Isolasi dan Identifikasi Bakteri Pada Organ Tubuh Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Akibat Infestasi Ektoparasit Argulus sp.

  Gambar 1. Kerangka Pemikiran

  Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui bakteri yang terdapat pada organ internal dan eksternal ikan gurami (Osphronemus gouramy) akibat infestasi ektoparasit Argulus sp., luka buatan dan lingkungan (air).

  2. Mengetahui keterkaitan antara bakteri yang terdapat pada organ internal dan eksternal ikan gurami (Osphronemus gouramy) akibat infestasi ektoparasit

  Argulus sp., luka buatan dan lingkungan (air).

  Manfaat penelitian

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dengan mengetahui jenis bakteri apa saja yang sering ditemukan pada ikan gurami (Osphronemus

  

gouramy ) akibat infestasi yang disebabkan oleh ektoparasit Argulus sp. sehingga dapat memberikan informasi dan manfaat bagi para pelaku budidaya ikan untuk menanggulangi serangan ektoparasit Argulus sp.

  Hipotesis penelitian

  Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Ditemukan beberapa bakteri pada organ internal dan eksternal ikan gurami

  (Osphronemus gouramy) akibat infestasi ektoparasit Argulus sp., luka buatan dan lingkungan (air).

  2. Adanya keterkaitan dan persamaan bakteri yang ditemukan pada organ internal dan eksternal ikan gurami (Osphronemus gouramy) akibat infestasi ektoparasit

  Argulus sp., luka buatan dan lingkungan (air).

  TINJAUAN PUSTAKA Ikan Gurami

  Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan keluarga Anabantidae, keturunan Helostoma, dan termasuk bangsa Labyrinthici. Ikan ini mampu hidup di air yang kandungan oksigennya rendah, seperti air yang tidak mengalir dan berwarna hijau karena ledakan populasi plankton. Ikan gurami hanya dapat ditemui di perairan yang beriklim tropis, hidup dengan baik pada pH 7 dan dengan kisaran suhu 24-28 C (Sutanto, 2013).

  Ciri khas ikan gurami muda adalah berukuran seperti korek api, memiliki 8 garis tegak berwarna hitam pada kedua sisi badannya. Garis tegak itu biasanya hilang setelah ikan dewasa. Gurami muda berkepala lancip kedepan, berdahi rata. Sirip duburnya terdapat bintik gelap yang dilingkari warna kuning atau keperakan. Sirip dadanya terdapat bintik hitam. Pada perut terdapat sirip perut. Jari-jari sirip perutnya akan mengalami perubahan menjadi sepasang benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba setelah ikan dewasa. Warna tubuh dan punggung gurami muda umumnya biru kehitaman dengan bagian perut putih (Sitanggang dan Sarwono, 2002).

  Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan keluarga Anabantidae, keturunan Helostoma, dan termasuk bangsa Labyrinthici. Ikan ini mampu hidup di air yang kandungan oksigennya rendah, seperti air yang tidak mengalir dan berwarna hijau karena ledakan populasi plankton. Ikan gurami hanya dapat ditemui di perairan yang beriklim tropis, hidup dengan baik pada pH 7 dan dengan kisaran suhu 24-28 C (Sutanto, 2013).

  Salah satu parasit yang paling sering menyerang gurami adalah Argulus

  indicus . Parasit ini tergolong crustacea tingkat rendah yang hidup sebagai

  ektoparasit (Sitanggang dan Sarwono, 2002). Bakteri yang dapat menyerang gurami adalah bakteri Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. bakteri ini sering dijumpai pada kolam yang tercemar bahan organik. Gejala yang timbul akibat bakteri ini adalah luka di bagian tubuh dan mengeluarkan darah, perut membesar, lendir mencair, sisik mengelupas, dan timbul borok pada tubuh ikan (Sutanto, 2013).

  Interaksi Antara Inang, Patogen dan Lingkungan Kemampuan organisme untuk menimbulkan penyakit disebut patogenisitas.

  Bila mikroorganisme menyerang inang yaitu bila mereka memasuki jaringan tubuh dan berkembang biak disitu, maka terjadi infeksi. Respon inang terhadap infeksi ialah terganggunya fungsi tubuh, ini disebut penyakit. Jadi patogen adalah mikroorganisme atau makroorganisme mana saja yang mampu menimbulkan penyakit. Kemampuan suatu mikroorganisme patogenik untuk menyebabkan infeksi dipengaruhi tidak hanya oleh sifat-sifat mikroba itu sendiri tetapi oleh kemampuan inang untuk menahan infeksi (Pelczar dan chan 1988).

  Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila lingkungan kualitas air menurun yaitu oksigen terlarut < 4 ppm, Biochemical Oxygen Demand (BOD) tinggi dan suhu air yang berfluktuatif (Rahayu dkk., 2009). Pada prinsipnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan), dan adanya jasad patogen (jasad penyakit). dengan demikian, timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, ikan, dan jasad/organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stres pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah terserang penyakit (kordi, 2004).

  Bentuk interaksi ikan, lingkungan dan patogen dalam menyebabkan penyakit dapat dilihat pada Gambar 2.

  Gambar 2. I (Ikan), L (Lingkungan), P (Patogen) dan D (Penyakit)

  Lingkungan adalah kualiatas air sedangkan organisme penyebab penyakit adalah jasad berbagai jasad patogen diantaranya parasit, bakteri, virus dan jamur.

  Sementara ikan adalah ikan yang dibudidayakan. Lingkungan yang tidak optimal, misalnya suhu yang tinggi dapat menyebabkan stress dan dalam kondisi demikian pertahanan tubuh ikan menjadi lemah, sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Dengan demikian, kondisi lingkungan yang jelek merupakan sumber penyakit. Tetapi lingkungan yang jelek tadi bukan penyebab ikan mati, sebab bila ikan dikeluarkan dari lingkungan itu maka akan normal kembali. Penyakitnya yang menyebabkan ikan mati karena serangannya. Lingkungan hanya pencipta peluang terjadinya ikan terserang penyakit (Handajani dan Samsundari, 2005).

  Terdapat tingkat keseimbangan antara jumlah parasit, inang yang diserang dan lingkungan tempat ikan dan parasit tersebut hidup. Selama keseimbangan itu tetap terjaga, maka ikan tidak akan mengalami sakit atau terserang penyakit, baik yang disebabkan parasit atau non parasit. Namun apabila salah satunya tidak seimbang, sebagai contoh parasit yang menyerang melebihi batas toleransi yang dapat diatasi ikan, maka ikan akan terserang penyakit parasitik (Argiono, 2012).

  Lingkungan yang berbeda dapat menghambat timbulnya penyakit dengan mengurangi tumbuhnya parasit pada ikan seperti penelitian Rahayu, dkk (2009), menyatakan bahwa perlakuan perendaman benih ikan gurami yang terserang parasit Trichodina sp. Oodinium sp. dan Ichthyophthirius sp. dapat dihambat dengan salinitas 2, 4, 6 g/l. Lama waktu perlakuan berpengaruh terhadap perkembangan parasit dan penurunan intensitas parasit dapat meningkatkan kelulushidupan benih gurami.

  Argulus sp.

  Argulus berbentuk pipih dan pada bagian dorsal dilindungi oleh karapas

  yang menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya. Bagian sisi karapas ini dapat sedikit digerakkan ke atas dan ke bawah seperti sayap. Pada bagian anterior terdapat dua pasang antena, sepasang mata majemuk, mulut, organ pengisap dan maxilla yang pada ujung-ujungnya terdapat pengait yang berfungsi untuk mengaitkan diri pada inangnya. Bagian posterior terdiri dari tiga segmen yang masing-masing berhubungan dengan sepasang kaki renang. Bagian perut tidak terlihat jelas, berbentuk seperti ekor (Kordi, 2004).

  Gambar 3. Argulus sp. (Nagasawa dan Kawai, 2008) Argulus adalah parasit obligat, karena itu harus mampu mencari dan melekat ke inang untuk bertahan hidup. Untuk mencari inang, Argulus harus memiliki mekanisme penemuan inang yang baik, tetapi peluang untuk menemukan inang dapat lebih besar dengan memiliki berbagai jenis spesies inang. Meskipun kisaran inang yang luas ini, beberapa spesies ikan tampaknya lebih rentan terhadap Argulus daripada yang lain.

     Tingginya kecerahan warna ikan tidak rentan terinfeksi daripada ikan berwarna pudar, dengan menggunakan contoh bahwa ikan forel coklat sering lebih mudah terinfeksi daripada ikan forel pelangi yang berwarna cerah. Gurami dan ikan

   

  karper lebih rentan terhadap infeksi daripada ikan mas perak dan juga menemukan pada berbagai jenis ikan hias di mana jumlah Argulus meningkat dengan peningkatan panjang sirip ekor (Taylor dkk., 2005).  

  Ikan-ikan yang terserang oleh Argulus sp. pada umumnya adalah ikan-ikan labyminthisi seperti gurami dan ikan gabus di Indonesia, sedangkan di Eropa dikenal sebagai carp-lice (kutu ikan mas), karena menyerang ikan-ikan carp (Handajani dan Samsundari, 2005). Argulus sp. dapat menginfeksi ikan mas, gurami, nila, patin dan lele dengan tingkat intensitas tertinggi pada ikan mas dilanjut ikan gurami, nila, patin dan lele. Distribusi organ target inang yang paling tinggi atau yang paling dominan yaitu pada organ sirip yang terdiri dari sirip anal, caudal dan dorsal (Nurlaela, 2013).

  Ektoparasit Argulus sp. menyerang ikan maskoki dengan menghisap darah, sehingga menyebabkan ikan stress, dan terjadi perubahan tingkah laku pada ikan maskoki tersebut. Perubahan tingkah laku pada ikan antara lain berenang pasif dan selera makan menjadi turun. Hal ini terjadi karena infestasi Argulus sp. yang menyerang ikan maskoki menimbulkan bekas luka akibat alat penghisap dari

  Argulus sp. yang kemudian akan timbul ulcer, dalam jangka waktu yang agak lama

  akan terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan pada bagian luar dari kulit ikan yang terserang Argulus sp. tersebut, kemudian terjadi inflamasi (Kismiyati dkk., 2009).

  Argulus menyerang ikan dengan menancapkan alat penusuknya ke dalam

  tubuh ikan dan menghisap cairan tubuh. Ikan yang diserang parasit ini menunjukkan gejala-gejala berikutnya: bobot badan menurun karena sebagian cairan tubuh dan sel-sel dihisap dan menimbulkan iritasi pada tubuh ikan. Infeksi kedua akibat Argulus oleh jamur dan bakteri yang menurunkan nilai keuntungan akibat dari parasit ikan dan ikan mas (Nurfatimah, 2001).

  Serangan ektoparasit pada ikan akan menurun sejalan dengan bertambahnya umur dan ukuran ikan. Semakin besar ukuran ikan maka sistem ketahanan tubuh ikan akan semakin baik. Kondisi ketahanan tubuh ikan yang berukuran benih masih lemah dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sehingga lebih mudah terserang parasit. Intensitas dan prevelensi ektoparasit yang tinggi juga dipengaruhi oleh kepadatan ikan yang tinggi pada kolam pemeliharaan. Kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan ikan menjadi stres. Pada kolam dengan kepadatan ikan yang tinggi, ikan akan saling bergesekan satu dengan lainnya, sehingga akan terjadi penularan ektoparasit dengan cepat (Rustikawati dkk., 2004).

  Penyakit Bakterial Pada Ikan Gurami

  Penyakit bakteri adalah salah satu penyakit yang paling umum dalam akuakultur dengan dampak yang cukup signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat patogenitas suatu bakteri salah satunya ditentukan oleh aktivitas kuorum sensing bakteri. Kuorum sensing bakteri merupakan suatu proses komunikasi yang dilakukan oleh bakteri dengan bakteri lainnya baik yang sejenis maupun berlainan jenis berupa pelepasan dan penangkapan molekul sinyal menuju dan dari lingkungan sekitar bakteri tersebut (Wiyoto dan Ekasari, 2010).

  Organisme patogen dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu patogen asli (true patoge) dan patogen potensial (opportunistic patoge). Patogen asli adalah organisme patogen yang selalu menimbulkan penyakit khas apabila ada kontak dengan ikan. Patogen potensial adalah organisme patogen yang dalam keadaan normal hidup damai dengan ikan, akan tetapi jika kondisi lingkungan menunjang akan segera menjadi patogen yang membahayakan ikan (penyebab suatu penyakit) seperti bakteri Vibrio sp. yang menyerang ikan kerapu (Handajani dan Samsundari, 2005).

  Bakteri patogen oportunis pada dasarnya bersifat saprofitik sehingga memungkinkan di isolasi dan ditumbuhkan pada media buatan untuk keperluan identifikasi ciri karakteristiknya. Ada sejumlah kecil bakteri yang bersifat patogen, walaupun mampu bertahan hidup sementara waktu di air tetapi tidak dapat tumbuh di luar sel inangnya, misalnya Renibacterium salmoninarum (Irianto, 2005).

  Beberapa penyakit bakterial yang menginfeksi ikan adalah Aeromonas sp.

  

Pseudomonas sp. Staphylococcis sp. dan Streptococcus sp. Bahkan pada tahun

  1980, wabah penyakit yang disebabkan Aeromonas hydrophila menyebabkan kematian 82.288 ikan di Jawa Barat. Tak hanya itu, pada 2005, sebanyak 47 ton ikan gurami dan 2,1 juta ekor benih gurami yang siap dipasarkan mati disebabkan penyakit serupa di Lubuk Pandan, Sumatera Barat (KKP, 2009).

  Berdasarkan penelitian Minaka, dkk (2012), Gejala klinis ikan gurami yang terserang penyakit bakteri adalah memiliki luka kemerahan pada bagian tubuh dan sirip serta terdapatnya luka yang berwarna coklat-kuning. Agensia penyebab penyakit pada ikan gurami tersebut adalah Aeromonas hydrophila, Staphylococcus

  , Aeromonas caviae dan Flavobacterium sp.

  saprophyticus

  Beberapa bakteri yang biasa menyerang ikan gurami maupun ikan air tawar lainnya yaitu sebagai berikut : Aeromonas sp. Pseudomonas. Flavobacterium

  

columnare. Mycobacterium spp. Streptococcus sp. Corynebacterium sp. dan

Micrococcus sp.

  a.

  Aeromonas sp.

  Bakteri Aeromonas sp. termasuk dalam famili Pseudomonadaceae yang terdiri dari 3 spesies utama yaitu Aeromonas punctata, Aeromonas hydrophila, dan

  

Aeromonas liquiefacius yang bersifat patogen. Bakteri Aeromonas umumnya hidup

  di air tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama bakteri Aeromonas adalah bentuknya seperti batang, ukurannya 1-4 x 0,4-1 mikron, bersifat gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak berspora, bersifat motil (bergerak aktif) karena mempunyai 1 flagel (monotrichous flagella)

  o

  yang keluar dari salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan bersuhu 15-30 C dan pH antara 5,5-9 (Kordi, 2004).

  Bakteri Aeromonas sp dapat langsung menyerang berbagai jenis ikan air tawar, seperti ikan mas (Cyprinus carpio) , ikan lele (Ictalurus punctatus), ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac.), dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan yang terserang dapat dilihat dari tanda-tanda klinis seperti pembusukan pada bagian sirip, terdapatnya hemoragik pada insang dan pembengkakan pada organ internal (ginjal) (Tantu dkk., 2013) b.

  Pseudomonas fluorescens Bakteri Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri berbentuk batang pendek, motil dengan flagella polar dan bersifat gram negatif. Pseudomonas menyerang ikan air tawar dan merupakan patogen oportunistik. Secara

  fluorescens umum infeksi bakteri ini hampir sama dengan Aeromonas hydrophila antara lain yaitu terjadinya hemoragik septikema, hemoragik pada insang, ekor, dan borok pada kulit (Irianto, 2005).

  c.

  Flavobacterium columnare

  Flavobacterium sp. merupakan bakteri berbentuk batang, bersifat gram

  negatif. Secara umum diketahui, menjadi penyebab penyakit pada ikan-ikan ornamental seperti granuloma atau penonjolan mata pada ikan molly (Mollienesia

  sphaenops ). Ikan yang terinfeksi menjadi kurus dan pucat, terjadi nodul-nodul putif

  multifokal pada organ-organ dalam, retina, khoroid, dan otak. Nodul-nodul tersebut dapat bersifat keras seperti kista atau seperti butiran mineral (Irianto, 2005).

  Bakteri Flavobacterium columnare memiliki gejala klinis yang menandai ikan terkena bekteri ini adalah ikan lemas, nafsu makan berkurang, serta pada ikan yang berukuran kecil dapat menyebabkan sirip/insang akan rontok (Sutanto, 2013).

  d.

  Mycobacterium spp.

  Mycobacterium merupakan bakteri berbentuk batang, bersifat acid fast dan

  gram positif. Sejumlah spesies Mycobacterium merupakan patogen pada hampir semua jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut, spesies tersebut terutama adalah Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonei dan Mycobacterium

  . Tingkat infeksi dalam suatu populasi dapat bervariasi dari 10% hingga

  fortuitum 100%.

  Penyakit yang ditimbulkan Mycobacterium dikenal sebagai

  Mycobacteriosis. Tanda-tanda klinis Mycobacteriosis sangat bervariasi, umumnya

  yaitu anoreksia, emasiasi, deformitas tulang belakang, peradangan kulit, eksoptalmia, dan kehilangan warna normal. Akibat infeksi Mycobacterium dapat juga terbentuk luka atau borok terbuka, ikan tidak nafsu makan, bergerak lamban, kerusakan sirip dan ekor, serta lepasnya sisik-sisik (Irianto, 2005).

  e.

  Streptococcus sp.

  Penyakit pendarahan pada mata disebabkan oleh bakteri jenis Streptococcus sp. sehingga penyakitnya disebut streptococcis. Bakteri ini tergolong bakteri gram positif. Ikan yang terserang bakteri ini menampakkan gejala-gejala: ikan menjadi lemah, berenang tidak teratur, dan kadang-kadang terjadi.

  f.

  Corynebacterium sp.

  Penyebab penyakit ginjal pada ikan atau biasa disebut Bacterial Kidney

Disease disebabkan oleh bakteri Corynebacterium sp. (Kordi, 2004).

  

Corynebacterium sp. juga ditemukan pada organ kulit, hati, ginjal dan usus ikan

  serta air akuarium (Suhendi, 2009). Menurut Baya, dkk (1992), menemukan bahwa

C. aquaticum adalah bakteri oportunistik yang bersifat patogenik pada ikan.

  Bakteri tersebut ditemukan pada isolasi organ ginjal ikan yang terinfeksi ektoparasit Argulus sp. dan sampel air.

  g.

  Micrococcus sp. salah satu bakteri penyebab penyakit cacar pada ikan gurami adalah

  

micrococcus sp, dengan gejala ikan terlihat lemah, nafsu makan hilang, kulit

  kelihatan melepuh yang selanjutnya menjadi borok (Kordi, 2004). Bakteri

  

Micrococcus luteus biasanya dapat menyebabkan peradangan maupun infeksi yang

  kronis pada ikan-ikan dewasa maupun ikan-ikan stadia larva. Efek dari patogenitas

  

M. luteus yang menyebabkan pendaharan pada organ tubuh bagian tertentu seperti

pada hati, limfa, dan ginjal ikan (Austin dan Austin, 1999).

  Isolasi bakteri

  Ada berbagai cara mengisolasi mikroba. Isolasi harus memperhatikan beberapa hal penting: (1) sifat spesies mikroba yang akan di isolasi, (2) tempat hidup atau asal mikroba, (3) medium untuk pertumbuhan yang sesuai, (4) cara menanam mikroba tersebut, (5) cara inkubasi mikroba, (6) cara menguji bahwa mikroba yang di isolasi telah berupa biakan murni dan sesuai dengan yang dimaksud, dan (7) cara memelihara agar mikroba yang telah di isolasi tetap merupakan biakan murni (Waluyo, 2010).

  Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk mempelajari sifat-sifat perturnbuhan, morfologi dan sifat fisiologi mikroba, maka masing-masing mikroba tersebut harus dipisahkan satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuk kultur mumi, yaitu suatu biakan yang terdiri dari sel-sel satu spesies atau satu galur mikroba. Untuk mendapatkan isolat bakteri dari suatu bahan yang mengandung campuran mikroba dapat dilakukan isolasi dengan beberapa metode, tergantung dari jenis mikroorganismenya (Fardiaz, 1989)

  Mikroorganisme yang akan diisolasi dapat berupa biakan murni atau populasi campuran. Bila biakan yang akan diidentifikasi ini tercemar, perlu dilakukan pemurnian terlebih dahulu. Pemurnian dilakukan dengan cara menggores suspensi mikroba yang akan diisolasi pada agar lempengan. Setelah diperoleh koloni terpisah, dibuat pewarnaan gram dari berbagai koloni untuk melihat kemurnian biakan (Lay, 1994)

  Isolasi metode tuang dilakukan menggunakan media cair sebagai medium pengenceran mikroba. Dasar melakukan pengenceran adalah penurunan jumlah mikroorganisme, sehingga pada pengenceran terakhir akan didapatkan jumlah sel yang semakin sedikit di dalam media. Oleh karena itu, dengan cara agar tuang akan diperoleh lempengan jumlah bakteri yang optimum untuk isolasi (Lay, 1994).

  Penyakit infeksi bakterial pada ikan memiliki waktu inkubasi tingkat mortalitas dan tanda-tanda klinis bervariasi. Sebagian besar bakteri patogen ikan yang sudah diketahui, dapat ditumbuhkan pada medium buatan di luar tubuh inang. Hal utama yang harus disediakan yaitu media sintetis untuk pertumbuhan bakteri. Memang tidak ada satu teknik yang dapat digunakan secara umum untuk mengisolasi bakteri patogenik ikan, tetapi media pertumbuhan dasar yang biasa digunakan untuk bakteri perairan atau yang diisolasi dari hewan perairan tawar yaitu media Trypticase Soya Agar atau Tryptone Soya Agar (TSA) dan Brain Heart

  Infusion Agar (BHIA) dan untuk bakteri perairan laut yaitu marine agar, TSA yang ditambah NaCl hingga 2%, BHIA atau variasi lainnya (Irianto, 2005).

  Berdasarkan penelitian Minaka, dkk (2012), setelah melakukan isolasi dari ikan gurami yang sakit kemudian di pilih berdasarkan kriteria bentuk, warna dan ukuran koloni seragam yang tumbuh pada media NA dan GSP. Hasil isolasi yang terpilih kemudian di murnikan terlebih dahulu sebanyak 3-5 kali hingga mempunyai warna, bentuk serta ukuran koloni yang seragam. Isolat terpilih kemudian di uji biokimia dan hasilnya dicocokkan dengan buku “Bergey`s Manual of Determinative Bacteriology” oleh Holt, dkk (1994) dan “Bacteria from Fish and Other Aquatic Animals” Oleh N.B. Buller (2004).

  Uji karakterisasi lain yang dapat digunakan untuk identifikasi bakteri adalah uji fisiologi. Uji fisiologi yang dapat dilakukan diantaranya uji hidrolisis pati, uji hidrolisis lemak, uji hidrolisis protein, uji fermentasi karbohidrat (laktosa, dekstrosa, dan sukrosa), uji fermentasi gula dan H S, uji indole, uji methyl red, uji

  2