Mahasiswa Levis dan Jiwa Muda Eksistens

“Mahasiswa, Levi’s, dan Jiwa Muda :Eksistensi Blue Jeans dalam Dinamika
Fashion Mahasiswa”
A. Gonzaga Dimas B. Raharja

I.

Pendahuluan

Blue Jeans atau lebih lekat disebut “jins” merupakan salah satu instrumen
fashion bagi mahasiswa dan mahasiswi, pemuda, dan remaja modern. Mereka ini dapat
disebut Global’s Youth, hal ini Saya artikan sebagai pemaknaan dari para pemuda
Indonesia yang telah membaur dengan gaya berpakaian global. Bahkan tidak hanya para
pemuda saja yang menikmati jins sebagai entitas mode keseharian, lihat saja beberapa
bapak-bapak dan ibu-ibu yang masih berjiwa muda menggunakan jins dalam berbagai
kesempatan. Hal ini menunjukan bahwa jins telah mendarah daging dalam kehidupan
pemuda di tanah air. Selain dari subyek konsumen di atas tentu hal itu bisa juga dilihat
dari subyek lain yaitu menjamurnya usaha “Vermak Jeans” di berbagai kota. Usaha ini
dapat dengan mudah ditemui di sudut-sudut kota. Semisal di kawasan Bulaksumur,
Sleman saja dapat ditemui “lokalisasi” para penyelamat eksistensi jins itu di kawasan
dekat UGM dan UNY.
Jins adalah sebuah entitas yang seringkali menjadi identitas kaum muda.

Setidaknya hal itu yang terjadi sejak awal mula masuknya jins di Asia (Tokyo) pada
tahun 1970-an (Nainggolan, 2010) dan baru booming di Indonesia beberapa tahun
setelahnya. Sebagai produk impor bahkan jins telah mampu menguasai jagad kreativitas
mahasiswa di Indonesia dalam mengembangkan usaha fashion denim (Deny, 2013).
Banyak dari para mahasiswa yang mulai bergelut dalam kegiatan bisnis sandang dan
berkiblat pada jins. Hal ini tentu menunjukan pengaruh jins tidak stagnan pada urusan
konsumen dan gaya hidup tapi juga mengarah pada aspek produksi. Pengaruh jins
terhadap anak muda juga dapat dilihat dari karya kesusastraan seperti pada novel
Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar yang pertama kali terbit 1974 dan
kemudian diangkat ke layar lebar pada 1976. Dalam sebuah diskusi screening film ini
yang diadakan Teater Gadjah Mada pada 11 November 2015 juga dibicarakan bahwa
penyebutan “kampus biru” yang lekat dengan UGM saat itu dipengaruhi juga oleh para
mahasiswa dan mahasiswinya yang memakai blue jeans sebagai tampilan keseharian.
Melihat beberapa fenomena di atas dapat dilihat bahwa jins merupakan bagian
dari determinasi fashion sekaligus menyangkut aspek konsumsi dan gaya hidup. Jins
memiliki eksistensi yang bersifat multi-dimensi dalam kehidupan masyarakat,
khususnya anak mudayang hidup dalam ruang dan pasar global. Maka dari itu dalam
tulisan ini akan dilakukan analisis sederhana bagaimana korelasi antara jins, mahasiswa
(sebagai perwakilan kaum muda), dan juga konsumsi. Fenomena menarik ini begitu
dekat juga dengan diri Saya sebagai mahasiswa yang juga menggunakan jins sebagai

alat eksistensi diri, sehingga secara reflektif juga akan ditambahkan pengalaman diri
hidup berdampingan dengan jins.

II.

Proses Konsumsi

A. Konsumsi Fashion dan Globalisasi

“Globalization is itself a contested concept, but generally seems to involve a
sense of the increasing interconnectedness of the world, and the extension and
deepening of social relations and institutions across space (Amin, 2002 on
Mansvelt, 2005:134).
Globalisasi, tanpa disadari membuka ruang untuk konsumsi secara sambungmenyambung. Amin menjelaskan bahwa globalisasi menjadikan relasi dan koneksi
sosial masyarakat di dunia ini meningkat. Globalisasi yang merupakan proses multidimensi (John Tomlinson dalam Ritzer, 2007:352) 1 justru menumbuhkan fenomenafenomena baru yang tidak kalah kompleks. Fenomena itu termasuk di dalamnya
konsumsi dan lebih khusus lagi ke dalam gaya hidup. Fashion yang merupakan bagian
dari gaya hidup manusia menjadi hal yang perlu diamati terkait bagaimana persebaran
dan pengaruhnya.
Fashion sendiri diartikan oleh Troxell dan Stone (1986; via Savitrie, 2008:13)
sebagai gaya yang diterima dan digunakan oleh mayoritas anggota suatu kelompok

dalam satu waktu tertentu. Melalui definisi itu dapat dikatakan bahwa fashion
merupakan bagian dari entitas komunal atau kelompok masyarakat. Jika dikaitkan
dengan jins maka kelompok yang dimaksud adalah kaum muda atau global’s youth tadi.
Mereka yang hidup dalam arus globalisasi tentu dekat dengan pemilihan-pemilihan
konsumsi seperti itu. Sedangkan di sisi lain Edward T. Hall (1990:57; via Berek,
2014:57) dan Wilson (1985:3; via Berek, 2014:57) mengungkapkan bahwa fashion
adalah “perpanjangan tubuh”. Fashion yang merupakan pemaknaan dari pakaian
merupakan perpanjangan tubuh dengan dunia sosial. Fashion dapat menghubungkan
satu individu dengan suatu kelompok, atau sebaliknya malah fashion juga bisa
memisahkan keduanya. Fashion bisa menjadi batas relasi dalam suatu kelompok atau
individu tapi juga dapat menjadi penghubung.
Melalui pasar global yang diinisiasi oleh globalisasi inilah maka fashion
mengalir secara deras menuju belahan bumi lain, terutama negara-negara dunia ketiga
yang memang dijadikan sebagai masyarakat konsumeris besar. Melalui intervensiintervensi inilah kemudian terjadi perputaran antar produk di dunia, khususnya fashion.
Fashion sendiri merupakan bagian dari salah satu dari basic needs yaitu sandang,
sehingga penetrasi produk yang dilakukan melalui pasar global untuk jenis ini menjadi
lebih cepat. Gencarnya fashion ini menimbulkan banyak persaingan dan juga pengaruh
dalam masyarakat, baik mereka yang bertindak sebagai konsumen maupun produsen,
1


“Globalization is a multidimensional process, taking place simultaneously within the spheres of the
economy, of politics, of technological developments – particularly media and communications
technologies – of environmental change and of culture” (Tomlinson, on Ritzer, 2007:352)

bahkan distributor. Hal inilah yang kemudian membentuk jins sebagai bagian dari
fashion menjadi begitu menarik untuk diperbincangkan. Selain relasi global sejak
pertama ditemukannya hingga penyebaran produknya saat ini, jins juga menyimpan
banyak makna. Makna tersebut diciptakan oleh berbagai sudut pandang masyarakat
yang direlasikan dengan identitas serta kelas sosial mereka masing-masing.

B. Segmentasi Konsumsi Fashion

“It is clear that the production of consumption approach has difficulty in
addressing the actual practices and experiences of consumption”
(Featherstone, 1995:8)
Sebagai bagian dari kegiatan konsumsi, Fashion tidak bisa lepas dari
segmentasi dan pendekatan. Hal inilah yang kemudian menjadikan Fashion dalam hal
ini celana jins juga tidak serta merta dapat diterima oleh semua kalangan. Featherstone
menerangkan hal itu secara eksplisit bahwa tidak semua hal bisa diterima sebagai
konsumsi oleh konsumen.

“The term ‘lifestyle’ is currently in vogue. While the term has a more restricted
sociological meaning in reference to the distinctive style of life of specific status
groups” (Weber, 1968; Sobel, 1982; Rojek, 1985; via Featherstone, 2007:81)
Selebihnya Featherstone menjelaskan mode atau fashion yang merupakan bagian dari
gaya hidup memiliki aspek sosiologis yang mengacu pada kelompok. Hal ini selaras
dengan definisi fashion sebagai perpanjangan tubuh. Sebagai pembatas atau
penghubung, fashion telah menempatkan dirinya lebih daripada sisi estetika tapi juga
dinamika sosio-kultural.
Fashion sebagai perpanjangan tubuh memiliki makna tersendiri yang dapat
diterima dan diselaraskan oleh masyarakat luas melalui relasi pasar. Melalui hubungan
saling mempengaruhi inilah nantinya tercipta ruang-ruang gerak identitas dalam pasar
itu sendiri. Selain perpanjangan tubuh, fashion juga dapat membawa label ideologi
dalam kemasannya, entah itu bertema agama maupun pro-lingkungan. Hal ini
menggambarkan bagaimana luwesnya fashion di tengah masyarakat global saat ini.
Aspek-aspek diluar estetika seperti politik-ekonomi juga menjadi bagian dari fashion
sendiri. Melihat kondisi itu maka dapat dipahami bahwa fashion dapat hidup dalam
berbagai kelas masyarakat dengan penetrasi pasar terhadap mereka.
Jadi, fashion yang berdiri sebagai entitas di dalam gaya hidup menjadi bagian
penting yang erat hubungannya dengan eksistensi komunal. Eksistensi tersebut muncul
dan mempengaruhi kedudukan fashion sebagai identitas kelompok dan juga sebagai ciri

khas dari suatu kelompok tertentu. Sehingga fashion memiliki makna dan nilai yang
lebih daripada kekuatan estetika dan seni daripada materi fashion sendiri. Pemaknaan
itu muncul sebagai perpanjangan diri dari tubuh selaku ruang lekat bagi fashion untuk
membentuk nilainya. Perpanjangan diri tubuh yang begitu filosofis ini juga nantinya

berkembang menjadi alasan-alasan konsumen jins dalam menentukan pilihan dalam
berpakaian.

C. Fashion dan Gaya Hidup Komunal

Seperti yang diungkapkan Featherstone tentang acuan gaya hidup terhadap
kesepahaman kelompok maka kehidupan fashion dalam masyarakat tidak bisa lepas dari
pengaruh-pengaruh pasar dan selera umum. Perilaku memilih suatu barang seperti
pakaian dan secara khusus celana jins di sini merupakan bagian dari implementasi pasar
terhadap selera masyarakat. Melalui implementasi itu pasar secara mudah mengambil
konsumen untuk kemudian di-“edukasi” dengan berbagai promosi yang menarik.
Penalaran-penalaran yang disampaikan secara halus melalui papan reklame ataupun dari
mulut ke mulut membuat produk jins tetap eksis hingga kini.
Asas komunalisme ini bisa juga dibentuk dengan adanya poros resistensi
terhadap kemapanan. Hal ini bisa diamati dengan menempatkan selera berpakaian para

pegawai iniversitas dengan mahasiswa misalnya, pegawai universitas secara umum
memakai celana bahan kain untuk keseharian mereka, sedangkan mahasiswa pada
umumnya (terlepas dari aturan dari ideologi keagamaan tertentu) menggunakan celana
jins atau semacamnya untuk untuk membentuk border antara mereka dengan pegawai.
Namun, beberapa hal yang tentu penting adalah resistensi itu tidak hanya muncul pada
mahasiswa yang dalam berpakaian saja harus diatur oleh pihak fakultas itu ternyata juga
muncul di beberapa kalangan pegawai yang kemungkinan besar juga tidak ingin ikut
arus dan tunduk terhadap fashion pegawai yang dilegitimasi oleh aturan kantor. Hal ini
dapat dijumpai pada para dosen-dosen dengan karakter khusus, pada umumnya mereka
sudah senior, mereka memakai celana jins atau celana kargo sebagai bagian dari
keseharian mereka. Melihat proses itu dapat diambil gambaran bahwa komunalisme
fashion tidak serta merta bisa dilegitimasi oleh aturan baku, tetapi kembali kepada
selera individu yang dipengaruhi oleh pasar serta selera umum.
Selera umum merupakan efek dari penetrasi pasar terhadap masyarakat yang
diselaraskan secara halus pada tingkat konsumsi masyarakat terendah. Hal ini juga
didukung oleh media promosi yang dapat ditemui di setiap langkah kaki manusia di era
global ini. Kita bisa menemui iklan atau promosi produk pada televisi, media sosial,
baliho, mau pun brosur-brosur liar di berbagai tempat mulai warung hingga kampuskampus perguruan tinggi. Hal ini yang mendukung dan sekaligus mendorong arus
konsumsi masyarakat dari bawah. Efek besar yang ditimbulkan oleh iklan dan media
massa ini menimbulkan selera publik memiliki keseragaman masing-masing tiap

kelompok. Lantaran hal ini yang timbul maka begitu pula segmentasi pasar bekerja
dalam distribusi produk masing-masing.

III.

Determinan Konsumsi: Levi Strauss, Jins, dan Perjalanannya

Levi “Loeb” Strauss lahir di Buttenheim, Bavaria, Jerman pada 26 Februari
1829. Ayah Levi Strauss merupakan pedagang keliling sedangkan ibunya adalah
penjahit. Kemudian Ayah Levi Strauss; Hirch Strauss; memilih untuk mengikuti istrinya
menjadi penjahit. Pada 1845 Hirch meninggal karena TBC, kemudian Levi Strauss
mengambil alih usaha menjahit keluarganya untuk menjaga ekonomi keluarganya.
Namun, dua tahun setelah kematian ayahnya Levi Strauss membawa serta ibunya untuk
mengikuti kakak perempuannya yang hijrah pula ke Amerika, tepatnya di New York.
Tahun 1853, Levi Strauss beranjak ke San Fransisco untuk mencari peruntungan
berdagang pakaian jadi. Baru setelah di San Fransisco dia mulai berpikir untuk menjual
pakaian dengan rancangannya sendiri, tidak hanya membeli dan menjual pakaian jadi.
Dia mencari rekan penjahit di Nevada yaitu Jacob Davis. Suatu hari dia mengalami
kerugian besar karena pakaian yang dijualnya banyak diprotes para pegawai
pertambangan yang menjadi konsumennya. Para pegawai tambang itu mengeluh karena

pakaian yang dijual Levi Strauss mudah rusak. Hal ini membuat Levi Strauss berpikit
ulang untuk menciptakan pakaian dengan bahan yang sesuai dengan pekerjaan
pertambangan.
Akhirnya, Levi Strauss dan Jacob Davis menjadikan bahan denim sebagai
bahan pakaian bagi para penambang tersebut. Denim adalah bahan yang kuat dan
ditemukan oleh Serge de Nimes. Pabriknya di Genoa, Italia. Warna dari produksi bahan
ini ada dua yaitu biru dan cokelat, namun karena masalah biaya maka Levi dan jacob
memilih biru saja. Mereka segera membuat pakaian itu dan mematenkannya. Thaun
1873 adalah awal mula blue jeans bersaing di pasar mode. Hasil yang dicapai juga luar
biasa, pakaian itu laku keras di San Fransisco. Permintaan dari perusahaan
pertambangan dan juga pabrik membludak. Levi Strauss meninggal tahun 1902, empat
tahun kemudian terjadi gempa besar di San Fransisco yang mengguncang pula usaha
pabrik blue jeans Levi Strauss. Hal itu disusul peristiwa Great Deppression 1930 yang
menyebabkan penjualan menurun. Pada masa ini brand Levi’s dipimpin oleh Walter
Hass, cicit Levi Strauss. Walter Hass kemudian menaikkan penjualan dengan cara
mempromosikan Levi’s lewat film-film cowboy yang sedang menggemuruh di Amerika
masa itu. Sejak saat itu pula Levi’s terkenal dengan lambang dua cowboy-nya.
Pada tahun 1950 Levi’s mulai melebarkan sayap ke luar Amerika. Mereka
menyerang pasar Eropa dengan segmen anak muda sebagai sasaran. Hal ini terbukti
sukses besar hingga pada tahun 1970 brand ini masuk Asia melalui Tokyo. Kini brand

ini telah punya pabrik di 40 negara dan menjual produknya ke 70 negara. Hal inilah
yang menyebabkan brand legendaris ini kemudian menjadi trendsetter pakaian
berbahan dasar denim. Tampilan casual anak-anak muda hampir di berbagai belahan
dunia lekat dengan celana jins baik dari brand Levi’s maupun lainnya.

IV.

Makna Jins Bagi Mahasiswa

“ Ha menurutku ki celono jins kuwi yo kepenak wae, tinimbang celono bahan
ketokmen terlalu formal dienggo”
(Menurut Saya, celana jeans itu enak aja dipakai, daripada celana bahan/kain
yang terlihat terlalu formal)
- Bayu Primardhiyatno, 21 tahun, Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM 2
Penggalan kilas pendapat dari Bayu di atas sedikit banyak menunjukan alasan
kenapa mahasiswa memilih jins sebagai pelengkap diri dalam berbusana. Jawaban Bayu
yang menyebut “enak aja” menunjukan ada nilai yang tidak bisa dijelaskan dalam jins
terkait penilaian konsumen. Hal ini bisa saja berarti jins dan konsumennya telah lama
melebur sehingga kenyamanan yang dirasakan seolah tidak nampak. Hal ini berbeda
dengan jawaban responden lain yaitu Ainalia K. Anjani, mahasiswi tingkat akhir dari

jurusan Pariwisata UGM ini mengungkapkan bahwa celana jeans memiliki dua sisi
kenyamanan. Pertama, jika diukur dari penampilan dan komposisi pakaian maka jins
lebih fleksibel karena cocok dengan kemeja atau kaos apapun. Kedua, jika dilihat dari
segi kenyamanan sebenarnya relatif, karena jika cuaca panas jins justru makin membuat
gerah, sedangkan jika kehujanan jins justru berat dan reatif susah kering. Setidaknya itu
gambaran jins dari sudut pandang mahasiswa saat ini.
Kedua responden di atas memiliki dua perspektif berbeda dalam menilai dan
memaknai jins. Peran jins sebagai sekedar pakaian dan juga sebagai fashion adalah garis
pembedanya.
Memang jins pada mulanya dialamatkan kepada para pegawai
pertambangan oleh Levi Strauss dan Jacob, namun pada fase kebangkitannya oleh
Walter Hass jins dialamatkan kepada pasar yang lebih luas yaitu pemuda melalui film.
Di Indonesia juga hampir sama, karena pengaruh utama dari jeans menurut refleksi
pengalaman Saya sendiri juga berasal dari media. Media membawa jins sebagai barang
yang global dan kemudian dinikmati bersama-sama melalui gaya hidup modern pada
masanya.
“It becomes a kind of common sense, and usually in such cases this is
accompanied by a simple narrative that explains why this should be – if people
can even be bothered to ask or answer the question why jeans are ubiquitous.
In the case of jeans, the common sense story arises from the popular histories
of jeans as the rise of an American icon that makes the global spread of jeans
come to appear inexorable” (Sullivan, 2006 ; Miller and Woodward, 2011:9)

2

Wawancara tanggal 26 Desember 2015

Melalui pendapat Sullivan dalam Global Denim tersebut dinyatakan bahwa
penyebaran jins di seluruh dunia tidak lepas dari jins sebagai ikon dari Amerika Serikat.
Jins yang dimaknai sebagai ikon suatu negara besar dan kebetulan menguasai
pergerakan pasar konsumsi dunia memiliki pengaruh yang besar terhadap konsumen
dan pasar. Secara historis memang jins memiliki kedalaman yang erat terhadap
masyarakat kelas pekerja di Amerika dan ini yang kemudian menjadikan jins sebagai
pemaknaan tandingan terhadap celana jenis lain yang dipakai mereka yang hidup dalam
kelas yang lebih tinggi. Dalam hal ini pemaknaan jins diartikan sebagai penanda suatu
kelas, dan itu lebih besar perannya daripada sekadar pakaian sehari-hari. Melalui
kesadaran kelas ini kemudian jins bermetamorfosis menjadi suatu produk dagang yang
mudah diterima karena begitu besarnya jumlah kelas pekerja di dunia ini. Pemaknaan
ini tentu berbeda dengan pemaknaan mahasiswa yang mengartikan jins sebagai penanda
tingkat mereka sebagai pelajar dan pemuda, keduanya didasari oleh usia dan tingkat
pendidikan.
Keyakinan terhadap jins sebagai bagian dari identitas kelas suatu kelompok
menjadi semakin kuat ketika produk ini juga dijadikan referensi oleh beberapa musisi
yang bergerak di genre Rock untuk menampilkan kebebasan dan semangat antikemapanan mereka. Pemaknaan jins di Indonesia menjadi kian kait-kelindan dan
beragam oleh karena banyaknya semangat ideologi yang dibawa oleh pengguna jins.
Namun menurut interpretasi Saya hal ini masuk akal karena dalam suasana persaingan
pasar dan juga persaingan identitas di kalangan masyarakat diperlukan suatu penanda
yang sekaligus memiliki kekuatan historis untuk dapat menunjang popularitas.
Popularitas yang terbentuk dalam semangat gaya hidup kelompok seperti yang
ditandaskan Featherstone tadi kemudian membangun kembali suatu identitas-identitas
baru, begitus seterusnya. Hal ini bisa diambil dari contoh bahwa sekarang sudah dijual
jins dengan kondisi jebol di sana-sini serta berwarna kumal atau tidak lagi biru. Padahal
dahulu untuk mencapai tahap jebol dan kumal seseorang harus memakai blue jeans-nya
hingga bertahun-tahun tidak dicuci, jebol di bagian lutut menjadi trend tersendiri bagi
mereka. Hal itulah yang Saya sebut bahwa popularitas akan membentuk identitas baru
dari jins tadi, selebihnya tentu saja ada pula pemaknaan baru yang ditemui dalam
produk-produk jins lainnya.

V.

Kesimpulan

Melihat fenomena jins yang berakar dari San Fransisco lalu melakukan
determinasi hingga perempatan Mirota Kampus Terban, Yogyakarta dan banyak lagi
tukang vermak jins (jeans) di Indonesia maka dapat dikatakan bahwa jins adalah bagian
dari proses multi-dimensi globalisasi. Selebihnya jins masuk dalam ranah gaya hidup
yang mengakar melalui fashion. Pergerakan jins sebagai produk fashion telah
berpengaruh bagi berbagai kalangan tanpa disadari. Jins menjadi identitas anak muda
atau lebih spesifik yaitu “mahasiswa” dan menjadi pembatas antara mereka dengan
kelompok yang bercelana kain atau dapat disebut “orang kantoran”. Jins menjadi suatu
inspirasi anak-anak muda Indonesia yang juga bagian dari Global’s Youth untuk
bergerak dalam bisnis fashion berbaha dasar denim. Jins juga lekat dengan musik dan
gaya berpakaian musisi atau seniman. Meski sering dianggap tidak formal atau kurang
sopan oleh beberapa dosen yang memiliki pola pikir borjuis, tapi mahasiswa-mahasiswi
di tempat Saya belajar masih senantiasa memakai jins berbagai merk dan berbagai
model untuk mempertahankan eksistensi kemudaan mereka.
Pasang surut dunia fashion di Indonesia dari masa 1980-an hingga kini
berjibaku dengan fashion islami yang sedang bergelora di kalangan anak muda Muslim
tidak serta merta menenggelamkan jins. Pernah ada masa di mana skinny pants dan hot
pants merajai kancah perbusanaan anak muda yang mudah diamati saat kita pergi ke
pusat perbelanjaan, tapi keduanya tidak bertahan lama. Jins tetap punya pasarnya
sendiri. Menurut Saya, jins memiliki makna kebebasan dan petualangan, walaupun
dalam kegiatan berpetualang bahan denim dan konstruksi jahitan jins tidak
direkomendasikan karena kasar dan berpori-pori besar tetapi tetap saja kekumalan jins
adalah salah satu nilai lebih dari jins milik mahasiswa. Bahkan seringkali mahasiswa
membiarkan jins kesayangannya tidak dicuci hingga beberapa semester dan juga
berlubang di sana-sini. Seolah mereka terlalu berat hati untuk membuang jins yang telah
tidak layak pakai. Hal ini mungkin saja terjadi karena bahan denim merupakan bahan
yang fleksibel baik saat menjadi jins ataupun menjadi kain pembersih dan lain
sebagainya.
Jadi, jins sebagai produk fashion yang menyebar di berbagai belahan dunia
memiliki pemaknaan yang berbeda bagi para konsumennya. Eksistensi jins tergantung
pada segmen pasar dan mereka yang memaknai jins sebagai perpanjangan tubuh dari
suatu kelompok. Jins juga tidak hanya sekedar pakaian tetapi juga penanda atau
identitas pada suatu kelompok tersebut. Kelompok yang pada umumnya adalah anak
muda, mahasiswa atau pun orang-orang yang tidak termasuk dalam keduanya tetapi
memiliki jiwa muda tersebut adalah salah satu perluasan makna jins yang awalnya
ditujukan kepada para pekerja tambang. Melihat hal itu maka peran jins dalam
pergerakan fashion khususnya di Indonesia sangatlah berarti. Bahkan jins bisa
menentukan suatu fase kehidupan orang, ketika suatu individu memakai jins bisa
dikatakan bahwa dia hidup dalam ruang global karena jins adalah salah satu produk
globalisasi. Itulah fenomena jins yang bergerak dalam determinasi konsumsi baik
sebagai materi maupun sebagai benda yang dimaknai oleh manusia.

VI.

Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Ramainya Permak Jeans di Kawasan Mirota Kampus UGM. Berita
diunduh dari http://bisnisukm.com/ramainya-permak-jeans-di-kawasan-mirotakampus-ugm.html ( tanggal 26 Desember 2015, pukul 22.25 WIB)
Anonim. Levi Strauss Biography. Diunduh dari http://www.biography.com/people/levistrauss-9496989 (tanggal 26 Desember, pukul 20.45 WIB)
Berek, Dominikus Isak Petrus. 2014. Fashion Sebagai Komunikasi Identitas Sub
Budaya:Kajian Fenomenologis terhadap Komunitas Street Punk Semarang. Jurnal
Interaksi, Vol. III No.1 Januari 2014, Hal. 56-66
Deny, Septian. Kisah Mahasiswa Sukses Rintis Bisnis Celana Jeans “Brother Denim”.
Berita diunduh dari http://bisnis.liputan6.com/read/740400/kisah-mahasiswasukses-rintis-bisnis-celana-jeans-brother-denim (tanggal 26 Desember 2015, pukul
18.34 WIB)
Featherstone, Mike. 1990. Perspective On Consumer Culture. Sage Publications
(diunduh dari http://www.jstor.org/stable/42854622 pada tanggal 16 Juni 2015
pukul 20:17 WIB)
Featherstone, Mike. 2007. Consumer Culture and Postmodernism (Second Edition).
London: Sage
Nainggolan, Parlin. 2010. Mengenal Kembali Sejarah Blue Jeans, Levi’s. Artikel
diunduh dari http://www.kompasiana.com/parlin_nainggolan/mengenal-kembalisejarah-blue-jeans-levi-s_5500068da33311227050f98a (tanggal 26 Desember 2015,
pukul 19.56 WIB)

Mansvelt, Juliana. 2005. Geographies of Consumption. London:Sage
Miller, Daniel and Sophie Woodward. 2011. Global Denim. Oxford and New
York:Berg
Ritzer, George (ed.).2007. The Blackwell Companion to Globalization. Oxford:Blackwell
Publishing

Savitrie, Dian. 2008. Pola Perilaku Pembelian ... Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Diunduh dari www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126658-6027Pola%20perilaku... (tanggal 26 Desember 2015. Pukul 22.15 WIB)

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24