Demokrasi Anti Kritik Duta Masyarakat

Demokrasi Anti Kritik
FAJAR KURNIANTO
Demokrasi berarti kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Pemerintah hanyalah
instrumen kerja rakyat untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam hidup dan
kehidupannya. Sebagai hanya instrumen, pemerintah sudah semestinya bekerja sesuai dengan
visi dan misi yang dicita-citakan rakyat. Dan, ketika kerja pemerintah tidak sesuai dengan visi
dan misi rakyat, pemerintah harus rela dan siap dikritik. Dengan kata lain, dalam negara
demokrasi, kritik tidak hanya perlu, tapi wajib.
Antikritik
Pemerintah saat ini seolah-olah lupa jati dirinya yang sebatas instrumen rakyat.
Akibatnya, tidak hanya langkah kerja yang lambat dan cenderung makin membuat rakyat tambah
menderita, tetapi langkah-langkah pemerintah pun kian berani sedikit demi sedikit membungkam
aspirasi dan suara-suara rakyat, terutama kritik. Padahal, pemerintah (baca: presiden) dipilih oleh
rakyat secara langsung. Logika sederhananya, bukankah itu berarti pula bahwa rakyat berhak
meluruskan pemerintah yang dipilihnya ketika dinilai sudah menyimpang, dengan jalan kritik?
Sayangnya, pemerintah tidak siap dikritik. Terbukti sudah, janji-janji pada masa
kampanye hanya untuk memburu kekuasaan, memanfaatkan daulat rakyat. Setelah kekuasaan
didapatkan, tuntutan rakyat yang dulu dijanjikan akan direalisasikan, dilupakan. Suara-suara
kritik rakyat dibungkam dan ditanggapi dengan nada emosional dan cenderung memperlihatkan
pembelaan diri, bukannya berterimakasih pada rakyat yang mengkritik kekurangan-kekurangan
kerja pemerintah.

Aksi cabut mandat yang digelar oleh tokoh-tokoh nasional dan Malapetaka Lima Belas
Januari (Malari) di bundaran Hotel Indonesia (HI) pertengahan Januari lalu dalam rangka
memperingati peristiwa Malari ditanggapi secara emosional. Mulai tanggapan bahwa aksi itu
inkonstitusional dan mencederai proses demokratisasi, hingga isu kudeta atau makar terhadap
pemerintah.
Beberapa waktu sebelumnya, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, dalam acara
nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bali menyatakan bahwa pemerintah

saat ini hanya tebar pesona, tidak tebar kinerja. Pemerintah balas menjawab bahwa yang
menyatakan itu justru yang tidak bekerja, hanya bersantai-santai saja. Bisanya, hanya
mengkritik. Sadarkah pemerintah bahwa sebagai oposisi pemerintah, memang itulah yang harus
diungkapkan PDIP?
Belum lama ini, acara parodi politik bertajuk Newsdotcom yang ditayangkan sebuah
stasiun televisi swasta nasional sempat akan disomasi pemerintah, tepatnya oleh Menteri
Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Sofyan Djalil, meski akhirnya urung dilakukan. Sang
menteri menilai acara itu terlalu kelewat batas, sehingga harus sedikit “dibatasi”. Padahal, hal
yang sama tidak dilakukan pada acara-acara televisi berbau kekerasan, mistik, pornografi, gosip,
atau lainnya, yang aspek edukasinya kurang.
Realitas ini kian meneguhkan persepsi dan gambaran sekaligus bukti bahwa pemerintah
memang antikritik. Pemerintah menjadikan kritik bukan sebagai obat, tetapi penyakit yang harus

dihilangkan. Tersirat jelas, meski absah lahir dari proses demokrasi (pemilu), pemerintah
mencoba melangkah mundur kembali ke otoritarianisme seperti era Orde Lama (Orla) dan Orde
Baru (Orba). Memori kita tidak akan melupakan bagaimana dua orde itu terang-terangan
memberangus kebebasan berbicara. Tidak segan-segan, untuk itu, kekuatan militer dijadikan
ujung tombak untuk menangkap para aktivis dan tokoh-tokoh kritis.
Negarawan Sejati
Membaca realitas di atas, rakyat kembali “patah hati”. Karena, ternyata, yang diharapkan
mampu membawa bangsa ini ke depan yang lebih baik, masih —meminjam istilah Amien Rais—
istikamah (konsisten) dalam pengertian tetap jalan di tempat. Pengangguran, kemiskinan, dan
lainnya, tetap belum terselesaikan. Bahkan, cenderung mengalami peningkatan.
Dengan kritik, diharapkan pemerintah mawas dan sadar diri. Ternyata, harapan itu bak
bertepuk sebelah tangan. Semakin dikritik, pemerintah semakin “garang” dan merah telinga,
bukannya bersyukur dan berterimakasih telah diingatkan.
Rakyat, pada titik ini, kembali mendambakan sosok pemimpin pemerintah “baru” karena
pemimpin saat ini tidak sesuai dengan harapan, antikritik pula. Rakyat mendambakan pemimpin
yang negarawan sejati. Ia adalah sosok yang tidak antikritik, bahkan membalas kritik dengan
peningkatan kerja dan kinerja, di samping tidak pernah tersinggung dengan kritik, sekeras dan

sepedas apapun itu. Jika Anda sosok seperti itu, tidak hanya pada saat kampanye politik, siapsiaplah menerima mandat kepemimpinan pilihan rakyat pada pemilu mendatang.
Pemimpin saat ini jangan segan terus belajar menjadi negarawan sejati yang tidak

antikritik. Selang beberapa saat setelah pengangkatannya sebagai khalifah (kepala pemerintah),
‘Umar bin Khaththab berpidato di hadapan segenap warga Madinah, “Wahai warga Madinah,
kalian telah memilihku menjadi pemimpin. Apabila kalian melihat kinerja dan kerja
kepemimpinanku tidak sesuai dengan aturan yang berlaku atau menyimpang, luruskanlah dengan
kritik dan saran.”
Mendengar pidato ini, seorang warga Madinah bangkit dari tempat duduknya lalu berdiri.
Sambil mengacungkan pedangnya ke atas, ia bersuara lantang, “Wahai ‘Umar, jika kami melihat
engkau menyimpang dan menyalahi segala aturan yang berlaku, maka kami akan kritik dan
luruskan dengan pedang-pedang kami.” Mendengar itu, ‘Umar berkata pendek, “Segala puji
hanya bagi Tuhan yang telah menjadikan salah seorang di antara warga Madinah pengikut Rasul
ini sebagai pengkritik tegas untuk meluruskan perilaku menyimpang ‘Umar dengan pedangnya.”
Kita berharap, pemerintah tidak antikritik, karena beberapa hal. Pertama, daulat
sepenuhnya berada di tangan rakyat. Maka rakyat berhak menyuarakan suara-suara kritik
terhadap pemerintah. Kedua, konstitusi menjamin kebebasan berbicara, berpendapat, dan
berserikat (Pasal 27 UUD 1945). Inilah jaminan nyata yang memberi tempat buat kritik. Dan,
ketiga, komitmen pemerintah, terutama di awal tahun ini menyatakan, “Tiada dusta di antara
kita.” Artinya, untuk melihat ada tidaknya dusta pemerintah, rakyat berhak bersuara.
Pertanyaannya, sadarkah pemerintah saat ini bahwa ia tengah mengurus sebuah negara
demokrasi yang meniscayakan adanya kritik, tanpa perlu merah telinga dan tersinggung? Kalau
tidak, berarti negara ini adalah negara demokrasi antikritik!

*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Kamis 5 April 2007