DEMOKRASI, OTONOMI DAN FENOMENA POLITIK DINASTI PADA PILKADA DI ERA REFORMASI
DEMOKRASI, OTONOMI DAN FENOMENA POLITIK DINASTI PADA PILKADA DI ERA REFORMASI
Dadi Junaedi Iskandar
STIA Bagasasi Bandung e-mail: kang.dadijunaedi@yahoo.com
Abstrak
Musuh pertama republik adalah absolutisme yang mengejawantah dalam praktik pemerintahan raja-raja: politik dinasti diturunkan dari sistem politik seperti itu. Padahal dalam paham demokrasi, kekuasaan diproduksi secara sosial melalui suatu mekanisme demokratis dan partisipatif, bukan diturunkan secara biologis. Nilai-nilai dan semangat egalitarian memupus cara pandang feodal; sementara kehidupan politik rakyat harus berada dan senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat, sehingga makna kedaulatan rakyat tercermin dalam mekanisme dan prosedur demokrasi empiris, termasuk dalam proses politik dan penyelenggaran suatu pemilihan umum atau pilkada.
Ini berarti, semangat kerepublikan dan semangat demokrasi menjadi unsur penting bagi penanda kedaulatan rakyat, di mana emansipasi politik merupakan penanda adanya penentangan yang serius terhadap politik dinasti. Sebab, sejatinya sasaran dan substansi pemilukada merupakan suatu kesempatan memberi dan memperoleh legitimasi politik agar wajah demokrasi dan kepemimpinan lokal benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat di daerah dalam wujud penampilan politik yang sehat.
Kata Kunci: Otonomi Daerah, Demokrasi, Dinasti Politik
Democracy Authority and Dynasty Political Phenomena in the Election of Region Leader in the Reformation Era
Abstract
The fisrt enemy of republic is absolution which conducted in the application of Kings government: political dynasty comes from that political system like that. The concept of democracy, authority is produced by participative and democratic mechanism not by heredity, values and egalitarian spirit eliminate feudalism view; meanwhile the life of political’s people most exist and always control by people, and then people’s sovereignty realize in mechanism and empirical people procedure, including in the political process and realization of the general or regional leader election.
It means, republican and democratic spirit will be important element for people sovereignty indication, where as political emancipation is an indication of serious oppose toward political’s dynasty. Because the real target in the election of regional leader substantively is opportunity to give and to get political legitimation in other democracy countenance and local leadership are the truth of reflection from people aspiration of region in the shape of fair political performance.
Key Words: Local Autonomy, Democracy and Political Dynasty
A. PENDAHULUAN
Otonomi daerah dan demokrasi merupakan isu sentral yang mewarnai dunia
Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasca politik di Indonesia. Gema demokrasi yang lengsernya rezim politik Orde Baru di bawah melekat dalam politik otonomi daerah telah kepemimpinan Presiden Soeharto, serta merta merembes ke berbagai penjuru tanah air. mengalami perubahan politik yang sedemikian Kehadirannya turut memberi warna baru rupa. Salah satu fenomena penting adalah terjadinya pergeseran yang sangat signifikan dalam dinamika perpolitikan pascareformasi
di Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan dilihat dari sudut pandang perubahan politik proses pemilihan kepala daerah secara langsung. dan pemerintahan yaitu dari pola politik dan
Sejarah Indonesia, ibaratnya baru saja pemerintahan yang sebelumnya sentralistis ke dimulai. Sejak era reformasi, negara dan desentralistis. Momentum perubahan tersebut
bangsa Indonesia mulai memasuki era transisi disebut banyak pihak sebagai era reformasi, politik yang ditandai dengan munculnya era yang bergulir sejak Mei 1998.
Jurnal
Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
masyarakat di daerah, ternyata memunculkan undang-undang politik lahir di zaman reformasi
pula adanya perubahan dalam proses pemilihan yang mengaspirasikan kehendak rakyat.
kepala daerah tersebut, telah mengubah Dapat dikemukakan di sini, terdapat dua
bangunan dan dinamika demokrasi di tingkat undang-undang penting sebagai kerangka
lokal.
landasan utama perubahan paradigma politik Hampir setiap daerah memahami, mem- dan pemerintahan di Indonesia, yaitu UU No 22
persepsikan dan mensikapi secara variatif, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
terutama di kalangan elite politik dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
pemerintahan di daerah. Misalnya saja, mereka Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
mempersepsikan otonomi sebagai momentum Ke dua undang-undang tersebut sering disebut
untuk memenuhi keinginan-keinginan daerah- sebagai undang-undang otonomi daerah.
nya sendiri dan kurang memperhatikan konteks Dalam kurun lima tahun berikutnya sejak
yang lebih luas, yaitu kepentingan negara secara disahkannya ke dua undang-undang tersebut,
keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang kemudian keduanya direvisi: UU No 22 Tahun
berdekatan.
1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU Penyelenggaraan otonomi daerah dan No 32 Tahun 2004; dan UU No 25 Tahun 1999
desentralisasi ternyata tidak semudah yang menjadi UU No 33/2004 tentang Perimbangan
dibayangkan. Banyak permasalahan muncul Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
karena kemampuan daerah-daerah yang Sejak saat itu, undang-undang mengenai
variatif. Situasi dan kondisi tersebut ternyata otonomi daerah dan peraturan-peraturan
turut memicu munculnya beberapa gejala negatif terkait lainnya, selain sebagai sebuah dokumen
yang merisaukan antara lain berkembangnya politik penting dalam tatanan kehidupan di
sentimen primordial, menggejalanya konflik negeri ini, sekaligus juga merupakan suatu
antardaerah, kecenderungan munculnya virus kewajiban bagi pemerintah tiap daerah (Kota/
KKN di daerah dengan munculnya istilah “raja- Kabupaten) untuk melaksanakannya. Tentu
raja kecil” di daerah, konflik antarpenduduk, saja, serentak setelah hadirnya ke dua undang-
dan eksploitasi sumber daya alam secara undang tersebut melahirkan pula konsekuensi-
berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian konsekuensi baru, baik secara politis maupun
lingkungan dan kehidupan (pembangunan secara administrasi, khususnya dalam
berwawasan lingkungan).
pengelolaan manajemen pemerintahan dan Salah satu perkembangan menarik dalam pembangunan di Indonesia.
fenomena perpolitikan di tingkat lokal adalah Intinya, politik dan pemerintahan yang
berkembangnya isu, fenomena dan problem sebelumnya berbobot sentralistis menjadi
politik dinasti dalam kehidupan demokrasi terdesentralisasi, demikian halnya dalam
di beberapa daerah di Indonesia, manakala masalah pembangunan. “Kue” pembangunan
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang sebelumnya lebih banyak dirasakan di
secara langsung (Pilkada). Sistem reproduksi Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat
kekuasaan demokrasi mengalami anomali dan pemerintahan, belakangan semakin menetes
manipulasi demokrasi, sehingga mengesankan ke daerah. Kondisi ini, secara politik maupun
adanya sikap perilaku dan pandangan politik realitas empirik telah pula mengurangi rasa
yang cenderung mementingkan diri sendiri ketidakpuasan dari banyak daerah di Indonesia.
(autarkhi). Dalam hal ini, ada gejala dan Namun implikasinya, dalam banyak kasus
kecenderungan yang mungkin saja diakibatkan dan peristiwa, lahirnya ke dua undang-
oleh berbagai stimulasi di mana elite daerah undang tersebut disikapi secara bergairah oleh
yang sedang berkuasa;yang disadari atau tidak, lapisan masyarakat dan pemegang tampuk
terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, pemerintahan di daerah.
mendorong sanak keluarga elite-elite lama Terkait dengan keberadaan UU No 22
untuk terus memegang kekuasaan berdasar Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU
keturunan dari para pendahulu mereka. No 32 Tahun 2004, khususnya yang mengatur
Timbul suatu pertanyaan, mengapa dalam tentang sistem pemilihan kepala daerah dan
era di mana sedang terjadi suatu proses pem- wakil kepala daerah dari dipilih oleh DPRD
bangunan politik yang kepada “pergerakkan
Jurnal
Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015
di daerah dalam mengelola rumah tangganya yang dianggap kontraproduktif bila dilihat
sendiri.
dari makna demokrasi sebagai emansipasi Menurut Bowman dan Hampton (1983) politik. Kaum elite yang mempunyai otonomi
alasan mendasar kenapa perlu dilaksanakan dan kekuasaan seakan-akan secara serta-
desentralisasi dari pemerintahan pusat atau merta menjelma menjadi aktor yang autarkhis?
nasional kepada pemerintahan daerah adalah Padahal dalam “permainan” demokrasi setiap
karena sebuah pertimbangan bahwa tiada satu aktor bisa mendapatkan sesuatu secara lebih
pun pemerintah dari suatu negara dengan efektif dengan cara tidak mementingkan diri
wilayah yang luas dapat menentukan kebijakan sendiri.
secara efektif ataupun dapat melaksanakan Kecanggihan berpikir politik dan kebijaksanaan dan program-programnya secara kemampuan mengotak-atik celah-celah prinsip
efisien melalui sistem sentralisasi (Kausar, demokrasi dengan memperkembangkan politik
dinasti atas dasar tujuan jangka pendek dapat Secara filosofis keberadaan pemerintah menjadi preseden buruk munculnya dinasti
daerah dengan otonominya ditujukan untuk politik. Gejalanya antara lain dengan melakukan
mencapai dua tujuan utama yaitu; tujuan penyesuaian terhadap etik demokrasi modern
politis dan tujuan administratif (Smith, 1983, dengan cara mempersiapkan putra-putri, sanak-
Rondinelli, 1985, Maddick, 1963). Tujuan politis saudara, istri/suami, keponakan mereka dalam
akan memosisikan Pemda sebagai instrumen sistem pendidikan dan rekruitmen politik
pendidikan politik di tingkat lokal yang secara yang sedemikian dini, dapat menjadi hal yang
agregat akan menyumbangkan pendidikan berbahaya dalam sistem reproduksi kekuasaan.
politik secara nasional sebagai elemen dasar Tentu saja, hal ini akan menjadi
dalam menciptakan kesatuan dan persatuan kontraproduktif dengan semangat demokrasi.
berbangsa dan bernegara. Pemberian otonomi Kehidupan politik tersorong ke arah kondisi
dan pembentukan institusi Pemda akan dan suasana politik masa lampau yang mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah
mengandalkan darah dan keturunan dari kecenderungan sentrifugal dalam bentuk segelintir orang, sedang di pihak lain muali
pemisahan diri (Smith, 1985). abai terhadap peran publik (polis) sebagai
Menurut Rasyid (2000:78), pengertian hakikat dan pertimbangan demokrasi empiris.
desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya Bukankah musuh pertama republik adalah
mempunyai tempat masing-masing. Istilah absolutisme yang mengejawantah dalam praktik
otonomi lebih cenderung pada political pemerintahan raja-raja; dan sejatinya politik
aspect (aspek politik-kekuasaan negara), dinasti diturunkan dari sistem politik seperti
sedangkan desentralisasi lebih cenderung itu?
pada administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun jika dilihat dari konteks sharing
B. DEMOKRASI DAN OTONOMI
power (berbagi kekuasaan), dalam praktiknya kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan
Di era reformasi dan demokratisasi maka pemencaran kekuasaan atau desentralisasi
yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga menurut Zuhro (dalam Deswanty, 2012:75)
kekuasaan menjadi sangat penting dilakukan, karena melalui pemencaran kekuasaan secara
otonomi daerah bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, transparan
sentrifugal maka akan terjadi perubahan paradigma dari manifestasi kekuasaan yang
dan bertanggung jawab, dan pemilihan kepala daerah diharapkan bisa melahirkan pemimpin
sentralistik di mana negara menjadi sangat kuat namun rakyat lemah dan miskin.
yang menjamin terselenggaranya pemerintahan yang baik.
Sedangkan model desentralistik yaitu adanya pola pengaturan dan pembagian kewenangan
Sejarah mencatat, pilkada telah dilakukan dalam tiga sistem, yakni: 1) sistem penunjukan/
fungsi dan tanggung jawab kepada daerah secara seimbang, sehingga terdapat pengaturan
pengangkatan oleh pemerintah pusat, seperti terjadi pada masa kolonial Belanda dan Jepang
kekuasaan yang tepat antara pemerintah pusat dan daerah dengan maksud untuk meningkatkan
(UU No 27/1902), UU No 22/1948, Penetapan Presiden No 6/1959 jo Penetapan Presiden
Jurnal
Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
No 5/1960; 2) sistem pemilihan perwakilan rekruitmen secara terbuka, sehingga menutup semu (UU No 5/1974); dan 3) sistem pemilihan
ruang kompetisi. Akibatnya, tidak semua orang perwakilan (UU No 18/1965 dan UU No
(kelompok) orang mempunyai hak dan peluang 22/1999). Penerapan UU No 22/1948 maupun
yang sama; keempat, lemahnya akuntabilitas Penetapan Presiden No 6/1959 jo Penetapan
publik kepala daerah.
Presiden No 5/1960 disertai alasan “situasi Perubahan politik dalam konstelasi yang memaksa”.
perpolitikan di Indonesia pasca tumbangnya Ke tiga sistem di atas memiliki kelemahan
rezim Orde Baru telah mulai memasuki era dengan derajat yang variatif. Sistem penunjukan/
liberalisasi politik menuju sistem politik yang pengangkatan mengandung subyektivitas
demokratis. Direvisinya UU No 22/1999 dan diskriminasi yang kental dengan KKN
tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Para kepala
32/2004, khususnya yang mengatur tentang daerah terpilih sangat tunduk pada pusat, dan
sistem pemilihan kepala daerah dan wakil sebagian besar terindentifikasi sebagai keluarga
kepala daerah dari dipilih oleh DPRD menjadi kepala daerah terdahulu. Penelitian Sutherland
sistem pemilihan langsung oleh masyarakat (1979) menunjukkan, pada tahun 1930, dari 75
di daerah, menjadi momentum penting orang bupati, 30 orang menggantikan ayahnya,
dinamika demokrasi empiris di Indonesia.
3 orang menggantikan mertuanya, 24 orang Perubahan dalam proses pemilihan kepala berasal dari kabupaten lain, dan hanya 18 orang
daerah tersebut, telah mengubah bangunan dan yang tidak mempunyai pertalian kekeluargaan
dinamika demokrasi di tingkat lokal, sehingga dengan seorang bupati dari garis kakek atau
melalui proses pemilihan kepala daerah secara ayah mertua.
langsung menandai popularitas paradigma Dalam pemilihan perwakilan semu (UU
demokrasi partisipatoris dan sekaligus surutnya No 4/1975) juga ditemukan penyimpangan
popularitas paradigma demokrasi representatif. yang cukup menarik, bahwa rekrutmen politik
Berbanding terbalik dengan hal lokal ditentukan oleh orang Jakarta, khususnya
tersebut, Deutch (1974) mengatakan, ‘jika kita pejabat Depdagri untuk pengisian jabatan
menginginkan suatu pemerintahan itu semakin bupati, walikota, sekretaris daerah, dan kepala-
berkuasa agar dapat melakukan sesuatu yang kepala dinas di provinsi. Sementara untuk
disetujui sebagian besar rakyat sehingga bisa jabatan gubernur ditentukan oleh Depdagri,
tercapai tujuan-tujuan umum, maka semakin Markas Besar TNI, dan Sekretariat Negara
tunggal dan sentralisasi seharusnya bentuk (Depdagri, 2002 : 38).
pemerintahan tersebut, dan jika semakin besar Data Depdagri tahun 1994 misalnya
penduduk dan wilayah geografinya yang menunjukkan, 127 orang (42,61%) dari
menjadi tanggung jawabnya secara langsung, seluruh bupati/walikota berasal dari ABRI
tetapi jika kita menginginkan pemerintahan itu (sekarang TNI), sedangkan yang berasal dari
mampu menjawab secara cepat dan tepat semua sipil berjumlah 171 orang. Komposisi jumlah
kebutuhan pelbagai kelompok masyarakat dan bupati/walikota dari ABRI semakin besar dan
daerah, maka bentuk pemerintahan tersebut mencapai puncaknya, menjelang kejatuhan
seharusnya semakin desentralisasi dan sesuai rezim Soeharto. Jumlahnya lebih besar dar
dengan daerahnya’.
jumlah sipil. Proses demokrasi dan otonomi tersebut Data tersebut mengindikasikan, bahwa
memberi sosok dan nuansa baru dalam pengisian kepala daerah dengan sistem
paradigma penyelenggaraan pembangunan penunjukkan/pengangkatan dan sistem politik. Dalam kaitan ini, paradigma demokrasi perwakilan semu mengandung kelemahan,
partisipatoris menemukan makna secara yang dalam konteks demokrasi termasuk
empiris dalam proses dan mekanisme dinamika kategori substansial, yakni: pertama, tiadanya
politik lokal, hal ini misalnya terlihat secara mekanisme pemilihan yang teratur dengan
nyata dalam penerapan sistem pemilihan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur,
kepala daerah secara langsung, sebagaimana dan adil; kedua, sempitnya rotasi kekuasaan,
diamanatkan oleh UU No 32/2004 tentang sehingga jabatan kepala daerah dipegang
Pemerintahan Daerah.
terus-menerus oleh seseorang, atau keluarga, Sebagai suatu proses atau serangkaian dan atau dari partai tertentu; ketiga, tiadanya
usaha untuk mencapai suatu cita-cita,
Jurnal
Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015
dalam pemilu atau pilkada, diyakini sebagai membangun dan mengembangkan demokrasi
jalan membuka pintu gerbang pencerahan, maka nilai-nilai kebebasan, perkembangan
pembaruan dan penyegaran kinerja politik manusia dan perlindungan harkat dan martabat
(political performance).
kemanusiaan harus merupakan bagian integral Lahirnya UU No 32/2004 tentang Sistem dari penerapan filosofi demokrasi, baik dalam
Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar struktur, aktor maupun sistem yang dibangun
hukum dan landasan otonomi daerah menjadi dan dikembangkan. Di dalam menjalankan
angin segar untuk mewujudkan demokratisasi di pemerintahan atau untuk memerintah misalnya,
berbagai daerah di Indonesia. Dalam perspektif maka pelaksanaannya harus mendapat mandat
politik, undang-undang tersebut secara eksplisit dari yang pemegang kedaulatan yakni
menunjukkan adanya perubahan paradigma rakyat.
manajemen politik dan pemerintahan, dari yang Pertumbuhan dan perkembangan asalnya sentralistis menjadi desentralistis. demokratisasi tidak dapat dilepaskan dari
Hal tersebut relevan dengan pendapat fondamen utamanya yang mendukung
Manan (2004: 3) yang menyatakan bahwa kehidupan yang demokratis, yaitu kebudayaan
otonomi daerah diadakan bukan sekadar demokrasi. Faktor budaya demokrasi tersebut
penyelenggaraan tercermin di dalam sikap, nilai, kepercayaan dan
menjamin
efisiensi
pemerintahan dan bukan hanya menampung pola perilaku yang membentuk aktivitas politik
kenyataan negara yang luas, penduduk banyak, yang demokratis.
dan banyak pulau. Lebih dari itu, otonomi Ini berarti, demokratisasi tidak hanya
daerah merupakan dasar untuk memperluas berkaitan dalam segi hubungan antara
pelaksanaan demokrasi dan instrumen untuk infrastruktur dan suprastruktur yang ber-
mewujudkan kesejahteraan umum. langsung secara demokratis, tetapi juga
Otonomi daerah dan demokrasi menyangkut relasi antara sesama infrastruktur
merupakan isu sentral yang mewarnai yang juga harus berlangsung secara demokratis.
dunia politik di Indonesia. Gema demokrasi Dengan demikian, kemajemukan rakyat dengan
yang melekat dalam politik otonomi daerah berbagai latar belakang budaya dan agama harus
merembes ke berbagai penjuru tanah air. Dalam diupayakan secara baik agar menjadi kekuatan
hal ini, makna desentralisasi memberikan tumbuhnya demokratisasi.
keuntungan dalam mengembangkan tanggung Melalui pemerintahan yang desentralistik,
jawab pembangunan yang dilaksanakan oleh akan terbuka wadah demokrasi bagi
birokrasi pemerintahan di daerah. Hal tersebut masyarakat setempat untuk berperan serta
merupakan bagian penting dari reformasi dan menentukan nasibnya, serta berorientasi
administrasi dalam konteks tanggung jawab kepada kepentingan masyarakat (rakyat)
penyelenggara pemerintahan terhadap melalui pemerintahan daerah yang terpercaya,
masyarakat.
terbuka, jujur, serta bersikap tidak mengelak Makna lain dari desentralisasi intinya tanggung jawab (passing the buck), sebagai
dapat memberikan pelayanan secara lebih prasyarat terwujudnya pemerintahan akuntabel
efisien dan efektif kepada masyarakat. Hal yang mampu memenuhi asas-asas ”kepatutan
tersebut seperti dikatakan Prud’home (1994:8), dalam pemerintahan” (behoorlijk bestuur/good
“…yet, they are essential to do contrucsion that governance).
desentralization will improve allocative eficiency….” Makna bangsa dalam negara demokrasi
Lebih lanjut, Prud’home mengatakan bahwa percaya betul pada semantik dan simbol
desentralisasi dapat mendorong terjadinya bahwa kekuasaan yang bersandar pada rakyat
distribusi yang lebih merata, menekan korupsi, merupakan fondamen utama demokrasi. Event
alokasi distribusi barang dan jasa antarkawasan pemilu atau pilkada sebagai sarana demokrasi
dapat lebih efisien dan merata. merupakan instrumen penting praktik
Dalam konteks Indonesia, implementasi kekuasaan demokrasi. Pada peristiwa politik
otonomi daerah merupakan bagian penting demokrasi tersebut, kita selalu menangkap
sekaligus tak terpisahkan dari konsep pem- dengan bahasa terang, bangkitnya harapan
bangunan politik, karena otonomi merupakan rasional dan ekspektasi emosional bagi
jembatan menuju demokratisasi, baik dalam
Jurnal
Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
Fenomena dan wacana tersebut terus menguat Tidak heran, bila salah satu isu kebijakan publik
dalam pembahasaan RUU Pilkada yang digodok yang paling ramai diperbincangkan semenjak
DPR RI menjelang berakhirnya masa tugas para kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto
anggota legislatif di pusat (DPR RI). Di sisi lain, adalah kebijakan otonomi daerah. Otonomi
perbincangan dan dikursus mengenai “politik daerah ditempatkan sebagai salah satu agenda
dinati” juga menjadi perdebatan hangat di reformasi.
parlemen. Nuansa politiknya semakin kental Dalam kaitan ini, Ndraha (2003: 78)
ketika larut dalam imbas pertarungan politik mengemukakan ada tiga makna otonomi daerah,
pilpres 2014. Semua itu masih tampak dalam yang akan menentukan efektivitas pencapaian
konfigirasi dinamika dan wajah Indonesia, tujuan otonomi daerah, yaitu: 1) Otonomi
sekaligus masih tetap mewarnai konstelasi sebagai hak (reward, diakui, dilindungi); 2)
perpolitikan tanah air.
Otonomi sebagai kewenangan (birokratisasi); Menguatnya pembahasaan RUU Pilkada dan 3) Otonomi sebagai kesanggupan
di Senayan kini menjadi bagian dari perjalanan (pemberdayaan dan demokratisasi). Hal ini
politik panjang ikhwal sistem pemilihan kepala berarti, bahwa inti otonomi daerah (otda) adalah
daerah (pilkada). Pesannya jelas diwarnai tarik- terwujudnya pembagian atau pemencaran
menarik antara kepentingan elite dan kehendak kekuasaan yang berarti membuka katup dan
publik, kepentingan merebut kekuasaan tutup sentralisme agar ekspresi, aspirasi daerah,
dan kepentingan memajukan demokrasi dan kepentingan serta kebutuhan dan harapan
kepentingan pusat dan daerah, kepentingan masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan
partai politik dan kepentingan rakyat, bahkan teraktualisasikan.
boleh jadi terselip antara kepentingan nasional Dengan demikian, jelas bahwa pada
dan internasional.
prinsipnya, 'otonomi' adalah konsep yang Masyarakat luas melontarkan kritik keras memberikan kerangka acuan bagi perilaku
terhadap usulan pilkada tak langsung yang aktor.Aktor yang 'otonom' adalah yang bisa
dinilai merusak demokrasi melalui upaya mengambil keputusan sendiri dan mengambil
mereduksi perpolitikan demokrasi sekadar langkah-langkah yang diperlukan untuk
persoalan teknis-administratif. Masyarakat mencapai tujuannya sendiri.Konsep otonomi
ramai-ramai menyatakan, bahwa pilkada tak memang menempatkan diri sendiri (self)
langsung merupakan langkah mundur dan sebagai acuan berpikir, namun keputusan
dapat mencederai makna kedaulatan rakyat. aktor yang otonom tidak harus bersifat selfish
Bahkan LSM seperti Perludem menolak tegas (mementingkan diri sendiri).
pilkada oleh DPRD.
Oleh karena itu, sejalan dengan Sementara itu, dari kalangan partai politik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
hanya PDI Perjuangan dan Partai Hanura yang kemudian memberikan kekuasaan
yang menolak pilkada tak langsung, sisanya dan kewenangan yang begitu besar kepada
mendukung pilkada dikembalikan ke DPRD masyarakat di daerah untuk memilih kepala
dengan beragam pertimbangan. Begitupun para daerahnya secara langsung, seharusnya tidak
elite.Hidayat Nurwahid misalnya, mengatakan memunculkan pemahaman politik secara
praktik pilkada langsung dimaksudkan untuk sempit, misalnya sebagai arena yang semata-
meminimalisasi politik uang, karena selama ini mata memunculkan semangat kedaerahan dan
dinilai memperbesar potensi politik uang dan kesukuan dalam rekruitmen kepemimpinan
konflik horisontal (Koran Sindo, 8/9/2014). lokal, namun selalu berdasar pada orientasi
Namun analis, seperti Refly Harun dan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan
Burhanuddin Muhtadi menyatakan bahwa yang mampu membawa daerahnya kepada
di dalam sistem pemilukada tersebut selalu kehidupan yang lebih baik.
muncul dua opsi: kebaikan dan keburukan. Kebaikannya hak-hak politik warga terjaga dan
1. Memberdaulatkan Rakyat
rakyat/publik belajar berdemokrasi, sedangkan Tarik ulur bahkan pro dan kontra usulan
aspek negatifnya terjadi money politics, benturan/ kepala daerah (pilkada) dipilih oleh DPRD
konflik dalam masyarakat dan politik biaya sempat bergulir menjadi pembicaraan hangat
tinggi. Muhtadi sendiri lebih menyorot pada
Jurnal
Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015
dengan politik uang di DPRD? Ada asumsi menurutnya tidak etis bila dewan menetapkan
bahwa dengan jumlah orang yang relatif lebih RUU Pilkada, sedangkan sebagian besar di
kecil dan relatif homogen, maka akan lebih antara mereka tidak terpilih lagi pada Pileg 2014
aman, mudah dan mungkin murah. Benarkah yang berarti kehilangan legitimasinya. Bahkan
begitu?
ujung-ujungnya kemungkinan terjadi judicial Bentuk politik uang tergantung dari review oleh MK.
sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat Tentu ada baiknya tidak terburu-buru
modus korupsi pemilu yang beranalogi dengan menyatakan bahwa proses pemilihan bupati/
politik uang yang patut diwaspadai, yakni: beli walikota atau gubernur yang dilakukan melalui
suara (vote buying), beli kandidat (candidacy mekanisme politik di DPRD lebih baik dari
buying), manipulasi pendanaan kampanye aspek demokrasi substansial dan prosedural
dan manipulasi administrasi perolehan suara melahirkan pemimpin yang baik, begituppun
(administrative electoral corruption). sebaliknya. Indikator dan tolok ukur hadirnya
Menurut konsep pemikiran Schumpeter pemimpin harapan rakyat yang amanah,
(1942), dalam demokrasi para pemimpin mumpuni dan melayani berhubungan erat
dipilih melalui pemilihan umum yang adil, dengan bagaimana pola seleksi kepemimpinan
jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para politik melibatkan seluas mungkin makna
calon secara bebas bersaing untuk memperoleh kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi yang
suara dan hampir semua penduduk dewasa transparan dan akuntabel.
berhak memberikan suara. Memakai definisi Dalam konteks pemilukada, maka
ini, demokrasi mengandung dua dimensi yaitu semangat kerepublikan dan semangat kontes dan partisipasi (Dahl, 1971). Kedua demokrasi menjadi unsur penting bagi penanda
dimensi tersebut memungkinkan kita menilai kedaulatan rakyat dan emansipasi politik,
sejauh mana suatu sistem politik bersifat sehingga menjadi penanda pula akan adanya
demokratis.
penentangan yang serius terhadap aktivitas Jeffrey Winters pernah mengatakan, politik yang sekadar diperankan oleh para wakil
demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa rakyat di DPRD. Makna memberdaulatkan
penegakan hukum jika sistem politik tetap rakyat melalui pilkada langsung bertumpu pada
dikuasasi oligarki atau kelompok kecil yang nilai-nilai luhur demokrasi yakni selain guna
bisa berkuasa karena uang dan kekayaannya. meningkatkan legitimasi dan akuntabulitas
Karena itu bagi Suseno (1997) terdapat lima publik, gagasan demokrasi langsung dalam
gugus ciri hakiki demokrasi, yakni: “1) negara memilih pemimpin politik dari sudut pandang
hukum; 2) pemerintah yang di bawah kontrol antikorupsi, dimaksudkan untuk menghindari
nyata masyarakat; 3) pemilihan umum yang jual beli suara di parlemen seperti yang pernah
bebas; 4) prinsip mayoritas; dan 5) adanya terjadi di masa lalu.
jaminan terhadap hak-hak demokratis”. Memang, pemilukada langsung masih
Secara teoretis, pilkada langsunglebih dari tetap sarat politik bagi-bagi uang yang langsung
sekadar kehidupan politik rakyat berada dan kepada calon konstituen. Begitu juga kehadiran
senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat, pihak ketiga sebagai “sponsor” pendanaan
melainkan sejauh mana pula kedaulatan rakyat bagi para calon yang akan berkompetisi dalam
itu tercermin dalam mekanisme dan prosedur pilkada, tidak dapat diingkari keberadaannya
demokrasi empiris, termasuk dalam proses sekaligus menguatkan indikasi adanya
politik dan penyelenggaraan suatu pemilukada. fenomena industri politik, di mana pemilik
Di sinilah klaim makna daulat rakyat, dan modal sebagai ’penyandang dana’ merupakan
bukan sekadar daulat wakil rakyat (DPRD). pihak yang berkuasa dan menentukan.
Sasaran dan substansi pemilukada Realitas pembelian suara dalam pemilihan
merupakan suatu kesempatan memberi dan langsung kepala desa misalnya, dianggap sudah
memperoleh legitimasi politik, sehingga wajah lumrah dan wajar. Tetapi adakah hubungan
demokrasi dan kepemimpinan lokal benar- korelasional yang signifikan dan sahih tentang
benar mencerminkan aspirasi rakyat di daerah; kaitan pembelian suara dalam skala pemilihan
dan bagi Powell Jr., demokrasi menjelma dalam yang lebih luas dan jumlah besar menjamin
wujud political performance. Model demokrasi
Jurnal
Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
suatu masyarakat-bangsa merupakan sosok antara infra dan suprastruktur dalam sistem
kultural yang menjadi dinamika pokok politik lokal. Itu artinya, pemilukada secara
perkembangannya. Di dalam masyarakat lokal langsung akan memupus oligarki partai politik.
(daerah), sosok kultural tersebut berdimensi politik, ekonomi dan sosial agar berkembang
2. Memahami Polemik Pilkada Langsung
secara sehat dan wajar. Berlangsungnya sistem Melalui UU No 32/2004 tentang
demokrasi, akan memberi ruang gerak yang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan Pilkada
memadai bagi aspirasi masyarakat di daerah tidak lagi melalui DPRD melainkan dipilih
dalam konteks sosial-politik. Bandingkan langsung oleh rakyat. Dengan demikian,
dengan sistem demokrasi di masa lalu yang sistem pilkada langsung cukup ampuh untuk
tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena memutuskan mata rantai oligarki partai politik
diterapkannya sistem pemerintahan terpusat yang mewarnai perpolitikan di DPRD.Di mana
(sentralistis), yang berakibat matinya dinamika di masa lalu, kepentingan elite partai atau
ekspresi masyarakat lokal (daerah). partai politik sering memanipulasi kepentingan
Dengan diterapkannya otonomi rakyat.
daerah, sesungguhnya menjadi awal bagi Pilkada langsung merupakan terobosan
kelahiran kembali masyarakat dengan segala demokrasi yang luar biasa, karena bangsa
dinamikanya dalam konteks kebangkitan Indonesia memiliki itikad baik dalam
kembali negara-bangsa dalam sosok yang baru. menunjukkan kesungguhan untuk mewujudkan
Sosok bangkitnya budaya dan komunitas lokal demokrasi pada setiap segmen kehidupan
yang dipicu adanya peralihan sosok negara mayarakat. Hal ini menguatkan asumsi, bahwa
nasional ke komunitas lokal melalui payung secara normatif demokrasi mengagungkan
hukum undang-undang yang diciptakan kebebasan memilih atas kehendaknya sendiri,
negara, yang mengatur masalah otonomi dan terutama dalam memilih pemimpin secara
desentralisasi direspons daerah sebagai awal kompetitif oleh rakyat dalam suatu pemilihan
untuk membangkitkan budaya dan komunitas yang adil, jujur dan demokratis. Sedangkan
lokal dalam mewarnai penyelenggaraan secara empirik, demokrasi menunjuk pada
pemerintahan berdasarkan sistem demokrasi. praktik pelaksanaan konsep-konsep demokrasi
Demokrasi memang ruang terbuka. tersebut diselenggarakan secara nyata.
Perbedaan pendapat adalah keniscayaan.Tetapi Seperti dikemukakan Kartiwa dan
bukan berarti tanpa regulasi. Demokrasi minus Nugraha (2012: 101), melalui pemilihan kepala
regulasi tetap saja akan mengundang anarki daerah otonom secara langsung itu bukan
(Indrayana, 2011:9). Jadi, demokrasi adalah hanya untuk meningkatkan legitimasi mereka
rasionalitas politik par excellence tumbuh yang dipilih, tetapi sekaligus merupakan
dari pencerahan filosofis yang mengutamakan pendidikan politik dan demokrasi yang sangat
sentralitas harkat dan kesederajatan manusia. penting di tingkat lokal (daerah). Dengan
Sehingga rasionalitas politik demokrasi pilkada langsung itu berarti rakyat daerahlah
meliputi dua sasaran yang saling berkaitan, yang sesungguhnya berdaulat sehingga mereka
yakni tata cara pemerintahan yang benar-benar yang terpilih harus senantiasa memperhatikan
memberdaulatkan rakyat dan rasionalitas suara dan kepentingan rakyat, karena kepada
politik saling imbang dan saling mengawasi rakyatlah pertanggungjawaban kepala daerah
pada tiga lapis mekanisme negara dan otonom akan diberikan.
pemerintahan (Pabotinggi, 1999). Dalam hubungan ini kebangkitan kesadaran
Proses demokrasi dan otonomi tersebut daerah untuk mengatur diri sendiri dengan
memberi sosok dan nuansa baru dalam mengaspirasikan nilai-nilai budaya lokal menjadi
paradigma penyelenggaraan pembangunan bagian penting dan terpisahkan dari datangnya
politik. Dalam kaitan ini, paradigma demokrasi era baru dalam perpolitikan di Indonesia, yakni
partisipatoris menemukan makna secara era otonomi daerah yang di dalamnya termaktub
empiris dalam proses dan mekanisme dinamika penerapan asas desentralisasi.
politik lokal, hal ini misalnya terlihat secara Nilai-nilai budaya lokal yang secara
nyata dalam penerapan sistem pemilihan intrinsik merupakan sumber daya sosial yang
kepala daerah secara langsung, sebagaimana
Jurnal
Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015
pemerintah daerah dalam melaksanakan Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan
urusan/tanggung jawabnya yang berhubungan otonomi daerah yang kemudian memberikan
dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, kekuasaan dan kewenangan yang begitu besar
dan sebagainya.
kepada masyarakat di daerah untuk memilih Pemilihan kepala daerah pada era kepala daerahnya secara langsung, seharusnya
reformasi telah menimbulkan atmosfer baru tidak memunculkan pemahaman politik secara
terhadap budaya politik di Indonesia. Kebijakan sempit, misalnya sebagai arena yang semata-
anti-daerah dan pemasungan kesempatan mata memunculkan semangat kedaerahan dan
memimpin putra daerah menyebabkan kesukuan dalam rekruitmen kepemimpinan
keinginan terhadap perubahan sistem politik lokal, namun selalu berdasar pada orientasi
dan administrasi negara. Pemilihan yang kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan lokal
dilakukan melalui lembaga DPRD dianggap yang mampu membawa daerahnya kepada
sebagai manipulasi pusat; sementara DPRD kehidupan yang lebih baik.
lebih banyak bertindak sebagai tukang stempel Dengan mengikuti konsep pemikiran
atas keinginan pemerintah pusat. Dalam kaitan Schumpeter (1942), bahwa “dalam demokrasi
ini, sistem pilkada diharapkan membuka akses para pemimpin dipilih melalui pemilihan umum
peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem
Menurut Firmanzah (2007:310), demokrasi itu para calon secara bebas bersaing untuk
sebagai sistem politik membutuhkan pranata memperoleh suara dan hampir semua penduduk
sosial yang tepat untuk dapat diimplementasikan. dewasa berhak memberikan suara”. Dengan
Terdapat tiga institusi yang dibutuhkan guna demikian menurut definisi ini, demokrasi
menerapkan sistem demokrasi: 1) adanya aktor- mengandung dua dimensi yaitu kontes dan
aktor politik, berupa partai politik atau individu- partisipasi (Dahl, 1971:1-10). Kedua dimensi
individu; 2) adanya aturan main yang jelas, tersebut memungkinkan kita menilai sejauh
transparan dan egaliter untuk menjamin kebebasan mana suatu sistem politik bersifat demokratis.
sekaligus kesetaraan aktor-aktor politik; dan 3) Jeffrey Winters seperti dikutip harian
adanya kesadaran kolektif bahwa mekanisme Kompas, edisi 4 Juni 2011 mengatakan,
yang disepakati bersama untuk berkompetisi. demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa
Pemilu merupakan metode untuk melakukan penegakkan hukum jika sistem politik tetap
transfer dan pengalihan kekuasaan. dikuasasi oligarki atau kelompok kecil yang bisa
Dengan demikian, proses demokrasi berkuasa karena uang dan kekayaannya. Oligarki
tidak hanya tergantung pada bagaimana seharusnya tunduk kepada hukum (Kompas, 4
mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi Juni 2011). Ditambahkannya, kekuasaan oligarki
secara substansial dan empirik di dalam dalam sistem politik Indonesia yang membuat
ranah kehidupan manusia modern, tetapi juga negara ini bisa menerapkan konsep demokratis,
bagaimana aktor, sistem, dan institusi demokrasi tetapi minus penegakan hukum. Hukum hanya
yang ada secara bersama-sama menjadi bagian bisa menjangkau orang miskin tanpa akses
penting dari instrumen penyelenggaraan terhadap sumber daya ekonomi dan tak bisa
kehidupan yang demokrasi. menundukkan mereka yang kaya serta berkuasa
Di dalam Peraturan Pemerintah No 6/2005 secara politik. Relevan dengan hal tersebut,
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan terdapat lima gugus ciri hakiki demokrasi,
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil yakni: “1) negara hukum; 2) pemerintah yang di
Kepala Daerah dinyatakan dalam pasal 4: 1) bawah kontrol nyata masyarakat; 3) pemilihan
pemilihan diselenggarakan oleh KPUD; 2) umum yang bebas; 4) prinsip mayoritas; dan 5)
dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis”
dan Wakil Gubernur, KPUD Provinsi (Suseno, 1997:58).
menetapkan KPUD Kabupaten/Kota sebagai Memajukan kualitas demokrasi di daerah
bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan harus didasarkan pada banyak hal, khususnya
pemilihan; 3) pemilihan sebagaimana yang dalam penerapan prinsip transparansi dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan secara anggaran, akomodasi kepentingan-kepentingan
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, masyarakat dalam pengambilan keputusan/
rahasia, jujur dan adil.
Jurnal
Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
Berdasarkan UU mengenai Pemerintahan Pilkada dilaksanakan dalam kerangka Daerah No 32/2004, maka semangat yang
sistem demokrasi. Sebagian pengamat politik didahulukan adalah koreksi atas sentralisasi
berpendapat bahwa sistem politik demokrasi kekuasaan zaman Orde Baru menjadi bersifat
tidak lebih merupakan industri politik. kedaerahan. Pemilihan langsung Kepala Daerah,
Dalam industri ini, pemilik modal adalah dimaksudkan agar masyarakat lebih mengetahui
pihak yang berkuasa dan menentukan, baik program-program yang dicanangkan oleh
dalan pembuatan peraturan maupun dalam setiap kandidat. Dengan demikian dalam
menentukan pemimpin sekalipun melalui konsolidasi demokrasi melalui sistem pemilihan
mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. pejabat publik di tingkat daerah menjadi lebih
Indikasi industri ini dapat diamati baik, sehingga diharapkan akuntabilitas kepala
misalnya dalam pembuatan peraturan, daerah terhadap konstituen yang memilihnya
yang sangat menentukan adalah pihak yang menjadi lebih besar.
mampu membiayai pembentukan opini di Mengacu kepada UU No 12/2008 mengenai
tengah masyarakat melalui media massa, Perubahan atas UU No 32/2004, pada Pasal 56
mengorbitkan tokoh intelektual agar selalu mengubah ketentuan mengenai calon kepala
dikutip pendapatnya, mendirikan berbagai LSM daerah, sehingga saat ini pencalonan kandidat
hingga partai politik, dan melakukan lobi yang kepala daerah tidak lagi harus melalui partai.
intensif, dan bahkan jika perlu memfasilitasi Partai politik dalam hal ini harus dapat menjaga
(menyuap) semua pihak. Pihak itu adalah konsistensi dalam menjalankan fungsi-fungsinya
para pemilik modal/pengusaha, yakni para agar tidak kalah dengan kandidat perseorangan.
kapitalis. Alih-alih, akan lebih banyak peraturan Sebelum diundangkan UU No 32/2004
yang diarahkan demi kepentingan para pemilik tentang Pemerintahan Daerah, pengisian kepala
modal ini.
daerah yang layak, dan bisa disebut “pemilihan” Begitu pula dalam menentukan pemimpin adalah yang berdasarkan UU No 22/1999 dan
sekalipun melalui pemilihan langsung oleh PP No 151/2000. Sistem perwakilan via DPRD
rakyat. Hanya tokoh yang mampu memodali itu, memungkinkan terwujudnya mekanisme
kampanye atau dekat dengan pihak-pihak yang pemilihan teratur, rotasi kekuasaan, keterbukaan
mampu memodali kampanyelah yang akan rekrutmen, dan akuntabilitas publik. Artinya,
meraih peluang lebih besar. secara substansi pelaksanaan demokrasi dalam
Dalam Pilkada langsung, calon kepala pilkada, tidak terlalu bermasalah. Walaupun
daerah harus dicalonkan oleh partai politik, dalam prakteknya, karena prosedur tidak
baik yang berasal dari kader partai itu atau dilakukan secara konsisten dan terbuka, maka
calon independen. Pada tahap ini, asumsinya pemilihan kepala daerah, cenderung mengalami
partai politik akan menjaring calon yang terbaik. penyimpangan.
Akan tetapi keyataannya tidak selalu begitu, Dalam realitasnya, pelibatan masyarakat
bahkan tak mustahil “jauh panggang dari api”. dalam proses pilkada hampir sama sekali
Hak parpol untuk mencalonkan ini ternyata dikesampingkan. Hal itu, biasanya terjadi
tidak begitu saja diberikan kepada ‘orang yang sejak dari tahap awal hingga selesainya prosesi
baik’, apalagi secara gratis. Bahkan yang terjadi, suksesi di tingkat lokal tersebut. Akibatnya,
orang yang ingin dicalonkan harus membayar kewenangan besar kembali berada di tangan
sejumlah uang kepada parpol. legislatif daerah (DPRD). Dalam fenomena ini,
Seorang peimpin lokal partai di Sumbawa yang harus digarisbawahi adalah maraknya
Barat, NTB, satu daerah yang relatif miskin, dugaan kasus money politics dan intervensi
yang tidak mau disebut namanya, menyatakan pengurus parpol, baik di level lokal maupun
bahwa partai yang dipimpinnya akan memasang pusat. Namun sejalan dengan dinamika politik
tarif atau harga tiket masuk calon kepala daerah dan perkembangan demokrasi di Indonesia,
sebesar 3-6 miliar bagi kandidat yang mau ikut situasi pilkada dengan UU No 22/1999 dan
Pilkadal. Harga tersebut menurutnya, untuk PP No 151/2000 sering digambarkan sebagai
dan operasional dan biaya tim kampanye (Pos kemandegan atau kebekuan demokrasi, akibat
Kupang, 1/2/2005).
lemahnya kualitas DPRD.
538
Jurnal
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015
Jurnal
Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Seorang calon bupati di Jawa Timur, untuk bisa dicalonkan harus membayar Rp2 miliar pada partai yang akan mencalonkannya. Ini baru biaya untuk tahap pencalonan. Belum lagi untuk biaya kampanye serta biaya ini dan itu. Seorang calon bupati di Sulawesi bahkan menyiapkan Rp20 miliar. Pada situasi seperti ini, lalu berkeliaran ‘para penyandang dana’ yang sanggup menyediakan dana yang diperlukan oleh para calon. Tentu saja itu diberikan tidak secara gratis; harus ada imbalannya, bisa berupa proyek, izin untuk membuka bisnis ini dan itu, atau bahkan mungkin juga uang itu harus dikembalikan berikut bunga dan bonus.
Dengan demikian, dalam tahap pencalonan saja, yang akan terjaring bukan yang ‘bermutu’ tetapi yang ‘beruang’ (punya uang), atau yang didukung kalangan yang punya modal, yang pasti punya pamrih. Ini berarti, Pilkada langsung tetap tidak bisa menghapus oligarki partai. Pemimpin daerah terpilih pun tidak otomatis akan menjadi pejuang kepentingan rakyat. Sangat boleh jadi, mereka akan menjadi pejuang kepentingan diri sendiri dan pihak yang memodalinya. ‘Penjualan’ sumber air yang sangat besar di satu kabupaten di Jawa Tengah kepada sebuah perusahaan air minum terkenal yang berakibat merugikan para petani di sana, yang selama puluhan tahun menikmati air yang melimpah, atau pemberian akses untuk mengeksploitasi tambang kepada pengusaha yang memodali pemilihan seperti yang terjadi di Sulawesi, sangat mungkin juga akan terjadi di seluruh daerah negeri ini.
Pilkada langsung juga cenderung memperbesar peluang campur tangan dan eksploitasi asing. Negara dan lembaga- lembaga asing sejak Pemilu lalu sampai Pilkada langsung sekarang terus menempel seluruh proses. Dengan mendompleng proses Pemilu atau Pilkada langsung, mereka bisa masuk ke semua lini politik dan membangun jaringan pion-pion mereka. Pada akhirnya, mereka akan dapat mengendalikan baik lembaga perwakilan maupun eksekutifnya. Mereka jelas berkepentingan untuk bisa masuk langsung ke tingkat lokal dengan memanfaatkan berbagai kewenangan yang diberikan sebagai konsekuensi dari otonomi daerah.
Kasus banyaknya UU yang disahkan legislatif yang diduga disiapkan rancangannya
oleh pihak asing merupakan indikasi yang kuat dalam hal ini. Pihak asing juga akan lebih mudah untuk menguasai dan selanjutnya menguras sumberdaya alam di daerah, dengan cara langsung berhubungan dengan pemerintah daerah. Akibatnya, pihak asing justru akan mencengkeram setiap jengkal tanah negeri ini, dan yang dirugikan rakyat.
Selain guna meningkatkan legitimasi dan akuntabulitas publik mereka, gagasan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin politik dari sudut pandang antikorupsi, sebenarnya dimaksudkan untuk menghindari jual beli suara di parlemen seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Namun kenyataannya, politik bagi-bagi uang, sekarang justru langsung kepada calon pemilih. Di sisi lain, kehadiran pihak ketiga sebagai “sponsor” pendanaan bagi para calon yang akan berkompetisi dalam pilkada, tidak dapat diingkari keberadaannya.
Praktik politik uang menjadi warna kelam dari bayang-bayang demokrasi di Indonesia. Hidayat Nurwahid (Koran Sindo, 8/9/2014) mengatakan praktik pilkada langsung selama ini dinilai memperbesar potensi politik uang dan konflik horisontal.Pendapat ini, agaknya masih perlu dikaji lebih dalam.Memang dalam kenyataannya realitas pembelian suara dalam pemilihan langsung kepala desa misalnya, dianggap sudah lumrah dan wajar.Sekalipun belum ada suatu penelitian, bagaimana kaitan pembelian suara dalam skala pemilihan yang lebih luas dan jumlah besar menjamin loyalitas pemilih yang dibeli.Berbeda dengan politik uang di DPRD. Di mana dengan jumlah orang yang relatif lebih kecil dan relatif homogen, maka diasumsikan akan lebih aman, mudah dan mungkin murah.
Bentuk politik uang tergantung dari sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat modus korupsi pemilu yang beranalogi dengan politik uang yang patut diwaspadai, yakni: beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi perolehan suara (administrative electoral corruption).
3. Apati Politik Vs Otonomi Politik
Sebagai makhluk (politik), manusia memiliki keunggulan intelektual dan keunggulan moral (Bluhm, 1981). Perangkat Sebagai makhluk (politik), manusia memiliki keunggulan intelektual dan keunggulan moral (Bluhm, 1981). Perangkat
sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa; bertanggung jawab dalam mengemban amanah
2) Lingkungan sosial politik langsung yang suci sebagai elite (politikus atau politisi).
memengaruhi dan membentuk kepribadian Ini berarti, bahwa akhlak politik dan standar
aktor, seperti keluarga, agama, sekolah dan moralitas merupakan kekuatan dari dalam
kelompok pergaulan. Dari lingkungan sosial diri yang dapat membatasi perilaku agar tidak
politik langsung seorang aktor akan mengalami membenarkan atau mengikuti kemauan sendiri.
sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan Penta politica yang terpantul dalam pergaulan
norma masyarakat, termasuk nilai dan norma politik memberi pemahaman perpolitikan
bernegara, dan pengalaman¬-pengalaman sekadar perebutan kursi, jabatan, kedudukan
hidup pada umumnya. Lingkungan langsung dan kekuasaan untuk diri sendiri.
dipengaruhi oleh lingkungan tak langsung; Rush & Althoff mengutip Rosenberg 3) Struktur kepribadian yang tercermin dari mensugestikan tiga alasan pokok untuk
sikap individu untuk memahami kepribadian menerangkan apati politik (Kartono, 1990: 147-
diri; 4) Faktor lingkungan sosial politik 148). Pertama, alasannya adalah konsekuensi
langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal
memengaruhi aktor ketika hendak melakukan ini dapat mengambil beberapa bentuk:
suatu kegiatan.Faktor tersebut dapat berupa individu dapat merasa bahwa aktivitas politik
sosialisasi, internalisasi dan politisasi. merupakan ancaman terhadap berbagai aspek
Pada perspektif itu, sebenarnya kita dapat kehidupannya. Celakanya, orang yang apatis