Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PEMBANGUNAN PERDESAAN DI KABUPATEN CILACAP

  Kerjasama Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap dengan

  Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IAIN Purwokerto 2016

  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR …… TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN PERDESAAN DI KABUPATEN CILACAP DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP LPPM IAIN PURWOKERTO 2016

  DAFTAR ISI

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................

  1 B. Identifikasi Masalah ....................................

  3 C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik .......

  7 D. Metode Analisis Naskah Akademik ..............

  7 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS A. Kajian Teoritis ............................................

  9 B. Praktek Empiris ..........................................

  15 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT .................

  23 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis ......................................

  45 B. Landasan Sosiologis ....................................

  46 C. Landasan Yuridis ........................................

  47 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RU-ANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

  A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase ..........................................................

  51 B. Muatan Materi Peraturan Daerah ................

  53 BAB VI PENUTUP ........................................................

  59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG PEMBANGUNAN PERDESAAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ide dasar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah memberi hak dan kewenangan ang relatif besar

  kepada Desa. Dengan kewenangan yang relatif lebih luas, asumsinya Desa memiliki keberdayaan untuk menyelesaikan hal-hal yang selama ini menjadi persoalan mendasar bagi bangsa ini seperti kemiskinan, infrastruktur yang kurang memadai, produktivitas warga, dan pelayanan publik dasar.

  Kewenangan pembangunan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertumpu pada kebijakan Pemerintah Daerah. Pemerintah Desa dalam konteks Pemerintah Daerah lebih sebagai pembantu pelaksana pembangunan yang memiliki banyak keterbatasan. Di sisi lain, Desa merupakan pusat dari berbagai persoalan warga dan bersentuhan secara langsung terhadap kehidupan sehari-hari.

  Namun karena kewenangan yang dimiliki terbatas, persoalan warga tersebut mengendap dan menjadi semakin komplikatif.

  Salah satu kewenangan yang bertambah bagi Desa adalah pengelolaan pembangunan dan pembiayaan. Pemerintah Desa menjadi penanggungjawab anggaran negara yang dipertanggungjawabkan secara langsung. Dengan kewenangan ini, Desa bisa merumuskan pembangunan sebagai alternatif bagi upaya menanggulangi persoalan-persoalan krusial di Desa berikut pembiayaannya. Konsekuensi lain yang diterima Desa adalah keuangan yang relatif bertambah. Keuangan Desa tidak hanya mengandalkan pendapatan asli desa tetapi juga bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam bentuk Dana Desa, APBD Provinsi dalam bentuk bantuan keuangan Desa, Alokasi dari APBD Kabuaten dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD), bagi hasil pajak dan retribusi, dan bantuan keuangan lainnya.

  Bertambahnya sumber-sumber keuangan Desa berimplikasi pada jumlah nominal yang relatif besar dan berpengaruh signifikan bagi upaya Desa membangun dirinya. Desa tidak lagi menggantungkan “nasib” pembangunannya kepada APBD Kabupaten atau anggaran lainnya tetapi bisa menentukan sejak awal jenis dan jumlah biaya pembangunan yang akan dilaksanakan.

  Persoalan kemudian adalah pengelolaan dana Desa yang bertambah tersebut tersistematisasi dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Standar dan sistem akuntansi keuangan mengikuti pola yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Di sini Desa dituntuk untuk bekerja secara profesional dan teknokratis sebagaimana lembaga negara lainnya yang mengelola uang negara.

  Isu-isu krusial dalam Pembangunan Perdesaan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah

pertama, perencanaan dan dokumen pembangunan.

  Ketersediaan dana di Desa yang relatif cukup menjadikan perencanaan pembangunan strategis. Berbeda dengan sebelumnya di mana perencanaan seringkali menciptakan frustrasi sosial warga Desa karena tidak aja kejelasan usulan- usulan mereka terakomodasi dan menjadi program pembangunan. Perencanaan pembangunan Desa bernilai strategis karena berisi proyeksi dan aspirasi warga dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan di desa. Sejalan dengan perencanaan adalah ketersediaan dokumen perencanaan sebagai basis dan referensi penyelenggaraan pembangunan yang dijalankan. Keberadaan dokumen inilah yang menjadi panduan bagi pihak-pihak terkait baik dalam pelaksanaan, pengawasan, maupun evaluasinya. Dengan begitu pentingnya keberadaan dokumen, maka ia harus dihasilkan melalui forum-forum Desa yang memberikan peluang sebesar-besarnya kepada warga untuk berpartisipasi. Proses membangun partisipasi warga menjadi pokok krusial lain dalam kerangka pembangunan Perdesaan.

  Kedua, pelaksanaan pembangunan. Secara prinsip

  pengelolaan pembangunan di Desa sama dengan institusi lain yang harus mendasarkan pada nilai-nilai akuntabilitas, keterbukaan, efektifitas, dan efisiensi. Namun demikian, Desa memiliki keistimewaan sebagai bentuk dari political will pemerintah yang bervisi membangun Indonesia dari Desa. Keistimewaan ini menjadi peluang bagi Desa untuk menunjukkan performa yang prima. Secara legal, pengelolaan pembangunan di Desa tidak menggunakan Perpres terkait pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagaimana institusi pemerintah lainnya tetapi diatur terpisah dengan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan dan Pengadaan Barang dan/Jasa Pemerintah (LKPP). Dalam LKPP tersebut, prinsip pengelolaan pembangunan di Desa adalah swakelola. Hanya pada hal-hal tertentu saja yang memungkinkan melalui penyedia. Prinsip swakelola sesungguhnya diarahkan untuk mengembangkan ptensi dan peluang-peluang ekonomis yang dimiliki Desa.

  Ketiga, kerjasama antardesa sebagai bagian dari

  pembangunan kawasan perdesaan. Isu ini krusial mengingat tidak ada Desa tertentu yang mampu mengembangkan dirinya tanpa ada kontribusi atau bekerjasama dengan Desa atau institusi lainnya. Kerjasama antardesa enjadi keniscayaan yang harus diambil oleh Desa untuk mengembangkan atau mengoptimalisasikan potensi yang dimilikinya. Melalui kerjasama antardesa ini, sebuah Desa dapat memperoleh keuntungan yang lebih sebagai akibat dari menularnya praktik-praktik pembangunan di Desa lainnya. Terlebih apabila beberapa Desa dijadikan sebuah kawasan tertentu yang mendapat support dan fasilitasi dalam upaya pengembangannya.

  Keempat, pembiayaan pembangunan Desa. Sumber

  keuangan yang beragam memiliki dampak yang positif yaitu nominal yang relatif banyak. Tantangannya adalah apabila dana yang ada tersebut tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi “bencana” bagi Desa penggunanya. Oleh karena itu dana yang ada di Desa harus dikelola dengan baik dan melibatkan masyarakat untuk memberikan kontribusi dan partisipasinya.

  Sumber-sumber keuangan yang berbeda berdampak terhadap model pertanggungajwaban yang juga berbeda. Secara prinsip, sumber dana yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah harus dikelola dan dipertanggungjawabkan secara standar dan sistem akuntansi pemerintah. Sementara dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, pelaporannya menyesuaikan dengan Peraturan Desa dan pelaksanaan pembangunannya dilakukan secara swakelola.

  Atas beberapa hal di atas, Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan Perdesaan memiliki relevansi yang kuat. Ia akan menjadi dasar bagi pengembangan pola dan teknis penyelenggaraan pembangunan Desa dan menata kembali proses-proses partisipasi warga Desa yang sempat mengalami stagnasi akibat frustasi sosial yang terbilang panjang.

B. Identifikasi Masalah

  Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan beberapa turunan peraturan lainnya, Desa telah bertarnsformasi dari pelaksana tugas pembantuan Pemerintah Daerah di Desa menjadi penanggungjawab kegiatan. Konsekuensi dari transformasi ini adalah bahwa Desa saat ini menjadi pengelola dan penanggung jawab kegiatan- kegiatan lokal berskala Desa. Konsekuensi yang lain Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten wajib mengalokasikan sejumlah dana kepada Desa sebagai bagian dari pelaksanaan pembangunan. Dana yang ditransfer dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi tanggungjawab penuh Pemerintah Desa dalam pengelolaannya. Kondisi ini berbeda dengan wewenang Desa sebelumnya yang bersifat pembantuan. Tanggungjawab dan pengelolaan dana di Desa menjadi wewenangnya Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai sumber pembiayaan yang diperoleh.

  Konsekuensi sebagai pengelola dan penanggungjawab kegiatan dan pendanaan oleh desa berimplikasi secara langsung kepada hal-hal yang bersifat administratif maupun politis. Beberapa hal yang bersifat administratif adalah

  

pertama, penanggugjawab kegiatan dan pembiayaannya

  diserahkan kepada Pemerintah Desa. Ini artinya Pemerintah Desa mempunyai kewajiban menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban semua dana yang bersumber dari keuangan negara (Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten) sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Dalam konteks ini, Pemerintah Desa relatif belum terbiasa dengan sistem administrasi keuangan negara yang berbasis akuntansi standar pemerintahan. Ketersediaan sumberdaya manusia, perangkat teknis dan fasilitas pendukung, dan tradisi pelaporan keuangan berbasis sistem administrasi standar menadi isu-isu penting sekaligus menjadi persoalan dalam pembangunan desa pada wilayah administrasi.

  Persoalan kedua dalam wilayah administrasi adalah prosedur-prosedur standar sebagai bagian dari penerjemahan wewenang dan tanggungjawab secara kelembagaan. Praktik desa selama ini berpusat kepada Kepala Desa sebagai pemimpin politik. Pembangunan yang berpusat kepada Kepala Desa sangat mendasarkan kepada indikator-indikator subyektif yang secara administratif tidak bisa dijelaskan prosedurnya. Dengan demikian maka proses dan hasil-hasil pembangunan tidak bisa terukur secara jelas dan menimbulkan persoalan terhadap perencanaan pembangunan Desa yang kurang sistematif. Dalam isu ini, beberapa persoalan yang muncul adalah ketiadaan dukungan dokumentasi, proses administrasi

  • – yang tidak terstandar secara baku, dan wewenang tanggungjawab yang sporadis atau tidak terdistribusi secara organik.

  Ketiga, dukungan dokumentasi atas setiap kebijakan- kebijakan strategis dan teknis tidak terlaksana secara baik.

  Kondisi ini tentu memberikan persoalan ketika Desa akan mengembangkan pembangunan yang lebih sistematis di mana hasil evaluasi pembangunan pada periode sebelumnya penting. Namun karena tidak didukung oleh dokumentasi yang baik, proses evaluasi ini menjadi tidak berdasar. Selain itu, proses pembangunan yang sedang berjalan menjadi tidak terstandar secara baku karena ketersediaan dokumen yang dibutuhkan tidak komplit.

  Secara politis, persoalan pembangunan perdesaan memiliki persoalan yang bisa diidentifikasi, yaitu pertama, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Selama ini, Musrenbang sebagai forum perencanaan pembangunan di tingkat Desa cenderung mengalami penurunan minat. Hal ini terjadi karena pengalaman hasil-hasil Musrenbang tidak memiliki legitimasi untuk diakomodasi dalam penganggaran. Artinya warga yang secara serius telah mencoba merumuskan dalam Musrenbang seringkali tidak ada gunanya pada saat proses penganggaran tidak mengakomodasinya. Karena proses seperti ini berlangsung pada waktu yang cukup lama muncul kecederungan sikap-sikap yang mengarah kepada bentuk frustrasi sosial. Pasca UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan Musrenbang untuk meyerap aspirasi warganya. Musrenbang menjadi strategis mengingat Pemerintah Desa saat ini memiliki alokasi yang relatif cukup untuk mengakomodasi aspirasi warganya dalam Musrenbang. Kecenderungan menurunnya minat warga terlibat dalam Musrenbang menjadi persoalan tersendiri.

  Persoalan politis kedua adalah ketersediaan dana yang relatif besar di Desa memberi dilema tersendiri bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan skema kontribusi dalam mempercepat pembangunan Desa. Hal ini karena ada beberapa hal yang kemudian terdefinisikan sebagai kewenangan desa dan kewenangan pemerintah lain di Desa. Secara detile, kewenangan Desa menjadi hak otoritatif Desa dalam pengelolaannya. Dengan demikian maka pemerintah lain berkontribusi dalam pembangunan Desa pada wilayah yang tidak menjadi kewenangan Desa berskala lokal. Pemilahan ini semata-mata untuk menghindari adanya tumpang tindih. Namun realitas di kabupaten Cilacap, ketersediaan dana yang dikelola Desa tidak cukup apabila digunakan untuk membiayai semua kegiatan pembangunan berskala lokal desa sekalipun. Untuk itu, Desa membutuhkan partisipasi dari pemerintah lain terutama Pemerintah Daerah Kabupaten. Dengan adanya partisipasi ini, akselerasi pembangunan Desa bisa dipercepat.

  Persoalan lain yang teridentifikasi adalah terkait penetapan kawasan perdesaan. Terutama dalam penetapan kawasan yang berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah yang secara periodik disusun atau bisa direvisi dalam 5 (lima) tahun. Sementara periodesasi Pemerintah Desa adalah 6 (enam) tahun yang proses pembentukannya melalui Pemilihan Kepala Desa tidak dilangsungkan secara serentak dalam 1 (satu) waktu.

  Selain terkait RTRW kawasan perdesaan, hal lain yang penting dalam identifikasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan Perdesaan ini adalah kerjasama antardesa. Selama ini, skema kerjasama antardesa dilakukan melalui mekanisme pembangunan yang bersumber dari APBD Kabupaten. Pengelolaan dan penanggungjawaban berada di kabupaten sehingga Desa-Desa yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan relatif tidak bergejolak. Namun ketika saat ini sumber pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Desa maka akan terjadi negosiasi yang relatif alor antar beberapa desa yang terlibat terkait misalnya besaran nilai nominalnya, tingkat kemanfaatan, dan pengelolaan kegiatannya.

  Dari beberapa masalah yang teridentifikasi di atas, Rancangan Peraturan Daerah ini akan menjawab persoalan terkait : 1. politik penyusunan dokumen-dokumen

  Proses pembangunan perdesaan. Partisipasi warga menjadi kata kunci yang harus terformula dalam proses penyusunannya.

  2. Ketersediaan dokumen-dokumen pembangunan sebagai basis dan pedoman pelaksanaan kegiatan. Dokumen ini menjadi dasar bagi pihak-pihak terkait untuk menilai dan mengevalausi pembangunan perdesaan di Desa tertentu.

3. Mengatur pihak-pihak terkait terutama Pemerintah,

  Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan perdesaan dalam skema bantuan, fasilitasi, dan asistensi.

  Menetapkan metode pengelolaan keuangan desa yang dibelanjakan untuk kepentingan pembangunan perdesaan. Prinsip swakelola menjadi point penting pengelolaan kegiatan pembangunan. Namun demikian, prinsip-prinsip dasar akuntasi keuangan negara tetap dipenuhi.

C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik

  Tujuan disusunnya naskah akademik ini adalah memberikan kerangka pemikiran, paradigma, landasan hukum, sampai tataran operasional peraturan daerah ini.

  Adapun tujuan dibuatnya peraturan daerah tentang Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cilacap ini adalah : 1.

  Melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dan peraturan-peraturan terkait di bawahnya dalam konteks penyelenggaraan pembangunan Desa di tingkat kabupaten.

  2. Merancang inovasi dan memberi ruang yang cukup pada upaya-upaya pengembangan Desa secara strategis melalui desain pembangunan yang partisipatif dan berbasis sumberdaya lokal.

  3. Meningkatkan kerjasama dan kolaborasi antarpihak dalam pembangunan Desa untuk mewujudkan kemajuan dan kemandirian Desa serta berorientasi terhadap pemberdayaan masyarakat.

4. Memberi pedoman bagi pihak-pihak terkait terutama

  Pemerintah Daerah, pemerintahan Desa, masyarakat Desa, dan stakeholders Desa dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan Desa.

D. Metode Analisis Naskah Akademik

  Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tradisi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang- undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Pembangunan Perdesaan.

  Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat.

  Untuk itu, langkah-langkah dalam menerapkan metode analisis sosiolegal ini meliputi :

  1. Identifikasi permasalahan terkait dengan pembangunan perdesaan,

  2. inventarisasi bahan hukum yang terkait, 3. sistematisasi bahan hukum, 4. analisis bahan hukum, dan 5. perancangan dan penulisan.

  •  --

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK A. Kajian Teoritis 1. Paradigma Baru Desa Paradigma baru terhadap desa memandang keberada-

  an desa sebagai entitas yang hybrid, dimana desa merupa- kan penyelenggara pemerintahan sekaligus sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum. Dengan kata lain, desa dapat disebut sebagai masyarakat berpemerintahan (self governing

  community) maupun pemerintahan berbasis masyarakat (lo- cal self government). Sebagai kesatuan masyarakat hukum,

  desa mempunyai batas-batas wilayah serta mempunyai ke- wenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerin- tahan dan kepentingan masyarakat setempat.

  Cara pandang baru mengenai desa ini merupakan sin- tesa dari pemikiran desa yang didasarkan pada asas rekogni-

  si dan subsidiaritas. Konsep rekognisi awalnya muncul da-

  lam konteks multikultural, terutama di negara yang memili- ki keragaman budaya dan masih memiliki masyarakat adat (indigenous people). Sedangkan konsep subsidiaritas awal- nya muncul dari pemikiran Gereja Katolik Roma. S ubsidia-

  ritas merupakan gagasan pemikiran yang mengembangkan fungsi otoritas pusat yang tidak hanya subordinasi me- lainkan juga subsidiari atau mendukung tugas-tugas yang tidak dapat dilakukannya secara efektif di level menengah

  1 dan lokal.

  Dalam konteks multikultural ditemukan beragam pe- ngertian rekognisi. Axel Honneth secara sederhana memaha- mi rekognisi dalam dua pengertian, yakni : (a) menghormati kesamaan status dan posisi; (b) menghargai keberagaman a- tau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan

  2 sosial.

  Lebih radikal lagi, Nancy Fraser melihat rekognisi da- lam konteks perjuangan politik untuk melawan ketidakadil- an. Tujuan rekognisi bukan sekedar memberikan pengaku- 1 an, penghormatan dan afirmasi terhadap identitas kultural

  Definisi dalam kamus bahasa Inggris Oxford,

Diakses 15

Maret 2016. 2 Sutoro Eko dkk.,Desa Membangun Indonesia, Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), Cetakan I, 2014, hlm.27.

  yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus disertai dengan redis- tribusi. Kalau hanya berhenti pada rekognisi kultural hal itu mengabaikan redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat keti-

  3 dakadilan sosial dan perjuangan politik.

  Dalam konteks desa, prinsip rekognisi mempunyai makna pengakuan dan penghormatan yang berkaitan dengan keragaman budaya, hak asal usul, produk hukum desa, tradisi, kelembagaan desa, dan sebagainya. Tetapi me- rujuk kepada Fraser, rekognisi yang dimaksud tidak hanya bermakna pengakuan keragaman budaya untuk memba- ngun keadilan budaya (cultural justice), tetapi seharusnya juga diikuti dengan redistribusi negara untuk mencapai ke- adilan ekonomi (economic justice). Redistribusi uang Negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidaka- dilan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan mar- ginalisasi yang dilakukan oleh negara.

  Penerapan asas rekognisi tersebut juga disertai dengan asas subsidiaritas. Subsidiaritas menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah yang lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah un- tuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan

  4

  secara mandiri. Implementasinya masyarakat atau lembaga yang lebih tinggi kedudukannya harus memberi bantuan ke- pada anggota-anggotanya atau lembaga yang lebih terbatas sejauh mereka sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas me- reka secara memuaskan. Sedangkan apa yang dapat dikerja- kan secara memuaskan oleh satuan-satuan masyarakat yang lebih terbatas tidak boleh diambil alih oleh satuan ma-

  5 syarakat yang lebih tinggi.

  Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang ha- rus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar adalah memberikan bantuan kepada organisasi yang lebih kecil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri

  3 4 Ibid., hlm. 29. 5 Ibid., hlm. 30.

  Frans Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip- Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 307. yang ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketim-

  6 bang dipaksa dari atas.

  Subsidiaritas berbeda secara kontras dengan prinsip residualitas. Prinsip residualitas yang mengikuti asas desen-

  tralisasi memandang kewenangan desa merupakan sisa urusan pemerintah daerah yang dilimpahkan oleh Bupati. Sementara prinsip subsidiaritas justru meyakini bahwa urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat mampu dikelola sendiri oleh desa dan/atau urusan yang lebih efi- sien jika diatur dan diurus oleh desa. Berdasarkan prinsip

  subsidiaritas dapat ditetapkan kewenangan yang berskala

  lokal, baik kewenangan dalam hal pelayanan publik maupun pengembangan aset ekonomi lokal.

2. Pembangunan Desa

  Pembangunan merupakan setiap upaya yang dikerja- kan secara terencana untuk melaksanakan perubahan yang memiliki tujuan utama untuk memperbaiki dan menaikkan

  7 taraf hidup, kesejahteraan, dan kualitas manusia.

  Persoalan muncul dari paradigma dan proses pemba- ngunan yang berlangsung selama ini di Indonesia, yang dini- lai sangat state centric dengan karakternya yang otokratis, sentralistik, top down dan sektoral. Dibalik kesuksesan yang diklaim lewat capaian pertumbuhan dan pendapatan perka- pita, sistem ini terus dikritik karena pada saat yang sama menunjukkan berbagai bukti kegagalan. Berbagai persoalan ketidakadilan, ketidakmerataan dan kesenjangan pemba- ngunan yang kurang memberikan ruang eksplorasi sumber daya lokal semakin hari semakin terlihat nyata.

  Paradigma pembangunan yang state centric menjadi pangkal sebab persoalan kemiskinan dan ketidakmerataan kesejahteraan antara desa dengan kota. Desa sekian lama terpinggirkan, kedaulatan desa dalam menyelenggarakan pembangunan di wilayahnya sendiri telah dinafikkan. Pada- hal secara asal usul, sebelum Negara Kesatuan Republik In- donesia terbentuk, desa sudah ada lebih dahulu sehingga sejak lahirnya merupakan wilayah otonom, dengan sistem

  6 AlessandroColombo, Subsidiarity Governance: Theoretical and EmpiricalModels, New York: Palgrave Macmillan, 2012. 7 Muhammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional, Jakarta: Grasindo, 2009. demokrasi asli yang telah dijalankan pada masa kerajaan se-

  8 belum era kolonial.

  Melalui proses panjang, pembangunan bangsa kini di- jalankan oleh NKRI. Kondisinya menjadi berbalik, desa men- jadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggir- an dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya se- hingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sum- ber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Dengan sistem pembangunan yang demikian, desa sebagai pemasok sum- ber daya telah termarginalkan sebagai obyek pembangunan semata, dimana kesejahteraannya hanya mengandalkan te- tesan hasil pembangunan dari sektor-sektor besar yang menjadi andalan.

  Belajar dari pengalaman berharga di masa lalu, kini pembangunan desa memiliki paradigma baru yang berang- kat dari spirit rekognisi dan subsidiaritas. Spirit ini diimple- mentasikan dalam gerak pembangunan desa yang society

  centric, yaitu mengedepankan dan berorentasi pada masya-

  rakat, bukan negara. Karakter pembangunan ini dicirikan melalui sifat-sifat pembangunan yang demokratis, bottom up, otonomi, kemandirian, lokalitas, partisipatif dan emansipa- toris.

  Memodifikasi apa yang dikemukakan oleh Andrew Shepherd, Sutoro Eko dkk. menguraikan secara rinci ber- bagai aspek dalam paradigma baru pembangunan perdesaan yang dibandingkan secara vis a vis dengan paradigma lama

  9 sebagaimana tergambar dalam tabel 1.

  Tabel 1. Perbandingan Paradigma Pembangunan

  Paradigma lama Paradigma baru  Fokus pada pertumbuhan  Fokus pada pertumbuhan yang ekonomi; berkualitas dan berkelanjutan;  Redistribusi oleh negara;  Proses demokrasi dan keterlibatan warga marginal dalam pengambilan keputusan; 8

 Otoritarianisme ditolerir  Menonjolkan nilai-nilai

  

Heru Cahyono, Dinamika

Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, Jakarta: LIPI, 2006. 9 Sutoro Eko dkk., Desa Membangun....................., hlm. 37. sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan;

   Negara memberi subsidi pada pengusaha kecil;  Negara menyediakan layanan sosial;  Transfer teknologi dari negara maju;  Transfer aset-aset berharga pada Negara maju;  Pembangunan nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah;  Sektoral;  Organisasi hirarkhis untuk melaksanakan proyek; dan  Peran negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar. kebebasan, otonomi, harga diri, dll;

   Negara membuat lingkungan yang memungkinkan;  Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan social;  Penghargaan terhadap kearifan dan teknologi lokal;  pengembangan teknologi secara partisipatoris;  Penguatan institusi untuk melindungi aset komunitas miskin;  Pembangunan adalah proses multidimensi dan sering tidak nyata yang dirumuskan oleh rakyat, menyeluruh dan terpadu;  Organisasi belajar non- hirarkhis; dan  Peran negara: menciptakan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan, mendorong tumbuhnya institusi-institusi lokal.

3. Strategi Pembangunan Desa Berbasis Kawasan

  Lambatnya kemajuan pembangunan, ketidakberlan- jutan pembangunan, bahkan kegagalan pembangunan sela- in ditentukan oleh faktor-faktor sumberdaya, dana serta ka- pasitas manajemen, juga dapat disebabkan karena kesalah- an dalam memilih dan menetapkan model pembangunan se- perti apa yang diterapkan. Oleh karena itu, pembangunan daerah atau desa harus dimulai dengan menetapkan model pembangunan yang akan diterapkan.

  Terkait kesenjangan pembangunan antara kota de- ngan desa, Francois Perroux seorang ekonomi Prancis me- maparkan suatu teori pembangunan yang dikenal dengan model Pusat Pertumbuhan. Teori ini menekanan bahwa per- tumbuhan regional dapat distimulasi dengan membangun kota intermediet (Intermediate Cities) sebagai pusat pertum- buhan. Pembangunan desa diharapkan dapat mengikuti pertumbuhan pembangunan kota sehingga kesenjangan pembangunan dapat dikurangi. Pusat perkotaan akan meng- hasilkan efek berganda (multiplier effects) yang akan menye-

  10 bar kepusat-pusat kecil disekitarnya dan daerah pinggiran.

  Penerapan konsep pembangunan berbasis pertumbuh- an yang bersifat top down ini pada kenyataannya menim- bulkan beberapa dampak negatif. Model pembangunan ini dinilai telah meminggirkan desa dan gagal menciptakan ke- sejahteraan bagi desa. Seiring era otonomi desa, maka su- dah saatnya beralih kepada strategi alternatif yang dinilai lebih sesuai bagi desa. Friedman dan Douglass (1975) serta Rondinelli (1985) menyarankan suatu bentuk pendekatan pembangunan yang kemudian kerap disebut model Agropo- litan.

  Model agropolitan ini pada dasarnya merupakan kon- sep pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesa-

  11 an, dengan memberikan pelayanan di kawasan perdesaan.

  Strategi pengembangan yang dilakukan adalah dengan me- nyusun suatu sistem perekonomian terpadu yang mandiri dan mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat minim dengan metropolis terutama yang berkaitan dengan pengam- bilan keputusan. Kewenangan dalam pengambilan keputus- an terhadap permasalahan yang berkaitan dengan daerah terutama yang menyangkut pembangunan daerah agar sepe- nuhnya diserahkan pada daerah yang bersangkutan.

  Menurut Djaka Permana, kawasan agropolitan diciri- kan oleh kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat a- gropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wi-

  12 layah sekitarnya.

  10 Syafrizal, Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Niaga Swadaya, 2008, hlm. 128. 11 Jhon Friedmann dan Mike Douglass, “Agropolitan development:

towards a new strategy for regional planning in Asia”, dalam Lo FC, Salih K, ed.

  Growth pole strategy and regional development policy: Asian experience and alternative approaches. Oxford, England, Pergamon, 1978, hlm.163-92. 12 Ruchyat D. Djakapermana, “Pengembangan Kawasan Agropolitan dalamRangka Pengembangan Wilayah Berbasis Rencana Tata Ruang WilayahNasional (RTRWN), Dirjen Penataan Ruang Departemen Permukiman DanPrasarana Wilayah Republik Indonesia

  ”, 2003, hlm.33. Model agropolitan menurut Rustiadi akan mengarah pada desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, dan menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti migrasi desa-kota yang tidak terken- dali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, ke-

  13 hancuran sumberdaya alam, dan pemiskinan desa.

  Dalam konsep pengembangan agropolitan, petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk men- dapatkan pelayanan, berupa pelayanan yang berhubungan dengan produksi dan pemasaran, kebutuhan sosial budaya serta kebutuhan sehari-hari. Pelayanan untuk proses pro- duksi diberikan pada tingkat desa, dekat pemukiman petani, berupa pelayanan informasi teknologi dan sarana produksi pertanian, kredit usaha tani dan informasi pasar. Akibatnya, biaya produksi dan biaya pemasaran menjadi rendah.

B. Kajian Empiris

  Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah, dengan luas wilayah 225.360,840 Ha, yang terbagi menjadi 24 Kecamatan dan 269 desa. Dengan wilayahnya yang sangat luas, Cilacap memiliki sumber daya yang besar dan cu- kup lengkap meliputi energi dan sumber daya mineral, perta- nian, peternakan, industri kerajinan, perikanan serta kehutan- an dan perkebunan. Selain itu, banyaknya perusahaan yang berinvestasi di Kabupaten Cilacap membuka potensi geliat eko- nomi yang lebih maju bagi kalangan ekonomi kelas bawah, seperti perdagangan, yaitu pertokoan dan layanan jasa.

1. Ketidakmerataan Pembangunan dan Kesejahteraan

  Dengan potensi sumber daya yang ada dan peluang pasar yang menjanjikan, setidaknya hal ini bisa membawa tingkat kemakmuran yang tinggi bagi warga Cilacap. Namun dalam kenyataannya data menunjukan angka kemiskinan di Cilacap masih relatif tinggi, menempati urutan tiga besar di Provinsi Jawa Tengah. Situasi ini menggambarkan masih be- sarnya permasalahan pembangunan di kabupaten Cilacap

  14 13 baik dari sisi ekonomi, politik maupun sosial budaya.

  Ernan Rustiadi, “Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dan Agropolitan

Sebagai StrategiPembangunan Perdesaan”, Buletin Tata Ruang, Badan Kordinasi

Penataan Ruang Nasional, Edisi Juli-Agustus, 2009, hlm.27. 14 Humas Cilacap, “Kemiskinan Masih Menghinggapi Cilacap”, dalam diakses 9 Maret 2016.

  Kantong-kantong kemiskinan di kabupaten Cilacap umumnya berada di wilayah perdesaan. Pendataan oleh Pro- gram Perlindungan Sosial (PPLS) Dinas Sosial Kabupaten Cilacap tahun 2011 mengungkap di Kabupaten Cilacap ma- sih terdapat 56 Desa Miskin, dengan persentase warga mis-

  15

  kin mencapai 26 persen. Desa-desa miskin tersebut tersebar di seluruh Kecamatan di Kabupaten Cilacap. Warga yang berkriteria miskin kebanyakan adalah petani yang berada di desa, dengan persentase mendekati 60 persen dari total warga miskin.

  Kemiskinan pedesaan umumnya bersumber dari sek- tor pertanian yang utamanya disebabkan oleh ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Beberapa faktor lainnya anta- ra lain: terbatasnya sarana dan prasarana sosial ekonomi, rendahnya produktivitas dan pembentukan modal, keti- dakmerataan investasi karena pembangunan yang bias ko- ta, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, pengelolaan ekonomi yang masih tradisional, budaya menabung yang belum berkem- bang di kalangan masyarakat desa, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

  Dengan berbagai alasan tersebut, sudah seharusnya dilakukan reorientasi pembangunan Indonesia ke wilayah pedesaan, dimana desa menjadi titik tolak atau poros untuk melesatkan pembangunan Indonesia. Hal ini sesuai dengan asas rekognisi, dimana desa merupakan asal usul NKRI se- hingga dari desalah NKRI harus dibangun. Dalam situasi kemiskinan desa akibat intervensi, eksploitasi dan margi- nalisasi oleh negara, cukup sulit mengandalkan pembiayaan pembangunan dari warga. Maka pendanaan pembangunan dari uang negara menjadi keharusan untuk membayar keti- dakadilan sosial-ekonomi yang terjadi selama ini.

2. Kedaulatan Pembangunan Desa

  Desa merupakan ruang kehidupan bagi masyarakat desa. Segala sumberdaya desa perlu dioptimalkan dan didayagunakan untuk kehidupan dan penghidupan ma- syarakat pedesaan. Namun kenyataanya desa tidak berdaya menentukan sendiri nasibnya. Masyarakat desa tidak lelua- 15 sa mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya, karena ke-

  SAPA, “56 Desa di Kabupaten Cilacap Masih Miskin”, dalam diakses

18 Maret 2016.

  sadaran warga desa/pemerintahan desa masih menganggap kabupaten/provinsi yang berhak mengaturnya.

  Sementara kabupaten dan provinsi melakukan politik kekuasaan feodalisme, yang memberikan berbagai peraturan daerah dan atau SK Bupati/Gubernur yang justru me- nyempitkan kekuasaan terkecil negara yakni desa. Seluruh komponen warga desa akhirnya selalu tergantung kepada kabupaten/provinsi. Investasi asing/dari luar warga desa tidak selalu melalui pemerintah desa, namun lebih cende- rung melakukan negosiasi dengan Pemkab/Pemprov, aki- batnya eksploitasi sumberdaya tidak pernah melibatkan de- sa untuk mengontrol dan mengakses sumberdaya yang di- milikinya.

  Minimnya kesadaran politik dan hukum warga desa, kekuasaan feodalisme yang masih melekat di pemerintahan kabupaten/provinsi, dan ketamakan investor, menyebabkan berbagai persoalan yang harus dihadapi secara langsung o- leh warga pedesaan berupa: proses pemiskinan, ketergan- tungan kepada pihak luar (negara dan investor) atas nasib warga desa masih sangat kuat sehingga menghilangkan kre- ativisme dan solidaritas bersama untuk berdaya; rusaknya lingkungan hidup akibat eksploitasi yang berlebihan oleh pihak eksternal, sementara kontrol warga pedesaan yang le- mah mengakibatkan semakin parahnya kadar kualitas hi- dup petani dan warga pedesaan.

  Agar persoalan ini bisa dientaskan, maka desa harus memiliki kedaulatan politik. Artinya, desa mempunyai kewe- nangan, hak dan prakarsa untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri sesuai kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini sesuai asas rekognisi dan sub-

  

sidiaritas. Dengan cara demikian, kemandirian desa, atau

sering disebut desa membangun dapat diwujudkan.

  Kedaulatan pembangunan desa bertumpu pada keku- atan demokrasi desa. Sistem demokrasi desa sesungguhnya telah lama dikenal dan dipraktekkan dalam kehidupan ma- syarakat desa sejak dahulu. Demokrasi desa ini dicirikan melalui mekanisme pertemuan antar warga desa dalam ben- tuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja) secara bersama-sama. Dengan pengertian demokrasi desa seperti itu, pada tataran realitas terdapat keterkaitan antara aspek ekonomi dan politik dalam konteks rakyat pedesaan.

  Demokrasi desa dilembagakan melalui wadah musya- warah desa, yang didalamnya melibatkan unsur masyarakat desa, Badan Permusyawatan Desa (BPD) dan pemerintah de- sa. Dalam UU 32 tahun 2004 bahwa BPD berfungsi mene- tapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Namun fungsi ini dinilai belum memadai untuk bisa mewujudkan kedaulatan pembangunan desa yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, keberadaan BPD banyak dirasa hanya formalitas dan pe- lengkap kelembagaan desa.

  Pokok permasalahan hubungan BPD dan kepala desa dalam perumusan peraturan desa yang sering terjadi adalah kurangnya koordinasi dan solidaritas pada tahap formulasi kebijakan sehingga mengakibatkan hasil kebijakan yang be- rupa peraturan desa itu tidak dapat mencapai hasil yang optimal sesuai yang diharapkan oleh masyarakat. Ku- rangnya koordinasi tersebut membuat perumusan kebijakan kurang efektif dan efisien.

  Proses perencanaan pembangunan dan pembahasan peraturan selama ini masih cenderung didominasi oleh ke- pala desa. Dalam tahap pembahasan oleh BPD, BPD selaku lembaga permusyawaratan di desa hanya menyetujui apa yang sudah dibahas dalam musrenbangdes, tidak ikut terli- bat aktif dalam pembahasan. Proses koreksi atas kesalahan, kekurangan dan atau kekeliruan dalam penyusunan renca- na pembangunan menjadi minimal.

  Agar kedaulatan pembangunan desa bisa direalisasi- kan, maka BPD sebagai representasi masyarakat desa harus benar-benar didudukkan sebagai pelaku pembangunan desa yang seutuhnya. Dalam arti, BPD tidak hanya merupakan lembaga yang menyerap aspirasi masyarakat dan menetap- kan peraturan. Sebagai wujud kedaulatan pemerintahan oleh masyarakat desa, maka BPD harus menjadi unsur dari pemerintahan itu sendiri. Hal ini berarti BPD menjadi lem- baga politik yang memiliki kewenangan dalam penyelengga- raan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat de- sa bersama dengan kepala desa. Implikasinya, BPD tidak se- kedar menetapkan peraturan, namun harus hadir sejak da- lam tahap perancangan dan pembahasan bersama kepala desa.

  Kedaulatan dan demokrasi desa semestinya juga diwu- judkan dalam kekuasaan pengendalian oleh masyarakat. BPD sebagai wakil masyarakat desa harus memiliki kewe- nangan untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh kepala desa. Di era penguasaan desa o- leh negara, sistem pemerintahan negara telah memberikan kekuasaan yang sangat besar dan tak terkontrol terhadap kepala desa dalam sistem budaya politik desa. Hal ini mem- beri ruang yang sangat luas bagi praktek-praktek korupsi di pemerintahan desa. Adanya fungsi perencanaan dan fungsi kontrol oleh BPD diharapkan dapat meminimalkan penyim- pangan dan mendorong praktek tata kelola pemerintahan desa yang lebih baik.

3. Pembangunan Kawasan Perdesaan Cilacap

  Pembangunan perdesaan bertujuan mewujudkan ka- wasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya sa- ing dan nyaman. Dalam praktiknya masih ditemui beberapa kendala dalam pembangunan kawasan perdesaan di Cilacap yang berasal dari internal maupun eksternal. Adanya ken- dala ini menjadi catatan dan masukan guna upaya penataan dan dukungan pengaturan yang lebih baik ke depannya se- hingga pembangunan kawasan perdesaan khususnya di Ka- bupaten Cilacap dapat lebih efektif dan berdaya guna dalam mengentaskan kemiskinan dan mendorong kesejahteraan masyarakat.

  Beberapa hal yang penting untuk menjadi perhatian a- dalah; pertama, di kawasan perdesaan masih lemah keter- kaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spa- sial. Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian (primer) dengan sektor industri (pengolah- an) dan jasa penunjang, serta keterkaitan pembangunan an- tara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan. Kota-kota kecil dan menengah yang berfungsi melayani kawasan per- desaan disekitarnya belum berkembang sebagai pusat pasar komoditas pertanian; pusat produksi, koleksi dan distribusi barang dan jasa; pusat pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah non pertanian; dan penyedia lapangan kerja alternatif (non pertanian).

  Kedua, timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan

  perdagangan antar daerah. Dalam era otonomi daerah tim- bul kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi (pungutan) yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, di- antaranya pungutan yang dikenakan dalam aliran perda- gangan komoditas pertanian antar daerah yang akan menu- runkan daya saing komoditas pertanian.

  Ketiga, tingginya risiko kerentanan yang dihadapi pe-

  tani dan pelaku usaha di perdesaan. Petani dan pelaku usa- ha di kawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan me- ningkatkan risiko kerugian usaha seperti gagal panen ka- rena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi demikian, pelaku industri kecil yang bergerak di bidang pengolahan produk-produk pertanian otomatis a- kan terkena dampak sulitnya memperoleh bahan baku pro- duksi. Risiko ini masih ditambah lagi dengan fluktuasi harga dan struktur pasar yang merugikan.

  Keempat, rendahnya aset yang dikuasai masyarakat

  perdesaan. Ini terlihat dari besarnya jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha) yang ada di Cilacap. Sebagai gambaran berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 jumlah petani gurem di wila- yah ini mencapai sekitar 185 ribu yang merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Grobo- gan. Hal ini ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti la- han atau tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi informasi, serta jaringan kerjasama. Khusus untuk permodalan, salah satu penyebab rendahnya akses masyarakat perdesaan ke pasar kredit adalah minimnya po- tensi kolateral yang tercermin dari rendahnya persentase ru- mah tangga perdesaan yang memiliki sertifikat tanah. Akses masyarakat perdesaan juga masih minim dalam peman- faatan sumber daya alam. Tingkat kesejahteraan masyara- kat yang tinggal di sekitar hutan, pertambangan dan pesisir masih tergolong rendah, bahkan sebagian besar tergolong miskin.

  Kelima, rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan

Dokumen yang terkait

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Pengaruh Tunjangan Penghasilan Terhadap Kinerja Pegawai Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Studi Pada Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Labuhanbatu Rantauprapat)

14 88 127

Pelaksanaan fungsi Budget Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (studi tentang pelaksanaan fungsi Budget Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumbawa tahun anggran 2004 –2005)

0 7 2

Tinjauan Atas Prosedur Realisasi Anggaran Pada Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat

0 2 1

Implementasi Kebijakan Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2011 di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Belitung Timur

1 18 1

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

0 0 21

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 18

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 0 24

Kerjasama Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap Dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IAIN Purwokerto

0 0 122