BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Tingkat Pengetahuan 1.1. Defenisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan dan Sikap Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi pada Pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Tingkat Pengetahuan

  1.1. Defenisi Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

  1.2. Jenis Pengetahuan

  Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa jenis pengetahuan di antaranya sebagai berikut:

  1.2.1.Pengetahuan Implisit Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak disadari. Contoh sederhana: seseorang mengetahui tentang bahaya merokok bagi kesehatan, namun ternyata dia merokok.

  1.2.2.Pengetahuan Eksplisit Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan.

  Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang berhubungan

  7 dengan kesehatan.Contoh sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang bahaya merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.

1.3. Tingkat Pengetahuan

  Ranah kognitif berorientasi kepada kemampuan berfikir, mencakup kemampuan intelektual yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving). Pada ranah ini individu dituntut untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang sebelumnya telah dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut (Nurhidayah, 2010).

  Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmojo (2010) menyatakan bahwa pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

  1.3.1. Tahu (Know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC, dan sebagainya.

  1.3.2. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3 M (Mengubur, Menutup, dan Menguras), tetapi juga harus dapat menjelaskan mengapa melakukan 3 M tersebut.

  1.3.3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di mana saja.

  1.3.4. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa.

  1.3.5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya, dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar.

  1.3.6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak.

1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

  Budiman & Agus (2013) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan sebagai berikut:

  1.4.1.Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun non formal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif dimana kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.

  1.4.2. Informasi/media massa Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi Informasi). Informasi tidak dapat diuraikan (intangible) tetapi informasi tersebut dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan pengamatan terhadap dunia sekitar kita, serta diteruskan melalui komunikasi. Informasi mencakup data, teks, gambar, suara, kode, program komputer, dan basis data.

  1.4.3. Sosial, budaya, dan ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang adalah tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian, seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitasyang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

  1.4.4. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

  1.4.5. Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

  1.4.6. Usia Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua. Namun pada usia tua, individu akan mengalami kemunduran baik fisik maupun mental.

1.5. Pengukuran Pengetahuan

  Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa menurut Skinner, bila seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut dinamakan pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang ditetapkan menurut hal-hal sebagai berikut:

  1. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman.

  2. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, dan analisis.

  3. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden.

  Arikunto (2006) membuat kategori tingkat pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang didasarkan pada nilai persentase yaitu sebagai berikut:

  1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75%.

  2. Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56–74%.

  3. Tingkat pengetahuan kategori Kurang jika nilainya < 55%.

2. Sikap

2.1 Defenisi Sikap

  Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: “an individual’s

  

attitude is syndrome of response consistency with regard to object .” Jadi jelas, di

  sini dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2010).

  Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respon atau perilaku yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan. Kecenderungan bertindak dari individu, berupa respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu adalah suatu sikap (Sunaryo, 2004).

2.2. Komponen Pokok Sikap

  Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

2.2.1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

  Sikap orang terhadap penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta.

  2.2.2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh di atas tersebut, berarti bagaimana orang menilai terhadap penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.

  2.2.3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya, tentang contoh sikap terhadap penyakit kusta di atas, adalah apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita penyakit kusta.

2.3. Tingkatan Sikap

  Menurut Notoadmojo (2010) berdasarkan intensitasnya sikap mempunyai tingkat-tingkat sebagai berikut:

  2.3.1.Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). Misalnya, sikap seseorang terhadap periksa hamil (ante

  

natal care ), dapat diketahui atau diukur dari kehadiran si ibu untuk mendengarkan

penyuluhan tentang ante natal care di lingkungannya.

  2.3.2.Menanggapi (responding) Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya, seorang ibu yang mengikuti penyuluhan ante natal care tersebut ditanya atau diminta menanggapi oleh penyuluh, kemudian ia menjawab atau menanggapinya.

  2.3.3.Menghargai (valuing) Menghargai diartikan subjek,atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons. Contoh butir pertama di atas, ibu itu mendiskusikan ante natal care dengan suaminya, atau bahkan mengajak tetangganya untuk mendengarkan penyuluhan ante natal care .

  2.3.4.Bertanggung jawab (responsible) Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain. Contoh tersebut di atas, ibu yang sudah mau mengikuti penyuluhan ante natal care, ia harus berani untuk mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan penghasilannya, atau diomeli oleh mertuanya karena meninggalkan rumah dan sebagainya.

  

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Pengubahan

Sikap

  Pada manusia sebagai faktor sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari pengaruh interaksi satu sama lainnya (eksternal). Di samping itu manusia juga individu, sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal) juga mempengaruhi pembentukan sikap (Notoatmodjo, 2003).

  2.4.1.Faktor internal Dalam hal ini individu menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar, serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang tidak. Faktor internal menyangkut motif dan sikap yang bekerja dalam diri individu pada saat itu serta mengarahkan minat, perhatian (faktor psikologis) juga perasaan sakit, lapar dan haus (faktor fisiologis).

  2.4.2.Faktor eksternal Merupakan stimulus untuk membentuk dan menentukan sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat langsung, misalnya individu dengan individu, individu dengan kelompok. Dapat juga bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara alat komunikasi.

2.5. Pengukuran Sikap

  Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah: menerima (memperhatikan), merespons, menghargai, mengorganisasi, dan menghayati. Skala yang digunakan untuk mengukur ranah afektif seseorang terhadap kegiatan suatu objek di antaranya menggunakan skala Likert.

  Hasil pengukuran berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Oleh sebab itu, pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.

3. Konsep Stroke

3.1. Defenisi Stroke

  Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

  Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun sumbatan dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat ,atau kematian (Junaidi, 2011).

3.2. Klasifikasi Stroke

  Menurut Muttaqin (2008) stroke terbagi atas:

  3.2.1.Stroke hemoragi Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid.

  Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:

  3.2.1.1.Perdarahan intraserebral. Pecahnya pembuluh darah(mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, dan menimbulkan edema otak.

  3.2.1.2.Perdarahan subaraknoid. Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma

  

berry atau AVM. Aneurisma yang pecahnya ini berasal dari pembuluh darah

sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak.

  3.2.2.Stroke nonhemoragik Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.

3.3. Faktor Resiko Stroke

  Menurut Muttaqin (2008) beberapa faktor penyebab stroke antara lain: 1. Hipertensi, merupakan faktor resiko utama 2.

  Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung 3. Kolesterol tinggi 4. Obesitas 5. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral 6. Diabetes-terkait dengan aterogenesis terakselerasi 7. Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi)

8. Merokok 9.

  Penyalahgunaan obat (khususnya kokain)

  10. Konsumsi alkohol

3.4. Manifestasi Klinis

  • Mulut mencong (facial drop)

  Normal: kedua sisi muka bergerak simetris Abnormal: salah satu sisi muka tertinggal/tidak bereaksi

  • Gangguan bicara dan bahasa

  Normal: dapat mengucapkan kata/kalimat dengan benar dan jelas Abnormal: tidak mampu/bicara rero/pelo/cadel, kalimat yang salah

  • Lengan lemah (arm drift)

  Normal: kedua lengan dapat bergerak bersamaan dan sejajar Abnormal: salah satu lengan bergerak turun/tidak sejajar

3.5. Penyebab Stroke

  Menurut Muttaqin (2008), penyebab stroke adalah sebagai berikut:

  3.5.1.Trombosis serebral Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.

  3.5.2.Hemoragi Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.

  3.5.3.Hipoksia umum Hipertensi yang parah, henti jantung-paru, curah jantung turun akibat aritmia.

  3.5.4. Hipoksia setempat Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid, vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

3.6. Mobilitas Pada Pasien Stroke

  Stroke adalah penyakit saraf motorik atas/upper motoric nerve (UMN) dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak (Muttaqin, 2008). Apabila stroke merusak bagian sebelah kanan otak, maka sisi tubuh yang di sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Sedangkan jika kerusakan terjadi pada bagian otak sebelah kiri, maka kelumpuhan dan kelemahan motorik (daya gerak) tubuh pada sisi sebelah kanan terjadi. Apabila sisi sebelah kanan mengalami kerusakan, maka pasien akan mengalami kesulitan-kesulitan dengan persepsi spasial. Seringkali salah satu sisi tubuhnya terabaikan, tidak menyadari keberadaan sisi sebelah kiri tubuhnya (Shimberg, 1998).

  Mobilisasi atau rehabilitasi dini di tempat tidur merupakan suatu program rehabilitasi yang segera dilakukan, khususnya selama beberapa hari sampai minggu setelah terkena stroke. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekakuan otot (kontraktur), mengoptimalkan pengobatan sehubungan masalah medis dan menyediakan bantuan psikologis pasien dan keluarganya. Bila usaha ini dilakukan dengan segera, maka kekakuan otot dapat berkurang secara cepat perhari sekitar 3%. Pengerelaksasian kekakuan otot (dekondisioning) mulai dilakukan dalam waktu 24-48 jam pertama. Pada kondisi ini katabolisme meningkat, depresi psikologis, stasis pembuluh vena, kapasitas vital menurun, perlambatan gerakan saluran cerna. Stasis urinaria juga dapat dijumpai. Terapi fisik harus dimulai dalam 2 hari dari saat terjadinya (onset) stroke bahkan pasien koma sekalipun dengan menggerakkan anggota tubuhnya. Program awal rehabilitasi/mobilisasi dini dilakukan secepatnya. Pasien yang diperbolehkan mengangkat kepala, duduk, dan berdiri maka perbaikan fungsi dapat diharapkan dengan lebih baik (Junaidi, 2011).

4. Bahaya Fisiologis Imobilisasi

4.1. Perubahan fisiologis imobilisasi

  Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh beresiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami.

  4.1.1.Perubahan metabolik Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR (Basal Metabolic Rate) diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka.

  Demam dan penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan oksigen selular (McCance dan Huether, 1994).

  Defisiensi kalori dan protein merupakan karakteristik klien yang mengalami penurunan selera makan sekunder akibat imobilisasi. Jika lebih banyak nitrogen (produk akhir pemecahan asam amino) yang diekskresikan dari pada yang dimakan dalam bentuk protein, maka tubuh dikatakan mengalami keseimbangan nitrogen negatif, dan kehilangan berat badan, penurunan massa otot, dan kelemahan akibat katabolisme jaringan. Kehilangan protein menunjukkan penurunan massa otot terutama pada hati, jantung, paru-paru, saluran pencernaan, dan sistem kekebalan (Long et al,1993).

  4.1.2.Perubahan sistem respiratori Klien imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru dimana yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat stasisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan (Long et al, 1993). Sekret yang menetap menumpuk di bronkus dan paru menyebabkan pertumbuhan bakteri yang selanjutnya berkembang menjadi pneumonia. Infeksi pulmonal tetap berkembang meskipun dilakukan intervensi untuk pencegahannya.

  4.1.3.Perubahan sistem kardiovaskuler Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respons otonom.

  Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diiikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance dan Huether, 1994). Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energi, gangguan visual, dispnea, ketidaknyaman kepala atau leher, dan hampir pingsan ataupun pingsan (Gilden, 1993).

  Klien juga berisiko terjadi pembentukan trombus. Trombus adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang- kadang menutup lumen pembuluh darah.

  4.1.4.Perubahan sistem muskuloskeletal Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, penurunan stabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.

  Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan kelainan sendi yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu bergerak terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh. Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi. Kontraktur sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi.hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh (Lehmkuhl et al, 1990).

  4.1.5.Perubahan sistem integumen Dekubitus terjadi akibat iskemia dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi seluler terganggu, dan sel menjadi mati (Ebersole dan Hess, 1994). Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenik paling umum dalam perawatan kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus-lansia dan yang imobilisasi (Alterescu dan Alterescu, 1992). Kerusakan integritas kulit mempunyai dampak yang bermakna pada tingkat kesejahteraan, asuhan keperawatan, dan lamanya perawatan di rumah sakit.

  4.1.6.Perubahan eliminasi urin Eliminasi urin klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Ginjal yang membentuk urin harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urin masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urin dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.

4.2. Pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi

  4.2.1. Sistem Metabolik Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi perubahan transport nutrient, mengkaji asupan, makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan perubahan fungsi gastrointestinal.

  Pada umumnya anoreksia terjadi pada klien imobilisasi.asupan makanan klien harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan diberikan, untuk menentukan jumlah yang dimakan. Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihindari apabila perawat mengkaji pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum keadaan imobilisasi.

  Jika klien tidak bisa makan, nutrisi harus diberikan melalui parenteral dan enteral. Pemberian makanan enteral meliputi pemberian melalui selang nasogastrik, gastrostomi, jejunostomi dengan cairan tinggi protein, tinggi kalori dengan tambahan vitamin lengkap, mineral, dan elektrolit.

  4.2.2. Sistem Pernafasan Perawat harus memotivasi klien bernafas dalam dan batuk setiap 1 sampai 2 jam. Klien yang waspada dapat diajarkan untuk bernafas dalam dan menguap setiap jam. Kegiatan ini mengembangkan semua lobus paru dan mencegah atelektasis. Batuk dapat mengurangi statis sekresi pulmonal. Sekret yang stagnasi dapat dikurangi dengan mengubah posisi klien setiap dua jam. Perubahan mereposisikan paru yang menggantung dan memobilisasikan sekret. Pada klien yang tidak sadar dengan jalan nafas buatan, perawat dapat mengembangkan dada dan paru dengan menggunakan ambu bag.

  4.2.3. Sistem Kardiovaskuler Ketika klien dipindahkan dari posisi telentang ke kursi, klien harus diubah posisinya bertahap. Ketika melakukan prosedur ini, perawat harus mencatat adanya perubahan ortostatik. Perawat mengumpulkan tanda vital dasar pada klien dengan posisi telentang. Perawat tetap berada bersama klien dengan posisi fowler yang tinggi selama beberapa waktu agar tubuh beradaptasi terhadap setiap perubahan tanda vital. terus-menerus memantai klien adanya pusing dan sakit kepala ringan, dan menanyakan apakah klien melihat bintik-bintik. Meskipun tidak semua klien mengalami mengalami hipotensi ortostatik, klien harus dipantau tanda vitalnya ketika klien mencoba duduk atau berdiri pertama kali.

  Cara paling efektif untuk mengatasi trombosis vena profunda (deep vein

  

trombosis , DVT) adalah melalui program pemberian profilaksis yang tepat. Hal

  ini dimulai dengan identifikasi klien yang beresiko, dilanjutkan pada klien imobilisasi atau beresiko lainnya. Stocking kompresi bertahap dapat mencegah DVT selama klien yang tepat dan regimen yang tepat (Evans, 1991). Stocking seharusnya tidak dipakai jika terdapat kondisi lokal yang mempengaruhi kaki (mis. lesi kulit, gangren atau menerima ligasi vena). Stocking harus digunakan dengan tepat dan dilepaskan serta kembali dipasang minimal dua kali sehari.

  Apabila klien diduga terjadi DVT maka perawat harus melaporkan segera. Kaki harus ditinggikan tanpa ada penekanan trombus. Keluarga, klien, dan tenaga kesehatan tidak dibenarkan melakukan pemijitan di area tersebut karena bahaya pengeluaran trombus.

  4.2.4. Sistem Muskuloskeletal Klien imobilisasi harus mendapatkan beberapa latihan untuk mencegah otot yang tidak digunakan secara berlebihan, atrofi, dan kontraktur sendi. Jika klien tidak mampu menggerakkan sebagian ataupun seluruh bagian tubuhnya, maka perawat harus melakukan latihan rentang gerak pasif untuk semua sendi yang imobilisasi ketika memandikan klien dan minimal dua atau tiga kali sehari, jika salah satu ekstremitas paralisis, klien diajarkan menggunakan setiap sendinya secara mandiri melalui latihan rentang gerak.

  Klien tirah baring harus melakukan latihan rentang gerak aktif yang dimasukkan dalam jadwal sehari-hari. Klien melakukan latihan ini dalam aktivitas sehari-harinya. Salah satu contoh latihan aktif dalam aktivitas sehari-hari adalah mengambil buku di samping tempat tidur untuk melatih bahu (abduksi). Latihan rentang gerak aktif mempertahankan fungsi sistem muskuloskeletal. Perawat juga harus merencanakan intervensi untuk mengembalikan mobilisasi pada klien yang mampu melakukan aktivitas normal bertahap.

  4.2.5. Sistem Integumen Resiko utama pada kulit akibat keterbatasan mobilisasi adalah dekubitus.

  Oleh karena itu intervensi keperawatan berfokus pada pencegahan dan penatalaksanaan. Intervensi keperawatan adalah sebagai berikut: memeriksa kulit secara sistematik minimal satu kali sehari, khususnya di bagian penonjolan tulang; membersihkan kulit pada waktu kotor pada interval waktu tertentu; meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan kulit kering; tidak melakukan pemijatan di atas daerah penonjolan tulang; meminimalkan paparan kulit dari kelembapan akibat inkontinensia, keringat atau cairan luka; pemberian posisi yang sesuai untuk meminimalkan cedera kulit akibat friksi dan gaya gesek dengan teknik memindahkan dan bergerak yang benar.

  4.2.6. Sistem Eliminasi Intervensi keperawatan untuk mempertahankan fungsi optimal pada perkemihan adalah menjaga hidrasi klien dengan baik tanpa menyebabkan distensi kandung kemih dan mencegah statis urin, terbentuk batu, dan infeksi. Untuk mencegah distensi kandung kemih, perawat mengkaji frekuensi dan jumlah haluaran urin. Klien dengan urin yang menetes terus-menerus dan kandung kemih yang distensi menujukkan inkontinensia overflow. Jika klien imobilisasi tidak dapat mengontrol eliminasi urinnya secara sadar maka perawat harus memasukkan kateter sementara atau menetap untuk mencegah distensi. Perawat juga harus mencatat frekuensi dan konsistensi defekasi. Diet kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan dalam jumlah banyak mendukung peristaltik normal. Jika klien tidak mampu mempertahankan pola eliminasi bowel normal maka dokter memberikan pelunak feses, katartik, atau enema.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Perilaku konsumen - Pengaruh Gaya Hidup, Harga, Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pembelian Samsung Smartphone Pada Mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Gaya Hidup, Harga, Dan Kelompok Referensi Terhadap Keputusan Pembelian Samsung Smartphone Pada Mahasiswa/I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 0 8

PERGESERAN BAHASA DALAM PERMAINAN TRADISIONALMANDAILING: KAJIAN EKOLINGUISTIK Ilham Sahdi Lubis ihlamsahdilubisyahoo.com Abstract - Pergeseran Bahasa dalam Permainan Tradisional Mandailing: Kajian Ekolinguistik

0 0 9

Karakteristik Penderita Thalassemia di RSU Sari Mutiara Medan Tahun 2012-2014

0 0 21

Pengaruh Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kinerja Keuangan Perusahaan - Pengaruh Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Good Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI

0 0 10

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Akitivitas Self Care pada Pasien Diabetes Melitus di RSUP H Adam Malik Medan

1 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Self Care 2.1.1. Definisi Self Care - Aktivitas Self Care pada Pasien Diabetes Melitus di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 16

Tingkat Pengetahuan dan Sikap Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi pada Pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan

0 1 38