BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menejemen Pemeliharaan pabrik - Optimasi Pemesinan Pada Mesin Bubut Tipe M-300 Horrison Dengan Metode Optimasi Algoritma Genetika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Menejemen Pemeliharaan pabrik

  Tanpa adanya sistem pemeliharaan pabrik yang baik, proses produksi pada suatu pabrik akan terganggu. Jika proses produksi terganggu, proses-proses lain didalam pabrik itu juga akan menjadi kacau. Proses yang terganggu itu misalnya, bahan baku yang tertimbun di gudang penyimpanan, akibatnya proses pengiriman bahan baku baru menjadi terhambat karena gudang masih penuh. Kemudian pengiriman produk jadi juga akan terlambat. Bila produk pabrik merupakan bahan baku yang harus diproses lagi di pabrik lain, tenntunya proses produksi pabrik lain itu juga akan terhambat.[2]

  Salah satu contoh menejemen pemeliharaan pabrik adalah menejemen workshop, dimana workshop adalah bagian pabrik yang sangat penting untuk memperbaiki mesin

  • – mesin yang rusak atau membuat spare

  part. Jika workshop tidak berjalan dengan baik maka seluruh pekerjaan di

  pabrik akan terganggu. Agar workshop dapat berjalan dengan baik harus adanya menejemen terhadap mesin perkakas di dalam workshop tersebut, salah satunya adalah mesin bubut. Dengan mengoptimasi kinerja dari mesin bubut, suatu workshop dapat berjalan dengan baik sehingga proses produksi suatu pabrik tidak terganggu

  2.2 Sistem Menejemen Pemeliharaan

  Dalam upaya mendukung produksi, fungsi pemeliharaan harus mampu memastikan ketersediaan peralatan untuk menghasilkan produk pada tingkat kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Dukungan ini juga harus dilakukan secara aman dan dengan biaya yang efektif (Pintelon dan (Gelders, 1992). Maintenance Engineering Society of Australia (MESA) menjabarkan perspektif yang lebih luas dari pemeliharaan dan mendefinisikan fungsi pemeliharan sebagai rekayasa keputusan dan tindakan terkait yang diperlukan dan cukup untuk mengoptimalkan kemampuan khusus. Kemampuan dalam definisi ini adalah kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu dalam berbagai tingkat kinerja. Karakteristik kemampuan meliputi fungsi, kapasitas, kecepatan, kualitas, dan respon. Ruang lingkup menejemen pemeliharaan, oleh karena itu, harus mencakup setiap tahap dalam siklus hidup sistem teknis (pabrik, mesin, peralatan dan fasilitas), spesifikasi, akuisisi, perencanaan, operasi, evaluasi kinerja, perbaikan, dan pembuangan (Murray dan kawan-kawan,1996). Dalam konteks yang lebih luas, fungsi pemeliharaan juga dikenal sebagai menejemen aset fisik.[3]

  Adapun jenis – jenis menejemen pemeliharaan sebagai berikut : 1. Breakdown Maintenance (BM)

  Mengacu pada strategi, di mana perbaikan dilakukan setelah terjadinya kegagalan peralatan/penghentian atau pada saat terjadinya penurunan kinerja yang parah (Wireman, 1990a). Strategi pemeliharaan ini diterapkan secara luas dalam industri manufaktur sebelum tahun 1950. Pada tahap ini, mesin diservis hanya bila diperlukan perbaikan besar. Konsep ini memiliki kelemahan-kelemahan dengan adanya penghentian operasi yang tidak direncanakan sebelumnya, kerusakan yang berulang kali, permasalahan suku cadang, biaya perbaikan tinggi, waktu tunggu dan trouble shooting yang tinggi (Telang, 1998).[3] 2. Preventive Maintenance (PM)

  Konsep ini diperkenalkan dalam tahun 1951, yang menerapkan pemeriksaan fisik atas peralatan untuk mencegah kerusakan dan memperpanjang usia layanan peralatan. PM adalah merupakan kegiatan yang dilakukan setelah jangka waktu tertentu atau lamanya pengoperasian mesin (Herbaty, 1990). Selama perioda ini, fungsi pemeliharaan dikembangkan dan kegiatan perawatan berdasarkan waktu (Time Based Maintenance - TBM) lazim dilakukan (Pai, 1997). PM dilaksanakan berdasarkan perkiraan probabilitas bahwa suatu peralatan akan mengalami kerusakan atau penurunan kinerja pada interval yang ditentukan. Pemeliharaan preventif yang dilakukan mencakup pelumasan peralatan, pembersihan, penggantian suku cadang, mengencangkan, dan penyetelan. Pemeriksaan atas peralatan produksi juga dapat dilakukan jika ada tanda-tanda kerusakan ditemukan selama pelaksanaan PM (Telang, 1998).[3]

3. Predictive Maintenance (PdM)

  Pemeliharaan prediktif sering juga disebut sebagai pemeliharaan berdasarkan kondisi (Condition Based Maintenance - CBM). Dalam strategi ini, tindakan perawatan diambil sebagai tanggapan terhadap kondisi peralatan tertentu atau ketika peralatan mengalami penurunan kinerja (Vanzile dan Otis, 1992). Teknik diagnostik yang digunakan mengukur kondisi fisik peralatan seperti temperatur mesin, kebisingan, getaran, pelumasan dan korosi (Brook, 1998). Bila satu atau lebih dari indikator ini mencapai ambang batas yang telah ditentukan, inisiatif pemeliharaan dilakukan untuk mengembalikan peralatan kepada kondisi yang diinginkan. Ini berarti bahwa peralatan dikeluarkan dari jalur produksi hanya jika ada bukti langsung bahwa telah terjadi kemerosotan kinerja yang nyata. Pemeliharaan prediktif didasarkan pada prinsip yang sama dengan pemeliharaan preventif meskipun menggunakan kriteria yang berbeda untuk menentukan kebutuhan pemeliharaan tertentu. Kelebihan lainnya adalah bahwa kebutuhan untuk melakukan pemeliharaan hanya terjadi ketika kebutuhan itu nyata, dan bukannya setelah berlalunya jangka waktu tertentu (Herbaty, 1990).[3] 4. Corrective Maintenance (CM)

  Diperkenalkan pada tahun 1957, di mana konsep untuk menghindari kegagalan peralatan diperluas menjadi peningkatan keandalan peralatan sehingga kegagalan peralatan dapat dihilangkan (peningkatan keandalan), dan peralatan dapat dengan mudah dipelihara (peningkatan kemampuan pemeliharaan peralatan) (Steinbacher dan Steinbacher, 1993). Perbedaan utama antara pemeliharaan korektif dan preventif adalah bahwa masalah harus ada sebelum tindakan korektif diambil (Higgins dan kawan-kawan, 1995). Tujuan dari perawatan korektif adalah meningkatkan kehandalan peralatan, kemampuan pemeliharaan, keamanan, kelemahan desain (bahan, bentuk); peralatan yang mengalami reformasi struktural, mengurangi kerusakan dan kegagalan, dan bertujuan dicapainya kondisi alat yang bebas pemeliharaan.[3]

5. Maintenance Prevention (MP)

  Diperkenalkan pada tahun 1960-an, MP adalah kegiatan dimana peralatan dirancang sedemikian rupa sehingga menjadikannya bebas perawatan dan dicapainya kondisi ideal akhir dari bagaimana semestinya suatu peralatan dan jalur produksi (Steinbacher dan Steinbacher, 1993). Dalam perkembangan peralatan baru, inisiatif MP harus dimulai dari tahap desain dan secara strategis harus bertujuan untuk memastikan peralatan yang handal, mudah untuk dirawat dan digunakan (user

  friendly

  ), sehingga operator dapat dengan mudah melakukan retooling, penyetelan (adjustment), dan menjalankannya (Shirose,1992) . Pencegahan pemeliharaan belajar dari kegagalan peralatan sebelumnya, produk yang tidak berfungsi, umpan balik dari lini produksi, pelanggan dan fungsi pemasaran untuk memastikan suatu pengoperasian yang bebas dari kerumitan baik untuk sistem produksi yang ada maupun yang akan datang.[3] 6. Reliability Centered Maintenance (RCM)

  Diperkenalkan pada tahun 1960-an yang pada awalnya berorientasi pada perawatan pesawat terbang dan digunakan oleh produsen pesawat terbang, maskapai penerbangan, dan instansi pemerintah (Dekker, 1996). RCM dapat didefinisikan sebagai proses, struktur logis untuk mengembangkan atau mengoptimalkan kebutuhan pemeliharaan dari suatu sumber daya fisik dalam konteks operasi untuk mewujudkan keandalan yang melekat, dimana tingkat kehandalan ini dapat dicapai melalui program pemeliharaan yang efektif. RCM merupakan suatu proses yang digunakan untuk menentukan kebutuhan pemeliharaan dari aset fisik apapun dalam konteks operasional dengan mengidentifikasi fungsi aset, penyebab kegagalan dan dampak dari kegagalan. Untuk memenuhi tantangan-tantangan ini RCM menerapkan filosofi tujuh- review langkah logis (Samanta dan kawan-kawan, 2001). Langkah- langkahnya adalah pertama - menentukan areal-areal pabrik yang signifikan, kedua - menentukan fungsi-fungsi utama dan standarstandar kinerja, ketiga - menentukan kegagalan-kegagalan fungsi yang mungkin terjadi, keempat - menentukan modus-modus kegagalan yang mungkin terjadi dan dampak-dampaknya, kelima - memilih taktik perawatan layak dan efektif, keenam - penjadwalan dan pelaksanaan taktik yang dipilih, dan ketujuh - mengoptimalkan taktik dan program (Moubray , 1997). Berbagai alat yang digunakan untuk meningkatkan keefektifan pemeliharaan meliputi Analisa Mode Kegagalan dan Dampaknya (Failure Mode and Effect Analysis - FMEA), Analisa Efek Mode Kegagalan dan Kekritisan (Failure Mode Effect and Criticality Analysis

  • FMECA), Physical Hazard Analysis (PHA), Fault Tree Analysis (FTA), Optimalisasi Fungsi Pemeliharaan (Optimizing Maintenance

  Function - OMF) dan Hazard & Operability (HAZOP) Analisis.[3] 7.

  Productive Maintenance (PrM) Diartikan sebagai pemeliharaan yang paling ekonomis yang meningkatkan produktivitas peralatan. Tujuan pemeliharaan produktif adalah untuk meningkatkan produktivitas dari suatu peralatan dengan mengurangi biaya keseluruhan peralatan sepanjang usia pakainya dari tahapan desain, fabrikasi, operasi dan pemeliharaan, dan menekan kerugian yang disebabkan oleh menurunnya kehandalan dan kinerja peralatan. Karakteristik utama dari filosofi pemeliharaan ini adalah kehandalan peralatan dan fokus kemampuan-perawatan, disamping kesadaran atas biaya-biaya kegiatan pemeliharaan. Strategi yang melibatkan semua kegiatan untuk meningkatkan produktivitas peralatan dengan melakukan PM, CM dan MP sepanjang siklus hidup peralatan ini disebut Pemeliharaan Produktif (Wakaru dan Bhadury, 1988).[3]

8. Computerized Maintenance Management System (CMMS)

  Komputerisasi sistem menejemen pemeliharaan membantu dalam mengelola berbagai informasi mengenai tenaga kerja pemeliharaan, persediaan suku cadang, jadwal perawatan & perbaikan peralatan, dan riwayat mesin. Sistem ini dapat digunakan untuk merencanakan dan menjadwalkan perintah - perintah kerja pemeliharaan, mempercepat pengiriman panggilan gangguan, dan untuk mengelola beban kerja perawatan secara keseluruhan. CMMS juga dapat digunakan untuk mengotomatisasi fungsi PM, dan untuk membantu mengendalikan persediaan pemeliharaan dan pembelian bahan. CMMS berpotensi memperkuat kemampuan pelaporan dan analisa (Hannan dan Keyport, 1991; Singer, 1999). Kemampuan CMMS untuk mengelola informasi pemeliharaan berkontribusi meningkatkan komunikasi dan kemampuan pengambilan keputusan dalam fungsi pemeliharaan (Higgins dan kawan- kawan, 1995). Aksesibilitas informasi dan hubungan komunikasi pada CMMS meningkatkan komunikasi yang lebih baik mengenai kebutuhan perbaikan dan prioritas kerja, koordinasi ditingkatkan melalui hubungan kerja yang lebih erat antara pemeliharaan dan produksi, dan peningkatan responsivitas pemeliharaan (Dunn dan Johnson, 1991).[3]

9. Total Productive Maintenance (TPM)

  TPM adalah filosofi pemeliharaan yang berasal dari Jepang yang dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dan metodologi Pemeliharaan Produktif. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Nippon Denso Co Ltd dari Jepang, sebuah perusahaan pemasok Toyota

  

Motor Company pada tahun 1971. TPM adalah sebuah pendekatan

  inovatif yang mengoptimalkan keefektifan peralatan, meniadakan gangguan dan mempromosikan pemeliharaan otonom oleh para operator dalam kegiatan sehari-hari yang melibatkan keseluruhan pekerja (Bhadury, 2000). Pendekatan strategis untuk meningkatkan kinerja kegiatan pemeliharaan adalah dengan cara mengadaptasi dan mengimplementasikan inisiatif-inisiatif TPM strategis dalam organisasi manufaktur. TPM lebih mengfokuskan kegiatan pemeliharaan dan menjadikannya sebagai bagian penting dari bisnis. Inisiatif TPM diarahkan kepada peningkatan daya saing perusahaan yang dijabarkan dengan pendekatan terstruktur yang kuat untuk mengubah pola pikir karyawan sehingga membuat perubahan terlihat nyata dalam budaya kerja perusahaan. TPM berusaha untuk melibatkan semua tingkat dan fungsi dalam organisasi untuk memaksimalkan keefektifan peralatan produksi. Lebih lanjut lagi metode ini juga memperbaiki proses dan peralatan yang ada dengan mengurangi tingkat kesalahan dan kecelakaan. TPM adalah inisiatif manufaktur kelas dunia (World Class

  Manufacturing - WCM) yang bertujuan untuk mengoptimalkan

  keefektivitasan peralatan pabrik (Shirose, 1995). Dimana departemen pemeliharaan secara tradisional adalah pusat dari pengelolaan program pemeliharaan preventif (PM), disisi lain TPM merangkul pekerja dari semua departemen dan tingkatan, dari pekerja pabrik hingga eksekutif senior, dalam upaya memastikan pengoperasian peralatan yang efektif.[3]

2.3 Elemen Dasar Pemesinan

  Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometrik suatu produk komponen mesin, salah satu atau beberapa jenis proses pemesinan harus dipilih sebagai sesuatu proses atau urutan proses yang digunakan untuk membuat benda kerja. Bagi suatu tingkat proses, ukuran obyektif ditentukan dan pahat harus membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran obyektif tersebut tercapai. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara menentukan penampang geram ( sebelum terpotong). Selain itu, setelah berbagai aspek teknelogi ditinjau, kecepetan pembuangan geram dapat dipilih supaya waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Pekerjaan seperti ini akan ditemui dalam setiap perencanaan proses pemesinan. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses pemesinan yaitu : [4]

1. Kecepatan potong ( Cutting speed ) : v (m/min) 2.

  f (mm/min)

  Kecepatan makan ( Feeding speed ) : v 3. Kedalaman potong ( Depth of cut ) : a (mm) 4.

  c (min)

  Waktu pemotongan ( Cutting time ) : t 5. Kecepatan penghasilan geram

  3

  ( Rate of metal removal ) : Z (cm /min) Elemen proses pemesinan tersebut ( v, v f , a, t c , dan Z ) dihitung berdasarkan dimensi kerja benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari

  • – mesin perkakas. Besaran mesin perkakas yang dapat diatur ada bermacam macam tergantung pada jenis mesin perkakas. Oleh sebab itu, rumus yang
dipakai untuk menghitung setiap elemen proses pemesinan dapat berlainan. Pertama – tama akan ditinjau proses pemesinan yang umum di kenal yaitu proses bubut. Ddengan memahami proses bubut dapatlah hal ini dipakai sebagai acuan/referensi untuk membandingkannya dengan proses pemesinan yang lain yaitu proses sekrap, proses gurdi, proses freis. Proses pemesinan yang lain tidak perlu ditinjau karena mereka serupa. Untuk setiap proses yang ditinjau akan diperkenalkan dua sudut pahat yang penting yaitu sudut potong utama ( principal cutting edge angle ) dan sudut geram ( rake

  angle

  ). Kedua sudut tesebut berpengaruh antara lain pada penampang geram, gaya pemotongan, serta umur pahat. Dengan memperhatikan dua sudut ini pada setiap proses pemesinan yang ditinjau dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya semua proses pemesinan adalah serupa.[5]

2.4 Mengenal Proses Pemesinan

  Proses pemesinan dengan menggunakan prinsip pemotongan logam dibagi dalam tiga kelompok dasar, yaitu : proses pemotongan dengan mesin pres, proses pemotongan konvensional dengan mesin perkakas, dan proses pemotongan non konvensional. Proses pemotongan dengan menggunakan mesin pres meliputi pengguntingan (shearing), pengepresan

  (pressing) dan penarikan (drawing, elongating). Proses pemotongan

  konvensional dengan mesin perkakas meliputi proses bubut (turning), proses frais (milling), dan sekrap (shaping). Proses pemotongan non konvensional contohnya dengan mesin EDM (Electrical Discharge

  Machining) dan wire cutting. Proses pemotongan logam ini biasanya

  disebut proses pemesinan, yang dilakukan dengan cara membuang bagian benda kerja yang tidak digunakan menjadi beram (chips), sehingga terbentuk benda kerja. Dari semua prinsip pemotongan di atas pada buku ini akan dibahas tentang proses pemesinan dengan menggunakan mesin perkakas. Proses pemesinan adalah proses yang paling banyak dilakukan untuk menghasilkan suatu produk jadi yang berbahan baku logam. Diperkirakan sekitar 60% sampai 80% dari seluruh proses pembuatan komponen mesin yang komplit dilakukan dengan proses pemesinan.[4]

2.4.1 Klasifikasi Proses Pemesinan

  Proses pemesinan dilakukan dengan cara memotong bagian benda kerja yang tidak digunakan dengan menggunakan pahat (cutting tool), sehingga terbentuk permukaan benda kerja menjadi komponen yang dikehendaki. Pahat yang digunakan pada satu jenis mesin perkakas akan bergerak dengan gerakan yang relatif tertentu (berputar atau bergeser) disesuaikan dengan bentuk benda kerja yang akan dibuat.[5]

  .

Gambar 2.1 Beberapa proses pemesinan

  Pahat, dapat diklasifikasikan sebagai pahat bermata potong tunggal (single point cutting tool) dan pahat bermata potong jamak (multiple point cutting tool). Pahat dapat melakukan gerak potong (cutting) dan gerak makan (feeding). Proses pemesinan dapat diklasifikasikan dalam dua klasifikasi besar yaitu proses pemesinan untuk membentuk benda kerja silindris atau konis dengan benda kerja/pahat berputar, dan proses pemesinan untuk membentuk benda kerja permukaan datar tanpa memutar benda kerja. Klasifikasi yang pertama meliputi proses bubut dan variasi proses yang dilakukan dengan menggunakan mesin bubut, mesin gurdi (drilling machine), mesin frais (milling machine), mesin gerinda (grinding machine). Klasifikasi kedua meliputi proses sekrap (shaping, planing), proses slot (sloting), proses menggergaji (sawing), dan proses pemotongan roda gigi (gear cutting). Beberapa proses pemesinan tersebut ditampilkan pada Gambar 2.1[4]

2.5 Proses Pembubutan ( Turning )

  Proses bubut adalah proses pemesinan untuk menghasilkan bagian- bagian mesin berbentuk silindris yang dikerjakan dengan menggunakan Mesin Bubut. Bentuk dasarnya dapat didefinisikan sebagai proses pemesinan permukaan luar benda silindris atau bubut rata :

1. Dengan benda kerja yang berputar 2.

  Dengan satu pahat bermata potong tunggal (with a single-point cutting

  tool ) 3.

  Dengan gerakan pahat sejajar terhadap sumbu benda kerja pada jarak tertentu sehingga akan membuang permukaan luar benda kerja (lihat

Gambar 2.2 no. 1)Gambar 2.2. Proses bubut rata, bubut permukaan, dan bubut tirus

  Proses bubut permukaan/surface turning ( Gambar 2.2 no.2 ) adalah proses bubut yang identik dengan proses bubut rata ,tetapi arah gerakan pemakanan tegak lurus terhadap sumbu benda kerja. Proses bubut tirus/taper turning (Gambar 2.2 no. 3) sebenarnya identik dengan proses bubut rata di atas, hanya jalannya pahat membentuk sudut tertentu terhadap sumbu benda kerja. Demikian juga proses bubut kontur, dilakukan dengan cara memvariasi kedalaman potong sehingga menghasilkan bentuk yang diinginkan.[6]

  Walaupun proses bubut secara khusus menggunakan pahat bermata potong tunggal, tetapi proses bubut bermata potong jamak tetap termasuk proses bubut juga, karena pada dasarnya setiap pahat bekerja sendiri-sendiri.

  Selain itu proses pengaturannya (seting) pahatnya tetap dilakukan satu persatu. Gambar skematis mesin bubut dan bagian-bagiannya dijelaskan pada gambar 2.3.

  Tiga parameter utama pada setiap proses bubut adalah kecepatan putar spindel (speed), gerak makan (feed) dan kedalaman potong (depth of cut). Faktor yang lain seperti bahan benda kerja dan jenis pahat sebenarnya juga memiliki pengaruh yang cukup besar, tetapi tiga parameter di atas adalah bagian yang bisa diatur oleh operator langsung pada mesin bubut.[4]

  Kecepatan putar n (speed) selalu dihubungkan dengan spindel (sumbu utama) dan benda kerja. Karena kecepatan putar diekspresikan sebagai putaran per menit (revolutions per minute, rpm), hal ini menggambarkan kecepatan putarannya. Akan tetapi yang diutamakan dalam proses bubut adalah kecepatan potong

Gambar 2.3. skematis Mesin Bubut dan nama bagian-bagiannya

2.5.1 Parameter yang Dapat Diatur pada Proses Bubut

  (Cutting speed atau V) atau kecepatan benda kerja dilalui oleh pahat/ keliling benda kerja (lihat Gambar 2.4)[4]

Gambar 2.4 Panjang permukaan benda kerja yang dilalui pahat setiap putaran

  = 1000 … … … … … … … … … … … … … … … ( 2.1 ) Dimana : V = kecepatan potong; m/menit d = diameter rata - rata benda kerja ;mm n = putaran benda kerja; putaran/menit

  Dengan demikian kecepatan potong ditentukan oleh diamater benda kerja. Selain kecepatan potong ditentukan oleh diameter benda kerja faktor bahan benda kerja dan bahan pahat sangat menentukan harga kecepatan potong. Pada dasarnya pada waktu proses bubut kecepatan potong ditentukan berdasarkan bahan benda kerja dan pahat. Harga kecepatan potong sudah tertentu, misalnya untuk benda kerja Mild Steel dengan pahat dari HSS, kecepatan potongnya antara 20 sampai 30 m/menit.[4]

  Gerak makan, f (feed) , adalah jarak yang ditempuh oleh pahat setiap benda kerja berputar satu kali (lihat Gambar 2.4.), sehingga satuan f adalah mm/putaran. Gerak makan ditentukan berdasarkan kekuatan mesin, material benda kerja, material pahat, bentuk pahat, dan terutama kehalusan permukaan yang diinginkan.

  a a f f (a)

Gambar 2.5. Gerak makan (f) dan kedalaman

  Gerak makan biasanya ditentukan dalam hubungannya dengan kedalaman potong a. Gerak makan tersebut berharga sekitar 1/3 sampai 1/20 a, atau sesuai dengan kehaluasan permukaan yang dikehendaki.[4]

  Kedalaman potong a (depth of cut), adalah tebal bagian benda kerja yang dibuang dari benda kerja, atau jarak antara permukaan yang dipotong terhadap permukaan yang belum terpotong (lihat Gambar 2.4). Ketika pahat memotong sedalam a , maka diameter benda kerja akan berkurung 2a, karena bagian permukaan benda kerja yang dipotong ada di dua sisi, akibat dari benda kerja yang berputar.[4]

Gambar 2.6. Proses pemesinan yang dapat dilakukan pada mesin bubut : (a) pembubutan champer (chamfering), (b)

  pembubutan alur (parting-off), (c) pembubutan ulir (threading), (d) pembubutan lubang (boring), (e) pembuatan lubang (drilling), (f) pembuatan kartel (knurling)

  Beberapa proses pemesinan selain proses bubut pada

Gambar 2.2 dapat dilakukan juga di mesin bubut proses pemesinan yang lain, yaitu bubut dalam (internal turning), proses pembuatan lubang dengan mata bor (drilling), proses memperbesar lubang (boring), pembuatan ulir (thread cutting), dan pembuatan alur (grooving/ parting-off). Proses tersebut dilakukan di mesin bubut dengan bantuan peralatan bantu agar proses pemesinan bisa dilakukan (lihat Gambar 2.6).[4]

2.5.2 Geometri Pahat Bubut

  Geometri pahat bubut terutama tergantung pada material benda kerja dan material pahat. Terminologi standar ditunjukkan pada Gambar 2.7. Untuk pahat bubut bermata potong tunggal, sudut pahat yang paling pokok adalah sudut beram (rake angle), sudut bebas (clearance angle), dan sudut sisi potong (cutting edge angle). Sudut-sudut pahat HSS yang diasah dengan menggunakan mesin gerinda pahat (Tool Grinder Machine).[4]

Gambar 2.7. Geometri pahat bubut HSS (Pahat diasah dengan mesin gerinda pahat).

  Sedangkan bila pahat tersebut adalah pahat sisipan yang dipasang pada tempat pahatnya, geometri pahat dapat dilihat pada

Gambar 2.8. Selain geometri pahat tersebut pahat bubut bisa juga diidentifikasikan berdasarkan letak sisi potong (cutting edge) yaitu pahat tangan kanan (Right- hand tools) dan pahat tangan kiri (Left-

  hand tools ), lihat Gambar 2.9.

Gambar 2.8. Geometri pahat bubut sisipan (insert)Gambar 2.9. Pahat tangan kanan dan pahat tangan kiri

  Pahat bubut di atas apabila digunakan untuk proses membubut biasanya dipasang pada pemegang pahat (Tool holder). Pemegang pahat tersebut digunakan untuk memegang pahat dari HSS dengan ujung pahat diusahakan sependek mungkin agar tidak terjadi getaran pada waktu digunakan untuk membubut (lihat Gambar 2.10). Selain bentuk pahat seperti di Gambar 2.10, ada juga pahat yang berbentuk sisipan/inserts

Gambar 2.10. Pemegang pahat HSS : (a) pahat alur, (b) pahat dalam, (c) pahat rata kanan, (d) pahat rata kiri, (e) pahat ulir

  Pahat berbentuk sisipan tersebut harus dipasang pada pemegang pahat yang sesuai. Bentuk pahat sisipan sudah distandarkan oleh ISO. Standar ISO untuk pemegang pahat dapat dilihat pada Lampiran.[4]

2.5.3 Perencanaan dan Perhitungan Proses Bubut

  Elemen dasar proses bubut dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus dan Gambar 2.12 berikut :

  lt do r dm χ a a Vf , put/min

Gambar 2.11. Parameter Pemesinan Keterangan :

  Benda kerja

  : d o = diameter mula ; mm d m = diameter akhir; mm l t = panjang pemotongan; mm

  Pahat : r = sudut potong utama

  χ

  Mesin Bubut :

  a = kedalaman potong, mm f = gerak makan; mm/putaran n = putaran poros utama; putaran/menit

  Adapun parameter yang digunakan adalah:

1. Kecepatan potong (Cutting Speed)

  Kecepatan potong biasanya dinyatakan dalam isitilah m/menit, yaitu kecepatan dimana pahat melintasi benda kerja untuk mendapatkan hasil yang paling baik pada kecepatan yang sesuai. Kecepatan potong dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: kekerasan dari bahan yang akan dipotong dan jenis alat potong yang digunakan. Kecepatan potong harus disesuaikan dengan kecepatan putaran spindel mesin bubut. Untuk keperluan ini digunakan persamaan sebagai berikut: [8]

  . . n = 1000 … … … … … … … … … … … . . (2.2)

  Dimana: V = Kecepatan Potong (m/menit) d = Diameter rata - rata benda kerja (mm) n = Putaran spindel (rpm)

  2. Kedalaman Pemotongan (Depth of Cut)

  3

  ν

  … … … … … … … … … … … . . (2.6) Dimana : lt = Panjang permesinan (mm)

  t c = l t / ν f

  mesin bubut, yang dapat diukur dengan persamaan : [8]

  5. Cutting Time Cutting time adalah waktu pemotongan dalam pemesinan

  Dimana : f = Gerak makan (mm) a = Kedalaman potong (mm) ν = Kecepatan potong (m/min)

  Z = f . a . ν … … … … … … … … … … … . . (2.5)

  /min) [8]

  geram ( cm

  Kedalaman pemotongan adalah dalamnya masuk alat potong menuju sumbu sumbu benda. Dalam proses pembubutan

  4. Material Removal Rate Material Removal Rate adalah kecepatan penghasilan

  … … … … … … … … … … … . . (2.4) Dimana : f = Gerak makan (mm) n = Putaran poros utama (benda kerja)

  v f = f . n

  adalah kecepatan makan dalam pemesinan mesin bubut (mm/min) [8]

  Feeding Speed Feeding Speed

  Dimana : d o = Diameter mula (mm) D m = Diameter akhir (mm) 3.

  2 ) … … … … … … … … … … … . . (2.3)

  a = ( −

  depth of cut dapat diukur dengan menggunakan persamaan : [8]

  f = Kecepatan makan (mm/min) Perencanaan proses bubut tidak hanya menghitung elemen dasar proses bubut, tetapi juga meliputi penentuan/pemilihan material pahat berdasarkan material benda kerja, pemilihan mesin, penentuan cara pencekaman, penentuan langkah kerja/ langkah penyayatan dari awal benda kerja sampai terbentuk benda kerja jadi, penentuan cara pengukuran dan alat ukur yang digunakan.[9]

2.5.4 Material Pahat

  Pahat yang baik harus memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga nantinya dapat menghasilkan produk yang berkualitas baik dan ekonomis. Kekerasan dan kekuatan dari pahat harus tetap ada pada temperatur tinggi, sifat ini dinamakan Hot Hardness. Ketangguhan (Toughness) dari pahat diperlukan, sehingga pahat tidak akan pecah atau retak terutama pada saat melakukan pemotongan dengan beban kejut. Ketahanan aus sangat dibutuhkan yaitu ketahanan pahat melakukan pemotongan tanda terjadi keausan yang cepat.[4]

Gambar 2.12. (a) Kekerasan dari beberapa macam material pahat sebagi fungsi dari temperatur, (b) jangkauan sifat material pahat

  Penentuan material pahat didasarkan pada jenis material benda kerja dan kondisi pemotongan (pengasaran, adanya beban kejut, penghalusan). Material pahat yang ada ialah baja karbon sampai dengan keramik dan intan. Sifat dari beberapa material pahat ditunjukkan pada .

  Material pahat dari baja karbon (baja dengan kandungan karbon 1,05%) pada saat ini sudah jarang digunakan untuk proses pemesinan, karena bahan ini tidak tahan panas (melunak pada suhu 300- 500 F). Baja karbon ini sekarang hanya digunakan untuk kikir, bilah gergaji, dan pahat tangan[4]

  Material pahat dari HSS (High Speed Steel) dapat dipilih jenis M atau T. Jenis M berarti pahat HSS yang mengandung unsur

  Molibdenum , dan jenis T berarti pahat HSS yang mengandung unsur

Tungsten . Beberapa jenis HSS dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1. Jenis Pahat HSS

  Jenis HSS Standart AISI HSS Konvensional

  M1, M2, M7, M10  Molibdenum HSS

  T1, T2  Tungsten HSS

  HSS Spesial

  M33, M36, T4, T5, T6  Cobald added HSS

  M3-1, M3-2, M4, T15  High Vanadium HSS

  M41, M42, M43, M44, M45, M46  High Hardness Co HSS  Cast HSS  Powdered HSS  Coated HSS (Sumber : Widarto, dkk. 2008)

  Pahat dari HSS biasanya dipilih jika pada proses pemesinan sering terjadi beban kejut, atau proses pemesinan yang sering dilakukan interupsi (terputus-putus). Hal tersebut misalnya membubut benda segi empat menjadi silinder, membubut bahan benda kerja hasil proses penuangan, membubut eksentris (proses pengasarannya).[4]

  Pahat dari karbida dibagi dalam dua kelompok tergantung penggunaannya. Bila digunakan untuk benda kerja besi tuang yang tidak liat dinamakan cast iron cutting grade . Pahat jenis ini diberi kode huruf K dan kode warna merah. Apabila digunakan untuk menyayat baja yang liat dinamakan steel cutting grade. Pahat jenis ini diberi kode huruf P dan kode warna biru. Selain kedua jenis tersebut ada pahat karbida yang diberi kode huruf M, dan kode warna kuning. Pahat karbida ini digunakan untuk menyayat berbagai jenis baja, besi tuang dan non ferro yang mempunyai sifat ketermesinan yang baik.[4]

2.5.5 Pemilihan mesin

  Pertimbangan pemilihan mesin pada proses bubut adalah berdasarkan dimensi benda kerja yang yang akan dikerjakan. Ketika memilih mesin perlu dipertimbangkan kapasitas kerja mesin yang meliputi diameter maksimal benda kerja yang bisa dikerjakan oleh mesin, dan panjang benda kerja yang bisa dikerjakan. Ukuran mesin bubut diketahui dari diameter benda kerja maksimal yang bisa dikerjakan (Swing over the bed), dan panjang meja mesin bubut (Length of the bed). Panjang meja mesin bubut bukan berarti panjang maksimal benda kerja yang dikerjakan diantara dua senter. Panjang maksimal benda kerja maksimal adalah panjang meja dikurangi jarak yang digunakan kepala tetap dan kepala lepas.[4]

Gambar 2.13. Benda kerja dipasang diantara dua senter

  Beberapa jenis mesin bubut dari mesin bubut manual dengan satu pahat sampai dengan mesin bubut CNC dapat dipilih untuk proses pemesinan (Lihat Lampiran 1). Pemilihan mesin bubut yang digunakan untuk proses pemesinan bisa juga dilakukan dengan cara memilih mesin yang ada di bengkel (workshop). Dengan pertimbangan awal diameter maksimal benda kerja yang bisa dikerjakan oleh mesin yang ada.

  Setelah langkah pemilihan mesin tersebut di atas, dipilih juga alat dan cara pencekaman/pemasangan benda kerja (Lihat Gambar 2.14). Pencekaman/pemegangan benda kerja pada mesin bubut bisa digunakan beberapa cara. Cara yang pertama adalah benda kerja tidak dicekam, yaitu menggunakan dua senter dan pembawa. Dalam hal ini, benda kerja harus ada lubang senternya di kedua sisi (Gambar 2.13). Cara kedua yaitu dengan menggunakan alat pencekam (Gambar 2.14). Alat pencekam yang bisa digunakan adalah :

  collet , digunakan untuk mencekam benda kerja berbentuk

  silindris dengan ukuran sesuai diameter collet. Pencekaman dengan cara ini tidak akan meninggalkan bekas pada permukaan benda kerja.

  cekam rahang empat (untuk benda kerja tidak silindris) .

  Alat pencekam ini masing-masing rahangnya bisa diatur sendiri- sendiri, sehingga mudah dalam mencekam benda kerja yang tidak silindris.

  Cekam rahang tiga

  (untuk benda silindris). Alat pencekam ini tiga buah rahangnya bergerak bersama-sama menuju sumbu cekam apabila salah satu rahangnya digerakkan.

  Face Plate , digunakan untuk menjepit benda kerja pada

  suatu permukaan plat dengan baut pengikat yang dipasang pada alur T. Pemilihan cara pencekaman tersebut di atas, sangat menentukan hasil proses bubut. Pemilihan alat pencekam yang tepat akan menghasilkan produk yang sesuai dengan kualitas geometris yang dituntut oleh gambar kerja. Misalnya apabila memilih cekam rahang tiga ntuk mencekam benda kerja silindris yang relatif panjang, hendaknya digunakan juga senter jalan yang dipasang pada kepala lepas, agar benda kerja tidak tertekan

  Spindel mesin bubut collet

  Cekam rahang empat Cekam rahang tiga Face plate

Gambar 2.14. Alat pencekam benda kerja

  Penggunaan cekam rahang tiga atau cekam rahang empat, apabila kurang hati-hati, akan menyebabkan permukaan benda kerja terluka. Hal tersebut terjadi misalnya pada waktu proses bubut dengan kedalaman potong yang besar, karena gaya pencekaman tidak mampu menahan beban yang tinggi, sehingga benda kerja tergelincir atau selip. Hal ini perlu diperhatikan terutama pada waktu proses finishing , proses pemotongan ulir, dan proses pembuatan alur. Beberapa contoh proses bubut, dengan cara pencekaman yang berbeda-beda [4]

2.5.6 Penentuan langkah kerja

  Langkah kerja dalam proses bubut meliputi persiapan bahan benda kerja, setting mesin, pemasangan pahat, penentuan jenis pemotongan (bubut lurus, permukaan, profil, alur, ulir), penentuan kondisi pemotongan, perhitungan waktu pemotongan, dan pemeriksaan hasil berdasarkan gambar kerja. Hal tersebut dikerjakan untuk setiap tahap (jenis pahat tertentu).Bahan benda kerja yang dipilih biasanya sudah ditentukan pada gambar kerja baik material maupun dimensi awal benda kerja. Seting/ penyiapan mesin dilakukan dengan cara memeriksa semua eretan mesin, putaran spindel, posisi kepala lepas, alat pencekam benda kerja, pemegangan pahat, dan posisi kepala lepas. Usahakan posisi sumbu kerja kepala tetap (spindel) dengan kepala lepas pada satu garis untuk pembubutan lurus, sehingga hasil pembubutan tidak tirus.

Gambar 2.15. Beberapa contoh proses bubut dengan cara pencekaman/pemegangan benda kerja yang berbeda-bedaGambar 2.16. Cara pemasangan pahat bubut : 1) Posisi ujung pahat pada sumbu benda kerja, 2) panjang pahat

  diusahakan sependek mungkin Pemasangan pahat dilakukan dengan cara menjepit pahat pada rumah pahat (tool post). Usahakan bagian pahat yang menonjol tidak terlalu panjang, supaya tidak terjadi getaran pada pahat ketika proses pemotongan dilakukan. Posisi ujung pahat harus pada sumbu kerja mesin bubut, atau pada sumbu benda kerja yang dikerjakan. Posisi ujung pahat yang terlalu rendah tidak direkomendasi, karena menyebabkan benda kerja terangkat, dan proses pemotongan tidak efektif (lihat Gambar 2.16)

  Pahat bubut bisa dipasang pada tempat pahat tunggal, atau pada tempat pahat yang berisi empat buah pahat (Quick change

  indexing square turret ) . Apabila pengerjaan pembubutan hanya

  memerlukan satu macam pahat lebih baik digunakan tempat pahat tunggal. Apabila pahat yang digunakan dalam proses pemesinan lebih dari satu, misalnya pahat rata, pahat alur, pahat ulir, maka sebaiknya digunakan tempat pahat yang bisa dipasang sampai empat pahat. Pengaturannya sekaligus sebelum proses pembubutan, sehingga proses penggantian pahat bisa dilakukan dengan cepat (quick change).[4]

Gambar 2.17. Tempat pahat (tool post) : (a) untuk pahat tunggal, (b) untuk empat pahat

2.6 Algoritma Genetika

2.6.1 Sejarah

  Sejarah perkembangan algoritma genetika (genetic

  algorithm ) berawal pada tahun 1960-an ketika I. Rochenberg dalam

  bukunya yang berjudul “Evolution Strategies” mengemukakan tentang evolusi komputer (computer evolutionary) yang kemudian dikembangkan oleh John Holland pada tahun 1970-an. John Holland menulis buku tentang algoritma genetika yang berjudul “Adaptation in

  Natural and Artificial System

  ” yang diterbitkan pada tahun 1975.[10] Algoritma genetika adalah teknik pencarian heuristic yang didasarkan pada gagasan evolusi seleksi alam dan genetik. Algoritma ini memanfaatkan proses seleksi alamiah yang dikenal proses evolusi. Dalam proses evolusi, individu secara terus – menerus mengalami perubahan gen untuk menyesuaikan dengan lingkungannya. Hanya individu

  • – individu yang kuat yang mampu bertahan. Proses seleksi alamiah ini melibatkan perubahan gen yang terjadi pada individu melalui proses perkembangbiakan. Proses perkembangbiakan ini didasarkan pada analogi struktur genetic dan prilaku kromosom dalam populasi individu dengan menggunakan dasar sebagai berikut :[11]

   Individu dalam populasi bersaing untuk sumber daya alam dan pasangannya  Mereka yang paling sukses di setiap kompetisi akan

  • – menghasilkan keturunan yang lebih baik dari pada individu individu yang berkinerja buruk

   Gen dari individu yang baik akan menyebar ke seluruh populasi sehingga dua orang tua yang baik kadang – kadang akan menghasilkan keturunan yang lebih baik dari orang tuanya  Setiap ada pergantian generasi maka generasi terbaru biasanya lebih cocok dengan lingkungan mereka. Dengan kata lain, generasi baru ini menyesuaikan dengan keadaan lingkungan nya

2.6.2 Pemasalahan yang Membutuhkan Algoritma Genetika

  Untuk dapat memanfaatkan algoritma genetika, kita harus dapat menyadikan solusi dari masalah yang diberikan ke dalam kromosom pada algoritma genetika dan membandingkan nilai

  fitness -nya. Sebuah representasi algoritma genetika yang efektif

  dan nilai fitness yang bermakna adalah keberhasilan dalam aplikasi algoritma genetika. Ciri

  • – ciri permasalahan yang membutuhkan algoritma genetika antara lain :[11]  Ruang pencarian sangat besar, kompleks, atau kurang dipahami.

   Tidak ada pengetahuan yang memadai untuk menyederhanakan ruang pencarian yang sangat besar menjadi ruang pencarian yang lebih sempit.

   Tidak ada analisis matematis yang bias menangani ketika metode konvensional gagal menyelesaikan masalah yang dihadapi.

   Solusi yang dihasilkan tidak harus optimal, asal sudah memenuhi kriteria sudah bisa diterima.  Mempunyai kemunkinan solusi yang jumlahnya tak hingga.

   Membutuhkan solusi real-time, yaitu solusi yang bisa didapatkan dengan cepat sehingga dapat diimplementasi untuk permasalahan yang mempunyai perubahan yang cepat  Jika suatu permasalahan menggunakan fungsi optimasi yang linear atau tidak linear yang konstrain

2.6.3 Aplikasi Algoritma Genetika

  Sejak pertama kali dirintis oleh John Holland, Algoritma Genetika telah dipelajari, diteliti dan diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang. Algoritma Genetika banyak digunakan pada masalah praktis yang berfokus pada pencarian parameter-parameter yang optimal. Namun demikian, algoritma genetika juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah selain optimasi. Selama suatu masalah berbentuk adaptasi (alami maupun buatan), maka dapat diformulasikan dalam terminologi genetika.[12]

  Algoritma genetik merupakan teknik search stochastic yang berdasarkan mekanisme seleksi alam dan genetika natural. Pada algoritma genetika, teknik pencarian dilakukan sekaligus atas sejumlah solusi yang mungkin dikenal dengan istilah populasi. Setiap individu di dalam populasi disebut kromosom, yang merepresentasikan suatu penyelesaian terhadap masalah yang ditangani. Sebuah kromosom terdiri dari sebuah string yang berisi berbagai simbol, dan biasanya, tetapi tidak mutlak, string tersebut berupa sederetan bit- bit biner “0” dan “1”. Sebuah kromosom tumbuh atau berkembang biak melalui berbagai iterasi yang berulang-ulang, dan disebut sebagai generasi. Pada setiap generasi, berbagai kromosom yang dihasilkan akan dievaluasi menggunakan suatu pengukuran fitness. Nilai fitness dari suatu kromosom akan menunjukkan kualitas dari kromosom dalam populasi tersebut. Generasi berikutnya dikenal dengan istilah anak (offspring) terbentuk dari gabungan dua kromosom generasi sekarang yang bertindak sebagai induk (parent) dengan menggunakan operator penyilangan (crossover). Selain operator penyilangan, suatu kromosom dapat juga dimodifikasi dengan menggunakan operator mutasi. Populasi generasi yang baru dibentuk dengan cara menyeleksi nilai fitness dari kromosom induk (parent) dan nilai fitness dari kromosom anak (offspring), serta menolak kromosom- kromosom yang lainnya sehingga ukuran populasi (jumlah kromosom dalam suatu populasi) konstan. Setelah melalui beberapa generasi, maka algoritma ini akan konvergen ke kromosom terbaik.[12]

  Secara skematis, siklus algoritma genetika dapat digambarkan sebagai berikut:

  Reproduksi Populasi Awal Seleksi Crossover & Individu

  Mutasi Evaluasi Fitness Populasi Baru

  Elitisme

Gambar 2.18 Siklus algoritma genetika

2.7 Prosedur Algoritma Genetika

  Untuk menggunakan Algoritma genetika, perlu dilakukan prosedur sebagai berikut:[13]

  1. Mendefinisikan individu, dimana individu menyatakan salah satu solusi (penyelesaian) yang mungkin dari permasalahan yang diangkat.

  2. Mendefinisikan nilai fitness, yang merupakan ukuran baik tidaknya sebuah individu atau baik tidaknya solusi yang didapatkan.

  3. Menentukan proses pembangkitan populasi awal. Hal ini biasanya dilakukandengan menggunakan pembangkitan acak seperti random-walk.

  4. Menentukan proses seleksi yang akan digunakan.

  5. Menentukan proses pindah silang (crossover) dan mutasi gen yang akan digunakan.

2.7.1 Pengertian Individu Individu merupakan salah satu solusi yang mungkin.

  Individu bias dikatakan sama dengan kromosom, yang merupakan kumpulan gen. Gen ini bisa biner, pecahan (float), dan kombinatorial. Beberapa definisi penting yang perlu diperhatikan dalam mendefinisikan individu untuk membangun penyelesaian permasalahan dengan Algoritma genetika adalah sebagai berikut:[12]

  1. Genotype (Gen), adalah sebuah nilai yang menyatakan satuan dasar yang membentuk suatu arti tertentu dalam satu kesatuan gen yang dinamakan kromosom. Dalam Algoritma genetika, gen ini bias bernilai biner, float, integer maupun karakter, atau kombinatorial.

  2. Allele, adalah nilai dari gen.

  3. Kromosom, adalah gabungan gen-gen yang membentuk nilai tertentu.

  4. Individu, adalah suatu nilai atau keadaan yang menyatakan salah satu solusi yang mungkin dari permasalahan yang diangkat.

  5. Populasi, adalah sekumpulan individu yang akan diproses bersama dalam satu siklus proses evolusi.

  6. Generasi, adalah satu siklus proses evolusi atau satu literasi didalam Algoritma genetika.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Serbuk Kaca Terhadap Properties Batako

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Program Keselamatan Kerja - Hubungan Penerapan Program Keselamatan Kerja dengan Tindakan Tidak Aman oleh Karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Teh Bah Butong

0 4 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Penerapan Program Keselamatan Kerja dengan Tindakan Tidak Aman oleh Karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Teh Bah Butong

0 7 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Penetapan Harga Jual Unit Rumah pada Perumahan La Grandia Setia Budi

0 1 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Dampak Program Desa Mandiri Pangan Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus: Kel.Ladang Bambu, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Dampak Program Desa Mandiri Pangan Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus: Kel.Ladang Bambu, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan)

0 1 8

Hubungan Profil Peternak Dengan Pendapatan Usaha Ternak Kerbau Lumpur di Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan

0 0 10

Implementasi Sistem Pendukung Keputusan dalam Menentukan Predikat Kelulusan Santri dan Dyah dengan Algoritma Electre dan Simple Additive Weighting (SAW)

0 0 11

BAB II LANDASAN TEORI - Implementasi Sistem Pendukung Keputusan dalam Menentukan Predikat Kelulusan Santri dan Dyah dengan Algoritma Electre dan Simple Additive Weighting (SAW)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Dan Strategi Pengembangan Nilai Tambah Produk Perikanan (Studi Kasus: Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 1 17