Infestasi Ektoparasit Pada Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Di Lingkungan Budidaya Ikan Sistem Race-Way Water

(1)

INFESTASI EKTOPARASIT PADA KERAPU MACAN

(Epinephelus fuscoguttatus) DI LINGKUNGAN BUDIDAYA IKAN

SISTEM RACE-WAY WATER

T E S I S

Oleh

DEDY ARIEF HENDRIYANTO

077004006/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

INFESTASI EKTOPARASIT PADA KERAPU MACAN

(Epinephelus fuscoguttatus) DI LINGKUNGAN BUDIDAYA IKAN

SISTEM RACE-WAY WATER

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEDY ARIEF HENDRIYANTO

077004006/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : INFESTASI EKTOPARASIT PADA KERAPU MACAN

(Epinephelus fuscoguttatus) DI LINGKUNGAN BUDIDAYA IKAN SISTEM RACE-WAY WATER Nama Mahasiswa : Dedy Arief Hendriyanto

Nomor Pokok : 077004006

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Ketua

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) Anggota

(Drs. Chairuddin, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 16 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc

2. Drs. Chairuddin, M.Sc

3. Prof. Dr. Sengli J. Damanik, M.Sc 4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui timbulnya penyakit parasiter pada kerapu macan (E. fuscoguttatus) sebagai indikator penurunan kualitas lingkungan perairan sekitar budidaya dan mengetahui pengaruh penurunan kualitas air terhadap munculnya ektoparasit telah dilakukan mulai April hingga Mei 2009 di Laboratorium Balai Karantina Ikan Polonia sebagai tempat uji mikroskopis dan tambak UD. Sundoro sebagai uji lapang. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan korelasional. Analisis data diperoleh dengan mencari nilai insidensi dan intensitas ektoparasit pada kerapu macan. Untuk mengetahui pengaruh kualitas air dengan intensitas ektoparasit digunakan analisis regresi dan kuatnya hubungan tersebut digunakan korelasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata masing-masing parameter kualitas air petak I selama penelitian adalah: temperatur 30-34 C (di udara) dan 31-37 C (30-40 cm dari permukaan air); Salinitas 20-26 ppt; Oksigen terlarut (DO) 5,64 mg/L; pH 7,29; Ammonia 0,93 mg/L dan Nitrit 0,02 mg/L sedangkan pada petak II selama penelitian adalah: temperatur 30-34 C (di udara) dan 32-37 C (30-40 cm dari permukaan air); Salinitas 20-26 ppt; Oksigen terlarut (DO) 6,39 mg/L; pH 7,36; Ammonia 0,68 mg/L dan Nitrit 0,021 mg/L.

Dari total sampel sebanyak 144 ekor ikan, ektoparasit yang ditemukan pada insang adalah Diplectanum sp., Trichodina sp. dan Tetrahymena sp. sedangkan pada kulit ditemukan Benedenia sp. dan Trichodina sp. Nilai insidensi ektoparasit tertinggi pada insang di petak I adalah Diplectanum sp. (86,1%) sedangkan pada kulit adalah

Benedenia sp. (31,9%). Pada petak II, nilai insidensi total tertinggi pada insang oleh Diplectanum sp. (66,7%) sedangkan pada kulit oleh Trichodina sp. (63,9%). Nilai

rata-rata intensitas ektoparasit pada insang untuk Diplectanum sp. selama penelitian di Petak I adalah 6,3 dan Petak II adalah 6,7, Tetrahymena sp. di petak I adalah 10,3 dan petak II adalah 11,2, Trichodina sp. di petak I adalah 8,9 dan petak II adalah 6,7. Pada kulit, Intensitas Trichodina sp. di petak I adalah 14,7 dan pada petak II adalah 10,6.

Secara keseluruhan hubungan kualitas air dengan intensitas parasit memiliki nilai korelasi yang lemah. Akan tetapi hubungan antara ammonia dengan

Diplectanum sp. baik pada insang maupun kulit mempunyai nilai korelasi yang kuat

dengan pola regresi linear positif.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa munculnya Diplectanum sp. yang ditandai dengan rusaknya insang (hyperplasia) merupakan indikator bahwa kandungan ammonia di lahan budidaya tersebut tinggi. Kematian tinggi akibat infestasi patogen dan toksisitas akan sangat mungkin terjadi apabila parameter air lain yang berhubungan dengan ammonia mengalami perubahan yang ekstrim.


(6)

ABSTRACT

The research is to know the infestation of parasite on tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) as indicator of water quality and to know the influence of water quality by parasites incidency had been conducted on April to may 2009 at Laboratory of Fish Quarantine Regional Office of Polonia and fish culture pond belonging of UD. Sundoro as field examination. The research was carried out using descriptive and correlation method. Data was analized by estimating incidency and intensity value form ectoparasite on fish. Analysis of regression and correlation was used to study the influence of water quality to ectoparasite intensity.

The result of analysis showed that the water quality of pond 1st are : temperature 30-34o C (upper surface) and 31-37o C (30-40 cms under surface); salinity 20-26 ppt; DO 5.64 mg/L; pH 7.29; ammonia 0.93 mg/L and nitrite 0.02 mg/L. Parameters of pond 2nd are temperature 30-340 C (upper surface) and 32-37o C (30-40 cm under surface); salinity 20-26 ppt; DO 6.39 mg/L; pH 7.36; ammonia 0.68 mg/L and nitrite 0.021 mg/L.

Ectoparasites of Diplectanum sp., Trichodina sp. and Tetrahymena sp. were found in gill, whereas Benedenia sp. and Trichodina sp. were found in skin mucus. The highest incidency rate of pond 1st on gill was Diplectanum sp. (86.1%), on skin mucus was Benedenia sp. (31.9%). Total samples were examined for 144. The highest incidency rate of pond 2nd on gill was Diplectanum sp. (66.7%), on skin mucus was Trichodina sp. (63.9%). The average of intencity value on gill of Diplectanum sp. in pond 1st and 2nd were 6.3 and 6.7, respectively. For Tetrahymena sp. in pond 1st and 2nd were 10.3 and 11.2 and Trichodina sp. were 8.9 and 6.7, respectively.

The whole relation of water quality and parasite intensity on gill and skin to show light correlatin. But, relation of ammonia and Diplectanum sp. has been show severe correlation with pattern of positive regression.

The final result can be conclused an evidence where Diplectanum sp. on fish culture is an indicator of high level ammonia with clinical sign of fish is gill damage or hyperplasia. High mortality caused by pathogen infestation and can be able consisted if other parameter where have relation with ammonia is rapid change with extreme.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama sebagai insan Pancasila, puji syukur dipanjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah memberikan karunia sehingga penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Observasi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun sebagai syarat untuk dapat mengikuti ujian tesis dalam upaya memperoleh gelar akademik Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil dalam rangka kelancaran penyusunan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu diharapkan saran guna perbaikan. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi yang memerlukannya.

Medan, Nopember 2009


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc; Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc dan Drs. Chairuddin, M.Sc sebagai Komisi Pembimbing,

2. Kepala Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia-Medan, Bapak Ir. Victor Immanuel Sinuraya atas respon yang tinggi melalui rekomendasi yang diberikan serta seluruh staff dan Institusi besar Karantina Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia,

3. MR. Effendi yang dikenal dengan Pak Aseng adalah sahabat, guru dan fasilitator sekaligus bapak angkat. Beliau adalah pemilik UD. Sundoro (Fish Farm and

Trading), Induk semang bagi Pembudidaya Ikan Kerapu Sumatera Utara serta

distributor terbesar Asia Tenggara,

4. Motivator: Drs. Hardjono, M.Aq, MMA (Mantan Kepala Pusat Karantina Ikan);

Prof. drh. H.R. Wasito, M.Sc, Ph.D (Dekan Fakultas Kedokteran Hewan UGM); Prof. drh. Hastari Wuryastuty, M.Sc, Ph.D (Ahli Nutrisi Fak. Kedokteran Hewan UGM); Dr. drh. M.B. Malole, M.Sc. (Ahli Virologi IPB); Dr. Ir. Nuril Hakim Yohansah (mantan Staf Ahli Menteri Perindustrian),

5. Kelompok Alam Hijau Indonesia (KALHI) di Sumatera Utara dan sahabat PSL 2007 yang telah senasib sepenanggungan,

6. Rekan, Sahabat, handai tolan yang tidak dapat disebut satu persatu tetapi telah memberikan banyak kontribusi,

7. Yang utama: KELUARGA TERCINTA. Istri: Sri Ulina Sitepu, SE. Anak-anakku: Nakulla Athallah Hendriyanto (♂) dan Natha Kalingga Hendriyanto (♀). Kedua Orang tua dan adik-adikku di Jawa Tengah juga orang tua dan keluarga di Medan.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Dedy Arief Hendriyanto lahir di Purbalingga-Jawa Tengah tanggal 25 Mei 1978. Masuk Sekolah Dasar tahun 1983 pada saat umur 4,5 dan tidak pernah tinggal kelas sehingga tahun 1989 dapat melanjutkan di SMP Negeri 1 Kutasari. Tahun 1992 diterima di SMA Negeri 1 Sokaraja. Tahun 1995 melanjutkan pendidikan menjadi Taruna Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta yang ditempuh selama 4 tahun dan lulus tahun 1999 dengan gelar Sarjana Sains Terapan Perikanan.

Tahun 2000 penulis lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di Karantina Ikan Bandara Polonia-Medan hingga sekarang. Penulis menikah tahun 2004 dengan Sri Ulina Sitepu, SE dan dikaruniai sepasang anak: Nakulla Athallah Hendriyanto (♂ 4 tahun) dan Natha Kalingga Hendriyanto (♀ 2 tahun).

Bidang pekerjaan yang merupakan tugas pokok adalah menjadi pengendali hama dan penyakit ikan. Selama di jabatan tersebut, penulis telah beberapa kali melakukan penelitian dari tahun 2002 hingga saat ini. Judul terakhir Karya Ilmiah hasil gagasan sendiri yang dilakukan sebelum penelitian tesis adalah “Aplikasi Asam

Askorbat terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang diinfeksi Koi Herves Virus (KHV) strain Sumatera Utara” tahun 2007. Pendidikan keahlian terakhir yang disertifikasi adalah Teknik Immunodiagnosis dengan Metode Immunologi dan Serologi. Pendidikan sebelumnya adalah Teknik Enzyme Link Immunosorbent assay (ELISA), Teknik Rapid Diagnostic dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), Virologi, Bakteriologi, Sistem manajemen mutu laboratorium uji dan audit internal ISO 17025-2005. Hingga saat ini penulis merupakan Programe Development bidang penyakit ikan pada Kelompok Alam Hijau Indonesia (KALHI).


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan ... 4

Hipotesis ... 4

Manfaat ... 4

BAB TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Epidemiologi ... 5

2.2. Kualitas Air untuk Budidaya Ikan ... 6

2.3. Parasit Ikan ... 9

2.4. Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 12

BAB III METODOLOGI ... 14

3.1. Waktu dan Tempat ... 14

3.2. Bahan dan Alat ... 14

3.3. Rancangan Penelitian ... 15

A. Jenis Penelitian ... 15

B. Tahap Penelitian ... 15

C. Pengambilan Sampel ... 16

3.4. Prosedur Penelitian... 16

3.4.1. Pengamatan Parameter Kualitas air ... 16

3.4.2. Penyimpanan dan Penanganan Sampel ... 17

3.4.3. Pemeriksaan Mikroskopis ... 17


(11)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1. Hasil ... 19

4.1.1. Kualitas Air ... 19

A. Temperatur ... 19

B. Salinitas ... 22

C. Oksigen Terlarut (DO) ... 24

D. pH (Derajat Keasaman) ... 26

E. Ammonia ... 27

F. Nitrit ... 28

4.1.2. Infestasi Penyakit ... 30

4.1.3. Insidensi Ektoparasit ... 31

A. Insang ... 31

B. Kulit ... 34

4.1.4. Intensitas Ektoparasit ... 35

A. Insang ... 35

B. Kulit ... 38

4.1.5. Hubungan Nilai Parameter Kualitas Air terhadap Intensitas Ektoparasit ... 40

A. Hubungan Temperatur Air dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang ... 42

B. Hubungan Salinitas dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang ... 44

C. Hubungan DO dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang ... 46

D. Hubungan pH terhadap Intensitas Ektoparasit pada Insang ... 49

E. Hubungan Ammonia dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang ... 50

F. Hubungan Nitrit dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang ... 53

G. Hubungan Temperatur terhadap Intensitas Ektoparasit pada Kulit ... 55

H. Hubungan Salinitas terhadap Intensitas Ektoparasit pada Kulit ... 56

I. Hubungan DO dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit ... 58

J. Hubungan pH dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit ... 60

K. Hubungan Ammonia dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit ... 62

L. Hubungan Nitrit dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit ... 63


(12)

4.2. Pembahasan ... 65

4.2.1. Kualitas Air ... 65

4.2.2. Insidensi dan Intensitas Ektoparasit ... 75

4.2.3. Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Intensitas Ektoparasit ... 76

4.2.4. Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

Kesimpulan ... 86

Saran ... 87


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.Jenis Parasit yang Umum Menyerang Ikan Kerapu, Tingkat

Patogenitas, Tempat Infeksi dan Frekuensi Serangan ... 11 2.Nilai Korelasi Antara Parameter Kualitas Air dengan Intensitas

Ektoparasit pada Insang ... 41 3.Nilai Korelasi Antara Parameter Kualitas Air dengan Intensitas


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Diagram Venn Ekologi (1. Agen; 2. Inang; 3. Lingkungan;

4. Penyakit) ... 5

2. Jenis-jenis Ekptoparasit Umum pada Kerapu (A. Trichodina sp.; B. Cryptocaryon sp.; C. Benedenis sp.; D. Copepoda; E. Diplectanum sp.; F. Haliothrema sp.) ... 10

3. Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 13

4. Rumus Saleh ... 18

5. Temperatur Udara Bulan April (A) dan Mei (B) di Petak I dan II ... 20

6. Temperatur Air Bulan April dan Mei di Petak I dan II ... 21

7. Salinitas Bulan April dan Mei di Petak I dan II ... 23

8. Oksigen Terlarut (DO) Bulan April dan Mei di Petak I dan II ... 25

9. Nilai pH Selama Penelitian ... 26

10. Konsentrasi Ammonia Selama Penelitian di Petak I dan II ... 28

11. Konsentrasi Nitrit Selama Penelitian di Petak I dan II ... 29

12. Jenis-jenis Ektoparasit yang Menyerang Insang Kerapu Macan ... 30

13. Jenis-jenis Ektoparasit yang Menyerang Kulit Kerapu Macan ... 31

14. Insidensi Diplectanum sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 32

15. Insidensi Tetrahymena sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 33

16. Insidensi Trichodina sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 33

17. Insidensi Benedenia sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak dan II ... 34

18. Insidensi Trichodina sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 34

19. Intensitas Diplectanum sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 36


(15)

20. Intensitas Tetrahymena sp. pada Insang Kerapu Macan Selama

Penelitian di Petak I dan II ... 36 21. Intensitas Trichodina sp. pada Insang Kerapu Macan Selama

Penelitian di Petak I dan II ... 37 22. Intensitas Benedenia sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 39 23. Intensitas Trichodina sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II ... 39 24. Hubungan Temperatur Air dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I ... 42 25. Hubungan Temperatur Air dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 42 26. Hubungan Salinitas dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I ... 44 27. Hubungan Salinitas dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 45 28. Hubungan DO dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak I ... 47 29. Hubungan DO dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak II ... 47 30. Hubungan pH dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak I ... 49 31. Hubungan pH dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak II ... 49 32. Hubungan Ammonia dengan Intensitas Ektoparasit oada Insang

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I ... 51 33. Hubungan Ammonia dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 51 34. Hubungan Nitrit dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I ... 53 35. Hubungan Nitrit dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 53 36. Hubungan Temperatur dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit


(16)

37. Hubungan Temperatur dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 55 38. Hubungan Salinitas dengan Intensitas Ektoparasit Pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I ... 57 39. Hubungan Salinitas dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 57 40. Hubungan DO dengan intensitas ektoparasit pada kulit Kerapu

macan selama penelitian di petak I ... 59 41. Hubungan DO dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak II ... 59 42. Hubungan pH dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak I ... 60 43. Hubungan pH dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak II ... 61 44. Hubungan Ammonia dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I ... 62 45. Hubungan Ammonia dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit

Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak II ... 62 46. Hubungan Nitrit dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit Kerapu

Macan Selama Penelitian di Petak I ... 64 47. Hubungan Nitrit dengan Intensitas Ektoparasit pada Kulit


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Lokasi Penelitian Lapang ... 93

2. Lay-out Tambak Tempat Penelitian ... 94

3. Bahan/Alat yang Digunakan dalam Penelitian ... 95

4. Kaidah Pengambilan Sampel Ikan ... 96

5. Data Pengamatan Temperatur Udara (oC) Petak I dan II ... 97

6. Data Pengamatan Temperatur Air (oC) Petak I dan II ... 98

7. Data Pengamatan Salinitas (ppt) Petak I dan II ... 99

8. Data Pengamatan DO Udara (mg/L) Petak I dan II ... 101

9. Data Pengamatan pH, Ammonia dan Nitrit Petak I dan II ... 103

10. Data Insidensi Ektoparasit pada Insang di Petak I dan II... 105

11. Data Total Insidensi (%) pada Insang di Petak I dan II ... 106

12. Data Insidensi Ektoparasit pada Kulit di Petak I dan II ... 107

13. Data Total Insidensi (%) pada Kulit di Petak I dan II ... 108

14. Data Intensitas Ektoparasit pada Insang di Petak I dan II ... 109

15. Data Total Intensitas (%) pada Insang di Petak I dan II ... 110

16. Data Intensitas Ektoparasit pada Kulit di Petak I dan II ... 111

17. Data Total Intensitas (%) pada Kulit di Petak I dan II ... 112

18. Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Intensitas Ektoparasit pada Insang di Petak I dan II ... 113

19. Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Intensitas Ektoparasit Pada Kulit di Petak I dan II ... 115

20. Analisa Regresi Temperatur dengan Ektoparasit Insang Petak I ... 117

21. Analisa Regresi Salinitas dengan Ektoparasit Insang Petak I ... 118

22. Analisa Regresi DO dengan Ektoparasit Insang Petak I ... 119

23. Analisa Regresi pH dengan Ektoparasit Insang Petak I ... 120


(18)

25. Analisa Regresi Nirit dengan Ektoparasit Insang Petak I ... 122

26. Analisa Regresi Temperatur dengan Ektoparasit Insang Petak II ... 123

27. Analisa Regresi Salinitas dengan Ektoparasit Insang Petak II ... 125

28. Analisa Regresi DO dengan Ektoparasit Insang Petak II ... 127

29. Analisa Regresi pH dengan Ektoparasit Insang Petak II ... 129

30. Analisa Regresi Ammonia dengan Ektoparasit Insang Petak II ... 131

31. Analisa Regresi Nirit dengan Ektoparasit Insang Petak II ... 133

32. Analisa Regresi Temperatur dengan Ektoparasit Kulit Petak I ... 135

33. Analisa Regresi Salinitas dengan Ektoparasit Kulit Petak I ... 136

34. Analisa Regresi DO dengan Ektoparasit Kulit Petak I ... 137

35. Analisa Regresi pH dengan Ektoparasit Kulit Petak I ... 138

36. Analisa Regresi Ammonia dengan Ektoparasit Kulit Petak I ... 139

37. Analisa Regresi Nirit dengan Ektoparasit Kulit Petak I ... 140

38. Analisa Regresi Temperatur dengan Ektoparasit Kulit Petak II ... 141

39. Analisa Regresi Salinitas dengan Ektoparasit Kulit Petak II ... 142

40. Analisa Regresi DO dengan Ektoparasit Kulit Petak II ... 143

41. Analisa Regresi pH dengan Ektoparasit Kulit Petak II ... 144

42. Analisa Regresi Ammonia dengan Ektoparasit Kulit Petak II ... 145

43. Analisa Regresi Nirit dengan Ektoparasit Kulit Petak II ... 146

44. Dokumentasi Kegiatan Penelitian di Lapangan ... 147


(19)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui timbulnya penyakit parasiter pada kerapu macan (E. fuscoguttatus) sebagai indikator penurunan kualitas lingkungan perairan sekitar budidaya dan mengetahui pengaruh penurunan kualitas air terhadap munculnya ektoparasit telah dilakukan mulai April hingga Mei 2009 di Laboratorium Balai Karantina Ikan Polonia sebagai tempat uji mikroskopis dan tambak UD. Sundoro sebagai uji lapang. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan korelasional. Analisis data diperoleh dengan mencari nilai insidensi dan intensitas ektoparasit pada kerapu macan. Untuk mengetahui pengaruh kualitas air dengan intensitas ektoparasit digunakan analisis regresi dan kuatnya hubungan tersebut digunakan korelasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata masing-masing parameter kualitas air petak I selama penelitian adalah: temperatur 30-34 C (di udara) dan 31-37 C (30-40 cm dari permukaan air); Salinitas 20-26 ppt; Oksigen terlarut (DO) 5,64 mg/L; pH 7,29; Ammonia 0,93 mg/L dan Nitrit 0,02 mg/L sedangkan pada petak II selama penelitian adalah: temperatur 30-34 C (di udara) dan 32-37 C (30-40 cm dari permukaan air); Salinitas 20-26 ppt; Oksigen terlarut (DO) 6,39 mg/L; pH 7,36; Ammonia 0,68 mg/L dan Nitrit 0,021 mg/L.

Dari total sampel sebanyak 144 ekor ikan, ektoparasit yang ditemukan pada insang adalah Diplectanum sp., Trichodina sp. dan Tetrahymena sp. sedangkan pada kulit ditemukan Benedenia sp. dan Trichodina sp. Nilai insidensi ektoparasit tertinggi pada insang di petak I adalah Diplectanum sp. (86,1%) sedangkan pada kulit adalah

Benedenia sp. (31,9%). Pada petak II, nilai insidensi total tertinggi pada insang oleh Diplectanum sp. (66,7%) sedangkan pada kulit oleh Trichodina sp. (63,9%). Nilai

rata-rata intensitas ektoparasit pada insang untuk Diplectanum sp. selama penelitian di Petak I adalah 6,3 dan Petak II adalah 6,7, Tetrahymena sp. di petak I adalah 10,3 dan petak II adalah 11,2, Trichodina sp. di petak I adalah 8,9 dan petak II adalah 6,7. Pada kulit, Intensitas Trichodina sp. di petak I adalah 14,7 dan pada petak II adalah 10,6.

Secara keseluruhan hubungan kualitas air dengan intensitas parasit memiliki nilai korelasi yang lemah. Akan tetapi hubungan antara ammonia dengan

Diplectanum sp. baik pada insang maupun kulit mempunyai nilai korelasi yang kuat

dengan pola regresi linear positif.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa munculnya Diplectanum sp. yang ditandai dengan rusaknya insang (hyperplasia) merupakan indikator bahwa kandungan ammonia di lahan budidaya tersebut tinggi. Kematian tinggi akibat infestasi patogen dan toksisitas akan sangat mungkin terjadi apabila parameter air lain yang berhubungan dengan ammonia mengalami perubahan yang ekstrim.


(20)

ABSTRACT

The research is to know the infestation of parasite on tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) as indicator of water quality and to know the influence of water quality by parasites incidency had been conducted on April to may 2009 at Laboratory of Fish Quarantine Regional Office of Polonia and fish culture pond belonging of UD. Sundoro as field examination. The research was carried out using descriptive and correlation method. Data was analized by estimating incidency and intensity value form ectoparasite on fish. Analysis of regression and correlation was used to study the influence of water quality to ectoparasite intensity.

The result of analysis showed that the water quality of pond 1st are : temperature 30-34o C (upper surface) and 31-37o C (30-40 cms under surface); salinity 20-26 ppt; DO 5.64 mg/L; pH 7.29; ammonia 0.93 mg/L and nitrite 0.02 mg/L. Parameters of pond 2nd are temperature 30-340 C (upper surface) and 32-37o C (30-40 cm under surface); salinity 20-26 ppt; DO 6.39 mg/L; pH 7.36; ammonia 0.68 mg/L and nitrite 0.021 mg/L.

Ectoparasites of Diplectanum sp., Trichodina sp. and Tetrahymena sp. were found in gill, whereas Benedenia sp. and Trichodina sp. were found in skin mucus. The highest incidency rate of pond 1st on gill was Diplectanum sp. (86.1%), on skin mucus was Benedenia sp. (31.9%). Total samples were examined for 144. The highest incidency rate of pond 2nd on gill was Diplectanum sp. (66.7%), on skin mucus was Trichodina sp. (63.9%). The average of intencity value on gill of Diplectanum sp. in pond 1st and 2nd were 6.3 and 6.7, respectively. For Tetrahymena sp. in pond 1st and 2nd were 10.3 and 11.2 and Trichodina sp. were 8.9 and 6.7, respectively.

The whole relation of water quality and parasite intensity on gill and skin to show light correlatin. But, relation of ammonia and Diplectanum sp. has been show severe correlation with pattern of positive regression.

The final result can be conclused an evidence where Diplectanum sp. on fish culture is an indicator of high level ammonia with clinical sign of fish is gill damage or hyperplasia. High mortality caused by pathogen infestation and can be able consisted if other parameter where have relation with ammonia is rapid change with extreme.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aktivitas budidaya ikan menyebabkan upaya manipulasi dan modifikasi baik terhadap lingkungan, bio-reproduksi, kepadatan, manajemen pakan dan lain-lain. Kondisi tersebut menimbulkan tekanan (stress) terhadap komoditas yang dibudidayakan sehingga rentan terhadap penyakit baik infeksius maupun non infeksius. Munculnya penyakit tersebut merupakan resiko biologis yang harus diantisipasi.

Dalam akuakultur atau budidaya perairan, kesehatan lingkungan tempat pemeliharaan ikan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Unsur kesehatan lingkungan perairan yang dimaksud adalah terjadinya perkembangan polusi dan penyakit. Pada kegiatan budidaya sistem tertutup, lingkungan perairan yang terpolusi dan berpenyakit akan menyebabkan kematian ikan secara massal dalam waktu yang singkat.

Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang harus dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya ikan. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ikan selain dapat mematikan ikan juga dapat menurunkan mutu dari ikan itu sendiri. Kematian yang ditimbulkan oleh penyakit ikan sangat tergantung pada jenis penyakit ikan yang menyerang, kondisi ikan dan kondisi lingkungan. Apabila kondisi lingkungan menurun maka kematian yang diakibatkan oleh wabah penyakit sangat


(22)

tinggi, tapi sebaliknya apabila kondisi lingkungan baik maka kematian akibat infeksi suatu penyakit lebih rendah. Tinggi rendahnya kematian akibat infeksi suatu penyakit juga tergantung pada kondisi immunitas ikan. Wabah penyakit yang terjadi pada kondisi ikan sedang sehat tidak akan mengakibatkan kematian yang tinggi, dan sebaliknya akan mengakibatkan kematian yang tinggi apabila kondisi ikan kurang sehat (Supriyadi, 2007).

Menurut penyebabnya, penyakit ikan dibedakan atas penyakit infeksi (infectious diseases) dan non infeksi (non infectious diseases). Penyakit infeksi disebabkan oleh jasad parasitik, bakteri, jamur dan virus. Penyakit parasiter yaitu penyakit akibat infeksi jasad parasitik seperti golongan protozoa maupun metazoa. Protozoa yang sering ditemukan sebagai organisme parasitik meliputi sporozoa,

ciliata dan flagellate, sedangkan metazoa meliputi: crustacea, isopoda dan helminth

(cacing). Jasad parasiter tersebut dapat menginfeksi ikan air tawar maupun ikan laut (Taukhid, 2006).

Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu primadona ikan budidaya di Indonesia dan pada saat ini mempunyai potensi dan peluang pasar yang sangat menjanjikan. Potensi tersebut perlu disertai dengan perhatian terhadap mutu mulai dari benih yang dihasilkan oleh hatchery karena kegiatan pembenihan merupakan awal dari rangkaian kegiatan budidaya ikan. Benih ikan yang berkualitas tinggi merupakan salah satu kunci untuk keberhasilan kegiatan budidaya.


(23)

Penanganan mengenai manajemen lingkungan pembesaran dan penanganan penyakit sangat penting dengan menerapkan prinsip pengelolaan yang ramah lingkungan sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan, mengurangi tingkat pencemaran dan menjadikan areal budidaya yang berkelanjutan. Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk menuju usaha budidaya yang berkelanjutan adalah dengan mengurangi penggunaan tepung ikan dan minyak ikan dalam pakan dengan mencari sumber-sumber protein dan minyak selain ikan serta usaha mengurangi buangan limbah ke perairan melalui pengadaan pakan dan ikan ramah lingkungan.

1.2. Perumusan Masalah

Berbagai pustaka telah melaporkan bahwa sanitasi yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab munculnya parasit monogenea yang menyebabkan infeksi primer. Hal ini menyebabkan munculnya infeksi sekunder yang ditandai dengan munculnya bakteri bahkan virus. Di sisi lain ikan masih dapat bertahan hidup bila kualitas air di lingkungan budidaya tidak optimal (parameter di luar ambang).

Insidensi parasit monogenea pada net cage culture mempunyai nilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan pond system. Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa tidak terdapat korelasi antara suhu dengan insidensi/prevalensi parasit. Rendahnya kualitas lingkungan akuatik (poor sanitation) tidak berpengaruh nyata terhadap kegiatan budidaya ikan sehingga pada penelitian ini akan dapat terlihat dan terjawab untuk pertanyaan berikut:


(24)

a. Parasit apa yang dominan menyerang ikan kerapu macan?

b. Apakah faktor lingkungan dapat mempengaruhi timbulnya parasit?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui jenis dan intensitas serangan ektoparasit pada kerapu macan (E. fuscoguttatus).

b. Untuk mengetahui faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya penyakit parasiter pada kerapu macan (E. fuscoguttatus) sebagai indikator penurunan kualitas lingkungan perairan sekitar budidaya.

1.4. Hipotesis

a. Ektoparasit berkembang biak pada kondisi lingkungan yang buruk dengan ditandai tingginya ammonia dan nitrit serta nilai pH, DO dan temperatur di luar batas yang direkomendasikan.

b. Terdapat hubungan antara timbulnya ektoparasit dengan penurunan kualitas air.

1.5. Manfaat

a. Sebagai Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) dalam hal pengelolaan lingkungan budidaya ikan kerapu macan.

b. Sebagai indikator bahwa lingkungan perairan sekitar budidaya telah menurun ditandai dengan adanya ektoparasit pada insidensi dan intensitas tertinggi.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi

Epidemiologi merupakan studi tentang pola (dinamika dan distribusi) dan faktor penyebab (determinan) penyakit dalam suatu populasi (Malole dan Zenal, 2006). Determinan terdiri dari 3 (tiga) faktor yang biasa dikenal dengan diagram Venn ekologi yang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Diagram Venn Ekologi (1. Agen; 2. Inang; 3. Lingkungan; 4. Penyakit)

Dinamika keberadaan penyakit tergantung dari tingkat insidensi, intensitas, jumlah kematian dan tingkat kematian. Sedangkan distribusi biasanya dikaitkan dengan musim dan ekosistem. Pada penyakit tertentu, distribusinya juga ditentukan oleh natural barrier dan lalu lintas komoditi. Kombinasi antara determinan, dinamika dan distribusi menyebabkan suatu daerah menjadi endemik, di mana nilai insidensi dan intensitasnya rendah karena inang mengembangkan kekebalan terhadap agen. Apabila lingkungan berperan sebagai pengaruh, agen mempunyai perubahan sifat


(26)

(mutasi) yang menyebabkan virulensi sehingga berubah menjadi epidemik di mana jumlah kematian dan tingkat kematian berada dalam skala tinggi. Studi epidemiologi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengumpulan data lapangan (primer dan sekunder) dan pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan beberapa metode pemeriksaan (Malole, 2006).

Berdasarkan ilustrasi ketiga lingkaran tersebut yang merupakan konsep umum mekanisme terjadinya penyakit secara alamiah, strategi filosofi dasar manajemen kesehatan ikan harus difokuskan pada upaya pembenahan ketiga komponen secara terintegrasi (Taukhid, 2006). Pertama, penyediaan lingkungan dan pengelolaan yang baik. Kedua, pemilihan induk yang sehat dan bebas dari penyakit, pakan yang cukup, monitoring berkala. Ketiga, penerapan konsep bio-security terhadap patogen.

2.2. Kualitas Air untuk Budidaya Ikan

Umumnya budidaya kerapu di Indonesia menggunakan karamba jaring apung yang dilakukan di laut, tetapi pada saat ini juga masih terdapat budidaya secara tradisional di tambak. Di negara lain seperti di Vietnam, Singapura, Thailand dan Malaysia pada umumnya menggunakan sistem budidaya karamba jaring apung.

Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31C, salinitas antara 30 -33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sementara itu Suprakto dan Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya, yaitu


(27)

kecepatan arus 15 - 30 cm/detik, suhu 27 - 29 ºC, salinitas 30 - 33 ppt, pH 8,0 - 8,2, oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5 m. Kualitas perairan pada lokasi penangkapan di Tanimbar Utara, yaitu suhu 27,00 - 29,62 ºC, salinitas 34,259 - 34,351 ppt, oksigen terlarut 3,95 - 4,28 ml/l, nitrat 1,00 - 6,00 ìg.at/l dan fosfat berkisar 0,80 - 1,40 ìg.at/l (Langkosono dan Wenno, 2003). Parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31 ºC, salinitas 30 - 33 ppt, oksigen terlarut > 4,9 ppm, pH antara 7,8 - 8,0 (Yoshimitsu et al., 1986).

Arthur (1996) mengemukakan bahwa permasalahan penyakit pada budidaya ikan laut di Asia Timur dan Asia Tenggara telah diidentifikasi dengan beberapa faktor dalam budidaya yaitu melalui perbaikan lingkungan (polusi dan racun dari akibat kelimpahan plankton) dan perbaikan manajemen (aklimatisasi, penanganan mortalitas dan tranportasi mortalitas) pada juvenil. Program manajemen kesehatan harus memenuhi beberapa persyaratan dan dapat mencakup semua aktivitas budidaya. Pada tingkat produksi, syarat yang harus dipenuhi adalah pemilihan benih, nutrisi, penanganan limbah, optimalisasi kualitas air dan monitor berkala (Reantoso et al., 2006).

Dalam banyak kasus penyebab utama dari permasalahan kesehatan adalah lingkungan. Hal ini harus memperhitungkan tingkat pencegahan, monitoring dan pengendaliannya. Metoda yang biasa digunakan dan dianggap paling berhasil untuk mengurangi permasalahan kesehatan yaitu dengan meningkatkan kualitas lingkungan budidaya. Indikator penyebab buruknya lingkungan kolam budidaya:


(28)

2. Transparansi dan warna air kolam yang tidak dikehendaki,

3. Timbulnya busa, gelembung atau alga yang mengambang di permukaan air, 4. Distribusi limbah di dasar kolam,

5. Adanya blooming plankton,

6. Terdapatnya sisa pakan atau cepatnya pakan tersebut dikonsumsi.

Konsentrasi amoniak yang tinggi di dalam air menyebabkan ikan melakukan penyerapan osmosis dengan cara mengurangi konsentrasi ion internal. Amoniak juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah untuk melakukan transportasi. Adanya konsentrasi subletal amoniak dapat meningkatkan sensitifitas ikan terhadap penyakit. Di dalam kolam dengan kepadatan tinggi di mana ikan diberi makan makanan tambahan, konsentrasi amoniak dapat meningkatkan pada tingkat yang lebih tinggi (Boyd, 1982).

Amoniak diproduksi dari penguraian protein untuk memperoleh energi dan dikeluarkan melalui insang sebagai pertukaran dengan sodium sebagai bagian dari sistem regulasi ion. Daya racun amoniak menurun sejalan dengan meningkatnya salinitas air. Kandungan ammonia sebesar 30% (tiga puluh persen) pada air laut masih tidak beracun bila dibandingkan pada air tawar dengan kondisi pH yang sama (Andrews, et al., 2003). Boyd (1982) juga mengatakan bahwa di air, ammonia nitrogen mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu ammonia tidak terionisasi (NH3) yang

menyebabkan toksisitas pada ikan dan ammonia terionisasi (NH4) yang tidak

menyebabkan toksisitas bagi ikan, kecuali dalam konsentrasi yang tinggi yaitu di atas 0,3 ppm menyebabkan kerusakan insang sehingga ikan sulit melakukan respirasi.


(29)

2.3. Parasit Ikan

Monogenea merupakan parasit yang umum ditemukan di insang dan kulit ikan air tawar maupun laut. Infestasi monogenea biasanya merupakan indikator sanitasi yang rendah pada kualitas air, sebagai contoh tingginya amoniak dan nitrit, polusi bahan organik dan oksigen rendah. Mereka dapat sangat cepat bereproduksi dengan kondisi seperti itu (Noga, 2000).

Parasit ada di lingkungan perairan seperti juga ikan hidup di lingkungan air. Jika kualitas airnya jelek mengakibatkan ikan stress, tetapi kondisi ini justru merupakan media yang baik bagi parasit sehingga mereka berkembang biak dan populasinya cukup untuk menginfeksi ikan hingga sakit (Taukhid, 2006).

Agen infeksi dan kondisi patologis antara ikan budidaya dan ikan alam mempunyai insidensi berbeda. Seperti yang ditemukan pada ikan sea bass, insidensi

Diplectanum sp. pada ikan hasil budidaya mempunyai nilai yang berbeda dengan ikan

tangkapan alam. Insidensi pada ikan budidaya lebih tinggi (50%) dibandingkan dengan ikan tangkapan alam (16.66%), mungkin merupakan konsekuensi dari kepadatan yang tinggi karena adanya manipulasi. Diplectanum sp. adalah parasit monogenea yang menyebabkan reaksi proliferatif sel-sel epitel insang yang terkena infeksi (Rakovac et al., 2002).

Budidaya ikan laut dengan sistem karamba jaring apung ataupun kolam di Khanh Hoa-Vietnam ditemukan prevalensi parasit sangat tinggi yaitu 71,4% ditemukan di kulit dan 60,3% di insang (dengan jumlah sampel 63). Serangan parasit pada karamba jaring apung lebih tinggi jika dibandingkan dengan sistem budidaya


(30)

di kolam. Penelitian menunjukkan bahwa penyakit tersebut muncul sepanjang tahun tetapi yang sering terjadi adalah pada musim kemarau (dari April ke September) yang memiliki suhu tinggi (30 - 34°C). Penyakit ini terutama menyerang ikan kecil yang beratnya kurang dari 200 gram per ekor (Hoa, et al., 2007).

Jenis-jenis ektoparasit yang umum menyerang kerapu di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Jenis-jenis Ekptoparasit Umum pada Kerapu (A. Trichodina sp.; B.

Cryptocaryon sp.; C. Benedenis sp.; D. Copepoda; E. Diplectanum

sp.; F. Haliothrema sp.)

Adapun jenis parasit yang umum menyerang ikan kerapu, tingkat patogenitas, tempat infeksi dan frekuensi serangan (Koesharyani, et al., 2002) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

A B C


(31)

Tabel 1. Jenis Parasit yang Umum Menyerang Ikan Kerapu, Tingkat Patogenitas, Tempat Infeksi dan Frekuensi Serangan

Jenis Parasit Tempat

Infeksi Inang

Tingkat

Patogenitas Frekuensi

Protozoa

Cryptocaryon irritans Insang/ E. bontoides +++ ++

Kulit E. malabaricus ++ +

C. altivelis +++ ++

Trichodina sp. Insang E. bontoides ++ +

Cacing insang

Haliotrema sp. Insang C. altivelis ++ +++

Pseudorhabdosynochus

sp.

Insang C. altivelis ++ ++

E. malabaricus ++ ++

E. coioides ++ ++

E. bontoides ++ ++

Diplectanum sp. Insang E. malabaricus ++ ++

P. leopardus ++ ++

Cacing kulit

Benedenia sp. atau Kulit Seluruh ikan + +++

Neobenedenia sp.

Copepoda

Lepeoptheirus sp. Kulit E. coioides ++ ++

E. malabaricus ++ ++

E. fuscoguttatus ++ ++

P. leopardus ++ ++


(32)

2.4. Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Penyebaran kerapu macan terbesar saat sekarang ini adalah Malaysia dengan asal benih dari Indonesia. Pasokan dari wilayah Sumatera Utara sendiri bisa mencapai sekitar lima belas juta ekor benih per tahun (Sisterkarolin, 2008).

Kerapu macan masuk ke dalam ordo Perciformes; famili Serranidae, Genus Epinephelus dan spesies Epinephelus fuscoguttatus. Ikan ini termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas air yang fluktuatif, perlu cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, hidup di daerah karang, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 26o C, panjang rata-rata maksimal 90 cm. Tubuh kerapu macan dipenuhi sisik yang berukuran kecil yang berbentuk sikloid. Nama kerapu diberikan biasanya untuk empat genus Serranidae yaitu Epinephelus, Variola, Plectropampus dan Cromileptes. Di Indonesia Epinephelus sendiri mempunyai 38 spesies. Sebagian besar famili Serranidae hidup di perairan dangkal dengan dasar pasir berkarang, walaupun beberapa jenis dapat ditemukan di perairan dalam (Burgess, et al. 1990).

Kerapu macan memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal (perut), sirip pektoral (dada), sirip garis lateral (gurat sisi) dan sirip caudal (ekor). Sirip dorsal memanjang hampir sepanjang bagian punggung, di mana bagian jari-jari kerasnya memiliki jumlah yang sama dengan jari-jari lunaknya, jumlah jari-jari adalah 13-15 buah. Sirip anal terdiri dari 3 buah jari-jari. Sedangkan jumlah jari-jari di sirip ekor adalah 15-17 buah dan bercabang dengan jumlah 13-15 buah. Sisik yang menutupi seluruh permukaan tubuh berbentuk kecil, mengkilat dengan bentuk sikloid. Warna dasar kerapu macan adalah cokelat, dengan perut berwarna putih serta bercak hitam


(33)

dan putih di sekujur memanjang dan cend tubuh adalah 2,6 - 2,9 Panjang total tubuh k dengan posisi serong bawah dilengkapi den gigi terbesar terletak Lobang hidung besar

Penyebaran ke adalah di Bali dan L adalah merupakan tem melakukan pembesara

Jenis kerapu m

Gamba

jur tubuh yang tidak beraturan. Bentuk bad enderung gepeng (compressed) atau agak me 2,9 dari panjang standar, dengan skala garis lat h kerapu macan dapat mencapai 80 cm. Mulu

ng keatas dan bibir bawah menonjol keatas dengan gigi-gigi geretan berderet dua baris, lan tak di bagian depan. Sirip ekor berbentuk me

ar berada di atas mulut berbentuk bulan sabit (Ab kerapu macan di Indonesia sangat eksotis. Pe Lampung. Wilayah lain seperti Aceh, Batam tempat penggelondongan. Wilayah Sumatera Ut aran hingga ukuran 6-8 inci (Diskanla Sumut, 2 u macan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:

bar 3. Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutta

badan kerapu macan membulat. Ketebalan lateral adalah 53 - 58. ulut berukuran lebar tas. Rahang atas dan lancip dan kuat.

Gigi-membulat (rounded). t (Abduh, dkk, 2007).

Pembenihan terbesar tam, Sulawesi Selatan a Utara telah berhasil

2008).


(34)

BAB III METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Mei 2009 di Laboratorium Uji Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia-Medan untuk uji mikroskopis. Uji kualitas air dilaksanakan di lokasi budidaya ikan kerapu macan milik UD. Sundoro (Fish

Farm and Trading) di Pantai Timur Belawan. Lokasi penelitian lapangan dapat

dilihat pada Lampiran 1 dan lay-out tambak penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari akuades, reagensia ammonia dan nitrit serta desinfektan. Alat yang digunakan terdiri dari multi parameter ion spesifik meter (HANNA instuments-Italy), hand refractometer, pH meter, termometer, slide glass, mikroskop CCTV dan akuarium beserta kelengkapannya.

Foto bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3.


(35)

3.3.Rancangan Penelitian A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian survey (survey

research) dengan tujuan untuk mengetahui insidensi dan hubungan antar variabel dari

populasi sampel yang diambil. B. Tahap Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui 2 (dua) tahap di mana untuk masing-masing tahap mempunyai metode penelitian yang berbeda, yaitu:

1. Tahap pertama adalah menginventarisasi dan mengkaji status serangan ektoparasit terhadap ikan kerapu yang dibudidayakan di mana biasanya terjadi akumulasi bahan organik yang kaya nutrien dan ammonia dari hasil pembusukan sisa pakan serta fluktuasi parameter kimia lain. Pada tahap ini dilakukan diagnosis terhadap ikan sampel secara mikroskopis dan konvensional. Hasil analisis yang diperoleh dijadikan data dasar untuk menentukan nilai insidensi dan intensitas parasit. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif di mana pada tahap tersebut memperlihatkan gambaran faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi ikan di mana akan dilakukan komparasi dan evaluasi.

2. Tahap kedua adalah mencari kemungkinan hubungan antara infestasi ektoparasit pada ikan kerapu macan dengan parameter air pada masing-masing petak. Pada tahap ini, data-data serangan parasit yang telah ditemukan pada tahap sebelumnya akan dikumpulkan dan dianalisis tentang sebab dan hubungannya.


(36)

C. Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini jumlah ikan kerapu macan yang dibudidayakan pada masing-masing petak adalah 200.000 (dua ratus ribu) ekor. Setelah melalui pengamatan gejala klinis ikan, melakukan anamnesa, mengetahui sistem budidaya yang diterapkan serta memperoleh data awal parameter kualitas air, asumsi insidensi parasit ditentukan pada 40%, sehingga menurut kaidah pengambilan sampel yang merujuk pada Amos (1985) dalam Lightner (1996), pada populasi ≥100000 ekor adalah 9 (sembilan) ekor sehingga total sampel ikan masing-masing petak adalah 72 (tujuh puluh dua) ekor. Kaidah pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Pengukuran Parameter Kualitas Air

Pengukuran parameter kualitas air dilakukan langsung di masing-masing stasiun pengamatan pada petak I dan II. Parameter fisika (temperatur, salinitas dan DO) diukur setiap hari dan parameter kimia (pH, ammonia, nitrit) diukur seminggu sekali bersamaan dengan pengambilan sampel ikan untuk pemeriksaan secara mikroskopis.

Temperatur udara dan air diukur dengan menggunakan thermometer. Salinitas diukur dengan menggunakan hand refractometer dan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan multi parameter ion spesifik (HANNA instruments-Italy). Alat ini juga digunakan untuk mengukur pH, ammonia dan nitrit.


(37)

3.4.2. Penyimpanan dan Penanganan Sampel

Ikan yang digunakan adalah ikan kerapu ukuran 3-4 inci (+ 7,5-10 cm) yang diperoleh dari masing-masing petakan tambak. Jumlah ikan diambil 9 (sembilan) ekor per petak yang diambil secara acak dari karamba jaring apung di dalam petakan tambak.

Setelah terkumpul, ikan sampel kemudian dikemas dengan menggunakan plastik yang diisi oksigen agar dapat bertahan hingga + 8 jam dan kemudian disimpan dalam akuarium yang berbeda untuk masing-masing stasiun pengambilan dengan diberi kode (ukuran akuarium 60 x 40 x 40 cm3 diisi air sebanyak 10 liter). Sebelum digunakan, akuarium didesinfeksi dengan KMnO4 5 (lima) ppm dan dibilas serta

dikeringkan.

3.4.3. Pemeriksaan Mikroskopis

Sampel ikan diperiksa dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui keberadaan ektoparasit yang menyerang ikan. Organ target (insang dan kulit) diambil dengan cara melakukan nekropsi (pembedahan ikan) dan ektoparasit diambil dari organ target tersebut. Ikan yang terinfeksi dan parasit yang ditemukan dihitung jumlahnya untuk mengetahui intensitas dan insidensinya.

3.5. Analisis Data

Infestasi ektoparasit pada ikan ditentukan oleh dua parameter yaitu insidensi dan intensitas. Insidensi adalah Prosentase jumlah ikan yang terinfeksi dibagi jumlah total ikan yang diperiksa. Intensitas adalah rasio antara jumlah parasit yang


(38)

ditemukan dibagi dengan jumlah ikan yang terinfeksi. Rumus yang digunakan menurut Saleh (1996) adalah sebagai berikut:

Insidensi =

Intensitas =

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara parameter kualitas air (DO, temperatur, salinitas, pH, ammonia dan nitrit) dengan keberadaan parasit (intensitas) digunakan analisis regresi dan korelasi serta mencari koefisien determinasi untuk mengetahui prosentase keberadaan ektoparasit yang dijelaskan oleh faktor parameter kualitas air melalui hubungan linear. Analisis data statistik tersebut menggunakan

Tool Data Analysis Microsoft Excel.

Jumlah ikan yang terinfeksi

Jumlah total ikan yang diperiksa

X 100%

Jumlah parasit yang ditemukan


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kualitas Air

Dari 2 (dua) petak tambak yang diteliti diperoleh data parameter kualitas air harian yaitu temperatur, oksigen terlarut (DO) dan salinitas serta data mingguan tentang pH, ammoniak dan nitrit. Pengamatan dilakukan pada 7 (tujuh) titik di mana 4 (empat) titik berada di luar karamba dan 3 (tiga) titik di dalam karamba. Data pengamatan parameter air harian dapat dilihat pada Lampiran 4 sampai 7 sedangkan data parameter air mingguan dapat dilihat pada Lampiran 8.

A. Temperatur

Data harian petak I untuk parameter temperatur mempunyai kisaran 30 - 34 oC (di udara) dan 31 - 37oC (30-40 cm dari permukaan air). Petak II, kisaran temperatur udara sama dengan petak I yaitu 30 - 34oC, tetapi temperatur air berkisar dari 32 - 37

o

C (30 - 40 cm dari permukaan air). Temperatur udara di atas permukaan air cenderung lebih rendah jika dibandingkan temperatur di dalam air. Perbedaan temperatur udara dengan temperatur air di luar karamba berkisar 1 - 2oC sedangkan di dalam keramba berkisar 2 - 3oC. Grafik temperatur udara bulan April dan Mei dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini:


(40)

Gambar 5. Temperatur Udara Bulan April (A) dan Bulan Mei (B) di Petak I dan II

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa temperatur udara bulan April dan Mei berfluktuasi. Temperatur tertinggi pada bulan April adalah 34oC dan terendah 30oC sedangkan temperatur tertinggi pada bulan Mei adalah 33oC dan terendah 30oC Grafik temperatur air bulan April di petak I dan II dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini: 28 29 30 31 32 33 34 35

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

T e m p e ra tu r ( oC ) Bulan Mei 28 29 30 31 32 33 34 35

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Bulan April T e m p e ra tu r ( oC )


(41)

Gambar 6. Temperatur Air Bulan April (A) dan Mei (B) di Petak I dan II Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa temperatur air berfluktuasi setiap harinya di petak I dan II. Temperatur di petak I cenderung lebih rendah daripada petak II. Setelah dirata-ratakan selama penelitian di bulan April menunjukkan bahwa petak I mempunyai kisaran temperatur air 33 - 34oC sedangkan petak II mempunyai kisaran 34 - 35oC. Temperatur bulan Mei di petak I dan petak II mempunyai nilai temperatur 34oC. Temperatur air pada petak I dan II di luar karamba menunjukkan

29 30 31 32 33 34 35 36 37

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

T e m p e ra tu r ( oC )

Bulan Mei Petak I Petak II

29 30 31 32 33 34 35 36 37

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

T e m p e ra tu r ( oC )


(42)

nilai yang sama, tetapi pada titik pengamatan di dalam karamba terjadi perbedaan -1oC ataupun +1oC. Fluktuasi temperatur udara maupun air yang terjadi pada petak I dan II mempunyai kisaran kurang dari 10 oC.

B. Salinitas

Salinitas tertinggi pada petak I dan II selama penelitian adalah 26 ppt dan terendah adalah 20 ppt. Dari data harian, nilai rata-rata salinitas petak I dan II adalah 22,9 ppt. Hanya minggu pertama dan ketiga yang mempunyai rata-rata salinitas yang sama yaitu 23,4 ppt (minggu ke-1) dan 23 ppt (minggu ke-3). Selain minggu ke-1 dan ke-3 nilai salinitas petak I lebih rendah dari petak II.

Salinitas harian petak I dan II cenderung mempunyai nilai yang sama tetapi terdapat beberapa perbedaan pada beberapa hari di bulan April dan Mei di mana petak I mempunyai salinitas lebih rendah dibanding petak II. Jika diperhatikan perbedaan tersebut terjadi pada situasi pasang pertama yaitu awal bulan dan pasang kedua yaitu akhir bulan. Salinitas pada minggu-minggu selain situasi pasang mempunyai nilai yang sama. Grafik salinitas petak I dan II bulan April dan Mei dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini:


(43)

Gambar 7. Salinitas Bulan April (A) dan Mei (B) di Petak I dan Petak II

0 5 10 15 20 25 30

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

K

o

n

s

e

n

tr

a

s

i (

p

p

t)

Bulan April Petak I Petak II

0 5 10 15 20 25 30

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

K

o

n

s

e

n

tr

a

s

i (

p

p

t)


(44)

C. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) pada petak I mempunyai kisaran 5,0 - 6,6 mg/L sedangkan pada petak II adalah 5,5 - 6,8 mg/L. Jika dirata-ratakan, data harian petak I mempunyai kisaran nilai DO 5,27 - 5,86 mg/L dan petak II adalah 6,16 - 6,47 mg/L.

Selama pengamatan, total nilai DO petak I lebih rendah dari petak II di mana petak I mempunyai rata-rata nilai 5,64 mg/L dan petak II mempunyai nilai 6,39 mg/L. Konsentrasi DO di luar karamba cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsentrasi di dalam karamba. Secara teknis, petak I dan II mempunyai perlakuan yang sama yaitu dalam manajemen pemasukan dan pergantian air, penambahan oksigen pada malam hari dengan menggunakan aerator, waktu pergantian jaring, kedalaman kolam dan air serta manajemen pemberian pakan. Secara fisik pada siang hari riak air kolam di petak I dan II di luar karamba terlihat kuat tetapi di dalam petakan karamba terlihat kecil karena terhalang oleh jaring yang mempunyai ukuran mata jaring 1 cm di mana lumut dan kotoran sering menempel di pinggir jaring tersebut.

Dari hasil pengamatan bulan April dan Mei, konsentrasi oksigen terlarut pada petak I adalah > 5 mg/L sedangkan pada petak II adalah > 6 mg/L. Grafik DO bulan April dan Mei di Petak I dan Petak II dapat dilihat pada Gambar 8 berikut:


(45)

Gambar 8. Oksigen Terlarut (DO) Bulan April (A) dan Mei (B) di Petak I dan II Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi oksigen terlarut bulan April dan Mei di petak I dan II berfluktuasi. Nilai rata-rata harian tertinggi pada bulan April dan Mei di petak I adalah 5,86 mg/L dan petak II adalah 6,46 mg/L sedangkan nilai terendah di petak I adalah 5,27 mg/L dan petak II adalah 6,15 mg/L.

0 1 2 3 4 5 6 7

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

K o n s e n tr a s i ( m g /L )

Bulan April Petak I Petak II

0 1 2 3 4 5 6 7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

K o n s e n tr a s i ( m g /L )


(46)

D. pH (Derajat Keasaman)

Pengukuran pH dilakukan seminggu sekali di mana pada minggu ke-0 (awal pengambilan data) diperoleh nilai pH 7,33 pada petak I dan 7,30 pada petak II. Data yang diperoleh pada petak I mempunyai kisaran nilai 7,2 - 7,4 pada masing-masing stasiun pengamatan. Nilai rata-rata selama penelitian adalah 7,29 di mana nilai terendah terjadi pada minggu ke-6 dan ke-7 dengan konsentrasi 7,24 dan nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-0 dan 2 yaitu dengan nilai 7,33.

Pada petak II, kisaran konsentrasi pH adalah 7,2 - 7,8 pada masing-masing stasiun pengamatan. Nilai rata-rata selama penelitian adalah 7,36 di mana nilai terendah terjadi pada minggu ke-5 yaitu 7,29 dan nilai tertinggi pada minggu ke-6 yaitu 7,6. Dari hasil pengamatan, perbedaan pH petak I berkisar 0,1-0,2 sedangkan pada petak 2 berkisar 0,1-0,6. Grafik nilai pH selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 9 berikut:

Gambar 9. Nilai pH Selama Penelitian

7 7,2 7,4 7,6 7,8

0 I II III IV V VI VII

N

ila

i

p

H


(47)

E. Ammonia

Dari hasil pengamatan, konsentrasi ammonia masing-masing stasiun pengamatan di petak I mempunyai kisaran 0,55-1,55 mg/L sedangkan petak II mempunyai kisaran 0,50-1,03 mg/L. Konsentrasi tertinggi pada petak I setelah dirata-ratakan dari beberapa stasiun terjadi pada minggu ke-5 dengan nilai 1,52 mg/L dan terendah pada minggu ke-0 (awal pengambilan data) dengan nilai 0,63 mg/L. Pada petak II, nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-4 dengan nilai 0,89 mg/L dan terendah pada minggu ke-0 (awal pengambilan data) dengan nilai 0,54 mg/L. Setelah dihitung nilai rata-rata total selama penelitian, konsentrasi ammonia petak I mempunyai nilai lebih tinggi dibanding petak II yaitu 0,93 mg/L untuk petak I dan 0,68 mg/L untuk petak II.

Selama penelitian dilaksanakan, manajemen pemberian pakan dilakukan dengan menggunakan ikan segar yang digunting selama 3 kali sehari di samping menggunakan udang rebon sebagai pakan alami. Sedangkan pakan buatan berupa pellet tidak pernah dilakukan.

Pembuangan limbah dasar hanya dilakukan 3-4 bulan sekali atau 2 (dua) siklus pemeliharaan di mana setiap hari dilakukan pergantian air permukaan sebanyak 10 - 20% volume dan pergantian jaring dilakukan 3 hari sekali. Pada malam hari digunakan blower sebagai penambah oksigen di mana untuk masing-masing petak karamba diberi aerasi dengan jarak 1 (satu) meter dari permukaan. Grafik konsentrasi ammonia petak I dan II selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 berikut:


(48)

Gambar 10. Konsentrasi Ammonia Selama Penelitian di Petak I dan II Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi ammonia mengalami kenaikan yang sangat tinggi di petak I pada minggu ke-5 dan pada petak II terjadi kenaikan tetapi tidak seperti pada petak I. Pada kejadian tersebut kondisi ikan mengalami anoreksia (kehilangan nafsu makan) tetapi pada saat pergantian air dilakukan selama kurang lebih 3 (tiga) hari kondisi ikan berangsur membaik hingga mengalami kondisi normal pada minggu ke-7.

F. Nitrit

Konsentrasi nitrit selama penelitian berkisar antara nilai 0,01 - 0,03 mg/L untuk petak I dan 2 di masing-masing stasiun pengamatan. Pada petak I nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-3 dan 4 dengan nilai 0,024 mg/L sedang terendah terjadi pada minggu ke-6 dengan nilai 0,016 mg/L. Pada petak II nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-6 dan 7 dengan nilai 0,027 mg/L sedang terendah pada minggu ke-0 (awal pengambilan data) dengan nilai 0,014 mg/L. Nilai rata-rata selama penelitian tidak

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6

0 I II III IV V VI VII

Ko

n

s

e

n

tra

s

i

(

m

g

/L

)


(49)

terjadi perbedaan yang ekstrim antara petak I dan petak II di mana petak I mempunyai nilai 0,02 mg/L dan petak II mempunyai nilai 0,021 mg/L. Grafik konsentrasi nitrit selama penelitian pada petak I dan II dapat dilihat pada Gambar 11 berikut:

Gambar 11. Konsentrasi Nitrit Selama Penelitian di Petak I dan II

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi nitrit setiap minggu berfluktuasi pada kisaran 0,001 - 0,008 di petak I dan 0,002 - 0,013 di petak II. Pada kisaran tersebut tidak terjadi kematian tetapi rata-rata ikan mempunyai gejala klinis tidak normal pada permukaan tubuhnya yaitu adanya produksi lendir yang berlebihan. Parameter kualitas air harian terlihat berfluktuatif di mana pasang surut terjadi 2 (dua) kali dalam satu hari yaitu pukul 10.00 - 14.00 dan pukul 22.00 - 02.00. Pada saat itu air masuk dalam bak tandon sebagai stok yang akan digunakan untuk pergantian air harian. Frekuensi curah hujan hampir setiap hari terjadi tetapi pada April minggu dan Mei minggu ke-2 dan ke-4 hanya terjadi 3 (tiga) kali. Kondisi

0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03

0 I II III IV V VI VII

K

o

n

s

e

n

tra

s

i

(

m

g

/L

)


(50)

temperatur di atas permukaan air selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan temperatur di dalam petak budidaya. Dari kejadian alam seperti itu juga menjadikan salinitas berfluktuasi. Pertumbuhan plankton antara petak I dan II terlihat berbeda di mana petak I mempunyai warna hijau kecoklatan sedang petak II mempunyai warna hijau kekuningan.

4.1.2. Infestasi Penyakit

Jenis penyakit yang dominan menyerang kerapu macan setelah dilakukan analisa laboratorium adalah parasit yang berada di organ luar (ektoparasit). Hasil yang ditemukan antara lain Diplectanum sp., Trichodina sp. dan Tetrahymena sp. pada insang. Pada kulit ditemukan Benedenia sp dan Trichodina sp. Adapun jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13 berikut ini:

Gambar 12. Jenis-jenis Ektoparasit yang Menyerang Insang Kerapu Macan dengan Pembesaran 10x100 Kali


(51)

Gambar 13. Jenis-jenis Ektoparasit yang Menyerang Kulit Kerapu Macan dengan Pembesaran 10x100 Kali

(1. Trichodina sp.; 2. Benedenia sp.) 4.1.3. Insidensi Ektoparasit

A. Insang

Pada petak I terdeteksi sebanyak 62 (enam puluh dua) ekor ikan terinfeksi

Diplectanum sp. yang menyerang insang dengan nilai insidensi terendah 77,7% yang

terjadi pada minggu ke -1,5,6 dan 7 dan tertinggi 100% pada minggu ke-2 dan 8. Jika dihitung selama 8 (delapan) minggu maka nilai insidensi total adalah 86,1%. Pada petak II, total ikan yang terinfeksi Diplectanum sp. berjumlah 48 ekor dengan nilai insidensi terendah 44,4% yang terjadi pada minggu ke -2 dan tertinggi 88,9% pada minggu ke-4 dan 7. Jika dihitung selama 8 (delapan) minggu penelitian maka nilai insidensi total adalah 66,7%.

Selain Diplectanum sp. yang menyerang insang kerapu macan juga terdeteksi parasit Tetrahymena sp. yang menginfeksi 33 ekor ikan pada petak I dengan nilai insidensi terendah 11,1% pada minggu ke-4 dan tertinggi 66,7% pada minggu ke-5. Nilai insidensi total 45,8%. Pada petak II, Tetrahymena sp. menginfeksi 40 ekor ikan


(52)

dengan nilai insidensi terendah 22,2% pada minggu ke-5 dan tertinggi 55,6% pada minggu ke-1,4 dan 6. Nilai insidensi total 55,6%.

Parasit Trichodina sp. juga ditemukan pada insang kerapu macan. Pada petak I Trichodina sp. menyerang 36 ekor ikan dengan insidensi terendah 22,2% pada minggu ke-7 dan tertinggi 77,8% pada minggu ke-1. Nilai insidensi total selama pengamatan adalah 50%. Pada petak II Trichodina sp. menyerang 33 ekor dengan insidensi terendah 22,2% pada minggu ke-5 dan tertinggi 55,5% pada minggu ke-1,4 dan 6. Nilai total insidensi selama penelitian adalah 45,8%. Grafik insidensi masing-masing ektoparasit pada insang selama penelitian di petak I dan II dapat dilihat pada Gambar 14 sampai 16 berikut ini:

Gambar 14. Insidensi Diplectanum sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

0 20 40 60 80 100 120

0 I II III IV V VI VII

Minggu

ke-In

s

id

e

n

s

i

D

ip

le

c

ta

n

u

m

s

p

.(

%

)


(53)

Gambar 15. Insidensi Tetrahymena sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Gambar 16. Insidensi Trichodina sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa Diplectanum sp. sangat berpotensi menyerang insang kerapu macan jika dibandingkan dengan Tetrahymena sp. dan

Trichodina sp. Gejala klinis rata-rata ikan dengan insidensi Diplectanum sp. yang

tinggi ditandai dengan adanya kerusakan insang dan operkulum yang membuka.

0 20 40 60 80 100 120

0 I II III IV V VI VII

In si d e n si T e tr a h ym e n a sp . (% )

Minggu Petak I Petak II

0 20 40 60 80 100 120

0 I II III IV V VI VII

In si d e n s i T ri ch o d in a sp . (% )


(54)

B. Kulit

Dari hasil pengamatan selama penelitian, parasit yang ditemukan menyerang kulit adalah Trichodina sp. dan Benedenia sp. Gejala klinis ikan yang terserang parasit tersebut adalah mempunyai mucus atau lendir yang berlebihan serta warna tubuh agak memudar (pucat). Grafik insidensi masing-masing ektoparasit yang menyerang kulit pada petak I dan II dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18 berikut ini:

Gambar 17. Insidensi Benedenia sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Gambar 18. Insidensi Trichodina sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

0 20 40 60 80 100

0 I II III IV V VI VII

In s id e n s i B e n e d e n ia s p .

Minggu ke- Petak I Petak II

0 20 40 60 80 100 120

0 I II III IV V VI VII

In s id e n s i T ri c h o d in a s p .


(55)

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa selama penelitian, parasit Benedenia sp. di petak I mempunyai nilai insidensi terendah pada minggu ke-2 dan 4 dengan nilai 11,1% dan tertinggi pada minggu ke-6 dengan nilai 55,6%. Terhadap parasit

Trichodina sp. nilai insidensi terendah terjadi pada minggu ke-2 dengan nilai 11,1%

dan tertinggi pada minggu ke-6 dan 7 dengan nilai insidensi 88,9%.

Pada petak II, nilai insidensi Benedenia sp. terendah terjadi pada minggu ke-1, 3 dan 8 dengan nilai 22,2% sedang nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-2, 4 dan 7 dengan nilai 44,4%. Parasit Trichodina sp. mempunyai nilai terendah pada minggu ke-2 dan 4 yaitu 33,3% sedangkan tertinggi pada minggu ke-5 dengan nilai 100% dengan kata lain seluruh sampel yang diperiksa terinfeksi parasit tersebut.

4.1.4. Intensitas Ektoparasit A. Insang

Dari seluruh sampel ikan kerapu macan yang diperiksa dapat diketahui nilai intensitas parasitnya. Hampir seluruh ikan sampel yang diperiksa terinfeksi parasit tetapi tidak terjadi infeksi akut yang menyebabkan gejala klinis menciri di mana secara visual dapat dilihat walaupun tanpa menggunakan bantuan mikroskop. Intensitas parasit tertinggi pada insang adalah Tetrahymena sp. di mana populasinya kadang bergerombol dengan ukuran yang kecil. Trichodina sp. dan Diplectanum sp. juga mempunyai nilai intensitas tetapi tidak sebanyak Tetrahymena sp. Parasit tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa bantuan mikroskop. Grafik intensitas masing-masing parasit yang menyerang insang di petak I dan II dapat dilihat pada Gambar 19 sampai 21 berikut:


(56)

Gambar 19. Intensitas Diplectanum sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Gambar 20. Intensitas Tetrahymena sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

0 2 4 6 8 10 12 14

0 I II III IV V VI VII

In te n s it a s D ip le c ta n u m s p .

Minggu Petak I Petak II

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 I II III IV V VI VII

In te n s it a s T e tr a h y m e n a s p .


(57)

Gambar 21. Intensitas Trichodina sp. pada Insang Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa intensitas tertinggi Diplectanum sp. pada petak I terjadi pada minggu ke-5 dengan nilai 10,3 dan terendah pada minggu ke-1 dengan nilai 4,0. Pada petak II nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-1 dengan nilai 10,0 dan terendah terjadi pada minggu ke-6 dengan nilai 4,1.

Intensitas Tetrahymena sp. terendah di petak I terjadi pada minggu ke-I dengan nilai 7,6 dan tertinggi pada minggu ke-7 dengan nilai 15. Pada petak II nilai terendah terjadi di minggu ke-8 dengan nilai 9,7 dan tertinggi pada minggu ke-4 dengan nilai 12,6.

Parasit Trichodina sp. mempunyai nilai intensitas terendah pada minggu ke-2 yaitu 6,6 dan tertinggi di minggu ke-6 dengan nilai 10,4. Pada petak II nilai terendah terjadi di minggu ke-8 dengan nilai 6,0 dan tertinggi pada minggu ke-6 dengan nilai 8,0.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 I II III IV V VI VII

In

te

n

s

it

a

s

T

ri

c

h

o

d

in

a

s

p

.


(58)

Secara umum nilai intensitas tertinggi pada petak I terhadap Tetrahymena sp. mempunyai nilai 15 yang terjadi pada minggu ke-7, kemudian Trichodina sp. dengan nilai 10,4 pada minggu ke-6 dan Diplectanum sp. dengan nilai 10,3 pada minggu ke-6. Pada petak II, nilai intensitas tertinggi akibat infeksi Tetrahymena sp. terjadi pada minggu ke-4 dengan nilai 12,6 kemudian Diplectanum sp. pada minggu ke-2 dengan nilai 10 dan parasit Trichodina sp. pada minggu ke-6 dengan nilai 8.

Nilai rata-rata intensitas Diplectanum sp. selama penelitian di petak I adalah 6,3 dan petak II adalah 6,7. Tetrahymena sp. di petak I adalah 10,3 dan petak II adalah 11,2. Trichodina sp. di petak I adalah 8,9 dan petak II adalah 6,7.

B. Kulit

Intensitas ektoparasit pada kulit kerapu macan pada petak I dan II didominasi oleh Trichodina sp. yang merupakan protozoa jenis cilliata sedangkan Benedenia sp. mempunyai intensitas yang lebih rendah. Benedenia sp. merupakan parasit jenis monogenea seperti halnya Diplectanum sp. pada insang.

Trichodina sp. yang ditemukan pada kulit merupakan spesies yang sama

dengan yang ditemukan pada insang. Hampir seluruh sampel yang diperiksa terserang parasit ini. Benedenia sp. menyerang kulit bahkan beberapa ikan yang terserang parasit ini menunjukkan gejala klinis abnormal pada mata yaitu terjadi kebutaan. Grafik intensitas masing-masing parasit pada kulit kerapu macan di petak I dan II dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23 berikut:


(59)

Gambar 22. Intensitas Benedenia sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Gambar 23. Intensitas Trichodina sp. pada Kulit Kerapu Macan Selama Penelitian di Petak I dan II

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa intensitas tertinggi Benedenia sp. di petak I terjadi pada minggu ke-3 dengan nilai 7,0 dan terendah terjadi pada minggu ke-4 dengan nilai 2,5. Pada petak II nilai tertinggi terjadi pada minggu ke-6 dengan

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 I II III IV V VI VII

In te n s it a s B e n e d e n ia s p .

Minggu Petak I Petak II

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 I II III IV V VI VII

In te n s it a s T ri c h o d in a s p .


(1)

5.2. Saran

A. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai infestasi Diplectanum sp. pada kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dibudidayakan akibat degradasi lingkungan

B. Perlu manajemen yang lebih baik dengan penerapan biofilter sebagai bentuk remediasi

C. Perlu koordinasi dengan berbagai pihak mengenai budidaya ikan ramah lingkungan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M. 2007. Pembesaran Kerapu Macan Di Karamba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Batam.

Alifuddin, M. 2003. Pengelolaan Air Tambak. Modul : BDI-P/1/1.3. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Ditjen Dikdasmen. Departemen Pendidikan Nasional.

Andrews C, Adrian E and Neville C. 2003. Manual of Fish Health. A Firefly Publisher. Canada. Fisrt Printing.

Boyd C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Cultured. Department of Fisheries and Allied Aquacultures. Agricultural Experiment Station. Auburn University. Alabama. USA.

Budi, S.H. 2009. Ammonia, Nitrit dan Nitrat. Blog Water Quality Information. Google search.

Burgess, W.E., Axelrod H.R. and Raymond E.H. 1990. Marine Aquarium Fishes. T.F.H. Publications Inc. USA. 3rd edition.

Chua, T. E. and Teng, S. K. 1978. Effects of feeding frequency on the growth of young estuary grouper, Epinephelus tauvina Forskal, culture in floating net cages, Aquaculture 14 : 31 – 47.

Colorni, A. and Diamant, A. 2005. Hyperparasitism of Trichodinid Ciliates on Monogenea Gill Flukes of two Marine Fish. Diseases of aquatic Organism. Vol. 65: 177-180. Israel Oceanographic and Limnological Research. National Cneter for Mariculture. Israel.

Davis, J. C. 1975. Minimal Disolved Oxygen Requirements of Aquatic Life With Emphaisis on Canadian Species. J. Fish. Res. Board. Can. 32 (12): 2296-2332 Daye, P.G and Garside, E.T. 1976. Histopathologic Changes in Surficial Tissues on

Brook Trout Mitchill Exposed to Acute and chronic Level oh pH. Can J Zool 54 :142-155.


(3)

Dewi, J., Muawanah dan Minjoyo, H. 2002. Penyakit lingkungan. Pengelolaan kesehatan Ikan Budidya Laut. Balai Budidaya Laut lampung. Seri Budidaya laut No : 10. ISBN : 979-95483-8.

Djokosetyanto, D. 2006. Pengelolaan Parameter Fisika dan Kimia Air. Makalah Perawatan dan Pemeliharaan Ikan. Pusat Karantina Ikan. Jakarta.

Ernst, I., Whittington, I.D., Corneillie, S. and Talbot, C. 2005. Effect of emperature, salinity, desiccation and chemical treatments on egg embryonation and hatching Success of Benedenia seriolae (Monogenea : Capsalidae), a parasite of farmed Seriola spp. Journal of Fosh Diseases. Volume 28. Number 3. March 2005, pp 157-164(8). Blackwell Publishing.

European Inland Fisheries Advisory Committee (EIFAC). 1969. Water Quality Criteria for European Freshwater Fish. Extreme pH Values and Inland Fisheries.

Garcia, F., Fujimoto, R.Y., Martin, M.L and Moraes, F.R. 2009. Protozoa parasites of Xiphophorus spp. (Poeciliidae) and their relation with water characteristics. Veterinary Medicine. Centro de Aquicultura. University of Espanyola. Jaboticabal. Spain. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec. 61 : 1. Belo Horizonte. Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology. Polish Scientific Publishers. Warszawa.

Poland.

Halmetoja, A., Valtonen, E.T. and Taskinen, J. 1992. Trichodinids (Protozoa) on fish from central finish lake of differing water quality. Aqua Fenica. 22 : 59-70. Hoa, D.T., Phan, V.U. 2007. Monogenean disease in cultured grouper (Epinephelus

spp.) and snapper (Lutjanus argentimaculatus) in Khanh Hoa province, Vietnam. Marine Aquaculture Finfish Network. Faculty of Aquaculture, Nha Trang University, Vietnam.

Jobling, M. 1981. The Influences of Feeding on The Metabolic Rate of Fishes. J. Fish. Biol. 18 : 385-400.

Kabata, Z. 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in The Tropics. International Development Reasearch Council. United Kingdom.

Koesharyani, I., Roza, D., Mahardika, K., Johnny, F., Zafran and Yuasa, K. 2001. Manual for Fish Disease Diagnostic-II. Marine Fish and Crustacean Disease in Indonesia. Gondol Research Institute for Mariculture and Japan


(4)

Langkosono dan Wenno, L. F. 2003. Distribusi ikan kerapu (Serranidae) dan kondisi lingkungan perairan Kecematan Tanimbar Utara, Maluku Tenggara. Prosiding Lokakarya Nasional dan Pameran Pengembangan Agribisnis Kerapu II Jakarta, 8 – 9 Oktober 2002. “. Menggalang Sinergi unrtuk Pengembangan Agribisnis Kerapu” .Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian BPPT, Jakarta. 203-212.

Lewis, W.M. and Morrios, D.P. 1986. Toxicity of Nitrite to fish. A review, Trans Am Fish Soc 115 : 183-195.

Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Cultured Penaeid Shrimp. World Aquaculture Society, Baton Rouge, Louisiana, USA. 304 p.

Madsen, H.C.K., Buchmann, K and Mellergaard, S. 2000. Association between trichodiniasis in eel (Anguilla anguilla) and water quality in recirculation system. Aquaculture. 187 : 275-281.

Malole, M.B.M dan Zenal, F.C. 2006. Epidemiologi dan Surveillance. Pelatihan Diagnosa Hama Penyakit Ikan Karantina Golongan Virus. Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta.

National Technical Advisory Commitee (NTAC). 1968. Water Quality Qriteria. Federal Water Pollution Control Administration. Washington DC. 234 p. Noga, E.J. 1996. Fish Disease. Diagnosis and Treatment. Department of Companion

Animal and Special Species Medicine. North Caroline State University. Nurhudah, M. 2006. Pengelolaan Kualitas Air. Makalah Pendidikan dan Pelatihan

Dasar Pengendali hama Penyakit Ikan Tingkat Ahli. Pusat Karantina Ikan. Jakarta.

Office International des Epizooties. 2003. Manual Diagnostic Test for Aquatic Animals. Fourth edition. Paris.

Paperna, I. 1979. Diseases Caused by Parasites in the Aquaculture of Warm Water Fish. Ann Rev Fish Dis. 1 : 155-194.

Post, G. 1987. Text Book of Fish Health. T.F.H Publication, Inc. for Revised and Expanded Edition. USA.


(5)

Rakovac, R.C., Perovic, I.S., Popovic, N.T., Hacmanjek, M., Simpraga, B. and Teskeredzik, E. 2002. Health status of wild and cultured sea bass in the northern Adriatic Sea. Center for Marine and Environmental Research, LIRA, Bijenicka 54, 10000 Zagreb, Croatia.

Reantoso, M.G.B, Shomkiat, K and Chinabut, S. 2004. Review of Grouper Diseases and Health Management. Regional Workshop on Sea Farming Grouper Culture. Departement of Fisheries Compound. Thailand.

Russo, R.C and Meade, J.W. 1985. Ammonia, Nitrite and Nitrate. In Rand GM, Petrocelli SR Editors : Fundamentals of Aquatic Toxicology. Hemisphere. New York.

Schwedler, T.E., Tucker, C.S., Beleau, C.S. and Beleau, M.H. 1985. Non Infectious Diseases. In Tucker C.S. Editor. Channel Catfish Culture. Amsterdam. Elsevier. P.497-541.

SEAFDEC. 2000. Grouper Culture. Seafdec Aquaculture Department. Southeaast Asian Fisheries Development Center. Tingbauan. Phiippines.

Singhal, R.N, Jeet, S and Davies, R.W. 1986. The relationship between changes in selected physico-chemical properties of water and the occurrence of fish parasites in Haryana, India. Trop. Ecol. 27: 1-9.

Sisterkarolin. 2008. Data Ekspor Tahunan Komoditi Ikan Hidup melalui Pintu Pengeluaran Bandara Polonia-Medan. Sistem Informasi Karantina Ikan On-line. Pusat Karantina Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Suprakto, B. dan Fahlivi, M. R. 2007. Studi tentang kesesuaian lokasi budidaya ikan

di KJA di perairan Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep. Pembangunan kelautan berbasis IPTEK dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Prosiding Seminal Kelautan III, Universitas Hang Tuah 24 April 2007, Surabaya : 58 – 65.

Supriyadi, H. 2007. Penyakit Parasiter Pada Ikan. Laboratorium Riset Kesehatan Ikan-Pasar Minggu. Jakarta.

Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Rajawali Pers. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Svobodova, Z., Lloyd, R. and Machota, J. 2009. Water Quality and Fish Health. Causes and Effect of Pollution on Fish. FAO Corporate Document


(6)

Taukhid, 2006. Manajemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Laboratorium Riset Kesehatan ikan. Bogor.

Tawfik, M.A.A., Abo-Hegab, S., Ahmed A.K and Abbas. 2006. Protozoan Parasites of Fish in relation to Water Quality of Some Ecosystems in Egypt. Egyptian Journal of Veterinary Science. Department of Parasitology and Anima Diseases. Nation Research Center. Faculty of Science. Cairo University. Cairo.

Thurston, R.V., Chakonmakos, C and Russo, R.C. 1981. Effect of Fluctuating Exposure s on the Acute Toxicity of Ammonia to Rainbow Trout. Water res 15 : 911-917.

Tucker, C.S. 1985. Water Quality. In Tucker C.S. Editor. Channel Catfish Culture. Amsterdam. Elsevier. p.135-227.

Yoshimitsu, T. H. Eda and Hiramatsu, K. 1986. Groupers final report marineculture research and development in Indonesia. ATA 192, JICA. p.103 – 129.