BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Optimasi Pembuatan Biodiesel Dari Mesokarp Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction Menggunakan Respone Surface Method (RSM)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIODIESEL

  Biodiesel merupakan campuran dari Fatty Acid Methyl Ester (FAMEs) rantai panjang yang diperoleh melalui proses transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewani dan dapat digunakan sebagai campuran dengan solar minyak bumi [6,7]. Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari minyak tumbuhan (minyak kedelai, canolla oil, rapseed oil, crude palm oil), lemak hewani (beef talow, lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan dari minyak goreng bekas [15].

  Karakteristik fisik dan kimia biodiesel yang sangat mirip dengan bahan bakar diesel konvensional memungkinkan penggunaannya baik sendiri (biodiesel murni, B100) atau dicampur dengan diesel berbasis minyak bumi (rasio umum digunakan : 5-20%, B5-B20) dimana rasio ini hanya memerlukan sedikit penyesuaian teknis atau bahkan tidak memerlukan modifikasi [2]. Biodiesel telah muncul sebagai biofuel generasi pertama yang muncul sebagai pelopor pelaksanaan B5, B10, B20 dan bahan bakar B100 berdasarkan spesifikasi di daerah Eropa, Amerika Utara dan bagian lain di dunia [16].

  Kelebihan biodiesel adalah bebas sulfur, kurang beracun dan biodegradable.. Selain itu, biodiesel memiliki cetane number yang lebih tinggi dibandingkan dengan diesel dari minyak bumi dan profil emisi pembakaran yang lebih menguntungkan, seperti menurunnya tingkat partikel dan karbon monoksida serta oksida nitrogen dalam kondisi tertentu. Sifat fisik biodiesel mirip dengan diesel, memiliki titik nyala

  o

  yang relatif tinggi (150

  C) yang membuatnya lebih stabil dan lebih aman untuk transportasi, serta memberikan sifat pelumas, yang dapat mengurangi keausan mesin dan memperpanjang umur mesin. Oleh sebab itu, bahan bakar biodiesel dapat diharapkan sebagai alternatif yang baik untuk bahan bakar berbasis minyak bumi [17, 5, 7, 18].

  Kerugian penggunaan biodiesel menurut Moser (2009), yaitu biaya bahan baku yang tinggi, kualitas dari bahan dapat berubah seiring dengan lama penyimpanan karena reaksi oksidatif dan hidrolitik, serta dalam beberapa kasus, emisi gas buang NOx lebih tinggi. Karakteristik biodiesel menurut SNI 04-7182-2006 dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Karakteristik Biodiesel Berdasarkan SNI 04-7182-2006 [19]

  No. Parameter Satuan Biodiesel o

  3

  1 Densitas (40

  C) Kg/m 850 - 890

  o

  2

  2 Viskositas Kinematik (40

  C) mm /s (cSt) 2,3

  • – 6

  3 Angka Setana Minimal 51

  

o

  4 Titik nyala C Minimal 100

  

o

  5 Titik kabut C Maksimal 18

  6 Air dan endapan %-vol Maksimal 0,05

  7 Kandungan sulfur Ppm-m (mg/kg) Maksimal 100

  8 Residu karbon % (m/m) Maks. 0,05

  9 Bilangan asam Mg

  • 10 Gliserol bebas % (m/m) Maks. 0,02
    • – KOH/g

  11 Gliserol total % (m/m) Maks. 0,24

  12 Kandungan ester % (m/m) Maks. 96,5

  13 Bilangan Iod % (m/m)(g-12/100g) Maks. 115

  14 Kandungan fosfor Ppm-m (mg/kg) Maksimal 10

2.2 BAHAN

2.2.1 Mesokarp Buah Sawit

  Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari minyak tumbuhan (minyak kedelai, canolla oil, rapseed oil, crude palm oil), lemak hewani (beef talow, lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan dari minyak goreng bekas [15]. Bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel bervariasi dengan wilayah geografis tergantung pada kondisi budidaya dan ketersediaannya. Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia diikuti oleh Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua. Produksi kelapa sawit Malaysia diperkirakan tumbuh lambat karena lahan perkebunan yang terbatas. Sementara Indonesia diprediksi akan berkembang pesat, memperkuat posisinya sebagai dunia terkemuka produsen kelapa sawit. Total area perkebunan saat ini sekitar 8 juta hektar dan diperkirakan mencapai 13 juta hektar pada tahun 2020. Indonesia menghasilkan lebih dari 23 juta ton minyak sawit pada tahun 2012. Areal perkebunan sebagian besar berada di Sumatera dan Kalimantan; sisanya terletak di Sulawesi, Jawa dan Pulau Papua [3,4].

  Kelapa sawit adalah tanaman tropis yang mencapai ketinggian 20-25 m dengan siklus hidup sekitar 25 tahun. Produksi penuh tercapai setelah 8 tahun ditanam. Dua jenis minyak yang diperoleh dari buah sawit: minyak sawit yang pekat, dari pulp atau daging buah, dan minyak inti sawit, dari biji buah (setelah ekstraksi minyak, bungkil inti sawit digunakan sebagai makanan ternak) [20]. Bagian-bagian buah sawit ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bagian-bagian Buah Sawit [13]

  Jumlah Produksi Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia pada Tahun 2000-2011 dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jumlah Produksi Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia pada Tahun

  2004-2013 [8] Tahun

  Jumlah Produksi (ton) 2004 8479,26

  2005 10119,06 2006 10961,76 2007 11437,99 2008 12477,75 2009 13872,60 2010 14038,15 2011 15198,05 2012 16817,80

  2013* 17390,50

  • *). Angka sementara

  Adapun, potensi CPO sebagai bahan baku biodiesel dapat dilihat berdasarkan komposisi kandungan CPO itu sendiri seperti yang dijelaskan pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Komposisi Komponen Utama dalam CPO [22,23]

  

Komponen Jumlah

  Trigliserida > 90 % Free Fatty Acids (FFA) 3 - 7 % Moisture 0,031 ± 0,1 % Impurities 0,014 % Harga biodiesel lebih mahal daripada bahan bakar fosil karena bahan baku dan biaya produksi yang lebih tinggi [24]. Oleh sebab itu, mesokarp buah sawit yang tidak memenuhi kriteria matang panen merupakan bahan baku alternatif dan cocok untuk produksi biodiesel untuk menurunkan biaya produksi.

  Dengan demikian, pilihan bahan baku yang murah, mudah tersedia dan ekonomi layak dan berkelanjutan untuk menggantikan bahan bakar fosil.

2.2.2 Dimethyl Carbonate (DMC)

  Pelarut yang paling umum gunakan untuk produksi biodiesel adalah metanol, karena harganya yang relatif rendah. Selain itu, beberapa alkil asetat rantai pendek seperti metil asetat dan etil asetat juga telah digunakan sebagai akseptor asil. Laju reaksi tertinggi biasanya diperoleh ketika menggunakan pelarut metanol. Selain itu, beberapa alkil asetat rantai pendek seperti metil asetat dan etil asetat juga telah digunakan sebagai akseptor asil. Laju reaksi tertinggi biasanya diperoleh ketika menggunakan pelarut methanol [25].

  Tujuan penggunaan pelarut organik untuk transesterifikasi yaitu untuk memastikan campuran reaksi bersifat homogen, mengurangi viskositas campuran reaksi sehingga meningkatkan laju difusi dan dapat mengurangi masalah perpindahan massa di sekitar enzim [26], untuk meningkatkan stabilisasi enzim sehingga memungkinkan untuk digunakan berulang kali [27], dan juga meningkatkan kelarutan metanol dan sehingga dapat mengurangi efek inaktivasi metanol dan gliserol pada aktivitas lipase [28].

  Penggunaan dialkil karbonat rantai pendek seperti dimetil karbonat (DMC) sebagai asil akseptor untuk transesterifikasi minyak nabati telah dilaporkan [29].. Metode transesterifikasi ini menghilangkan resiko deaktivasi enzim oleh alkohol rantai pendek, seperti alkohol rantai pendek diganti dengan karbonat dialkil rantai pendek, dan yang menghasilkan reaksi ireversibel, dan oleh karena itu metode transesterifikasi ini lebih cepat dan konversi kuantitatif [29].

  Karbonat dialkil rantai pendek, terutama DMC adalah bahan kimia penting, yang memiliki aplikasi yang luas seperti pelarut dan bahan awal untuk sintesis organik. Pergantian alkohol rantai pendek dengan karbonat dialkil rantai pendek sebagai asil akseptor dalam produksi biodiesel dapat menghindari efek negatif dari alkohol. Karbonat dialkil rnatai pendek di sini bertindak pertama sebagai pelarut ekstraksi dan kemudian sebagai agen transesterifikasi. Akhirnya, metil / etil ester diperoleh langsung dari proses ekstraksi dengan hanya mengeluarkan katalis, bahan tanaman lemaknya (dengan penyaringan) dan pelarut (oleh penguapan) [17]. lebih baik dan stabilitas oksidasi lebih baik daripada biodiesel konvensional karena terbentuk Fatty Acid Gliserol Carbonat (FACG) dan by-product Gliserol

  Dicarbonate (GDC) di fase DMC-biodiesel [16]

  Seperti proses ekstraksi reaktif sederhana tanpa katalis tambahan mungkin sangat mengurangi langkah-langkah pengolahan dan biaya produksi biodiesel. Dalam hal ini, n-heksana digunakan sebagai co-solvent untuk mempercepat transesterifikasi in situ. Namun, n-heksana tidak menguntungkan bagi aktivitas lipase serta pemisahan produk. Untuk menghindari penggunaan tambahan pelarut ekstraksi dan meningkatkan stabilitas lipase, DMC mungkin menjadi bahan yang lebih baik dan sangat menjanjikan yang dapat digunakan sebagai substitusi metanol sebagai asil akseptor dan pelarut ekstraksi pada saat yang sama dalam produksi biodiesel [12, 49]. Sifat-sifat fisika dan kimia dimetil karbonat dapat dilihat pada tabel 2. 4.

Tabel 2.4 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Dimetil Karbonat [30]

  Berat molekul 90,08 g/mol Wujud Cairan tak berwarna

  o o

  Titik didih

  90 C (194

  F)

  o o

  Titik leleh

  2 C (35,6

  F)

  o

  1,069 pada 20 C

  Spesific gravity

  Kelarutan Larut dalam air dingin, air panas

2.2.3 Novozyme 435 Katalis digunakan untuk meningkatkan kecepatan reaksi dan nilai yield.

  Klasifikasi katalis dapat berupa alkali, asam dan enzim [31] Reaksi transesterifikasi dapat dikatalisasi baik dengan katalis homogen maupun heterogen [32]. Dalam metode homogen konvensional, pemulihan katalis setelah reaksi secara teknis sulit. Jumlah air limbah yang dihasilkan untuk memisahkan katalis dan membersihkan produk sangat besar. Oleh karena itu, katalis heterogen sangat penting untuk sintesis biodiesel. Katalis ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan katalis homogen.

  Sifat noncorrosive, ramah lingkungan dan masalah pembuangan yang ditimbulkan lebih sedikit. Selain itu, penggunaan katalis heterogen tidak menghasilkan sabun melalui netralisasi asam lemak bebas atau trigliserida saponifikasi. Katalis heterogen juga lebih mudah untuk dipisahkan dari produk cair, dapat digunakan kembali dan dapat dirancang untuk memberikan aktivitas yang lebih tinggi, selektivitas dan tahan enzimatis. Proses enzimatis mampu bereaksi pada kondisi suhu moderat, rasio alkohol yang rendah terhadap minyak, pemulihan produk lebih mudah, dan konversi yang tinggi [9].

  Sintesis biodiesel diklasifikasikan sebagai produksi bahan kimia atau enzimatik sesuai dengan katalis yang digunakan dalam proses. Waktu yang singkat dan hasil yang tinggi adalah keuntungan dari transesterifikasi kimia. Namun, persyaratan energi tinggi, kesulitan dalam pemulihan katalis dan gliserol, dan polusi lingkungan adalah kelemahan utama dalam proses kimia. Lipase dapat dilakukan untuk mengkatalisis reaksi dalam kondisi ringan [17].

  Lipase telah digunakan pada tingkat industri untuk berbagai aplikasi dalam industri pengolahan makanan, farmasi dan kosmetik. Dengan kemampuannya untuk mengkatalisis berbagai reaksi, lipase adalah katalis yang cocok untuk transesterifikasi berbagai bahan baku, bahkan bahan baku dengan nilai asam tinggi, yang dianggap sebagai bahan baku berkualitas rendah [4].

  Bahan baku minyak untuk proses transesterifikasi menggunakan Immobilized (ILs) merupakan proses yang menjanjikan untuk produksi biodiesel. ILs

  Lipases

  merupakan campuran asam lemak alkil ester yang lebih toleran terhadap pelarut organik, panas dan kekuatan geser serta lebih mudah dipulihkan daripada lipase bebas. Namun, biaya menjalankan proses ini masih lebih tinggi daripada katalis kimia, seperti NaOH dan H SO [25]

  2

4 Untuk mengatasi hal ini, biaya dapat dikurangi dengan meningkatkan masa

  pakai lipase selama proses transesterfikasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, pelarut dapat digunakan untuk mencegah pencucian lipase dan menghilangkan efek inhibisi alkohol (metanol biasanya) dan gliserol [25]

  Salah satu ILs komersial yang paling umum adalah Novozyme 435, dibuat dengan melumpuhkan lipase pada resin akrilik dengan adsorpsi [25]. Novozym 435 dapat digunakan untuk mengkatalisasi transesterifikasi dan reaksi hidrolisis untuk produksi biodiesel. Novozym 435 memiliki struktur berpori dan lebih sensitif terhadap perubahan rasio mol serta dapat mencapai konversi yang tinggi dengan rasio mol, temperatur dan jumlah katalis yang lebih rendah [33]. Sifat-sifat dari Novozym 435 dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut.

  Candida antartica lipase B (CALB) bergerak

  Sifat katalis di resin akrilik Sifat fisik Berbentuk manik-manik bulat berwarna putih

  Distribusi ukuran partikel : d (µm) 252

  10

  d (µm) 472

  50

  d (µm) 687

  90

  2 Luas permukaan BET (m /g) 81,6

  3 Volume pori total (cm /g) 0,45

  Diameter pori rata-rata (nm) 17,7

3 Densitas (g/cm ) 1,19

  Porositas 0,349 Kapasitas asam (mmol/g) 0,436

  Namun, ILs saat ini masih menunjukkan beberapa kelemahan untuk aplikasi industri, termasuk: (1) hilangnya aktivitas enzimatik selama imobilisasi; (2) tingginya biaya operasi; (3) stabilitas rendah dalam sistem minyak-air; dan (4) kebutuhan reaktor baru untuk pencampuran dengan baik dan memaksimalkan konversi minyak menjadi biodiesel [25].

  Kadar air dari sistem secara signifikan dapat mempengaruhi laju reaksi dan hasil. Air dapat mempengaruhi aktivitas katalitik dan stabilitas lipase. Dengan demikian kadar air minimum yang diperlukan dalam sistem untuk menjaga enzim aktif dalam reaksi non-berair. Hal ini terutama karena bahwa daerah antarmuka yang tersedia umumnya menentukan aktivitas enzim lipase. Kadar air terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan konsentrasi asil akseptor dalam sistem dan peningkatan gliserida hidrolisis untuk membentuk asam lemak. Akibatnya, jelas tingkat transesterifikasi dan biodiesel hasil menjadi lebih rendah. Telah dilaporkan bahwa dalam sistem pelarut bebas, kadar air optimum bervariasi, sekitar 20%, tergantung pada bahan baku minyak dan ILs [25].

  Isu lain yang terlibat dalam suatu sistem bebas pelarut adalah efek negatif dari gliserol pada aktivitas lipase. Karena gliserol sangat hidrofilik dan larut dalam minyak, dapat dengan mudah terserap ke permukaan ILs menyebabkan penurunan aktivitas dan stabilitas lipase. Hal ini juga mungkin bahwa viskositas gliserol yang tinggi menurunkan difusi reaktan dan produk. Beberapa strategi telah dikembangkan untuk menghapus gliserol, seperti penambahan silica gel untuk menyerap gliserol dan mencuci lipase dengan pelarut organik tertentu secara periodik. Namun, strategi organik hidrofobik seperti n-heksana dan petroleum eter dan tertbutanol, telah digunakan sebagai media yang reaksi untuk transesterifikasi. Sebagai contoh, stabilitas Novozyms 435 di tert-butanol sangat ditingkatkan Dengan diperkenalkannya pelarut tert-butanol, ILs dapat digunakan kembali untuk lebih dari 200 siklus dengan hasil 95% dalam operasi batch atau digunakan untuk lebih dari 500 jam dengan yield biodiesel 97% dalam operasi kontinyu [25].

  Konversi minyak menjadi biodiesel yang tinggi biasanya dicapai dengan jenis reaktor Stirred Tank Reactor. Reaktor Batch Stirred Tank Reactor (BSTR) biasanya digunakan pada skala kecil, khususnya di laboratorium. Pencampuran yang baik dapat meningkatkan kontak antara substrat dan biokatalis dan memberikan dispersi yang baik dari biokatalis dalam campuran reaksi, dan dengan demikian mengurangi resistensi perpindahan massa dan meningkatkan laju reaksi keseluruhan. Namun, aktivitas ILs relatif menurun setelah penggunaan kembali (re use). Sanches dan Vasudevan menemukan bahwa penggunaan Novozym 435 tahan 95% dari aktivitasnya setelah lima batch dan sekitar 70% setelah delapan batch, dan sebesar 41% setelah 11 batch [25].

2.3 EKSTRAKSI REAKTIF

  Metode konvensional untuk produksi biodiesel membutuhkan minyak yang akan diekstrak dari biomassa sebelum dapat ditransesterifikasikan menjadi ester. Reaksi transesterifikasi terjadi dalam keadaan cair. Proses ekstraksi minyak biasanya melibatkan penggunaan pelarut (biasanya hexana) di saat perkolasi atau counter

  

extractor, atau metode mekanis seperti screw press extractor. Namun, metode

  ekstraksi pelarut sangat mahal, kompleks, merusak kesehatan dan bahaya keamanan karena pelarut yang digunakan mudah terbakar dan meledak. Di sisi lain, penggunaan metode mekanik sering menyisakan kandungan minyak yang tinggi pada limbah biomass dibandingkan dari metode ekstraksi pelarut [18].

  Dalam ekstraksi situ dan esterifikasi / transesterifikasi atau juga dikenal sebagai “ekstraksi reaktif” menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai metode yang efisien untuk menghasilkan biodiesel karena kebutuhan untuk mengekstrak

  Pada proses ekstraksi reaktif, minyak akan berkontak dengan alkohol secara langsung. Dengan kata lain, ekstraksi dan transesterifikasi berlangsung dalam satu langkah tunggal, dengan alkohol bertindak sebagai ekstraksi pelarut dan pereaksi transesterifikasi. Perpindahan massa dan difusi yang terjadi membantu dalam pengambilan minyak. Teknologi ekstraksi reaktif dapat digunakan untuk mencapai

  

yield yang lebih tinggi. Tetapi biaya operasional lebih besar karena jumlah alkohol

  yang diperlukan [35, 24, 10] Ekstraksi reaktif menggunakan katalis padat memiliki biaya operasional yang lebih rendah dan lebih kompatibel lingkungan [34]. Produksi biodiesel dengan teknologi ekstraksi reaktif dipengaruhi oleh enam parameter kunci ini, yaitu: ukuran partikel, kecepatan pengadukan, suhu reaksi, waktu reaksi, konsentrasi katalis dan rasio molar alkohol dengan minyak [10].

  Produktivitas dan umur ILs dapat ditingkatkan dengan menggabungkan sistem pemisahan untuk menghilangkan produk samping gliserol atau kelebihan air secara bersamaan, seperti teknologi reaktif ekstraksi. Dengan menghapus gliserol secara bersamaan, resistensi perpindahan massa berkurang dan umur hidup lipase akan lebih panjang [25].

2.4 TRANSESTERFIKASI

  Metode yang paling umum dari produksi biodiesel adalah transesterifikasi atau alkoholisis minyak trigliserida dengan alkohol dengan adanya katalis yang menghasilkan ester monoalkil dan gliserol [4]. Transesterifikasi merupakan reaksi antara trigliserida yang terkandung dalam minyak dan penerima gugus asil. Penerima gugus asil dapat berupa asam karboksilat (asidolisis), alkohol (alkoholisis) atau ester lain (interesterifikasi) [36].

  Tahapan reaksi transesterifikasi merupakan salah satu tahapan yang penting untuk mempercepat jalannya produksi metil ester dan gliserol [37]. Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan sehingga dihasilkan metil ester (biodiesel) [38].

  Transesterifikasi enzimatik minyak nabati dengan dimetil karbonat (DMC) Tahap Pertama

Gambar 2.2 Skema Reaksi Transesterfikasi Trigliserida dengan Dimetil Karbonat

  [16] biodiesel tidak hanya tergantung pada asal usul lipase, tetapi juga pada

  Yield

  susunan enzim (diimobilisasi atau tidak), alkohol yang digunakan, rasio molar alkohol terhadap minyak, aktivitas air optimum, suhu reaksi, waktu reaksi, masa pakai enzim, dan jenis solvent (jika ada) [39,40]. Alkohol berlebih dapat memberikan hasil tinggi dalam sintesis biodiesel dan biokatalis dapat digunakan beberapa kali (terutama lipase terimmobilisasi). Lemak yang mengandung trigliserida dan FFA dapat dikonversi secara enzimatik menjadi biodiesel dalam proses satu tahap [40].

2.5 POTENSI EKONOMI BIODIESEL DARI MESOKARP SAWIT

  diikuti oleh Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua. Indonesia diprediksi akan berkembang pesat. Total area perkebunan saat ini sekitar 8 juta hektar dan diperkirakan mencapai 13 juta hektar pada tahun 2020. Indonesia menghasilkan lebih dari 23 juta ton minyak sawit pada tahun 2012. Minyak sawit merupakan komoditi yang memiliki potensi yang cukup besar, mesokarp sawit diharapkan dapat menjadi sumber bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel guna mencukupi kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang semakin tinggi. Adapun peluang untuk mengembangkan potensi biodiesel sendiri di Indonesia cukup besar terutama untuk substitusi minyak solar mengingat saat ini penggunaan minyak solar mencapai sekitar 40% dari total penggunaan BBM untuk sektor transportasi. Sementara penggunaan solar pada industri dan PLTD adalah sebesar 74% dari total penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut.

  Untuk itu, perlu dilakukan kajian potensi ekonomi biodiesel dari mesokarp sawit. Namun, dalam tulisan ini hanya akan dikaji potensi ekonomi secara sederhana. Sebelum melakukan kajian tersebut, perlu diketahui harga bahan baku yang digunakan dalam produksi dan harga jual biodiesel. Dalam hal ini, harga biodiesel mengacu pada harga komersial TBS (Tandan Buah Segar) sawit dan biodiesel. Harga TBS sawit = Rp 1700/kg [41] Harga Biodiesel = Rp 8500/liter [21]

  Dapat dilihat bahwa, harga jual TBS sawit sebagai bahan baku lebih rendah dari harga jual biodiesel sebagai produk dimana biaya produksi belum termasuk dalam perhitungan. Tentu hal ini membawa nilai ekonomis dalam pembuatan biodiesel dari mesokarp sawit. Dengan adanya kebijakan dari pemerintah mengenai penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar yaitu pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013 sejak Agustus 2013 dimana memberikan dampak yang signifikan terhadap konsumsi biodiesel dalam negeri. Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa konsumsi biodiesel dalam negeri meningkat hingga 100%.

  Produksi biodiesel di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2009-2014) terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 49,8% per tahun, dari 412,98 ribu ton ditahun 2009 menjadi 2,58 juta ton ditahun 2013. Demikian pula dengan ekspor dengan nilai US$ 199,6 juta, namun pada tahun 2013 ekspornya mencapai 1,69 juta dengan nilai US$ 1,41 milyar. Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain mewajibkan setiap badan usaha untuk menggunakan pencampuran bahan bakar nabati dengan bahan bakar solar sebesar 10% pada tahun ini dan akan meningkat hingga 20% pada tahun 2016.

  Oleh karena itu, pemakaian biodiesel untuk menstubtitusi konsumsi solar semakin ditingkatkan. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang ditetapkan oleh peraturan menteri ESDM, penetapan harga jual biodiesel dapat fleksibel mengikuti harga bahan baku serta biaya produksi saat ini yang ditutupi dengan subsidi. Produksi biodiesel menggunakan bahan baku mesokarp sawit dapat tetap menguntungkan dan berpotensi untuk menjadi industri yang berkembang ke depannya menjadikan Indonesia sebagai penghasil terbesar biodiesel dan pelaku ekspor biodiesel di dunia.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menejemen Pemeliharaan pabrik - Optimasi Pemesinan Pada Mesin Bubut Tipe M-300 Horrison Dengan Metode Optimasi Algoritma Genetika

0 2 48

1. Nama: 2. Umur - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 2 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Tindakan Pekerja dalam Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Adolina Tahun 2015

0 1 8

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Bagian Produksi dengan 5S dalam Konsep Kaizen Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT.Apindowaja Ampuh Persada

0 2 20

Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Bagian Produksi dengan 5S dalam Konsep Kaizen Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT.Apindowaja Ampuh Persada

0 0 20

Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Buah Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Buah Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN - Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Buah Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction

0 3 7

Optimasi Pembuatan Biodiesel Dari Mesokarp Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction Menggunakan Respone Surface Method (RSM)

0 0 5