeport di Papua Barat dan Meares Soputan Mining di Sulawesi Utara (Sunny, 2008).

Kerugian lainnya, aktivitas industri berbagai perusahaan tidak jarang menimbulkan berbagai polusi, seperti polusi tanah, air, udara maupun suara. Akibatnya polusi tersebut beraneka ragam, seperti mengurangi produktivitas pertanian, mematikan ikan di sungai maupun kolam, bau yang sangat menyengat, merusak seng rumah, dan masih banyak lagi kerugian yang ditanggung masyarakat atas kehadiran perusahaan itu, yang memang secara nyata telah memporakporandakan sistem yang selama ini secara apik mengatur kehidupan mereka (Siagian dan Suriadi, 2012: 6).

Dapat dilihat bahwa kerugian yang dialami masyarakat sekitar perusahaan lebih banyak daripada keuntungan yang diperoleh dengan kehadiran perusahaan di lingkungan masyarakat tersebut. Kondisi ini tidak saling mendukung dimana satu elemen menjadi pihak yang diuntungkan dan elemen lain menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini bisa mengakibatkan konflik karena salah satu pihak dirugikan.

Di jantungnya para pemilik perusahaan harus ada denyut penderitaan dan nasib masyarakat. Hanya denyut itulah yang dapat mengilhami para pemilik perusahaan untuk mensejajarkan kemajuan dan keuntungan perusahaan dengan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Cara dan langkah pertama mewujudkan kesejajaran tersebut adalah dengan rela menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan yang akan digunakan dengan melakukan serangkaian aktivitas insaniah dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dikelola secara profesional (Siagian dan Suriadi, 2012 : 6).

Kerelaan menyisihkan sebahagian keuntungan perusahaan untuk melakukan aktivitas kedermawanan sosial dipastikan tidak akan berhasil mengubah kehidupan


(19)

masyarakat sekitar ke arah yang lebih baik atau lebih sejahtera. Kerelaan tersebut masih berwujud niat yang tulus, namun tidak dilengkapi dengan tanggung jawab mensejajarkan kemajuan dan keuntungan perusahaan dengan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Sikap kedermawanan sosial hanya mengandung niat yang tulus. Seharusnya niat yang tulus tersebut harus di implementasikan dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat. Niat tulus yang diwujudkan dengan implementasi program pemberdayaan masyarakat secara profesional adalah spesies yang saat ini diberi nama tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) (Siagian dan Suriadi, 2012: 7).

Kembali ditegaskan, niat tulus dalam bentuk kedermawanan sosial tidak sama dengan konsep CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam konsep kedermawanan sosial yang tentunya bersifat suka rela dan hanya didasarkan pada niat pemilik dan manajemen perusahaan, pihak perusahaan bertindak dan berwujud sebagai pahlawan. Adalah sangat berbeda konsep tanggung jawab dengan kedermawanan sosial.

Dalam Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung Jawab Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Permensos menegaskan pentingnya Peran Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Pembangunan Kesejahteraan Sosial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 mengenai Program Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha yang dilaksanakan dengan memprioritaskan salah satu program yang meliputi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Oleh karena itu, dalam melaksanakan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil sebenarnya diperlukan dana CSR (Coorporate Social Responsibility) untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat komunitas adat terpencil.


(20)

Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil merupakan program dari Kementerian Sosial yang diarahkan pada upaya pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat yang masuk ke dalam kategori terpencil. Melalui program ini diharapkan masyarakat dapat menemukan masalah dan kebutuhan beserta upaya pemecahannya berdasarkan kekuatan dan kemampuannya sendiri, sehingga tercipta peningkatan mutu kehidupan, terlindunginya hak-hak dasar serta terpeliharanya budaya lokal.

Komunitas Adat Terpencil meletakkan harapan yang besar terhadap program ini agar mampu menjadi jawaban atas perkembangan mereka yang cenderung lebih lambat dibanding masyarakat pada umumnya. Melalui pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan lingkungan sosial serta perlindungan sosial diharapkan Komunitas Adat Terpencil mampu mewujudkan kesejahteraan sosial yang ditandai dengan kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dan melaksanakan peranan sosialnya secara optimal.

Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu lokasi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang ada di Sumatera Utara. Salah satu lokasi pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Tobasa yaitu Desa Meranti Barat merupakan penduduk asli etnik Batak Toba. Desa Meranti Barat merupakan desa terpencil dimana akses menuju ke desa masih sangat sulit dan terbatas. Jumlah penduduk di Desa Meranti Barat ini sebanyak 198 jiwa dengan 50 Kepala keluarga yang bermukim di tiga huta yakni dusun Huta Godang Lapo Onan, Dusun Huta Tonga-Tonga Huta Poledung, Dusun Huta Dolok.

Desa Meranti Barat menurut sejarah sudah ada dan didiami warga selama 12 silsilah, dimana 1 silsilah mempunyai kurun waktu 60 tahun. Ini berarti keberadaan desa tersebut secara turun temurun sudah ada sejak 7 abad silam. Dahulunya letak


(21)

wilayah desa ini berpindah-pindah administrasi pemerintahan, pernah di bawah wilayah administrasi Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Porsea, Kecamatan Pembantu Parhitean, Kecamatan Pintu Pohan Meranti dan saat ini Desa Meranti Barat masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Silaen. Letak rumah yang saling berjauhan antara satu rumah dengan rumah lain terpisah dengan ladang-ladang perkebunan mereka. Rumah-rumah warga biasanya akan mengelompok 3-4 rumah dan satu kelompok pemukiman ini kemudian akan berjarak beberapa kilometer untuk menemukan kelompok rumah lainnya.

Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 telah melakukan pemetaan sosial serta studi kelayakan pada desa ini kemudian pada tahun 2013 dilaksanakan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dengan menggandeng pemerintah setempat dan instansi terkait. Pada Desember 2014 telah dilakukan terminasi (pemutusan hubungan dengan klien) oleh Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara karena dirasa program pemberdayaan di Desa Meranti Barat telah berjalan dengan baik.

Selain Meranti Barat, Desa Dolok Nauli Dusun Pintu Pohan Dolok Kecamatan Porsea merupakan salah satu lokasi pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir yang dilaksanakan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada tahun 2003. Desa Dolok Nauli Dusun Pintu Pohan Dolok Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir berjumlah 100 kk atau 349 jiwa. Sementara itu, Desa Liat Tondung Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu rencana lokasi dilaksanakan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tahun 2015 oleh Kementerian Sosial RI.Kementrian Sosial Republik Indonesia melaksanakan Semiloka Daerah hasil Studi Kelayakan warga Komunitas Adat Terpencil (KAT).Kementerian Sosial berencana membangun


(22)

30 rumah tipe 30 yang berukuran 5x6 meter untuk 30 keluarga komunitas adat terpencil (KAT) di Desa Liat Tondung, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa). Rencana tersebut merupakan kerjasama antara Kementerian Sosial dengan pihak Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Kabupaten Tobasa.Terpilihnya 30 keluarga warga Desa Liat Tondung, Kecamatan Nassau, sebagai tempat dilaksanakannya sasaran pemberdayaan komunitas adat terpencil, dikarenakan adanya usulan dari Dinas Kesejahteraan dan Sosial Kabupaten Toba Samosir, dan telah melakukan survei secara langsung ke lokasi beberapa waktu lalu (Anonymous, 2013).

Desa Liat Tondung merupakan salah satu desa terpencil di Kabupaten Toba Samosir ternyata belum dialiri listrik padahal sudah 69 tahun Indonesia sudah merdeka. Masyarakat di Desa Liat Tondung menggunakan lampu teplok sebagai penerangan di malam hari. Hal ini tentu menjadi perhatian bersama agar masyarakat Desa Liat Tondung dapat menikmati adanya listrik (Faisal, 2013).

Populasi Komunitas Adat Terpencil di Pulau Sumatera, pada tahun 2014 berjumlah kurang lebih 17.121 kelapa keluarga yang tersebar di enam provinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau dan Jambi (Kementerian Sosial RI, 2014).

Untuk Sumatera Utara sendiri pada tahun 2014, jumlah keseluruhan populasi Komunitas Adat Terpencil adalah sebanyak 2.711 kk yang tersebar di 11 kabupaten, 31 kecamatan, 53 desa, dan 69 lokasi. Artinya masih banyak populasi Komunitas Adat Terpencil di Sumatera Utara belum diberdayakan hingga saat ini (Kementerian Sosial, 2014).

Pada tahun 2015, pemerintah melalui Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial telah menetapkan rencana lokasi Pemberdayaan


(23)

Komunitas Adat Terpencil di beberapa wilayah provinsi Sumatera Utara. Lokasi tersebut meliputi beberapa desa yaitu : Dusun III Pansur Natolu, Desa Dolok Pantis, Kecamatan Sorkam, Kabupaten Tapanuli Tengah ; Huta Godang & Lumban Sihobuk, Desa Liat Tondung, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir ; Huta Tinggi Saribu, Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun (Direktorat Pemberdayaan KAT, 2014).

Populasi Komunitas Adat Terpencil hingga tahun 2014 di Indonesia masih sangat besar yaitu sebanyak 213.067 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut populasi yang sudah diberdayakan berjumlah 94.272 kepala keluarga (44%), yang belum diberdayakan sama sekali berjumlah 117.004 kepala keluarga (56%) dan target pemberdayaan KAT pada tahun 2014 yaitu 4.861 kepala keluarga (4%) Berdasarkan data ini kita bisa melihat bahwa sesungguhnya lebih dari setengah populasi Komunitas Adat Terpencil di seluruh Indonesia belum diberdayakan (Kementerian Sosial RI, 2014).

Persebaran Komunitas Adat Terpencil di Indonesia terdapat di 22 provinsi, 63 kabupaten, 80 kecamatan, 83 desa dan 105 lokasi permukiman. Artinya Komunitas Adat Terpencil menyebar di hampir seluruh wilayah provinsi Indonesia dan sudah tentu membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah serta instansi terkait (Kementerian Sosial, 2014).

Sesuai dengan Keppres R.I Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, yang dimaksud dengan Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Komunitas Adat Terpencil menjalani kehidupan yang sangat sederhana serta mempertahankan cara-cara tradisional. Mereka hidup dengan sistem ekonomi yang


(24)

lebih bersifat subsistem, yaitu melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja.

Komunitas Adat Terpencil ataupun yang selama ini kita kenal dengan sebutan masyarakat terasing atau masyarakat tertinggal biasanya digunakan dalam merujuk individu-individu dan kelompok-kelompok yang merupakan keturunan asli yang tinggal di sebuah wilayah. Di masa kini, mereka merupakan sektor-sektor yang non-dominan dari masyarakat (yang lebih besar) dan mereka berketetapan untuk melestarikan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi yang akan datang wilayah leluhur dan identitas etnik mereka sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat sesuai dengan pola budaya, institusi sosial dan sistem hukum mereka sendiri (Cobo dalam Bosko, 2006: 55).

Komunitas Adat Terpencil tidak terlepas dari apa yang dinamakan dengan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Kementerian Sosial, 2006). Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat atau pengetahuan setempat maupun kecerdasan setempat. Sistem pemenuhan kebutuhan yang dimaksud meliputi seluruh unsur kehidupan seperti agama, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi serta kesenian.

Kearifan lokal ini menjadi salah satu unsur yang membedakan Komunitas Adat Terpencil dengan kelompok masyarakat pada umumnya. Terkadang mereka memiliki peraturan tersendiri yang bahkan tidak terdapat dalam peraturan nasional, namun sebaliknya kearifan lokal inilah yang kemudian oleh para ahli dijadikan modal bagi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Pemberdayaan dilakukan


(25)

berdasarkan tingkat pengetahuan dan kemampuan masyarakat sehingga tidak menghilangkan jati diri maupun ciri khas mereka.

Persoalan globalisasi, di sisi lain kembali memberikan sebuah tantangan berat bagi Komunitas Adat Terpencil untuk tetap bertahan dengan sistem kearifan lokal mereka. Pembangunan yang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi terkadang memaksa mereka untuk hidup modern dan meninggalkan tradisi leluhur yang telah diwariskan turun-menurun di dalam kelompok mereka. Padahal tradisi tersebut sebenarnya memiliki kekayaan akan nilai hidup dan budaya.

Kementerian Sosial menjadikan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil menjadi sebagian program prioritas untuk tahun 2013. Perhatian khusus akan diberikan bagi masyarakat yang umumnya tinggal secara terpisah-pisah. Menurut Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri ada banyak titik di Indonesia tempat Komunitas Adat Terpencil tinggal dan jika masyarakat yang tinggalnya terpisah-pisah ini mau tinggal berkelompok pemberdayaan tentu akan lebih mudah dilaksanakan (Jurnal Nasional, 21 November 2012).

Dewasa ini masalah-masalah yang dialami olehKomunitas Adat Terpencil tidak hanya menjadi persoalan nasional, akan tetapi sudah menjadi persoalan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1995 telah mengeluarkan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples sebagai landasan moral bagi setiap negara dalam rangka memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap Komunitas Adat Terpencil. Deklarasi tersebut diatur secara rinci ke dalam 45 pasal, yang sebagian besar mengatur hak-hak Komunitas Adat Terpencil sebagai komunitas manusia maupun sebagai bagian dari warga negara. Deklarasi tersebut semakin memperkuat tuntutan terhadap negara, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, untuk memberikan pelayanan dan perlindungan bagi Komunitas Adat Terpencil.


(26)

Selain PBB, ada juga Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 169 Tahun 1989 mengenai Masyarakat Hukum Adat dalam pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab untuk mengembangkan, dengan keikutsertaan masyarakat terkait, tindakan terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat tersebut dan untuk menjamin rasa hormat terhadap integritas mereka (Konvensi ILO, 2003).

Pada tahun 1999 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO tersebut dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tersebut, Kementerian Sosial sebagai instansi sektoral yang bertanggung jawab terhadap kondisi kehidupan Komunitas Adat Terpencil, mengeluarkan berbagai keputusan dan peraturan yang di dalamnya secara substansial mengatur pelaksanaan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Namun demikian dalam implementasinya pemerintah belum secara optimal memberdayakan Komunitas Adat Terpencil, termasuk dalam hal pemberian hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum.

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil masih terdapat ketidaksempurnaan, bahkan ada penelitian yang menunjukkan bahwa secara kualitatif tidak semua lokasi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil berhasil mencapai target kemandirian sesuai dengan tujuan pemberdayaan (Bambang Rustanto, 2012).

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam bentuk skripsi. Adapun judul penelitian adalah “Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Toba Samosir”.


(27)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalh penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, apa pun masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana Optimalisasi Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Toba Samosir?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Optimalisasi Peran Tangung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Toba Samosir.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi dalam rangka : a. Secara akademis, dapat memberikan konstribusi keilmuan dalam menambah

referensi dan kajian serta studi komparasi bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan program tanggung jawab sosial perusahaan dan pemberdayaan komunitas adat terpencil.

b. Secara praktis, pengembangan konsep-konsep dan teori yang berkenaan dengan program tanggung jawab sosial perusahaan dan pemeberdayaan komunitas adat terpencil.


(28)

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Berisikan deskripsi mengenai lokasi/tempat peneliti melakukan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisanya.

BAB VI : PENUTUP

Berisikan kesimpulan dan saran-saran yang peneliti berikan sehubungan dengan penelitian.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Optimalisasi

Optimalisasi berasal dari kata dasar optimal yang berarti yang terbaik. Jadi optimalisasi adalah proses pencapaian suatu pekerjaan dengan hasil dan keuntungan yang besar tanpa harus mengurangi mutu dan kualitas dari suatu pekerjaan.

Pengertian optimalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah optimalisasi berasal dari kata optimal yang berarti terbaik, tertinggi jadi optimalisasi adalah suatu proses meninggikan atau meningkatkan. Pengertian Optimalisasi menurut wikipedia adalah proses untuk mencapai hasil yang ideal atau optimasi (nilai efektif yang dapat dicapai). Optimalisasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk mengoptimalkan sesuatu hal yang ada ataupun merancang atau membuat sesuatu secara optimal.

2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan karyawannya dan bertindak adil terhadap berbagai pihak yang terkait dengan aktivitasnya, serta dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk membiayai dan secara langsung atau tidak langsung melakukan program-program yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat sebagai pemangku kepentingan utama perusahaan yang dikelola (Siagian dan Suriadi, 2012).

Berdasarkan defenisi yang dirumuskan secara sederhana tersebut, maka pelaku usaha harus memiliki niat atau komitmen yang kuat untuk menyisihkan


(30)

sebagian dari hasil usaha atau keuntungan perusahaannya. Lebih dari itu, pelaku usaha tidak cukup hanya memiliki niat dan kemauan menyisihkan sebagian dari hasl usaha atau keuntungan perusahaannya, tetapi juga harus bertanggung jawab dalam menjamin perumusan dan implementasi berbagai program pemberdayaan masyarakat yang secaara nyata dapat meningkatnkan kesejahteraan masyarakat.

Mallen Baker mengartikan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu hal bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pengelolaan terhadap proses ekonominya dalam rangka menghasilkan suatu dampak positif secara menyeluruh bagi masyarakat (Mallen Baker, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:10).

Pandangan lain tentang defenisi tanggung jawab sosial perusahaan dikemukakan oleh Bank Dunia yang mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu persetujuan atau komitmen perususahaan agar bermanfaat bagi pembangunan ekonomi berkesinambungan, bekerja dengan para perwakilan dan perwakilan mereka, masyarakat setempat dan masyarakat dalam ukuran luas, untuk meningkatkan kualitas hidup dengan demikian eksistensi perusahaan tersebut akan baik bagi perusahaan itu sendiri dan bak pula bagi pembangunan (World Bank, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:12:10).

2.2.2 Manfaat dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan disadari makin penting karena mampu memberikan jawaban atas setiap permasalahan yang dihadapi perusahaan dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar. Awalnya pemahaman bahwa CSR mampu mendongkrak popularitas kini bergeser seiring dengan berjalannya waktu. Pemahaman konsep pengembangan berkelanjutan menjadi bahasan utama dewasa ini jika membahas CSR. Dalam hal ini, perusahaan hanyalah menjalankan tanggung


(31)

jawab sosialnya dengan memperhatikan keberlanjutan, selebihnya masyarakat yang menilai komitmen perusahaan higga citra yang baik menjadi bonus bagi perusahaan.

Suhandri (dalam Untung, 2008:6) mengemukakan pelaksanaan CSR memberikan manfaat bagi perusahaan adalah sebagai berikut:

1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi atau citra merek perusahaan. 2. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.

3. Mereduksi resiko demi kepentingan positif perusahaan. 4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha. 5. Membuka peluang pasar yang luas.

6. Mereduksi biaya misalnya dengan pembuangan limbah. 7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.

8. Memperbaiki hubungan dengan regulator.

9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. 10.Peluang mendapatkan penghargaan.

Pelaksanaan CSR memang tidak semata memberikan manfaat kepada perusahaan, namun juga memberikan manfaat bagi masyarakat yang menerimanya. Pelaksanaan CSR dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup sehingga tercapai kesejahteraan. Hal ini akan mengimbangi kemajuan yang dialami oleh perusahaan di lingkungan sekitar sehingga secara tidak langsung kesuksesan dan kemajuan perusahaan dapat terus dibina secara berkelanjutan.

2.2.3 Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Kehadiran perusahaan dipastikan melahirkan cost yang harus ditanggung masyarakat sebagai akibat dari berbagai bentuk pencemaran yang ditimbulkan aktivitas ekonomi perusahaan sebagaimana telah dikemukakan. Oleh karena itu, cost


(32)

tersebut harus diimbangi dengan benefit bagi masyakat setempat. Adapun benefit bagi masyarakat diupayakan dengan cara menetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan sebagian dari keuntungan yang diperoleh yang akan digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan masyarakat setempat sehingga kesejahteraan perusahaan, khususnya pemilik perusahaan juga diikuti oleh kesejahteraan masyarakat setempat.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan meliputi:

1. Bersedia menyisihkan sejumlah uang, misalnya 1 % dari keuntungan perusahan untuk kepentingan masyarakat setempat.

2. Uang tersebut diperuntukkan sebagai pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat setempat.

3. Program pemberdayaan masyarakat setempat yang dilakukan dijamin dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian harus dipahami bahwa tanggung jawab sosial perusahaan bukan sekedar kesediaan menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal yang sangat substansial adalah penggunaan dana yang disediakan secara efektif harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang berkualitas, tepat dan berkesinambungan (Siagian, 2012: 180-181).

2.2.4 Dasar Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Pada awalnya tanggung jawab sosial perusahaan hanya dianggap sebagai tanggung jawab etis, yang berarti cenderung bersifat sukarela dan tidak bersifat


(33)

mengikat. Keadaan seperti ini mengakibatkan perusahaan tersebut dalam wujud belas kasihan atau kedermawanan sosial. Segelintir perusahaan bersedia menyisihkan keuntungannya dan diserahkan kepada masyarakat dalam bentuk kasihan atau kedermawanan sosial, bukan kewajiban. Kecenderungan ini ternyata secara umum tidak menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat setempat.

Upaya meningkatkan efektivitas tanggung jawab sosial perusahaan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat antara lan ditempuh degan mengubah kesan dan sifat tanggung jawab sosial perusahaan itu dari sebelumnya bersifat etis atau sebagai etika (etika atau etika perusahaan) menjadi tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat wajib atau sebagai hukum.

Khususnya di Indonesia, menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan dari masa ke masa telah diatur oleh perundang-undangan, antara lain:

1. Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana Keputusan Menteri BUMN No 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).

2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Dalam Pasal 74 disebutkan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2) tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dilanggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.


(34)

3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.

4. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Dalam pasal 15 (b) dinyatakan bahwa “Setiap penanam modal bekewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.

5. Peraturan CSR bagi perusahaan pengelola Minyak dan Gas (Migas), diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001. Dalam pasal 13 ayat 3 (p) disebutkan: Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: (p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”. 6. Undang-undang Nomor 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin,

Undang-undang ini tidak membahas secara khusus peran dan fungsi perusahaan dalam menangani fakir miskin, melainkan terdapat klausul dalam pasal 36 ayat 1 “Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin, meliputi: dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan”.

7. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 tahun 2012 tentang forum tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial. b Dalam pasal 6 disebutkan ; (1) Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha mempunyai tugas membangun kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat dalam mendukung keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. (2) Penyelengaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memprioritaskan pada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: (a) kemiskinan, (b) ketelantaran, (c) kecacatan, (d) keterpencilan, (e) ketunaan sosial dan


(35)

penyimpangan perilaku, (f) korban bencana dan/atau, (g) korban tindak kekerasan, ekspoitasi dan diskriminasi.

Dalam Bab IV Pasal 19 mengenai Program Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha disebutkan; tanggung jawab sosial dunia usaha dilaksanakan dengan memprioritaskan program yang meliputi: (a) peningkatan/perbaikan penghasilan (income generation) bagi keluarga miskin, (b) pemberdayaan sosial (social empowerment) bagi keluarga bermasalah sosial psikologis dan keluarga bermasalah sosial ekonomis, (c) pelatihan keterampilan kerja (vocational training) bagi remaja putus sekolah, bagi wanita rawan sosial ekonomi, dan lain-lain, (d) kajian dan pengembangan model program tanggung jawab sosial dunia usaha, (e) perbaikan rumah tidak layak huni, (f) rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat (difabel), (g) rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna sosial, (h) rehabilitasi sosial terhadap anak nakal, (i) perlindungan sosial bagi anak terlantar, (j) home care bagi lanjut usia, (k) pemberdayaan komunitas adat terpencil, (l) penanganan korban bencana dan bencana sosial, dan (m) perlindungan sosial bagi korban tindak kekerasan.

2.2.5 Model Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dalam kajiannya tentang model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, Wibisono (2007) mengemukakan model dalam bentuk kerjasama yang melibatkan tiga pihak, yang secara singkat dinamakan dengan model tiga pihak. Adapun ketiga pihak tersebut adalah perusahaan-masyarakat-pemerintah. Melibatkan tiga pihak dalam bentuk kerjasama dalam proses pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan dapat memaksimalkan kepuasaan bagi perusahaan dan masyarakat.


(36)

Hal yang sangat penting dipahami adalah antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah dalam konteks implementasi tanggung jawab sosial perusahaan dihubungkan garis kepentingan timbale balik. Setidaknya ada tiga bentuk kepentingan yang melibatkan tiga pihak tersebut dalam suatu kerjasama, yaitu:

1. Secara konstitusional perusahaan adalah mitra pemerintah dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam, sebagaimana diatut dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehubungan dengan praktek bisnisnya dalam mengelola sumber daya alam, maka perusahaan tergantung pada pemerintah, khususnya dalam rangka memperoleh izin usaha.

2. Perusahaan merupakan institusi yang senantiasa memberikan dukungan kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan kewajiban lainnya sehingga pemerintah memiliki biaya operasional dalam melakukan pengelolaan pemerintahan dan pembangunan nasional. Artinya, sumber utama pemerintahan dan pembangunan nasional. Artinya, sumber utama penerimaan negara adalah pajak, dan sumber utama pajak adalah para pelaku usaha atau badan-badan usaha.

3. Kenyamanan aktivitas ekonomi bagi perusahaan sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat setempat terhadap perusahaan. Kondisi seperti ini semakin pekat di era demokrasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia. Selanjutnya perilaku masyarakat setempat terhadap perusahaan dipengaruhi pula oleh perilaku perusahaan dalam memberikan manfaat bagi keejahteraan masyarakat setempat.

Dengan dukungan Bank Dunia, Tom Fox, Halina Ward dan Bruce Howard pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan di negara-negara berkembang yang memfokuskan diri pada


(37)

peran yang dilakukan pemerintah. Hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua poros yang mungkin dilakukan pihak pemerintah sehubungan dengan praktek ekonomi dan implementasi tanggung jawab sosial perusahaan yaitu:

Poros Pertama, meliputi: 1. Pembagian wewenang

Peran pemerintah di sini beruapaya penyusunan standar minimum kinerja perusahaan yang diatur dalam peranturan perundang-undangan.

2. Memberikan kemudahan

Peran pemerintah dalam hal ini adalah penciptaan kondisi yang mendukung, bahkan dorongan bagi perusahaan yang mengimplementasikan program tanggung jawab sosial secara efektif agar menjadi pendorong atas perbaikan kehidupan sosial dan lingkungan.

3. Kemitraan atau kerjasama

Pihak pemerintah berperan sebagai unsure yang ikut terlibat dan menjadi fasilitator dalam pemecahan masalah-masalah sosial dan lingkungan.

4. Dukungan

Pihak pemerintah harus memberikan dukungan politik, dukungan kebijakan, atau dukungan lainnya kepada perusahaan maupun masyarakat.

Poros kedua adalah:

1. Menetapkan dan menjamin pencaipaian standar minimum. 2. Kebijakan umum yang berkenaan dengan peran ekonomi. 3. Pengelolaan perusahaan melalui hukum.

4. Penanaman modal yang mendukung dan bertanggung jawab. 5. Belas kasihan dan pengembangan masyarakat.


(38)

6. Penglibatan dan keterwakilan pemangku kepentingan.

7. Produksi dan konsumsi yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan. 8. Sertifikasi yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan, pemenhan

tanggung jawab yang bernilai keagungan dan sistem manajemen.

9. Keterbukaan dan pelaporan yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan. 10.Proses yang melibatkan banyak pihak dalam rangka merumuskan pedoman dan

menjadikan hal itu sebagai seseuatu yang diikuti di masa mendatang.

Dalam upaya mencapai efektivitas implementasi tanggung jawab sosial perusahaan, Saidi dan Abidin mengemukakan sedikitnya ada empat model atau pola yang secara umum dapat dilaksanakan di Indonesia yaitu:

1. Model Keterlibatan Langsung

Perusahaan sendiri yang secara langsung mengimplementasikan program tanggung jawab sosial perusahaannya, tanpa keterlibatan pihak lain.

2. Model Yayasan atau Organisasi Sosial Perusahaan

Perusahaan sendiri mendirikan yayasan atau organisasi sosial. Yayasan atau organisasi inilah yang memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yang dananya bersumber dari perusahaan.

3. Model Mendukung atau Bergabung dalam Konsorsium

Sejumlah perusahaan bekerjasama mendirikan organisasi Selanjutnya organisasi sosial inilah yang secara langsung bertanggung jawab dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan.

Sehubungan dengan uraian di atas, ada satu pertanyaan kunci berkaitan dengan adanya beberapa alternatif model yang adanya beberapa alternatif model yang ada. Model manakah yang terbaik di antara model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang ada? Meskipun jawaban atas pertanyaan ini sangat penting,


(39)

namun kita tidak akan menemukan jawaban itu dalam khasanah teoritis. Setidaknya ada dua alasan dari argumentasi seperti ini, yakni:

1. Model yang tebaik untuk diterapkan adalah model yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Sementara masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam, baik ditinjau dari aspek budaya, wawasan dan pendidikan, keterampilan, sosial ekonomi, maupun kohesi sosialnya. Semua merupakan variabel pengaruh terhadap model implementasi program tanggung jawab sosial.

2. Penerapan suatu model implementasi program tanggung jawab sosial menuntut berbagai konsekwensi logis yang justru menjadi prasyarat implementasi tersebut.

2.2.6 Konsep-konsep Terkait

2.2.6.1 Pengelolaan Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Konsep Good Corporate Governance antara lain menegaskan bahawa dapat melakukan aktivitas ekonominya, perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan hukum, tetapi segala aktivitas ekonomnya harus pula didasarkan pada etika. Berdasarkan pemikiran tersebut maka sekarang ini berkembang konsep etika perusahaan yang juga sering dinamakan pada etika bisnis. Konsep etika bisnis perusahaan oleh banyak pihak diperjuangkan sebagai suatu panduan perilaku bagi pelaku usaha (Siagian dan Suriadi, 2012: 51).

Gagasan perlunya penerapan Good Corporate Governance diilhami oleh kajian tentang dampak dari sepak terjang para pelaku usaha yang sesungguhnya muncul sebagai jawaban terhadap persaingan yang semakin ketat dalam dunia usaha. Harus diakui bahwa persaingan di antara perusahaan-perusahaan semakin ketat. Oleh karena itu, seluruh elemen dari suatu perusahaan harus dikerahkan dan


(40)

diarahkan untuk mendukung perusahaan dalam rangka pencapaian keuntungan sebesar-besarnya demi kebaikan perusahaan itu sendiri.

Terdapat lima prinsip pengelolaan perusahaan yang baik yang oleh para pelaku usaha dapat dijadikan sebagai acuan, yaitu:

1. Prinsip Keterbukaan (Transparency)

Prinsip ini menuntut keterbukaan atas informasi. Dalam kaitan ini, maka seluruh perusahaan dituntut memiliki kerelaan dan kemampuan, memberikan informasi yang lengkap, benar atau akurat dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan.

2. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip ini menuntut perwujudan atas kejelasan berkenaan dengan fungsi, susunan, sistem, dan tanggung jawab tiap-tiap bagian yang ada dalam suatu perusahaan. Melalui implementasi asas ini akan mampu diwujudkan kejelasan fungsi, hak, kewajiban, dan kekuasaan serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan eksekutif perusahaan.

3. Prinsip Pertanggungjawaban (Responsibility)

Prinsip ini menegaskan bahwa perusahaan harus memiliki kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang sah atau berlaku sah, seperti kepatuhan atas hukum yang perpajakan, hukum yang berkenaan dengan hubungan antara pelaku-pelaku industri dan para pekerjanya, hukum berkenaan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, hukum yang berkenaan dengan perlindungan terhadap lingkungan, hukum yang berkenaan dengan pemeliharaan hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara pelaku-pelaku usaha dan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian implementasi prinsip ini akan menyadarkan para pelaku usaha bahwa dalam tiap-tiap


(41)

operasional perusahaannya, mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham atau pemilik perusahaan, tetapi juga memiliki tanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan.

4. Prinsip Kemandirian (Independency)

Prinsip ini menegaskan perlunya pengelolaan perusahan secara professional tanpa adanya benturan-benturan kepentingan ataupun tekanan dan campur tangan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan berbagai hukum yang sah. Dengan demikian profesionalisasi pengelolaan perusahaan merupakan harga mati, dan berbagai variable yang menghalanginya harus dihindarkan.

5. Prinsip Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness)

Prinsip ini menuntut, bahwa dalam semua aktivitas ekonominya perusahaan harus menghormati nilai-nilai keadilan, kepatuhan atau kewajaran dalam memenuhi hak setiap pemangku kepentingan dengan segala kepentingan masing-masing (Hasmadillah dalam Siagian dan Suriadi, 2012:54).

2.2.6.2 Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan sebagai pembangunan yang memiliki kemampuan dalam menjamin kebersinambungan pembangunan. Hal mana dilakukan dengan cara berikhtiar memenuhi keperluan masa sekarang tanpa membahayakan peluang generasi yang akan datang dalam memenuhi berbagai keperluan hidupnya nanti. Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian terhadap kepentingan masa sekarang dan kepentingan masa mendatang.

Para pelaku industri di negara-negara maju dan di negara-negara sedang membangun dengan bebas melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang


(42)

tidak dapat diperbaharui. Praktek ini berlangsung dalam jangka waktu yang berkepanjangan. Sedangkan negara-negara miskin tidak mempunyai pilihan lain. Mereka dipaksa menjual sumber daya alam mereka dalam jumlah yang sangat besar dalam rangka membayar hutang kepada bangsa-bangsa lain. Dampak eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber daya ala mini justru mengakibatkan penurunan secara tajam daya dukung alam terhadap kehidupan manusia.

Akibat yang muncul selanjutnya adalah pemanasan global, kepunahan berbagai spesies tumbuhan dan satwa, penurunan kualitas tanah dan makin berkurangnya hamparan hutan, meluasnya wabah penyakit, masalah kekeringan yang seterusna mengakibatkan masalah kelaparan,banjir dan lain-lain. Semua keadaan buruk yang terjadi adalah wujud daripada penolakan alam terhadap tindakan merusak yang dilakukan manusia (World Business Council Development, 2000).

Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan Konferensi khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED). Konferensi ini lebih dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Riode Janeiro, Brazil (Tinto, dalam Siagian dan Suriadi, 2012). Konferensi ini mengangkat slogan “berpikir mendunia, bertindak sesuai keadaam setempat”. Slogan ini berupaya menggambarkan perlunya bertindak bijaksana terhadap lingkungan. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Bumi ini berupaya menyadarkan perlunya menumbuhkan semangat kebersamaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh benturan antara kelompok-kelompok pelaku pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan kelompok pelaku pembangunan yang memperhatikan lingkungan.

Hasil utama implementasi Konferensi Tingkat Tinggi Bumi antara lain adalah berupaya kesepakatan para pemimpin negara-negara di dunia ini untuk


(43)

menyetujui berbagai rancangan besar yang berkaitan dengan pembangunan berkesinambungan yang didasarkan atas pemeliharaan lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial yang dimasukkan dalam tiga dokumen yang secara wajib berlaku atau mengikat dan tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat.

Adapun tiga persetujuan tersebut meliputi:

1. Persetujuan Perserikatan Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. Konferensi ini bertujuan melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika, semua makhluk hidup, habitat dan sistem lingkungan dan menjamin pendayagunaan berbagai sumber daya hayati secara berkesinambungan demi menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil.

2. Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim Global. Persetujuan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepekatan gas rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat yang dapat mencegak campur tangan manusia yang berbahaya yang berkaitan dengan iklim.

3. Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penyelesaian Masalah penurunan Kualitas Tanah. Persetujuan ini berupaya mencipta pemecahan terhadap masalah rusaknya tanah. Penurunan kualitas tanah ini telah mengurangi secara signifikan daya dukung suatu kawasan bagi kehidupan manusia yang mendiaminya (Soejachmoen, dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

Selanjutnya tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat merangkum dua kesepakatan, yaitu:

1. Pendeklarasian Rio berkenaan dengan asas yang menekankan antara lingkungan dan pembangunan. Asas tersebut dapat dilaksanakan secara umum dalam rangka menjamin pemeliharaan lingkungan dan pembangunan yang bertanggung jawab.


(44)

2. Dasar-dasar kebenaran pengelolaan hutan, yaitu pernyataan yang mengikat tentang dasar-dasar kebenaran bagi satu persetujuan dunia tentang pengelolaan, pelestarian, dan pembangunan berkesinambungan dari semua jenis hutan. Dasar-dasar ini menegaskan bahwa hutan adalah suatu unsure penting dalam pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, pemeliharaan keragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai (Soejachmoen, dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

3. Agenda 21 yang merupakan rancangan lengkap tentang program pembangunan berkesinambungan saat memasuki abad ke-21. Dalam Agenda 21 disebutkan, bahwa selain pemerintah bangsa-bangsa di duna, badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional lainnya, maka seluruh lapisan masyarakat perlu memahami konsep pembangunan berkesinambungan. Ditegaskan pula, bahwa terdapat Sembilan kelompok utama yang diharapkan terlibat dalam program ini, yaitu organisasi non pemerintah (NGO/LSM), pemuda, pekerja, petani dan nelayan, pemerintah lokal, pelaku usaha, perempuan, ilmuwan dan pemuka adat (Siagian dan Suriadi, 2012:62).

2.2.6.3 Millenium Development Goals (MDGs)

Millenium Development Goals terjadi karena adanya kesamaan kemauan dan perhatian terhadap kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dari berbagai negara, terutama negara-negara mskin dan sedang berkembang antara lain terwujud dengan kehadiran Pernyataan Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu Millenium Development Goals, yang disepakati 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Konferensi Tingkat Tinggi Millennium (Millenium Summit) pada September tahun 2000.


(45)

Terdapat delapan tujuan yang dirangkum dalam Millenium Development Goals yang harus dicapai sebelum tahun 2015, yaitu:

1. Menghapuskan tinkat kemiskinan dan kelaparan yang parah. 2. Pencapaian Sekolah Dasar secara umum.

3. Membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 4. Mengurangi tingkat kematian anak.

5. Meningkatkan kesehatan ibu.

6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit serius lainnya. 7. Menjamin kesinambungan pembangunan lingkungan.

8. Mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan.

Kaitan Millenium Development Goals dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:

1. Sebagai negara yang memiliki keterbatasan finasisal dan selama ini masih memerlukan dukungan dana dari lembaga-lembaga keuangan inetrbasional, maka perusahaan-perusahaan harus dimnafaatkan sebagai sumber keuangan alternatif, yang sangat signifikan melalui implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan.

2. Millenium Development Goals sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia, bahwa seluruh makhluk hidup berada atau hdup dalam planet yang sama. Oleh karena itu, tidak satu pun dari kelompok makhluk bumi ini yang hidup sendiri atau terpisah dari makhluk lain. Pelaku usaha sebagai salah satu elemen dalam planet yang sama senantiasa mempengaruhi dan dipengaruhi ti ndakan kecil ataupun yang dilakukan oleh elemen manapun juga.

MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai focus utama pembangunan, memiliki tengat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan


(46)

pada konsensus dan kemitraan global sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Manfaat dari MDGs tidak semata-mata untuk mengukur target dan menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan millenium diindikatorkan pelaksanaannya (Siagian dan Suriadi, 2012).

2.2.6.4 Tiga Garis Dasar (Triple Bottom Line)

Upaya membatasi meluasnya sikap egosentris dari para pelaku usaha secara tajam datang dari John Elkington. Melalui bukunya berjudul Cannibaks with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, Elkington (1997) mengenalkan konsep tiga garis dasar (Triple Bottom Line). Dalam bukunya tersebut Elkington mencoba menyadarkan para pelaku usaha, bahwa jika para pelaku ingin aktivitas ekonomi perusahaannya berkesinambungan dan berjalan baik, maka para pelaku usaha tidak boleh hanya beorientasi pada satu fokus berupa keuntungan, melainkan harus menjadikan tiga focus sebagai orientasi aktivitas ekonomi, yang boleh Elkington dinamakan dengan konsep “3P”.

Cakupan yang harus menjadi pusat perhatian para pelaku usaha adalah selain mengejar keuntungan perusahaan (Profit), pihak pelaku usaha juga harus memperhatikan dan terlibat secara sungguh-sungguh dalam upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (People), serta turut berperan aktif dalam menjamin pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Planet).

Suatu perusahaan tidak boleh lagi diperhadapkan dengan unsur tanggung jawab yang berpihak pada suatu garis dasar saja, yaitu berupa aspek ekonomi yang


(47)

senantiasa hanya diukur berdasarkan keadaan keuangan sebagi gambaran dari tingkat danbesarnya keuntungan perusahaan. Bagaimanapun perusahaan senantiasa dihadapkan pada tanggung jawab yang berpihak pada tiga garis dasar yang mana dua garis petanggungjawaban lainnya adalah memperhatikan aspek sosial, khususnya kesejahteraan masyarakt lokal dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan sebagi umpan balik dari eksploitasi sumber daya alam (Elkington, dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

Meningkatkan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi memang sangatlah penting. Namun demikian, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan pemeliharaan lingkungan. Dalam kaitan inilah sangat sesuai dan diperlukan implementasi konsep tiga dasar atau “3P” yang dikembangkan Elkington. Dengan demikian, para pelaku usaha harus menyadari bahwa jantung hati aktivitas ekonomi mereka bukan hanya keuntungan, melainkan juga masyarakat dengan segala keperluannya dan lingkungan dengan segala keperluannya juga.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

2.3.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyakarat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai (Siagian, 2012:165).


(48)

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat member peranan kepada individu sebagai objek tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan secara umum (Setiana, 2005:6).

Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses pengupayaan masyarakt yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang meartabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan (Bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152).

Dalam tulisan yang berjudul Community Development and Postmodernism of Resistance, Mary Lane (dalam Pease dan Fook, 2002) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu seni yang melakukan aktifitasnya melalui pengembangan hubungan, mendorong masyarakat adalah suatu seni yang melakukan aktivitasnya melalui pengembangan hubungan, masyarakat untuk bertemu, membentuk jaringan kerja dan mengemukakan kepentingan, keinginan, dan harapan mereka melalui bentuk pengukapan yang kreatif.

Dari defenisi yang dikemukakan Mary Lane, masyarakat diletakkan sebagai subjek dan objek. Dalam proses implementasi pemeberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi dan pendekaan intervensi sosial, maka masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi peningkatan kualitas


(49)

hidup masyarakat dengan mengutamakan pengembangan kapasitas internal masyarakat, sehingga pogram tersebut benar-benar dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari ikhtiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas, dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan ang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasar, menguntungkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153).

Pemikiran Smith tersebut secara keseluruhan sesuai dengan asas-asas dan kaidah-kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial, baik yang utama maupun pendukung senantiasa meletakkan manusia, baik secara pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu saja program dari pihak lain atau pihak luar, tetapi dilibatkan dalam proses supaya mereka berubah.

Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisikan peluang dan masyarakat bersikap tanggap. Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk mencapai keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi diatnggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154).


(50)

Pemberdayaan masyarakat dengan berbagai aktivitas yang mengikutinya tidak menempatkan masyarakat sebagai penerima program dan bantuan, lalu dicemooh dan disindir karena dikatakan mempunyai mental subsidi dan terlalu tergantung kepada belas kasihan pihak berkuasa. Sebaliknya konsep pemberdayaan masyarakat justru menempatkan masyakarat secara sentral, dan kepentingan masyarakat senantiasa menjadi variabel utama dalam proses penyusunan unit-unit aktivitas yang akan dilaksanakan.

Ginanjar Kartasasmita mengemukakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pengembangan masyarakat dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development). Menurutnya, pemberdayaan masyarakat adalah suatu aktivitas memampukan dan memandirikan masyarakat, dengan demikian masyarakat akan meningkat derajatnya (Kartasasmita, dalam Siagian dan Suriadi, 2012; 158).

Ada dua hal utama dari defenisi yang dikembangkan Kartasasmita. Pertama, pemberdayaan masyarakat bertumpu pada masyarakat. Hal ini berarti bahwa fokus dan pusat pembangunan itu adalah manusia, tegasnya masyarakat, dan bukan pemerintah, daam arti alat pencitraan bagi pemerintah. Kedua, indikato keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan kemampuan masyarakat dalam memenuhi keperluan hidupnya sehingga mampu hidup secara mandiri. Dengan demikian yang paling utama adalah kapasitas masyarakat dalam mensejahterakan diri sendiri.

Suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memeperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menetukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan


(51)

kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne, dalam Adi, 2003:54).

Dalam proses implemntasi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial, seorang pekerja sosial harus menetapkan berbagai prinsip, seperti (Ismawan dalam Siagian dan Suriadi, 2012:54) :

1. Pemahaman atas masyarakat secara mendalam sebagai kelompok sasar. Untuk itu, data yang bekaitan dengan masyarakat sebagai kelompok sasar merupakan model awal bagi pekerja sosial dalam menjalankan perannya.

2. Belajar dari kisah efektifitas program pemberdayaan masayarakat sebelumnya. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat perlu dukungan keberhasilan yang pernah dicapai. Oleh karena itu, adopsi metode dan asas-asas dari program pemberdayaan masyarakat yang nyata telah berhasil diterapkan perlu dilakukan. 3. Belajar dari kegagalan melaksanakan program pemberdayaan masyarakatyang

pernah dilakukan. Harus diakui bahwa implementasi program pemberdayaan masyarakat tidak serta merta mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, pekerja sosial senantiasa harus belajar dari pengalaman pelaksanaan program pemebrdayaan masyarakar sebelumnya, baik oleh diri sendiri maupun oleh pihak lain.

4. Melibatkan seluruh anggota masyarat dengan semua pengetahuan dan kemampuan mereka. Masyarakat adalag pihak yang paling tahu akan kebutuhan dan masalah sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan kemampuan mereka harus digali dan dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.


(52)

5. Memberi tanggapan yang senantiasa lentur sesuai dengan keadaan dan masalah yang ada. Pekerja sosial harus mampu menerima bagaimanapn kondisi masyarakat. Bahkan harus belajar dari kondisi yang ada.

2.3.3 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Prinsip-prinsip yang sebaiknya dalam pemberdayaan masyarakat (berdasarkan acuan dari ACSD, 2004) :

1. Kerja sama, bertanggung jawab, mengetengahkan aktivitas komunitas yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Mobilisasi individu-individu untuk tujuan saling tolong-menolong, memecahkan masalah, integrasi sosial dan tindakan sosial.

2. Pada tingkat paling bawah, partisipasi harus ditingkatkan dan mengedepankan demokrasi ideal dan partisipatori dalam kaitannya dengan sifat apatis, frustasi dan perasaan-perasaan yang sering muncul berupa ketidakmampuan dan tekanan akibat kekuatan struktural.

3. Sebanyak mungkin ada kemungkinan dan kesesuaian, community development harus mempercayakan dan bersandar pada kapasitas dan inisiatif dari kelompok relevan dan komunitas lokal untuk mengidentifikasi masalah-masalah, merencanakan dan melaksanakan pelatihan tentang tindakan. Dalam hal ini tujuannya adalah mengarah pada kepercayaan diri dalam kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi dan mengurangi ketergantungan kepada negara, lembaga dan intervensi profesional.

4. Sumber daya komunitas (manusia, teknik, dan finansial) dan kemungkinan sumber daya dari luar komunitas (dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah,


(53)

lembaga-lembaga dan kelompok finansial) harus dimobilisasikan dan kemungkinan untuk diseimbangakn dalam bentuk kesinambungan pembangunan. 5. Kebersamaan komunitas harus dipromosikan dalam bentuk dua tipe hubungan

yaitu: (1) hubungan sosial dalam keberadaan kelompok dipisahkan melalui kelas sosial atau perbedaan yang signifikan dalam status ekonomi, suku, bangsa, identitas ras, agama, gender, usia, lamanya tinggal atau karakteristik lainnya yang mungkin menyebabkan peningkatan atau membuka konflik, (2) hubungan struktural antara pranata-pranata tersebut.

6. Aktivitas-aktivitas seperti meningkatkan perasaan solidaritas di antara kelompok marginal dengan mengaitkan perkembangan dalam sektor-sektor dan kelas sosial untuk mencari kesempatan ekonomi, sosial, dan alternatif politik (Ambadar, 2008:44).

2.4 Komunitas Adat Terpencil

2.4.1 Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT)

Sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih ada yang menjalani kehidupan sangat memprihatinkan. Mereka mendiami tempat-tempat yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti di pedalaman, pantai, rawa-rawa dan pulau-pulau terpencil. Selain dari mereka ada yang menjalani kedidupan secara nomaden yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu pulau ke pulau lain dan bahkan dari satu perairan ke perairan lain. Mereka itu oleh Departemen Sosial diperkenalkan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT).

Sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, yang dimaksud dengan komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat dengan sosial budaya yang bersifat lokal yang kurang


(54)

atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi maupun politik (Kementerian Sosial RI, 2014).

Dengan pengertian tersebut maka komunitas ini dipahami sebagai komunitas yang memiliki budaya atau adat tertentu yang berbeda atau unik. Komunitas ini biasanya adalah komunitas lokal asli yang memiliki berbagai kelebihan yang harus dipertahankan seperti kerjasama masyarakat, budaya, serta keguyuban interaksi sosialnya. Akan tetapi karena situasi dan kondisi tertentu, komunitas ini kurang terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik.

KAT merupakan istilah yang baru diperkenalkan pada tahun 1999 oleh pemerintah (Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial RI) untuk menggantikan istilah masyarakat terasing atau suku terasing yang selama 30 tahun tahun digunakan dalam pelaksanaan pembangunan nasional maupun daerah dimana masyarakat terasing didefenisikan sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat tinggal atau berkelana di tempat-tempat yang secara gegrafis terpencil dan terisolasi dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya.

Istilah terasing dalam defenisi yang dimaksud yaitu sebagai satu kondisi kehidupan yang lamban berubahnya disebabkan letaknya yang terpencil (terisolasi) dari kehidupan dan penghidupan masyarakat luar yang lebih maju sehingga kurang terjadi interaksi yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka ke arah perubahan dan kemajuan.

Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebagi bagian dari masyarakat Indonesia yang merupakan lapisan paling bawah dalam struktur masyarakat. Secara geografis bertempat tinggal di daerah terisolisir dan sulit dijangkau. Pranata sosial yang berkembang dalam komunitas adat terpencil pada umumnya bertumpu pada


(55)

hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka sehari-hari masih didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan (Departemen Sosial RI, 2003).

Komunitas Adat Terpencil (KAT) pada umumnya merupakan kelompok masyarakt yang termarginalisasi dan belum terpenuhi hal-haknya baik dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Marginalisasi terhadap komunitas adat terpencil muncul sebagai akibat dari melemahnya posisi tawar (bargaining position) mereka dalam menghadapi persolan yang dihadapinya.

Komunitas Adat Terpencil (KAT) sering kali menjadi korban dari konflik kepentingan ekonomi wilayah dimana eksloitasi sumber daya alam oleh pendatang yang memiliki kekuatan ekonomi besar di wilayah pedalaman menjadikan hak-hak ulayat masyarakat atas tanah mereka hilang, lunturnya sistem budaya kearifan lokal dan rusaknya lingkungan tempat mereka hidup. Selain itu, rendahnya aksesibilitas wilayah tempat tinggal komunitas adat terpencil menyebabkan sulitnya mereka menjangkau fasilitas layanan publik yang disediakan pemerintah.

2.4.2 Kriteria dan Habitat Komunitas Adat Terpencil

Komunitas adat terpencil mempunyai kriteria atau ciri-ciri sebagai berikut: a. Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.

Komunitas adat terpencil umumnya hidup dalam kelompok kecil dengan tingkat komunikasi yang terbatas dengan pihak luar. Disamping itu, kelompok komunitas adat terpencil.

b. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.

Pranata sosial yang ada dan perkembangan dalam komunitas adat terpencil pada umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka sehari-hari didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan.


(1)

125

Anynomous, 2013: Kementerian Sosial Programkan Desa Liat Tondung.

, 27 februari 2015 pukul 16:13 WIB

Bambang Rustanto, 2010: Interaksi Komunitas Adat.

20 Desember 2014 pukul 22.43 WIB

Eprints, 2015: Konsep Optimalisasi.

Faisal, 2013: Banyak Desa di Tobasa Belum Aliri Listrik.

http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=artic le&id=30533:banyak-desa-di-tobasa-belum-masuk

listrik&catid=52:sumut&Itemid=207, 27 februari 2015 pukul 16:24 WIB Feru, 2014: Inalum Salurkan Dana CSR Rp, 10,2 Miliar.

JPNN, 2014: Inalum Serahkan Beasiswa Pendidikan Senilai 4,5 Miliar.

Kementerian Sosial, 2014: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

PT. Aquafarm Nusantara, 2015: Company Profile.

ptaquafarmnusantara.go.id, 24 Maret 2015 pukul 22.38 WIB Sunny, 2008: Dampak Perusahaan Terhadap Lingkungan.

Super User, 2014: PT. Inalum (Persero) Salurkan Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pendidikan

2015 pukul 22:47 WIB

Tumbur, 2014: Aquafarm Memberikan Bantuan Bibit Ikan Nila medanbisnisdaily.com, 7 Maret 2015 pukul 17:35 WIB Wikipedia, 2015: Optimalisasi.


(2)

126

Zulkipli, 2010: Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh.

diakses, 20 Desember 2014 pukul 21.55 WIB


(3)

127 LAMPIRAN


(4)

(5)

(6)